Anda di halaman 1dari 8

Nama : Tifani Nadine Sekar Kinanti

NIM : 1810112215

Kelas : Perpajakan – A

Resume Materi

Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Di dalam perpajakan terdapat ketentuan-ketentuan yang harus diketahui oleh para


Wajib Pajak. Tidak hanya itu tetapi juga tata cara bagaimana 1`wmembayar perpajakan.
Wajib pajak sebagai objek yang membayar pajak tentunya memiliki hak dan kewajiban
dalam perpajakan. Kewajiban seorang wajib pajak adalah sebagai berikut :

1. Memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dengan cara mendaftarkan diri
ke kantor pajak jika telah memenuhi syarat subjektif dan objektif
2. Jika ia memiliki usaha, wajib pajak harus melaporkan usahanya ke Kantor Pajak
3. Mengisi surat pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan juga jelas
4. Membayar pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) beserta nominal
pajak yang terutang. Pajak dibayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
5. Membuat pencatatan atau pembukaan
6. Wajib pajak harus bersifat kooperatif kepada pemeriksa pajak

Sedangkan hak-hak yang dapat diperoleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut :
1. Melaporkan masa pajak dengan satu Surat Pemberitahuan Masa (SPT)
2. Dapat mengajukan surat keberatan ke Direktorat Jenderal Pajak atas :
- SKP kurang bayar
- SKP kurang bayar tambahan
- Surat Ketetapan Nihil
- Permohonan atau pemungutan pajak oleh pihak Ketika
3. Dapat mengajukan banding kepada Badan Peradilan Pajak
4. Dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT PPh dengan
ketentuan paling lama 2 bulan. Untuk mengajukan ini dapat mengirim
pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
5. Dapat membetulkan SPT jika Direktur Jenderal Pajak belum melakukan
pemeriksaan
6. Dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak
7. Dapat memperoleh pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi
8. Dapat menunjuk seorang kuasa untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban.

Semua kewajiban beserta hak-hak para wajib pajak harus diikuti dan memenuhi
kriteria peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia. Karena
kewajiban wajib pajak harus dipenuhi maka wajib pajak harus mengetahui dimana tempat,
bagaimana cara pembayaran, dan juga batas waktu pembayaran pajak. Berdsarkan PMK No
2422/PMK.3/2014 tentang tata cara pembayaran dan penyetoran pajak tempat pembayaran
wajib pajak saat ini dilakukan secara elektronik atau billing system sedangkan sarana untuk
pembayaran pajak dapat menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi
lain yang ditentukan oleh Direktor Jenderal Pajak dan telah divalidasi dengan Nomor
Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN). Lalu wajib pajak dapat membayar pajak dengan cara;

1. Membayar sendiri pajak terutang (PPh pasal 25 dan pasal 29)


2. Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh pasal 23, PPh pasal 4
ayat 2, PPh pasal 21, dan PPh pasal 26)
3. Melalui pembayaran pajak di luar negeri (PPh pasal 24)
4. Melalui pajak lain (PBB, BPHTB, dan materai)

Berdasarkan Pasal 9 ayat 1, PMK No.184/PMK.03/2007 Jo. PMK


No.80/PMK.03/2010, batas waktu penyetoran pajak adalah sebagai berikut :

1. Tanggal 10 bulan berikut :


a. PPh Pasal 4 ayat 2, Pasal 15, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26 yang dipotong oleh
pemotong pajak
b. PPh pasal 22 atas BBM, gas, dan pelumas
c. PPh pasal 22 yang dipungut oleh wajib pajak badan tertentu
2. Tanggal 15 bulan berikut :
a. PPh pasal 4 ayat 2, Pasal 15 yang diselesaikan sendiri
b. PPh pasal 25
c. PPN atas kegiatan membangun sendiri
d. PPN atas pemanfaatan BKP-TB atau JKP dari luar daerah pabean
e. PPN dan PPnBM yang dipungut oleh selain bendaharawan pemerintah.
3. Satu hari kerja setelah pemungutan :
a. PPh Pasal 22, PPn, dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Ditjen Bea
Cukai
4. Satu hari pemungutan :
a. PPh pasal 22 yang dipungut oleh bendaharawan negara
b. PPn dan PPnBM yang dipungut oleh Pejabat Penandatanganan SPM
5. Tanggal 7 bulan berikut :
a. PPN dan PPnBM yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah
6. Akhir masa pajak terakhir :
a. PPh Pasal 25 bagi wajib pajak dengan kriteria tertentu
7. Akhir bulan berikut :
a. PPN atas kegiatan membangun sendiri oleh Wajib pajak non Pengusaha Kena
Pajak
b. PPN atas pemanfaatan BPK-TB atau JKP dari luar daerah pabean oleh Wajib
pajak non Pengusaha Kena Pajak
8. 20 haru setelah masa pajak terakhir :
a. PPh Pasal 25 dan pembayaran masa lain bagi Wajib pajak dengan kriteria
tertentu

