Anda di halaman 1dari 18

TEORI HUKUM ALAM DAN PERKEMABANGAN

Hukum alam (hukum kodrat) adalah hukum berasal dari wahyu tuhan dan akal budi
manusia, yang bersifat universal dan kekal abadi berlaku dimana pun dan kapan pun.
Perkembangan hukum alam menurut soejono koesoemo siswiro bahwa ada tiga kelompok besar
dalam hukum alam, yaitu pertama aliran zaman kuno di yunani dan romawi mulai dari pemikir-
pemikir sebelum Socrates, seperti anaximender, heraclitos, parminides, kelompok pitagoras,
kelompok kaum sofist, Socrates, plato, aristoteles, kelompok stoa zeno dan Seneca. Kedua abad
pertengahan seperti agustinus dan Thomas Aquinas. Ketiga zaman baru dipelopori oleh
renaissance dan tokoh-tokohnya seperti Macchiaveli, Jean Bodin, Grotius, Hobbest, Pufendort,
John Locke, Rousseau dan lain-lain.

Hukum alam adalah hukum yang normanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dari
alam semesta dan dari akal budi manusia, karena ia digambarkan sebagai hukum yang berlaku
abadi. Hukum alam dimaknai dalam berbagai arti oleh beberapa kalangan pada masa yang
berbeda. Berikut ini pandangan beberapa filsuf hukum alam dari Aristoteles, Thomas Aquinas,
dan Hugo Grotius dan filsuf lainnya tentang hukum alam baik yang rasional maupun irasional.

Aristoteles pemikir pertama yang membedakan antar hukum alam dan hukum positif.
Menurut dia hukum alam adalah suatu hukum yang berlaku selalu dan di mana-mana karena
hubungannya dengan aturan alam. Hukum itu tidak dapat berubah, tidak pernah lenyap dan
berlaku dengan dengan sendirinya. Hukum alam dibedakan dengan hukum positif, yang
seluruhnya tergantung dari ketentuan manusia.

Hukum harus ditaati demi keadilan. Keadilan selain sebagai keutamaan umum juga
keadilan sebagai keutamaan moral khusus. Keadilan menentukan bagaimana hubungan yang
baik antara sesama manusia, yang meliputi keadilan dalam pembagian jabatan dan harta benda
publik, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam transaksi jual beli, keadilan dalam
hukum pidana, dan keadilan dalam hukum privat. Jadi pada masa Aristoteles bahwa hukum alam
merupakan bagaimana menemukan keadilan dan moral menurut hukum yang sebebnarnya.
Pada abad pertengahan muncullah bahwa hukum alam berasal dari wahyu tuhan dan akal
budi manusia yang mana dipelopori oleh Thomas Aquinas yang disebit sebagai penganut hukum
alam irasional. Dalam membahas hukum, Aquinas membedakan antara hukum yang berasal dari
wahyu dan hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia. Hukum yang didapat dari wahyu
tuhan disebut hukum ilahi positif (ius divinum positivum). Hukum yang berasal dari akal budi
manusia adalah hukum alam (ius naturale), hukum bangsa-bangsa (ius gentium), dan hukum
positif manusiawi (ius positivum humanum). Selain itu Aquinas juga membagi hukum mejadi 4
golongan yaitu Lex Aeterna (hukum abadi), Lex Divina (hukum tuhan), Lex Naturalis (hukum
alam) dan Lex Positivis (hukum positif). Menurut Aquinas jika hukum positif bertentangan
dengan hukum alam, maka hukum alam yang menang dan hukum positif kehilangan
kekuatannya. Ini berarti bahwa hukum alam memiliki kekuatan hukum yang sungguh-sungguh.
Hukum positif hanya berlaku jika berasal dari hukum alam. Hukum yang tidak adil dan tidak
dapat diterima akal, yang bertentangan dengan norma alam, tidak dapat disebut dengan hukum,
tetapi hukum yang menyimpang.

Mengenai konsepsinya tentang hukum alam ini, Aquinas membagi asas-asas hukum alam
itu dalam 2 jenis, yaitu Principia prima dan Principia secundaria. Principia secundaria diturunkan
dari principia prima. Lebih lanjut, Aquinas mengatakan bahwa principia prima itu tidak lain
adalah asas-asas yang dimiliki manusia semenjak ia lahir dan bersifat mutlak dalam arti tidak
dapat diasingkan darinya. Karena sifatnya yang demikian, principia prima itu tidak dapat
berubah ditempat manapun dan dalam keadaan apa pun.

Berbeda dengan principia prima, principia secundaria yang merupakan asas yang
diturunkan dari principia prima tidak berlaku mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan
waktu. Dapat dikatakan bahwa principia ini merupakan penafsiran dari manusia dengan
menggunakan rasionya terhadap principia prima. Penafsiran manusia ini bermacam-macam,
dapat baik maupun buruk. Kadang-kadang ditafsirkan dengan tujuan untuk kepentingan sendiri,
principia secundaria ini tidak dapat mengikat masyarakat umum, baru dapat mengikat umum jika
hukum positif memberikan kepada asas-asas ini kekuasaan mengikat, misalnya dalam bentuk
undang-undang.

Pada masa renaissance menghasilkan dunia baru mulainya individualism dan kebebasan
tanpa berbagai ikatan dan kewajiban lama, subjek manusia pribadi menurut hak-haknya, pada
zaman inilah muncul hukum alam yang rasional yang dipelopori oleh Hugo de Groot atau
Grotius dan filsuf lainnya seperti Imanuel Kant, Hegel, dan lain-lain yang menekankan latar
belakang tampilnya rasio manusia dalam pemikiran hukum alam pada masa renaissance.
Menurut Grotius manusia memiliki kemampuan untuk mengerti segala-galanya secara rasional
melalui pemikirannya menurut hukum-hukum matematika. Manusia dapat menyusun daftar
hukum alam dengan menggunakan prinsip-prinsip a priori yang dapat diterima secara umum.
Hukum alam tersebut oleh Grotius dipandang sebagai hukum yang berlaku secara riil, sama
seperti hukum positif. Hukum alam akan tetap berlaku, juga seandainya Tuhan tidak ada.
Sebabnya adalah bahwa hukum alam itu termasuk akal budi manusia sebagai bagian dari
hakikatnya. Dilain pihak Grotius juga tetap megakui bahwa tuhan adalah pencipta semesta. Oleh
karena itu secara tidak langsung tuhan tetap merupakan fundamen hukum alam.

