Anda di halaman 1dari 15

Reaksi alergi atau hipersensistivitas terbagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I (reaksi cepat) yang terjadi

segera setelah terpapar alergen. Tipe ini diperantarai oleg Ig E yang terikat pada permukaan sel
mast atau basofil dan menyebabkan dilepaskannya mediator kimia seperti bradikinin, histamine,
prostaglandin. Tipe II diperantarai Ig G, reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh
karena antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada permukaan sel.
Tipe III merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari kompleks
antigen antibody berada di jaringan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan
intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel
T.
Reaksi alergi dipicu oleh suatu alergen tertentu, karena itu tujuan utama dari diagnosis adalah
mengenali alergen. Alergen bisa berupa tumbuhan musim tertentu (misalnya serbuk rumput atau
rumput liar) atau bahan tertentu (bulu kucing). Jika bersentuhan dengan kulit atau masuk ke
dalam mata, terhirup, termakan atau disuntikkan ke tubuh, dengan segera alergen akan bisa
menyebabkan reaksi alergi. Pemeriksaan bisa membantu menentukan apakah gejalanya
berhubungan dengan allergen apa penyebabnya serta menentukkan obat yang harus diberikan.
Pemeriksaan darah bisa menunjukkan banyak eosinofil (yang biasanya meningkat).Tes RAS
(radioallergosorbent) dilakukan untuk mengukur kadar antibodi IgE dalam darah yang spesifik
untuk alergen individual.

Gejala
Reaksi alergi bisa bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata berair,mata
terasa gatal dan kadang bersin. Pada reaksi yang esktrim bisa terjadi gangguan pernafasan,
kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah, yang menyebabkan syok. Reaksi
jenis ini disebut anafilaksis, yang bisa terjadi pada orang-orang yang sangat sensitif, misalnya
segera setelah makan makanan atau obatobatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan
segera menimbulkan gejala.

Tipe-tipe Alergi
Reaksi Alergi tipe I
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahanbahan yang umumnya
imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata
lain, tubuh manusia berkasi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat
atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen. Terdapat 2
kemungkinan yang terjadi pada mekanisme reaksi alergi tipe I, yaitu :
1. Alergen langsung melekat/terikat pada Ig E yang berada di permukaan sel mast atau
basofil, dimana sebelumnya penderita telah terpapar allergen sebelumnya, sehingga Ig E
telah terbentuk. Ikatan antara allergen dengan Ig E akan menyebabkan keluarnya
mediatormediator kimia seperti histamine dan leukotrine.

2. Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan allergen penyebab
sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga
menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian
melekat pada permukaan sel mast dan akan mengikat allergen. Ikatan sel mast, Ig E dan
allergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek
mediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem, spasme
pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini
antara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ; sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan
kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang ditemukan pada
anafilaktic shock).
Keterangan : Alergen/eksogen nonspesifik seperti asap, sulfurdioksida, obat yang masuk melalui
jalan nafas akan menyebabkan saluran bronkus yang sebelumnya masih baik menjadi meradang.
Alergen diikat Ig E pada sel mast dan menyebabkan sel yang berada di bronkus mengeluarkan
mediator kimia (sitokin) sebagai respons terhadap alegen. Sitokin ini mengakibatkan sekresi
mukus, sehingga sesak nafas.
Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe I adalah : • Konjungtivitis •
Asma • Rinitis • Anafilaktic shock

Reaksi Alergi tipe II {Antibody-Mediated Cytotoxicity (Ig G)}


Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh karena
antibodi melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada permukaan sel.
Antibodi yang berperan biasanya Ig G.
Keterangan : Tipe ini melibatkan K cell atau makrofag. Alergen akan diikat antibody yang
berada di permukaan sel makrofag/K cell membentuk antigen antibody kompleks. Kompleks ini
menyebabkan aktifnya komplemen (C2 –C9) yang berakibat kerusakan.

Reaksi Alergi Tipe III (Immune Complex Disorders)


Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari kompleks antigen
antibody berada di jaringan. Gambar berikut ini menunjukkan mekanisme respons alergi tipe III
Keterangan : Adanya antigen antibody kompleks di jaringan, menyebabkan aktifnya komplemen.
Kompleks ini mengatifkan basofil sel mast aktif dan merelease histamine, leukotrines dan
menyebabkan inflamasi.

