Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia dikenal


dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan medik
karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. KID yang merupakan
kedaruratan medik terutama KID fulminan atau akut, sedangkan KID derajat rendah atau
kompensasi bukan suatu keadaan darurat. Namun perlu diwaspadai KID derajat rendah dapat
berubah menjadi KID fulminan sehingga harus diantisipasi.
Gejala klinik KID dapat sangat bervariasi tergantung penyakit penyebabnya (underlying
disease). Hal ini merupakan sebab mengapa banyak istilah lain yang dipakai untuk KID,
misalnya konsumsi koagulopati, hiperfibrinolisis, defibrinasi dan sindrom trombo-hemoragik.
Keberhasilan pengobatan selain ditentukan oleh keberhasilan mengatasi penyakit dasar
yang mencetuskan KID, juga ditentukan akibat KID itu sendiri.

1
1. Definisi

Menurut International Society of Thrombosis and Haemostasis (ISTH) Scientific and


Standardization Committee, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah sindrom
yang ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi yang
timbul dari penyebab yang berbeda. Hal ini dapat berasal dari dan menyebabkan kerusakan
pada mikrovaskulatur. Kondisi yang cukup parah dapat menyebabkan disfungsi organ. Darah
yang membentuk thrombin dan fibrin intravaskular mengakibatkan pembentukan thrombosis
pembuluh darah kecil sampai sedang, disfungsi organ serta perdarahan hebat.

2. Epidemiologi

Infeksi bakteri terutama pada sepsis merupakan kondisi klinis umum yang berhubungan
dengan DIC. Aktivasi koagulasi menyeluruh yang terjadi pada infeksi dimediasi oleh
komponen sel membran mikroorganisme (lipopolisakarida atau endotoksin) yang
menyebabkan respons inflamasi menyeluruh melalui aktivasi sitokin-sitokin inflamasi.
Trauma berat dan luka bakar merupakan kondisi lain yang berhubungan dengan DIC. Kanker
solid dan hematologi juga dapat berhubungan dengan DIC yang merupakan komplikasi
sampai dengan 15% kasus metastasis tumor atau leukemia akut. DIC juga sering disebabkan
oleh kondisi obstetrik seperti abrupsio plasenta dan emboli air ketuban. Gangguan vascular
seperti giant hemangioma, aneurisma aorta juga berhubungan dengan DIC.

3. Etiologi

Tabel 1. Gangguan klinis yang berhubungan dengan DIC

Infeksi Sepsis (Bakteri gram positif dan negative)


Infeksi virus (dengue, Ebola) Lain-lain
(Ricketsal, infeksi malaria)
Trauma/ Kerusakan jaringan Trauma kepala Pankreatitis Emboli lemak
Kerusakan serius jaringan lainnya (luka
penetrasi /crush
Keganasan Tumor padat Leukemia akut (terutama AML-
M3) Leukimia kronik
Komplikasi Obstetrik Abrupsio plasenta Emboli Air Ketuban
Eklampsia dan preeclampsia Janin mati
Gangguan Vaskuler Giant Hemangioma (Sindrom Kasabach
Merritt) Malformasi vascular lainnya

2
Aneurisma aorta besar
Reaksi Alergi/ Toksik berat Toxic shock syndrome Bisa ular, bisa laba-
laba
Reaksi Imunologi berat Reaksi transfuse hemolitik akut Heparin
induced thrombocytopenia
Berdasarkan etiologi:

Sepsis / infeksi (30-51%) ,Trauma / pembedahan (45%), Komplikasi obstetrik (0,03%)


Keganasan, destruksi organ.

