Anda di halaman 1dari 5

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Maps Bencana Di Pacitan


Kabupaten Pacitan merupakan kabupaten yang terletak di pantai selatan jawa dan
memiliki karakteristik wilayah yang sebagian besar (85% dari luas wilayah) berupa perbukitan
serta merupakan kawasan ekokarst. Adapun wilayah administrasi Kabupaten Pacitan setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, maka di
Kabupaten Pacitan telah terjadi pengembangan wilayah terutama di desa yang mana terjadi
pemekaran desa berjumlah 7 (tujuh) desa. Hal ini mengakibatkan perubahan wilayah
administrasi Kabupaten Pacitan dari sebelumnya 12 Kecamatan, 5 kelurahan dan 159 desa
menjadi 12 kecamatan, 5 kelurahan dan 166 desa (total 171 Desa/Kelurahan) dengan letak
geografis berada antara 110º 55’ - 111º 25’ Bujur timur dan 7º 55’ - 8º 17’ Lintang Selatan.
Adapun batas-batas administrasi dari Kabupaten Pacitan:
 sebelah Timur : Kabupaten Trenggalek
 sebelah Selatan : Samudera Indonesia
 sebelah Barat : Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah)
 sebelah Utara : Kabupaten Ponorogo
2.2 Bencana Yang Ada Di Pacitan
Berdasarkan laporan dari badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kabupaten
Pacitan merupakan salah satu wilayah yang terdampak siklon tropis paling berat. Sungai-sungai
meluap hingga membanjiri area persawahan, pemukiman, dan bahkan merusak sejumlah
infrastruktur yang ada. Selain itu, juga banyak dilaporkan kejadian longsor pada area perbukitan
yang mengakibatkan rumah rusak dan korban meninggal.

2.2.1 Gempa Bumi

Daerah Kabupaten Pacitan yang berada di atas lempeng India-Australia


kondisinya saat ini sangat rapat karena mendapat tekanan dari lempeng Eropa-Asia.
Berdasarkan hal tersebut maka seluruh wilayah Kabupaten Pacitan termasuk
kedalam kawasan rawan gempa bumi.

2.2.2 Kawasan Rawan Tanah Longsor/Gerakan Tanah

Adapun kawasan rawan tanah longsor/gerakan tanah di Kabupaten Pacitan


merupakan daerah yang memiliki kemiringan lahan lebih dari 40% dan kawasan
yang memiliki jenis tanah Redzina dan litosol. Pada kawasan yang memiliki kriteria
tersebut penggunaan lahan sedapat mungkin berupa hutan lindung/hutan rakyat.

2.2.3 Kawasan Rawan Gelombang Pasang Tsunami

Adapun kecamatan yang merupakan kawasan rawan bencana tsunami dan


perlu diatur penggunaan lahannya adalah seluruh wilayah pantai di bagian selatan
Kabupaten Pacitan yang memiliki kemiringan landai dan juga wilayah-wilayah
yang dilalui oleh sungai-sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.

2.2.1 Kawasan Rawan Banjir

Titik-titik rawan kejadian banjir di wilayah Kabupaten Pacitan sangat erat kaitannya
dengan keberadaan sungai - sungai utama yang ada yaitu Sungai Baksoko, Sungai Lorog, Sungai
Pagotan, Sungai Bawur dan terutama Sungai Grindulu. Daerah yang masuk kedalam kawasan
rawan banjir adalah sebagian wilayah Kecamatan Arjosari, Pacitan dan Kebonagung.