Selain itu Grotius berpendapat bahwa hak-hak alam yang ada pada manusia yaitu, hak
untuk berkuasa atas diri sendiri, yakni ha katas kebebasan, hak untuk berkuasa atas orang lain,
hak untuk berkuasa sebagai majikan, dan hak untuk berkuasa atas milik dan barang-barang.
Grotius juga memberikan prinsip yang menjadi tiang seluruh sistem hukum alam yaitu, prinsip
kupunya dan kau punya, prinsip kesetian pada janji, prinsip gantu rugi, prinsip perlunya
hukuman karena pelanggaran atas hukum alam.

Berbeda dengan Grotius, Imanuel Kant yang dasar moralnya dikenal dengan
Katagorische imperative, bertindaklah sedemikian sehingga alasan tindakanmu dapat dijadikan
alasan untuk tindakan semua manusia. Bidang moral ini dipisahkan oleh kant dengan
pendapatnya bahwa moral adalah suatu masalah yang berkenaan dengan motif yang bersifat
intern bagi individu-individu sedang hukum berkenaan dengan sifat extern, yaitu yang
menyangkut perbuatan manusia untuk menyesuaikan diri pada keadaan extern, yaitu sebagai
yang ditentukan oleh hukum positif. Menurut kant bahwa hukum alam itu berasal atau bersumber
dari Katagorische Imperative. Sifat hukum alamnya adalah rasionalitas dan juga idealistis.
Disebut idealistis oleh karena ada kemungkinan terjadi suatu perbuatan manusia yang
bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh katagorische imperative. Jadilah ketentuan itu
sebagai ketentuan yang tidak pernah dipenuhi jadi ketentuan ideal.

Dari filsuf dari zaman yang berbeda tersebut bahwa hukum alam ini selalu dapat dikenali
sepanjang abad sejarah manusia, oleh karena ia merupakan usaha manusia untuk menemukan
hukum dan keadilan yang ideal. Hukum alam telah memainkan peran penting dari sejarah
pemikiran manusia. Hingga kini, hukum alam tetap berpengaruh dan memberikan sumbangan
besar terhadap kehidupan manusia. Hukum alam memberikan dasar etika bagi berlakunya hukum
positif, memberikan dasar pembenar berlakunya kebebasan manusia dalam kehidupan bernegara,
memberikan dasar terhadap pengakuan hak-hak dasar manusia dalam kehidupan bernegara,
memberikan ide dasar tentang hakikat hukum dan keadilan sebagai tujuan hukum, memberikan
dasar bagi konstitusi beberapa negara dan lain-lain. Inti atau isi hukum dari aliran hukum alam
ini adalah keadilan moral.

Dari keseluruhan periode aliran hukum alam/ hukum kodrat dapat disimpulkan tiga buah
karakteristik yang umum dan fundamental, yaitu:

1. Hukum kodrat sama halnya dengan alam, Tuhan, dan akal budi, adalah tetap abadi dan berlaku
umum bagi semua zaman dan bangsa-bangsa.

2. Hukum kodrat hanya dapat dikenali secara tunggal oleh dan dengan akal budi.

3. Hukum kodrat berfungsi bukan sekedar sebagai mata ukuran bagi hukum positif, tapi lebih
dari itu, yakni sebagai batu penguji yang radikal revolusioner dalam arti manakah hukum
positif itu nyata-nyata bertentangan dengan hukum kodrat maka hukum positif dapat
dikesampingkan dan atau dilanggar.

Pada abad ke XX ingin menghidupkan kembali hukum alam. Tokoh-tokoh filsafat hukum
alam bermaksud untuk membela keadilan sebagai unsur hakiki segala hukum. Unsur ini
dilalaikan dalam sistem-sistem positivisme yang tidak mengakui suatu norma etis bagi
berlakunya hukum. Menurut mereka suatu norma etis dibutuhkan untuk menjadi dasar suatu
hukum yang sah. Filsafat hukum alam baru ini berbeda dengan filsafat hukum alam zaman dulu.
Sebabnya ialah bahwa mazhab baru ini harus memberikan jawaban pula kepada kritik mazhab
hukum historis dan positivisme yuridis.

Aliran yang terkuat dalam timbulnya kembali suatu teori hukum alam adalah aliran
neothomisme. Aliran ini berinspirasi pada filsafat Thomas Aquinas yang hidup dalam abad
pertengahan. Filsafat ini oleh ahli-ahli filsafat disesuaikan dengan pandangan-pandangan baru
zaman kini. Menurut pandangan sarjana-sarjana neothomisme terdapatlah suatu hukum alam
yang diatas hukum positif. Hukum alam ini berakar dalam suatu aturan alam metafisis,
sebagaimana direncanakan Tuhan. Hukum alam ini ditanggapi sebagai suatu hukum yang
memiliki kekuatan hukum yang real dan yang dapat dikenal oleh akal budi manusia. Bila hukum
alam dipandang secara demikian harus diakui juga, bahwa hukum alam melebihi hukum positif
dan karenanya dapat menghilangkan kekuatannya. Seperti yang dikatakan Radbruch : hukum
alam memecahkan hukum positif (Naturrecht bricht positives recht).

