Anda di halaman 1dari 13

SENI SEBAGAI ALAT PENYEBARAN IDEOLOGI: KERONCONG

PADA MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA

oleh

RAFIF AUFA NANDA 1706062575

SEBAGAI TUGAS AKHIR PEMENUHAN NILAI AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH KEBUDAYAAN INDONESIA

yang diampu oleh

Dr. Ali Akbar, M.Hum dan Dr. Andriyati Rahayu, M.Hum

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

MEI 2019
I. Konsep Seni dan Hubungannya dengan Ideologi

[Culture is] the way of life of a particular people living together in one place. That
Culture is made visible in their arts, in their social system, in their habits and customs,
in their religion. – T.S Elliot dalam Elfira (2012:17)

Seni merupakan suatu hal yang memiliki banyak pengertian. Bahkan, semua
orang dapat membuat pengertiannya sendiri. Namun, semua pengertian tersebut
memiliki konsep utama yang tidak dapat dipisahkan, yaitu menyenangkan. Seni sebagai
alat untuk menyenangkan hati dan pengungkapan perasaan juga dapat digunakan
sebagai alat penyebaran ideologi.

Seni adalah sebuah karya yang timbul dari cipta karya masyarakat di suatu
wilayah dengan latar belakang budaya tertentu. Oleh karena itu, setiap daerah akan
memiliki kekhasan kesenian yang ada di wilayahnya. Artinya, suatu kesenian akan
selalu melekat dengan masyarakat yang ada di ruang lingkup kesenian tersebut.

Seni memiliki sifat yang indah dan berguna. Hal ini diungkapkan oleh Horatus
dalam bukunya Ars Poetica yang mengatakan bahwa sastra memiliki sifat dulce et utile
‘indah dan bermanfaat’ (Elfira, 2012: 21). Walaupun pernyataan ini ditujukan untuk
menjelaskan sifat puisi sebagai “seni bahasa”, penerapannya juga dapat dilakukan pada
seni lainnya.

Kita tahu bahwa masyarakat memiliki kegiatan dalam berbagai bidang


kehidupan. Kegiatan tersebut merupakan suatu hal yang digunakan untuk
mempertahankan kelangsungan suatu masyarakat. Masyarakat akan berusaha
mempertahankan agar tatanan mereka tidak punah atau hancur, salah satunya dengan
cara berpolitik. Seperti kata Aristoteles, manusia adalah zoon politikon atau “makhluk
berpolitik”. Dalam kegiatan politik, manusia akan cenderung berusaha memperjuangkan
agar keinginannya tercapai, yaitu menjalankan politik sesuai dengan pendekatan
pemikiran kita. Oleh karena itu, setiap manusia yang berpolitik akan memiliki dan
memperjuangkan ideologinya masing-masing.
Kembali lagi kita kaitkan dengan seni, kesenian adalah suatu unsur yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Manusia akan selalu menghasilkan dan
menikmati seni dalam kegiatan sehari-harinya. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa
seni akan selalu digunakan sesuai dengan kegiatan yang dilakukan oleh manusia, seperti
berpolitik.

II. Keroncong sebagai Kesenian Musik

Keroncong merupakan genre lagu yang pernah menjadi primadona di kalangan


masyarakat Nusantara. Kehadiran keroncong ini ternyata tidak serta merta asli dari hasil
karya masyarakat Indonesia. Kesenian ini merupakan pengaruh dari budaya Eropa, yaitu
Portugis, dalam masyarakat Indonesia khususnya Jakarta.

Keroncong merupakan musik dengan alunan alat musik Eropa yang terdiri dari
dawai petik seperti gitar, ukulele, serta kendangan yang dilengkapi dengan alat musik
lainnya seperti biola, suling, dan cello (Parani dkk., 2017:113-114). Kalau kita lihat dari
peralatannya, musik ini dibawakan dengan nuansa campuran antara Barat dan Timur.

Musik ini berawal dari kedatangan bangsa Portugis ke Jawa, yaitu ke Betawi.
Mereka yang bercampur dengan orang sekitar menciptakan nuansa musik baru yang
dinamakan sebagai “keroncong”. Keroncong pada awalnya berkembang di Betawi dan
pada akhirnya menyebar ke wilayah lainnya di Nusantara.

Orang Betawi terus mengembangkan musik keroncong hingga terbagi atas


beberapa jenis keroncong, seperti keroncong asli, keroncong stambul, dan keroncong
ala kampung setempat. Pengembangan itulah yang memunculkan jenis-jenis keroncong
lainnya di wilayah lainnya.

