Anda di halaman 1dari 21

PENGARUH PEDAGANG KAKI LIMA TERHADAP TATANAN

KOTA

Dosen Pengampu: Dr. Santoso, M. Psi

DISUSUN OLEH:

FENI AULIA

188110021

PROGRAM STUDI ILMU PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan jumlah penduduk dan intensitas kegiatan yang semakin
ringgi secara umum dapatmemberikan pengaruh besar dalam kegiatan usaha,
baik diperkotaan maupun diperdesaan, seperti dibangunnya perumahan,
perdagangan, jasa dan industry. Seperti yang kita ketahuai, perkembangan
kegiatan usaha dapat memberikan dampak dengan keterbatasannya
lahan/ruang khususnya didaerah perkotaan. Salah satu yang dapat
memperngaruhi tata ruang dalam perkotaan adalah Pedagang Kaki Lima
(PKL) dimana para PKL sering dianggap sebaia masalah besar karena dapat
menggagu ketertiban, keamanan, kenyamanan kebersihan dan keindahan
lingkungan. Padahal PKL ini dapat berperan penting dalam penyediaan
lapangan pekerjaan dan dapat menyediakan barang dan jasa sehingga mudah
didapat dan terjangkau dalam jumlah besar untuk penduduk perkotaan.
Masalah Pedagang Kaki lima (PKL) tidak kunjung selesai di setiap daerah
di Indonesia. Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung
tanpa ada solusi yang tepat dalam pelaksanaannya. Keberadaan PKL kerap
dianggap ilegal karena menempati ruang publik dan tidak sesuai dengan visi
kota yang sebagian besar menekankan aspek kebersihan, keindahan dan
kerapihan kota atau dikenal dengan istilah 3K. Para Pedagang Kaki Lima
(PKL) yang umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka
bertahan dalam suatu kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak
kendala yang harus di hadapi diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan
yang tidak menentu, kemudian ditambah dengan berbagai aturan seperti
adanya Perda yang melarang keberadaan mereka.
Seperti yang kita ketahui, Pedagang Kaki Lima yang marak di Pekanbaru
sendiri adalah para Pedagang Jagung Bakar. Walaupun sering adanya
penertiban dengan caa menurunkan Satpol PP guna untuk member peringatan
dan arahan terkadang juga terjadinya penggusuran, para pedagang ini tetap
saja berjualan ditempat yang menurutnya dapat menjadi daya tarik bagi
penduduk perkotaan. Keberadaan PKL menjadi hal yang paling penting bagi
pemerintah untuk segera dicarikan solusinya. Seringnya terjadi penggusuran
terhadap keberadaan PKL menuntut pemerintah untuk segera mencarikan
tempat atau alternative lokasi bagi para PKL untuk menjalankan usahanya.
Usaha yang termasuk dalam kriteria sektor informal salah satunya adalah
PEDAGANG KAKI LIMA yang lebih tren disebut PKL di mana unit
usahanya tidak resmi (informal) serta berskala kecil, yang menghasilkan
barang dan jasa tanpa memiliki izin usaha atau izin lokasi sebagaimana
ketentuan yang berlaku.
Kegiatan PKL atau pedagang kaki lima telah berlangsung sejak lama di
daerah perkotaan seperti Jakarta. Namun fungsi sosial ekonomi kegiatan ini
baru muncul ke permukaan setelah Presiden pada masa orde baru
menyampaikan instruksinya kepada Gubernur dan Walikota untuk
memperhatikan dan membina mereka. Hanya selama ini pembinaan belum
terpadu, dilaksanakan oleh berbagai instansi baik oleh dinas maupun instansi
vertikal serta lembaga lainnya.
Keberadaan para Pedagang Kaki Lima itu sendiri sebenarnya membuat
tata ruang kota menjadi berantakan, dimana semakin banyaknya orang
