Anda di halaman 1dari 10

SKP IDI Gratis!

ALOMEDIKA  |  KHUSUS UNTUK DOKTER


LOGIN | DAFTAR

Go
 
 CME
 
 Penyakit
 
 Obat
 
 Tindakan Medis
 
 Diskusi Dokter
 
 SKP Online
SINDROM KORONER AKUT
 Pendahuluan
 Patofisiologi
 Etiologi
 Epidemiologi
 Diagnosis
 Penatalaksanaan
 Prognosis
 Edukasi dan Promosi Kesehatan

Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut
Oleh :
dr.Gold SP Tampubolon
Share To Social Media:
  
Tujuan penatalaksanaan pada sindroma koroner akut adalah mencegah nekrosis sel-sel
miokardium dan mengupayakan terjadinya reperfusi ke jaringan miokardium. Perbedaan ST
elevation  myocardial infarction (STEMI) dengan sindroma koroner lainnya adalah STEMI
memerlukan penanganan segera berupa reperfusi baik dengan fibrinolisis maupun intervensi
dengan PCI (percutaneus coronary intervention) primer.
Tata Laksana Awal
Tata laksana awal adalah dengan pemberian oksigen dan mengamankan jalan napas. Akses
intravena dan pemeriksaan darah juga harus dilakukan secepatnya. Semua pasien dengan
gejala sindroma koroner akut harus dipantau dengan pemasangan monitor tanda vital dan
jantung. Bila terjadi henti jantung maka lakukan resusitasi dan defibrilasi.
Oksigen
Oksigen bersifat vasoaktif sehingga hanya diberikan apabila ada indikasi. Pemberian oksigen
bila terjadi penurunan saturasi oksigen arteri dan dipertahankan pada kadar saturasi 93-96%.
Pemberikan oksigen yang berlebihan dapat menyebabkan hiperoksemia sehingga dapat
terjadi vasokonstriksi.[18] Hasil penelitian menunjukkan pemberian oksigen pada pasien
STEMI tanpa hipoksia dapat meningkatkan kerusakan pada miokardium.[19]
Analgesik
Nyeri pada sindroma koroner akut harus ditangani agar nyeri tidak menginduksi pelepasan
katekolamin yang memperberat beban jantung. Analgesik yang dapat diberikan adalah:
Nitrat atau Nitrogliserin
Nitrat, misalnya isosorbide dinitrate, dapat diberikan secara sublingual apabila tidak ada
hipotensi. Obat ini dapat diberikan dengan dosis 0,3-0,4 mg, sebanyak 3 kali dengan interval
3-5 menit. Pemberian nitrat secara intravena diberikan bolus inisial 12,5-25 mikrogram dan
rumatan 5-10 mikrogram per menit. Dosis rumatan dapat dinaikkan 10 mikrogram per menit
sesuai kondisi pasien dan tekanan darah. Kontraindikasi pemberian nitrat pada pasien yang
menggunakan sildenafil dalam 24 jam sebelumnya.
Morfin
Morfin pada non-ST elevation myocardial infarction  (NSTEMI) diberikan 1-5 mg melalui
intravena. Pemberian dapat diulang 5-30 menit sesuai dengan kondisi nyeri pasien, namun
hati-hati terhapat overdosis yang dapat menyebabkan depresi pernapasan dan hipotensi.
Naloxon 0,4-2,0 mg intravena diberikan apabila terjadi overdosis morfin. Pemberian morfin
pada STEMI diberikan 2-4 mg secara intravena.[11]
Antiplatelet
Antiplatelet seperti aspirin dan clopidogrel dapat digunakan sebagai tata laksana sindrom
koroner akut.
Aspirin
Aspirin diberikan 160-320 mg, dikunyah untuk dosis awal. Selanjutnya diberikan dosis
rumatan sebesar 80 mg tiap per hari.
Clopidogrel
Pemberian clopidogrel sebagai penatalaksanaan sindrom koroner akut dimulai dengan dosis
awal 300-600 mg, lalu dilanjutkan dengan dosis rumatan 75 mg per hari.[1,2]
Penurun Kolesterol
Pasien dengan sindroma koroner akut juga dapat memiliki kelainan metabolisme seperti
diabetes maupun dislipidemia. Dislipidemia ditatalaksana dengan pemberian obat penurun
kolesterol yang pilihan utamanya golongan HMG co-A reductase inhibitor.[2] Sediaan yang
banyak tersedia adalah simvastatin 40 mg per hari atau atorvastatin 10-20 mg per hari.
Stratifikasi Risiko
Sebelum terapi reperfusi pasien dengan NSTEMI harus dilakukan penilaian stratifikasi risiko.
Hal ini agar mencegah dilakukannya prosedur yang tidak perlu dalam pemilihan strategi
invasif. Stratifikasi risiko dilakukan dengan sistem skoring menggunakan salah satu dari 2
sistem skoring di bawah ini.
TIMI (Trombolysis in Myocardial Infarction)
Skoring menggunakan sistem skoring TIMI adalah sebagai berikut:
 Risiko rendah (0-2 poin)
 Risiko sedang (3-5 poin)
 Risiko tinggi (5-7 poin)
Penilaian skor TIMI adalah sebagai berikut:
 Usia 65 tahun atau lebih (1 poin)
 3 atau lebih faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular (1 poin)\
 Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhir (1 poin)
 Riwayat stenosis koroner lebih dari 50% (1 poin)
 Lebih dari 1 kali episode angina pada saat istirahat dalam waktu kurang dari 24 jam (1
poin)
 Deviasi segmen ST (1 poin)
 Peningkatan enzim jantung (1 poin)
GRACE (Global Registry of Acute Coronary Events)
Sistem skoring GRACE juga dapat digunakan sebagai stratifikasi risiko sindrom koroner
akut:
 Risiko rendah (0-133 poin)
 Risiko sedang (134-200 poin)
 Risiko tinggi (lebih dari 200 poin)
Penilaian skor GRACE, meliputi umur, laju denyut jantung, tekanan darah sistolik, kadar
kreatinin, Kelas Killip, riwayat henti jantung, peningkatan enzim jantung, dan deviasi segmen
ST. [16,17]
Pasien dengan stratifikasi risiko tinggi sebaiknya segera dilakukan terapi intervensi segera
yakni dalam kurang dari 2 jam. Sedangkan pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang dan