Pada masa Revolusi Kemerdekaan, keroncong dijadikan salah satu alat untuk
menyebarkan ideologi nasionalisme. Tokoh yang mencetuskan keroncong perjuangan
adalah Rudi Pirngadi, seperti dalam Parani (2017:120). Banyak lagu-lagu keroncong
perjuangan yang terdengar di telinga kita sampai sekarang antara lain Tanah Airku,
Rayuan Pulai Kelapa, dan lain-lain.

Setelah masa perang berakhir, lagu keroncong hanya dijadikan hiburan semata.
Musik keroncong sering kali dipadukan dengan musik yang sedang menjadi tren pada
masanya. Ada beberapa di antaranya adalah keroncong pop dan keroncong rock.

III. Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Masa perjuangan kemerdekaan yang dimaksud di sini adalah sejak tahun 1942
hingga 1946. Berakhirnya masa penjajahan Belanda ke tangan Jepang, para pemuda
Indonesia tergerakkan hatinya untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Banyak upaya-
upaya perjuangan yang dilakukan pada zaman Jepang.

Kejatuhan kekuasaan bangsa Eropa di Indonesia membuat produk kebudayaan


Eropa, termasuk musik, yang populer di Hindia Timur oleh Pemerintah Jepang. Hanya
musik keroncong saja yang diperbolehkan dimainkan. Oleh karena itu, hanya musik
keronconglah yang berkembang pada saat itu (Nugraha, dkk., 2016:226).

Namun, seiring dengan waktu berjalan, Pemerintah Jepang melarang musik


keroncong pada Agustus 1943, karena musik tersebut dianggap berbau Barat (Nugraha,
dkk. 2016:227). Pelarangan tersebut hanya berlangsung kurang lebih dua tahun, karena
Indonesia memproklamirkan dirinya pada Agustus 1945.

Pada masa-masa tersebut, para seniman keroncong tetap berkarya untuk


menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan kebangsaan. Para seniman yang dapat kita
temukan adalah Gesang, Ismail Marzuki, R.Maladi, dan Kusbini (Nugraha,
dkk.2016:229). Banyak kita ketahui bahwa lagu-lagu dari mereka ada yang menjadi
“lagu wajib” yang kita hafalkan sejak kecil, antara lain adalah Rayuan Pulau Kelapa.
Pada pembahasan ini, saya akan mengambil sedikit dan mengulas tentang lagu tersebut
dan maknanya dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Lagu “Rayuan Pulau Kelapa”, pada awalnya, adalah lagu keroncong yang
diciptakan oleh seorang komponis Betawi bernama Ismail Marzuki. Wajar saja jika
Ismail Marzuki menciptakan lagu keroncong yang boleh dikatakan sangat berbau
Betawi. Namun, ia menjadikan lagu tersebut sebagai lagu yang diciptakan untuk
menceritakan negaranya. Lagu tersebut, seperti dalam partitur aslinya, diciptakan pada
15 November 1944.

Beliau menciptakan sebuah lagu yang bernada tenang. Lirik yang terdapat dalam
lagu tersebut juga menggambarkan keindahan. Nada dan lirik sangat menggambarkan
keadaan yang digambarkan oleh lagu tersebut. Lagu tersebut menggambarkan sebuah
negara beriklim tropis yang memiliki pesona alam yang indah. Berikut adalah liriknya:

Tanah airku Indonesia, negeri elok amat kucinta


Tanah tumpah darahku yang mul’ya
Yang kupuja s’panjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau Kelapa yang amat subur
Pulau Melati pujaan bangsa, sejak dulu kala
Melambai-lambai, nyiur di pantai
Berbisik-bisik, raja k’lana
Memuja pulau, yang indah permai
Tanah airku, Indonesia
Seperti kita lihat pada liriknya bahwa memang benar lagu tersebut menceritakan
keadaan sebuah negara beriklim tropik yang indah. Namun di luar itu, ada ideologi yang
dapat ditafsirkan dari lagu tersebut.

Pertama, lagu tersebut menggunakan bahasa Melayu Tinggi (Indonesia) yang


umum dipakai di penjuru Indonesia, bukan bahasa daerah, Hal ini menunjukkan bahwa
sang pencipta lagu ingin menekankan persatuan Indonesia yang menggunakan bahasa
Melayu Tinggi Riau sebagai bahasa persatuan Indonesia.