Keterangan gambar : Alergen (makanan) yang terikat pada antibody pada netrofil (yang berada
dalam darah) dan antibody yang berada pada jaringan, mengaktifkan komplemen. Kompleks
tersebut menyebabkan kerusakan pada jaringan.

Reaksi Alergi Tipe IV {Cell-Mediated Hypersensitivities (tipe lambat)}


Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini
melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T. Ekstrinsik : nikel, bhn kimia
Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM or Type I diabetes), Multiple sclerosis
(MS), Rheumatoid arthritis, TBC
Keterangan : Makrofag (APC) mengikat allergen pada permukaan sel dan akan mentransfer
allergen pada sel T, sehingga sel T merelease interleukin (mediator kimia) yang akan
menyebabkan berbagai gejala.

Reaksi alergi menjadi lazim di populasi umum dan bahan yang digunakan untuk dental filling,
instrumen ortodontik, dan lain-lain harus memenuhi spesifikasi biokompatibilitas karena
diindikasikan untuk waktu yang lama di dalam rongga mulut. Kasus pertama alergi logam gigi
terjadi akibat restorasi amalgam dalam rongga mulut yang mengakibatkan stomatitis dan
dermatitis di sekitar anus (Fleischmann 1928). Reaksi alergi terwujud dalam bentuk urtikaria,
bengkak, ruam dan rhinorrhea yang juga dapat menyebabkan kondisi darurat seperti edema
laring, anafilaksis dan aritmia jantung. Alergi kontak dari rongga mulut merupakan reaksi
hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis
bervariasi mulai dari rasa terbakar, rasa sakit dan kekeringan mukosa sampai stomatitis dan
cheilitis tidak spesifik. Material kedokteran gigi yang dipertanyakan biokompatibilitasnya adalah
komposit, sarung tangan karet, agen anestesi lokal, bahan endodontik, bahan cetak dan logam.
Saat ini, karena globalisasi, liberalisasi dan modernisasi kedokteran gigi, kita menggunakan
material yang berbeda dan mudah tersedia di seluruh dunia. Namun, di India nampaknya ada
kasus yang tidak dilaporkan, oleh karena itu sensitivitas individu dan sensitivitas populasi
terhadap material kedokteran gigi yang tersedia secara global harus dipertimbangkan.

Alergi Terhadap Material Resin Komposit


Komposit adalah bahan kompleks campuran yang umumnya terdiri dari matriks organik yang
dapat berpolimerisasi, filler penguat, terutama material anorganik dan agen silan-coupling.
Matriks yang dapat berpolimerisasi berisi satu atau lebih monomer: misalnya, Bis GMA dan /
atau UDMA, co-onomers (EGDMA, DEGDMA, TEG-DMA) dan berbagai aditif, seperti
inisiator (camphorquinone), coinitiator (misalnya, dimetil-aminobenzoicacidester), penghambat
polimerisasi (misalnya, BHT), dan photostabilizer (misalnya, benzofenon), berbagai bahan
anorganik yang digunakan sebagai pengisi: kuarsa, borosilikat, gelas silikat lithium aluminium,
dan silika amorf. Dalam rangka mencapai radiopacity, gelas oksida dengan barium, strontium,
seng atau logam lain yang ditambahkan ke pengisi komposit resin yang modern. Meskipun bahan
restoratif berbasis resin dianggap aman, konstituen mereka dapat terlepas keluar dan
menyebabkan alergi. Monomer MMA dinyatakan sebagai penyebab utama dari dermatitis alergi
pada dokter gigi dan teknisi laboratorium gigi. Terdapat dua mekanisme utama yang dapat
menyebabkan pelepasan zat dari bahan polimer: pertama monomer bebas dan / atau aditif dielusi
oleh pelarut setelah setting, kedua kebocoran komponen disebabkan oleh degradasi atau erosi
dari waktu ke waktu. Degradasi polimer dapat disebabkan oleh hidrolisis atau katalisis enzim.
Secara umum, degradasi polimer didefinisikan sebagai proses pemotongan rantai selama rantai
polimer dibelah menjadi oligomer dan dalam kasus khusus akhirnya menjadi monomer,
sedangkan erosi adalah hilangnya bahan dari polimer

