Anda di halaman 1dari 24

KAJIAN RUU OMNIBUS LAW CIPTA KERJA

INVESTASI MUDAH, KESEHATAN


APA KABAR? #1

DEPARTEMEN KAJIAN DAN AKSI STRATEGIS

BEM IKM FKUI

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................................. 2
BAB 1: UU Kesehatan vs UU Cipta Kerja ................................................................................................... 4
1.1. Pengabaian Kualitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan ........................................................ 4
1.2. Pengabaian Kualitas Pelayanan Kesehatan Tradisional ................................................... 5
1.3. Pengabaian Kualitas Makanan dan Minuman yang Beredar ........................................... 6
1.4. Pemerintah Pusat sebagai Pengawas Kegiatan Bidang Kesehatan .................................. 7
Referensi ..................................................................................................................................... 9
BAB 2: UU Rumah Sakit vs RUU Cipta Kerja .......................................................................................... 10
2.1. Ketidakjelasan Bentuk Sanksi Pelanggaran ................................................................... 10
2.2. Perubahan Sistem Klasifikasi Rumah Sakit ................................................................... 11
2.3. Kedudukan Rumah Sakit sebagai Badan Usaha .............Error! Bookmark not defined.
2.4. Pelonggaran Sistem Regulasi Akredtasi ........................................................................ 13
2.5. Posisi Pemerintah Pusat sebagai Pengawas Rumah Sakit .............................................. 14
Referensi ................................................................................................................................... 16
BAB 3: UU Pendidikan Kedokteran vs RUU Cipta Kerja ......................................................................... 17
3.1. Tidak Diaturnya Kuota Penerimaan Mahasiswa ........................................................................ 17
3.2. Dihapusnya Persyaratan Rumah Sakit Pendidikan ..................................................................... 18
3.3. Komersialisasi Pendidikan Kedokteran? .................................... Error! Bookmark not defined.
3.4. Ketidakjelasan Bentuk Sanksi .................................................................................................... 20
Referensi: .................................................................................................................................. 22
BAB 4 Kesimpulan ..................................................................................................................................... 23
PEMBUKAAN
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Bagian Keempat membahas mengenai
Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi.
Penyederhanaan perizinan berusaha ini mencakup berbagai hal, seperti kelautan dan perikanan,
perindustrian, energi dan sumber daya mineral, pekerjaan umum dan perumahan rakyat, dan lain-
lain. Salah satu aspek vital yang juga terkena dampaknya dan belum mendapatkan banyak
pembahasan adalah aspek kesehatan, obat, dan makanan yang dibahas di Paragraf 11. Dalam Pasal
61, disebutkan bahwa terdapat perubahan dan penghapusan dari peraturan-peraturan yang ada pada
peraturan perundang-undangan lama serta penetapan ketentuan baru untuk memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan “Perizinan Berusaha” dalam sektor kesehatan,
obat-obatan, dan makanan. Beberapa Undang-Undang yang terpengaruh antara lain:

1. Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran

Berikut akan dibahas satu per satu mengenai perubahan-perubahan pada undang-undang
lama dan dampaknya.
BAB 1
UU Kesehatan vs UU Cipta Kerja
Undang-Undang ini termasuk salah satu peraturan perundangan yang paling banyak mengalami
perubahan. Beberapa perubahan tersebut juga berpotensi menjadi masalah apabila dibiarkan. Secara umum,
perubahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu perubahan umum dan perubahan khusus.

1.1. Pengabaian Kualitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah
“suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.”1 Kualitas pelayanan kesehatan sendiri
merupakan hal yang sangat vital. Menurut WHO, kualitas pelayanan kesehatan merupakan
komponen penting dalam right to health dan menurunkan angka kematian.2 Kualitas
pelayanan kesehatan yang baik juga dapat meningkatkan tingkat kesehatan dari populasi,
memberikan pengguna pelayanan kesehatan pengalaman yang baik, dan meningkatkan
afordabilitas.3
Kriteria dari kualitas pelayanan kesehatan yang baik sendiri terdiri dari 6 komponen,
antara lain:2

• Aman, berarti fasilitas pelayanan kesehatan dapat memberikan pelayanan kesehatan


yang meminimalisasi risiko pengguna fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk
menghindari cedera yang dapat dicegah dan mengurangi kesalahan medis.
• Efektif, berarti fasilitas pelayanan kesehatan menyediakan pelayanan kesehatan
berdasarkan pengetahuan ilmiah dan asas evidence-based.
• Tepat waktu, berarti fasilitas pelayanan kesehatan harus dapat memberikan
pelayanan kesehatan secepat mungkin dan mengurangi waktu penundaan.
• Efisien, berarti fasilitas pelayanan kesehatan memberikan pelayanan kesehatan
dengan cara-cara yang memaksimalkan penggunaan sumber daya yang ada dan
menghindari pemborosan.
• Adil, berarti fasilitas pelayanan kesehatan memberikan pelayanan kesehatan yang
tidak membeda-bedakan kualitas pelayanan yang diberikan kepada orang-orang dari
latar belakang yang berbeda-beda.
• Berfokus pada masyarakat, berarti fasilitas pelayanan kesehatan menyediakan
pelayanan kesehatan yang mempertimbangkan preferensi dan aspirasi dari pengguna
pelayanan kesehatan dan budaya dari komunitas.
Dalam peraturan perundang-undangan yang lama, sudah terdapat mekanisme yang
baik untuk menjamin kualitas dari fasilitas pelayanan kesehatan. Dalam UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan Pasal 35 ayat (2), disebutkan bahwa “Penentuan jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemerintah daerah dengan mempertimbangkan: luas wilayah; kebutuhan kesehatan; jumlah
dan persebaran penduduk; pola penyakit; pemanfaatannya; fungsi sosial; dan kemampuan
dalam memanfaatkan teknologi.”4 Hal-hal tersebut dibuat dengan mempertimbangkan
keenam kriteria fasilitas pelayanan kesehatan di atas. Sayangnya, pada RUU Cipta Kerja,
penjelasan akan pertimbangan-pertimbangan tersebut dihilangkan. Pada RUU Cipta Kerja
Pasal 35, hanya disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pelayanan
kesehatan dan Perizinan Berusaha diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Hal ini cukup
membingungkan, mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas sangatlah diperlukan untuk
menjamin kualitas dari fasilitas pelayanan kesehatan yang baik. Pada peraturan baru memang
disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Akan
tetapi, perubahan ini tetap saja memunculkan kemungkinan diabaikannya hal-hal tersebut
untuk membuka fasilitas pelayanan kesehatan yang baru, mengingat saat ini Peraturan
Pemerintah yang dimaksud belum dikeluarkan.