berkeliaran dan semakin banyak punya terjadinya parker liar bagi kendaraan
pribadi. Sehinga dapat menimbulkan kemacetan atau bahakan yang membuat
suasana kota menjadi berantakan dan tidak terorganisir. Bahkan ini semua
bisa menjadi salah satu alas an sering terjadinya kejahatan karena semakin
banyak orang yang mengunjungi tempat tersebut semakin banyak pula orang
yang ingin mendapatkan keuntungan dengan cara yang sanagt berlebihan.
Hingga saat ini istilah PKL juga digunakan untuk semua pedagang
yang bekerja di trotoar, termasuk para pemilik rumah makan yang
menggunakan tenda dengan mengkooptasi jalur pejalan kaki maupun jalur
kendaraan bermotor. Sebenarnya istilah kaki lima berasal dari masa
penjajahan kolonial Belanda. Peraturan pemerintahan waktu itu
menetapkan bahwa setiap jalan raya yang dibangun hendaknya
menyediakan sarana untuk pejalanan kaki. Lebar ruas untuk pejalan adalah
lima kaki atau sekitar satu setengah meter.Sekian puluh tahun setelah itu, saat
Indonesia sudah merdeka, ruas jalan untuk pejalan kaki banyak
dimanfaatkan oleh para pedagang untuk berjualan. Dahulu namanya
adalah pedagang emperan jalan, sekarang menjadi pedagang kaki lima.
Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima
kaki.
Suatu kenyataan bahwa konsentrasi pelaksanaan pembangunan selama ini
lebih banyak berpusat di daerah perkotaan. Akibatnya arus perpindahan
penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) semakin melimpah. Tetapi karena
kesulitan memperoleh lapangan kerja di daerah perkotaan akhirnya
mendorong para pencari kerja (migrant) sebagian berusaha di sektor informal.
Salah satu ciri kota adalah kompleksitas permasalahan, dan salah satunya
adalah heterogenitas penduduk, kebudayaan dan heterogenitas ekonomi
masyarakat. Untuk kota di Negara berkembang seperti kota Jakarta,
kesenjangan ekonomi masyarakat mempunyai ciri khusus dengan tumbuhnya
sektor ekonomi informal, meliputi ; usaha skala kecil, usaha industry kecil,
pedagang kaki lima, pedagang asongan, pemulung dan lain sebagainya.
Di beberapa tempat, pedagang kaki lima dipermasalahkan karena
mengganggu para pengendara kendaraan bermotor, mengunakan badan
jalan dan trotoar. Selain itu ada PKL yang menggunakan sungai dan
saluran air terdekat untuk membuangsampah dan air cuci. Sampah dan
air sabun dapat lebih merusak sungai yang ada dengan mematikan ikan
dan menyebabkan eutrofikasi. Tetapi PKL kerap menyediakan makanan atau
barang lain dengan harga yang lebih, bahkan sangat, murah daripada
membeli di toko. Modal dan biaya yang dibutuhkan kecil, sehingga kerap
mengundang pedagang yang hendak memulai bisnis dengan modal yang
kecil atau orang kalangan ekonomi lemah yang biasanya mendirikan
bisnisnya di sekitar rumah mereka.
Selain itu juga pemerintahan pada waktu itu juga menghimbau agar
sebelah luar dari trotoar diberi ruang yang agak lebar atau agak jauh dari
pemukiman penduduk untuk dijadikan taman sebagai penghijauan dan
resapan air. Dengan adanya tempat atau ruang yang agak lebar itu
kemudian para pedagang mulai banyak menempatkan gerobaknya untuk
sekedar beristirahat sambil menunggu adanya para pembeli yang
membeli dagangannya. Seiring perjalanan waktu banyak pedagang yang
memanfaatkan lokasi tersebut sebagai tempat untuk berjualan sehingga