Fissure Sealant
Bahan resin komposit gigi dan pit and fissure sealant memiliki komposisi dasar yang sama, yang
mencakup bis-glisidil dimetakrilat (Bis-GMA), urethane dimetakrilat (UDMA) dan Triethylene
glycol dimetakrilat (TEGDMA). Bisphenol-A (BPA) bukan merupakan bahan yang langsung
terdapat pada sealant gigi, melainkan merupakan bahan kimia yang muncul dalam produk akhir
hanya ketika bahan baku gagal untuk bereaksi sepenuhnya. Ketika konversi monomer selama
proses kuring dari sealant tidak lengkap, monomer sisa itu dapat larut dari cured resin. BPA
diketahui dapat mengikat reseptor estrogen dan menyebabkan gangguan dalam metabolisme.

Alergi Terhadap Merkuri Terkait dengan Restorasi Amalgam


Merkuri dilepaskan dari amalgam gigi terutama dalam bentuk uap merkuri. Paparan merkuri dari
restorasi amalgam gigi terjadi melalui beberapa cara: udara intraoral yang mengandung uap
merkuri dari amalgam gigi dapat terhirup; partikel amalgam gigi dapat terkelupas dari
permukaan restorasi karena mengalami keausan mekanis atau dapat dihasilkan selama
penempatan atau penggantian restorasi, partikel terkelupas dari restorasi dapat ikut masuk dalam
proses pencernaan; melalui air liur berupa merkuri anorganik produk korosi maupun elemen
merkuri terlarut yang dapat ditelan. Merkuri dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe IV
atau dermatitis kontak pada beberapa pasien yang mungkin telah sensitif terhadap merkuri. Ini
dapat bermanifestasi intraoral sebagai reaksi lichenoid atau ekstraoral berupa ruam dan gatal-
gatal pada leher, wajah dan permukaan lentur anggota badan.
Reaksi paling umum untuk amalgam adalah perkembangan lesi lichenoid oral (OLL) melibatkan
mukosa dalam kontak langsung dengan restorasi amalgam. OLL umumnya merupakan
hipersensitivitas tipe IV. Hipersensitivitas tipe IV sering disebut hipersensitivitas tipe lambat
sebagai reaksi yang membutuhkan waktu yang lama dan dalam hal ini bisa bulan hingga tahun.
OLL disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap amalgam biasanya memiliki hubungan anatomis
yang jelas untuk tambalan gigi amalgam, biasanya lesi unilateral dan tidak simetris. Paling sering
terlihat pada mukosa bukal dan lidah dimana meliputi lapisan mukosa yang kontak dengan
restorasi. Gingiva, palatum, atau dasar mulut, yang jauh dari restorasi jarang terkena. Test patch
mungkin berguna untuk mengidentifikasi pasien yang dicurigai reaksi hipersensitivitas terhadap
amalgam atau merkuri. Pengujian harus dilakukan pada spesialis dermatologi, dengan
menggunakan kit yang tersedia secara komersial yang biasanya ditempatkan pada kulit
punggung atau lengan dan diadakan di tempat selama 48 jam dengan pita perekat hypoallergenic.
Meskipun tes patch positif dapat memfasilitasi diagnosis OLL yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas, ini hanya dapat dibuktikan jika terjadi penyembuhan setelah amalgam
dihilangkan. Beberapa penelitian merekomendasikan penggunaan terapi antihistamin untuk
menghilangkan gejala seperti reaksi akut dan OLL, amalgam dapat tetap dibiarkan dan hanya
perlu dihilangkan jika gejalanya menetap.
Alergi Terhadap Logam Nikel-Kromium
Perawatan ortodontik umumnya menggunakan empat tipe alloy metal dasar yaitu stainless steel,
Co-Cr-Ni alloy, Ni-Ti alloy, dan beta-Ti alloy. Selain beta-Ti alloy, semua kawat ortodontik
tersebut mengandung Ni (Nikel) yang paling banyak menimbulkan reaksi alergi disbanding yang
lain. Alloy ini dapat mengalami degradasi (abrasi dan korosi) kemudian sejumlah kecil dari
logam bebas (ion) dilepaskan di rongga mulut. Paparan ion logam ke dalam tubuh manusia
berisiko bagi kesehatan karena dapat mengakibatkan terganggunya fungsi biologis yang dapat
menyebabkan efek sistemik dan lokal.