4. Fisiologi Proses Koagulasi

3
Gambar 1: Schematic representation of coagulation physiology

Aktivasi koagulasi dimulai melalui faktor jaringan–jalur faktor VII (panah hijau). Meskipun
faktor jaringan adalah glikoprotein terkait membran yang ada di subendotel
situs yang tidak bersentuhan dengan darah dalam kondisi fisiologis, dapat mengekspos
gangguan struktur pembuluh darah itu ke darah. Selain itu, faktor jaringan dapat hadir dalam
darah melalui ekspresi sel mononuklear atau sel endotel sebagai respons terhadap
rangsangan, seperti mediator inflamasi. Begitu terpapar, faktor jaringan bisa membentuk
kompleks dengan faktor VII. Pembentukan kompleks ini menghasilkan konversi faktor VII
menjadi bentuk aktifnya (faktor VIIa). Itu faktor jaringan-faktor VIIa kompleks kemudian
mengikat dan mengaktifkan faktor X, menghasilkan faktor Xa. Selanjutnya, faktor Xa,
bersama dengan faktor kofaktor V, mengubah protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor
IIa) (panah hitam). Langkah ini paling efisien
di hadapan permukaan fosfolipid yang sesuai, seperti yang disediakan oleh trombosit
teraktivasi. Atau, faktor Xa bisa dihasilkan oleh faktor IXa yang dikombinasikan dengan
faktor VIIIa. Generasi faktor IXa membutuhkan faktor jaringan-faktor VIIa kompleks (panah
oranye). Jalur penguatan ketiga dari sistem koagulasi darah melibatkan umpan balik positif
pembentukan trombin, sehingga trombin mengaktifkan faktor XI. Faktor XIa selanjutnya
mengaktifkan faktor IX, menghasilkan selanjutnya faktor Xa dan pembentukan trombin.
Selain itu, faktor Va dapat mengaktifkan faktor XI, yang memperkuat produksi faktor Ixa
(panah biru). Pengaturan aktivasi koagulasi (garis penghambat merah) terjadi oleh tiga
antikoagulan alami yang berbeda jalur: antitrombin (yang memblokir faktor Xa dan trombin),

4
penghambat jalur faktor jaringan (yang menghambat jaringan faktor – faktor VIIa kompleks)
dan protein C teraktivasi (yang secara proteolitik mendegradasi faktor Va dan faktor VIIIa).

5. Patofisiologi
Berbagai macam mekanisme yang berkontribusi terhadap perubahan koagulasi pada
pasien DIC telah dijelaskan. Inisiasi dan propagasi koagulasi dengan gangguan jalur
fisiologis antikoagulan dan defisit fibrinolisis endogen menyebabkan aktifasi inflamasi
sistemik dan mengakibatkan aktivasi platelet dan deposisi fibrin. Mediator penting yang
menyebabkan proses tersebut adalah tumor necrosis factor (TNF)- ɑ, interleukin (IL)- 1 dan
IL- 6.

Produksi trombin pada DIC berasal melalui aktifasi jalur tissue factor/factor VII(a) yang
akan menyebabkan pembentukan faktor Xa dan IXa. Tissue factor dapat terekspos oleh sel
mononuclear teraktifasi juga oleh sel endotel atau sel maligna. Pada DIC, jalur antikoagulan
natural mengalami defect fungsional.Ketidakseimbangan fungsi tissue factor pathway
inhibitor (TFPI) dibandingkan peningkatan aktivasi koagulasi dependen tissue factor juga
dilaporkan.Sebagai tambahan, defisiensi system protein C lebih lanjut menghalangi inhibisi
pembentukan thrombin. Gangguan pada jalur protein C disebabkan downregulasi dari
ekspresi thrombomodulin pada sel endothelial dan kombinasi dngan penurunan sintesis dan
peningkatan degradasi protein C. Antithrombin plasma yang merupakan inhibitor utama
thrombin juga menurun pada DIC dikarenakan konsumsi, gangguan sintesis dan degradasi
oleh elastase dari neutrophil teraktifasi. Selain itu, fibrinolisis endogen inaktif dalam skala
luas karena peningkatan berkelanjutan plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) yang
merupakan regulator penting aktifasi plasminogen dan pembentukan plasmin.

Abnormalitas sistem hemostasis pada pasien dengan DIC diakibatkan penjumlahan vektor
hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis. Ketika hiperfibrinolisis dominan, perdarahan merupakan
gejala yang utama; tipe ini disebut tipe perdarahan atau tipe DIC hiperfibrinolisis. Bentuk
DIC ini biasa dijumpai pada pasien leukemia, penyakit obstetrik atau aneurisma
aorta.Sedangkan ketika vektor hiperkoagulasi yang dominan, gagal organ merupakan gejala
yang utama; tipe ini disebut dengan DIC tipe gagal organ, hiperkoagulasi atau
hipofibrinolisis. Bentuk DIC ini banyak ditemukan pada pasien infeksi terutama sepsis.
Peningkatan level plasminogen activator inhibitorI (PAI-I) yang diinduksi oleh oleh
peningkatan sitokin dan lipopolisakarida di darah dilaporkan merupakan penyebab
hipofibrinolisis.

