Anda di halaman 1dari 2

MEMUJI DAN MENCACI ISLAM

Oleh: Ahmad Labib Majdi, S.Hum1

Bulan Agustus adalah bulan yang bersejarah. Pada bulan ini, Kepulauan
Nusantara yang saat ini dikenal dunia dengan Indonesia mendapat kebebasan dan
kemerdekaan dari penjajah tepat pada tanggal 17 Agustus 1945. Selain itu, dalam
sejarah peradaban Islam, banyak disepakati oleh ulama bahwa jika diambil
hitungan kalender masehi atau perhitungan syamsiyah, maka pada 6 Agustus
sekitar tahun 610-611, Nabi Muhammad mendapatkan wahyu pertama surat al-
Alaq 1-5. Dengan demikian, bukan berlebihan jika bulan Agustus ini sebagai
salah satu bulan yang memberikan banyak kenangan indah.
Setidaknya, melalui pengungkapan dua peristiwa besar di atas, saya ingin
menyatakan bahwa sebetulnya bulan Agustus bagi muslim Indonesia saat ini harus
disambut dengan sukacita. Bukan hanya disebabkan adanya kemerdekaan, namun
sebab wahyu pertama turun pun pada bulan ini. Tidak selayaknya, orang-orang
muslim memaci maki dan cenderung membenci seremonial yang biasa dilakukan
pada tanggal 17 nanti.
Meskipun demikian, kecenderungan hidup saat ini berbeda dan pengelompokkan
pun sudah begitu rumit, jika tidak dikatakan kacau dan buruk, mendera umat
Islam Indonesia. Umat Islam Indonesia saat ini tengah dalam kondisi galau,
gundah gulana. Di satu sisi, beberapa kelompok meyakini betul bahwa Indonesia
adalah sebuah Negara Perjanjian, sehingga mereka terikat akad dan janji untuk
tetap berada di bawah panji Indonesia. Di sisi lain, terdapat kelompok yang
berpikiran bahwa Indonesia dengan sistem demokrasi adalah sebuah Negara yang
tidak dapat rahmat Tuhan, jika tidak dikatakan kafir. Anggapan mereka
berdasarkan, pemahaman mereka terhadap adanya sistem pemerintahan yang
diyakini berasal dari ajaran Islam, sehingga memandang demokrasi yang dianut
oleh pemerintahan sekarang sebagai sistem kufur.
Kelompok kedua ini, yang entah pantas untuk disebut apa, memang telah
memberikan warna tersendiri bagi variasi keberagamaan di Indonesia. Akan

1
Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat Tangerang Selatan.
tetapi, yang sangat disayangkan adalah pandangan-pandangan mereka yang
cenderung eksklusif. Seakan-akan memutlakan bahwa kebenaran hanya milik
mereka. Selain kelompok mereka adalah orang orang tersesat yang jika tidak ingin
diluruskan boleh untuk dihapuskan (red: bunuh). Dengan demikian, beberapa
kalangan menyebut mereka sebagai kaum radikal atau fundamental.
Saya sendiri cenderung untuk menahan diri memberikan sebuah tipologi yang
belum jelas makna dan asal-usul penamaan tersebut. Sebab, kata radikal atau
fundamental pada dasarnya memiliki kesamaan arti dengan kata ushul dalam
bahasa Arab. Dan ushul sering diartikan dalam bahasa Indonesia dengan dasar,
asas, fondasi, dsb. Akan tetapi, pada perkembangannya penamaan radikal atau
fundamental justru seolah tidak tepat sebab jika asumsi saya benar, makna radikal
sekarang justru seolah menunjukkan kepada tindakan-tindakan kekerasan dan
brutal, yang dalam pandangan saya lebih tepat untuk disebut anarkis daripada
radikal atau fundamental. Memang, kelompok ini radikal atau fundamental sebab
mereka ingin mengembalikan kehidupan dewasa ini sesuai konteks dengan
kehidupan kejayaan masa lampau yang menurut mereka sesuai dengan al-Quran
dan al-Sunnah. Sorotan publik saya kira tidak sepenuhnya melihat pada apa yang
ingin dibawa mereka, melainkan justru karena kepintaran sosialisasi media dan
berita yang mampu menyorot lebih pada tindakan-tindakan kekerasan yang
berujung pada munculnya stigmatisasi Islam. Lalu apa yang dapat dilakukan umat
Islam Indonesia saat ini? Bagaimana tindakan tepat dalam menyikapinya?
Mengapa harus Islam? Jawaban dari pertanyaan ini akan berusaha diungkapkan di
lain kesempatan.

Anda mungkin juga menyukai