2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 2
BAB 1: UU Kesehatan vs UU Cipta Kerja ................................................................................................... 4
1.1. Pengabaian Kualitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan ........................................................ 4
1.2. Pengabaian Kualitas Pelayanan Kesehatan Tradisional ................................................... 5
1.3. Pengabaian Kualitas Makanan dan Minuman yang Beredar ........................................... 6
1.4. Pemerintah Pusat sebagai Pengawas Kegiatan Bidang Kesehatan .................................. 7
Referensi ..................................................................................................................................... 9
BAB 2: UU Rumah Sakit vs RUU Cipta Kerja .......................................................................................... 10
2.1. Ketidakjelasan Bentuk Sanksi Pelanggaran ................................................................... 10
2.2. Perubahan Sistem Klasifikasi Rumah Sakit ................................................................... 11
2.3. Kedudukan Rumah Sakit sebagai Badan Usaha .............Error! Bookmark not defined.
2.4. Pelonggaran Sistem Regulasi Akredtasi ........................................................................ 13
2.5. Posisi Pemerintah Pusat sebagai Pengawas Rumah Sakit .............................................. 14
Referensi ................................................................................................................................... 16
BAB 3: UU Pendidikan Kedokteran vs RUU Cipta Kerja ......................................................................... 17
3.1. Tidak Diaturnya Kuota Penerimaan Mahasiswa ........................................................................ 17
3.2. Dihapusnya Persyaratan Rumah Sakit Pendidikan ..................................................................... 18
3.3. Komersialisasi Pendidikan Kedokteran? .................................... Error! Bookmark not defined.
3.4. Ketidakjelasan Bentuk Sanksi .................................................................................................... 20
Referensi: .................................................................................................................................. 22
BAB 4 Kesimpulan ..................................................................................................................................... 23
PEMBUKAAN
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Bagian Keempat membahas mengenai
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi.
Penyederhanaan perizinan berusaha ini mencakup berbagai hal, seperti kelautan dan perikanan,
perindustrian, energi dan sumber daya mineral, pekerjaan umum dan perumahan rakyat, dan lain-
lain. Salah satu aspek vital yang juga terkena dampaknya dan belum mendapatkan banyak
pembahasan adalah aspek kesehatan, obat, dan makanan yang dibahas di Paragraf 11. Dalam Pasal
61, disebutkan bahwa terdapat perubahan dan penghapusan dari peraturan-peraturan yang ada pada
peraturan perundang-undangan lama serta penetapan ketentuan baru untuk memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan “Perizinan Berusaha” dalam sektor kesehatan,
obat-obatan, dan makanan. Beberapa Undang-Undang yang terpengaruh antara lain:
Berikut akan dibahas satu per satu mengenai perubahan-perubahan pada undang-undang
lama dan dampaknya.
BAB 1
UU Kesehatan vs UU Cipta Kerja
Undang-Undang ini termasuk salah satu peraturan perundangan yang paling banyak mengalami
perubahan. Beberapa perubahan tersebut juga berpotensi menjadi masalah apabila dibiarkan. Secara umum,
perubahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu perubahan umum dan perubahan khusus.
• Dalam ayat (1), “pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan
teknologi harus mendapatkan izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.”
• Dalam ayat (2), “Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.”
Lagi-lagi dalam RUU Cipta Kerja, terdapat penghilangan regulasi yang dimaksudkan
untuk mempermudah pembukaan usaha baru. Di RUU ini, Pasal 60 ayat (2) dari UU No. 36
Tahun 2009 tersebut diubah bunyinya menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Hal ini
tentu cukup berbahaya mengingat Pasal 60 ayat (2) UU Kesehatan menjamin agar pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi memiliki kualitas yang baik,
tingkat keamanan yang terjamin, dan tidak akan bertentangan dengan kebudayaan dan norma
agama yang berlaku di masyarakat. Dihilangkannya hal ini dapat berpengaruh pada kualitas
dan tingkat keamanan dari pelayanan kesehatan tradisional. Kemudian, perubahan ini juga
memungkinkan pelayanan kesehatan tradisional yang ada dibuka tanpa memperhatikan
kebudayaan setempat. Hal ini pertama-tama memunculkan kontradiksi terhadap Pasal 49
ayat (2) UU Kesehatan sendiri yang menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan upaya kesehatan