Titanium
Titanium adalah logam yang banyak digunakan dalam bidang medis dan gigi, karena sifatnya
yang kuat, tahan terhadap korosi dan biokompatibilitas yang sangat baik akibat pembentukan
lapisan oksida pada permukaannya. Dalam bedah mulut dan maksilofasial, titanium alloy
digunakan untuk pelat ostheosynthesis yag digunakan di traumatologi atau operasi rahang atas,
dan untuk implan gigi. Penyisipan implan gigi titanium dapat menyebabkan paparan internal, dan
telah terbukti bahwa titanium dengan konsentrasi 100-300 ppm ditemukan pada jaringan
disekitar implan, serta di kelenjar getah bening regional dan jaringan paru. Dalam kondisi yang
tidak menguntungkan: misalnya pH asam yang terjadi dalam peri-implantitis, atau kekuatan
mekanik yang berlebihan pada implan, atau kontak implan dengan logam lain didekatnya
(amalgam, alloy emas), titanium dapat menimbulkan korosi dan melepaskan ion titanium atau
mikropartikel dari titanium di daerah tulang di sekitar implan, yang dapat menyebabkan
peradangan pada jaringan yang terkena. Titanium memiliki afinitas tinggi terhadap protein, dan
ion titanium (haptens) yang dilepas oleh korosi dapat bergabung dengan protein endogen untuk
membentuk molekul antigen, ditangkap oleh sel-sel Langerhans, diteruskan ke limfosit T, yang
pada gilirannya dapat menyebabkan pasien sensitif terhadap titanium.
Gejala klinis alergi titanium antara lain urtikaria, eksim, edema, warna kemerahan dan pruritus
pada kulit atau mukosa, dermatitis atopic, nyeri, nekrosis, eritema wajah, jaringan hiperplastik
proliferatif non-keratin mengalami edema, rasa seperti terbakar, kesemutan, pembengkakan,
mulut kering, mati rasa, sakit kepala, dyspepsia, asthenis, arthralgia, myalgia, purpura pada
langit-langit mulut, ekimosis, sariawan, radang gusi hiperplastik, depapilasi lidah, angular
cheilitis, erupsi eksema perioral, urtikaria, reaksi lichenoid. Untuk mencegah reaksi alergi
terhadap titanium, pasien penerima implan sebaiknya tidak alergi logam dan tidak alergi
titanium. Cara yang paling mudah dan murah adalah dengan bertanya kepada pasien. Cara yang
lebih ilmiah namun lebih mahal adalah menggunakan tes diagnostik alergi. Bila pasien alergi
logam, maka pasien dapat disarankan untuk menggunakan implan gigi berbahan keramik.

Alergi Terhadap Sarung Tangan Lateks


Lateks mengandung berbagai jenis protein, di antaranya adalah enzimenzim yang berperan
dalam proses polimerisasi isoprena menjadi senyawa hidrokarbon rubber (enzim transferase
karet), protein yang dapat menyebabkan alergi (protein alergen), dan beberapa protein lain yang
berfungsi untuk memantapkan elastisitas rubber. Walaupun jumlahnya sangat sedikit, protein
tersebut dapat menyebabkan reaksi alergi bagi pengguna yang sensitif. Paparan terhadap rubber
latex natural dapat menimbulkan tiga sindroma klinis yang berbeda yaitu dermatitis kontak
iritan, dermatitis kontak alergi, danreaksi hipersensitivitas tipe I. Dermatitis kontak iritan
merupakan efek sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan, baik secara fisik maupun kimia,
bersifat tidak spesifik pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan dalam waktu dan
konsentrasi yang cukup. Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat
mengaktivasi reaksi alergi. Reaksi hipersensitivitas tipe I biasanya disebabkan kontak langsung
dengan produk lateks dan inhalasi partikel powder sarung tangan lateks.