Batas penyetoran ini jika bertepatan dengan hari libur maka dapat dimundurkan satu
hari kerja. Berdasarkan pasal yang sama, batas waktu pelaporan pajak adalah sebagai
berikut :

1. Tanggal 20 bulan berikut (SPT masa PPh) :


a. PPh Pasal 4 ayat 2, Pasal 15, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 26 yang dipotong oleh
pemotong pajak
b. PPh pasal 22 atas BBM, gas, dan pelumas
c. PPh pasal 22 yang dipungut oleh wajib pajak badan tertentu
2. Akhir bulan berikut (SPT masa PPN) :
a. PPN atas kegiatan membangun sendiri oleh Wajib pajak non Pengusaha Kena
Pajak
b. PPN atas pemanfaatan BPK-TB atau JKP dari luar daerah pabean oleh Wajib
pajak non Pengusaha Kena Pajak
3. PPh 29 memiliki tanggal jatuh tempo dan harus disetorkan sebelum pelaporan
SPT tahunan.
Tentunya jika wajib pajak terlambat atau tidak membayar dan menyetor utang
pajaknya maka ada sanksi administrasi yang akan diberikan yaitu tambahan bunga 2%
perbulan sejak tanggal jatuh tempo hingga dibayarkan (bulan dihitung satu bulan penuh).
Sedangkan untuk Suat Keputusan harus dilunasi maksimal 1 bulan sejak penerbitan dan
khusus untuk wajib pajak usaha kecil dan wajib pajak yang tinggal didaerah tertentu dapat
diperpanjangn hingga maksimal 2 bulan.

Didalam dunia perpajakan pasti akan menimbulkan suatu kegiatan perekonomian


yang tentunya harus dilakukan pencatatan dan pembukuan sehingga dapat mencegah
kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi. Di bidang perpajakan ini, pastinya juga telah diatur
mengenai pembukuan. Sesuai dengan pasal 28 UU KUP, pembukuan ini harus mencatat
secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta,
kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa.
Selanjutnya, pembukuan ini dapat ditutup dengan menyusun neraca dan laporan laba rugi.

Pasal 28 ayat (1) dan (2) menyatakan juga mengenai kewajiban dalam pembukuan.
Berdasarkan pasal ini subjek yang wajib melaksanaka pembukuan adalah Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan Wajib Pajak Badan. Sedangkan yang wajib
untuk melaksanakan pencatatan sebagai mengganti pembukuan adalah Wajib Pajak Orang
Pribadi yang diizinkan dengan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto (NPPN)
dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha.

Pasal 28 ayat (3), (4), (5), dan (7) menjelaskan mengenai syarat pembukuan yang
dimana harus meliputi sebagai berikut :

1. Harus mencerminkan itikad baik, keadaan, atau kegiatan usaha yang sebenarnya
2. Diselenggarakan di Indonesia
3. Menggunakan huruf latin dalam penulisannya dan boleh menggunakan angka
dalam Bahasa arab
4. Menggunakan satuan mata uang rupiah
5. Dapat menggunakan Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris
6. Pembukuannya menggunakan metode akrual atau metode cash basis
7. Dalam pembukuannya minimal terdiri dari harta, kewajiba, modal, penghasilan
dan biaya, serta penjualan dan pembelian.