5
Ketika kedua vector hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama kuat, perdarahan
mayor terjadi diikuti kematian jika tidak ada cukup darah yang ditransfusi; tipe ini disebut
DIC tipe perdarahan massif atau tipe konsumtif. Bentuk DIC ini ditemukan pada pasien yang
mengalami perdarahan berat setelah operasi atau dengan penyakit obstetrik. Ketika kedua
vektor lemah, hampir tidak ada gejala klinis meskipun terdapat abnormalitas dari
pemeriksaan laboratorium; tipe ini disebut DIC non simptomatik atau pre DIC.

Inflamasi dan Koagulasi

Gambar 2 | Interaksi inflamasi dan koagulasi di DIC.


Ekspresi jaringan faktor oleh sel mononuklear dan paparan selanjutnya ke hasil darah dalam
pembangkitan trombin diikuti dengan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Secara bersamaan,
platelet– Interaksi dinding pembuluh darah dan aktivasi trombosit berkontribusi pada
pembentukan pembuluh darah (atau mikrovaskuler) gumpalan. Selektin-P turunan trombosit
lebih meningkatkan ekspresi faktor jaringan. Pengikatan faktor jaringan, trombin dan

6
koagulan aktif lainnya protease ke reseptor teraktivasi protease (PARs) spesifik dan
pengikatan fibrin ke Toll-like receptor 4 (TLR4) pada sel inflamasi mempengaruhi melalui
inflamasi akibat pelepasan sitokin dan kemokin pro-inflamasi, yang selanjutnya memodulasi
koagulasi dan fibrinolisis

6. Manifestasi Klinis

Gambaran hemoragik tipikal pada DIC termasuk perdarahan pada tempat venipuncture
atau indwelling catheters, ekimosis yang berkembang secara spontan atau trauma minimal,
perdarahan dari membrane mukosa, perdarahan mayor yang tidak terduga dari tempat drain
atau trakeostomi dan perdarahan pada kavitas serosa (seperti perdarahan retroperitoneal).
Perdarahan pada DIC hemoragik dapat diiakibatkan oleh berbagai alasan termasuk
trombositopenia, disfungsi trombosit, kerusakan endotel, gangguan degradasi produk fibrin
dengan struktur clot dan konsumsi faktor clotting.Gambaran thrombosis pada DIC adalah
tromboflebitis yang terjadi pada tempat yang tidak biasa; respiratory distress syndrome;
gangguan ginjal tanpa kejelasan; gangguan system saraf pusat seperti penurunan kesadaran
dan kejang; infark dermal, nekrosis kulit; diskolorasi keabuan ujung jari, kaki atau cuping
telinga.

Gejala klinis KID tergantung penyakit dasar, akut atau kronis dan proses patologis mana
yang lebih utama, apakah akibat trombosis mikrovaskular atau diatesis hemoragik. Kedua
proses patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat ditemukan dalam
waktu yang bersamaan.
Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat, dapat terlihat sebagai petekie, ekimosis, atau
hematoma di kulit, hematuria, melena, epistaksis, perdarahan gusi, hemoptisis dan kesadaran
yang menurun sampai koma akibat perdarahan otak. Gejala akibat trombosis mikrovaskuler
dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma, gagal ginjal akut, gagal nafas akut dan
iskemia fokal serta gangren pada kulit.2
Mengatasi perdarahan pada KID sering lebih mudah daripada mengobati akibat trombosis
pada mikrovaskuler yang menyebabkan gangguan aliran darah, iskemia dan berakhir dengan
kerusakan organ dan kematian.2

7
7. Diagnosis

DIC merupakan diagnosis laboratorium dan klinis. Jadi diagnosis hanya dibuat pada
pasien dengan penyakit mendasari yang diketahui yang berhubungan dengan DIC yang
berhubungan dengan abnormalitas laboratorium (hitung trombosit, PT/APTT, fibrinogen
serum dan marker degradasi fibrin).Untuk memfasilitasi proses diagnosis untuk mendeteksi
DIC, penggunaan sistem skor direkomendasikan oleh beberapa guidelines yang dikeluarkan
oleh ISTH/ SSC, Japanese Ministry Health, Labour and Welfare (JMHLW), dan Japanese
Association of Acute Medicine (JAAM) .

