Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian Ushul
ُ ُ ‫ )أ‬secara etimologi adalah bentuk jamak dari kata ash-lun (ٌ ‫صل‬
Ushul (ٌ ‫ص ْول‬ ْ َ‫)أ‬
yang berarti asal, pokok, atau pondasi; yakni sesuatu yang menjadi pondasi suatu
bangunan baik itu yang bersifat fisik maupun nonfisik.

Contohnya akar pohon yang mana ia merupakan pondasi dari pohon itu sendiri.
Sebagaimana firman Allah ta’ala :

‫ت َو َفرْ ُع َها فِي ال َّس َما ِء‬ ْ َ‫أ‬ ‫ب هَّللا ُ َمثَاًل َكلِ َم ًة َط ِّي َب ًة َك َش َج َر ٍة َط ِّي َب ٍة‬
ٌ ‫ َث ِاب‬ ‫صلُ َها‬ َ ‫ض َر‬ َ ‫أَلَ ْم َت َر َكي‬
َ ‫ْف‬

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan


kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
(menjulang) ke langit
(QS. Ibrahim : 24)

B. Pengertian Fiqh
Adapun fiqh (ٌ‫ه‬ ‫) ِف ْق‬ secara bahasa bermakna fah-mun (‫) َف ْه ٌم‬ yang
artinya pemahaman mendalam yang memerlukan pengerahan akal pikiran.

Pengertian ini ditunjukkan dalam firman Allah ta’ala :

‫* َي ْف َقهُوا َق ْولِي‬ ‫َواحْ لُ ْل ُع ْق َد ًة مِّن لِّ َسانِي‬

dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, sepaya mereka memahai perkataanku,


(QS. Thaha : 27 – 28)

Menurut Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, fiqh secara terminologi adalah :

‫َمعْ ِر َف ُة اأْل َحْ َك ِام ال َّشرْ عِ َّي ِة ْال َع َملِ َّي ِة ِبأ َ ِدلَّ ِت َها ال َّت ْفصِ ْيلِ َّي ِة‬

Mengenal hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang


terperinci.[1]
"Secara istilah, fikih adalah pengetahuan tentang hukum syarak yang
berhubungan dengan dengan perbuatan mukalaf (orang yang layak dibebani
hukum taklif) yang dalilnya digali satu per satu,'' ujar Prof Satria. 

Para ulama besar memiliki pendapat masing-masing tentang definisi Ushul Fiqh.
Syekh Kamaluddin bin Himam dalam kitab Tahrir, mendefinisikan Ushul
Fiqh sebagai pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana (alat) untuk
menggali hukum-hukum fikih.

"Dengan kata lain, Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan tentang
cara (metode) pengambilan (penggalian) hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia dari dalil-dali syar'i,'' ungkap Prof Muhammad Abu Zahrah
dalam bukunya bertajuk, Ushul Fiqih. Contohnya, kata dia, Ushul Fiqh
menetapkan bahwa perintah (amar) itu menunjukkan hukum wajib dan larangan
(nahi) menunjukkan hukum haram.

Sedangkan, Imam al-Baidawi menyatakan, Ushul Fiqh sebagai pengetahuan


tentang dalil fikih secara umum dan menyeluruh, cara meng-istinbat-kan atau
menarik hukum dari dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku istinbat. Lalu, apa
bedanya antara ilmu fikih dan Ushul Fiqh?

Menurut Ensiklopedi Islam, perbedaannya terlihat pada objek kedua ilmu tersebut.


Objek Ushul Fiqh adalah dalil-dalil, sedangkan objek fikih adalah perbuatan
seseorang yang telah mukalaf (dewasa dalam menjalankan hukum).

"Jika usuli (ahli Ushul Fiqh) membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang bersifat
umum, fukaha (ahli fikih) mengkaji bagaimana dalil-dalil juz'i (sebagian) dapat
diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang khusus.

Ilmu Ushul Fiqh hadir dengan tujuan untuk mengetahui dalil-dalil syarak, baik yang
menyangkut bidang akidah, ibadah, muamalah, akhlak, atau uqubah (hukum yang
berkaitan dengan masalah pelanggaran atau kejahatan. Dengan demikian,
menurut Ensiklopedi Islam, hukum-hukum Allah SWT dapat dipahami dan
diamalkan.

