Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1.KEADAAN UMUM

2.1.1 LOKASI DAN KESAMPAIAN DAERAH

Lokasi penambangan PT. La Dalle MiningTbk terletak di kabupaten

Halmahera Selatan.Kabupaten Halmahera Selatan ibu kotanya adalah Labuha,

secara geografis Kabupatan Halmahera Selatan terletak di antara antara 126°45'

Bujur Timur Dan – 129°30' Bujur Timur dan 0°30' Lintang Utara dan 2°00'

Lintang Selatan dengan batas wilayah:

Utara :Kabupaten Halmahera Barat Dan Kota Tidore Kep.


Selatan :Laut Seram
Barat :Laut Maluku
Timur :Laut Halmahera

II-1
Untuk mencapai daerah tersebut, dari Makassar ke konawe dapat di tempuh

dengan pesawat terbang ± 2 jam penerbangan Makassar-Ternate,dariTernate

Bandara Sultan Babulamenuju ke kota Labuha bandara Oesman Badik

menggunakan pesawat ditempuh sekitar ± 30 menit . Untuk mencapai daerah

kabupaten halmahera selatan dapat di tempuh dengan menggunakan kendaraan

roda empat atau bus dariLabuhake Halmahera Selatan dengan jarak 185 kilometer

selama 3 jam, kemudian dari ibu kota kabupaten ke kota kecamatan yang berjarak

14 km ditempuh melalui darat dengan kendaraan roda empat selama 1 jam, dan

dari kota kecamatan ke lokasi berjarak 9 km dengan kendaraan roda 4 atau 2

selama ± 1 jam.

Gambar 2.1 Peta Kesampaian Daerah PT. LA DALLE MINING, Tbk.

2.1.2 IKLIM DAN CURAH HUJAN

II-2
Iklim sebagai unsur lingkungan yang dapat memberikan informasi

mengenai potensi suatu daerah, diantaranya bermanfaat untuk mendukung

pengelolaan suatu kawasan kaitannya dengan kebutuhan air baik untuk

pertumbuhan suatu tanaman maupun untuk kebutuhan rumah

tangga.Keadaan iklim tropis seperti daerah – daerah lain di Indonesia di

Kabupaten Halmahera Selatan dikenal dengan dua musin yaitu Musim

Kemarau dan Musim Hujan.Dengan curah hujan rata-rata antara 1.000 mm

sampai dengan 2.000 mm.

Curah hujan ini hamper merata di pulau bacan dan sekitarnya, pula

obi dan sekitarnya serta semenanjung Halmahera bagian selatan. Selain itu

Kabupaten Halmahera Selatan juga di pengaruhi oleh dua musim yaitu

musim utara pada bulan oktober-maret yang di selingi angina barat dan

pancaroba pada bulan april. Sedangkan musim selatan pada bulan

September di selingi angina timur dan Pancaroba pada bulan oktober.

Berdasarkan tingkat curah hujan 1.250 – 3.250 mm/tahun dengan sebaran

curah hujan di mayoritas wilayah Kabupaten Halmahera Selatan adalah

2.250 mm/tahun dan curah hujan tertinggi yaitu 3.250 mm terjadi di

dataran tinggi.

2.2. TOPOGRAFI DAN GEOLOGI

2.2.1 TOPOGRAFI

Sebagai wilayah kepulauan maka topografi wilayah kabupaten Halmahera

Selatan seluas 61,1 % tergolong lahan agak curam (derajad kemiringan 15-40%)

II-3
dan lahan curam ( derajad kemiringan >40%). Hanya 38.9 % saja tergolong datar

dan landau yang banyak terdapat di wilayah pesisir.Semakin ke dalam dan jauh

dari pantai maka kebanyakan lahan berbukit-bukit.