2.3 Kebijakan pemerintah terhadap Bencana Di Pacitan


2.4 Managemen bencana di Pacitan
2.4.1 Mitigation
1. Mengenali lokasi rawan banjir dan longsor
Mengenali lokasi-lokasi yang rawan banjir dan rawan longsor di suatu wilayah
merupakan tahap paling awal untuk mengurangi risiko bencana alam. Kondisi
lingkungan fisik alami perlu dipahami oleh masyarakat yang bertempat tinggal di
suatu kawasan. Identifikasi kawasan rawan bencana banjir dan longsor memegang
peran penting dalam mengurangi risiko bencana banjir dan longsor tersebut.Citra
penginderaan jauh maupun peta topografi atau peta rupa daerah Pacitan dapat
membantu untuk mengenali dan memetakan kawasan-kawasan yang rawan banjir
dan longsor. Kawasan ledokan atau dataran yang berdekatan dengan sungai dapat
dipastikan merupakan daerah rawan banjir luapan sungai. Jika kawasan ledokan atau
dataran terletak di dekat laut, maka kawasan tersebut rawan terhadap banjir genang
pasang (rob). Banjir Pacitan biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan sistem
drainase, sehingga air limpasan permukaan banyak yang menggenang karena tidak
tertampung oleh saluran air yang tersedia. Banjir bandang mungkin terjadi di daerah
yang relatif datar atau landai yang berbatasan langsung dengan lereng curam di
kawasan berbukit atau bergunung. Banjir bandang ini biasanya terjadi karena adanya
pembendungan alami di daerah hulu, kemudian bendung tersebut jebol.
Pembendungan alami tersebut disebabkan adanya material di tepi sungai yang
mengalami longsor kemudian menutupi saluran sungai di daerah hulu. Kawasan
tebing sungai, lereng perbukitan atau pegunungan, yang tersusun oleh material lepas-
lepas atau material lapuk yang sangat tebal, merupakan kawasan yang rawan
terhadap longsor. Setelah mengenali lokasi-lokasi yang rawan banjir dan longsor,
pengembangan permukiman padat di kawasan tersebut sebaiknya dihindari. Selain
itu, pembangunan infrastruktur penting seperti jalan dan jembatan, juga harus
mempertimbangkan potensi banjir dan longsor di kawasan tersebut. Hal yang juga
perlu dipahami bahwa banjir dan longsor termasuk proses alamiah, yang tidak akan
menimbulkan bencana kalau tidak berinteraksi dengan kehidupan manusia di lokasi
banjir atau longsor tersebut.
2. Mitigasi
Mitigasi merupakan upaya jangka menengah dan jangka panjang untuk mengurangi
atau menghilangkan dampak bencana sebelum kejadian bencana. Mitigasi dapat
dilakukan secara struktural maupun nonstruktural. Mitigasi struktural dilakukan
dengan membuat atau memperkuat sarana untuk mengurangi dampak banjir atau
longsor, baik itu secara alami maupun dengan rekayasa teknis.
Mitigasi struktural untuk banjir, misalnya, dengan membangun tanggul penahan
banjir, meninggikan fondasi bangunan (rumah), membuat sumur resapan, dan
menanam pohon-pohon di tebing-tebing sungai. Mitigasi struktural untuk longsor
dapat dilakukan, antara lain, dengan membuat tanggul penahan longsor, mengurangi
beban pada lereng, penguatan lereng, memperlancar drainase di lereng, dan
penghijauan kawasan lereng perbukitan.
Penghijauan sebaiknya menggunakan spesies alami atau asli kawasan tersebut.
Penggunaan spesies yang berbeda dapat meningkatkan beban massa lereng, yang
dapat memperbesar kemungkinan terjadinya longsor.
Adapun mitigasi non-struktural dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran
maupun kapasitas masyarakat menghadapi ancaman bencana. Mitigasi non-struktural
untuk banjir dan longsor dilakukan, antara lain, dengan regulasi penataan ruang
kawasan, sosialisasi kebencanaan, dan simulasi bencana. Sosialisasi dan simulasi
bencana secara teratur penting untuk dilakukan, dengan harapan masyarakat akan
memiliki budaya sadar bencana.
3. Siap mengantisipasi bencana dengan skenario kasus terburuk
Untuk keperluan ini, analisis evolusi risiko bencana dapat dilakukan dengan
memadukan informasi potensi banjir atau longsor terbesar dan potensi dampak yang
dihasilkannya. Evolusi risiko bencana dianalisis dengan mengidentifikasi
perkembangan proses alamiah yang terjadi dan elemen berisiko (misalnya bangunan,
penduduk, dan lahan produktif) secara temporal. Setelah memahami potensi risiko
bencana, upaya pencegahan, mitigasi, dan peningkatan kesiapsiagaan terhadap banjir
dan longsor dapat dilakukan dengan lebih terarah dan tepat sasaran. Data sejarah
kejadian bencana banjir maupun longsor dapat digunakan sebagai pedoman awal,
tapi untuk antisipasi skenario kasus terburuk sebaiknya dilakukan pemodelan.
Analisis hasil pemodelan banjir dan longsor kemudian dapat diverifikasi dengan
identifikasi bukti-bukti empirik di lapangan, sehingga model hipotetik yang telah
dibuat setidaknya dapat mendekati kenyataan.
4. Meminimalkan risiko
Dengan ketiga langkah tersebut, risiko yang timbul saat terjadi bencana dapat
diminimalkan serendah mungkin. Kasus Siklon Tropis Cempaka di Yogyakarta dan
Pacitan setidaknya telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa skenario kasus
terburuk bencana dapat terjadi sewaktu-waktu. Cuaca ekstrim menyebabkan
terjadinya banjir yang sangat ekstrim. Selain itu, longsor pun juga terjadi di beberapa
tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Kejadian-kejadian tersebut sebenarnya
dapat diantisipasi dampaknya jika kita sudah siap dengan skenario tersebut. Manusia
yang bijak adalah manusia yang dapat belajar dari pengalaman. Pengalaman bencana
banjir dan longsor yang terjadi sebagai akibat dampak Siklon Tropis Cempaka yang
lalu dapat menjadikan kita lebih siap lagi dalam mengantisipasi peristiwa serupa di
masa yang akan datang.
2.4.2 Preparedness

2.4.3 Responable
2.4.4 Rehabilatation/reconstruction
2.5 Cluster di kebencanaan

Anda mungkin juga menyukai