mengundang para pejalan kaki yang kebetulan lewat untuk membeli makanan,
minuman sekaligus beristirahat.
Pedagang kaki lima bermula tumbuh dan semakin berkembang dari
adanya krisis moneter yang melanda secara berkepanjangan yang
menimpa Indonesia pada sekitar tahun 1998 dimana salah satunya
mengakibatkan terpuruknya kegiatan ekonomi. Kebutuhan untuk tetap
bertahan hidup dengan menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, menuntut
masyarakat dengan modal keterampilan terbatas menjadi pedagang kaki
lima.Seiring perjalanan waktu para pedagang lima kaki ini tetap ada hingga
sekarang, namun ironisnya para pedagang ini telah diangggap mengganggu
para pengguna jalan karena para pedagan telah memakan ruas jalan dalam
menggelar dagangannya.
Hal ini sangat berbeda dengan sekarang, dimana antara trotoar
dengan pemukiman tidak ada jarak sama sekali, pembuatan taman-taman
yang ada di sisi pinggir jalan terkesan seadanya sehingga tidak mampu
untuk meresap air apa bila hujan. Ini fakta bukan fenomena, ini
kenyataan dan bukan rekaan. Lantas tidak sepenuhnya kesalahan itu
teralamatkan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) yang notabene memang
dirasakan sangat mengganggu para pengguna jalan. Sungguh ironis
memang, disatu sisi mereka mencari nafkah, satu sisi mereka juga
mengganggu kenyamanan para pengguna jalan.
Hal ini sangat berbeda dengan sekarang, dimana antara trotoar
dengan pemukiman tidak ada jarak sama sekali, pembuatan taman-taman
yang ada di sisi pinggir jalan terkesan seadanya sehingga tidak mampu
untuk meresap air apa bila hujan. Ini fakta bukan fenomena, ini
kenyataan dan bukan rekaan. Lantas tidak sepenuhnya kesalahan itu
teralamatkan pada Pedagang Kaki Lima (PKL) yang notabene memang
dirasakan sangat mengganggu para pengguna jalan. Sungguh ironis
memang, disatu sisi mereka mencari nafkah, satu sisi mereka juga
mengganggu kenyamanan para pengguna jalan.
Banyak kasus yang mendasari mengenai keberadaan PKL terhadap fungsi
tata ruang kota. Disatu sisi, tetap ingin menjajakan usahanya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehari-hari dan menunjang perekonomian daerah, tetapi
disisi lain perlu adanya perwujudan penataan fungsi tata ruang kota yang
memerhatikan aspek lingkungan secara optimal sehingga dapat meningkatkan
citra dari kawasan tersebut. Hal ini berarti diharapkan para PKL tetap
berjualan menjalankan usahanya untuk mendapatkan penghasilan mereka
segari-hari, tetapi tidak mengganggu optimalisasi fungsi tata ruang yang ada.
Banyak PKL yang mengalami kondisi dilematis. Disatu sisi mereka ingin
berjualan di tempat yang strategis sehingga akan lebih mudah mendapatkan
keuntungan, tetapi fungsi strategis itu mengganggu fungsi tata ruang kota
yang ada, yang berkaitan dengan fasilitas ruang publik yang terganggu.
Namun dilihat dari kacamata pengelolaan kota, yang menitik beratkan
pembangunan dan pemeliharaan sarana kota agar fungsi kota berjalan
sebagaimana mestinya, PKL menjadi masalah dalam lingkungan hidup di
mana kegiatan PKL yang memenuhi jalanan atau keliling pasar dan
meninggalkan limbah padat yang dapat mencemari lingkungan serta
mengganggu estetika kota.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas,maka peneliti tertarik untuk
melakukan sebuah penelitian dengan judul “Pengaruh Pedagang Kaki Lima
Terhadap Tatanan Kota”

