Anda di halaman 1dari 13

1

MAKALAH
KEDOKTERAN ISLAM

ANTARA TAKDIR & IKHTIAR MANUSIA

OLEH

NURANISA (105421105917

FAKULTAS KEDOKTERAN & ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH

MAKASSAR

2020

1
2

DAFTAR ISI

Cover halaman
Daftar isi
BAB I (PENDAHULUAN)..................................................................3
A. Latar Belakang...................................................................................3
B. Rumusan Masalah.......................................................................................5
C. Manfaat.......................................................................................5
BAB II ISI (TINJAUAN PUSTAKA)..............................................................6
A. Konsep Takdir................................................................................................... 6
B. Konsep Ikhtiar................................................................7
C. Hubungan takdir dan ikhtiar................................................................................9
BAB III (KIMPULAN).................................................................................................12
Daftar Pustaka................................................................................................13

2
3

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan beragama, mempercayai takdir yang datangnya dari Allah
merupakan sebuah kewajiban, karena telah menjadi salah satu rukun iman yang
menjadi dasar dari kepercayaan agama Islam. Percaya takdir Allah, baik atau buruk,
merupakan turunan atas komitmen seorang muslim atas keimanan seseorang kepada
Allah atas kuasa-Nya menguasai segala yang ada pada makhluk-Nya (Mahakuasa).
Persoalan dan pemahaman takdir memang begitu rumit, karena keberadaannya bersifat
gaib yang tidak mudah dipahami oleh nalar manusia. Terlebih lagi jika dikaitkan
dengan ikhtiar, yang terkesan berseberangan: takdir merupakan otoritas Allah dan
manusia tidak memiliki kebebasan, sedangkan dalam ikhtiar manusia memiliki
kebebasan. Pada akhirnya, muncul perdebatan di tengah umat Islam dan terbagi dalam
tiga golongan; Qadariyah, Asy’ariah dan Jabariah.
Dalam bahasa agama, qadha dan qadar sering diucapkan satu, yaitu takdir,
walaupun keduanya memiliki maksud yang berbeda. Menurut istilah Islam, yang
dimaksud dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan
iradah-Nya tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk, sedangkan qadar
merupakan perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap semua makhluk dalam
kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya. Dengan arti ringkas, qadha
merupakan ketetapan awal, sedangkan qadar merupakan perwujudan dari qadha yang
biasa disebut takdir.
Hanya pertanyaannya kemudian, ketika takdir menjadi sebuah ketetapan ilahi,
di mana posisi ikhtiar pada manusia? Bisa jadi, seseorang mengatakan, “Buat apa shalat
dan puasa, toh jika ditakdirkan masuk surga, tetap masuk surga.” Pemikiran seperti
itulah yang kemudian melemahkan semangat dalam beribadah.
Sebenarnya, walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, bukan berarti
manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa ada usaha dan ikhtiar. Manusia tetap
berkewajiban untuk berusaha dan dilarang berputus asa. Dengan arti lain, manusia
dituntut untuk berusaha agar memperoleh yang terbaik baginya. Berhasil atau tidak

3
4

upaya yang dilakukan, biarkan takdir yang berjalan (al-insan bi at-takhyir wa Allah bi
at-takdir).
Dalam kaitan ikhtiar dan takdir ini, ada kisah menarik saat seorang Arab Badui
datang menghadap Rasulullah dengan mengendarai kuda. Setelah ia turun dari
kudanya, ia langsung menghadap tanpa mengikat kudanya. Rasulullah menegur orang
tesebut, “Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab,
”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Rasulullah pun bersabda, ”Ikatlah kudamu,
setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Pada masa Khalifah ‘Umar bin Khaththab juga ada kisah menarik. Saat itu, ada
seorang pencuri yang dalam persidangan ditanya oleh sang Khalifah, “Mengapa engkau
mencuri?”. Pencuri itu menjawab, “Memang Allah sudah mentakdirkan saya menjadi
pencuri.” Mendengar jawaban tersebut, Khalifah Umar marah, lalu berkata, “Pukul
orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang-orang bertanya,
“Mengapa hukumannya diperberat seperti itu?” Khalifah Umar menjawab, ”Ya, itulah
hukuman yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul
karena berdusta atas nama Allah”.
Pada masa ‘Umar pula, beserta rombongan beliau berencana pergi ke suatu
desa. Beliau mendengar kabar bahwa di desa yang akan dihampirinya telah mewabah
suatu penyakit menular atau Thaun. Akhirnya Sayidina Umar tidak melanjutkan
perjalanannya. Keputusan Sayidina Umar ini sempat diprotes oleh sebagian sahabat.
Dikatakan, “Hai Amirul Mukminin, apakah Anda lari dari Takdir Allah?” Umar
menjawab, “Saya lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain.”
Kisah-kisah tersebut menjelaskan bahwa walaupun Allah telah menentukan
segala sesuatunya, tetapi manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar, dan setiap upaya
dan usaha dari manusia pasti dihargai oleh Allah. Pada posisi inilah, ulama menjelaskan
hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar dengan mengelompokkan takdir
dalam dua macam: Takdir Mu’allaq dan Mubram.
Takdir Mu’allaq erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Takdir mendapat upah
dari sebuah pekerjaan erat kaitannya dengan ikhtiar yang berarti bekerja. Adapun takdir
Mubram terjadi pada diri manusia yang tidak dapat diusahakan atau tidak dapat di
tawar-tawar lagi oleh manusia. Semisal takdir dilahirkan dengan mata sipit, atau dengan
kulit hitam, sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.
Dengan demikian, tidak tepat jika seseorang merasa pesimis sehingga
melalaikan tugas sebagai hamba yang harus taat kepada Allah dengan landasan bahwa

