Anda di halaman 1dari 7

TINJAUAN PUSTAKA

Penanganan Keratokonjungtivitis Vernalis Masa Kini


SUHARDJO
Sub Bagian Uvea-Lensa dan Imunologi Mata, Bagian Mata FK UGM/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta

Pendahuluan
Keratokonjungtivitis vernalis merupakan suatu peradangan konjungtiva dan kornea yang bersifat dwipihak,
mempunyai dasar reaksi hipersensitivitas tipe l dan IV, serta mudah terjadi kekambuhan yang dipengaruhi oleh
iklim. Gejala yang spesifik berupa rasa gatal yang hebat, sekret mukus yang kental dan lengket, serta hipertropi
papil konjungtiva. Penyakit ini pada umumnya tidak mengancam penglihatan, namun dapat menimbulkan rasa
tidak enak. Mata sering berkedip, mata tampak kemerahan, serta meresahkan penderita. Pada anak-anak jelas
akan mengganggu aktivitas belajar dan secara umum dapat mengganggu kualitas kehidupan. Pada beberapa
kasus dapat menimbulkan gejala sisa. Misalnya, mikropanus, astigmatisme miop, keratokonus, dan
keratoglobus1.
Insidensi keratokonjungtivitis vernalis relatif kecil, yaitu sekitar 0,l%--0,5% dari pasien dengan masalah mata
yang berobat, dan hanya 2% dari semua pasien yang diperiksa di klinik mata Mediterania. Penyakit ini perlu
mendapatkan penekanan khusus. Hal ini karena penyakit ini sering kambuh dan menyerang anak-anak usia 4--
20 tahun, dengan frekuensi pada anak lelaki tiga kali lebih banyak. Dengan demikian, memerlukan pengobatan
jangka panjang dengan obat yang aman. Pemakaian steroid tetes mata jangka panjang atau lebih dari 4 minggu
terus-menerus dapat menimbulkan beberapa penyulit. Penyulit tersebut antara lain steroid glaukoma, katarak,
serta reaktivasi infeksi virus dan jamur2. Penggunaan antihistamin pada umumnya juga menimbulkan efek
samping mengantuk. Dengan demikian, akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Di samping itu,
keratokonjungtivitis vernalis juga memiliki risiko terjadinya ulkus kornea (shield ulcer), khususnya pada penderita
ras kulit hitam seperti yang terjadi di Afrika Selatan. 3
Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana mengatasi kasus-kasus keratokonjungtivitis ini secara
memuaskan. Artinya, memiliki daya guna penyembuhan maksimal, termasuk mengurangi kekambuhan dan tidak
mengurangi kualitas kehidupan serta efek samping minimal. Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan
tersebut, akan dikaji beberapa hal, meliputi patofisiologi, gambaran klinik, dan yang terpenting adalah hasil
kajian beberapa obat yang pernah dilaporkan. Diharapkan makalah ini dapat menjadi bahan pertimbangan para
klinisi untuk menetapkan langkah yang tepat dalam menangani kasus keratokonjungtivitis vernalis.
Pembahasan
Patofisiologi Keratokonjungtivitis Vernalis
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi
oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang
dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan
jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada
konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone4. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan
warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau 5. Proliferasi yang spesifik
pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva
tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi
epitel kornea6.
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi
fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan
gangguan dalam kualitas maupun kuantitas stem cells limbus. Kondisi yang terakhir ini mungkin berkaitan
dengan konjungtivalisasi pada penderita keratokonjungtivitis dan di kemudian hari berisiko timbulnya pterigium
pada usia muda7. Di samping itu, juga terdapat kista-kista kecil yang dengan cepat akan mengalami degenerasi.
Sekresi mukus yang kental dan melekat pada penderita keratokonjungtivitis vernalis, menurut Neumann dan
Krantz, mengandung banyak mukopolisakarida serta asam hyaluronat. Dalam hal ini memungkinkan timbulnya
tarikan sel epitel kornea dan gesekan dari papil tarsal pada kornea akan mengakibatkan kerusakan kornea yang
meluas ke tepi8. Kerusakan kornea diduga juga berkaitan dengan infiltrasi sel radang yang berasal dari