Kabupaten Halmahera Selatan memiliki beberapa gunung termasuk

gunung berapi diantaranya adalah Gunung Buku Sibela (2.111 m), Gunung Buku

Uwatcain (1.200 m), Gunung Obi (1.611 m), Gunung Buku Karoang (1.127 m)

sedangkan beberapa gunung merupakan gunung berapi yaitu Gunung Makian

(1.357), Gunung Buku Amasing (1.030), Gunung Buku Bibinoi (875 m), Gunung

Tigalalu (422 m), Gunung Buku Suanggi, Gunung Buku Lansa dan Gunung Buku

Songa

II-4
Gambar 2.2 Peta Topografi PT. LA DALLE MINING, Tbk.

Sumber : PT. La Dalle Mining, Tbk.

2.2.2 GEOLOGI UMUM

Berdasarkan Peta Geologi lembar Ternate, Maluku Utara yang diterbitkan oleh

Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, fisiografi Pulau

Halmahera dibagi menjadi 3 (tiga) bagian utama, yaitu Mandala Halmahera

Timur, Halmahera barat, dan Busur Kepulauan Gunung Api Kuarter.

Mandala Fisiografi Halmahera Timur

Mandala Halmahera Timur meliputi Lengan Timur Laut, Lengan Tenggara dan

beberapa pulau kecil di sebelah Timur Pulau Halmahera. Morfologi mendala ini

terdiri dari pegunungan berlereng terjal dan torehan sungai yang dalam, serta

sebagian mempunyai morfologi karst. Morfologi pegunungan berlereng terjal

merupakan cerminan batuan keras. Jenis batuan penyusun pegunungan ini adalah

batuan ultrabasa. Morfologi karst terdapat pada daerah batugamping dengan

perbukitan yang relatif rendah dan lereng yang landai.

Mandala Fisiografi Halmahera Barat

Mandala Halmahera Barat bagian Utara dan lengan Selatan Halmahera. Morfologi

mandala berupa perbukitan yang tersusun atas Batuan Sedimen, pada

Batugamping berumur Neogen dan morfologi karst dan di beberapa tempat

II-5
terdapat morfologi kasar yang merupakan cerminan batuan gunung api berumur

oligosen.

Mandala Busur Kepulauan Gunungapi Kuarter 

Mandala ini meliputi pulau-pulau kecil di sebelah barat pulau Halmahera. Deretan

pulau ini membentuk suatu busur kepulauan gunung api kuarter. Sebagian

pulaunya mempunyai kerucut guugunung api yang masih aktif.

Gambar :Geologi Regional Pulau Halmahera Selatan


Sumber : PT. La Dalle Mining, Tbk.

II-6
Berdasarkan peta geologi lambar Pulau Obi, Maluku Utara yang diterbitkan oleh

pusat penelitian dan pengembangan Geologi Bandung (T. Apandi & D. Sudana),

daerah ini terdiri dari berbagai formasi geologi yang berbeda dalam gabungan

batuan dan tektoniknya, antara lain :

1. Formasi Kayasa : breksi dan lava. Breksi berkomponen basal dan andesit,

terpilah buruk, pejal. Lava basalan dan andesitan, kelabu, berongga, terkekarkan.

(Kesebandingan Dengan Lembar Ternate, Apandi 1981).

2. Formasi Anggai : batu gamping dan batu gamping pasiran, pejal. Fosil

foraminifera : menunjukan umur miosen atas sampai pliosen. Sebarannya di

Timur Pulau Obi. Ketebalan kurang lebih 500 meter.

3. Batuan Terobosan : stok dan retas diorit dan gabro. Diorite (Tmd); kelabu

kehijauan, terdiri dari : palgioklas, ortoklas, piroksen, klorit, kuarsa, bijih dan

sedikit zircon. Gabro (Tmg), kelabu berbintik hitam, terdiri atas plagioklas,

piroksin, aktinolit dan bijih.

4. Formasi Bacan : breksi dan lava, bersisipan batu pasir tufan dan batu lempung;

kelabu kehijauan. Breksi berkomponen andesit, basalt dan sedikit rijang merah.

Lava; kelabu kehijauan, andesitan, terpropilitkan, berbarik kalsit dan kuarsa.