1.2. Pengabaian Kualitas Pelayanan Kesehatan Tradisional


Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pelayanan Kesehatan
Tradisional adalah “pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu
pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggung
jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.”4 Dalam Pasal
60 UU tersebut pula, disebutkan juga bahwa:

• Dalam ayat (1), “pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan
teknologi harus mendapatkan izin dari lembaga kesehatan yang berwenang.”
• Dalam ayat (2), “Penggunaan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama dan kebudayaan masyarakat.”

Lagi-lagi dalam RUU Cipta Kerja, terdapat penghilangan regulasi yang dimaksudkan
untuk mempermudah pembukaan usaha baru. Di RUU ini, Pasal 60 ayat (2) dari UU No. 36
Tahun 2009 tersebut diubah bunyinya menjadi “Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Hal ini
tentu cukup berbahaya mengingat Pasal 60 ayat (2) UU Kesehatan menjamin agar pelayanan
kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi memiliki kualitas yang baik,
tingkat keamanan yang terjamin, dan tidak akan bertentangan dengan kebudayaan dan norma
agama yang berlaku di masyarakat. Dihilangkannya hal ini dapat berpengaruh pada kualitas
dan tingkat keamanan dari pelayanan kesehatan tradisional. Kemudian, perubahan ini juga
memungkinkan pelayanan kesehatan tradisional yang ada dibuka tanpa memperhatikan
kebudayaan setempat. Hal ini pertama-tama memunculkan kontradiksi terhadap Pasal 49
ayat (2) UU Kesehatan sendiri yang menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan upaya kesehatan
harus memerhatikan fungsi sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya, moral, dan etika
profesi.”4 Selain itu, perubahan ini juga seakan menyepelekan peran dari budaya, nilai,
norma agama, dan moral yang dimiliki masyarakat setempat. Padahal, semua hal tersebut
akan berpengaruh terhadap cara mereka merawat kesehatan diri mereka dan cara mereka
membuat keputusan yang berkaitan dengan kesehatan mereka. Pelayanan kesehatan yang
diberikan tanpa memedulikan aspek-aspek tersebut dapat memengaruhi bagaimana pasien
menerima informasi yang diberikan dan juga persepsi pasien terhadap tindakan yang
diberikan—sehingga dapat menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas pelayanan
kesehatan tradisional.5

1.3. Pengabaian Kualitas Makanan dan Minuman yang Beredar


Dalam UU Kesehatan Pasal 111 ayat (3), disebutkan bahwa:
“Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi:
a. Nama produk;
b. Daftar bahan yang digunakan;
c. Berat bersih atau isi bersih;
d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan
minuman kedalam wilayah Indonesia; dan
e. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa.“

Dalam RUU Cipta Kerja, ayat tersebut dihilangkan dan hanya disebutkan secara
sepintas pada Pasal 111 ayat (1) bahwa tetap akan ada standar dan persyaratan kesehatan
yang harus dipenuhi sebelum makanan dan minuman boleh diedarkan. Namun, standar dan
persyaratan kesehatan tersebut tidak dijelaskan secara jelas pada RUU Cipta Kerja. UU
Kesehatan Pasal 111 ayat (5) yang mengatur tentang ketentuan tata cara pemberian label juga
dihilangkan. Perubahan ini tentu memunculkan pertanyaan, apakah setelah ditetapkannya
RUU Cipta Kerja ini makanan kemasan tidak wajib untuk memberikan tanda atau label di
kemasannya? Padahal, belum lama ini diterbitkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan No. 31 Tahun 2018 tentang Label Olahan Pangan yang salah satu pertimbangannya
adalah “memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap
produk pangan olahan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan
olahan”. Langkah yang diambil oleh pemerintah ini lagi-lagi berkontradiksi dengan
peraturan yang sebelumnya sudah diterbitkan.6 Kemudian, penghilangan kewajiban untuk
mencantumkan label ini juga dapat berdampak buruk bagi konsumen. Pemberian label pada
makanan ditujukan untuk menginformasikan kepada konsumen mengenai zat-zat yang
terkandung pada makanan dan minuman tersebut agar bisa disesuaikan dengan pola makan,
alergi, selera pribadi, dan harganya. Penghilangan label dapat membahayakan keamanan
makanan, khususnya karena tidak diketahuinya zat-zat yang terkandung dalam makanan. Hal
ini berpotensi menyebabkan makanan dan minuman kemasan dapat mengandung zat-zat
yang dapat menimbulkan efek buruk kepada orang-orang dengan kondisi tertentu.
Selain itu, secara etis tentu setiap orang memiliki hak untuk mengetahui informasi-
informasi tersebut agar dapat benar-benar yakin bahwa makanan dan minuman yang ia beli
sesuai dengan kebutuhannya.7 Hak ini juga disebutkan dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 4, yang menyatakan bahwa salah satu hak konsumen adalah
“hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa”, dan Pasal 7 UU tersebut yang menyebutkan bahwa salah satu kewajiban
pelaku usaha adalah “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan.”8 Perubahan yang ada ini akan menyebabkan penyimpangan dari UU tersebut
karena melanggar hak atas informasi yang dimiliki oleh konsumen.

