Anda di halaman 1dari 30

 

 
 

 
MENGENAL TENTANG MIASTENIA GRAVIS DAN
PENATALAKSANAANNYA
Oleh:
Fahrun Nur Rosyid
Bagian Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surabaya
Email: fahrunrosyid@yahoo.co.id

Abstract
Myastenia gravis may cause paralysis due to the mobility of neuromuscular
connections to deliver signals from nerve fibers to muscle fiber. This disease
occurs due to disruption of synaptic transmission at neuromuscular junction.
Prior understanding of myastenia gravis, knowledge of anatomy and normal
function of the neuromuscular junction is very important. Presinaptic membrane
(membrane of nerve), post synaptic membrane (muscle membrane), and the
synapse is a gap forming parts of the neuromuscular junction. Immunoigenic
mechanism plays a very important in the pathophysiology myastenia gravis where
antibodies are the product ofB cells in fact against the acethylcholine receptor.
Management myasatenia gravis can be done with drugs thymomectomy or with
immunomodulating and immunosuppressive therapy that can provide a good
prognosis in mystenia gravis healing.

Key word: Mystenia gravis, and management.

PENDAHULUAN Bila penyakit tersebut cukup parah,


Miastenia gravis, yang terjadi penderita meninggal akibat paralisis
pada kira-kira 1 dari 20.000 orang, terutama, paralisis otot pernapasan
menyebabkan kelumpuhan akibat (Guyton & Hall, 1997).
ketidakmampuan sambungan Miastenia gravis adalah salah
neuromuskular untuk menghantarkan satu karakteristik penyakit autoimun
sinyal dari serat saraf ke serat otot. pada manusia. Selama beberapa
Secara patologis, dalam darah dekade terakhir telah dilakukan
sebagian besar penderita miastenia penelitian tentang gejala miastenia
gravis terlihat antibodi yang pada kelinci yang diimunisasi dengan
menyerang protein transpor acetylcholine receptor (AchR).
bergerbang asetilkolin. Oleh karena Sedangkan pada manusia yang
itu, ada anggapan bahwa miastenia menderita miastenia gravis,
gravis merupakan penyakit autoimun ditemukan adanya deflsiensi dari
karena pada penderita ini terbentuk acetylcholine receptor (AchR) pada
antibodi yang melawan saluran ion neuromuscular junction. Pada tahun
teraktivasi asetilkolin miliknya 1977, karakteristik autoimun pada
sendiri. Tanpa memperhatikan miastenia gravis dan peran patogenik
penyebabnya, potensial lempeng dari antibodi AchR telah berhasil
akhir yang timbul di dalam serat otot ditemukan melalui beberapa
terlalu lemah untuk dapat penelitian. Hal ini meliputi
merangsang serat otot secara adekuat. demonstrasi tentang sirkulasi antibodi
19

 
AchR pada hampir 90% penderita imunosupresif dapat memberikan
miastenia gravis, transfer pasif IgG prognosis yang baik pada penyakit
pada beberapa bentuk penyakit dari ini.
manusia ke tikus, lokalisasi imun Ironisnya, beberapa dari terapi
kompleks (IgG dan komplemen) pada ini justru diperkenalkan saat
membran post sinaptik, dan efek pengetahuan dan pengertian tentang
menguntungkan dari plasmaparesis imunopatogenesis masih sangat
(Engel,1984) kurang (Lewis, 1995).
Kemudian terdapat
perkembangan dalam DEFINISI MIASTENIA GRAVIS
pengertian tentang struktur dan fungsi Miastenia gravis adalah suatu
dari AchR serta interaksinya dengan kelainan autoimun yang ditandai oleh
antibodi AchR. Hubungan antara suatu kelemahan abnormal dan
konsentrasi, spesifisitas, dan fungsi progresif pada otot rangka yang
dari antibodi terhadap manifestasi dipergunakan secara terus-menerus
klinik pada miastenia gravis telah dan disertai dengan kelelahan saat
dianalisis dengan sangat hati-hati, dan beraktivitas (Ngoerah, 1991; Howard,
mekanisme dimana antibodi AchR m 2008). Bila penderita beristirahat,
e m p e n g a r u h i transmisi maka tidak lama kemudian kekuatan
neuromuskular telah diinvestigasi otot akan pulih kembali. Penyakit ini
lebih jauh (Engel , 1984). Kelainan timbul karena adanya gangguan dari
miastenik yang terjadi secara genetik synoptic transmission atau pada
atau kongenital, dapat terjadi karena neuromuscular junction (Ngoerah,
berbagai faktor. Hal ini menyebabkan 1991).
sindrom miastenik kongenital banyak
diteliti dan diinvestigasi. Akhirnya, EPIDEMIOLOGI
kelainan pada transmisi Miastenia gravis merupakan
neuromuskular yang berbeda dari penyakit yang jarang ditemui, dan
miastenia gravis yaitu The Lambert- dapat terjadi pada berbagai usia.
Eaton Myasthenic Syndrome ternyata Biasanya penyakit ini lebih sering
juga merupakan kelainan yang tampak pada usia 20-50 tahun.
berbasis autoimun. Pada sindrom ini, Wanita lebih sering menderita
zona partikel aktif dari membran penyakit ini dibandingkan pria. Rasio
presinaptik merupakan target dari perbandingan wanita dan pria yang
autoantibodi yang patogen baik menderita miastenia gravis adalah 6
secara langsung maupun tidak :4. Pada wanita, penyakit ini tampak
langsung (Engel , 1984). Walaupun pada usia yang lebih muda, yaitu
terdapat banyak penelitian tentang sekitar 28 tahun, sedangkan pada
terapi miastenia gravis yang berbeda- pria, penyakit ini sering terjadi pada
beda, tetapi tidak dapat diragukan usia 42 tahun (Ngoerah, 1991;
bahwa terapi imunomodulas i dan Howard, 2008).

20 

 
neuromuscular junction (Howard,
ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN 2008).
BIOKIMIA NEUROMUSCULAR Fisiologi dan Biokimia
JUNCTION Neuromuscular Junction Celah sinaps
merupakan jarak antara membran
Anatomi Neuromuscular Junction presinaptik dan membran post
Sebelum memahami tentang sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-
miastenia gravis, pengetahuan 30 nanometer dan terisi oleh suatu
tentang anatomi dan fungsi normal lamina basalis, yang merupakan
dari newomuscular junction sangatlah lapisan tipis dengan serat retikular
penting. Tiap-tiap serat saraf secara seperti busa yang dapat dilalui oleh
normal bercabang beberapa kali dan cairan ekstraselular secara difusi
merangsang tiga hingga beberapa (Newton, 2008). Terminal presinaptik
ratus serat otot rangka. Ujung-ujung mengandung vesikel yang
saraf membuat suatu sambungan didalamnya berisi asetilkolin (ACh).
yang disebut neuromuscular junction Asetilkolin disintesis dalam
atau sambungan neuromuscular sitoplasma bagian terminal namun
(Howard, 2008; Newton, 2008). dengan cepat diabsorpsi ke dalam
Bagian terminal dari saraf motorik sejumlah vesikel sinaps yang kecil,
melebar pada bagian akhirnya yang yang dalam keadaan normal terdapat
disebut terminal bulb, yang di bagian terminal suatu lempeng
terbentang diantara celah-celah yang akhir motorik (motor end plate)
terdapat di sepanjang serat saraf. (Howard, 2008; Newton, 2008).
Membran presinaptik (membran Bila suatu impuls saraf tiba di
saraf), membran post sinaptik neuromuscular junction, kira-kira 125
(membran otot), dan celah sinaps kantong asetilkolin dilepaskan dari
merupakan bagian-bagian pembentuk terminal masuk ke dalam celah

21

 
sinaps. Bila potensial aksi menyebar proses ini akan membuka saluran
ke seluruh terminal, maka akan Ca:+ yang sensitive terhadap
terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke voltase listrik sehingga
bagian dalam terminal. Ion-ion memungkinkan aliran masuk
kalsium ini kemudian diduga Ca2" dari ruang sinaps ke
mempunyai pengaruh tarikan terminal saraf. Ion Ca2+ ini
terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa memerankan peranan yang
vesikel akan bersatu ke membran esensial dalam eksositosis yang
saraf dan mengeluarkan melepaskan asitilkolin (isi kurang
asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. lebih 125 vesikel) ke dalam
Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi rongga sinaps.
sepanjang sinaps dan berikatan 4. Asetilkolin yang dilepaskan akan
dengan reseptor asetilkolin (AChRs) berdifusi dengan cepat melintasi
pada membran post sinaptik celah sinaps ke dalam reseptor di
(Howard, 2008; Newton, 2008). dalam lipatan taut (junctional
Menurut Murray (1999) secara fold), merupakan bagian yang
biokimiawi keseluruhan proses pada menonjol dari motor end plate
neuromuscular junction dianggap yang mengandung reseptor
berlangsung dalam 6 tahap, yaitu: asetilkolin (AChR) dengan
1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam kerapatan yang tinggi dan sangat
sitosol terminal saraf dengan rapat dengan terminal saraf.
menggunakan enzim kolin as ti Kalau 2 molekul asetilkolin
1ransferase yang mengkatalisasi terikat pada sebuah reseptor,
reaksi berikut ini: Asetil-KoA+ maka reseptor ini akan
Kolin a Asetilkolin + KoA mengalami perubahan bentuk
2. Asetilkolin kemudian disatukan dengan membuka saluran dalam
ke dalam partikel kecil terikat- reseptor yang memungkinkan
membran yang disebut vesikel aliran kation melintasi membran.
sinap dan disimpan di dalam Masuknya ion Na+ akan
vesikel ini. menimbulkan depolarisasi
3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel membran otot sehingga terbentuk
ke dalam celah sinaps merupakan potensial end plate. Keadaan ini
tahap berikutnya. Peristiwa ini selanjutnya akan menimbulkan
terjadi melalui eksositosis yang depolarisasi membran otot di
melibatkan fusi vesikel dengan dekatnya dan terjadi potensial
membran presinaptik. Dalam aksi yang ditransmisikan
keadaan istirahat, kuanta tunggal disepanjang serabut saraf
(sekitar 10.000 molekul sehingga timbul kontraksi otot.
transmitter yang mungkin sesuai 5. Kalau saluran tersebut menutup,
dengan isi satu vesikel sinaps) asetilkolin akan terurai dan
akan dilepaskan secara spontan dihidrolisis oleh enzim
sehingga menghasilkan potensial asetilkolinesterase yang
endplate miniature yang kecil. mengkatalisasi reaksi berikut:
Kalau sebuah akhir saraf Asetilkolin + H,O a Asetat +
mengalami depolarisasi akibat Kolin Enzim yang penting ini
transmisi sebuah impuls saraf, terdapat dengan jumlah yang
22 