konjungtiva8. Menyusul kerusakan kornea ini dapat menjadi difus, pembentukan ulkus, dan perubahan
degeneratif lainnya seperti pseudogerontoxon. Pembentukan ulkus epitelial non-infeksi yang berbentuk oval
atau perisai dapat terjadi yang mendasari timbulnya kekeruhan stroma kornea di sentral maupun superior 9.
Lebih jauh, kurvatura kornea juga akan memperlihatkan perubahan disertai astigmatisme miopik dan pada tahap
lanjut dapat terjadi keratokonus serta keratoglobus8.
Gambaran Histopatologik
Tahap awal keratokonjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini, akan tampak
pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi
mukoid dalam kripta di antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan
dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel mast. Tahap berikutnya akan dijumpai sel-sel
mononuklear seperti limfosit makrofag. Sel mast dan eosinofil yang dijumpai dalam jumlah besar dan terletak
superficial. Dalam hal ini, hampir 80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi. Temuan ini sangat bermakna
dalam membuktikan peran sentral sel mast dalam kasus keratokonjungtivitis vernalis 3,8. Keberadaan eosinofil
dan basofil, khususnya di dalam konjungtiva, sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.
Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis mata yang dilakukan oleh Wang dan Yang
menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel plasma pada konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk beberapa
nodul limfoid10. Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan
sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan keratokonjungtivitis. Dalam penelitian tersebut juga ditemukan
adanya reaksi hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga di fornix, serta pada
beberapa kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan badan siliar 10.
Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan
vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan
substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada
pemeriksaan klinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan dasar
perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi. Epiteliumnya berproliferasi
menjadi 5--10 lapis sel epitel yang edematous dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil,
lapisan epitel akan mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan
mengalami keratinisasi.
Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa pertumbuhan epitel yang hebat meluas,
bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel (acanthosis). Horner-Trantas dot`s yang terdapat di daerah ini sebagian
besar terdiri atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit. Di dalam
ulkus kornea non-infeksi pada kasus keratokonjungtivitis vernalis dapat ditemukan kristal Charcot Leyden yang
merupakan granula eosinofil dan plak mukoid11.
Membuat Diagnosis Keratokonjungtivitis Vernalis
Keluhan utama adalah gatal yang menetap, disertai oleh gejala fotofobia, berair, dan rasa mengganjal pada
kedua mata. Adanya gambaran spesifik pada konjungtivitis ini disebabkan oleh hiperplasi jaringan konjungtiva di
daerah tarsal, daerah limbus, atau keduanya. Selanjutnya, gambaran yang tampak akan sesuai dengan
perkembangan penyakit yang memiliki 3 bentuk, yaitu palpebra, limbal, dan campuran 3,8. Bentuk palpebra
hampir terbatas pada konjungtiva tarsalis superior dan terdapat cobble stone. Ini banyak terjadi pada anak yang
lebih besar. Cobble stone ini dapat demikian berat sehingga timbul pseudoptosis. Bentuk limbal disertai
hipertrofi limbus yang dapat disertai bintik-bintik yang sedikit menonjol keputihan dikenal sebagai Horner-Trantas
dot`s. Ini banyak terjadi pada anak-anak yang lebih kecil. Penebalan konjungtiva palpebra superior akan
menghasilkan pseudomembran yang pekat dan lengket, yang mungkin bisa dilepaskan tanpa timbul
perdarahan. Penebalan ini disertai pertumbuhan papil. Papil akan tumbuh lebih besar secara perlahan,
kemudian bersatu menjadi papil raksasa. Jika semula hanya elevasi 0,l mm, dalam perkembangannya papil
dapat berbentuk deposit poligonal yang tidak beraturan, berwarna merah muda keabuan, dan dapat mencapai