1.4. Pemerintah Pusat sebagai Pengawas Kegiatan Bidang Kesehatan


Terkait pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan usaha di bidang kesehatan,
berdasarkan Pasal 182, 183, 187, dan 188, peran pengawas yang sebelumnya merupakan
tugas dari menteri atau kepala dinas, berpindah menjadi pemerintah pusat. Baik berdasarkan
RUU Cipta Kerja Pasal 1 maupun UU Kesehatan Pasal 1, “pemerintah pusat” yang dimaksud
pada pasal terkait merujuk kepada Presiden Republik Indonesia.
Terkait hal ini, pengawasan usaha di bidang kesehatan diatur lebih lanjut pada
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 10 Tahun 2018 tentang Pengawasan Bidang
Kesehatan. Pasal 2 Permenkes tersebut menyatakan bahwa “Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyelenggarakan Pengawasan di Bidang
Kesehatan”. Dengan demikian, perubahan redaksi dari “menteri atau kepala dinas” menjadi
“pemerintah pusat” akan menghilangkan peranan pemerintah daerah untuk mengawasi
jalannya kegiatan usaha pada bidang kesehatan.9
Pasal selanjutnya pun senada. Pasal 187 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai pengawasan yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri, berubah menjadi
Peraturan Pemerintah. Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada Pasal 187 merujuk
pada Permenkes tentang Pengawasan Bidang Kesehatan yang sudah dibahas sebelumnya.
Permenkes tersebut sudah mengatur tentang objek pengawasan, pengangkatan dan
pemberhentian tenaga pengawas, tugas dan wewenang tenaga pengawas, pelaksanaan, dan
ketentuan-ketentuan lainnya. Berdasarkan Permenkes tersebut, ketentuan mengenai
pengawasan sudah memiliki penjelasan yang komprehensif dan mendalam. Jika Permenkes
ini digantikan dengan Peraturan Pemerintah yang baru, regulasi tersebut belum tentu dapat
mencakup ketentuan yang serupa, bahkan bisa menimbulkan turunnya kualitas pengawasan
di bidang kesehatan.9
Selanjutnya, Pasal 188 yang mengatur tentang tindakan administratif terkait
pelanggaran yang dilakukan tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan, yang tadinya
merupakan wewenang menteri, berpindah menjadi wewenang pemerintah pusat. Ditambah
lagi, fungsi delegasi wewenang pengawasan dan penjabaran tindakan administratif yang
tadinya sudah ada di UU Kesehatan, malah dihilangkan pada draf RUU Cipta Kerja. Hal ini
memunculkan dua masalah. Pertama, kompetensi untuk mengawasi hal-hal terkait bidang
kesehatan tentu lebih sesuai dimasukkan pada ranah kerja Kementerian Kesehatan.
Pemindahan wewenang kepada Pemerintah Pusat, dalam hal ini, dirasa langkah yang kurang
bijak. Kedua, dengan dihilangkannya fungsi delegasi wewenang pengawasan, seluruh
kegiatan dan fasilitas kesehatan di seluruh daerah yang ada di Indonesia akan diawasi oleh
Pemerintah Pusat. Langkah ini juga dirasa kurang strategis karena Pemerintah Pusat belum
tentu mengetahui kondisi kegiatan dan fasilitas kesehatan di daerah-daerah.
Pada UU Kesehatan, tindakan administratif didefinisikan dalam Pasal 188 ayat (3),
dan pada ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut akan diatur oleh menteri.
Kembali lagi, ayat (4) ini merujuk pada Peraturan Menteri No. 10 Tahun 2018 tentang
Pengawasan Bidang Kesehatan. Pada Permenkes tersebut juga diatur penjabaran mengenai
tindakan administratif bagi pelanggaran yang dilakukan tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan, termasuk tata cara pemberian tindakan administratif tersebut. Sama seperti poin
pada pembahasan pasal sebelumnya, jika Permenkes ini digantikan, peraturan pemerintah
yang baru belum tentu dapat memuat ketentuan yang komprehensif mengenai tindakan
administratif ini. Hal tersebut tentunya dapat dinilai tidak efektif karena sejauh ini
Permenkes No. 10 Tahun 2018 yang ada sudah cukup komprehensif.9
Penghilangan fungsi delegasi pada Pasal 188 dapat berpengaruh pada penumpukan
kewajiban pemegang tanggung jawab terkait. Pada kasus ini, pemegang kekuasaan tersebut
adalah pemerintah pusat yang merupakan Presiden Republik Indonesia. Dasar dari
penghapusan fungsi delegasi ini masih belum jelas dan dapat dinilai kurang bijaksana karena
pemerintah pusat, yang memiliki menteri-menteri dan dinas-dinas untuk dapat dilakukan
delegasi, tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal tersebut yang tertera di pasal ini.
Selain itu, lagi-lagi kementerian terkaitlah yang lebih mengerti mengenai ranah kerja masing-
masing. Hal yang ditakutkan adalah pemindahan wewenang ini dapat memicu kelonggaran
dari pengawasan fasilitas dan aktivitas kesehatan yang ada.
Referensi

1. Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2016


tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Lembaga Negara RI Tahun 2016. Sekretariatan
Negara. Jakarta.
2. World Health Organization. What is quality care and why is it important? [Internet].
Geneva: World Health Organization; 2020 [cited 2020 Mar 15]. Available from:
https://www.who.int/maternal_child_adolescent/topics/quality-of-care/definition/en/
3. Isham G. Importance & imperatives of improving healthcare quality [published lecture
notes]. HealthPartners. Chicago: HealthPartners; lecture given 2013 June 29.
4. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Lembaga Negara RI Tahun 2009. Sekretariatan Negara. Jakarta.
5. Agency for Healthcare Research and Quality. Consider culture, customs, and beliefs: tool
#10 [Internet]. Rockville: Agency for Healthcare Research and Quality; 2015 Feb [cited
2020 Mar 15]. Available from: https://www.ahrq.gov/health-literacy/quality-
resources/tools/literacy-toolkit/healthlittoolkit2-tool10.html
6. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Peraturan Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia tahun 2018. Sekretariatan Negara. Jakarta.
7. Food Standards Agency. Packaging and labelling [Internet]. United Kingdom: Food
Standards Agency; 2018 Jan 19 [cited 2020 Mar 15]. Available from:
https://www.food.gov.uk/business-guidance/packaging-and-labelling
8. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Lembaga Negara RI Tahun 1999. Sekretariatan Negara. Jakarta.
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10
Tahun 2018 tentang Pengawasan Bidang Kesehatan. Kementerian Kesehatan Tahun 2018.
Sekretariatan Negara. Jakarta.
BAB 2
UU Rumah Sakit vs RUU Cipta Kerja