Sisipan batu pasir dan batu lempung; berlapis baik. Foraminifera menunjukan

umur Oligesen – Mieson bawah. Tebal lebih dari 1000 meter, tersingkap di Pulau

II-7
Obi Tengah dan Pulau Obilatu. Bagian atasnya menjemari dengan formasi fluk

dan menindih tak selaras dengan batuan ultramafik.

5. Formasi Fluk : perselingan batupasir, batu lempung dan serpih, bersisipan

konglomerat dan batu gamping. Batupasir, kelabu kehijauan, pejal, gampingan :

berbutir halus sampai sedang, perarian sejajar. Konglomerat terdiri dari kepingan

batuan ultramafik, andesit dan batu gamping. Bagian bawah formasi fluk

menjemari dengan bagian atas formasi Bacan. Ketebalan mencapai 1000 m.

Sebarannya terdapat di bagian tengah pulau Obi. Satuan ini tertindih tak selaras

oleh formasi Anggai.

Dua lajur besar yang membatasi kepulauan obi yaitu sesar Sorong-Sula Utara di

Selatan dan sesar Sorong Maluku di Utara (Hamilton, 1978). Sesar Normal,

lipatan dan kelurusan terdapat didaerah ini. Sesar normal umumnya merupakan

sentuhan tektonik antara batuan ultramafik dengan satuan batuan yang lebih

muda. Sesar berarah barat-timur, barat laut-tenggara dan timur laut-barat daya.

Danau karu dibarat pulau Obi diduga berupa terban yang dibatasi dua sesar yang

berarah utara-selatan. Lipatan berkembang baik pada batuan sedimen tersier,

berarah barat laut-tenggara, barat-timur, dan utara-selatan. Kelurusan berarah

barat laut-tenggara dan barat daya- timur laut. Kegiatan tektonik diduga dimulai

pada sebelum jura ditandai dengan munculnya batuan ultra mafik dan malihan.

Tektonik berikutnya terjadi pada jura, merupakan penggelaman diikuti oleh

pengendapan sedimen formasi Loleobasso. Pada kapur sampai Eosen terjadi

pengangkatan dan pemalihan formasi Loleobasso. Pada Oligosen-Miosen terjadi

II-8
lagi penggelaman diikuti oleh pengendapan Formasi Fluk dan Formasi Bacan;

kemudian terjadi lagi pengangkatan disertai kegiatan gunung api, terobosan diorit

dan gabro, yang menghasilkan Formasi-formasi Woi, Obit dan Anggai. Fluktuasi

ini terus berlangsung sampai sekarang, yang ditunjukan oleh terbentuknya undak-

undak pantai dan pertumbuhan batu gamping terumbu disertai kegiatan gunung

api.

2.3 GENESA ENDAPAN BIJIH

2.3.1 Proses Terbentuknya Endapan bijih

Endapan bijih nikel yang terdapat didaerah penelitian terbentuk sebagai

hasil residual concentration, dan digolongkan dalam jenis nikel laterit yang

terbentuk dari hasil pelapukan kimiawi pada batuan ultra basa peridotit.

Batuan peridotit sebagai batuan induk bijih nikel yang mengandung unsur

– unsur mineral utama seperti, mineral garnierite, olivine dan piroksin

dimana Ni dari mineral ini merupakan subtitusi dari unsur Fe dan Mg,

kandungan unsur – unsur pada mineral ini sangat kecil. Menurut Bolt

(1971), kandungan Ni yang terdapat pada batuan peridotit.

Proses pelapukan batuan semakin mudah karena adanya bagian yang

lemah seperti rekahan, patahan dan sebagainya. Proses pelapukan yang

terjadi pada kondisi curah hujan yang tinggi dan perbedaan suhu yang

berlangsung cepat dari pergantian siang dan malam, dimana suhu pada

malam hari sangat besar pengaruhnya terhadap dekomposisi batuan dan

II-9
menghasilkan lapisan tanah laterit yang kaya akan unsur besi (Fe), dan

silika yang mengandung unsur – unsur Ni, Co, Al, Mg, Mn, Dan Ca.

proses ini disebut proses laterisasi, peranan penting dalam proses

ini adalah pelapukan kimiawi yaitu sirkulasi air hujan yang kaya

akan unsur Mg dan Ca akan larut dan terbawah bersama – sama

dengan air sebagai media transportasi.