4
5

surga dan neraka telah ditentukan. Bisa jadi, karena keengganannya untuk beribadah
itulah yang merupakan bagian dari jalan (ikhtiar) menuju takdir masuk neraka.
Demikian pula ketika berbuat taat yang merupakan bagian dari ikhtiar menuju takdir
masuk surga. Dalam basa ‘Umar bin Khaththab, “Lari dari takdir Allah menuju takdir
Allah yang lain”.
Perlu diketahui bahwa pahala dan dosa adalah rahasia ilahi sepertihalnya surga
dan neraka. Yang terpenting adalah bagaimana kita berusaha untuk mencapai ridha ilahi
dengan berusaha untuk taat pada perintahnya dan menjauhi larangannya sehingga ada
harapan untuk masuk surga. Sebab, bagaimanapun Allah Mahaadil yang tidak mungkin
berbuat zalim pada semua hambanya.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang
dibahas adalah bagaimana konsep takdir dan ikhtiar manusia

C. MANFAAT
Dari rumusan masalah diatas, agar dapat mengatahui bagaimana konsep takdir
dan ikhtiar manusia

5
6

BAB II
ISI (Tinjuan Pustaka)
A. Konsep Takdir
Takdir berasal dari bahasa Arab Al-qodr yang memiliki beberapa makna
diantaranya adalah hukum, ketetapan, kekuatan, daya, potensi, ukuran, dan batasan.
Dalam artian lain, Takdir adalah ketentuan Allah terhadap segenap makhluk sesuai
dengan ilmunya terhadap segala sesuatu itu sejak sebelumnya serta sesuai dengan
hikmah-Nya.
Semua makna ini merupakan realitas-realitas yang tidak bisa diabaikan, dan
ada didalam kata “Takdir”. Dapat dipahami bahwa takdir adalah Hukum Allah yang
ditetapkan dan dibangun berdasarkan ketetapan, kekuatan, daya, potensi, ukuran,
dan batasan tertentu yang ada pada sesuatu. Setiap unsur tidak dapat berdiri sendiri
melaikan saling berpengaruh dan berelasi satu dan yang lainnya, membentuk
bangunan yang berarti membangun hukum atau takdir yang lain pula.
 Takdir Dalam Agama Islam
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang
harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Yang biasa kita kenal
dengan Qadha dan Qadar.
 Pengertian Qadha dan Qadar
Qadha memiliki beberapa pengertian yaitu: hukum, ketetapan, pemerintah,
kehendak, pemberitahuan, penciptaan. Menurut istilah Islam, yang dimaksud
dengan qadha adalah ketetapan Allah sejak zaman Azali sesuai dengan iradah-Nya
tentang segala sesuatu yang berkenan dengan makhluk.
Sedangkan Qadar arti qadar menurut bahasa adalah: kepastian, peraturan, ukuran.
Adapun menurut Islam qadar perwujudan atau kenyataan ketetapan Allah terhadap
semua makhluk dalam kadar dan berbentuk tertentu sesuai dengan iradah-Nya.
Firman Allah yang artinya: yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan
Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya),
dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya
dengan serapi-rapinya. (QS .Al-Furqan ayat 2).
Untuk memperjelas pengertian qadha dan qadar, berikut ini dikemukakan
contoh. Saat ini Zaskiya melanjutkan pelajarannya di SMA. Sebelum Zaskiya lahir,
bahkan sejak zaman azali Allah telah menetapkan, bahwa seorang anak bernama