2.1. Ketidakjelasan Bentuk Sanksi Pelanggaran


RUU Cipta Kerja turut mengubah peraturan mengenai rumah sakit. Pada Undang-Undang
sebelumnya, disebutkan bahwa “Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal
15, dan Pasal 16 tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin
operasional rumah sakit”. Sementara itu, RUU Cipta Kerja mengubah bunyi pasal tersebut menjadi
“Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 dikenakan sanksi
administratif".
Pasal-pasal yang disebutkan merupakan pasal yang mengatur syarat pendirian rumah sakit, yaitu
syarat lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Apabila
RUU Cipta Kerja disahkan, sanksi berjenjang dihapus dan digantikan dengan sanksi administratif
saja. Sampai saat ini, belum ada keterangan jelas mengenai sanksi administratif yang dimaksud
oleh pasal 17 tersebut. Hal ini tentu membuka kemungkinan peringanan sanksi yang akan diterima
oleh rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan. Padahal, kualitas-kualitas seperti yang sudah
disebutkan di atas cukup penting untuk menjamin pelayanan kesehatan yang baik.
Selain itu, perubahan lainnya terletak pada sanksi yang dikenakan apabila melanggar kewajiban
sebuah rumah sakit. Pada Undang-Undang sebelumnya, pasal tersebut berbunyi “Pelanggaran atas
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa: teguran,
teguran tertulis, atau denda dan pencabutan izin Rumah Sakit”. Sementara itu, RUU Cipta Kerja
mengusulkan bunyi pasal tersebut berubah menjadi “Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif”.
Ayat (1) pada pasal tersebut menyebutkan kewajiban setiap rumah sakit meliputi pelayanan, sarana
dan prasarana, standar mutu, etika, dan peraturan internal. Undang-Undang yang berlaku saat ini
dengan jelas menyebutkan jenis-jenis sanksi adminisratif yang dapat dikenakan kepada pihak yang
melanggar. Namun, RUU Cipta Kerja tidak menjelaskan sanksi administratif yang dimaksud.
Lagi-lagi, hal ini membuka kemungkinan diberikannya sanksi yang lebih ringan terhadap
pelanggaran kewajiban rumah sakit yang sebenarnya cukup penting untuk menjamin kualitas
pelayanan kesehatan yang baik.
2.2. Perubahan Sistem Klasifikasi Rumah Sakit
Pada Undang-Undang, sistem klasifikasi diatur oleh pasal yang berbunyi “Dalam rangka
penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum
dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah
Sakit”. Ayat berikutnya di Undang-Undang turut menentukan klasifikasi RS yang dimaksud, yaitu
“Klasifikasi RS umum terdiri atas RS umum kelas A, RS umum kelas B, RS umum kelas C, dan
RS umum kelas D. Klasifikasi RS khusus terdiri atas RS khusus kelas A, RS khusus kelas B, RS
khusus kelas C. Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi diatur dengan Peraturan Menteri.”
RUU Cipta Kerja turut mengubah sistem klasifikasi dengan bunyi pasal “Pemerintah
menetapkan klasifikasi rumah sakit berdasarkan kemampuan pelayanan. Ketentuan lebih lanjut
mengenai klasifikasi rumah sakit diatur oleh Peraturan Pemerintah”. Perubahan ini menunjukkan
adanya upaya sentralisasi penentuan klasifikasi rumah sakit—penggunaan kata ‘Pemerintah’ dan
PP yang akan mengatur lebih lanjut. Dengan RUU Cipta Kerja, fasilitas tidak lagi menjadi penentu
klasifikasi rumah sakit. Selain itu, sistem klasifikasi yang tidak dijelaskan secara langsung di RUU
Cipta Kerja menimbulkan adanya asumsi mengenai perombakan sistem klasifikasi rumah sakit.
Masalah terbesar terletak pada “Pemerintah” sebagai penentu klasifikasi rumah sakit. Siapa
Pemerintah yang dimaksud? Apa wewenangnya dalam menentukan klasifikasi rumah sakit?
Padahal, selama ini sistem klasifikasi rumah sakit telah diatur sedemikian rupa oleh Kementerian
Kesehatan. Lagi-lagi masalah utama di sini adalah dalam hal kompetensi, dimana Kementerian
Kesehatan tentu memiliki kompetensi yang lebih cocok dalam hal pengklasifikasian rumah sakit.