diameter 7-8 mm. Papil yang besar memiliki puncak yang datar dan dipisahkan satu dengan lainnya oleh celah-
celah berisi mukus12.
Eksudat konjungtiva pada keratokonjungtivitis sangat spesifik, berwarna putih susu kental, lengket, elastik, dan
fibrinous. Peningkatan sekresi mukus yang kental pada tear film dan adanya peningkatan jumlah asam
hyaluronat, mengakibatkan eksudat menjadi lengket. Hal ini memberikan keluhan adanya sensasi seperti tali
atau cacing pada matanya.
Lesi limbal yang meluas ke tepi kornea akan menimbulkan keratitis pungtata superfisialis. Pada yang lebih berat
akan menjadi difus, dan biasanya terletak setengah di bagian atas kornea. Kadang-kadang epitelnya terkelupas,
kemudian membentuk ulkus dwipihak tanpa vaskularisasi. Ulkus ini mempunyai permukaan kasar keputihan dan
tampaknya berhenti pada m Bowman. Pada perkembangan selanjutnya, bila sembuh akan menyisakan daerah
oval abu-abu. Biasanya, dalam keadaan ini terjadi keratokonus dan pada tahap akhir terjadi keratoglobus 8.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva untuk mempelajari gambaran sitologi.
Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak eosinofil dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu,
terdapat basofil dan granula basofilik bebas.
Diagnosis banding pada umumnya tidak sulit, kecuali yang dihadapi penderita dewasa muda, karena mungkin
suatu keratokonjungtivitis atopik. Kelainan mata pada keratokonjungtivitis atopik berupa kelopak mata yang
tebal, likenisasi, konjungtiva hiperemi dan kemosis, disertai papil-papil di konjungtiva tarsalis inferior. Kadang-
kadang, papil ini bisa besar mirip cobble stone, dan dapat dijumpai pada konjungtiva tarsalis superior. Trantas
dot’s juga bisa dijumpai pada atopik meskipun tidak sesering pada konjungtivitis vernalis. Seperti pada
konjungtivitis vernalis, pada atopik bisa didapatkan keratitis epitel, ulserasi, dan kekeruhan stroma. Pada atopik
cepat terjadi neovaskularisasi. Pada pemeriksaan kerokan konjungtiva jarang dijumpai eosinoil dan tidak
dijumpai granula-granula eosinofilik yang bebas.
Selain keratokonjungtivitis atopik, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya Giant Papillary Conjunctivitis pada
pemakaian lensa kontak, baik yang hard maupun yang soft. Gejalanya mulai dengan gatal disertai banyak
mukus serta timbulnya atau ditemukannya papil raksasa di konjungtiva tarsalis superior. Kelainan ini dapat
timbul baik satu minggu sesudah pemakaian lensa kontak maupun setelah lama pemakaian. Pada kelainan ini,
tidak ada pengaruh musim. Pemeriksaan sitologi hanya menunjukkan sedikit eosinofil. Dengan dilepasnya lensa
kontak, gejala-gejalanya akan berkurang. Konjungtivitis vernalis kadang-kadang perlu didiagnosis banding
dengan trakhoma stadium II yang disertai folikel-folikel yang besar mirip cobble stone.
Penatalaksanaan Keratokonjungtivitis Vernalis
Seperti halnya semua penyakit alergi lainnya, terapi keratokonjungtivitis vernalis bertujuan mengidentifikasi
alergen dan bahkan bila mungkin mengeliminasi atau menghindarinya. Untuk itu, anamnesis yang teliti baik
pada pasien maupun orang tuanya akan dapat membantu menggambarkan aktivitas dan lingkungan mana yang
harus dihindari. Dengan demikian, penatalaksanaan pada pasien ini akan terbagi ke dalam tiga bentuk yang
saling menunjang untuk dapat memberikan hasil yang optimal. Ketiga bentuk penatalaksanaan tersebut meliputi:
(1) tindakan umum, (2) terapi medikasi, dan (3) pembedahan.
1. Tindakan Umum
Dalam hal ini mencakup tindakan-tindakan konsultatif yang membantu mengurangi keluhan pasien berdasarkan
informasi hasil anamnesis tersebut di atas. Beberapa tindakan tersebut antara lain:
a. Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter;
b. Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuksari;
c. Menggunakan kaca mata berpenutup total untuk mengurangi kontak dengan alergen di udara terbuka.
Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen;
d. Kompres dingin di daerah mata;
e. Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi protektif karena
membantu menghalau allergen;

f. Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga disebut sebagai climato-therapy11.
Cara ini memang kurang praktis, mengingat tingginya biaya yang dibutuhkan. Namun, efektivitasnya
yang cukup dramatis patut diperhitungkan sebagai alternatif bila keadaan memungkinkan;
g. Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan, karena telah terbukti
dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator-mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk
mencegah superinfeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder
dan katarak.
2. Terapi Medik
Dalam hal ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan kepada pasien dan orangtua pasien tentang sifat kronis serta self
limiting dari penyakit ini. Jelaskan juga mengenai keuntungan dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul
dari pengobatan yang ada, terutama dalam pemakaian steroid. Salah satu faktor pertimbangan yang penting
dalam mengambil langkah untuk memberikan obat-obatan adalah eksudat yang kental dan lengket pada
keratokonjungtivitis vernalis, karena merupakan indikator yang sensitif dari aktivitas penyakit, yang pada
gilirannya akan memainkan peran penting dalam timbulnya gejala. Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat
digunakan irigasi saline steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10%--20% tetes mata. Dosisnya tergantung
pada kuantitas eksudat serta beratnya gejala. Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi daripada larutan
20%. Larutan alkalin seperti 1-2% sodium karbonat monohidrat dapat membantu melarutkan atau
mengencerkan musin, sekalipun tidak efektif sepenuhnya 4.
Satunya-satunya terapi yang dipandang paling efektif untuk pengobatan KKV adalah kortikosteroid, baik topikal
maupun sistemik. Namun, untuk pemakaian dalam dosis besar harus diperhitungkan kemungkinan timbulnya
risiko yang tidak diharapkan. Untuk KKV yang berat, bisa diberikan steroid topikal prednisolone fosfat 1%, 6-8
kali sehari selama satu minggu. Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai ke dosis terendah yang
dibutuhkan oleh pasien tersebut. Bila sudah terdapat ulkus kornea maka kombinasi antibiotik steroid terbukti
sangat efektif. Pada kasus yang lebih parah, bisa juga digunakan steroid sistemik seperti prednisolone asetat,
prednisolone fosfat, atau deksamethason fosfat 2--3 tablet 4 kali sehari selama 1--2 minggu. Satu hal yang perlu
diingat dalam kaitan dengan pemakaian preparat steroid adalah "gunakan dosis serendah mungkin dan
sesingkat mungkin"10.
Antihistamin, baik lokal maupun sistemik, dapat dipertimbangkan sebagai pilihan lain, karena kemampuannya
untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Apabila dikombinasi dengan vasokonstriktor, dapat
memberikan kontrol yang memadai pada kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi dosis. Bahkan,
menangguhkan pemakaian steroid topikal. Suatu hal yang tidak disukai adalah efek samping obat antihistamin,
yaitu rasa ngantuk. Pada anak-anak, hal ini dapat menganggu kinerja sehari-hari. Emedastine adalah
antihistamin paling poten yang tersedia di pasaran dengan kemampuan mencegah sekresi sitokin. Sementara
olopatadine yang dipasarkan sebagai Patanol‚ juga merupakan antihistamin yang juga berfungsi sebagai
inhibitor degranulasi sel mast konjungtiva.
Sodium kromolin 4% pada kasus KKV terbukti bermanfaat karena kemampuannya sebagai pengganti steroid
bila pasien sudah dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi kebutuhan akan pemakaian
steroid. Sodium kromolin berperan sebagai stabilisator sel mast, mencegah terlepasnya beberapa mediator
yang dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat pengikatan IgE terhadap sel maupun
interaksi sel – IgE dengan antigen spesifik13. Titik tangkapnya, diduga sodium kromolin memblok kanal kalsium
pada membran sel serta menghambat pelepasan histamin dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi .
Menurut Iwasaki et al, sodium kromolin cukup toleran terhadap pasien pengguna lensa kontak dan tidak terjadi
kumulasi pada lensa kontak lunak14.
Lodoksamid 0,l% terbukti bermanfaat karena aktivitas antialergi yang akan mengurangi infiltrat radang, terutama
eosinofil dalam konjungtiva. Lodoksamid digolongkan sebagai stabilasator sel mast. Bila dibandingkan, sodium
kromolin lodoksamid lebih unggul karena pengikatan terhadap CD4(+) cells lebih kuat15.
Levokabastin tetes mata merupakan suatu H1 antihistamin yang spesifik dan sangat poten terhadap
konjungtivitis vernalis. Menurut Richard et al, dengan membandingkan antara lodoksamid dengan levokabastin
ternyata khasiatnya cukup seimbang, dan simptom KKV hilang dalam 14 hari 16.
Studi klinik dan imunohistokimia telah dilakukan oleh Bayoumi et al, tentang penggunaan siklosporin A2% untuk
30 kasus KKV. Studi ini dibedakan atas 3 kelompok. Kelompok I mendapat siklosporin A 2%; kelompok II
mendapat steroid tetes mata; dan kelompok III mendapatkan keduanya. Hasil penelitian menunjukkan kombinasi
steroid dan siklosporin merupakan yang terbaik, terbukti adanya penurunan MHC+ cell, IgA stroma, dan IgG sel