 
besar dalam lamina basalis delta, dan gamma. Melekatnya
rongga sinaps asetilkolin memungkinkan natrium
6. Kolin didaur ulang ke dalam dapat bergerak secara mudah
terminal saraf melalui mekanisme melewati saluran tersebut, sehingga
transport aktif di mana protein akan terjadi depolarisasi parsial dari
tersebut dapat digunakan kembali membran post sinaptik. Peristiwa ini
bagi sintesis asetilkolin. akan menyebabkan suatu perubahan
Setiap reseptor asetilkolin potensial setempat pada membran
merupakan kompleks protein besar serat otot yang disebut excitatory
dengan saluran yang akan segera postsynaptic potential (potensial
terbuka setelah melekatnya lempeng akhir). Apabila pembukaan
asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari gerbang natrium telah mencukupi,
5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, maka akan terjadi suatu potensial aksi
dan masing-masing satu protein beta,
The Neuromuscular Junction

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction (Newton, 2008).


pada membran otot yang 2. Merupakan glikoprotein
selanjutnya menyebabkan kontraksi bermembran dengan berat
otot. (Howard, 2008; Newton, 2008). molekul sekitar275kDa.
Menurut Murray (1999) beberapa 3. Mengandung lima subunit, terdiri
sifat dari reseptor asetilkolin di dari ?,???
neuromuscularjunction adalah 4. Hanya subunit ? yang mengikat
sebagai berikut: asetilkolin dengan afinitas tinggi.
1. Merupakan reseptor nikotinik 5. Dua molekul asetilkolin harus
(nikotin adalah agonis terhadap berikatan untuk membuka saluran
reseptor) ion, yang memungkinkan aliran
baik Na+ maupun K4.

23 

 
6. Bisa ular ?-bungarotoksin sebagai "penyakit terkait sel B",
berikatan dengan erat pada dimana antibodi yang merupakan
subunit - ? dan dapat digunakan produk dari sel B justru melawan
untuk melabel reseptor atau reseptor asetilkolin. Peranan sel T
sebagai suatu ligand berafinitas pada patogenesis miastenia gravis
untuk memurnikannya. mulai semakin menonjol. Timus
7. Autoantibody terhadap reseptor merupakan organ sentral terhadap
termasuk penyebab miastenia imunitas yang terkait dengan sel T.
grafis. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma,
PATOFISIOLOGI biasanya muncul lebih awal pada
Mekanisme imunogenik pasien dengan gejala miastenik
memegang peranan yang sangat (Howard, 2008).
penting pada patofisiologi miastenia Pada pasien miastenia gravis,
gravis. Observasi klinik yang antibodi IgG dikomposisikan dalam
mendukung hal ini mencakup berbagai subklas yangberbeda,
timbulnya kelainan autoimun yang dimana satu antibodi secara langsung
terkait dengan pasien yang menderita melawan area imunogenik utama
miastenia gravis, misalnya autoimun pada subunit alfa. Subunit al'fa juga
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, merupakan binding site dari
arthritis rheumatoid, dan lain-lain asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor
(Howard, 2008) asetilkolin pada reseptor asetilkolin
Sejak tahun 1960, telah akan mengakibatkan terhalangnya
didemonstrasikan bagaimana transmisi neuromuskular melalui
autoantibodi pada serum penderita beberapa cara, antara lain : ikatan
miastenia gravis secara langsung silang reseptor asetilkolin terhadap
melawan konstituen pada otot. Hal antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
inilah yang memegang peranan mengurangi jumlah reseptor
penting pada melemahnya otot asetilkolin pada neuromuscular
penderita dengan miatenia gravis. junction dengan cara menghancurkan
Tidak diragukan lagi, bahwa sambungan ikatan pada membran
antibody pada reseptor nikotinik post sinaptik, sehingga mengurangi
asetilkolin merupakan penyebab area permukaan yang dapat
utama kelemahan otot pasien dengan digunakan untuk insersi reseptor-
miastenia gravis. Autoantibodi reseptor asetilkolin yang baru
terhadap asetilkolin reseptor (anti- disintesis (Howard, 2008).
AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired GEJALAKLINIS
myasthenia gravis generalisata Miastenia gravis
(Lewis ,1995) dikarakteristikkan melalui adanya
Mekanisme pasti tentang kelemahan yang berfluktuasi pada
hilangnya toleransi imunologik otot rangka dan kelemahan ini akan
terhadap reseptor asetilkolin pada meningkat apabila sedang
penderita miastenia gravis belum beraktivitas. Penderita akan merasa
sepenuhnya dapat dimengerti. ototnya sangat lemah pada siang hari
Miastenia gravis dapat dikatakan dan kelemahan ini akan berkurang
24 

 
apabila penderita beristirahat pallatum molle, dan laring sehingga
(Howard, 2008). Gejala klinis timbullah
miastenia gravis antara lain : kesukaran menelan dan
Kelemahan pada otot berbicara. Paresis dari pallatum molle
ekstraokular atau ptosis akan menimbulkan suara sengau.
Ptosis yang merupakan salah Selain itu bila penderita minum air,
satu gejala kelumpuhan nervus mungkin air itu dapat keluar dari
okulomotorius, seing menjadi hidungnya.
keluhan utama penderita miastenia
gravis. Walupun pada miastenia KLASIFIKASI MIASTENIA
gravis otot levator palpebra jelas GRAVIS
lumpuh, namun ada kalanya otot-otot Menurut My asthenia Gravis
okular masih bergerak normal. Tetapi Foundation of America (MGFA),
pada tahap lanjut kelumpuhan otot miastenia gravis dapat
okular kedua belah sisi akan diklasifikasikan sebagai berikut:
melengkapi ptosis miastenia gravis7. 1) Klas I, adanya kelemahan otot-
Kelemahan otot bulbar juga sering otot okular, kelemahan pada saat
terjadi, diikuti dengan kelemahan menutup mata, dan kekuatan
pada fleksi dan ekstensi kepala otot-otot lain normal.
(Howard, 2008). 2) Klas II, terdapat kelemahan otot
okular yang semakin parah, serta
Gambar 3. Penderita Miastenia adanya kelemahan ringan pada
Gravis yang mengalami kelemahan otot-otot lain selain otot okular.
otot esktraokular (ptosis). 3) Klas lia, mempengaruhi otot-otot
aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan.
4) Klas lib, mempengaruhi otot-otot
orofaringeal, otot pernapasan
atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan
dibandingkan klas Ha.
5) Klas III, terdapat kelemahan
Kelemahan otot penderita yang berat pada otot-otot okular.
semakin lama akan semakin Sedangkan otot-otot lain selain
mcmburuk. Kelemahan tersebut akan otot-otot ocular mengalami
menyebar mulai dari otot ocular, otot kelemahan tingkat sedang.
wajah, otot leher, hingga ke otot 6) Klas Ilia, mempengaruhi otot-
ekstremitas (Howard, 2008). otot anggota tubuh, otot-otot
Sewaktu-waktu dapat pula aksial, atau keduanya secara
timbul kelemahan dari otot masseter predominan. Terdapat kelemahan
sehingga mulut penderita sukar untuk otot orofaringeal yang ringan.
ditutup. Selain itu dapat pula timbul 7) Klas Illb, mempengaruhi otot
kelemahan dari otot faring, lidah, orofaringeal, otot-otot
25 