Desain skor ISTH memiliki dasar fisiologi dengan menggunakan konsep “overt” dan
“nonovert” (Tabel 2) sebagai entitas yang berbeda.11 Sampai batas tertentu, kedua bagian
tersebet merefleksikan perbedaan poin meskipun DIC nonovert berhubungan dengan luaran
yang buruk pada pasien kritis yang mengalami progresi ke DIC overt. Algoritma skor ISTH
hanya dapat digunakan jika penyakit yang mendasari berhubungan dengan DIC (contoh
sepsis dan kanker). Sistem skor ini telah divalidasi secara prospektif untuk mendiagnois DIC
dan menunjukan prediktor independen mortalitas pada pasien sepsis. Sebagai tambahan,
keparahan DIC berdasarkan skor juga berhubungan dengan luaran yang buruk pada pasien
tersebut.Sistem skor ini berguna untuk mendiagnosis DIC apapun etiologi yang mendasarinya
baik penyebab infektif maupun non-infektif.

Overt DIC: Didefinisikan sebagai kondisi dimana endotel vaskular, darah dan
komponennya telah kehilangan kemampuan untuk mengkompensasi dan mengembalikan
homeostasis sebagai respons terhadap cidera. Hal ini bermanifestasi sebagai disfungsi
multiorgan akibat trombosis dan/atau perdarahan. Skor 5 atau lebih memenuhi definisi DIC
overt (Tabel 3).

Non-overt DIC: didefiisikan sebagai kondisi cidera vaskulata klinis yang mengakibatkan
beban berat pada sistem homeostasis dimana untuk suatu waktu cukup mencegah aktifasi
inflamasi dan hemostatik lebih lanjut. Sistem skor untuk diagnosis DIC nonovert termasuk
tes umum koagulasi (Prothrombin time, Fibrin degeneration products), tes yang lebih spesifik
(namun tidak tersedia secara luas) yang merupakan tanda pengganti produksi trombin
intravaskular (thrombin–antithrombin (TAT) complexes) dan konsumsi inhibitor koagulasi
yang sedang berlangsung seperti antithrombin (AT) protein C (PC). Skor DIC The Japanese
Association for Acute Medicine (JAAM) dikembangkan berdasarkan skor original the
Japanese Ministry for Health and Welfare’s untuk pasien kritis dan karenanya

8
menggabungkan kriteris sepsis pada skor DIC. Skor ini telah divalidasi pada pasien kritis.
Secara umum karna tidak adanya gold standart, rekomendasi saat ini adalah mengunakan
salah satu sistem skor yang berkorelasi dengan observasi klinis dan harus dinilai skornya
setiap hari pada pasien yang terkena (Tabel 2)

Tabel2.Kriteria diagnosis DIC

Keteranga
n: Kriteria ISTH : International Society of Thrombosis and haemostasis; Kriteria JMHW :
Japanese Ministry for Health and Welfare’s; Kriteria JAAM: Japanese Association for Acute
Medicine

Tabel 3. Sistem skor diagnostik untuk DIC overt (Taylor dkk., 2001)

9
8. Diagnosis Banding

Manifestasi klinis atau kelainan laboratorium dari beberapa kondisi dapat menyerupai atau
dibedakan dari yang ada di DIC, dan penting untuk membedakan kondisi ini dari DIC akut.
Empat dari kondisi yang lebih umum adalah :4
• thrombocytopenic purpura trombotik
• kronis DIC (Trousseau sindrom)
• Gagal hati fulminan
• HELLP syndrome (hemolisis, tes fungsi hati yang tinggi, dan trombosit rendah).

9. Tatalaksana

Dalam mengobati pasien ada 2 prinsip yang perlu diperhatikan :

10
1. Khusus : pengobatan KID bersifat individual,
2. Umum : mengobati pembekuan darah dan mengatasi perdarahan.