Proses terbentuknya endapan nikel laterit dimulai dari pelapukan batuan

induk peridotit yang mengandung nikel 0,2000%, yang diawali oleh proses

serpentinisasi dimana akibat pengaruh larutan Hydrotermal yang terjadi

pada akhir pembekuan magma, telah mengubah batuan menjadi serpentin

atau peridotit terserpentinisasi. Dimana serpentinisasi batuan asal laterit

akan mempengaruhi zona saprolit.

Peridotit yang sedikit terserpentinisasi akan memberikan zona saprolit

dengan inti batuan sisa yang keras, dan celah yang ada diisi oleh mineral –

mineral garnierite, krisoplas akan kuarsa sedangkan serpentin akan

menghasilkan zona seperti yang relative homogen dengan sedikit kuarsa

atau garnierite.

Batuan asal endapan nikel adalah peridotit, dimana olivin (Mg2SiO4),

pada batuan ini mempunyai kandungan nikel sekitar 0,2000%, air

permukaan yang mengandung Co2 dari atmosfir dan terkayakan kembali

oleh bahan – bahan organis dipermukaan meresap kebawah sampai zona

pelindian dimana fluktuase air berlangsung, (lihat gambar 2.4), akibat

fluktuase air tanah yang kaya Co2 akan bersentuhan zona saprolit yang

II-10
masih mengandung jejak – jejak batuan asal dan melarutkan mineral –

mineral yang tidak stabil seperti olivin atau serpentin dan piroksin, Mg, Si,

dan Ni juga akan larut terbawah sesuai dengan aliran air tanah dan akan

memberikan mineral – mineral baru pada proses pengendapan kembali,

pada rekahan batuan asal, sebagian Mg mengendap misalnya sebagai

magnesis yang dilapangan dikenal sebagai akar – akar pelapukan (Roof Of

Watering). Sedangkan pada zona saprolit dijumpai pengisian rekahan –

rekahan oleh garnierit, kuarsa dan krisoplas yang merupakan hasil

pengendapan hidrosilika Mg, Si, dan Ni.

Unsur-unsur yang tertinggi seperti; Fe, Al, Mn, Cr, dan juga Ni dizona

limonit terikat sebagai mineral –mineral oksida seperti hematite, magnetit,

dan lain – lain. Selain itu terdapat juga mineral – mineral ‘Spinelkhorom’

serta (accesry chomspinels) sebagai akibat terimigrasinya unsur – unsur

Mg dan Si. Jika spinhelkhorom yang tidak berubah selama proses

pelapukan dan suatu profil laterit nikel maka dibuat suatu model

keseimbangan. Hasil analisis kimia menunjukan bahwa zona tengah yang

paling banyak mengandung nikel, sedangkan unsur-unsur Ca, Mg dan

karbonat akan mengalir lagi dan dapat terendap sebagai urat – urat dolomit

dan magnesit yang mengisi rekahan – rakahan pada batuan asal.

Apabila dilapangan ditemukan urat – urat seperti diatas, maka dapat

digunakan sebagai petunjuk akan batas dari zona pelapukan dengan batuan

segar atau biasa disebut ‘Roof Of Weatthering’

 2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Endapan

II-11
Faktor – faktor yang mempengaruhi pembentukan endapan bijih nikel

adalah batuan asal, struktur geologi, topografi dan waktu biologi.

1. Batuan asal : adanya batuan asal merupakan syrat utama terbentuknya

endapan nikel laterit. Batuan asalnya adalah peridotit yang termasuk jenis

batuan ultra basa dengan kadar Ni sekitar 0,2 - 0,3%. Batuan asal ini

mengandung unsur – unsur Ca, Mg, Si, Fe, Co, Cr, Mn, dan Ni. Kemudian

batuan asal ini mengalami dekomposisi akibat pelapukan secara kimiawi

dan mekanis, dimana kandungan nikelnya akan terkonsentrasi pada tempat

– tempat tertentu dan membentuk endapan bijih nikel.