B. Rumusan Masalah
Berdsarkan latar belakang dapat diidentifikasikan msalah yang akan
terjadi adalah:
1. Maraknya Pedagang Kaki Lima yang berjualan di daerah
perkotaan
2. Tidak terawatnya lingkungan perkotaan
3. Maraknya parker liar

C. Tujuan Masalah
Dari latar belakang dapat diputuskan masalah masalah yang akan di
teliti lebih dalam antara lain:
1. Mengetahui megapa banyak Pedanga Kaki Lima dilingkungan
perkotaan
2. Mengetahui bagimana cara membuat lingkungan perkotaan semakin
lebihbaik
3. Mengetahui solusi apa yang akan diberikan pemerintah terhadap
fenomena ini.

D. Kegunaan Masalah
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dpat menambah ilmu pengetahuan
sosial atau sosiologi, khususnya sosiologi keluarga, serta
menambah revernsi masyarakat dalam memahami permasalahan
seputar pedagang kaki lima dilingkungan perkotaan
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
pembelajaran dan pengetahuan lebih dalam mengenai bagaimana
cara agar para pedagang kaki lima dapat mengurangi atau
membuat tatanan kota menjadi lebih baik dan terstuktur.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Pedagang Kaki Lima


Berbicara tentang pedagang kaki lima, dimana yang sering kita kihat
di jalanan pedagang kaki lima ini tntunya banyak sekali peminatnya, karena
selain murah makanan yang dijual pun bisa dibilang enak.
Pedagang kaki lima atau disingkat PKLadalah istilah untuk
menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas
daerah milik jalan (DMJ/trotoar) yang (seharusnya) diperuntukkan untuk
pejalan kaki (pedestrian).
Menurut Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil
yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan
mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini
termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak
tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada
aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.
Menurut McGee dan Yeung (1977: 25), PKL mempunyai pengertian
yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang
menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang
untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar.
Pedagang kaki limaatau disingkat PKLadalah istilah untuk
menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas
daerah milik jalan (DMJ/trotoar) yang (seharusnya) diperuntukkan untuk
pejalan kaki (pedestrian). Ada pendapat yang menggunakan istilah
PKL untuk pedagang yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering
ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima
kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" (yang
sebenarnya adalah tiga roda, atau dua roda dan satu kaki kayu).
Menghubungkan jumlah kakidan roda dengan istilah kaki lima adalah
pendapat yang mengada-ada dan tidak sesuai dengan sejarah. Pedagang
bergerobak yang 'mangkal' secara statis di trotoar adalah fenomena yang
cukup baru (sekitar 1980-an), sebelumnya PKL didominasi oleh pedagang
pikulan (penjual cendol, pedagang kerak telor) dan gelaran (seperti tukang
obat jalanan).
Istilah pedagang kaki lima pertama kalidikenal pada zaman
Hindia Belanda,tepatnya pada saat Gubernur JenderalStanford Raffles
berkuasa. Ia mengeluarkanperaturan yangmengharuskan pedaganginformal
membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar1,2 meter dari bangunan formal di
pusat kota. Peraturan ini diberlakukanuntuk melancarkan jalur pejalan kaki
sambil tetapmemberikan kesempatan kepada pedagang informaluntuk
berdagang. Tempat pedagang informal yangberada 5 kaki dari bangunan
formal di pusat kotainilah yang kelak dikenal dengan dengan “kakilima” dan
pedagang yang berjualan pada tempattersebut dikenal dengan sebutan
“pedagang kakilima” atau PKL.
Banyak penjelasan yang dapat ditemui jika membahas mengenai PKL.
Keberadaan PKL disini sangat menarik untuk dibahas satu persatu,
misalnya mengenai dampak atas keberadaan PKL maupun mengenai cara
pemerintah untuk menata PKL tersebut. Sekilas PKL hanyalah pedagang
biasa yang menggelar dagangannya dipinggiran jalan, akan tetapi
keberadaannya sangat mengganggu kenyamanan pengguna fasilitas umum
dan juga menggangguketertiban kota. Seperti penjelasan tentang PKL
diatas, dalam hal ini jika kita membuka Kamus Umum Bahasa
Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta (1976) makna istilah kaki
lima itu mempunya arti: “lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan” dan
lantai diberi beratap sebagai penghubung rumah dengan rumah
Pedagang Kaki Lima menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer
(1991), adalah pedagang yang menjual barang dagangannya di pinggir jalan
atau di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah
dibongkar pasang atau dipindahkan serta memempergunakan bagian jalan
atau trotoar, tempat-tempat yang tidak diperuntukkan bagi tempat untuk
berusaha atau tempat lain yang bukan miliknya.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S
Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai
penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga)
dimuka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung
diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman
silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan
(serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan
suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira
lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki,
melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang
pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan.
Rais dalam Umboh, 1990. pedagang dapat diartikan sebagai penyalur
barang dan jasa-jasa perkotaan.
Manning dan Tadjudin Noer Effendi (1985) menyebutkan bahwa
pedagang kaki lima adalah salah satu pekerjaan yang paling nyata dan penting
dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur Tengah dan Amerika Latin.
Menurut Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil
yang dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan
mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini
termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak
tetap dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada
aturan hukum, hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.
Menurut McGee dan Yeung (1977: 25), PKL mempunyai pengertian
yang sama dengan ”hawkers”, yang didefinisikan sebagai orang-orang yang
menjajakan barang dan jasa untuk dijual di tempat yang merupakan ruang
untuk kepentingan umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar.