Dengan begitu, Ushul Fiqh bukanlah sebuah tujuan, melainkan sarana untuk
mengetahui hukum-hukum Allah SWT terhadap suatu peristiwa yang memerlukan
penanganan hukum. Dengan adanya ilmu Ushul Fiqh, agama akan terpelihara
dari penyalahgunaan dalil.
A. OBYEK PEMBAHASAN DALAM USHUL FIKH
       Dalam sistematika penyusunan pokok-pokok bahasan terdapat
perbedaan yang disebabkan perbedaan arah dan penekanan dari beberapa pokok
bahasan tersebut.
        Menurut Abdullah bin Umar  al-Baidlawi ada tiga masalah pokok yang akan
dibahas dalam ushul fikh, yaitu tentang sumber dan dalil hukum, tentang metode
istinbath, dan tentang ijtihad. Menurut Abdullah bin Umar al-Baidlawi kajian
tentang hukum (al-hukm) diletakkan pada bagian pendahuluan. Sedangkan Imam
Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), ahli ushul fiqh dari kalangan syafi’iyah
meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada pendahuluan, melainkan
pada bagian pertama masalah-masalah pokok yang akan dibahas dalam ushul
fiqh. Berpegang kepada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka objek bahasan ushul
fiqh terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1. Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan dengannya, seperti
hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih.
2.  Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
3.  Pembahasan tentang cara mengistinbathkan hukum dari sumber-sumber dan
dalil-dalil itu
4.  Pembahasan tentang ijtihad
 