2. Struktur geologi : struktur geologi yang penting dalam pembentukan

endapan bijih nikel adalah rekahan (Joint) dan patahan (Fault). Adanya

rekahan dan patahan ini akan mempengaruhi dan mempermudah rembesan

air kedalam tanah dan akan mempercepat proses pelapukan terhadap

batuan induk. Selain itu, rekahan dan patahan akan dapat pula berfungsi

sebagai tempat pengendapan larutan – larutan yang mengandung Ni.

3. Topografi : secara teoritis daerah yang baik untuk tempat pengendapan

bijih nikel adalah punggung bukit yang landai dengan kemiringan antara

10 – 300 dimana pada tempat ini pelapukan secara mekanis dan kimia

memungkinkan terbentuknya endapan bijih nikel. Pada daerah yang

curam, air hujan yang jatuh kepermukaan lebih banyak mengalir dari pada

II-12
yang meresap kedalam tanah, sehingga yang terjadi adalah erosi intensif,

unsur – unsurnya ikut tererosi. Dan pada daerah ini, pelapukan kimia

hanya sedikit sehingga menghasilkan endapan bijih nikel yang tipis,

seperti pada enadapan bijih nikel oksidasi. Pada daerah yang rata, pada

setiap musim hujan, hasil erosi dari bagian yang tinggi akan menutupi

bagian yang rendah, sehingga air hujan dan asam humus tidak mempunyai

kesempatan untuk melakukan proses pelapukan terhadap batuan secara

berulang – ulang. Setiap musim hujan, hasil erosi yang baru akan

menutupi yang lama. Akibatnya intensitas pelapukan tidak memungkinkan

terbentuknya endapan bijih nikel pada daerah yang rata hanya terbentuk

tanah penutup yang semakin tebal.

4. Waktu biologi : faktor yang sangat penting pada proses pelapukan

adalah transportasi dan konsentrasi endapan pada suatu tempat. Untuk

terbentuknya endapan nikel laterit membutuhkan waktu yang lama,

mungkin ribuan atau jutaan tahun. Bila waktu pelapukan terlalu cepat

maka endapan bijih nikel yang terbentuk sangat tipis. Endapan bijih nikel

didaerah tanah Loji dan sekitarnya mempunyai profil tanah yang hampir

sama. Perbedaan – perberdaab dilapangan tergantung pada

bentukmorfologi, kegiatan erosi atau mungkin oleh pengaruh struktur

geologi lainnya.

5. Reagen-reagen Kimia dan Vegetasi

Reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa

yang membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang

II-13
mengandung CO2 memegang peranan paling penting di dalam proses

pelapukan secara kimia. Asam-asam humus (asam organik) yang berasal

dari pembusukan sisa-sisa tumbuhan akan menyebabkan dekomposisi

batuan, merubah pH larutan, serta membantu proses pelarutan beberapa

unsur dari batuan induk. Asam-asam humus ini erat kaitannya dengan

kondisi vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan

penetrasi air lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar

pohon-pohonan, meningkatkan akumulasi air hujan, serta menebalkan

lapisan humus. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana kondisi

hutan yang lebat pada lingkungan yang baik akan membentuk endapan

nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi

juga dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi.

6. Waktu

Waktu merupakan faktor yang sangat penting dalam proses

pelapukan, transportasi, dan konsentrasi endapan pada suatu tempat.