Dilain pihak terdapat pula sarjana-sarjana yang beranggapan bahwa hukum alam memang
ada, akan tetapi hanya mendapat kekuatan hukum sesudah diberikan bentuk kepadanya dalam
hukum positif. Pada hemat mereka hukum alam hanya berfungsi sebagai petunjuk regulatif bagi
para penegak hukum. Artinya menurut mereka hukum alam lepas dari hukum positif termasuk
ide hukum, tetapi tidak termasuk pengertian hukum.

Disamping sarjana yang menganut paham Neothomisme, terdapat sarjana lain yang
menaruh perhatian terhadap teori hukum alam, tetapi pada mereka hukum alam sering berbeda
artinya dengan hukum alam yang tradisional. Menurut mereka hukum alam berarti semua unsur
yang ikut menentukan arti hukum diamping kehendak penguasa. Maka disini hukum alam dapat
ditangkap dalam arti naturalistis dan anti-metafisis. Demikianlah Eric Jung yang menulis :
hukum alam adalah hukum yang secara spontan keluar dari hidup bermasyarakat dan dari
pengaruh orang satu terhadap yang lain dalam hidup bersama itu.

Pada umumnya sarjana yang membaharui teori hukum alam tidak hanya menerima
prinsip-prinsip umum sebagai dasar hukum. Mereka itu mengaku juga suatu hukum alam yang
konkret. Hukum yang konkret itu adalah hukum yang sesuai dengan situasi hidup yang
sebenarnya, entah relasi antara orang entah situasi konkret individual warganegara. Menurut
mereka, prinsip-prinsip yang dapat menunjang suatu keadilan yang sejati tidak ditemukan dalam
teori-teori rasional. Satu-satunya penunjang keadilan adalah agama.

Terkait dengan tema ini, penulis membahas teori hukum alam sarjana yang tinggal dalam
tradisi Neothonisme yaitu Francois Geny dan Johannes Messner.

Sebelum perang dunia kedua sudah terdapat beberapa sarjana yang ingin kembali pada
teori hukum alam, sebagaimana diperkembangkan dalam abad pertengahan dan zaman modern,
salah satunya adalah Francois Geny. Bukunya yang terkenal yang berjudul : Methode
d’interpretation et sources en droit prive positif, 2 jilid, 1899 (metoda tafsiran dan sumber-
sumber hukum privat positif). Teori yang dibentangkan dalam buku ini diolah lebih lanjut dalam
karya yang berjudul Science et technique en droit prive positive, 4 Jilid, 1914-1924 (ilmu
pengetahuan dan teknik dalam hukum privat positif).

Dalam bukunya yang pertama Geny menguraikan metoda tafsiran dalam ilmu hukum.
Metoda yang lazim digunakan pada zaman itu adalah metoda rasionalisme, yaitu dari pengertian
umum dan abstrak tentang suatu undang-undang tertentu prinsip-prinsip kelakuan diturunkan
secara logis. Geny menentang pendekatan ini sebab titik tolaknya bahwa undang-undang bersifat
sempurna dan lengkap sehingga dapat diterapkan begitu saja pada perkara-perkara, tidak benar.
Banyak faktor ikut menentukan kedudukan perkara-perkara, yang semuanya harus diikutsertakan
dalam tafsiran undang-undang tertentu. Dalam hal ini Geny ditemani oleh Von Jhering yang
sesudah beralih ke Interesseenjurisprudenz memberantas Begriffsjurisprudenz. Sama halnya juga
dengan aliran sosiologi hukum. Sosiologi hukum berpedoman pada kebutuhan masyarakat;
tatahukum dan tafsiran undang-undang harus menyesuaikan diri dengan keadaan masyarakat itu.
Tetapi Geny tidak ikut begitu saja pandangan baru ini. Menurut pendapatnya tidak benar, bahwa
tafsiran hukum dapat diselaraskan seluruhnya dengan situasi sosial-ekonomi masyarakat dalam
segala perubahannya. Semua unsur hukum perlu diperhatikan, bukan hanya undang-undang
abstrak, bukan juga hanya situasi konkret masyarakat.

Apa yang pertama-tama minta perhatian ialah maksud pembentuk undang-undang waktu
undang-undang itu ditentukan, penafsir undang-undang harus selalu mengindahkan maksud ini.
Kemudian perlu diberikan perhatian atas situasi masyarakat zaman itu. Lagipula, logika intern
dan sistematik undang-undang diindahkan. Dengan ini tafsiran undang-undang dianggap tepat.

Timbullah kesulitan bila tafsiran undang-undang tertentu tidak cocok lagi dengan
perubahan zaman. Geny insyaf bahwa teori tafsiran hukum sebagaimana diuraikan olehnya
dalam bukunya yang pertama perlu ditempatkan dalam suatu kader yang lebih luas. Titik tolak
berfikir Geny ialah filsafat klasik Plato dan Aristoteles. Hukum alam yang dimaksud oleh
Francois Geny memberi perhatian kepada suatu unsur yang penting dalam pengertian tentang
hukum, yakni prinsip-prinsip material hukum, yang tidak tergantung pada kemauan manusia, tapi
berasal dari alam sendiri sebagai dasar hukum positif untuk diterapkan kepada kehidupan sosial
melalui pembentukan teknik hukum. Dimana ilmu pengetahuan hukum tertuju pada masyarakat
sebagaimana adanya dan berusaha untuk menemukan prinsip-prinsip material hukum
didalamnya. Ilmu itu bukanlah suatu cara berfikir abstrak dan teoritis, melainkan suatu
penyelidikan yang dibimbing oleh sesuatu intuisi teoretis, simpati intelektual dan kepercayaan
rasional.