 
pernapasan, atau keduanya dan berbicara. Otot-otot anggota
secara predominan. Terdapat tubuhpun dapat ikut menjadi lemah.
kelemahan otot-otot anggota Pemapasan tidak terganggu.
tubuh, otot-otot aksial, atau Miastenia Gravis yang
keduanya dalam derajat berlangsung secara cepat dengan
8) Klas IV, otot-otot lain selain kelemahan otot-otot okulobulbar.
otot-otot okular mcngalami Pemapasan tidak terganggu.
kelemahan dalam derajat yang Penderita dapat meninggal dunia.
berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam DIAGNOSIS
bcrbagai derajat. MIASTENIAGRAVIS
9) Klas Iva, secara predominan Penegakan Diagnosis Miastenia
mempengaruhi otot-otot anggota Gravis
tubuh dan atau otot-otot aksial. Pemeriksaan fisik yang cermat
Otot orofaringeal mengalami harus dilakukan untuk menegakkan
kelemahan dalam derajat ringan. diagnosis suatu miastenia gravis.
10) Klas Ivb, mempengaruhi otot Kelemahan otot dapat muncul dalam
orofaringeal, otot-otot berbagai derajat yang berbeda,
pemapasan atau keduanya secara biasanya menghinggapi bagian
predominan. Selain itu juga proksimal dari tubuh serta simetris di
terdapat kelemahan pada otot- kedua anggota gerak kanan dan kiri.
otot anggota tubuh, otot-otot Refleks tendon biasanya masih ada
aksial, atau keduanya dengan dalam batas normal. Miastenia gravis
derajat ringan. Penderita biasanya selalu disertai dengan
mcnggunakan feeding tube tanpa adanya kelemahan pada otot wajafc.
dilakukanintubasi. Kelemahan otot wajah bilateral akan
11) Klas V, penderita terintubasi, menyebabkan timbulnya a mask-like
dengan atau tanpa ventilasi face dengan adanya ptosis dan
mckanik. Biasanya gejala-gejala senyum yang horizontal (Howard ,
miastenia gravis sepeti ptosis dan 2008). Kelemahan otot bulbar juga
strabismus tidak akan tarnpak sering terjadi pada penderita dengan
pada waktu pagi hari. Di waktu miastenia gravis. Pada pcmeriksaan
sore hari atau dalam cuaca panas, fisik, terdapat kelemahan otot-otot
gejala-gejala itu akan tampak palatum, yang menyebabkan suara
lebih jelas. Pada pemcriksaan, penderita seperti berada di hidung
tonus otot lampaknya agak (nasal twang to the voice) serta
menurun. regurgitasi makanan terutama yang
bcrsifat cair ke hidung penderita.
Menurut Ngurah (1991) Selain itu, penderita miastenia gravis
Miastenia ivis juga dapat akan mengalami kesulitan dalam
dikelompokkan :ara lebih sederhana mengunyah serta menelan makanan,
seperti dibawahMiastenia gravis sehingga dapat terjadi aspirasi cairan
dengan ptosis atau diplopia ringan. yang menyebabbkan penderita batuk
Miastenia gravis dengan ptosis, dan tersedak saat minum. Kelemahan
diplopi, dan kelemahan otot-otot otot-otot rahang pada miastenia
iintuk untuk mengunyah, menelan, gravis menyebakan penderita sulit
26 

 
untuk menutup mulutnya, sehingga Hal ini merupakan tanda yang sangat
dagu penderita harus terus ditopang penting untuk mendiagnosis suatu
dengan tangan. Otot-otot leher juga miastenia gravis. Kelemahan pada
mengalami kelemahan, sehingga muskulus rektus lateralis dan
terjadi gangguan pada saat fleksi serta medialis akan menyebabkan
ekstensi dari leher (Howard, 2008). terjadinya suatu pseudointernuclear
Otot-otot anggota tubuh ophthalmoplegia, yang ditandai
tertentu mengalami kelemahan lebih dengan terbatasnya kemampuan
sering dibandingkan otot-otot adduksi salah satu mata yang disertai
anggota tubuh yang lain, dimana otot- nistagmus pada mata yang melakukan
otot anggota tubuh atas lebih sering abduksi (Howard , 2008). Menurut
mengalami kelemahan dibandingkan Ngurah (1991) untuk penegakan
otot-otot anggota tubuh bawah. diagnosis miastenia gravis, dapat
Deltoid serta fungsi ekstensi dari dilakukan pemeriksaan sebagai
otot-otot pergelangan tangan serta berikut:
jari-jari tangan sering kali mengalami 1. Penderita ditugaskan untuk
kelemahan. Otot trisep lebih sering menghitung dengan suara yang
terpengaruh dibandingkan otot bisep. keras. Lama kelamaan akan
Pada ekstremitas bawah, sering kali terdengar bahwa suaranya
terjadi kelemahan saat melakukan bertambah lemah dan menjadi
fleksi panggul, serta melakukan kurang terang. Penderita menjadi
dorsofleksi jari-jari kaki anartri s jdan .afoni s.
dibandingkan dengan melakukan 2. Penderita ditugaskan untuk
plantarfleksi jari-jari kaki (Howard, mengedipkan matanya secara
2008). terus-menerus. Lama kelamaan
Kelemahan otot-otot akan timbul ptosis. Setelah suara
pernapasan dapat dapat menyebabkan penderita menjadi parau atau
gagal napas akut, dimana hal ini tampak ada ptosis, maka
merupakan suatu keadaan gawat penderita disuruh beristirahat..
darurat dan tindakan intubasi cepat Kemudian tampak bahwa
sangat diperlukan. Kelemahan otot- suaranya akan kembali baik dan
otot interkostal serta diafragma dapat ptosis juga tidak tampak lagi.
menyebabkan retensi karbondioksida Menurut Ngurah (1991) untuk
sehingga akan berakibat terjadinya memastikan diagnosis miastenia
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot gravis, dapat dilakukan beberapa tes
faring dapat menyebabkan kolapsnya antara lain:
saluran napas atas, pengawasan yang 1. Uji Tensilon (edrophonium
ketat terhadap fungsi respirasi pada chloride), tmtuk uji tensilon,
pasien miastenia gravis fase akut disuntikkan 2 mg tensilon secara
sangat diperlukan (Howard, 2008). intravena, bila tidak terdapat
Biasanya kelemahan otot-otot reaksi maka disuntikkan lagi
ekstraokular terjadi secara asimetris. sebanyak 8 mg tensilon secara
Kelemahan sering kali mempengaruhi intravena. Segera sesudah
lebih dari satu otot ekstraokular, dan tensilon disuntikkan hendaknya
tidak hanya terbatas pada otot yang diperhatikan otot-otot yang lemah
diinervasi oleh satu nervus cranialis. seperti misalnya kelopak mata
27 

 
yang memperlihatkan ptosis. Bila bertambah berat. Untuk uji ini,
kelemahan itu benar disebabkan sebaiknya disiapkan juga injeksi
oleh miastenia gravis, maka prasiigmin, agar gejala-gejala
ptosis itu akan segera lenyap. miastenik tidak bertambah berat.
Pada uiji ini kelopak mata yang
lemah hams diperhatikan dengan Pemeriksaan Penunjang untuk
sangat seksama, karcna Diagnosis Pasti
efektivitas tensilon sangat 1. Pemeriksaan Laboratorium
singkat. Anti-asetilkolin reseptor
2. Uji Prostigmin (neostigmw), pada antibodi
tcs ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 Hasil dari pemeriksaan ini
mg prostigmin merhylsulfat dapat digunakan untuk mendiagnosis
secara intramuskular (bila perlu, suatu miastenia gravis, dimana
diberikan pula atropin !X» atau terdapat hasil yang postitif pada 74%
'/2 mg). Bila kelemahan itu benar pasien. 80% dari penderita miastenia
disebabkan oleh miastenia gravis gravis generalisata dan 50% dari
maka gejala-gejala seperti penderita dengan miastenia okular
misalnya ptosis, strabismus atau murni menunjukkan hasil tes anti-
kelemahan lain tidak lama asetilkolin reseptor antibodi yang
kemudian akan lenyap. positif. Pada pasien thymoma tanpa
3. Uji Kinin, diberikan 3 tablet miastenia gravis sering kali terjadi
kinina masing-masing 200 mg. 3 false positive anti-AChR
jam kemudian diberikan 3 tablet antibody(Howard, 2008). Menurut
lagi (masing-masing 200 mg per (Howard, 2008) rata-rata titer
tablet). Bila kelemahan itu benar antibody pada pemeriksaan anti-
disebabkan oleh miastenia gravis, asetilkolin reseptor antibody, yang
maka gejala seperti ptosis, dilakukan oleh Tidall, di sampaikan
strabismus, dan lain-lain akan pada tabel berikut:

Klasifikasi : R = remission, I = ocular onlv, IIA = mild generalized, IIB =


moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe

Osserman class Mean antibody titer Percent positive

R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IIB 57.9 100
III 78.5 100
IV 205.3 89