B. Pengertian Tatanan Kota


Menurut KBBI, tata kota adalah pola tata perencanaan yg terorganisasi
untuk sebuah kota dalam membangun, misalnya jalan, taman, tempat usaha,
dan tempat tinggal agar kota itu tampak apik, nyaman, indah, berlingkungan
sehat, dan terarah perluasannya pada masa depan
Menurut KBBI, tata kota adalah pola tata perencanaan yg terorganisasi
untuk sebuah kota dalam membangun, misalnya jalan, taman, tempat usaha,
dan tempat tinggal agar kota itu tampak apik, nyaman, indah, berlingkungan
sehat, dan terarah perluasannya pada masa depan.
Menurut Amos Rapoport, kota adalah suatu pemukiman yang relatif
besar, padat dan permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari
segi sosial. Kota merupakan tempat bergabungnya berbagai hal dan
merupakan kumpulan keanekaragaman banyak hal. Berbagai strata
masyarakat bergabung dalam satu tempat yang dinamakan kota. Begitu juga
dengan kegiatan ekonomi saling melengkapi dan saling bergantung. Kota juga
merupakan simbol dari kesejahteraan, kesempatan berusaha dan dominasi
terhadap wilayah sekitarnya. Namun kota juga merupakan sumber polusi,
kemiskinan dan perjuangan untuk berhasil (Zahnd, 2006).
Menurut Amos Rapoport dalam Zahnd (2006), ada sepuluh kriteria
yang secara lebih spesifik untuk merumuskan kota, yaitu sebagai berikut:
1. Ukuruan dan jumlah penduduknya yang besar terhadap massa
dan tempat
2. Bersifat permanen
3. Kepadatan minimum terhadap massa dan tempat
4. Struktur dan tata ruang perkotaan seperti yang ditunjukkan
oleh jalur jalan dan ruang-ruang perkotaan yang nyata
5. Tempat dimana masyarakat tinggal dan bekerja
6. Fungsi perkotaan minimum yang terperinci, yang meliputi
sebuah pasar, sebuah pusat administratif atau pemerintahan,
sebuah pusat militer, sebuah pusat keagamaan atau sebuah
psuat aktivitas intelektual bersama dengan kelembagan yang
sama
7. Heterogenitas dan pembedaan yang bersifat hirarki pada
masyarakat
8. Pusat ekonomi perkotaan yang menghubungkan sebuah daerah
pertanian ditepi kota dan memproses bahan mentah untuk
pemasaran yang lebih luas
9. Pusat pelayanan bagi daerah-daerah lingkungan setempat
10. Pusat penyebaran, memiliki suatu falsafah hidup perkotaan
pada masa dan tempat itu.

Teori Konsentris, yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK)


atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat
di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial,
ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat
aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua
bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau Retail Business District (RBD)
dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di
luarnya atau Wholesale Business District (WBD) yang ditempati oleh
bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar,
pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan
lama (storage buildings) (Burgess, 1925).

Teori Sektoral, menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki


pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris (Hoyt,
1939).
Teori Pusat Berganda, menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah
pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi
sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar
kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat
distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan,
teater dan lain-lain (Harris dan Ullman, 1945). Namun, ada perbedaan dengan
dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda
terdapat