        Secara umum, sesuai dengan keterangan pengertian ushul fikh, maka yang
menjadi objek pembahasannya meliputi:
a. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
      Pembahasan tentang dalil dalam ushul fikh adalah secara global, di sini
dibahas tentang macam-macamnya, rukun  atau syarat masing-masing dari
macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam ilmu
ushul fiqh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.
(a).Mutafaq ‘alaih (yaitu dalil yang di sepakati)
(b).mukhtalaf hadis (Yaitu hadist hadist yang masih di perdebatkan ke shohihannya)
b.        ?????? ?? ????? ??? : Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang
berhubungan dengannya, seperti  hakim, mahkum bih, mahkum fih, dan mahkum
‘alaih.
       Pembahasan tentang hukum dalam ilmu ushul fiqh adalah secara umum, Tidak
dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasn tentang hukum
ini meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang
menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum ‘alaih),
syarat-syarat ketetapan hukum (al-mahkum bih), dan macam-macamnya dan
perbuatan-perbuatannya ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
1) Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh".
Q.S. al An'am. A.57
2) Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu perbuatan-
perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari bermacam
isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad
SAW.
3) Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu orang
mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Seperti
misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat. Perintah ini ditujukan kepada
orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat, bukan ditujukan kepada anak-anak
atau orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga
macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan.
Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan
jawab.
c.      ????? ???????? : Pembahasan tentang cara/kaidah mengistinbathkan hukum
syara’ dari sumber – sumber dan dalil yang mengandungnya.
       Adalah daya usaha membuat keputusan hukum syarak berdasarkan dalil-dalil al-
Quran atau Sunnah yang sedia ada. Pembahasan tentang kaedah (= teori yang
diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam
sebagai hasil ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk
memperoleh hukum dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai ragamnya,
kehujahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.
        Metode istinbat yang dibahas dalam bagian ini adalah dari metode-metode
istinbath secara keseluruhan. Bagian ini khusus membicarakan metode bila mana
dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara dalil yang satu dengan dalil
yang lain. Seperti yang dikemukakan oleh abd al-rahim al-isnawi, mendahulukan dalil
yang tegas atas dalil yang tidak tegas pengertiannya, mendahulukan hadis yang
mutawatir atas hadis yang tidak mutawatir, dan lain-lain yang umumnya dibahas
dalam kajian ta’arud al-adillah (dalil-dalil yang bertentangan) dan metode tarjih (cara
mengetahui mana yang lebih kuat sehingga harus didahulukan).
d.     ???????? : Pembahasan tentang ijtihad
       Adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang Pembahasan tentang ijtihad,
yaitu pembicaraan tentang berbagai hal, syarat-syarat bagi orang yang boleh
melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-
hukum melakukan ijtihad.
        Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat
bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari
kacamata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.
Dalam membicarakan sumber hukum, dibicarakan pula kemungkinan terjadinya
benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula tentang orang-
orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau metode dalam
melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini memunculkan pembahasan tentang ijtihad
dan mujtahid. Kemudian membahas mengenai tindakan dan usaha yang dapat
ditempuh orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kemungkinan
berijtihad atau pembahasan tentang taklid dan hal-hal lain yang berhubungan
dengannya.
Dalam ushul fikh inilah dibahas bagaimana para mujtahid mencapai kesepakatan
menyangkut sumber-sumber hukum fikh, dan di mana letak perbedaan pandangan
mereka. Seperti diketahui, bahwa para mujtahid telah menyepakati Al-Qur’an, Al-
Sunnah dan Ijma sebagai sumber utama penetapan hukum fikih . Adapun sumber-
sumber lain, ada yang hampir di sepakati secara umum seperti qiyas, dan hanya
sekolampok kecil menolaknya, dan ada pula yang tetap menjadi perselisihan
dikalangan para mujtahid. Sumber macam terahir ini adalah istihasan, istishlah