2.3. Kedudukan Rumah Sakit sebagai Badan Usaha


Terdapat beberapa perubahan vital yang diajukan RUU Cipta Kerja dalam poin ini. Pada
Undang-Undang sebelumnya, izin rumah sakit diatur dengan pasal yang berbunyi “Seiap
penyelenggara Rumah Sakit wajib memiliki izin. Izin terdiri dari izin mendirikan dan izin
operasional. Izin mendirikan diberikan untuk jangka waktu dua tahun dan dapat diperpanjang satu
tahun. Izin operasional diberikan untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang kembali
selama memenuhi persyaratan.” Sementara itu, RUU Cipta Kerja memangkas regulasi tersebut
dengan pasal yang berbunyi “Setiap penyelenggara Rumah Sakit wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.”
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2020, izin mendirikan adalah izin yang
diajukan oleh pemilik Rumah Sakit untuk mendirikan bangunan atau mengubah fungsi bangunan
yang telah ada menjadi Rumah Sakit. Izin operasional merupakan izin yang diajukan oleh
pimpinan Rumah Sakit untuk melakukan kegiatan pelayanan kesehatan termasuk penetapan kelas
Rumah Sakit. Adapun alur perizinan rumah sakit ditunjukkan oleh gambar di bawah ini.1
Gambar 1. Ringkasan alur perizinan rumah sakit.1
Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan: (1) apakah izin Rumah Sakit cukup dengan
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat?; (2) mengapa izin mendirikan dan izin
operasional ditiadakan?; (3) mengapa pemberian izin dilakukan oleh Pemerintah Pusat? Upaya
sentralisasi lagi-lagi tampak—sekarang dalam upaya pemberian izin rumah sakit. Selain itu,
jangka waktu dan perpanjangan belum dibahas dalam RUU Cipta Kerja.
Izin mendirikan dan izin operasional bukanlah dua tahap yang mudah untuk dipersiapkan.
Pihak pemilik Rumah Sakit harus mengantongi sejumlah dokumen—seperti studi kelayakan,
master plan, detail engineering design, dokumen lingkungan, IMB, lainnya—serta rekomendasi
dari pejabat terkait untuk mendapatkan izin mendirikan. Selanjutnya, untuk mengecek kesiapan
operasional Rumah Sakit, pihak pemilik harus mempersiapkan banyak hal, seperti profil Rumah
Sakit, asesmen diri untuk menilai rumah sakit, daftar SDM, daftar peralatan, daftar kefarmasian,
dan lainnya. Sebelum izin operasional diberikan, dilakukan verifikasi dan visitasi oleh tim. Lantas,
mengapa izin kompleks yang menjamin kualitas dan mutu rumah sakit tersebut diganti dengan
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat yang sampai sekarang belum ditentukan? Hal ini
menimbulkan asumsi berupa adanya keringanan izin membuka Rumah Sakit.
Selain itu, Undang-Undang sebelumya meregulasi penanaman modal terhadap Rumah
Sakit. Disebutkan dalam pasal bahwa izin Rumah Sakit Kelas A dan Rumah Sakit penanaman
modal asing/dalam negeri diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari pejabat
yang berwenang di Pemerintah Daerah Provinsi. Pada RUU Cipta Kerja, ketentuan pada pasal ini
dihapus dan tidak disinggung pada pasal lainnya. Hal ini kembali mencetus kebingungan, siapa
yang dapat memberikan izin Rumah Sakit kelas A dan Rumah Sakit penanaman modal
asing/dalam negeri? Apa hal yang dapat menjadi dasar klasifikasi rumah sakit apabila rekomendasi
tidak diatur pada pasal ini?
Pasal selanjutnya menyebutkan sesuatu yang tampaknya sudah menjadi pola di RUU Cipta
Kerja. Undang-Undang sebelumnya menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan
diatur dengan Peraturan Menteri. Sementara itu, RUU Cipta Kerja menyatakan bahwa ketentuan
lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini kembali menunjukkan sentralisasi dan
kursi emas Pemerintah Pusat untuk mengatur ketentuan di dalamnya. Kompetensi Pemerintah
Pusat dalam hal ini kembali menjadi sebuah pertanyaan besar.

2.4. Pelonggaran Sistem Regulasi Akreditasi


Perubahan dalam regulasi akreditasi terdapat pada periode akreditasi. Pada UU RS,
akreditasi dilakukan berkala minimal tiga tahun sekali, sedangkan RUU Cipta Kerja menyebutkan
bahwa akreditasi dilakukan berkala saja tanpa pencantuman jangka waktu yang jelas. Selain
periode akreditasi, lembaga akreditasi yang awalnya ditetapkan oleh Menteri, diubah menjadi oleh
pemerintah pusat. Ketentuan lebih mengenai akreditasi juga akan diatur oleh peraturan
pemerintah.2
UU RS hanya membahas akreditasi pada bagian ketiga Pasal 40 dengan 4 ayat yang
tercantum. Pembahasan dan regulasi akreditasi rumah sakit di Indonesia diatur oleh Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit.
Pasal 2 PMK RI No 34/2017 menyebutkan bahwa pengaturan akreditasi rumah sakit utamanya
bertujuan untuk meningkatkan mutu dari pelayanan rumah sakit dan melindungi keselamatan
pasien di rumah sakit. Seperti yang tercantum pada UU RS, akreditasi diselenggarakan secara
berkala setiap tiga tahun sekali. Lembaga penyelenggara akreditasi adalah lembaga independen
dari dalam atau luar negeri yang ditetapkan oleh Menteri. Lembaga independen tersebut juga harus
terakreditasi oleh International Society for Quality in Health Care (ISQua).2-3
Akreditasi yang ditetapkan memiliki jangka waktu minimal tiga tahun sekali seperti pada
UU RS dan PMK RI No 34/2017 tentu akan memastikan bahwa semua rumah sakit kualitasnya
akan terpantau, setidaknya sekali dalam tiga tahun. Joint Commission International (JCI) sebagai
lembaga pemberi akreditasi organisasi kesehatan dan digunakan oleh mayoritas rumah sakit di
Amerika Serikat juga menyebutkan bahwa akreditasi untuk rumah sakit dilakukan tiga tahun
sekali, sedangkan untuk laboratorium dilakukan dua tahun sekali.4 Akreditasi rumah sakit
bertujuan untuk menilai bagaimana kualitas rumah sakit tersebut berdasarkan standar yang sudah
ditetapkan. UU RS dan PMK RI No 34/2017 mencantumkan regulasi mengenai periode waktu
akreditasi sehingga status akreditasi semua rumah sakit adalah kualitas terkini dari rumah sakit
tersebut. Jelas menjadi masalah apabila akreditasi tidak memiliki periode minimal yang jelas.
Periode waktu akreditasi yang tidak jelas dapat menyebabkan status akreditasi yang dimiliki
sebuah rumah sakit tidak dapat dipercaya lagi atau tidak dapat menunjukkan standar dari rumah
sakit tersebut. Rumah sakit yang memiliki akses yang sulit dan jarang (melebihi tiga tahun) untuk
dilakukan akreditasi tentu tidak dapat dijamin status akreditasinya. Adanya ketetapan waktu yang
jelas dalam akreditasi adalah satu hal yang wajib dicantumkan agar kontrol kualitas rumah sakit
jelas periodenya dan selalu diperbarui.
Perpindahan penetapan lembaga akreditasi rumah sakit menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat juga tidak memiliki tujuan yang jelas. Sudah tepat bahwa Menteri Kesehatan mengatur hal
ini, terutama mengenai akreditasi rumah sakit melalui Permenkes, tetapi justru diubah menjadi
Pemerintah Pusat yang perannya tidak dijelaskan lebih lanjut dalam RUU Cipta Kerja. Adanya
perubahan yang tidak memiliki tujuan yang jelas dapat merusak sistem regulasi oleh Menteri
Kesehatan yang tidak memiliki masalah untuk saat ini.