Alergi Terhadap Anestesi Lokal


Alergi dari anastesi local paling sering disebabkan oleh anastesi jenis ester yang menghasilkan
antigenicagent p-aminobenzoic acid saat dipecah dalam tubuh.
Kebanyakan reaksi yang dianggap allergi ternyata merupakan reaksi psikogenik maupun sinkop
vasovagal. Jadi dokter gigi harus bisa membedakan reaksi anafilaktik dengan penyebab kolaps
kardiovaskular lainnya. Reaksi alergi yang sebenarnya dapat diperiksa menggunakan skin test.
Yaitu injeksi sedikit obat anastesi secara subkutan untuk melihat apakah ada reaksi lokal. Tetapi
perlu diketahui juga bahwa tes ini tidak 100% akurat. Penelitian menunjukan dari 20 orang yang
menjalankan skin test untuk anastesi local 3 diantaranya terbaca false positive.
Reaksi anafilaksis terhadap anastesi local dipengaruhi beberapa factor. Selain alergi, reaksi ini
juga dipengaruhi penyakit kardiovaskular, penyalahgunaan obat, asma maupun penyakit respirasi
lainnya, dan rendahnya kadar vitamin D.
Penanganan reaksi anafilaksis meliputi penanganan gawat darurat, manajemen disabilitas, dan
farmakoterapi. Penanganan gawat darurat adalah mengevaluasi kesadaran pasien apakah pasien
sadar atau tidak. Jika pasien tidak sadar pemeriksaan airway-breathing-circulatory perlu
dilakukan sebagai basic life support. Jika pasien tidak sadar, perlu dilakukan manajemen
disabilitas yaitu dengan membaringkan pasien di bidang datar dan mengelevasi bagian kaki.
Kemudian dilakukan penanganan farmakoterapi sebagai berikut; Injeksi adrenalin intramuscular
pada aspect anterolateral pada sepertiga bagian paha dengan dosis:  Dewasa IM dosis 0.5 mg
IM (=500 μg = 0.5 mL of 1:1000) adrenaline (epinephrine).  >12 years: 500 μg IM (0.5 mL)
sama dengan dosis dewasa  6-12 years: 300 μg IM (0.3 mL). 
Jika berat badan anak dibawah rata rata atau sebelum masa pubertas diberikan adrenalin 0,3 ml.
Adrenalin intramuscular perlu diulangi setiap 5 menit apa bila tidak ada peningkatan fungsi
tubuh secara klinis.

Alergi untuk bahan yang digunakan dalam endodontik formaldehid


Formaldehida sebagai bahan dalam praktik kedokteran gigi, yaitu: root canal-filling material
yang digunakan dalam terapi endodontik, formokresol, polimer, sealer/semen begitu juga dengan
resin komposit. Bahan – bahan tersebut mengandung paraformaldehida yang selanjutnya akan
membebaskan formaldehida dalam air sehingga dalam jumlah yang cukup akan menimbulkan
reaksi alergi local. Formaldehida juga dapat bereaksi dengan molekul lain seperti protein kulit,
protein serum, protein dari ruang pulpa atau bahkan komponen lain dari root canal sealant untuk
menjadi alergen lengkap.
Formaldehida masuk ke tubuh melalui pernafasan, pencernaan, dan absorpsi kulit. Reaksi
patologis yang berhubungan dengan formaldehida berupa lesi bronkus pada sistem pernafasan,
lesi gastrointestinal pada sistem penyerapan, dan nekrosis kulit atau dermatitis kontak mungkin
disebabkan oleh mekanisme iritasi sederhana. Gejala dari alergi formaldehida berupa syok
anafilaksis, urtikaria, dan dapat bermanifestasi menjadi asma.
Pelepasan formaldehida akan terus meningkat jika dilakukan perawatan endodontik berulang dan
pengisian bahan gigi secara berlebih dengan ekstrusi dari sealant di periapeks atau di granuloma
apikal dari periapeks. Penggunaan natrium hipoklorit 3% untuk desinfektan, obturasi dengan
gutta percha dan semen/sealant tanpa formalin, dan menghindari ekstrusi apikal dapat diusulkan
untuk mengurangi terjadinya reaksi alergi formadehida.