1. Terapi Individu
Berhubungan dengan banyak macam penyakit yang mencetuskan KID dan derajat
penyakit maupun KID bervariasi. Maka pengobatan kasus demi kasus mendapat perhatian
yang besar. Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat diperlukan, sebaliknya
pada kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi setiap individu harus dilihat keuntungan dan
kerugian dari pengobatan.2,7

2. Terapi Umum
Didasarkan atas etiologi KID, umur, keadaan hemodinamik, beratnya perdarahan, beratnya
trombus dan gejala klinis. 7
a. Pengobatan faktor pencetus
Pengobatan pada KID fulminan yaitu mengobati secara progresif dan menghilangkan
penyakit pencetus KID.
b. Menghentikan proses koagulasi.
Dapat dilakukan dengan memberikan antikoagulan misalnya heparin. Indikasi
pemberian heparin : (1) bila penyakit dasar tidak dapat dihilangkan dalam waktu
singkat; (2) penderita yang masih perdarahan bila penyakit dasar sudah dihilangkan;
(3) bila ada tanda terjadi trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati.
Cara pemberian heparin klasik pada KID dimulai dengan dosis awal 100-200 U/ kgBB iv,
selanjutnya pemberian dosis ditentukan dari hasil APTT atau masa pembekuan dan diperiksa
2-3 jam sesudah pemberian heparin. Target APTT 1,5-2,5 kontrol atau masa pem-bekuan 2-3
kali kontrol. Bila APTT kurang dari 1,5 kali kontrol atau MP kurang 2 kali kon-trol dosis
heparin dinaikkan. Bila APTT lebih dari 2,5 kali kontrol atau MP lebih dari 3 kali kontrol
maka diulang 2 jam. Kemudian bila APTT atau MP tetap lebih dari 2,5 atau 3 kali kontrol
dosis dinaikkan, sedang bila kurang dosis diturunkan. Bila APTT 1,5-2,5 kali kontrol atau
MP 2-3 kali kontrol, dosis heparin diteruskan.
Heparin diberikan tiap 4-6 jam dan dosis diberikan berkisar 100.000 – 200.000 U/ hari.
Akhir-akhir ini dianjurkan heparin subkutan dosis 80-100 U/kg tiap 4-6 jam. Heparin juga
dapat diberikan dengan kombinasi AT III atau anti agregasi trombosit.
Kontraindikasi pemberian heparin subkutan maupun intravena pada KID yaitu pasien
dengan perdarahan SSP dan gagal hati fulminan. KID fulminan berhasil diobati dengan
11
pemberian AT III tiap 8 jam. Dosis yang dibutuhkan dapat dihitung dengan jumlah total
yang dibutuhkan = kenaikan kadar yang diinginkan – kadar permulaan x 0,6 x BB. Kadar
yang diinginkan biasanya > 125%.

3. Terapi Substitusi
Bila perdarahan masih terus berlangsung sesudah penyakit dasar diobati dan sesudah
antikoagulan diberikan, untuk ini dapat diberikan plasma beku segar (fresh frozen plasma;
FFP). Bila trombosit turun sampai <25.000/mm 3 pemberian trombosit konsentrat perlu
diberikan.

4. Anti Fibrinolisis
Asam traneksamat atau epsilon-asam amino kaproat hanya diberikan bila trombosis tidak
ada dan terjadi fibrinolisis.
Menurut penelitian lain penatalaksanaan KID secara teoritis, intervensi pada langkah
patofisiologis yang terlibat dalam asal-usul KID dapat bermanfaat, tetapi uji klinis telah
mengungkapkan hanya beberapa langkah-langkah untuk digunakan sebagai terapi.

12
Daftar Pustaka:
Gando S, Levi M, Toh C-H. Disseminated intravascular coagulation. Nature
[Internet]. 2016;2:1–16. Available from: http://dx.doi.org/10.1038/nrdp.2016.37
Levi M,Sivapalaratnam S. Disseminated intravascular coagulation: an update on
pathogenesis and diagnosis. [Internet]. 2018. Available from:
http://dx.doi.org/10.1080/17474086.2018.1500173.
Umar I, Sujud W. Hemostasis dan Disseminated intravascular coagulation. [Internet].
2020; Volume: 1, No.2: 19-32 available from: https://jap.ub.ac.id

13

Anda mungkin juga menyukai