6
7

Zaskiya akan melanjutkan pelajarannya di SMA. Ketetapan Allah di Zaman Azali


disebut Qadha. Kenyataan bahwa saat terjadinya disebut qadar atau takdir. Dengan
kata lain bahwa qadar adalah perwujudan dari qadha.
 Hubungan antara Qadha dan Qadar
Pada uraian tentang pengertian qadha dan qadar dijelaskan bahwa antara qadha dan
qadar selalu berhubungan erat . Qadha adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah
sejak zaman azali. Qadar adalah kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah. Jadi
hubungan antara qadha qadar ibarat rencana dan perbuatan.
Perbuatan Allah berupa qadar-Nya selalu sesuai dengan ketentuan-Nya. Di
dalam surat Al-Hijr ayat 21 Allah berfirman, yang artinya ” Dan tidak sesuatupun
melainkan disisi kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan
dengan ukuran yang tertentu.” Orang kadang -kadang menggunakan istilah qadha
dan qadar dengan satu istilah, yaitu Qadar atau takdir. Jika ada orang terkena
musibah, lalu orang tersebut mengatakan, ”sudah takdir”, maksudnya qadha dan
qadar.
B. Konsep Ikhtiar
ْ yang berarti mencari hasil yang
Ikhtiar berasal dari bahasa Arab (‫)إختِ َيار‬
lebih baik. Adapun secara istilah, pengertian ikhtiar yaitu usaha manusia untuk
memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa
depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi.
Maka, segala sesuatu baru bisa dipandang sebagai ikhtiar yang benar jika di
dalamnya mengandung unsur kebaikan. Tentu saja, yang dimaksud kebaikan adalah
menurut syari’at Islam, bukan semata akal, adat, atau pendapat umum. Dengan
sendirinya, ikhtiar lebih tepat diartikan sebagai “memilih yang baik-baik”, yakni
segala sesuatu yang selaras tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Ikhtiar juga dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi,
jika usaha kita gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba
lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam suatu usaha, antara
lain disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu
sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk bersabar
karena orang yang sabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa.
Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha
tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa
7
8

mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik, bidang usaha yang
akan dilakukan harus dikuasai dengan mengadakan penelitian atau riset, selalu
berhati-hati mencari teman (mitra) yang mendukung usaha tersebut, serta
memunculkan perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional.
Takdir adalah suatu yang sangat ghoib, sehingga kita tak mampu
mengetahui takdir kita sedikitpun. Yang dapat kita lakukan hanya berusaha, dan
berusahapun telah Allah jadikan sebagai kewajiban. “Tugas kita hanyalah
senantiasa berusaha, biar hasil Allah yang menentukan”, itulah kalimat yang
sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita, yang menegaskan pentingnya
mengusahakan qadha untuk selanjutnya menemui qadarnya.
Takdir itu memiliki empat tingkatan yang semuanya wajib diimani, yaitu :
 Al-`Ilmu, bahwa seseorang harus meyakini bahwa Allah mengetahui
segala sesuatu baik secara global maupun terperinci. Dia mengetahui
apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi. Karena segala
sesuatu diketahui oleh Allah, baik yang detail maupun jelas atas
setiap gerak-gerik makhluknya. Sebagaimana firman Allah yang
artinya “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib;
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia
mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun
pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh
sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata.” (QS.
Al-an`am:59).
 Al-khitabah, beriman terhadap di tulisnya qadar (tkadir) tersebut.
Yakin bahwasannnya Allah tellah menulis segala sesuatu yang Ia
ketahui ilmunya sebelumnya bahwa semua itu tertulis di lauhul
mahfudz, sebagaimana firman-Nya dalam QS Alhajj ayat 70.
 Al-Masyiah (kehendak), Kehendak Allah ini bersifat umum. Bahwa
tidak ada sesuatu pun di langit maupun di bumi melainkan terjadi
dengan iradat/masyiah (kehendak /keinginan) Allah SWT. Maka
tidak ada dalam kekuasaan-Nya yang tidak diinginkan-Nya
selamanya. Baik yang berkaitan dengan apa yang dilakukan oleh Zat
Allah atau yang dilakukan oleh makhluk-Nya. Allah berfirman
“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu

8
9

hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia” (QS.