28 

 
Pada tabel ini menunjukkan 2. Imaging
bahwa titer antibodi lebih tinggi pada Chest x-ray (foto roentgen
penderita miastenia gravis dalam thorak), dapat dilakukan dalam
kondisi yang parah, walaupun titer posisi anteroposterior dan lateral.
tersebut tidak dapat digunakan untuk Pada roentgen thorak, thymoma
memprediksikan derajat penyakit dapat diidentifikasi sebagai suatu
miastenia gravis. massa pada bagian anterior
Antistriated muscle (anti- mediastinum.
SM) antibody Hasil roentgen yang negatif
Merupakan salah satu tes yang belum tentu dapat menyingkirkan
penting pada penderita miastenia adanya thymoma ukuran kecil,
gravis. Tes ini menunjukkan hasil sehingga terkadang perlu
positif pada sekitar 84% pasien yang dilakukan chest Ct-scan untuk
menderita thymoma dalam usia mengidentifikasi thymoma pada
kurang dari 40 tahun. Pada pasien semua kasus miastenia gravis,
tanpa thymoma dengan usia lebih dari terutama pada penderita dengan
40 tahun, anti-SM Ab dapat usia tua.
menunjukkan hasil positif. MRI pada otak dan orbita
sebaiknya tidak digunakan
Anti-muscle-specific kinase sebagai pemeriksaan rutin. MRI
(MuSK) antibodies. dapat digunakan apabila
diagnosis miastenia gravis tidak
Hampir 50% penderita dapat ditegakkan dengan
miastenia gravis yang menunjukkan pemeriksaan penunjang lainnya
hasil anti-AChR Ab negatif dan untu mencaripenyebab defisit
(miastenia gravis seronegarif), pada sarafotak.
menunjukkan hasil yang positif untuk
anti-MuSK Ab. 3. Pendekatan Elektrodiagnostik
Pendekatan elektrodiagnostik
Antistriational antibodies dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuromuscular melalui
Dalam serum beberapa pasien 2 teknik :
dengan miastenia gravis Repetitive Nei~ve
menunjukkan adanya antibody yang Stimulation (RNS), pada
berikatan dalam pola cross-striational penderita miastenia gravis
pada otot rangka dan otot jantung terdapat penurunan jumlah
penderita. Antibodi ini bereaksi reseptor asetilkolin, sehingga
dengan epitop pada reseptor protein pada RNS tidak terdapat adanya
titin dan ryanodine (RyR). Antibody suatu potensial aksi.
ini selalu dikaitkan dengan pasien Single-fiber
thymoma dengan miastenia gravis Electromyography (SFEMG),
pada usia muda. Terdeteksinya menggunakan jarum single-fiber,
titin/RyR antibody mcrupakan suatu yang memiliki permukaan kecil
kecurigaaan yang kuat akan adanya untuk merekam serat otot
thymoma pada pasien muda dengan penderita. SFEMG dapat
miastenia gravis. mendeteksi suatu jitter
29

 
(variabilitas pada interval karsinoma terutama oat cell
interpotensial diantara 2 atau carcinoma pada paru.
lebih serat otot tunggal pada EMG pada LEMS sangat
motor unit yang sama) dan suatu berbeda dengan EMG pada miastenia
fiber density (jumlah potensial gravis. Defek pada transmisi
aksi dari serat otot tunggal yang neuromuscular terjadi pada frekuensi
dapat direkam oleh jarum renah (2Hz) tetapi akan terjadi
perekam). SFEMG mendeteksi ahmbatan stimulasi pada frekuensi
adanya defek transmisi pada yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
neuromuscular fiber berupa miastenia gravis terjadi pada
peningkatan jitter dan fiber membran postsinaptik sedangkan
density yang normal. kelainan pada LEMS terjadi pada
membran pre sinaptik, dimana
Diagnosis Banding pelepasan asetilkolin tidak berjalan
Menurut Ngurah (1991) dan dengan normal, sehingga jumlah
Howard (2008). Beberapa diagnosis asetilkolin yang akhirnya sampai ke
banding untuk menegakkan diagnosis membran postdinaptik tidak
miastenia gravis, antara lain: mencukupi untuk menimbulkan
Adanya ptosis atau strabismus depolarisasi.
dapat juga disebabkan oleh lesi
nervus III pada beberapa penyakit PENATALAKSANAAN
elain miastenia gravis, antara lain: Walaupun belum ada penelitian
a. Meningitis basalis (tuberkulosa tentang strategi pengobatan yang
atau luetika) pasti, tetapi miastenia gravis
b. Infiltrasi karsinoma anaplastik merupakan kelainan neurologik yang
dari nasofaring paling dapat diobati.
c. Aneurisma di sirkulus arteriosus Antikolinesterase (asetilkolinesterase
Willisii inhibitor) dan terapi imunomudulasi
d. Paralisispascadifteri merupakan penatalaksanaan utama
e. Pseudoptosis pada trachoma pada miastenia gravis.
Apabila terdapat suatu diplopia Antikolinesterase biasanya digunakan
yang transient maka kemungkinan pada miastenia gravis yang ringan.
adanya suatu sklerosis multipleks. Sedangkan pada pasien dengan
Sindrom Eaton-Lambert (Lambert- miastenia gravis generalisata, perlu
Eaton Myasthenic Syndrome) dilakukan terapi imunomudulasi yang
Penyakit ini dikarakteristikkan rutin (Howard , 2008). Terapi
dengan adanya kelemahan dan imunosupresif dan imunomodulasi
kelelahan pada otot anggota tubuh yang dikombinasikan dengan
bagian proksimal dan disertai dengan pemberian antibiotik dan penunjang
ke;emahan relatif pada otot-otot ventilasi, mampu menghambat
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadinya mortal itas dan
terjadi peningkatan tenaga pada menurunkan morbiditas pada
detik-detik awal suatu kontraksi penderita miastenia gravis.
volunter, terjadi hiporefleksia, mulut Pengobatan ini dapat digolongkan
kering, dan sering kali dihubungkan menjadi terapi yang dapat
dengan suatu memulihkan kekuatan otot secara
30 

 
cepat dan tepat yang memiliki onset magnesium, dan natrium yang dpat
lebih lambat tetapi memiliki efek menimbulkan terjadinya hipotensi.
yang lebih lama sehingga dapat Trombositopenia dan perubahan pada
mencegah terjadinya kekambuhan berbagai faktor pembekuan darah
(Lewis, 1995). dapat terjadi pada terapi PE berulang.
Tetapi hal itu bukan merupakan suatu
Terapi Jangka Pendek untuk keadaan yang dapat dihubungkan
Intervensi Keadaan Akut dengan terjadinya perdarahan, dan
Menurut Lewis (1995) terapi Jangka pemberian fresh-frozen plasma tidak
Pendek untuk Intervensi Keadaan diperlukan. 2. Intravenous
Akut adalah sebagai berikut Immunoglobulin (IVIG)
1. Plasma Exchange (PE) Produk tertentu dimana 99%
Jumlah pasien yang mendapat merupakan IgG adalah complement-
tindakan berupa hospitalisasi dan activating aggregates yang relatif
intubasi dalam waktu yang lama serta aman untuk diberikan secara
trakeostomi, dapat diminimalisasikan intravena. Mekanisme kerja dari
karena efek dramatis dari PE. Dasar IVIG belum diketahui secara pasti,
terapi dengan PE adalah pemindahan tetapi IVIG diperkirakan mampu
anti-asetilkolin secara efektif. Respon memodulasi respon imun. Reduksi
dari terapi ini adalah menurunnya dari titer antibody tidak dapat
titer antibodi. PE paling efektif dibuktikan secara klinis, karena pada
digunakan pada situasi dimana terapi sebagian besar pasien, tidak terdapat
jangka pendek yang menguntungkan penurunan dari tjter antibodi. Efek
menjadi prioritas. Terapi ini dari terapi dengan IVIG dapat muncul
digunakan pada pasien yang akan sekitar 3-4 hari setelah memulai
memasuki atau sedang mengalami terapi. IVIG diindikasikan pada
masa krisis. PE dapat pasien yang juga menggunakan terapi
memaksimalkan tenaga pasien yang PE, karena kedua terapi ini memiliki
akan menjalani thymektomi atau onset yang cepat dengan durasi yang
pasien yang kesulitan menjalani hanya beberapa minggu. Tetapi
periode postoperative. Belum ada berdasarkan pengalaman dan
regimen standar untuk terapi ini, beberapa data, tidak terdapat respon
tetapi banyak pusat kesehatan yang yang sama antara terapi PE dengan
mengganti sekitar satu volume IVIG, sehingga banyak pusat
plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6 kesehatan yang tidak menggunakan
kali terapi setiap hari. Albumin (5%) IVIG sebagai terapi awal untuk
dengan larutan salin yang pasien dalam kondisi krisis. Dosis
disuplementasikan dengan kalsium standar IVIG adalah 400
dan natrium dapat digunakan untuk mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
replacement. Efek PE akan muncul dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama
pada 24 jam pertama dan dapat 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki
bertahan hingga lebih dari 10 keuntungan klinis berupa penurunan
minggu. Efek samping utama dari level anti-asetilkolin reseptor yang
terapi PE adalah terjadinya dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak
pergeseran cairan selama pertukaran dilakukan pemasangan infus. Efek
berlangsung. Terjadi retensi kalsium, samping dari terapi dengan
31 