C. Hasil Penelitian terdahulu


Terdapat sejumlah penelitian terdahulu yang melatarbelakangi
peneliti untuk mengembangkan “pengaruh pedagang kaki lima terhadap
tatanan kota” , yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati Madjid pada 2013, yang
mengangkat tentang Dampak pedagang kaki lima terhadap
lingkungan, hasil penelitian yang dilakukan oleh Racmawati Madjid
ini adalah Sesuai dengan fokus dan tujuan dilakukannya penelitian ini.
Maka dapat disimpulkan bahwa:
Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini banyak disebabkan
oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan,
sehingga kelompok PKL cenderung menempati badan jalan dan
trotoar bahkan bantaran sungai. Dengan modal dan biaya yang
dibutuhkan kecil, kerap mengundang pedagang yang hendak memulai
bisnis dengan modal yang kecil atau orang kalangan ekonomi lemah
yang biasanya mendirikan bisnisnya di sekitar rumah mereka.
Sayangnya upaya penertiban baru dilakukan setelah jumlah pedagang
terlanjur banyak, bukan ketika masih sedikit. Penggusuran juga baru
dilakukan ketika ada kepentingan meraih Adipura.
Peneliti yang bernama Rachmawati Madjid ini
mengungkapkan faktor faktor yang mempengaruhi terjadinya orang
berdagang kaki lima:
a) Karena sulitnya mencari lapangan kerja formal.
b) Pekerjaan pedagang kakilima dipandang relatif mudah
dilakukan karena tidak membutuhkan modal yang
besar, tidak membutuhkan biaya yang banyak untuk
membangun tempat, tidak memerlukan izin yang
formal. Kewajiban restribusi dianggap masih relatif
murah dan terjangkau.
c) Selain masyarakat masih membutuhkannya karena
alasan-alasan tertentu seperti harga di kakilima cukup
murah dan jaraknya dekat dengan pembeli, serta barang
masih asli dan baru seperti hasil pertanian.
d) Sarana perpasaran formal masih kurang mencukupi
terutama di wilayah pemukiman.
e) Berusaha sebagai pedagang kakilima dapat dianggap
kerja sambilan dan latihan pengalaman menjadi
wiraswasta.
Kesulitan memperoleh lokasi merupakan
masalah utama kelompok pedagang kakilima ini karena
lahan di perkotaan terbatas dan sudah diatur
peruntukannya berdasarkan Rencana Tata Ruang,
sehingga penggunaan lokasi yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, sudah barang tentu menimbulkan
dampak negatif.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dimana penelitian ini
sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Dr. Mudjia Rahardjo
mengatakan setidaknya ada delapan jenis penelitian kualitatif, yakni etnografi
(ethnography), studi kasus (case studies), studi dokumen/teks (document
studies), observasi alami (natural observation), wawancara terpusat (focused
interviews), fenomenologi (phenomenology), grounded theory, studi sejarah
(historical research).
B. Fokus Penelitian
Dalam penelitian atau variable adalah gejala utama berupa konsep
mengenai atribut atau sifat yang terdapat pada subjek penelitian yang hendak
diamati selanjutnya, fokus dalam penelitian ini meliputi dua hal, yaitu:
1. Fokus pada kegiatan dan lokasi yang digunakan
2. Fokus kepada ketertiban atau peraturan yang ada

Hubungan antar fokus dalam penelitian ini belum dapat ditemukan


dalam rencana penelitian dan diharapkan dapat muncul setelah melalui
tahapan analisis hasil penelitian. Oleh karena itu, jika analisis penelitian dapat
menemukan hubungan antar fokus, maka hubungan tersebut akan disajikan
dalam bagian pembahasan hasil penelitian.

C. Sumber Data Penelitian


Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data yang diperoleh dari
observasi yang dilakukan. Dimana fokus penelitian ini adalah Pengaruh
Pedagang Kaki Lima Terhadap Tatanan kota. Jadi sumber data itu
menunjukkan asal informasi. Data itu harus diperoleh dari sumber data yang
tepat, jika sumber data tidak tepat, maka mengakibatkan data yang terkumpul
tidak relevan dengan masalah yang diteliti. Sehubungan dengan wilayah
sumber data yang dijadikan sebagai subjek penelitian ini ada dua yaitu:
• Sumber Data Primer
Sumber data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Sumber
data primer juga merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau
saksi utama dari kejadian itu. Data primer juga dapat diperoleh dari hasil
observasi yang telaj dilakukan sebelumnya. Jadi, data primer ini diperoleh
secara langsung melalui pengamatan dan pencatatan dilapangan. Data primer
dalam penelitian ini diperoleh melalui obsrvasi secara langsung kepada para
pedagang kaki lima yang ada dipekanbaru.
Selain itu sumber data yang diperoleh bedasarkan hasil dari
dokumentasi yang dilakukan sebelumnya. Walaupun dengan melakukan
observasi disini peneliti juga mengambil sedikit dokumentasi.
• Sumber Data Sekunder
Sumber data skunder merupakan sumber pendukung, baik berupa
buku, artikel, jurnal ilmiah dan lain sebagainya yang relevan dengan
permasalahan yang dibahas dalam pernelitian. Sebagai bahan pendukung,
peneliti menggunakan jurnal yang relevan dengan penelitian. Selain itu,
peneliti juga menggunakan beberapa artikel sebagai pelengkap.