2.5. Posisi Pemerintah Pusat sebagai Pengawas Rumah Sakit


UU RS menyebutkan bahwa peran pembinaan dan pengawasan rumah sakit selain
dilakukan oleh organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan organisasi kemasyarakatan
lainnya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam RUU Cipta Kerja, hal tersebut
dilakukan oleh pemerintah pusat.
Pembahasan mendalam mengenai pengawas rumah sakit dijelaskan pada Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit.
Peran pemerintah pusat dalam pembinaan dan pengawasan rumah sakit dilakukan oleh Badan
Pengawas Rumah Sakit Indonesia (BPRS) yang merupakan unit nonstruktural kementerian,
sedangkan peran dari pemerintah daerah dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi
(BPRS Provinsi) yang merupakan dinas kesehatan provinsi. Suatu provinsi yang belum memiliki
BPRS Provinsi, tugas BPRS Provinsi tersebut akan dilaksanakan oleh dinas kesehatan provinsi.
Tugas dari BPRS adalah membuat pedoman pengawasan rumah sakit serta sistem pelaporan dan
informasi untuk BPRS Provinsi. Pasal 17 juga menyebutkan tata kerja BPRS yaitu dalam
melaksanakan tugasnya, BPRS berkoordinasi dengan BPRS Provinsi dan tenaga pengawas rumah
sakit. Ada pun tugas dari BPRS Provinsi adalah mengawasi dan menjaga hak kewajiban pasien
dan rumah sakit; mengawasi penerapan etika rumah sakit, profesi, dan peraturan perundang-
undangan; melaporkan hasil pengawasan ke BPRS; serta menganalisis hasil pengawasan untuk
memberikan rekomendasi ke pemerintah daerah.5
Pemindahan peran pengawas rumah sakit dari pemerintah dan pemerintah daerah menjadi
pemerintah pusat tentu menimbulkan permasalahan. Rumah sakit yang tersebar di seluruh
Indonesia memang sudah seharusnya diawasi oleh pemerintah pusat, tetapi hal tersebut tentu
memerlukan perpanjangan tangan berupa pemerintah daerah tempat rumah sakit tersebut berada.
Adanya penghapusan pemerintah daerah sebagai pengawas rumah sakit tentu akan menghilangkan
komponen-komponen tugas BPRS Provinsi sebagai pengawas di tingkat daerah (provinsi).
Wewenang BPRS Provinsi dalam mengawasi dan menjaga hak dan kewajiban pasien serta rumah
sakit di wilayahnya dalam hal ini menjadi tidak jelas. Selain itu, terdapat juga kemungkinan
masalah yang dapat muncul terutama dalam menganalisis hasil pengawasan. BPRS Provinsi
sebagai pengawas rumah sakit di daerah tertentu tentu dapat menilai bagaimana rekomendasi serta
prioritas pembinaan yang akan diberikan kepada pemerintah daerah secara cermat dan tepat.
Hilangnya fungsi ini dapat mengakibatkan setiap rekomendasi perlu diberikan dari BPRS yang
selain akan menurunkan efisiensi waktu, juga dapat menurunkan kualitas rekomendasi yang
diberikan.
Referensi
1. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Klasifikasi dan Perizinan
Rumah Sakit. Jakarta; 2020.
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Jakarta;
2009.
3. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2017 Tentang Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta; 2017.
4. What is accreditation [Internet]. The Joint Commission; [cited 2020 Mar 13]. Available
from: https://www.jointcommission.org/accreditation-and-certification/become-
accredited/what-is-accreditation/
5. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 49 Tahun
2013 Tentang Badan Pengawas Rumah Sakit. Jakarta; 2013.
BAB 3
UU Pendidikan Kedokteran vs RUU Cipta Kerja
Peran serta pemerintah dalam mencampuradukkan kebijakan mengenai pendidikan
kedokteran menimbulkan ketidaksesuaian dengan kebijakan yang berlaku saat ini. Regulasi
mengenai pendidikan kedokteran sudah diatur pada Undang Undang nomor 20 tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran beserta peraturan peraturan lain yang mendukung, Standar Pendidikan
Profesi Dokter Indonesia oleh Konsil Kedokteran Indonesia, dan ketetapan lainnya. Perubahan
yang tercantum pada RUU Cipta Kerja memberikan banyak kompromi mengenai kualitas dari
pendidikan kedokteran. Hal ini tentu dapat berujung kepada pendanaan sistem pendidikan sampai
kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkan. Pengkajian mengenai perubahan tersebut akan
dijabarkan berdasarkan poin inti permasalahan.

3.1. Tidak Diaturnya Kuota Penerimaan Mahasiswa


RUU Cipta Kerja turut mengatur pasal 9 pada Undang-Undang Pendidikan Kedokteran
yang mengatur mengenai kuota penerimaan mahasiswa untuk program studi kedokteran dan
kedokteran gigi yang berbunyi:1
(1) Program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi hanya dapat menerima
Mahasiswa sesuai dengan kuota nasional.
(2) Ketentuan mengenai kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang kesehatan.