harus memerhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika
profesi.”4 Selain itu, perubahan ini juga seakan menyepelekan peran dari budaya, nilai,
norma agama, dan moral yang dimiliki masyarakat setempat. Padahal, semua hal tersebut
akan berpengaruh terhadap cara mereka merawat kesehatan diri mereka dan cara mereka
membuat keputusan yang berkaitan dengan kesehatan mereka. Pelayanan kesehatan yang
diberikan tanpa memedulikan aspek-aspek tersebut dapat memengaruhi bagaimana pasien
menerima informasi yang diberikan dan juga persepsi pasien terhadap tindakan yang
diberikan—sehingga dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas pelayanan
kesehatan tradisional.5
Dalam RUU Cipta Kerja, ayat tersebut dihilangkan dan hanya disebutkan secara
sepintas pada Pasal 111 ayat (1) bahwa tetap akan ada standar dan persyaratan kesehatan
yang harus dipenuhi sebelum makanan dan minuman boleh diedarkan. Namun, standar dan
persyaratan kesehatan tersebut tidak dijelaskan secara jelas pada RUU Cipta Kerja. UU
Kesehatan Pasal 111 ayat (5) yang mengatur tentang ketentuan tata cara pemberian label juga
dihilangkan. Perubahan ini tentu memunculkan pertanyaan, apakah setelah ditetapkannya
RUU Cipta Kerja ini makanan kemasan tidak wajib untuk memberikan tanda atau label di
kemasannya? Padahal, belum lama ini diterbitkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. 31 Tahun 2018 tentang Label Olahan Pangan yang salah satu pertimbangannya
adalah “memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap
produk pangan olahan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan
olahan”. Langkah yang diambil oleh pemerintah ini lagi-lagi berkontradiksi dengan
peraturan yang sebelumnya sudah diterbitkan.6 Kemudian, penghilangan kewajiban untuk
mencantumkan label ini juga dapat berdampak buruk bagi konsumen. Pemberian label pada
makanan ditujukan untuk menginformasikan kepada konsumen mengenai zat-zat yang
terkandung pada makanan dan minuman tersebut agar bisa disesuaikan dengan pola makan,
alergi, selera pribadi, dan harganya. Penghilangan label dapat membahayakan keamanan
makanan, khususnya karena tidak diketahuinya zat-zat yang terkandung dalam makanan. Hal
ini berpotensi menyebabkan makanan dan minuman kemasan dapat mengandung zat-zat
yang dapat menimbulkan efek buruk kepada orang-orang dengan kondisi tertentu.
Selain itu, secara etis tentu setiap orang memiliki hak untuk mengetahui informasi-
informasi tersebut agar dapat benar-benar yakin bahwa makanan dan minuman yang ia beli
sesuai dengan kebutuhannya.7 Hak ini juga disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 4, yang menyatakan bahwa salah satu hak konsumen adalah
“hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa”, dan Pasal 7 UU tersebut yang menyebutkan bahwa salah satu kewajiban
pelaku usaha adalah “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.”8 Perubahan yang ada ini akan menyebabkan penyimpangan dari UU tersebut
karena melanggar hak atas informasi yang dimiliki oleh konsumen.
Pasal ini menjelaskan bahwa kuota tersebut diatur dalam Peraturan Kementerian nomor 43
tahun 2017 tentang Kuota Nasional dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Program Studi
Kedokteran dan Program Studi Kedokteran Gigi. Permen ini menyatakan bahwa kuota nasional
harus mempertimbangkan hal berikut:2
a. Peringkat akreditasi program studi
b. Persentase kelulusan Uji Kompetensi Mahasiswa
c. Kerjasama institusi pendidikan dengan rumah sakit
d. Rasio dosen dan mahasiswa
e. Rasio alat kedokteran gigi (khusus Fakultas Kedokteran Gigi)
f. Kuota khusus untuk program studi baru (FK: 50; FKG: 25)
Penghapusan pasal ini menyebabkan tidak adanya aturan mengenai kuota penerimaan
mahasiswa dari kedua program tersebut. Masih belum diketahui secara jelas apa latar belakang
terjadi perubahan tersebut, apalagi mengingat alasan Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi memberlakukan Peraturan Kementerian tersebut sebagai upaya dalam
pengembangan program studi kedokteran dari segi peningkatan mutu pendidikan.3
Kuota penerimaan mahasiswa berkaitan erat dengan kualitas serta akreditasi dari suatu
institusi pendidikan. Mendirikan sebuah program studi kedokteran dan kedokteran gigi
memerlukan biaya yang cukup tinggi.4 Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam
Standar Pendidikan Pendidikan Profesi Dokter Indonesia jumlah mahasiswa baru setiap tahun
ajaran harus memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan, rasio mahasiswa dan dosen pada
tahap akademik sebanyak 10 : 1 dan rasio 5 : 1 pada tahap profesi, dan sesuai dengan peraturan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.5
Dengan tidak terkendalinya kuota penerimaan, dikhawatirkan institusi terkait tidak dapat
memberikan fasilitas dan sarana yang sesuai dengan jumlah mahasiwa. Masalah ini dapat berujung
kepada peningkatan angka ketidaklulusan dan penurunan kualitas pendidikan, terutama untuk
program studi baru yang masih memerlukan uji coba dalam pembelajaran.