D. Metode Pengumpulan Data


Berdasarkan dengan penelitian yang telah dilakukan, untuk
memperoleh data yang tepat dan baik, maka diperlukan adanya metode
pengumpulan data yang tepat dan sesuai menurut msalah dan objek yang telah
diteliti. Dengan ini berdasarkan hasil penelitian disini peneliti menggunakan
beberapa metode pengumpulan data, antara lain:
a. Observasi
Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan
pengamatan langsung dan pencatatan secara sistematis terhadap
obyek yang akan diteliti. Observasi dilakukan oleh peneliti
dengan cara pengamatan dan pencatatan yang dilakukan
secara langsung.
b. Dokumentasi
Jadi, yang dimaksud dengan metode dokumentasi adalah cara
mengumpulkan data dengan jalan mencatat data penelitian yang
terdapat dalam buku-buku catatan, arsip dan lain sebagainya.
Dalam penelitian ini ada banyak data yang terhimpun baik
berbentuk arsip atau dokumen.

E. Teknik Analisis Data


Analisa data merupakan upaya mencari dan menata secara sistimatis
dari catatan hasil observasi dan dokumen. Dalam penelitian ini digunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemustan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan tranformasi
data kasar yang muncul dari datadata tertulis dilapangan.
Selain itu, reduksi data merupakan suatu bentuk analisi yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian
rupa sehingga dapat ditarik kesimpulan dan diverifikasi, cara
yang dipakai dalam reduksi data dapat melalui seleksi yang
panjang, melalui ringkasan atau singkatan menggolongkan
kedalam suatu pola yang lebih luas.
Peniliti mengumpulkan data-data yang telah dilakukan
saat proses wawancara mendalam (indepth interviewer) dari
informan-informan pada penelitian yang kemudian ditulis
langsung pada saat wawancara. Data-data mentah tersebut
kemudian direduksi agar peneliti dapat memilah data yang
relevan dan valid sesuai dengan fokus dan tujuan dari
penelitian.
2. Penyajian Data
Penyajian data yaitu sekumpulan informasi atau narasi
dalam bentuk teks naratif yang dibantu dengan tabel maupun
baga yang bertujuan mempertajam pemahaman peneliti
terhadap informasi yang di peroleh tersusun dan memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan menganalisi.
Penyajian data lebih baik merupakan suatu cara yang utama
bagian alisis kualitatif yang valid. Pada penelitian ini,
penyajian data dari hasil reduksi dilakukan dengan narasi yang
dibantu melalui tabeltabel dan bagan -bagan.
3. Verifikasi Data
Kegiatan ini merupakan suatu pengecekan kembali
pada data -data yang telah tersaji dan ada sejak pertama
memasuki lapangan serta selama proses pengumpulan data.
Peneliti melakukan suatu analisis penarikan hubungan, pola,
persamaan yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk
kesimpulan yang terbukti kebenarannya dan kegunaannya.
Kemudian hasil tersebut diuji dengan beberapa asumi-asumsi
yang selanjutnya akan dikembangkan. Pada tahapan ini semua
kategori atau data yang telah didapatkan melalui proses
analisis, ditinjau kembali berdasarkan landasan- landasan teori
yang terdapat pada bab II, sehingga didapatkan kecocokan
antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai.
4. Penarikan Kesimpulan
Mencari arti benda-benda, mencatat keterangan, pola-
pola, penjelasan, konfigurasikonfigurasi, alur sebab akibat dan
proposi. Kesimpulan-kesimpulan senantiasa diuji
kebenarannya, dan kecocokan yang merupakan validitasnya
sehingga akan memperoleh kesimpualan yang jelas
kebenaranya. Pada proses ini, peneliti melakukan penulisan
data-data hasil penelitian berdasarkan observasi mendalam
dengan informan-informan serta pengamatan mendalam
melalui observasi kepada ananda Tengku Rafifurahman. Data-
data tersebut dianalisis lebih lanjut sehingga mendapatkan
gambaran mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
penggunaan gadget pada anak usia dini. Tahap selanjutnya
adalah melakukan interpretasi data secara keseluruhan yang
didalamnya mencakup keseluruhan hasil penelitian dan
kesimpulan yang didapatkan.
DAFTAR ISI

Dinas Perdagangan dan KUMKN. 2015. Peraturan Walikota Tasikmalaya


Tentang Penataan Pedagang Kaki Lima.Tasikmalaya

Kompas., Penataan PKL. Maret 2013.

Parsuadi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, Jakarta, (ED).

Rahcmawati, Madjid. 2013. Dampak Kegiatan Pedagang Kaki Lima (Pkl)


Terhadap Lingkungan Di Dki Jakarta. Jurnal. Fakultas Ekonomi. Universitas 17
Agustus 1945 Jakarta

Anda mungkin juga menyukai