Apa yang penting dalam uraian Geny ini adalah perbedan yang nyata antara prinsip-
prinsip konstitutif dan prinsip-prinsip regulatif hukum. Prinsip-prinsip konstitutif hukum adalah
prinsip-prinsip yang merupakan syarat mutlak bagi hukum sebagai hukum yang sah. Sedangkan
prinsip-prinsip regulatif bersifat pedoman saja; bila tidak diperhatikan hukum tetap berlaku.
Dapat disimpulkan bahwa teory Geny tentang hukum alam memberi perhatian kepada suatu
unsur yang penting dalam pengertian tentang hukum, yakni prinsip-prinsip material, yang
melebihi kehendak manusia, dan sebagai dasar hukum positif diterapkan kepada hidup sosial
melalui pembentukan teknik hukum.

Penting juga apa yang dikatakan Geny tentang pengolahan teknis prinsip-prinsip hukum
itu, walaupun banyak dipinjamnya dari Von Jhering. Dalam hal ini dapat diberikan kritik atas
Geny bahwa ia kurang memperhatikan perbedaan antara ilmu pengetahuan teoritis hukum dan
pembentukan praktis dari hukum oleh instansi-instansi yang berwibawa. Sudah dalam bukunya
yang pertama ilmu pengetahuan teoritis digolongkannya pada sumber-sumber formal hukum.
Tetapi sebenarnya ilmu pengetahuan hukum hanya dapat mempengaruhi pembentukan hukum,
tidak dapat membentuk hukum.

Selain Geny, salah seorang penganut neothomisme yang berkecimpung dalam bidang
filsafat hukum ialah Johannes Messner. Bukunya yang terpenting ialah Das Naturrecht,
Handbuch der Gesellschaftsethik, Staatsethik und Wirtschaftsethik, 1949; cetakan ke-5, 1966
(hukum alam, buku pegangan etika masyarakat, etika negara dan etika ekonomi).

Messner menbedakan antara hukum alam fisik dan hukum alam moral. Hukum alam fisik
adalah hukum yang enyatakan diri dalam berjalannya alam. Sedangkan hukum alam moral
adalah hukum yang sama, sejauh hukum ini ada hubungan dengan kelakuan manusia. Oleh
karena itu, Messner mengatakan bahwa prinsip-prinsip hukum alam moral berakar dalam aturan
semesta alam. Aturan semesta alam ini nampak dalam kecenderungan alam manusia yang
melandaskan tujuan-tujuan eksistensial hidup.

Kecenderungan-kecenderungan alam ini yang menghasilkan tujuan-tujuan eksistensial


hidup, bersifat ontologis-objektif artinya melekat pada alam sendiri dan karenanya berlaku secara
objektif. Tetapi berdasarkan kecenderungan dan tujuan alamiah yang objektif ini timbullah
pengertian prinsip-prinsip moral tertentu dan kehendak untuk mewujudkannya. Inilah apa yang
disebut segi psikologis-subjektif dalam menanggapi hukum alam moral.

Biasanya prinsip-prinsip hukum alam moral dapat ditangkap manusia dalam lingkungan
hidupnya sendiri dan sejak semula terasa sebagai suatu keharusan. Hal ini terjadi dalam keluarga,
dan juga dalam suatu wilayah masyarakat tertentu. Demikianlah dengan sendirinya orang sampai
pada keyakinan bahwa suatu kelakuan hidup yang tertentu mempunyai akarnya dala alam
sendiri. Maka prinsip-prinsip hukum moral itu tidak kosong, akan tetapi dari semula sudah berisi
dan menentukan suatu kelakuan manusia yang tertentu.

Seperti Thomas Aquinas, Messner membedakan antara hukum abadi yang ada pada Allah
sendiri dan hukum alam moral yang merupakan cermin hukum abadi itu dalam akal budi
manusia. Prinsip tertinggi hukum alam moral ini adalah berbuatlah yang baik, hindarilah yang
jahat.dan prinsip tertinggi ini prinsip-prinsip lain diturunkan sebagai norma kelakuan manusia.
Messner membedakan antara tiga macam prinsip kelakuan. Terdapat prinsip-prinsip primer
seperti prinsip keadilan, prinsip hubungan dengan orang tua, prinsip ketaatan pada pemerintah
yang sah dll. Disamping prinsip-prinsip primer terdapat prinsip-prinsip sekunder seperti hukum-
hukum Allah yang ditemukan dalam kitab suci. Lagipula terdapat prinsip-prinsip hukum laam
tersier. Dalam kelompok ini digolongkan semua prinsip yang dirasa sesuai dengan prinsip
melakukan kebaikan, akan tetapi yang tidak begitu jelas dalam sekejap mata. Namun dapat
dipastikan isinya dalam rangka situasi hidup tertentu.

Sesuai dengan ajaran Thomas Aquinas Messner menerangkan bahwa manusia


mewujudkan tujuan hidupnya melalui hubungan sosial dengan sesama, yakni dalam wadah
masyarakat. Oleh karena itu hukum alam moral hanya berfungsi dalam rangka kehidupan
masyarakat tersebut.
Namun benar juga, bahwa tiap-tiap manusia merupakan seorang pribadi yang memiliki
kepentingan sendiri. Kepentingan itu tidak boleh dirugikan atau dilalaikan. Maka dilihat dari
pihak ini kepentingan pribadi melebihi kepentingan umum. Prinsip-prinsip hukum alam yang
menyangkut hak-hak manusia menemukan dasarnya dalam martabat manusia sebagai pribadi.
Tiap-tiap orang manusia perlu memperhatikan kedua kepentingan tersebut dalam menentukan
kelakuannya yang tepat dalam rangka masyarakat yang dihuninya.

Menurut Messner hukum alam primer tidak dapat diubah, oleh karena hukum ini berlaku
secara mutlak. Sebagai prinsip yang paling umum disebutnya; berikanlah kepada tiap-tiap orang
menurut haknya. Lalu diturunkannya prinsip-prinsip lain seperti jangan membunuh orang. Pada
hukum alam ini termasuk juga hak-hak fundamental manusia, seperti hak atas kebebasan bathin,
atas kebebasan agama, atas kebebasan dalam hidup pribadi, hak atas nama baik, hak untuk
mengadakan pernikahan, hak untuk membentuk keluarga, dll.