Berdasarkan pasal 28 Ayat (6), pembukuan dapat diubah (hanya tahun buku dan
metode pembukuan) dengan menggunakan syarat jika memperoleh persetujuan dari Dirjen
Pajak dan dilakukan sebelum dimulainya tahun buku disertai dengan alasan yang jelas
mengapa dibutuhkannya perubahan. Jika pembukuan menggunakan bahasa dan mata uang
asing (sesuai pasal 28 ayat (8) dan PMK No. 24/PMK.03/2012) dapat dilakukan dengan
memperolah izin Menteri keuangan apabila Wajib pajak sedang menanam modal asing,
merupakan bentuk usaha tetap, terdaftar di bursa efek Luar Negeri, KIK menerbitkan
reksadana berbentuk dollar Amerika Serikat, berafiliasi dengan perusahaan induk luar negeri.
Sedangkan untuk wajib pajak dalam kontrak karya dan wajib pajak kontraktor kontrak kerja
sama dapat memberitahukan kepada kantor pelayanan pajak setempat secara tertulis.

Pencatatan telah diatur dalam pasal 28 ayat (9), PMK No.197/PMK.03/2007 bahwa
pencatatan digunakan untuk dasar dalam penentuan jumlah pajak terutang. Pencatatan
mengumpulkan data mengenai peredaran atau penerimaan bruto usaha, penghasilan bruto
dari luar usaha, penghasilan bukan objek, penghasilan dikenai PPh final, harta dan kewajiban.
Syaratnya pun juga telah diatur di pasal 28 ayat (12), PMK N0.197/PMK.03/2017 Jo. Per
No.4/PJ./2009 dimana pencatatan harus dilaksanakan berdasarkan metode stelsel kas, jangka
waktu pencatatannnya 12 bulan (sejak 1 januari hingga 31 desember), pencatatannya
dilaksanakan sesuai transaksi, dicatat dalam Bahasa Indonesia dan mata uang rupiah,
didukung dengan dokumen ataupun bukti yang disimpan minimal jangka 10 tahun.

Didalam pasal 1 ayat (25) dan pasal 29 ayat (29) dijelaskan mengenai pemeriksaan
dimana pemeriksaan ini untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Selain
itu, tujuan dari pemeriksaan untuk memberikan NPWP secara jabatan, penghapusan NPWP,
pengukuhan dan pencabutan pengukuhan PKP jika wajib pajak mengajukan keberatan,
pengumpulan bahan penyusunan NPPN, mencocokkan data dan keterangan, menentukan
wajib pajak di lokasi terpencil, menentukan tempat terutang PPN, memeriksa penagihan
pajak, menentukan kapan mulai berproduksi, memenuhi permintaan informasi negara mitra
P3B. pasal 29 ayat (3) dan (4) menjelaskan bahwa kewajiban wajib pajak untuk merahasiakan
informasi terkait pembukuan ditiadakan atas kepentingan pemeriksaan.

Dalam pemeriksaan ini, pemeriksa tidak dapat semena-mena juga ia harus


memberikan tanda pengenal pemeriksa dan surat perintah pemeriksaan. Setelah dilakukan
pemeriksaan, pemeriksa juga dapat melakukan penyegelan jika wajib pajak tidak memberi
kesempatan untuk memasuki objek penyegelannya, wajib pajak tidak memberi bantuan untuk
melancarkan pemeriksaan, wajib pajak tidak berada ditempat saat diperiksa.
Berdasarkan pasal 1 ayat (14) dan pasal 12 ayat (1), dijelaskan bahwa terdapat
beberaa jenis Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang terdiri dari :

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)


Surat ini terdapat pada pasal 13 ayat (1) dan (2), dimana surat ini dapat
diterbitkan dalam jangka waktu 5 tahun jika pajak terutang tidak/kurang bayar, WP
memperoleh NPWN/pengukuhan PKP secara jabatan. Pajak kurang bayar dapat
dikneai sanksi 2% bunga per bulan sejak saat terutang hingga penerbitan SKPKB.