 
menggunakan IVIG adalah nyeri imun dan efek terapi yang pasti
kepala yang hebat, serta rasa mual terhadap miastenia gravis masih
selama pemasangan infus, sehingga belum diketahui. Koortikosteroid
tetesan infus menjadi lebih lambat. diperkirakan memiliki efek pada
Flulike symdrome seperti demam, aktivasi sel T helper dan pada
menggigil, mual, muntah, sakit fase proliferasi dari sel B. Sel t
kepala, dan malaise dapat terjadi pada serta antigen-presenting cell yang
24 jam pertama. teraktivasi diperkirakan memiliki
3. Intravenous peran yang menguntungkan
Melhvlprednisolone (IVMp) dalam memposisikan
IVMp diberikan dengan dosis 2 kortikosteroid di tempat kelainan
gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak imun pada miastenia gravis.
ada respon, maka pemberian dapat Pasien yang berespon terhadap
diulangi 5 hari kemudian. Jika respon kortikosteroid akan mengalami
masih juga tidak ada, maka penurunan dari titer antibodinya.
pemberian dapat diulangi 5 hari Kortikosteroid diindikasikan pada
kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien penderita dengan gejala klinis
menunjukkan respon terhadap IVMp yang sangat menggangu, yang
pada terapi kedua, sedangkan 2 tidak dapat di kontrol dengan
pasien lainnya menunjukkan respon antikolinesterase. Dosis maksimal
pada terapi ketiga. Efek maksimal penggunaan kortikosteroid adalah
tercapai dalam 60 mg/hari kemudian dilakukan
waktu sekitar 1 minggu setelah tapering pada pemberiannya.
terapi. Penggunaan IVMp pada Pada penggunaan dengan dosis
keadaan krisisakan dipertimbangkan diatas 30 mg setiap harinya, aka
apabila terpai lain gagal atau tidak timbul efek samping berupa
dapat digunakan. osteoporosis, diabetes, dan
komplikasi obesitas serta
Pengobatan Farmakologi Jangka hipertensi.
Panjang
Menurut Lewis (1995) terapi
jangka panjang untuk Intervensi 2. Azathioprine
Keadaan Akut adalah sebagai berikut: Azathioprine biasanya
1. Kortikosteroid digunakan pada pasien miastenia
Kortikosteroid adalah terapi gravis yang secara relatif
yang paling lama digunakan dan terkontrol tetapi menggunakan
paling murah untuk pengobatan kortikosteroid dengan dosis
miastenia gravis. Respon terhadap tinggi. Azathioprine dapat
pengobatan kortikosteroid mulai dikonversi menjadi
tampak dalam waktu 2-3 minggu merkaptopurin, suatu analog dari
setelah inisiasi terapi. Durasi purin yang memiliki efek
kerja kortikosteroid dapat terhadap penghambatan sintesis
berlangsung hingga 18 bulan, nukleotida pada DNA dan RNA.
dengan rata-rata selama 3 bulan. Azathioprine diberikan secara
Kortikosteroid memiliki efek oral dengan dosis pemeliharaan 2-
yang kompleks terhadap sistem 3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan
32 

 
dosis awal sebesar 25-50 mg/hari pengobatan thymoma denga atau
hingga dosis optimafl tercapai. tanpa miastenia gravis sejak awal
Azathioprine merupakan obat tahun 1900. Telah banyak
yang secara relatif dapat dilakukan penelitian tentang
ditoleransi dengan baik oleh hubungan antara kelenjar timus
tubuh dan secara umum memiliki dengan kejadian miastenia gravis.
efek samping yang lebih sedikit Germinal center hiperplasia timus
dibandingkan dengan obat dianggap sebagai penyebab yang
imunosupresif lainnya. Respon mungkin bertanggungjawab
Azathioprine sangant lambat, terhadap kejadian miastenia
dengan respon maksimal gravis. Penelitian terbaru
didapatkan dalam 12-36 bulan. menyebutkan bahwa terdapat
Kekambuhan dilaporkan terjadi faktor lain sehingga timus
pada sekitar 50% kasus, kecuali kemungkinan berpengaruh
penggunaannya juga terhadap perkembangan dan
dikombinasikan dengan obat inisiasi imunologi pada miastenia
imunomodulasi yang lain. gravis. Tujuan neurologi utama
3. Cyclosporine dari Thymectomi ini adalah
Cyclosporine berpengaruh tercapainya perbaikan signifikan
pada produksi dan pelepasan dari kelemahan pasien,
interleukin-2 dari sel T-helper. mengurangi dosis obat yang harus
Supresi terhadap aktivasi sel T- dikonsumsi pasien, serta
helper, menimbulkan efek pada idealnya adalah kesembuhan
produksi antibodi. Dosis awal yang permanen dari pasien
pemberian Cyclosporine sekitar 5 (Anonim, 2008). Banyak ahli
mg/kgbb/hari terbagi dalam dua saraf memiliki pengalaman
atau tiga dosis. Respon terhadap meyakinkan bahwa thymektomi
Cyclosporine lebih cepat memiliki peranan yang penting
dibandingkan azathioprine. untuk terapi miastenia gravis,
Cyclosporine dapat menimbulkan walaupun kentungannya
efek samping berupa bervariasi, sulit untuk dijelaskan
nefrotoksisitas dan hipertensi. dan masih tidak dapat dibuktikan
4. 4. Cyclophosphamide (CPM) oleh standar yang seksama.
CPM adalah suatu alkilating Secara umum, kebanyakan pasien
agent yang berefek pada mulai mengalami perbaikan
proliferasi sel B, dan secara tidak dalam waktu satu tahun setelah
langsung dapat menekan sintesis thymektomi dan tidak sedikit
imunoglobulin. Secara teori CPM yang menunjukkan remisi yang
memiliki efek langsung terhadap permanen (tidak ada lagi
produksi antibodi dibandingkan kelemahan serta obat-obatan).
obat lainnya. Beberapa ahli percaya besarnya
5. Thymectomy (Surgical Care) angka remisi setelah pembedahan
Thymectomy telah adalah antara 20-40% tergantung
digunakan untuk mengobati dari jenis thymektomi yang
pasien denganmiastenia gravis dilakukan. Ahli lainnya percaya
sejak tahun 1940 dan untuk bahwa remisi yang tergantung
33 

 
dari semakin banyaknya menimbulkan suara sengau.
prosedur ekstensif adalah antara Selain itu bila penderita minum
40-60% lima hingga sepuluh tahu air, mungkin air itu dapat keluar
setelah pembedahan (Anonim, dari hidungnya.
2008). 4) Penatalaksaan utama pada
miastenia gravis dapat diobati
KESIMPULAN dengan antikolinesterase
1) Miastenia gravis adalah suatu (asetilkolinesterase inhibitor) dan
kelainan autoimun yang ditandai terapi i mun o mudu 1 a s i.
oleh suatu kelemahan abnormal Antikolinesterase biasanya
dan progresif pada otot rangka digunakan pada miastenia gravis
yang dipergunakan secara terus- yang ringan. Sedangkan pada
menerus dan disertai dengan pasien dengan miastenia gravis
kelelahan saat beraktivitas. generalisata, perlu dilakukan
2) Mekanisme imunogenik terapi imunomudulasi yang rutin.
memegang peranan yang sangat Terapi imunosupresif dan
penting pada patofisiologi imunomodulasi yang
miastenia gravis. Mekanisme dikombainasikan dengan
pasti tentang hilangnya toleransi pemberian antibiotik dan
imunologik terhadap reseptor penunjang ventilasi, mampu
asetilkolin pada penderita menghambat terjadinya mortalitas
miastenia gravis belum dan menurunkan morbiditas
sepenuhnya dapat dimengcrti. pada penderita miastenia gravis.
Miastenia gravis dapat dikatakan Pengobatan ini dapat digolongkan
sebagai "penyakit terkait sel B", menjadi terapi yang dapat
dimana antibodi yang mcrupakan memulihkan kekuatan otot secara
produk dari sel B justru melawan cepat dan tepat yang memiliki
reseptor asetilkolin. onset lebih lambat tetapi memiliki
3) Gejala klinis miastenia gravis efek yang lebih lama sehingga
antara lain ; Kelerhahan pada otot dapat mencegah terjadinya
ekstraokular atau ptosis, kekambuhan
Kelemahan otot penderita
semakin lama akan semakin DAFTAR PUSTAKA
memburuk. Kelemahan tersebut
akan menyebar mulai dari otot Engel, A. G. MD (1984). Myasthenia
ocular, otot wajah, otot leher, Gravis and Myasthenic
hingga ke otot ekstremitas. Syndromes. Ann Neurol 16:
Sewaktu-waktu dapat pula timbul Page: 519-534.
kelemahan dari otot masseter Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P.
sehingga mulut penderita sukar (1995). Myasthenia Gravis:
untuk ditutup. Selain itu dapat Immunological Mechanisms and
pula timbul kelemahan dari otot Immunotherapy. AnnNeurol.
faring, lidah, pallatum molle, dan 37(S1):S51-S62!
laring sehingga timbullah Ngoerah, I. G. N. G (1991). Dasar-
kesukaran menelan dan berbicara. dasar Ilmu Penyakit
Paresis daripallatum molle akan
34 

 
Saraf.Airlanga University Press.
Page: 301-305.

Howard, JF (2008). Myasthenia


Gravis, a Summary. Available
at:http://www.ninds.nih.gov/dis
orders/myasthenia_gravis/detail
_myasthenia_gravis.htm.
Accessed : March 22,2008.
Newton, E (2008). Myasthenia
Gravis. Available at :
http://en.wikipedia.Org/wiki/M
yasthenia_gravis. accessed :
March 22,2008.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA.
(1999). Biokimia Harper: Dasar
Biokimia Beberapa Kelainan
Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC.
Jakarta. Page: 816-835.

Anonim (2008), Myasthenia Gravis.


Available
at:http://www.myasthcnia.org/do
s /MGFA_Brochure_Ocular.pdi
Accessed: March 22, 2008.

Anonim (2008). Thymectomy,


Dewa, Benny. Miastenia
Gravis. Available at:
dewabenny@gmail.com.
http://www.myasthenia.org/amgJ
reatments.cfnx cessed March 22,
2008:

Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar.