( mashlahah mursalah ), syariat sebelum islam, fatwah sahabat, saddu al-dzari’ah
dan istishhab.
Pembahasan tentang sumber-sumber hukum fikih di atas, banyak di kaitkan
dengan pembahasan tentang al-hakim atau al-syari’ (pencipta syari’at), dalam hal ini
adalah Allah swt dan rasul-Nya. Berkaitan dengan ini, lahirlah pembahasan tentang
peranan akal sebagai salah satu sumber  ijtihadiy dalam berfikih. Selanjutnya di
bahas pula mengenai al-mahku’alaih (mukkallaf), yang berkaitan pula dengan
pembahasan istitha’ah (daya mukallaf) dan niat (kesengajaannya) dalam berbuat
dan al-mahkum  bih (amal-amal perbuatan ) mukallaf itu sendiri.
Pembahasan tentang hukum, yang kemuadian di bedakan antara hukum taklif
( wajib, mandub, haram, makruh dan mubah ) dan hukum wadha’iy, yakni hukum
yang timbul karna pertalian antara dua obyek hukum atau lebih. Pembahasan
tentang ini pula melahirkan pengetahuan tentang syarat-syarat suatu amal (syarth),
sebab-sebab adanya tuntutan melakukan amal ( sabab), sebab- sebab terhalangnya
suatu amal ( mani’) sah dan batalnya suatu amal, adanya rukhshah ( kemudahan )
meninggalkan amal-amal tertentu.
Di samping itu, hal yang tak kalah pentingnya di bahas dalam ushul fikih ialah
thuruq al-istinbhath ( metode istinbaht ), yang secara mendasar ada dua macam,
yakni istinbhat berdasarkan lafazh dan istinbat berdasarkan makna. Dalam
membahas mengenai hal ini, terkait dengan upava mujtahid menganalisis kejelasan
dan ketidakjelasan suatu dalil sehingga lahir istilah qath’iy dan zhanniy, pembahasan
mengenai bentuk dilalah dari lafazh-lafazh itu sendiri yang melahirkan istilah ‘ ibarah,
isyarah, mafhum muwafaqah, mafum mukhalafah, dan dilalah iqtidha”. Demikian pula
pembahasan mengenai ruang cakupan suatu dalil yang dibagi dalam empat macam,
yakni dalil’ am dan khas, muthlaq dan muqayyad. Termasuk pula pembahasan
mengenai lafazh adalah taklif ( shighat al-taklif) yang didukun oleh dalil, yang secara
garis besarnya adalah awamir ( dalil-dalil yang mengandung perintah), nawahiy
( dalil-dalil yang mengandung larangan) dan ibaha. Dalam kaitan inilah timbul
penetapan hukum  fiqh yang meliputi : wajib, mandub, haram, makruh, mubah.
 Dalam ushul fiqh dibahas pula sifat-sifat mujtahid, yakni diantaranya mujtahid
yang melakukan ijtihad secara mutlak tanpa terikat oleh pendapat mujtahid lain dan
tanpa membatasi wilayah ijtihadnya, seperti yang dilakukan oleh empat mazhab
besar ( Abu Hanifah, Malik, Al-Svafi’iy, dan Abu Ahmad Ibn Hanbal) : adapula yang
berijthad tetapi terkit dalam satu mazhad : adapula yang berijtihad menyangkut
sebahagian masalah fiqh saja sedang pada masalah lainnya mengikuti mazhab
tertentu.
        Dari keterangan di atas, jelas bahwa yang yang menjadi objek bahasan ushul
fiqh adalah sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan
penetapan sebuah hukum dan sebaliknya segi bagaimana tetapnya suatu hukum
dengan dalil. Dalil-dalil atau kaidah-kaidah serta hukum itu dikemukakan secara
global, tanpa masuk kepada rinciannya, karena rinciannya, seperti dikemukakan
sebelumnya, dibahas dalam ilmu fiqih oleh mujtahid.
Untuk menjelaskan terhadap hal ini, saya akan membuat beberapa contoh berikut :
Al-qur’an adalah dalil syar’i yang pertama bagi setiap hukum. Nash-nash yang
ditasyri’iyyah tidaklah dalam satu bentuk saja,akan tetapi diantaranya ada yang
datang dalam bentuk amar (perintah) ada pula yang dalam bentuk nahi
(larangan),dan ada pula yang dalam bentuk umum atau mutlak. Bentuk perintah,
larangan, bentuk umum, dan bentuk mutlak merupakan beberapa macam yang
bersifat umum dari aneka macam dalil syar’i yang umum pula, yaitu: al-qur’an. Jadi
seorang ahli ushul fikh membahas terhadap setiap macam dari aneka macam ini
supaya ia dapat sampai kepada bentuk hukum yang menjadi dalalahnya, dimana
dalam membahasnya ia mempergunakan penyelidikan  tentang uslub-uslub bahasa
arab dan pemakaian hukum syara’.
Kemudian apabila melalui pembahasannya itu, ia sampai kepada kesimpulan
bahwa bentuk perintah menunjukkan pengertian pewajiban, shighat larangan
menunjukkan pengertian pengharaman, shighat umum menunjukkan pengertian
tercakupnya semua satuan-satuan  pada dalil umum secara pasti, dan bentuk mutlak
menunjukkan tehadap tetapnya hukum secara mutlak, maka ia membuat beberapa
kaidah sebagai berikut:
-       Perintah adalah untuk
pewajiban             (  ????????????????????????  )
-        Larangan adalah untuk pengharaman     
(   ?????????? ?????????? ????  )
-        Sesuatu yang umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti
          (  ?????? ??? ?????????? ???????? ?? ????????? ???????  )
-       Sesuatu yang mutlak menunjukkan terhadap satuan secara merata tanpa
batasan. 
   