rendah dapat dipertimbangkan untuk terapi intervensi dini kurang dari 24 jam dan tertunda
25-72 jam.[1]
Terapi Reperfusi
Sebelum dilakukan reperfusi, pasien NSTEMI harus dilakukan penilaian stratifikasi risiko.
Tata laksana berikutnya adalah tindakan reperfusi. Tindakan reperfusi dapat dilakukan
dengan:
 Fibrinolisis
 Intervensi (primary PCI)
 Operasi coronary artery bypass graft (CABG)
Fibrinolisis
Terapi reperfusi dengan fibrinolisis adalah dengan memberikan agen farmakologis yang
bertujuan melisiskan trombus. Fibrinolisis sangat penting terutama bila tidak terdapat fasilitas
untuk PCI. Dalam beberapa panduan disebutkan untuk pemberian terapi fibrinolisis pra
rumah sakit namun hal ini tidak umum dilakukan.
Fibrinolisis dianjurkan dilakukan dalam kurang dari 12 jam setelah onset, jika primary PCI
tidak dapat dilakukan dalam 90 menit di awal sejak onset gejala. Selain itu fibrinolisis hanya
dapat dilakukan bila tidak ada kontraindikasi absolut. Fibrinolisis dikontraindikasikan secara
absolut pada kondisi berikut:
 Riwayat perdarahan intrakranial
 Stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir
 Aneurisma serebrovaskular
 Tumor intrakranial
 Trauma kepala dalam 3 bulan terakhir
 Diseksi aorta
 Perdarahan gastrointestinal dalam sebulan terakhir
 Riwayat pungsi lumbal dalam 24 jam sebelumnya[20]
Sedangkan kontraindikasi yang bersifat relatif adalah:
 Serangan iskemik transien dalam 6 bulan terakhir
 Mendapat terapi antikoagulan
 Hamil atau postpartum 1 minggu
 Hipertensi yang refrakter
 Penyakit liver tahap lanjut
 Endokarditis infektif
 Ulkus peptikum aktif
 Trauma akibat resusitasi
Fibrinolisis dapat dilakukan dengan pemberian:
1. Streptokinase 1,5 juta unit yang dilarutkan dengan 100 ml Dekstrosa 5% atau normal
salin, diberikan selama 30-60 menit.
2. Alteplase 15 mg melalui intravena dan dilanjutkan 0,75 mg/kgBB untuk 30 menit
berikutnya dan 0,6 mg/kgBB untuk 60 menit berikutnya.
3. Pemberian Streptokinase atau alteplase diberikan diikuti pemberian heparin
o Unfractionated Heparin diberikan sebanyak 60 unit/kgBB dan dilanjutkan 12
unit/kgBB/jam
o Low Molecular Weight Heparin, diberikan dengan dosis inisial 30 mg secara
intravena dan rumatan 1 mg/kgBB secara subkutan. [1]
Primary Percutaneus Coronary Intervention (pPCI)
Primary  Percutaneous Coronary Intervention (pPCI) merupakan pilihan utama dalam terapi
reperfusi dibandingkan dengan fibrinolisis. Dengan pPCI maka risiko perdarahan akibat
fibrinolisis dapat dihindarkan. Risiko perdarahan intrakranial dapat meningkat pada
pemberian fibrinolisis.[21
Indikasi dilakukan primary PCI adalah :
 Diutamakan dilakukan dalam kurang dari 120 menit setelah kontak dengan petugas
medis
 Pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali pada 
kondisi yang diakibatkan oleh keterlambatan prosedur PCI[20]
Aspek-aspek dalam prosedur PCI yang harus diperhatikan antara lain:
 Diutamakan pemasangan stentpada semua kasus dibandingkan hanya dengan
angioplasti dengan balon
 Tindakan primary PCIhanya terbatas pada pembuluh darah yang memiliki lesi,
kecuali bila dibarengi syok kardiogenik atau iskemik yang menetap setelah PCI
 Akses melalui radial diutamakan dibandingkan femoral dan dilakukan oleh dokter
yang berpengalaman
 Aspirasi trombus secara rutin diutamakan untuk dilakukan
 Penggunaan rutin alat proteksi distal tidak direkomendasikan
 Penggunaan rutin intraaortic baloon pump(IABP) selain pada syok kardiogenik tidak
direkomendasikan[20]
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG)
Tidak banyak pasien sindrom koroner akut yang membutuhkan tindakan coronary artery
bypass grafting (CABG). CABG diindikasikan pada pasien dengan kelainan anatomis dan
tidak dapat dilakukan PCI serta pasien dengan komplikasi gangguan mekanik pada jantung.
Pasien yang tidak dimungkinkan dengan intervensi PCI dapat dipertimbangkan untuk
dilakukan CABG. Pasien dengan gangguan di tiga pembuluh darah (3VD/ 3 vessel disease)
sebaiknya dilakukan graft agar revaskularisasi ke seluruh miokardium dapat dicapai dengan
baik.[1,22] Hasil studi prospektif dan terrandomisasi oleh NOBLE, didapati bahwa pada
penyakit pada arteri koroner kiri utama (left main coronary artery diseases), hasil CABG
lebih baik dibandingan dengan PCI.[23] Walau tingkat mortalitas dalam 5 tahun tidak beda
jauh, namun CABG didapati lebih baik daripada PCI pada kasus left main coronary artery
diseases.
Rujukan
Bila pada fasilitas kesehatan tidak mampu untuk melakukan terapi reperfusi, maka pasien
harus dirujuk ke fasilitas yang memadai. Hitungan onset serangan hingga terapi reperfusi
dapat berpengaruh terhadap strategi reperfusi.[1]
Bila waktu kurang dari 3 jam sejak onset hingga dapat fasilitas dengan terapi fibrinolisis,
maka terapi fibrinolisis dapat dilakukan. Bila waktu kurang dari 12 jam sejak onset, maka
pertimbangkan langsung dirujuk ke fasilitas yang mampu melaksanakan primary PCI. Pasien
dengan stratifikasi risiko tinggi segera dilakukan revaskularisasi dengan intervensi, dan
dalam kondisi tertentu atau left main artery coronary disease perlu dilakukan CABG.
Referensi
Diagnosis Sindrom Koroner Akut
Prognosis Sindrom Koroner Akut
ARTIKEL TERKAIT