Hukum alam sekunder timbul bila hukum alam primer diterapkan pada situasi konkret
masyarakat. Hal ini terjadi dalam kesadaran hukum yang dimiliki orang dalam masyarakat
tertentu. Kesadaran ini memperlihatkan hukum alam yang telah disebut tadi. Tetapi hukum alam
ini tidak muncul secara lengkap. Kesadaran orang dapat berkembang dan menjadi makin
sempurna. Hukum alam sekunder nampak juga dalam hukum adat dan hukum undang-undang.
Akhirnya hukum alam sekunder menjadi nyata dalam perkembangan tatahukum dan dalam
perkembangan ilmu pengetahuan hukum.

Hukum bangsa-bangsa ditentukan oleh Messner sebagai hukum alam yang diterapkan
kepada bidang-bidang hukum sipil dan bangsa-bangsa. Messner meminta supaya diperhatikan,
bahwa situasi real manusia adalah situasi kedosaan. Karena situasi ini banyak orang didorong
oleh egoisme dan kurang bersedia untuk memelihara kepentingan umum. Akibatnya negara
harus memainkan peranan yang cukup besar dalam hidup bersama orang. Hal ini dilakukannya
melalui pembentukan undang-undang. Berkat undang-undang itu kepastian hukum terjamin.

Hukum positif ditentukan oleh Messner sebagai hukum yang secara langsung berdasar
pada hukum alam, atau sebagai hukum yang secara tidak langsung berdasar pada hukum alam,
yaitu sejauh hukum itu mendapat berlakunya dari kekuasaan negara yang disahkan sebagai
demikian oleh hukum alam. Jelaslah bahwa hukum alam yang secara langsung berdasar pada
hukum alam mewajibkan dalam batin. Tetapi menurut Messner hukum positif yang secara tidak
langsung berdasar pada hukum alam mewajibkan dalam batin juga. Dalam hal ini dia berbeda
pendapat dengan Thomas Aquinas yang beranggapan bahwa hukum yang terakhir ini merupakan
ciptaan manusiawi belaka.

Dapat terjadi bahwa timbul pertentangan antara hukum positif dan hukum alam. Dalam
hal ini, menurut Messner, hukum positif kehilangan berlakunya, itu berarti bahwa hukum
semacam itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, akibatnya sanksi batiniah lenyap juga.
Tentang hubungan antara hukum alam dan hukum positif dapat ditambah bahwa pada umumnya
hukum alam membantu hukum positif dengan menentukan apa yang patut. Lagipula hukum alam
memainkan peranan dalam menggabungkan hukum positif dengan prinsip-prinsip kepentingan
umum.

Jelaslah dalam buku Messner bahwa hukum alam mewajibkan dalam batin. Tetapi belum
jelas apakah berlakunya yuridis hukum alam sama kuat dengan berlakunya hukum positif.
Apakah prinsip-prinsip hukum alam harus berfungsi sebagai norma hukum positif untuk berlaku
sebagai hukum? Hal ini tentunya masih menjadi pertanyaan yang mendalam.

Selain kedua sarjana di atas, masih ada dua sarjana yang menjadi pengikut aliran
Neothomisme yaitu Emil Brunner dan W.A.M. Luypen. Pengaruh dari pendapat Thomas
Aqiunas tentang hukum alam yaitu hukum yang berasal dari wahyu tuhan dan akal budi manusia,
pendapat dari Thomas Aquinas ini mempengaruhi kedua sarjana ini baik Emil Brunner dan
W.A.M. Luypen. Menurut mereka hukum alam memang ada, akan tetapi hanya mendapat
kekuatan hukum sesudah diberikan bentuk kepadanya dalam hukum positif. Pada hemat mereka
hukum alam berfungsi sebagai petunjuk regulatif bagi para penegak hukum. Artinya menurut
mereka hukum alam lepas dari hukum positif termasuk ide hukum, tetapi tidak termasuk
pengertian hukum.

Pada bagian pertama abad XX Emil Brunner menciptakan suatu teologi baru, yang
dinamakan teologi dialektis, terutama untuk menentang psikologisme dalam teologi yang amat
besar pengaruhnya sejak Schleirmacher (1768-1834). Brunner menekankan keunggulan firman
allah dalam kitap suci yang kebal bagi segala pikiran manusia. Firman allah memang unggul,
akan tetapi manusialah yang mendengarnya. Oleh karena itu banyak berguna, bahkan mutlak
perlu mempelajari ekistensi manusia sebagaimana nampak dalam zaman modern ini. Denga
menggunakan pandangan ini Brunner menerima sumbangan filsafat dalam teologi, seperti halnya
pada aliran neothomisme. Maka tidak mengherankan juga bahwa teori hukum alam Brunner
memperlihatkan banyak persamaan dengan teori-teori hukum alam neothomisme.

Menurut Brunner hukum alam harus dianggap sebagai ide normatif-kritis, yang minta
untuk diwujudkan dalam hukum positif negara. Maka hukum alam tidak dipandang oleh Brunner
sebagai hukum yang sah, tetapi hanya sebagai prinsip hukum yang mendapat kekuatan
yuridisnya dalam proses pembentukan hukum positif. Hukum alam mendapat isinya melalui
keadilan itu adalah kerelaan untuk mengakui suatu aturan bagi kehidupan manusia yang
mengatasi kesukaan individual. Aturan yang objektif ini adalah aturan dari yang seharusnya
(Ordnung des Gehorens). Aturan ini merupakan dasar dan ukuran bagi aturan yang ditentukan
(Ordnung des Setzen). Namun dipihak lain harus diakui bahwa akal budi manusia sering tidak
melihat prinsip-prinsip keadilan secara tepat. Hanya iman dapat menerangkannya dan
memberikan kepastian tentang apa yang sungguh-sungguh menjadi kehendak tuhan.