Pasal ini menjelaskan bahwa kuota tersebut diatur dalam Peraturan Kementerian nomor 43
tahun 2017 tentang Kuota Nasional dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Program Studi
Kedokteran dan Program Studi Kedokteran Gigi. Permen ini menyatakan bahwa kuota nasional
harus mempertimbangkan hal berikut:2
a. Peringkat akreditasi program studi
b. Persentase kelulusan Uji Kompetensi Mahasiswa
c. Kerjasama institusi pendidikan dengan rumah sakit
d. Rasio dosen dan mahasiswa
e. Rasio alat kedokteran gigi (khusus Fakultas Kedokteran Gigi)
f. Kuota khusus untuk program studi baru (FK: 50; FKG: 25)

Penghapusan pasal ini menyebabkan tidak adanya aturan mengenai kuota penerimaan
mahasiswa dari kedua program tersebut. Masih belum diketahui secara jelas apa latar belakang
terjadi perubahan tersebut, apalagi mengingat alasan Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi memberlakukan Peraturan Kementerian tersebut sebagai upaya dalam
pengembangan program studi kedokteran dari segi peningkatan mutu pendidikan.3
Kuota penerimaan mahasiswa berkaitan erat dengan kualitas serta akreditasi dari suatu
institusi pendidikan. Mendirikan sebuah program studi kedokteran dan kedokteran gigi
memerlukan biaya yang cukup tinggi.4 Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dalam
Standar Pendidikan Pendidikan Profesi Dokter Indonesia jumlah mahasiswa baru setiap tahun
ajaran harus memenuhi standar sarana dan prasarana pendidikan, rasio mahasiswa dan dosen pada
tahap akademik sebanyak 10 : 1 dan rasio 5 : 1 pada tahap profesi, dan sesuai dengan peraturan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.5
Dengan tidak terkendalinya kuota penerimaan, dikhawatirkan institusi terkait tidak dapat
memberikan fasilitas dan sarana yang sesuai dengan jumlah mahasiwa. Masalah ini dapat berujung
kepada peningkatan angka ketidaklulusan dan penurunan kualitas pendidikan, terutama untuk
program studi baru yang masih memerlukan uji coba dalam pembelajaran.

3.2. Dihapusnya Persyaratan Rumah Sakit Pendidikan


Menurut RUU Cipta Kerja, pengatur kebijakan dari Pendidikan di Rumah Sakit berpindah
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—setelah mengambil alih urusan perguruan tinggi
dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi—menjadi Pemerintah Pusat. Ketentuan
tersebut menimbulkan sebuah tanda tanya akan kredibilitas Pemerintah Pusat untuk mengatur
pendidikan dalam ranah kesehatan. Seharusnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta
Kementerian Kesehatan memiliki kompetensi yang lebih sesuai mengenai pendidikan bidang
kesehatan dibandingkan Pemerintah Pusat.

Terdapat perubahan syarat berdirinya rumah sakit pendidikan yang berpotensi merugikan
kualitas pendidikan, yakni dengan dihapusnya ayat 3 pada pasal 13 dari RUU Cipta Kerja sebagai
berikut:

(1) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebagai berikut:
a. mempunyai Dosen dengan kualifikasi Dokter dan/atau Dokter Gigi sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. memiliki teknologi kedokteran dan/atau kedokteran gigi yang sesuai dengan Standar
Nasional Pendidikan Kedokteran;
c. mempunyai program penelitian secara rutin; dan
d. persyaratan lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan.

Sesuai dengan Standar Pendidikan Profesi Indonesia yang dikeluarkan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia, rumah sakit pendidikan harus ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan
untuk menjamin tercapainya Standar Kompetensi Dokter. Fasilitas tersebut juga harus dinyatakan
dengan perjanjian kerjasama antara pimpinan institusi pendidikan, penyedia fasilitas, beserta
pemerintah setempat. Rumah Sakit Pendidikan juga harus memiliki variasi dokter sesuai dengan
disiplin ilmu dan jenis kasus bervariasi menurut umur dan penyakit.5
Hilangnya peraturan yang mengatur tentang persyaratan rumah sakit pendidikan
menyebabkan tidak ada standardisasi yang jelas mengenai pendirian rumah sakit pendidikan.
Kondisi ini menyebabkan adanya kemungkinan sebuah rumah sakit tidak dapat menjadi fasilitas
pendidikan yang baik untuk menunjang program pendidikan kedokteran.

3.3. Komersialisasi Pendidikan Kedokteran?


Biaya investasi yang semula ditanggung oleh Menteri Kesehatan diubah menjadi bagian
dari tanggungan pemerintah pusat dan dapat berupa kerja sama bersama pihak lain. Pemindahan
tanggungan ini terdapat pada pasal 71 RUU Cipta Kerja. Perubahan tersebut berbunyi:
(1) Biaya investasi untuk Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi milik instansi
pemerintah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.
(2) Biaya investasi untuk Rumah Sakit Pendidikan milik instansi pemerintah menjadi
tanggung jawab Pemerintah Pusat.
(3) Biaya investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat dikerjasamakan dengan
pihak lain.

Ditambah lagi, RUU Cipta Kerja juga menghapus poin c pada UU No. 12 Tahun 2012
tentang pendidikan tinggi pada Pasal 63 yakni:
Otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. akuntabilitas;
b. transparansi;
c. nirlaba;
d. penjaminan mutu; dan
e. efektivitas dan efisiensi.5

Perubahan terkait seolah memberikan kesan bahwa pemerintah berupaya untuk melakukan
industrialisasi sistem pendidikan di Indonesia, termasuk diantaranya pada pendidikan program
studi kedokteran. Seperti yang kita ketahui, biaya pendidikan kedokteran tidaklah murah. Menurut
data dari rata-rata biaya pendidikan per program studi di Kanada, pendidikan kedokteran gigi
menempati posisi paling tinggi dengan rata-rata senilai 21.717 USD dan disusul oleh kedokteran
senilai 14.162 USD.6
Gambar 1. Perbandingan biaya pendidikan berdasarkan program studi.6
Selain itu, definisi kerjasama dengan pihak lain terlalu luas dan rancu. Apa kriteria pihak
yang dapat bekerja sama untuk menanggung biaya pendidikan kedokteran? Tidak semua jenis
pihak ketiga dapat memberikan luaran yang baik untuk pendidikan kedokteran. University of
Toronto, sebuah insitusi pendidikan di Kanada, pernah nemerima pembiayaan yang besar dari
sebuah perusahaan farmasi pada tahun 2004. Hal ini menghasilkan para mahasiswanya memiliki
pemahaman yang bias mengenai obat. Fatalnya lagi, seorang dokter lulusan University of Toronto,
dr. Persaud, menyatakan bahwa salahnya pemahaman tersebut berkontribusi dalam angka
kematian Kanada terkait penggunaan suatu golongan obat. Pada akhirnya, ia mengajukan aduan
dan sistem pendidikan diubah pada tahun 2013.7 Kondisi ini dapat berdampak buruk bagi kualitas
pendidikan kedokteran ke depannya.