plasma17. Disebutkan pula bahwa papil-papil besar mulai menghilang pada minggu ketiga pasca pengobatan
dengan siklosporin A topikal.
Pada pasien-pasien yang tidak kooperatif, perlu dilakukan injeksi steroid supratarsal 0,5 ml triamsinolon
asetonid (40 mg/ml)13. Hal tersebut untuk menjaga kesinambungan pengobatan. Injeksi steroid ini dapat
berefek dalam l bulan.
3. Terapi Pembedahan
Ulkus kornea yang terjadi pada KKV biasanya ringan, tetapi apabila tidak sembuh dengan antibiotik dan steroid
topikal maupun terapi konservatif lainnya bisa dicoba dilakukan transplantasi membran amnion. Membran
amnion mampu memacu epitelisasi kornea. Transplantasi membran amnion dianjurkan pada kasus-kasus ulkus
kornea yang berat18. Beberapa kasus steroid glaukoma pada penderita KKV yang tidak membaik dengan
penghentian steroid maupun dengan terapi medikasi sebaiknya dilakukan trabekulektomi.
Berbagai terapi pembedahan, krioterapi, dan diatermi pada papil raksasa konjungtiva tarsal kini sudah
ditinggalkan mengingat banyaknya efek samping dan terbukti tidak efektif, karena dalam waktu dekat akan
tumbuh lagi. Apabila segala bentuk pengobatan telah dicoba dan tidak memuaskan, maka metode dengan
tandur alih membran mukosa pada kasus KKV tipe palpebra yang parah perlu dipertimbangkan 8. Akhirnya,
sekali lagi perlu ditekankan bahwa KKV biasanya berlangsung selama 4-6 tahun dan bisa sembuh sendiri
apabila anak sudah dewasa.
Kesimpulan
Penatalaksanaan KKV tergantung pada berat ringanya gejala klinik. Pada kasus ringan sampai sedang, cukup
diberikan anti histamin topikal dan dapat ditambahkan vaso kontriktor, kemudian dilanjutkan dengan stabilasator
sel mast. Pada kasus yang berat, perlu diawali dengan pemberian steroid topikal yang sering. Apabila sudah
membaik, dalam waktu l minggu harus diganti dengan stabilisator sel mast. Pada kasus yang berat bisa
dikombinasi steroid topikal, nonsteroid topikal, dan antihistamin. Mengingat seringnya timbul kekambuhan, harus
dihindari penggunaan steroid jangka lama.
Perlu diberi pengertian kepada orangtua pasien bahwa penyakit KKV itu tidak berbahaya, dan bisa sembuh
sendiri apabila telah berumur 20 tahun. Pemeriksaan secara rutin setiap 6 bulan diperlukan guna mengetahui
kemungkinan adanya komplikasi penyakit atau mungkin adanya efek samping pengobatan. Pemeriksaan
tekanan intraokuler pada penderita KKV perlu dilakukan secara rutin, mengingat banyaknya kasus steroid
glaukoma pada penderita KKV.
Daftar Pustaka
1. Smolin G, and O`Connor GR, Ocular Immunology, 2nd ed., Little Brown Co, Boston, l986.
2. Bloomfield S and Theodore F, The conjunctivitis in Clinical Immunology of the Eye , William Wilkins,
Baltimore, l983.
3. Abilson B and Albert DM , Allergic and Toxic Reaction in Jacobiec FA(ed): Principles and Practice of
Ophthalmology Vol 5, first ed.,WB Saunders Co, Philadelphia, l994.
4. Smith JS , Eye diseases in hot climate, 2nd ed, Butterworth and Co, London, l990.
5. Lambiase J, Boriani S, Increased plasma level of Substance p in Vernal Keratoconjunctivitis, Invest
Ophthalmol and Vis Sci, Sept, l997, 2161-4.
6. Mendicuale J, Aranzaski C, Topical cyclosporine A 2% in the treatment of VKC, Eye l997(ll):75-8.
7. Doshler N and Reid TN, Immune histochemical evidence that human pterygia originate from an invasion
of Vinentia expressing altered limbal epithelial basal cells, Curr Eye Res l994, l3:473-81.
8. Bacon AS and McGill JL, Adhesion moleculer and relationship to leucocyte level in allergic eye disease,
Invest Vis Sci l998(39):2.
9. Allansmith MR, The Eye and Immunology, first ed, The CV Mosby Co, Toronto, l982
10. Wang K, Yang S, Clinicopathology in VKC, Abstract XII Afro-Asian Congress Ophthalmology, E 182, Nov
ll-l5, 2000, Guang Zhou, China.
11. Abu el asrar AM and Tabbara KF, Adhesion Molecules in VKC, Br J Ophthalmol, l997(8l):l099-ll06.
12. AAO Foundation, External Eye Diseases and Cornea in Basic and Clinical Science Course, American
Academy of Ophthalmology, Section 8, l997-l998.
13. AAO Foundation, External Eye Diseases and Cornea in Basic and Clinical Science Course, American
Academy of Ophthalmology, Section 8, 2000-200l.
14. Iwasaki N, Kosala Y, Momose T, Yasuda T, Absorption of Topical Disodium Cromoglycate and its
preservatives by soft contacty lens, CLA Ophthalmol Japan, l998, l4(3):l55-8.
15. Avunduk AM, Avunduk MC, Kepicioglu Z, Mechanical and Comparison of antialllergic efficacy of topical
Lodoxamide and cromolyn sodium in VKC, Ophthalmology, 2000,l07(7):1333-7.
16. Richard C, Tringuand C, Block-Michel E, Comparison of Topical 0.05% Levocabastine and 0.l%
Lodoxamide in patients with Allergic Conjunctivitis, Eur J Ophthalmol, l998, 8(4):207-16.
17. Bayoumi MY, Bayoumi AY, Eld-Dui MS, El-Din MA, Topical Cyclosporine A in VKC: Clinical and Immune
Histochemical Study, Abstract XII Afro-Asian Congress of Ophthalmology, E 56, Nov ll-l5, 2000, Guang
Zhou, China.
18. Kazuomi H, Shimazaki J, Shimmura S, and Tsubota K, Multilayered Amniotic Membrane Transplantation
for Severe Ulceration of the Cornea and Sclera, Am J Ophthalmol, 200l,131(3):324-3l.