Fisiologi Kedokteran. Edisi
9.Penerbit EGC. Jakarta

35 

 
 
 
 

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN LANSIA


KE POSYANDU LANSIA DI RW VII KELURAHAN WONOKUSUMO
KECAMATAN SEMAMPIR SURABAYA
1Fahrun Nur Rosyid, 2Musrifatul Uliyah, 3Uswatun Hasanah
IBagian Keperawatan Medikal Bedah, 2Bagian keperawatan Gerontik
Fakultas IlmuKesehatan UMSurabaya
3Mahasiswa SI Ilmu Keperawatan

Abstract
Under behaviour of old folks to visit Old Folks Posyandu will influence the
under knowledge of old folks themselves about their health condition, because at
this time healthy of people above 60 years decrease and commonly get sick. It is
caused by decreasing of old folks visit Old Folks Posyandu. The purpose of this
study is identifying and analyzing the effect of factors that influenced old folks to
visit Posyandu.
The method of this study is cross sectional method using 30 respondents.
Sample collected by simple random sample technique. Statistic method used by
SPSS. The instrument that used is questionnaires and interview.
This study is using Linier regression (SPSS). It shows that p = 0.725 for Sex, it
means HO accepted (there is no influence between dependent variable and
independent variable). It also means Sex is not one of factor that influences old
folks visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for education, it means
HO accepted (there is no influence between dependent variable and independent
variable). It also means Education is not one of factor that influences old folks
visiting to Posyandu. The result shows that p = 0.002 for job, it means HO not
accepted (there is influence between dependent variable and independent
variable). It also means Job is one of factor that influences old folks visiting to
Posyandu. The result shows that p = 0.001 for Income, it means HO not accepted
(there is influence between dependent variable and independent variable). It also
means Income is one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The
result shows that p = 0.634 for knowledge, it means HO accepted (there is no
influence between dependent variable and independent variable). It also means
knowledge is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu. The
result shows that p = 0.109 for living place, it means HO accepted (there is no
influence between dependent variable and independent variable). It also means
living place is not one of factor that influences old folks visiting to Posyandu.
Conclusions of this study are Sex, Education, Knowledge, Living place aren't
factors that influence old folks visiting to Posyandu, and Job and Income are
factors that influences old folks visiting to Posyandu.

Keywords: Old Folks Posyandu, old folk's visits, factor that influence.

PENDAHULUAN penyakit telah meningkatkan


Keberhasilan dalam bidang kualitas hidup manusia dan
ketidakmampuan, dan keterlambatan menjadikan rata-rata umur harapan
peningkatan dan pencegahan hidup meningkat keadaan ini

50
 
bisa terlihat bahwa hanya 76% lansia
(Mulyani, 2009). Pada tahun yang berkunjung ke posyandu lansia.
2010 diperkirakan jumlah penduduk Tujuan penelitian ini adalah untuk
lanjut usia (Lansia) di Indonesia, mengetahui faktor-faktor yang
sebesar 24 juta jiwa atau 9,77% dari mempengaruhi kunjungan lansia ke
total jumlah menyebabkan jumlah posyandu lansia di RW VII
usia lanjut penduduk (Hambuako, Kelurahan Wonokusumo Kecamatan
2008). Pada semakin besar. Semampir Surabaya.
Permasalahan yang tahun 2007
jumlah penduduk Jawa akan timbul METODE
pada lansia yaitu : Timur Penelitian ini menggunakan
sebanyak 37.790.642 jiwa, yang desain Cross sectional dengan
lanjut usia mencapai 4.202.908 jiwa populasi para lansia di posyandu
atau 11,2 %, dengan prosentase lansia RW 7 Wonosari Kelurahan
tersebut provinsi Jawa Timur Wonokusumo Kecamatan Semampir
mengalami struktur penduduk tua Surabaya dengan jumlah 32 orang.
(Hasan Aminuddin, 2008), Sampel diambil 30 lansia dengan
sedangkan jumlah lansia di Surabaya teknik Simple Random Sampling.
di bagi menjadi dua : pra usila (45 th Variabel independen penelitian ini
-59 th) terdiri dari 253.723 jiwa dan kunjungan lansia ke Posyandu
yang usia lanjut (> 60 th) terdiri dari lansia,sedagkan variabel dependen
166.437 jiwa 9 (Mohammad Adib, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
2008). Pada bulan Mei di RW VII pekerjaan, pendapatan, tingkat
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan pengetahuan dan pola tempat tinggal.
Semampir Surabaya di dapatkan data Data yang terkumpul
lansia (old) sebanyak 32 lansia. Dari dianalisisdengan uji statistik Regresi
lansia yang berkunjung ke posyandu Linier Berganda.
lansia hanya 30 lansia, dari situlah

HASIL
Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia
Tabel 1. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Jenis kelamin Total
Kunjungan Laki-laki Perempuan
F % F % F %
Kunjungan I 3 9,9 23 75,9 26 85,8
Kunjungan II 4 13,2 - - 4 13,2
Total 7 23,1 23 75,9 30 100
Signifikansi (p) = 0,725

Berdasarkan tabel diatas, berjenis kelamin perempuan


menunjukkan sebagian besar yang sebanyak 23 orang (75,9%), dan
berkunjung ke Posyandu adalah sebagian kecil adalah kunjungan 1
kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu bulan 2 kali yaitu berjenis kelamin

51
 
laki-laki sebanyak 4 orang (13,2%), HO diterima berarti tidak ada
kemudian dihitung dengan pengaruh, sehingga jenis kelamin
menggunakan Uji Regresi Linier bukan faktor yang mempengaruhi
(SPSS) didapatkan p=0,725 maka kunjungan lansia ke Posyandu lansia

Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunj ungan Lansia


Tabel 2. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Tingkat Pendidikan
PT/Akadem tidak
Kunjungan
SD SMP SMA i sekolah total
F % F % F % F % F % F %
85.
Kunjungan I 14 46.2 5 16.5 - - - - 7 23.1 26 8
Kunjungan 13.
II 2 6.69 2 6.6 - - - - - - 4 2
Total 16 52.9 7 23.1 - - - - 7 23.1 30 100
Signifikansi (p) = 0,528
Berdasarkan tabel diatas, (6,6%), kemudian dihitung dengan
menunjukkan sebagian besar yang menggunakan Uji Regresi Linier
berkunjung ke Posyandu adalah (SPSS) didapatkan p=0,528 maka
kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu HO doterima berarti tidak ada
tingkat pendidikan SD sebanyak 14 pengaruh, sehingga tingkat
orang (46,2%), dan sebagian kecil pendidikan bukan fakor yang
adalah kunjungan 1 bulan 2 kali mempengaruhi kunjungan lansia ke
yaitu tingkat pendidikan SMP Posyandu lansia.
sebanyak 2 orang

Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia


Tabel 5.17 Pengaruh Pekerjaan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009
Pekerjaan
Ibu rumah
Kunjungan
tangga Swasta Wiraswasta PNS total
F % F % F % F % F %
Kunjungan I 21 69.3 2 6.6 3 9.9 - - 26 85.8
Kunjungan II - - - - 2 6.6 2 6.6 4 13.2
Total 21 69.3 2 6.6 - - - - 30 100
Signifikansi (p) = 0,002

Berdasarkan tabel diatas, kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu


menunjukkan sebagian besar yang sebagai ibu rumah tangga sebanyak
berkunjung ke Posyandu adalah 21 orang (69,3%), dan sebagian kecil

52
 
adalah kunjungan 1 bulan 2 kali p=0,002 maka HO ditolak berarti
yaitu sebagai wiraswasta dan PNS ada pengaruh, sehingga pekerjaan
masing-masing merupakan factor yang
sebanyak 2 orang (6,6%), kemudian mempengaruhi kunjungan lansia ke
dihitung dengan menggunakan Uji Posyandu lansia.
Regresi Linier (SPSS) didapatkan

Pengaruh pendapatan terhadap kunjungan Lansia


Tabel 3. Pengaruh pendapatan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII Kelurahan
Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun 2009

Pekerjaan
Pendapatan1
< 150.000 50.000- > 300.000
Kunjungan (Pendapatan 300.000 (Pendapatan
rendah) (Pendapatan tinggi) Total
sedang)
F % F % F % F %
Kunjungan I 24 79.2 - - 2 6.6 26 85.8
Kunjungan II 2 6.6 2 6.6 - - 4 13.2
Total 26 85.8 2 6.6 2 6.6 30 100
Signifikansi (p) = 0,001

Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 24 berarti ada pengaruh,


menunjukkan (6,6%), kemudian sehingga pendapatan orang (79,2%),
dihitung dengan sebagian besar dan sebagian kecil adalah merupakan
yang berkunjung ke menggunakan factor yang mempengaruhi
Uji Regresi Linier (SPSS) Posyandu kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu
adalah kunjungan 1 bulan 1 kali kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
didapatkan p=0,001 maka HO berpendapatan rendah sebanyak 2
ditolak yaitu berpendapatan rendah orang

Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia


Tabel 4. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir pada bulan Juli tahun 2009

Tingkat pengetahuan
Kunjungan Baik Cukup Kurang Total
F % F % F % F %
Kunjungan I 23 75.9 1 3.3 2 6.6 26 85.8
Kunjungan II 4 13.2 - - - - 4 13.2
Total 27 89.1 1 3.3 2 6.6 30 100
Signifikansi (p) = 0,634

53
 
 
 
 

Berdasarkan tabel diatas, maka HOberpengetahuan baik


berpendapatan baik sebanyak 4 sebanyak 23 diterima berarti tidak
orang menunjukkan sebagian besar ada pengaruh,orang (75,9%), .dan
yang (13,2%), kemudian dihitung sebagian kecil sehingga tingkat
dengan berkunjung ke Posyandu pengetahuan bukan adalah
adalah menggunakan Uji Regresi kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu factor
Linierkunjungan 1 bulan 1 kali yang mempengaruhi kunjungan
yaitu (SPSS) didapatkan p=0,634 lansia ke Posyandu lansia.

Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia


Tabel 5 Pengaruh Pola Tempat Tinggal Terhadap Kunjungan Lansia di RW.VII
Kelurahan Wonokusumo Kecamatan Semampir Surabaya pada bulan Juli tahun
2009

Pola tempat tinggal


Kunjungan Dekat Sedang Jauh Total
F % F % F % F %
Kunjungan I 10 33 13 42.9 3 9.9 26 85.8
Kunjungan II 4 13.2 - - - - 4 13.2
Total 14 46.2 13 42.9 3 9.9 30 99
Signifikansi(p) = 0,109

Berdasarkan tabel diatas, menunjukkan sebagian besar yang berkunjung ke


Posyandu adalah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu berjarak sedang sebanyak 13
orang (42,9%), dan sebagian kecil adalah kunjungan 1 bulan 2 kali yaitu berjarak
dekat sebanyak 4 orang (13,2%), kemudian dihitung dengan menggunakan Uji
Regresi Linier (SPSS) didapatkan ;?=0,7 09 maka HO diterima berarti tidak ada
pengaruh, sehingga pola tempat tinggal bukan factor yang mempengaruhi
kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
menggunakan Uji Regresi Linier
PEMBAHASAN (SPSS) didapatkan p=0,725 maka
Pengaruh Jenis Kelamin HO diterima berarti tidak ada
Dari hasil penelitian terhadap
30 lansia, menunjukkan sebagian pengaruh, sehingga jenis kelamin
besar adalah kunjungan 1 bulan 1 bukan factor yang mempengaruhi
kali lansia berjenis kelamin kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
perempuan, dan sebagian kecil Hasil uji tersebut bertolak
adalah kunjungan 1 bulan 2 kali belakang dengan hasil survey
lansia yang berjenis kelamin laki- Indonesia Family Life Survey (IFLS)
laki. tahun 1993 yang menunjukkan
Berdasarkan data yang telah bahwa jenis kelamin ikut
diteliti, jenis kelamin di Posyandu mempengaruhi seseorang dalam
RW.VII Kelurahan Wonkusumo mengambil keputusan untuk
Kecamatan Semampir Surabaya, memanfaatkan fasilitas kesehatan
kemudian dihitung dengan yang ada, dimana perorangan

54
 
memiliki prosentase yang lebih mempengaruhi kunjungan lansia ke
banyak daripada laki-laki (Isfandi, Posyandu lansia.
1999). Sedangkan menurut penelitian Menurut Notoatmojo, 1997.
huygen dan Smits, perbedaan Konsep dasar pendidikan adalah
diantara wanita dan pria terlihat pada suatu proses belajar yang berarti
sistem rujukan ke pelayanan dalam pendidikan itu terjadi proses
kesehatan yang lebih tinggi wanita. pertumbuhan, perkembangan atau
dibandingkan pria (Jamal, 1996). perubahan ke arah yang lebih
Dari data yang diperoleh lansia dewasa, lebih baik dan lebih matang
perempuan cenderung mempunyai pada diri individu, kelompok dan
perilaku yang tinggi untuk mengikuti masyarakat. Kegiatan atau proses
Posyandu lansia, sebaliknya bagi belajar apabila didalamnya terjadi
lansia laki-laki mempunyai perilaku perubahan dari tidak tahu menjadi
cenderung sedang dan rendah. Hal tahu dari tidak mau mengerjakan
ini diakibatkan perempuan lebih menjadi mau mengerjakan sesuatu,
tekun dalam menghadapi tindakan namun demikian tidak semua
terutama mengikuti Posyandu lansia. perubahan itu terjadi karena belajar
Laki-laki tentunya cepat bosan jika saja, tetapi juga karena proses
dilihat dari segi psikologis jika kematangan dari perkembangan
mengikuti Posyandu lansia, jadi dirinya.
kesimpulannya untuk meningkatkan Tidak adanya pengaruh tingkat
perilaku lansia untuk berkunjung ke pendidikan terhadap kunjungan
Posyandu lansia harus melalui lansia ke posyandu lansia tersebut
promosi kesehatan, ceramah, mungkin saja terjadi. Karena
penyuluhan dan lain-lain. pendidikan pada dasarnya tidak
hanya dapat diperoleh dari bangku
Pengaruh Tingkat Pendidikan sekolah (formal) tetapi juga di
Dari hasil penelitian terhadap lingkungan keluarga, masyarakat,
30 lansia didapatkan lansia yang dan dari media lainnya (majalah,
berkunjung ke posyandu sebagian berita, dll).
besar adalah kunjungan 1 bulan 1
kali di tingkat pendidikan SD, dan Pengaruh Pekerjaan
sebagian kecil adalah kunjungan 1 Dari hasil penelitian terhadap
bulan 2 kali di tingkat pendidikan 30 lansia didapatkan lansia yang
tidak sekolah dan SMP. berkunjung ke posyandu sebagian
Berdasarkan data yang telah besar adalah kunjungan 1 bulan 1
diteliti, tingkat pendidikan di kali sebagai ibu rumah tangga, dan
Posyandu RW.VII Kelurahan sebagian kecil adalah kunjungan 1
Wonokusumo Kecamatan Semampir bulan 2 kali yaitu sebagai PNS.
Surabaya, kemudian dihitung dengan Berdasarkan data yang telah
menggunakan Uji Regresi Linier diteliti, pekerjaan di Posyandu
(SPSS) didapatkan p=0,528 maka RW.VII Kelurahan Wonokusumo
HOditerima berarti tidak ada Kecamatan Semampir Surabaya,
pengaruh, sehingga tingkat kemudian dihitung dengan
pendidikan bukan factor yang menggunakan Uji Regresi Linier
(SPSS) didapatkan p=0,002 maka

55
 
HO diterima berarti ada pengaruh, mereka terima setelah bekerja. Dari
sehingga pekerjaan merupakan factor hasil penelitian menunjukkan
yang mempengaruhi kunjungan sebagian besar adalah kunjungan 1
lansia ke Posyandu lansia. bulan 1 kali yaitu berpendapatan
Dibandingkan penduduk lansia rendah, dan sebagian kecil adalah 1
desa dan kota, masyarakat yang bulan 2 kali yaitu berpendapatan
tinggal di daerah pedesaan lebih menengah dan tinggi. Berdasarkan
banyak yang masih bekerja pada usia data yang telah diteliti, pendapatan di
tua dibandingkan di daerah Posyandu RW.VII Kelurahan
perkotaan. Alasan lansia untuk Wonokusumo Kecamatan Semampir
bekerja antara lain disebabkan oleh Surabaya, kemudian dihitung dengan
jaminan sosial dan kesehatan yang menggunakan Uji Regresi Linier
masih kurang. Disamping hal (SPSS) didapatkan p=0,001 maka
tersebut desa akan ekonomi HO ditolak berarti ada pengaruh,
merupakan hal pendorong untuk sehingga pendapatan merupakan
mereka bekerja dan mencari factor yang mempengaruhi
pekerjaan. Hal ini dimungkinan, kunjungan lansia ke Posyandu lansia.
karena pada umumnya keadaan fisik, Secara ekonomi, keadaan
mental dan emosional mereka masih financial para lansia jelas tidak
baik (Hardywinoto dan Setiabudhi, seperti waktu muda. Bila lansia
1999). Mernurut Wilson tahun 1992, termasuk golongan yang bekerja
keadaan terjadi bila seseorang mengandalkan otot seperti pekerja
bekerja terlalu keras dengan kondisi kasar, tukang becak, petani, buruh,
perekonomian yang pas-pasan serta dll dalam menginjak umur tua
berpendidikan rendah dimana kemampuan pasti berkurang akan
pengertian tentang kesehatan adalah pada suatu saat mungkin tidak
minimal dan akses terhadap sanggup lagi melakukan pekerjaan
informasi juga terbatas (Astuti, tersebut. Oleh sebab itu pendapatan
2000). orang tersebut pasti akan menurun
Dari Hasil penelitian terhadap (Mangunditoirja, 1995). Kemampuan
faktor yang mempengaruhi ekonomi menjadisalah satu faktor
penggunaan fasilitas kesehatan yang penting yang m e m p e n g a r u h i
dilakukan oleh Buhari dalam orang u n t u k memanfaatkan
Sudjilah, 1989 antara lain adanya fasilitas kesehatan ataupun untuk
pengaruh faktor sistem pelayanan pergi ke tempat aktifitas sosial
kesehatan yaitu tersedianya tenaga (Isfandi, 1999).
kesehatan serta faktor dari konsumen Dari Hasil penelitian terhadap
yang menggunakan pelayanan faktor yang mempengaruhi
kesehatan yaitu pendidikan, penggunaan fasilitas kesehatan yang
pekerjaan, pendapatan. dilakukan oleh Buhari dalam
Sudjilah, 1989 antara lain adanya
Pengaruh Pendapatan pengaruh faktor sistem pelayanan
Pendapatan berkaitan erat kesehatan yaitu tersedianya tenaga
dengan pekerjaan responden, karena kesehatan serta faktor dari konsumen
pendapatan pada umumnya yang menggunakan pelayanan
bersumber dari gaji atau upah yang