Kedua, lagu tersebut menggambarkan bahwa Indonesia merupakan tempat yang


nyaman bagi masyarakatnya. Artinya, tidak ada alasan untuk orang untuk membiarkan
negaranya rusak begitu saja. Lirik tersebut dapat ditafsirkan bahwa seharusnya orang
Indonesia menjaga negaranya agar tetap nyaman dan tentram.

Ketiga, penggunaan ungkapan “yang kupuja s’panjang masa” menandakan


bahwa pencipta lagu sangat menganggap Indonesia sebagai negara yang dijunjung
tinggi. Lirik ini dapat ditafsirkan bahwa orang Indonesia harus menganggap negaranya
lebih berharga daripada negara lain. Maksudnya adalah orang Indonesia harus dapat
memimpin negaranya sendiri bukan dipimpin oleh bangsa lain.

Terakhir, sang pencipta lagu ingin menekankan bahwa bangsa lain sangat
menginginkan untuk tinggal di negara seperti Indonesia. Ini untuk menyadarkan bangsa
Indonesia bahwa negaranya adalah negara yang kaya raya. Oleh karena itu, pesan-pesan
tersebut dibuat untuk membangkitkan hati para pemuda Indonesia.

IV. Kesimpulan

Musik keroncong berawal dari kebudayaan Eropa yang membaur dengan


kebudayaan setempat. Dalam waktu yang lama, musik keroncong menjadi salah satu
unsut yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh masyarakat Indonesia. Banyak lagu
keroncong dimainkan untuk menghibur hati.

Seiring dengan waktu dan pergerakan politik, lagu keroncong menjadi sarana
untuk membangkitkan semangat pejuang. Para pejuang diperdengarkan lagu-lagu
keroncong yang bertemakan kebangsaan. Para pencipta lagu pun banyak membuat lagu-
lagu yang menceritakan tentang alasan seharusnya bangsa Indonesia merdeka dari
bangsa lain.

Oleh karena itu, musik keroncong berperan penting dalam pergerakan


perjuangan Indonesia. Bahkan, rasa yang ditimbulkan dari lagu-lagu tersebut dapat kita
temui dalam kehidupan kita, yaitu dengan adanya “lagu-lagu wajib” yang sejatinya
adalah lagu keroncong perjuangan.
DAFTAR PUSTAKA

Elfira, Mina. 2012. Sastra dan Masyarakat Rusia. Jakarta:Padasan.

Monalisa. 1 September 2018. Sihir “Rayuan Pulau Kelapa” pada penutupan Asian
Games 1962. Antara News tersedia pada
https://asiangames.antaranews.com/berita/744164/sihir-rayuan-pulau-kelapa-pada-
penutupan-asian-games-1962.

Nugraha, Ikbal Eki, dkk. 2016. Lagu-lagu keroncong perjuangan 1942-1946. Factum.
5(2):221-235.

Parani, Julianti, dkk. 2017. Bunga Rampai Seni Pertunjukan Kebetawian. Jakarta: IKJ
Press.
ONDEL-ONDEL DARI ZAMAN KE ZAMAN DAN
KOMODIFIKASINYA

oleh

RAFIF AUFA NANDA 1706062575

SEBAGAI TUGAS AKHIR PEMENUHAN NILAI AKHIR SEMESTER

MATA KULIAH KEBUDAYAAN INDONESIA

yang diampu oleh

Dr. Ali Akbar, M.Hum dan Dr. Andriyati Rahayu, M.Hum

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

MEI 2019
I. Komodifikasi Seni

Komodifikasi adalah sebuah proses membuat suatu barang menjadi banyak


dan tersebar luas di kalangan masyarakat (Mudana dan Ribek, 2017:68). Proses
komodifikasi ini berlaku pada banyak produk, termasuk seni.

Seni sebagai produk budaya memiliki nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh,


seni dapat menjadi sarana upacara adat yang mungkin memiliki nilai kesakralan. Oleh
karena itu, seni juga dapat memiliki aturan-aturan dalam pelaksanaannya.

Seiring dengan waktu berjalan, masyarakat memiliki gaya hidup yang


berubah-ubah dan berbeda-beda. Gaya hidup yang ada dalam masyarakat makin
menuntut yang lebih fleksibel, karena aktivitas manusia yang begitu padat. Padatnya
kegiatan masyarakat itu berimbas kepada kesenian.

Seni ditujukan untuk dinikmati dan dijalankan oleh masyarakat.


Permasalahannya adalah masyarakat memiliki gaya hidup yang sudah berubah dari
zaman dahulu. Oleh karena itu, seni “dipaksa” mengikuti kebutuhan masyarakat. Hal ini
menyebabkan nilai keaslian dari seni tersebut luntur.