Alergi pada Rootcanal Sealers dan Material Obturasi


Obturasi sistem saluran akar merupakan langkah terakhir dalam perawatan saluran akar. Gutta-
percha (GP) merupakan bahan yang paling umum digunakan untuk obturasi sistem saluran akar.
Meskipun demikian GP juga memiliki kelemahan, salah satunya yaitu kemampuan sealing yang
buruk. Oleh karena itu, harus digunakan dengan sealer saluran akar untuk memberikan seal yang
efektif. Sealer yang paling umum digunakan dalam perawatan saluran akar adalah sealer berbasis
ZOE (zinc oxide eugenol), yang telah dimodifikasi untuk keperluan endodontik. Bubuk sealer ini
mengandung zinc oxide (ZnO), yang umunya
dicampur dengan cairan eugenol. Keuntungan dari sealer ZOE adalah aktivitas antimikrobanya
dan popularitas di kalangan dokter, terutama bila digunakan dengan teknik obturasi
thermoplasticized. Tapi eugenol ditemukan bocor dari sealer ZOE, yang dapat menginduksi efek
toksik dan mengurangi transmisi di selsel saraf. Sitotoksisitas sealer saluran akar ZOE ini
disebabkan eugenol bebas yang dilepaskan dari bahan set. Eugenol berperan sebagai iritan
kontak yang menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe IV, di mana gejala klinisnya muncul
setelah beberapa jam paparan. Gejala klinis tersebut berupa urtikaria kontak yang ditandai
dengan reaksi “wheal dan flare” pada kulit. Eugenol juga dapat menyebabkan rekasi
hipersensitivitas tipe I, namun hal ini sangat jarang terjadi. Reaksi hipersensitivitas ini ditandai
dengan agitasi, urtikaria, gatal pada wajah, leher, tangan, kaki, badan dan kemerahan yang
meluas di belakang telinga dalam beberapa menit setelah penggunaan eugenol. Meskipun alergi
terhadap eugenol jarang terjadi, namun perlu diperhatikan untuk menanyakan riwayat alergi
pasien terhadap dental material. Identifikasi dan eliminasi alergen yang menyebabkan timbulnya
reaksi sangat penting untuk mengatasi kondisi tersebut, serta untuk mencegah kekambuhan.
Ketika timbul gejala pada kulit, pasien harus dibawa ke dokter kulit untuk konsultasi, dan tes
epikutaneus harus dilakukan oleh dokter kulit. Jika hasil tes dikonfirmasi positif oleh dokter
kulit, bahan penyebab harus dieliminasi.

Ledermix Paste
Ledermix merupakan kombinasi dari steroid dan antibiotik. Formulasi ledermix paste
mengandung 1% triamsinolon dan 3% demeclocycline. Formulasi ini pertama kali
direkomendasikan untuk digunakan dalam endodontic treatment. Misalnya seperti Acute
irreversible pulpitis, Acute apical periodontitis, Inflammatory root resorption, menghambat &
mengurangi jumlah bakteri di dalam saluran akar, dll.

Sodium Hypochlorite
Sodium hypochlorite biasa digunakan dalam pengirigasian saluran akar karena mekanisme kerja
antimikrobanya yang efektif dalam mengurangi jumlah bakteri dalam saluran akar. Namun,
sodium hypochlorite juga memiliki efek toksik pada jaringan vital apabila digunakan dalam
konsentrasi yang tinggi. Oleh karena itu, konsentrasi sodium hypochlorite 1% lebih
biokompatibel terhadap jaringan tubuh. Efek dari toksisitas sodium hypochlorite yang mengenai
jaringan periapikal dapat mengakibatkan timbul rasa sakit yang cepat, pembengkakan atau
odema di dalam jaringan lunak, penjalaran odema ke daerah yang lebih luas diwajah seperti pada
pipi, daerah periorbital maupun bibir selain itu dapat juga terjadi ecchymosis pada kulit atau
mukosa akibat dari perdarahan interstitial.