56
 
kesehatan yaitu pendidikan, pengetahuan tentang posyandu yang
pekerjaan, pendapatan. baik belum tentu man berkunjung ke
posyandu.
Pengaruh Pengetahuan
Dari hasil penelitian terhadap Pengaruh Pola Tempat Tinggal
30 lansia di dapatkan sebagian besar Pada penelitian terhadap pola
adalah kunjungan 1 bulan 1 kali tempat tinggal lansia, disini mcmakai
yaitu berpengetahuan baik, dan klasifikasi jarak rumah ke pelayanan
sebagian kecil adalah kunjungan 1 kesehatan (posyandu). Dari hasil
bulan 2 kali yaitu berpengetahuan penelitian terhadap 30 lansia di
cukup. dapatkan sebagian besar adalah
Berdasarkan data yang telah kunjungan 1 bulan 1 kali yaitu
diteliti, pengetahuan di Posyandu bcrjarak dekat dengan pelayanan
RW.VII Kelurahan Wonokusumo kesehatan (posyandu), dan sebagian
Kecamatan Semampir Surabaya, kecil adalah berjarak jauh dengan
kemudian dihitung dengan pelayanan kesehatan (Posyandu).
menggunakan Uji Regresi Linier Berdasarkan data yang telah
(SPSS) didapatkan/7=r;,634 maka diteliti, pengetahuan di Posyandu
HO diterima berarti tidak ada RW.VII Kelurahan Wonokusumo
pengaruh, sehingga pengetahuan Kecamatan Semampir Surabaya,
bukan factor yang mempengaruhi kemudian dihitung dengan
kunjungan lansia ke Posyandu lansia. menggunakan Uji Regresi Linier
Hasil penelitian tersebut sesuai (SPSS) didapatkan p=OJ09 maka
dengan yang dikemukakan oleh HO diterima berarti tidak ada
NoToatmodjo, 1993 bahwa pengaruh, sehingga pola tempat
pengetahuan adalah merupakan hasil tinggal bukan merupakan factor yang
dari tahu dan ini terjadi setelah orang mempengaruhi kunjungan lansia ke
melakukan penginderaan terhadap Posyandu lansia.
suatu obyek tertentu. Penginderaan Menurut pendapat H.L. Bloom,
terjadi mclalui panca indera manusia. bahwa perilaku mempunyai peranan
Sebagian besar pengetahuan manusia yang besar terhadap derajat
diperoleh dari mata dan telinga. kesehatan setelah pengaruh
Pengetahuan atau kognitif lingkungan, sedangkan faktor adanya
merupakan domain yang sangat pelayanan kesehatan mempunyai
penting untuk terbentuknya pengaruh lebih kecil daripada faktor
tindakan seseorang (ovent perilaku. Sedangkan menurut Green
behaviour). bahwa perilaku seseorang atau
Tingkat pengetahuan seseorang masyarakat tentang kesehatan
tidak selalu memotivasi prilaku ditentukan oleh pengetahuan, sikap,
logika, artinya pengetahuan yang kepercayaan, tradisi dan sebagainya
baik (lansia yang tahu tentang dari orang atau masyarakat yang
pengertian Posyandu, tujuan bcrsangkutan. Disamping itu.
Posyandu, bentuk pelayanan ketersediaan fasilitas, sikap dan
Posyandu, dan Mekanisme perilaku para petugas kesehatan
Posyandu) tidak selalu memimpin terhadap kesehatan juga akan
perilaku yang benar dalam hal ini

57
 
mendukung dan memperkuat Astuti, Endang. P. 2000.Faktor-
terbentuknya perilaku. Faktor Yang Mendorong
Seorang lansia yang tidak mau Lansia Tetap Bekerja di Sektor
datang ke posyandu disebabkan Pertanian. Skripsi. Universitas
karena orang tersebut tidak atau Airlangga.
belum tahu manfaat posyandu.
Tetapi barangkali juga rumahnya Darmojo, R. 2000. Buku Ajar
jauh dengan posyandu atau mungkin Geriatri Edisi 1. Balai Pustaka
karena para petugas kesehatan FKUI. Jakarta.
kurang ramah atau tokoh masyarakat Departemen Kesehatan RI, 2000.
lain disekitarnya tidak pernah ke Pedoman Pembinaan
Posyandu. Kesehatan Lanjut Usia bagi
Petugas Kesehatan I. Jakarta :
SIMPULAN DAN SARAN Departemen Kesehatan.
Sebagian besar lansia yang
yang berkunjung ke Posyandu lansia Departemen Kesehatan RI, 2000.
berjenis kelamin perempuan, tingkat Pedoman Pembinaan
pendidikan SD, ibu rumah tangga, Kesehatan Usia Lanjut bagi
berpendapatan rendah, dan memiliki Petugas Kesehatan II. Jakarta :
pengetahuan yang baik. Departemen Kesehatan
Masyarakat yang menjadi
kader kesehatan dan bimbingan dari Lindepok. 2008. All Bout
puskesmas diharapkan lebih Posyandu.
memotivasi lansia untuk berkunjung http://iinaza.wordpres s.com.
ke Posyandu lansia. Diakses rabu tanggal 8 April
2009, jam 11.00 WIB
DAFTAR PUSTAKA
A. Aziz AH. 2007. Metode Isfandari, Siti. (199). Pemanfaatan
Penelitian Keperawatan dan Fasilitas Kesehatan Pada
Tehnik Analisis Data. Edisi I. Golongan 50 Tahun ke Atas.
Salemba Medika. Jakarta Analisis Lanjut IFLS 1993.
Jurnal Epidemologi Nasional.
Amrul, Fauzi. 2008. Faktor-Faktor Vol.3, Edisi 3
yang Mempengaruhi
Penwunan Minat Lansia Jamal, Sarjani. 1996. Wanita dan
Terhadap Posyandu Lansia di Pria Dalam Karakteristik
Desa Pagak Kecamatan Pagak Morbilitas-Morbilitas. Jurnal
Kabupaten Making. Malang: Epidmologi Nasional
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah. Jenner, B. 1997. Keperawatan
Gerontik. Jakarta: EGC
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur
Penelitian : Suatu Pendekatan Kuncoro, Zainuddin Sri. 2002.
Praktek, edisi revisi v, Jakarta: Masalah Kesehatan Jiwa
RinekaCipta. Lansia. http://www.e-

58
 
psikologi.com. Diakses tanggal
11 Mei 2009 Nurkusuma, Dudy D. 2001.
Posyandu Lanjut Usia di
Kusuma, Fitria Trisna. 2008. Skripsi: Puskesmas Pare Kabupaten
Pengaruh Pelatihan Posyandu Temanggung.
Lansia Terhadap Kinerja http://www.tempo.co.id
Kader di Kelurahan Bulukerto Diakses tanggal 11 Mei 2009
Magetan. Surabaya: Fakultas
Keperawatan Universitas Nursalam. 2003. Konsep &
Airlangga. Penerapan Metodologi
Mahyu\iansyah..2QQ9.PosyanduUsil Penelitian Ilmu Keperawatan:
a. Pedoman Skripsi, Tesis, dan
http://keperawatankomunitas.b Instrumen Penelitian
logspot.com. Diakses tanggal Keperawatan. Jakarta:
28 Juni 2009 jam: 10:49. Salemba Medika.

Mangundiwirja, Daldiri. 1995. Pemkot Jogja, 2007. Pemkot Jogja P


Masalah-Masalah Yang e d u I i Lansia.
Dihadapi Lansia Indonesia http://mediainfokota.jogja.go.i
Tahun 2000. Seminar Nasional d Diakses tanggal 11 Mei 2009

Problematic Manula Menggapai R.Boedhi Darmojo,dkk. 2006. Buku


Harapan di Penghujung Dunia Ajar Geriatri. Edisi ke-3.
Fana. Surabaya: Yayasan Cetakan ke-2. Jakarta :
Pendidikan Tinggi Da'wah Fakultas Kesehatan Universitas
Islam JawaTimur. Indonesia.

Mulyani, Slamet. 2009. Hubungan Sa'adah, H.D. 2008. Skripsi :


Antara Pengetahuan Tentang Pengaruh Latihan Fleksi
Kegiatan Posyandu Lansia William (Stretching) Terhadap
Dengan Partisipasi Lansia di Tingkat Nyeri Punggung
Posyandu Wilayah Puskesmas
Patuk 1 Kabupaten Gunung K i Bawah Pada Lansia di Posyandu
d u 1 . http Lansia RW 2 D e s a
://keperawatankomunitas .b Kedungkandang Malang.
logspot.com. Diakses tanggal Surabaya : Fakultas
llMei 2009 jam: 11:34 Kedokteran Universitas A i r 1
angga.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. P
engantar Pendidikan Sugiyono. 2006. Statistika Untuk
Kesehatan dan Ilmu Penilaian. Penelitian, Bandung: CV.
Yogyakarta: Andi Offset Alfabeta.

Nugroho, Wahjudi. 2000.


Keperawatan Gerontik Ed 2.
Jakarta: EGC.

59
 
Sulistyani. 2001. Skripsi :Faktor- Wijayanti, I.K. 2008. Skripsi :
Faktor yang Mempengaruhi Pengaruh Strength Training
Keaktifan Lansia untukDatang Terhadap Peningkatan
ke Posyandu Lansia (Studi Keseimbangan Postural Pada
Kasus di Posyandu Lansia Lansia Dengan Nyeri Sendi L u
Desa Trihanggo Kecamatan t u t d i Posyandu Lansia
Camping Kabupaten Sleman "ISWORO" Kelurahan Taman
Daerah Istimewa Yogyakarta). Kota Madiun. Surabaya:
Surabaya: Fakultas Kesehatan Fakultas Keperawatan
Masyarakat Universitas Universitas Airlangga.
Airlangga.

60
 

Anda mungkin juga menyukai