Interpretasi Hasil EKG secara Digital dapat Menyebabkan Terjadinya Kesalahan Medis

Diagnosis Banding Elevasi Segmen ST pada Elektrokardiografi

Bahaya Penggunaan Oksigen pada Penyakit Akut

Pemberian Oksigen yang Tidak Pada Tempatnya Meningkatkan Mortalitas Pasien


Memahami Gelombang P dalam EKG


Lebih Lanjut
DISKUSI TERKAIT

 26 Juni 2020


Intepretasi hasil ekokardiogram pasien usia 32 tahun dengan keluhan nyeri dada yang
hilang timbul
Oleh: dr.siti diani fathia
 15 Balasan
Selamat siang dokter izin konsul ekg, pasien 32 thn dengan keluhan chest pain hilang timbul,
1mggu.Saat ini mengeluh agak sesak klo beraktivitas..

 08 Maret 2020


Interpretasi hasil EKG pada wanita usia 19 tahun dengan keluhan nyeri dada disertai
sesak napas
Oleh: Anonymous
 13 Balasan
Alodok izin Konsul hasil ekg wanita usia 19 thn dgn keluhan nyeri dada terasa tertusuk, mual
, berdebar , batuk disangkal, napas terasa berat, riw penyakit...

 28 Januari 2020


Nyeri dada bagian kiri disertai sakit kepala dan lelah pada pasien wanita usia 52 tahun
Oleh: dr. Renate Parlene Marsaulina
 8 Balasan
Alo Dokter! Pasien seorang wanita usia 52 tahun mengeluh nyeri dada sebelah kiri. Nyeri
dirasakan terus menerus sejak 1 hari sebelumnya. Selain itu pasien...

Lebih Lanjut

 Tentang Kami
 
 Advertise with us
 
 Syarat dan Ketentuan
 
 Privasi
 
 Kontak Kami
© 2017 Alomedika.com All Rights Reserved.

Anda mungkin juga menyukai