Namun, proses tersebut dibutuhkan untuk mencegah kepunahan kesenian


tersebut. Atas sebab itu, kesenian dituntut untuk menyesuaikan masyarakat. Selain itu,
agar kesenian tersebut tetap dinikmati masyarakat, kesenian tersebut harus “dijual”
sesuai “permintaan” masyarakat. Oleh karena itu, para seniman melakukan perubahan
pada suatu kesenian untuk masyarakat yaitu ‘komodifikasi’.

Pada pembahasan ini, saya akan membahas tentang perkembangan ‘ondel-


ondel’ dari zaman dahulu hingga sekarang dan komodifikasi terhadap kesenian ini. Kita
akan lihat bahwa ondel-ondel mengalami perkembangan yang disesuaikan menurut
masyarakat.
II. Sejarah ‘Ondel-ondel’

Ondel-ondel adalah sebuah kesenian berbentuk boneka besar yang berasal dari
Betawi. Boneka ondel-ondel dimainkan oleh dua orang yang memainkan satu boneka
lelaki dan satu boneka perempuan. Para pemain akan menari dengan tarian khas yang
berputar.

Ondel-ondel pada awalnya disebut sebagai “barongan”. Asal kata barongan ini
ada dua versi. Versi pertama adalah “barongan” merupakan istilah yang lumrah dipakai
di bahasa Sunda, Jawa, dan Bali untuk menyebut ‘monster’. Seperti kita ketahui, ada
juga barongan Sunda, barongan Jawa, dan barongan Bali. Versi kedua menurut Yahya
Andi Saputra dalam Ragam Seni Budaya Betawi (2012:140), kata “barongan” merasa
dari bahasa Betawi lama barengan yang berarti ‘bersama-sama’. Namun, saya
cenderung meyakini versi pertama, lebih masuk akal dan memang terdapat kesamaaan
antara barongan Betawi atau ondel-ondel dengan barongan lainnya, seperti barongan
Bali.

Kemunculan ondel-ondel dapat ditelusuri dari tulisan seorang Inggris W.Scot


dalam Mees yang dikutip dari Ragam Seni Budaya Betawi (2012: 75), bahwa ondel-
ondel merupakan iring-iringan Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk merayakan
khitanan Pangeran Abdul Mafakhir. Boneka raksasa tersebut digunakan sebagai penolak
bala dan pengusir roh jahat.

Ondel-ondel seiring dengan perkembangan zaman mengalami perubahan bentuk.


Pertama, bentuk muka dari ondel-ondel mengalami perubahan yang jelas. Awalnya,
ondel-ondel memiliki taring. Selain itu, warna dari muka ondel-ondel tidak dibuat
beragam seperti sekarang. Rambut yang menghiasi ondel-ondel juga awalnya
berantakan dan tidak berwarna seperti sekarang.

Pada awalnya, ondel-ondel digunakan dalam banyak upacara adat yang sudah
dijelaskan gunanya di atas. Hampir pada setiap perayaan apa pun diadakan penarian
ondel-ondel. Namun, guna ondel-ondel dalam upacara adat makin bergeser. Hal ini
disebabkan oleh beberapa alasan.
Alasan pertama tergesernya nilai guna asli ondel-ondel adalah masuknya nilai
Islam. Orang Betawi yang kuat akan Islamnya, sampai-sampai menyebut dirinya
sebagai ‘Suku Islam’, meninggalkan guna asli ondel-ondel tanpa menghilangkan ondel-
ondel tersebut. Hal ini karena dalam ajaran Islam, pengusiran kejahatan bukan
dilakukan dengan cara yang demikian. Orang Betawi yang kuat akan Islamnya akan
meninggalkan cara yang bertentangan dengan agama Islam. Namun, orang Betawi tidak
membuang ondel-ondelnya.

Gambar : Ondel-ondel (Barongan) pada zaman Belanda, koleksi KITLV Leiden1

1
Gambar sebelah kiri diambil dari
Sementara gambar sebelah kanan dari Koleksi KITLV 78364 “Reuzenpoppen (barongan) van een Tjap-
Gomehoptocht tijdens jublieumfeesten te Batavia” (1923) dari laman
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/901143?solr_nav%5Bid
%5D=1d3a1b021e6fd34be467&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=2.
DAFTAR PUSTAKA

Mudana, I Wayan dan Pande Ketut Ribek. 2017. Komodifikasi Seni Lukis Wayang
Kamasan Sebagai Produk Industri Kreatif Penunjang Pariwisata. Mudra. 32(1):68-80.

Anda mungkin juga menyukai