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)


Surat ini terdapat pada pasal 15, dijelaskan bahwa surat ini diterbitkan dalam
jangka waktu 5 tahun sejak saat terutang. Surat ini diterbitkan karena adanya
penemuan data baru, Wajib Pajak dikenai kenaikan 100% dari pajak terutang jika data
ditemukan saat pemeriksaan, Wajib pajak tidka dikenai kenaikan jika data dilaporkan
sendiri sebelum pemeriksaan. SKPKBT ini juga dapat diterbitkan lebih dari 5 tahun
jika WP dikenai pidana perpajakan dan WP dikenai sanksi bungsa 48% dari pajak
yang kurang dibayar.
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat ini terdapat pada Pasal 17A, SKPN diterbitkan setelah pemeriksaan SPT jika
kredit pajak yang dibayar sama dengan pajak terutang/dibayar hingga nilai
terutangnya nol.
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat ini terdapat pasal 17 dan 17B, surat ini dapat diterbitkan jika adanya
pemberitahuan dari Wajib pajak yang menyatakan adanya kelebihan dalam
pembayaran, lalu Dirjen pajak akan memeriksa kebenarannya dan jika ditemukan
baru dapat diterbitkan. Surat ini juga dapat terbit lebih dari satu kali.
5. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran (SKPPKP)
Pada pasal 17C ayat (1), (4), dan (5) dijelaskan bahwa wajib pajak dengan kriteria
tertentu dapat megajukan permohonan, Dirjen Pajak melakukan penelitian mengenai
kebenaran keterangan tersebut. Surat ini dapat diterbitkan maksimal 3 bulan untuk
PPh dan 1 bulan untuk PPN sejak permohonan tersebut diterima.

Dalam penagihan pajak juga dapat dikenakan bunga penagihan seperti pajak terutang
yang berdasarkan SKPKB, SKPKBT, SK pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding atau
Putusan Peninjauan Kembali ini dapat dikenakan sejak jatuh tempo pembayaran hingga saat
dibayar atau penerbitan STP. Selain itu, pajak terutang akibat izin pengangsuran/penundaan
pembayaran, kekurangan pembayaran akibat izin penundaan laporan SPT Tahunan ini
dikenakan sejak jatuh tempo pelaporan umum hingga saat pembayaran. Penagihan pajak
dapat dilakukan dengan surat paksa. Menurut pasal 20, surat paksa diterbitkan untuk menagih
pajak akibat STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, dan
Putusan Peninjauan Kembali yang tidak dibayar sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan.

Penanggung pajak dijelaskan pada pasal 1 ayat (28) dan pasal 32 ayat (4),
penanggung jawab ini merupakan pihak yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak
biasanya adalah orang pribadi, badan, wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban
wajib pajak, atau orang yang berwenang menentukan kebijakan perusahaan. Para Wajib
Pajak juga memiliki hak untuk pengajuan keberatan. Mereka berhak meminta dan Dirjen
Pajak juga wajib memberikan keterangan mengenai dasar pemotongan atau pemungutan
pajak dan dasar perhitungan rugi. Hak ini dijelaskan pada Pasal 25 ayat (6) dan PMK
No.194/PMK.03/2007.

Untuk menyelesaikan surat keberatan, Dirjern Pajak wajib membuat keputusan


maksimal 12 bulan sejak penerimaan Surat Keberatan berupa menerima
seluruhnya/meneriman sebagian/menolak/menambah jumlah pajak terutang. Dan jika jangka
waktu nya terlewati maka surat ini dinyatakan diterima. Terkait sanksi mengenai
penyelesaian keberatan tertuang pada pasal 25 ayat (9) dan (10), dimana pengajuan keberatan
ditolak atau diterima Sebagian, wajib pajak akan dikenai sanksi denda 50% dari selisih pajak
terutang berdasarkan keputusan keberatan dan pajak yang telah dibayar dan sanksi dapat
tidak berlaku jika wajib pajaknya mengajukan permohonan banding.

Para Wajib Pajak hanya dapat mengajukan banding dengan syarat apabila
permohonan ditolak atau diterima sebagian, Wajib pajak dikenai sanksi denda 100% dari
selisih pajak terutang menurut putusan banding dan pajak yang telah dibayar. Wajib pajak
dapat membuat permohonan dengan tertulis dalam Bahasa Indonesia, disertai alasan yang
jelas, diajukan maksimal 3 bulan sejak penerimaan surat keputusan keberatan, dilampiri
Salinan surat keputusan keberatan, jangka waktu pelunasannya terkait ditangguhkan hingga 1
bulan sejak penerbitan putusan banding, dan jumlah pajak terutang bukan merupakan utang
pajak.

Anda mungkin juga menyukai