Alergi Terhadadp Material Cetak


Beberapa alat kedokteran gigi, misalnya gigi tiruan sebagian (GTS), gigi tiruan lengkap (GTL),
alat orthodonsi, serta mahkota dan jembatan, dibuat di luar rongga mulut. Pembuatan alat
tersebut memerlukan tiruan/model jaringan rongga mulut pasien. Model ini dibuat dengan cara
mencetak jaringan rongga mulut pasien, dengan demikian diperlukan material cetak. Alergi dan
reaksi hipersensitivitas terhadap bahan cetakan gigi dapat terjadi di seluruh perawatan gigi,
dengan beragam manifestasi dari eritema ringan sampai sakit parah dan mulut terbakar disertai
stomatitis, di mana gejala biasanya mulai setelah 24 jam.
DAPUS
Mousavinasab SM. Biocompatibility of composite resins. Dent Res J (Isfahan). 2011 Dec; 8(1):
21-29
Simonsen RJ. Pit and fissure sealant. Pediatric Dentistry. 2002; 24(5): 393- 414
Ucar Y, Brantley WA. Biocompatibility of Dental Amalgams. International Journal of Dentistry.
2011 Jul 5;10:1-7.
Bains R, Loomba K, Loomba A. Allergy to Mercury from Dental Amalgam : Case Report. Asian
Journal of Oral Health & Allied Sciences. 2012;2(2).
McParland H, Warnakulasuriya S. Oral Lichenoid Contact Lesions toMercury and Dental
Amalgam-A Review. Journal of Biomedicine and Biotechnology. 2012 Mar.
Yonekura Y,Endo K, Iijima M, et al. In Vitro Corrosion Characteristics of Commercially
Available Orthodontic Wires. Dent Material J. 2004; 23(2): 197-202.
Hoogstraten IM, et al. Reduced frequency of nickel allergy upon oral nickel contact at an early
age. Clin. exp. Immunol. 1991; 85: 441-445
Souza RM, Menezes LM. Nickel, Chromium and Iron Levels in the Saliva of Patients with
Simulated Fixed Orthodontic Appliances. Angle Orthodontist. 2008; 78(2): 345-350
Chaturverdi TP. Allergy related to dental implant and its clinical significance. Clinical, Cosmetic
and Investigational Dentistry. 2013;5:57–61
Chantiora Yua. Alergi Penggunaan Natural Rubber Latex (NRL) Pada Kedokteran Gigi Anak.
2012.
T Yumiko.Allergic Reactions to Local Anesthetics in Dental Patients: Analysis of Intracutaneous
and Challenge Tests.2011.
Nananvati Ronak S. Anaphylactic shock management in dental clinics: An overview.2013
Maya L, Angelina KY, Assya K, Mariana TY, Maria DG. Allergic contact dermatitis from
formaldehde exposure. Journal of IMAB 2012;18: 255-262.
Sporcic Z, Paranos S. Allergy to a tooth devitalizing material. Allergy 2001;56: 249.
Javidi M, Zarei M, Naghavi N, Mortazavi M, Nejat AH. Zinc oxide nano-particles as sealer in
endodontics and its sealing ability. Contemporary Clinical Dentistry. 2014 Mar;5(1): 20-24
Kaur A, Shah N, Logani A, Mishra N. Biotoxicity of commonly used root canal sealer. J
Conserv Dent. 2015 Apr;18(2): 83-88
Tammannavar P, Pushpalatha C, Jain S, Sowmya SV. An unexpected positive hypersensitive
reaction to eugenol. BMJ Case Rep. 2013; 1-4
Al-Sebaei MO, Halabi OA, El-Hakim IE. Sodium hypochlorite accident resulting in life-
threatening airway obstruction during root canal treatment . Dovepress journal. 2015
Mittermuller P, Szeimies RM, Landthaler M, Schmalz G. A rare allergy to a polyether dental
impression material. Clin Oral Invest. 2012;16(4):1111-16.

Anda mungkin juga menyukai