Untuk menerangkan manakah prinsip-prinsip keadilan yang berlaku bagi manusia secara
alamiah, brunner bertolak dari dua kenyataan, yakni kesamaan dan ketidaksamaan antara
manusia. Di satu pihak semua manusia sama derajat menurut martabatnya sebagai ciptaan Allah
dilain pihak manusia masing-masing mempunyai kedudukan yang berbeda dalam hidup bersama.
Brunner menambah bahwa ketidaksamaan kedudukan manusia memang ada artinya. Maksud
Allah dengan ketidaksamaan itu ialah, bahwa orang-orang saling membutuhkan dan dengan ini
mewujudkan hidup bersama yang ditandai keadilan dan cinta kasih. Dari keterangan yang
terakhir ini nyata juga bahwa baik keadilan komutatif maupun keadilan distributive bertalian
dengan penciptaan allah. Namun menurut Brunner keadilan komutatif melebihi keadilan
distributif, artinya manusia sebagai pribadi mempunyai hak-hak yang tidak dapat dicabut oleh
seorang pun, betapa tinggi pun tempatnya dalam hidup bersama.

Brunner menolak baik individualism maupun kolektivisme. Manusia adalah makhluk


sosial tetapi dengan hak-hak pribadi yang tidak boleh dirugikan orang. Manusia merupakan pusat
aturan hidup bersama. Hidup bersama itu diwujudkan melalui sikap manusia baik terhadap
sesama, yakni melalui sikap keadilan dan cinta kasih. Makin dekat suatu hidup bersama pada
manusia, makin hidup bersama itu ditandai oleh cinta kasih, seperti halnya dalam perkawinan.
Makin jauh suatu hidup bersama dari manusia, makin keadilan menonjol, seperti halnya dalam
hidup bersama dalam negara.

Oleh sebab kita hidup dalam situasi yang kurang sempurna, maka perlulah hukum alam
disesuaikan dengan situasi yang kurang sempurna itu. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan 

1. Hukum alam tidak mencukupi, perlulah terbenuknya hukum positif, sesuai dengan keadaan
manusia dalam masyarakat di dunia ini. Hukum positif yang ditentukan itu, tidak pernah akan
mewujudkan prinsip-prinsip penciptaan sebagaimana dikehendaki allah, oleh karena harus
sesuai dengan kelemahan dan kejahatan manusia. Umpamanya undang-undang tentang
perceraian tidak mencerminkan kesempurnaan hukum allah tentang perkawinan.

2. Karena kejahatan manusia negara harus mempunyai kekuasaan yang bersifat memaksa. Tanpa
paksaan orang-orang tidak akan mentaati aturan yang ditentukan. Brunner menasehatkan,
supaya pemimpin negara dalam menjaga aturan bertindak secara bijaksana, yakni tidak terlalu
keras akan tetapi tidak terlalu lunak juga. Ketakutan akan hukuman mungkin mencapai apa
yang tidak tercapai melalui ajakan rasional atau daya tarik keutamaan.

Selain Emil Brunner, sarjana lain yang juga pemahamannya di penguruhi oleh ajaran
hukum alam Thomas Aquinas yaitu W.A. M. Luypen, pengaruh dari tradisi skolastik yang hidup
terus dalam neothomisme. Karena pengaruh ini Luypen terhindar dari mengambil posisi yang
ekstream seperti terjadi pada beberapa filsuf besar eksistensialisme. Luypen menulis dua buku
tentang filsafat hukum, yakni  Fenomenologie van het natuurrecht, 1966 (Fenomenologi hukum
alam). Tulisan Luypen yang lain berjudul  Rechtvaardigheid, 1975 (keadilan).

Apa yang mengelisahkan hati manusia dalam zaman sekarang, terutama sesudah perang
dunia kedua, ialah kekurangan akan suatu dasar dan norma kritis bagi pengaturan hidup bersama.
Memang ada tatahukum tetapi adanya tatahukum tidak mencukupi untuk menjamin suatu aturan
hidup bersama yang baik. Hal ini dijelaskan oleh Luypen dengan mengingat akan pengalaman
orang yang hidup di bawah rezim Nazi. Segala penyelewengan dibenarkan oleh rezim itu, oleh
karena suatu dasar dan norma kritis bagi tatahukum negara tidak diterima. Seluruh tatahukum
dianggap sah, tanpa diindahkan isinya. Tetapi hal ini memang tidak masuk akal. Mutlak perlu
adanya suatu dasar dan norma kritis bagi pembentukan undang-undang supaya keadilan dalam
hidup bersama terjamin.

Kekurangan pandangan-pandangan tentang hukum ini ialah bahwa sesuatu yang hakiki
bagi semua hukum dilalaikan, yakni hubungannya dengan keinsyafan keadilan yang hidup dalam
hati manusia. Luypen menuntut supaya norma-norma keadilan diindahkan dalam pembentukan
hukum. Bila tidak maka hukum yang sebenarnya tidak ada.

Luypen mendukung teori hukum alam menurut maknanya. Namun ia tidak mau kembali
kepada teori hukum alam zaman dulu, sebab menurut pendapatnya filsafat yang mendasari teori
hukum alam ini, tidak dapat diterima lagi. Khusunya pengertian manusia kurang cocok dengan
pengertian tentang manusia zaman sekarang. Waktu dulu manusia dimengerti secara abstrak
sebagai suatu hakekat yang lepas dari dunia, dan karenanya lepas dari dunia, dan karenanya lepas
dari sesame manusia dan dari perkembangan sejarah. Padahal sekarang ini jelaslah bahwa
manusia yang utuh adalah suatu wujud yang sebagai subjek selalu berhubungan dengan dunia
sebagai objek. Pada zaman dulu subyek dan obyek terlalu dipisahkan, sehingga kesatuannya
dalam manusia-subyek tidak kelihatan lagi. Menurut Luypen perlulah kita terlebih dahulu
memandang manusia sebagai makhluk yang konkret, yakni sebagai eksistensi.