Terdapat perubahan syarat berdirinya rumah sakit pendidikan yang berpotensi merugikan
kualitas pendidikan, yakni dengan dihapusnya ayat 3 pada pasal 13 dari RUU Cipta Kerja sebagai
berikut:
(1) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebagai berikut:
a. mempunyai Dosen dengan kualifikasi Dokter dan/atau Dokter Gigi sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. memiliki teknologi kedokteran dan/atau kedokteran gigi yang sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran;
c. mempunyai program penelitian secara rutin; dan
d. persyaratan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Sesuai dengan Standar Pendidikan Profesi Indonesia yang dikeluarkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia, rumah sakit pendidikan harus ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
untuk menjamin tercapainya Standar Kompetensi Dokter. Fasilitas tersebut juga harus dinyatakan
dengan perjanjian kerjasama antara pimpinan institusi pendidikan, penyedia fasilitas, beserta
pemerintah setempat. Rumah Sakit Pendidikan juga harus memiliki variasi dokter sesuai dengan
disiplin ilmu dan jenis kasus bervariasi menurut umur dan penyakit.5
Hilangnya peraturan yang mengatur tentang persyaratan rumah sakit pendidikan
menyebabkan tidak ada standardisasi yang jelas mengenai pendirian rumah sakit pendidikan.
Kondisi ini menyebabkan adanya kemungkinan sebuah rumah sakit tidak dapat menjadi fasilitas
pendidikan yang baik untuk menunjang program pendidikan kedokteran.
Ditambah lagi, RUU Cipta Kerja juga menghapus poin c pada UU No. 12 Tahun 2012
tentang pendidikan tinggi pada Pasal 63 yakni:
Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. akuntabilitas;
b. transparansi;
c. nirlaba;
d. penjaminan mutu; dan
e. efektivitas dan efisiensi.5
Perubahan terkait seolah memberikan kesan bahwa pemerintah berupaya untuk melakukan
industrialisasi sistem pendidikan di Indonesia, termasuk diantaranya pada pendidikan program
studi kedokteran. Seperti yang kita ketahui, biaya pendidikan kedokteran tidaklah murah. Menurut
data dari rata-rata biaya pendidikan per program studi di Kanada, pendidikan kedokteran gigi
menempati posisi paling tinggi dengan rata-rata senilai 21.717 USD dan disusul oleh kedokteran
senilai 14.162 USD.6
Gambar 1. Perbandingan biaya pendidikan berdasarkan program studi.6
Selain itu, definisi kerjasama dengan pihak lain terlalu luas dan rancu. Apa kriteria pihak
yang dapat bekerja sama untuk menanggung biaya pendidikan kedokteran? Tidak semua jenis
pihak ketiga dapat memberikan luaran yang baik untuk pendidikan kedokteran. University of
Toronto, sebuah insitusi pendidikan di Kanada, pernah nemerima pembiayaan yang besar dari
sebuah perusahaan farmasi pada tahun 2004. Hal ini menghasilkan para mahasiswanya memiliki
pemahaman yang bias mengenai obat. Fatalnya lagi, seorang dokter lulusan University of Toronto,
dr. Persaud, menyatakan bahwa salahnya pemahaman tersebut berkontribusi dalam angka
kematian Kanada terkait penggunaan suatu golongan obat. Pada akhirnya, ia mengajukan aduan
dan sistem pendidikan diubah pada tahun 2013.7 Kondisi ini dapat berdampak buruk bagi kualitas
pendidikan kedokteran ke depannya.
Masalah lain yang ditimbulkan adalah komersialisasi fasilitas pelayanan kesehatan dan
sistem pendidikan kedokteran. Hal ini tentu dapat mengancam kualitas pelayanan kesehatan dan
pendidikan kedokteran itu sendiri. Apalagi, kualitas pendidikan kedokteran juga terancam oleh
ketentuan-ketentuan lain yang tidak menjelaskan secara gamblang persyaratan akreditasi, kuota
nasional, dan kualitas rumah sakit pendidikan. Sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran dalam
pelayanan kesehatan yang sebelumnya sudah diatur secara komprehensif pun dihilangkan.
Koordinator Kajian
Kepala Departenen
Christopher Christian
Gabrielle Adani
Muhammad Reza
Peter Parulian Patriaganesha Hutahaean