Yasin:82).
 Al-Khalqu, Bahwa tidak sesuatu pun di langit dan di bumi
melainkan Allah sebagai penciptanya, pemiliknya, pengaturnya dan
menguasainya, dalam firman-Nya dijelaskan “Sesunguhnya Kami
menurunkan kepadamu Kitab dengan kebenaran. Maka sembahlah
Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya.” (QS. Az-
Zumar:2).
 Larangan beputus asa
Allah telah mencontohkan kisah Nabi Ya’qub dalam Al-Qur’an sebagai
contoh nyata pelajaran orang-orang yang ditimpa kesusahan dan larangan
berputus asa. Nabi Ya'qub yang terus berdo'a dan berharap pada Tuhannya
setiap saat agar tidak termasuk orang-orang yang berputus asa, karena
berputus asa pada kebaikan Tuhan adalah sifat-sifat orang yang kafir.
Kisah itu digambarkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an
surah Yusuf ayat 87 yang artinya”Wahai anak-anakku! Pergilah kamu,
carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa
dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah,
hanyalah orang-orang yang kafir”. (QS: Yusuf: 87).
Tak ada cara lain, mari kita palingkan semua pada Islam. Berikhtiarlah
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kita, yakni: dengan memilih
jalan-jalan keluar yang baik-baik dan yang diridhoi Allah Subhanahu wa-
ta'ala.
C. Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan sepenuh
hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu bagi makhluknya.
Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW bersabda yang artinya sebagai
berikut yang artinya ”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya
selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari
menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk meniupkan
ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu tentang rezekinya, ajalnya,
amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya) sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).

9
10

Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah ditentukan
Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia telah ditentukan
nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa
berusaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab
keberhasilan tidak datang dengan sendirinya.
Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas
berusaha dan berbuat kejahatan. Pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin
Khattab, seorang pencuri tertangkap dan dibawa kehadapan Khalifah Umar. ”
Mengapa engkau mencuri?” tanya Khalifah. Pencuri itu menjawab, ”Memang Allah
sudah mentakdirkan saya menjadi pencuri.”
Mendengar jawaban demikian, Khalifah Umar marah, lalu berkata, ” Pukul
saja orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!.” Orang -orang yang
ada disitu bertanya, ” Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?”Khalifah Umar
menjawab, ”Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri
dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah”.
Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah. Pada
zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab Badui datang
menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang kuda. Setelah sampai, ia
turun dari kudanya dan langsung menghadap nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat
kudanya. Nabi menegur orang itu, ”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang
Arab Badui itu menjawab, ”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun
bersabda, ”Ikatlah kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan segala
sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita tidak mengetahui
apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu kita harus berikhtiar. Jika
ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun. Jika ingin kaya, bekerjalah dengan
rajin setelah itu berdo’a. Dengan berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada
Allah kita kepada Allah SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat
menerimanya dengan ridha dan ikhlas.
Mengenai hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar ini, para ulama
berpendapat, bahwa takdir itu ada dua macam :
 Takdir mua’llaq: yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia.
Contoh seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk
mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang ia cita-
10
11

citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian. Dalam hal ini


Allah berfirman: Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya
atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu
kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi
mereka selain Dia. ( Q.S Ar-Ra’d ayat 11).
 Takdir mubram; yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat
diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Contoh. Ada
orang yang dilahirkan dengan mata sipit , atau dilahirkan dengan kulit hitam
sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.

BAB III
KESIMPULAN

11
12

Semua makna ini merupakan realitas-realitas yang tidak bisa diabaikan, dan
ada didalam kata “Takdir”. Dapat dipahami bahwa takdir adalah Hukum Allah yang
ditetapkan dan dibangun berdasarkan ketetapan, kekuatan, daya, potensi, ukuran,
dan batasan tertentu yang ada pada sesuatu. Setiap unsur tidak dapat berdiri sendiri
melaikan saling berpengaruh dan berelasi satu dan yang lainnya, membentuk
bangunan yang berarti membangun hukum atau takdir yang lain pula.
Ikhtiar juga dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi,
jika usaha kita gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba
lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam suatu usaha, antara
lain disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang terdapat dalam diri manusia itu
sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha, setiap muslim dianjurkan untuk bersabar
karena orang yang sabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa.
Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha
tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa
mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik, bidang usaha yang
akan dilakukan harus dikuasai dengan mengadakan penelitian atau riset, selalu
berhati-hati mencari teman (mitra) yang mendukung usaha tersebut, serta
memunculkan perbaikan-perbaikan dalam manajemen yang professional.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Hm. Asmuni Yusran. “ILMU TAUHID”.Jakarta, Citra Niaga Rajawali. 1993
Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. “Seajarah Dan Pengantar Ilmu Tauhid atau
Kalam”, Jakarta: Bulan Bintang, 1972.

12
13

Abdul Aziz bin Muhammad Drs, Abd. Lathif, “ Pelajatran Tauhid untuk Tingkat
Lanjutan”, Jakarta: Darul Haq, 1998.
Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Nurholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1994
Hanafi, Ahmad. 2001. Teologi Islam. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Tim Ahli Ilmu Tauhid. 2008. Kitab Tauhid. Jakarta: Darul Haq.

13

Anda mungkin juga menyukai