Dalam fenomenologi eksistensial, demikianlah Luypen, kedua pandangan ekstream dapat


dihindarkan. Disini manusia dipandang sebagai subyek, akan tetapi dalam hubungannya dengan
dunia, yakni dengan sesama dan sejarah. Artinya menurut pandangan ini tidak terdapatlah
sesuatu yang bersifat obyektif semata-mata, tidak juga sesuatu yang bersifat subyektif semata-
mata. Dalam segala gejala yang ada hubungan dengan manusia terdapatlah baik yang obyektif
maupun yang subjektif.

Hal ini diungkapkan dalam suatu dalil dasar filsafat eksistensi, yakni eksistensi manusia
selalu sudah menjadi ko-eksistensi. Manusia menurut hakekatnya merupakan suatu makhluk
yang hidup bersama orang lain. Lagi pula dapat dipastikan bahwa manusia menurut hakekatnya
selalu berada dalam waktu, dan karenanya dalam perkembangan. Bagi hukum itu berarti, bahwa
huku timbul dalam hidup bersama orang dan bahwa hukum ikut berkembang dalam sejarah. Bagi
hukum alam itu berarti, bahwa hukum itu tidak selalu sama isinya dalam semua masyarakat dan
juga tidak sama isinya dalam perkembangan zaman. Dengan ini hukum alam sebagai suatu
norma statis ditolak.

Hidup bersama mendapat perwujudannya berkat sikap keadilan. Tanpa sikap itu hidup
bersama itu tidak dibangun sebagaimana mestinya. Apa artinya keadilan itu? Tafsiran Luypen
tentang keadilan ialah keadilan adalah memperhatikan tugas dan kewajiban untuk
mempertahankan dan memperkembangankan perikemanusiaan. Apa yang memajukan
perikemanusiaan adalah adil, apa yang menentangnya adalah tidak adil. Akan tetapi isi
perikemanusiaan tidak pernah dapat ditetapkan sebagai suatu yang kekal, oleh karena kebenaran
tentang hidup bersama dalam ko-eksistensi tidak pernah lengkap, tetapi berkembang dalam
sejarah. Maka tidak terdapat norma-norma hukum yang tetap. Terdapat sikap keadilan yang
dalam hidup bersama makin menciptakan perikemanusian. Daftar nomra hukum alam tidak
mungkin disusun.

Norma-norma perikemanusiaan dipandang oleh Luypen sebagai semacam hukum alam.


Mereka mangambil alih fungsi hukum alam dulu sebagai norma bagi pembentukan tatahukum.
Lepas dari tatahukum hukum alam tidak efektif, maka tidak berlaku sebagai hukum. Dari pihak
lain suatu tatahukum yang tidak menurut norma keadilan juga tidak berlaku sebagai hukum
sebab kekurangan unsur esensial, yakni unsur keadilan. Baik kehendak orang berkuasa maupun
sifat keadilan dibutuhkan supaya diciptakan hukum dalam artu yang sebenarnya.

Selain dari pendapat sarjana-sarjana di atas yang dipengaruhi ataupun sebagai pengikut
dari aliran neothomisme dalam buku ini juga dijelaskan dimana agama sebagai dasar hukum. Di
atas dijelaskan bahwa Teori-teori hukum alam disusun untuk mempertanggungjawabkan salah
satu unsur hakiki hukum, yakni keadilan. Hukum yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
alam adalah hukum adil, hukum yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip itu adalah hukum yang
tidak adil, maka tidak dapat dipandang lagi sebagai hukum yang sejati.

Pandangan ini ditentang oleh beberapa pemikir, terutama pemikir-pemikir yang


beragama. Menurut mereka teori-teori hukum alam tidak menjamin keadilan, oleh karena belum
tentu apa yang disebut hukum alam mengandung prinsip-prinsip keadilan. Sebenarnya hukum
alam itu adalah buah pikiran manusia, dan siapa yang menjamin bahwa pikiran manusia adalah
tepat. Sebaliknya kita insyaf bahwa kita semua orang yang berdosa, dan karenanya menjadi
kurang mampu untuk memikirkan yang benar. Kirannya penyelewengan dari yang benar dan dari
yag baik tidak dapat dihindarkan. Syukurlah kebenaran datang dalam tuhan dan melalui kitab
suci. Maka hukum positif hanya menjamin keadilannya, bila mendapat dasarnya dalam iman
akan wahyu tuhan.

Tinggallah soal, kalau norma-norma keadilan hanya ditemukan dalam kitab suci, apa
nilainya pikiran manusia? Inilah kesulitan yang cukup besar bagi orang-orang yang berpegang
pada padangan ini. Macam-macam pertimbangan disumbangkan untuk menerangkan masalah
ini. Helmuth Thielicke mengemukakan bahwa tidak terdapat gambar manusia yang tetap sama.
Oleh karena itu norma-norma umum yang tetap berlaku bagi semua manusia tidak mungkin
disimpulkan. Norma-norma yang tetap hanya ada pada orang yang beriman, yaitu norma-norma
yang diturunkan dari kitab suci. Di luar hubungan manusia dengan Allah isi keadilan yang tetap
tidak ada.

Diketengahkannya lagi bahwa memikirkan manusia menurut hakekatnya memang ditujui,


tetapi tidak pernah berhasil. Kita dapat sampai pada pengertian tentang manusia tetapi selalu
dalam hubungan actual dan historis dengan situasinya. Oleh karena itu prinsip-prinsip umum
seperti umpama unicuique suum (tiap-tiap orang diberikan menurut haknya) ditafsirkan secara
berbeda-beda dalam peralihan zaman. Hanya kitab suci dapat menyampaikan prinsip-prinsip
yang mencukupi untuk menjamin keadilan.