Untuk terbentuknya endapan nikel laterit membutuhkan waktu yang lama,

mungkin ribuan atau jutaan tahun. Bila waktu pelapukan terlalu muda

maka terbentuk endapan yang tipis. Waktu yang cukup lama akan

mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi unsur

nikel cukup tinggi. Banyak dari faktor tersebut yang saling berhubungan

dan karakteristik profil di satu tempat dapat digambarkan sebagai efek

gabungan dari semua faktor terpisah yang terjadi melewati waktu,

ketimbang didominasi oleh satu faktor saja.Ketebalan profil laterit

II-14
ditentukan oleh keseimbangan kadar pelapukan kimia di dasar profil dan

pemindahan fisik ujung profil karena erosi. Tingkat pelapukan kimia

bervariasi antara 10 – 50 m per juta tahun, biasanya sesuai dengan jumlah

air yang melalui profil, dan 2 – 3 kali lebih cepat dalam batuan ultrabasa

daripada batuan asam. Disamping jenis batuan asal, intensitas pelapukan,

dan struktur batuan yang sangat mempengaruhi potensi endapan nikel

lateritik, maka informasi perilaku mobilitas unsur selama pelapukan akan

sangat membantu dalam menentukan zonasi bijih di lapangan (Totok

Darijanto, 1986).

Profil endapan nikel laterit yang terbentuk dari hasil pelapukan

batuan ultrabasa secara umum terdiri dari 4 (empat) lapisan, yaitu lapisan

tanah penutup atau top soil, lapisan limonit, lapisan saprolit, dan bedrock.

1. Lapisan tanah penutup

Lapisan tanah penutup biasa disebut iron capping. Material

lapisan berukuran lempung, berwarna coklat kemerahan, dan

biasanya terdapat juga sisa-sisa tumbuhan. Pengkayaan Fe terjadi

pada zona ini karena terdiri dari konkresi Fe-Oksida (mineral

Hematite dan Goethite), dan Chromiferous dengan kandungan

nikel relatif rendah. Tebal lapisan bervariasi antara 0 – 2 m.

Tekstur batuan asal sudah tidak dapat dikenali lagi.

2. Lapisan Limonit

II-15
Merupakan lapisan berwarna coklat muda, ukuran butir

lempung sampai pasir, tekstur batuan asal mulai dapat diamati

walaupun masih sangat sulit, dengan tebal lapisan berkisar antara 1

– 10 m. Lapisan ini tipis pada daerah yang terjal, dan sempat hilang

karena erosi. Pada zone limonit hampir seluruh unsur yang mudah

larut hilang terlindi, kadar MgO hanya tinggal kurang dari 2%

berat dan kadar SiO2 berkisar 2 – 5% berat. Sebaliknya kadarFe2O3

menjadi sekitar 60 – 80% berat dan kadar Al 2O3 maksimum 7%

berat. Zone ini didominasi oleh mineral Goethit, disamping juga

terdapat Magnetit, Hematit, Kromit, serta Kuarsa sekunder. Pada

Goethit terikat Nikel, Chrom, Cobalt, Vanadium, dan Aluminium.

3. Lapisan Saprolit

Merupakan lapisan dari batuan dasar yang sudah lapuk,

berupa  bongkah-bongkah lunak berwarna coklat kekuningan

sampai kehijauan. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat.

Perubahan geokimia zone saprolit yang terletak di atas batuan asal

ini tidak banyak, H2O dan Nikel bertambah, dengan kadar Ni

keseluruhan lapisan antara 2 – 4%, sedangkan Magnesium dan

Silikon hanya sedikit yang hilang terlindi. Zona ini terdiri dari

vein-vein Garnierite, Mangan, Serpentin, Kuarsa sekunder

bertekstur boxwork, Ni-Kalsedon, dan di beberapa tempat sudah

terbentuk limonit yang mengandung Fe-hidroksida.

4. Bedrock (Batuan Dasar)

II-16
Merupakan bagian terbawah dari profil nikel laterit,

berwarna hitam kehijauan, terdiri dari bongkah – bongkah

batuan dasar dengan ukuran > 75 cm, dan secara umum sudah

tidak mengandung mineral ekonomis. Kadar mineral mendekati

atau sama dengan batuan asal, yaitu dengan kadar Fe ± 5%

serta Ni dan Co antara 0.01 – 0.30%.

II-17

Anda mungkin juga menyukai