3.4. Ketidakjelasan Bentuk Sanksi Pelanggaran


Bentuk awal dari sanksi apabila melanggar pasal-pasal dari UU Pendidikan Kedokteran
memiliki nilai yang lebih definitif dibandingkan setelah diubah pada RUU Cipta Kerja. Bentuk
sanksi administrasi yang dicantumkan pada UU Pendidikan Kedokteran adalah:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Penghentian pembinaan;
d. Penundaan kenaikan pangkat;
e. Penurunan pangkat; dan/atau
f. Pencabutan izin.
Bentuk sanksi tersebut juga dicantumkan pada PP nomor 52 tahun 2017 dengan nilai-nilai
serupa. Sementara itu, RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa bentuk sanksi akan tertera pada
Peraturan Pemerintah yang belum ditentukan. Hal ini memunculkan kemungkinan akan pemberian
sanksi yang lebih ringan atau bahkan sanksi yang tidak cukup sesuai. Padahal, kualitas pendidikan
kedokteran merupakan hal yang sangat vital dan dapat berdampak besar pada kualitas pelayanan
kesehatan dan pada akhirnya kondisi kesehatan negara nantinya.
Referensi:
1. Republik Indonesia. Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 43
Tahun 2017 tentang Kuota Nasional dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Program
Studi Kedokteran dan Program Studi Kedokteran Gigi. Lembaga Negara RI Tahun 2013.
Sekretariatan Negara. Jakarta.
2. Tempo.co. 2017. “Alasan Kemenristekdikti Batasi Kuota Mahasiswa Kedokteran”. Di:
https://nasional.tempo.co/read/872545/alasan-kemenristekdikti-batasi-kuota-mahasiswa-
kedokteran/full&view=ok
3. Institute of Medicine (US) Division of Health Sciences Policy. 1983. Medical Education
and Societal Needs: A Planning Report for the Health Professions. Washington DC:
National Academies Press US.
4. Prasetyo F. Berapa kisaran biaya kuliah kedokteran di Universitas Swasta? Kompas.com.
2020 Jan 41. Available from:
https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/24/10504841/berapa-kisaran-biaya-kuliah-
kedokteran-di-5-universitas-swasta?page=all
5. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia.
6. Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi. Lembaga Negara RI Tahun 2012. Sekretariatan Negara. Jakarta.
7. Statistics Canada. Tuition fees for degree prorams, 2019/2020. Statistics Canada. 2019 Sept
4th. From: https://www150.statcan.gc.ca/n1/daily-quotidien/190904/dq190904b-eng.htm
8. The Daily. Big pharma pours milion into medical schools – here’s how it can impact
education. GlobalNews. 2019 August 12th. From:
https://globalnews.ca/news/5738386/canadian-medical-school-funding/
BAB 4
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja
yang memiliki tujuan utama untuk penyederhanaan perizinan berusaha, khususnya di aspek
kesehatan, telah menimbulkan cukup banyak permasalahan yang dapat mengancam kualitas
pelayanan kesehatan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari penghilangan pasal-pasal yang
berpotensi mengancam kualitas pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan tradisional,
penghilangan label pada makanan dan minuman kemasan. Selain itu, terdapat pula pemindahan
kewenangan dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta
Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat dalam berbagai aspek kesehatan yang dapat
menimbulkan dua masalah, yaitu dari segi kecocokan kompetensi Pemerintah Pusat dan
kapabilitas Pemerintah Pusat untuk melakukan pengawasan terhadap unsur-unsur kesehatan di
daerah-daerah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Masalah lain yang ditimbulkan adalah komersialisasi fasilitas pelayanan kesehatan dan
sistem pendidikan kedokteran. Hal ini tentu dapat mengancam kualitas pelayanan kesehatan dan
pendidikan kedokteran itu sendiri. Apalagi, kualitas pendidikan kedokteran juga terancam oleh
ketentuan-ketentuan lain yang tidak menjelaskan secara gamblang persyaratan akreditasi, kuota
nasional, dan kualitas rumah sakit pendidikan. Sanksi bagi pelanggaran-pelanggaran dalam
pelayanan kesehatan yang sebelumnya sudah diatur secara komprehensif pun dihilangkan.

Pemerintah Indonesia diharapkan mengkaji ulang mengenai kemungkinan-kemungkinan


permasalahan yang akan timbul dari pembahasan yang sudah dilakukan di atas. Penyederhanaan
perizinan berusaha memang penting untuk mendongkrak perekonomian Indonesia. Akan tetapi,
jangan sampai hal tersebut mengancam kualitas dari pelayanan kesehatan dan pendidikan
kedokteran. Terlebih, aspek kesehatan merupakan salah satu pilar penting negara. Penurunan
kualitas di aspek kesehatan dapat berdampak buruk bagi kondisi keutuhan negara.
Disusun oleh:

DEPARTEMEN KAJIAN DAN AKSI STRATEGIS

BEM IKM FKUI 2020

Koordinator Kajian

Ariestiana Ayu Ananda Latifa

Kepala Departenen

Christopher Christian

Gabrielle Adani
Muhammad Reza
Peter Parulian Patriaganesha Hutahaean

Anda mungkin juga menyukai