Filsafat klasik, yakni filsafat Plato dan terutama filsafat Aristoteles, menyangkut bidang
alam, sedangkan teologi menyangkut bidang wahyu dan rahmat. Teologi dan filsafat dipandang
sebagai dua bidang yang independen yang satu terhadap yang lain. Seandainya terdapat
pertentangan antara ide-ide dalam kedua bidang tersebut, teologi dianggap lebih berwibawa
daripada akal budi manusia yang mudah tersesat. Demikianlah Thomas Aquinas dan bersama
dengan tokoh besar ini seluruh tradisi teologi kristiani. Mereka sebenarnya merintis jalan bagi
suatu ide kebebasan yang semata-mata sekulir, seperti nampak dalam filsafat Renaissance dan
dalam seluruh perkembangan ilmu pengetahuan dari abad-abad rasionalisme sampai abad XX
ini.

Untuk menghambat arus sekularisasi ini beberapa filsuf yang beragama Protestan mau
menciptakan suatu filsafat baru. Titik tolak filsafat baru ini ialah, bahwa ajaran kristiani berlaku
untuk sebagal bidang. Hal ini tidak secukupnya diperhatikan oleh teologi dan filsafat sampai
zaman sekarang. Untuk dapat sampai pada suatu filsafat baru, perlulah dibuat suatu filsafat yang
seluruhnya diinspirasikan oleh kitab suci. Kitab suci mengandung wahyu mengenai penciptaan,
mengenai kedosaan manusia. Kebenaran ini harus menjadi titik tolak pikiran manusia tentang
segala sesuatu.

Dalam hal ini Dooyeweerd berbicara tentang suatu hukum. Dikatakannya bahwa ide-ide
religius melekat pada segala pikiran sehingga menentukan suatu garis bagi seluruh sistem
pikiran. Garis semacam itu yang menyatakan inspirasi manusia yang terdalam, disebutnya ‘ide
hukum’. Ide hukum semacam itu ditemukan dalam semua sistem filsafat, sehingga selalu perlu
dicari inspirasi dasar untuk mengerti makna suatu sistem pikiran yang sebenarnya. Pun filsafat
klasik yang biasanya dianggap bersifat obyektif belaka, dihinggapi ide hukum tersebut.

Masalah hubungan agama dengan hukum sudah dipersoalkan, waktu berbicara tentang
hukum islam. Di sini dapat di catat secara lebih lengkap sebagai berikut
1. Disetujui bahwa agama memberikan inspirasi dalam segala bidang hidup. Pun pula bidang
politik dan yuridis dapat dipengaruhi inspirasi yang berasal dari iman, sehingga agama
menunjang keadilan dalam hukum.

2. sulit diterima bahwa prinsip-prinsip keadilan hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang
beriman. Umpama hak-hak manusia yang sekarang diakui secara umum oleh umat manusia.
Tentu saja inspirasi agama ikut mendorong para penegak hukum untuk menyusun daftar hak-
hak azasi itu. Tetapi menurut ahli-ahli sejarah agama de fakto bersamaan dengan aliran
humanism sampai pada pengakuan hak-hak tersebut. Artinya orang yang menjunjung tinggi
martabat manusia itu bukan hanya orang beragama.

3. Sulit diterima juga bahwa prinsip-prinsip keadilan dianggap terikat pada salah satu agama
tertentu. Inilah mengandung bahaya bahwa suatu kelompok orang memisahkan diri dari
orang-orang lain. Suatu persetujuan bersama orang atas dasar pemikiran yang tepat tentang
martabat manusia tercapai lagi.

4. Dalam menentukan agama sebagai penunjang utama prinsip-prinsip keadilan timbullah bahaya
bahwa bidang kenegaraan dan keagamaan dicampuri. Hal ini tidak menguntungkan
perkembangan hidup. Bidang-bidang hidup mempunyai coraknya sendiri masing-masing.
Sudah jeals bahwa tori-teori hukum alam abad XX memenuhi suatu kebutuhan yang
dirasa tiap-tiap orang yang ingin hidup jujur menurut hati nuraninya. Dalam hati nurani manusia
tinggallah keyakinan bahwa hukum yang mengatur hidup bersama manusia harus adil, bahwa
suatu tata hukum yang melanggar norma-norma keadilan itu bukanlah suatu hukum yang
sebenarnya. Hukum alam tidak lain dari pada rumusan norma-norma keadilan sebagaimana
dicita-citakan orang jujur dalam hidup bersama.

Namun harus diperhatikan bahwa hukum alam baru mewajibkan secara yuridis dan dapat
dipandang sebagai hukum yang sah, sesudah masuk tatahukum negara, lagi pula perlu
diperhatikan bahwa prinsip-prinsip hukum alam tidak boleh dipandang sebagai prinsip statis
yang selalu sudah ada. Prinsip-prinsip ini berkembang dalam hidup, maka bersifat dinamis
sebagai bagian kebenaran hidup yang makin bertumbuh.

Kelebihan Bab

Penjelasan penulis dalam bab ini sangat jelas dan terperinci, sehingga pembaca menjadi
lebih mudah untuk memahami maksud penulis, kemudian pembahasan yang dijelaskanpun tidak
hanya terpusat pada satu materi pembahasan saja, melainkan terdapat penjelasan mengenai
pendapat dari filsuf-filsuf lainnya yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya yang
tentunya sangat membantu pembaca untuk memahami setiap pembahasan secara efektif.

Kekurangan Bab

Penggunaan tata bahasa yang sedikit sulit dimengerti, hal ini mungkin dikarenakan
penerbitan buku yang sudah lama, sehingga ketika dihubungkan dengan masa sekarang terdapat
beberapa makna kalimat yang sedikit sulit untuk dipahami maksudnya .
DAFTAR PUSTAKA

Otje Salman, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika, Refika Aditama, Bandung, 2012.

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, PT Kanisius, Yogyakarta, 1982.

Anda mungkin juga menyukai