PTERIGIUM
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas. Namun, pterigium
banyakterjadi pada mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan
banyak terkena panas terik matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal
di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau
anginnya besar.
Pterigium Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di
dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak.
 
Paparan sinar matahari dalam waktu lama, terutama sinar UV, serta iritasi mata kronis
oleh debu dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama pterigium. Gejala-
gejala pterigium adalah mata merah, iritasi, inflamasi, dan penglihatan kabur.
Meskipun seseorang yang merasakan gejala tersebut tidak selalu berarti terkena
pterigium, tetap disarankan untuk tetap periksa ke dokter mata.
 
Tampak sebagai penonjolan jaringan putih disertai pembuluh darah pada tepi dalam
atau tepi luar kornea.
Pterigium bisa menyebabkan perubahan bentuk kornea sehingga terjadi astigmata dan
gangguan penglihatan lainnya.

Jika sampai ke daerah pupil dan mengganggu penglihatan, pterigium harus diangkat
melalui pembedahan.
Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan
menggunakan kacamata atau topi pelindung.
 

Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya


para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau
topi pelindung

 
Pengobatan secara medis
Untuk pterigium, pengobatan secara medis umumnya dilakukan dengan menggunakan
obattetes mata atau obat minum yang mengandung antiinflamasi. Namun bila
pterigium tersebut cukup besar dan sangat mengganggu penglihatan, dapat dilakukan
operasi atau pembedahan.

Anda mungkin juga menyukai