(  ???????????? ???? ??? ????? ????????? ?????? ???? ???????? ?????
??  )
Kaidah-kaidah umum tersebut maupun lainnya yang telah dicapai oleh ahli ilmu
ushul fiqh melalui pembahasannya sampai dengan penetapannya itu diambil oleh
ahli fiqh sebagai kaidah yang diterima dan ia terapkan terhadap bagian-bagian dalil
umum, supaya ia dapat sampai kepada hukum syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia secara rinci. Jadi faqih menerapkan kaidah: “perintah
menunjukkan pengertian pewajiban” terhadap firman Allah SWT.:
: ??????? ( ??????????????????????????????? ?????????????????????
 ) 1
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu…”
 (QS.Al-Maidah : 1)
Dan ia menetapkan bahwa memenuhi akad adalah wajib hukumnya. Ia juga
menerapkan kaidah bahwa “larangan menunjukkan pengharaman” terhadap firman
Allah SWT.:
??? ( ?????? ???? ??????????????????????????????????????????????
) 11 : ????
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum
yang lain…”.   ( QS.Al-Hujurat : 11)
Kemudian ia memutuskan bahwa mengolok-olokkan suatu kaum terhadap kaum
lainnya adalah haram hukumnya.
Ia juga dapat menerapkan
kaidah : "   (      ????????????????? ?????????? ???????? ??????????  ses
uatu yang umum mencakup seluruh satuan-satuannya secara pasti  )” terhadap
firman Allah SWT. :
)23 : ??????( ?????????????? ?????????? ?????????
Artinya :
“Diharamkan  atas kamu (mengawini) ibu-ibumu….”.  (QS.An-Nisa’ : 23)
Selanjutnya ia menetapkan bahwa semua ibu diharamkan. Dan ia juga dapat
menerapkan kaidah (   ???????????? ??????? ????? ????? ??????   )
“sesuatu yang mutlak menunjukkan terhadap satuan manapun”  terhadap firman
Allah SWT. tentang kaffarat zhihar :
) 3 : ???????? (  ????????????????????
Artinya :
“… maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak…”. 
 (QS.Al-Mujadilah : 3)
Kemudian ia menetapkan bahwa didalam kaffarat zhihar cukup dengan
memerdekakan seorang budak, baik muslim maupun non muslim.
        Dari uraian tersebut, maka jelaslah perbedaan antara dalil kulli (umum) dan dalil
juz’I (detail), dan jelas pula perbedaan antara hukum kulli dan hukum juz’i.
 Jadi dalil kulli adalah suatu bentuk umum dari berbagai dalil, yang didalamnya
terkandung sejumlah dalil juz’I (detail) seperti : amar (perintah), nahi (larangan),
‘amm, mutlak, ijma’ sharih (yang nyata), ijma’ sukuti (tidak nyata), qiyas yang illatnya
tercantum dalam nash, dan qiyas yang illatnya diistimbathkan. Amar merupakan dalil
kulli yang dibawahnya terkandung seluruh bentuk yang disampaikan dalam bentuk
amar. Nahi merupakan dalil kulli yang dibawahnya termasukseluruh bentuk yang
disampaikan dalam bentuk nahi (larangan). Demikian seterusnya. Amar (perintah)
merupakan dalil kulli dan nash yang datang dalam bentuk amar merupakan dalil juz’i.
nahi (larangan) merupakan dalil kulli, sedangkan nash yang datang dalam bentuk
larangan adalah dalil juz’i.
   Adapun hukum kulli, maka ia adalah sesuatu bentuk umum daripada hukum,
yang dibawahnya termasuk sejumlah bagian-bagian, seperti ijab (pewajiban), tahrim
(pengharaman), shihhah (shah), dan buthlan (batal). Ijab merupakan suatu hukum
kulli yang didalamnya tercakup pewajiban memenuhi berbagai perjanjian, pewajiban
adanya beberapa saksi dalam perkawinan, dan pewajiban hal yang wajib lainnya.
Tahrim (pengharaman) juga merupakan hukum kulli yang didalamnya terkandung
pengharaman zina dan pencurian dan pengharaman apa saja yang diharamkan.
Demikian pula sah dan batal. Dengan demikian, ijab (pewajiban) merupakan hukum
kulli dan pewajiban perbuatan tertentu merupakan hukum juz’i.
 Ahli ilmu ushul fiqih tidak akan membahas mengenai dalil-dalil juz’iyyah, tidak
pula mengenai hukum-hukum juz’iyyah yang ditunjukinya; akan tetapi ia hanya
membahas terhadap dalil kulli dan hukum kulli yang ditunjukinya, supaya ia dapat
membuat kaidah-kaidah umum bagi pengertian berbagai dalil, agar diterapkan
seorang faqih terhadap dalil-dalil juz’iyyah untuk menghasilkan hukum yang rinci.
Seorang faqih tidak membahas mengenai dalil kulli maupun hukum kulli yang
ditunjukinya, akan tetapi ia hanyalah membahas mengenai dalil juz’I dan hukum juz’I
yang ditunjukinya.
DAFTAR PUSTAKA
-          DR. MISBAHUDDIN, USHUL FIQH I, MAKASSAR-ALAUDDIN UNIVERSITY
PRESS, DESEMBER 2013. HLM. 5.
-          PROF.DR.H.AMIR SYARIFUDDIN, USHUL FIQH JILID I, JAKARTA: LOGOS
WACANA ILMU, 1997. HLM. 41.
-          PROF.DR.H.HAMKA HAQ, PENGARUH TEOLOGI DALAM USHUL FIQH,
MAKASSAR: ALAUDDDIN UNIVERSITY PRESS, 2013. HLM. 74.
-          PROF. ABDUL WAHHAB KHALLAF, ILMU USHUL FIQH, DINA UTAMA
SEMARANG: TOHA PUTRA GROUP, 1994. HLM. 2-5.
-          PROF. ABDUL WAHHAB KHALLAF, KAIDAH-KAIDAH HUKUM ISLAM (ILMU
USHULUL FIQH), JAKARTA: PT.RAJA GRAFINDO PERSADA, 2000. HLM. 3.
-          PROF.Dr.H.SATRIA EFFENDI, USHUL FIQH, JAKARTA: PT. FAJAR
INTERPRATAMA MANDIRI, 2005. HLM. 11-13.

Anda mungkin juga menyukai