Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MAQAMAT DAN AHWAL SERTA SELUK BELUKNYA


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah Pemikiran Islam
Klasik dan Modern

Dosen Pengampu :
Dr. Firhat Abbas, M. Ag

Oleh:
Hanisah

KONSENTRASI STUDI QUR’AN


PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT ISLAM
PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIPUDDIN JAMBI
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan manusia hidup di muka bumi ini adalah untuk beribadah
kepada Allah SWT. Dalam jiwa manusia terdapat fitrah yang akan mengarahkan
manusia kepada hal-hal yang positif. Dalam diri setiap manusia terkandung dua
dimensi yang berbeda, yaitu jasmani yang lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah disini
bukan sekedar bersih dari noda, namun lengkap dengan potensi kodrati yang bersifat
spirirual. Dengan potensi inilah manusia diberi kepercayaan untuk menjadi kholifah
fil ardhi serta memerankan fungsi-fungsi ketuhanan dimuka bumi.
Jika manusia didalam dirinya telah terkandung potensi kebaikan, keluhuran
ataupun kesempurnaan sebagai bekal khalifah di bumi, lalu bagaimana potensi
tersebut dapat dikembangkan dan diaktualisasikan? banyak teori yang berbicara
mengenai hal ini yang salah satunya adalah tasawuf. Sebagaimana yang telah dijalani
oleh beberapa tokoh besar sufi yang menjalanihidupnya penuh dengan ketaqwaan
serta manjalankan beberapa maqam dan dikaruniai berbagai hal sehingga menjadikan
hidupnya penuh dengan kebahagiaan baik didunia maupundi akhirat. Mereka merasa
sangat dekat dengan tuhan-Nya.
Oleh karena itu, perlu kiranya bagi kita untuk mempelajari tasawuf beserta
maqamat dan ahwalnya yang harus ditempuh oleh seorang muslim untuk mencapai
kedudukan yangsangat mulia dimata tuhan-Nya.

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Maqamat dan macam-macam maqamat?


2. Apa yang dimaksud dengan ahwal (hal )?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Maqamat
Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam yang berarti tempat atau
kedudukan.Istilah ini sering digunakan oleh para sufi. Dalam Sufi terminology : The
Mystical Language Of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual.1
Menurut al-Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia
dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang
dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.2
Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian, bahwa maqamat adalah
Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam
ibadah,kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian serta
menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada-Nya.
Mengenai berapa jumlah tangga atau maqamat, para ulama sufi memilki
perbedaan pendapat. Menurut al-Qusyairi, ada tujuh maqam, yang jenjangnya adalah:
Taubat, Sabar, dan Ridha.3
Sementara Muhammad Al-Kalazaby mengatakan bahwa maqamat itu
jumlahnya ada sepuluh, yaitu taubat, zuhud, sabar, fakir,tawadlu, taqwa, tawakal,
ridha, mahabbah, dan makrifat.4 Al-Thusi memiliki format lain, yaitu: Taubat, Wara’,
Zuhud, Faqr, Sabar, Tawakkal dan Ridha. Sedangkan al-Ghazali memiliki urutan
berikut: Taubat, Shabar, Syukur, Raja’, Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq, Unas,
Ridha.5

1
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar
Offset 2002) cet.Pertama . 25
2
M. Jamil. Cakrawala Tasawuf . Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-
Tashawwuf (Cairo: Daral-Khair, t.t.), 35.
3
Al-Qusyairi. Risalah Al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al -Tashawwuf , 49
4
Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf . (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000) 194
5
Ibid., 194
Namun dari perbedaan pendapat diatas ada maqamat yang mereka sepakati
yaitu taubat, Zuhud, wara, fakir, sabar, tawakal, dan ridha. Sedangkan tawadlu,
mahabbah, dan makrifat oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.
1) Taubat
Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh seorang Sufi ialah
maqam taubah yang berasal dari bahasa Arab yaitu taba – yatubu – taubatan yang
artinya kembali. Sedang taubat yang dimaksud oleh kalangan Sufi adalah memohon
ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan
mengulangi dosa tersebut yang disertai melakukan amal kebajikan. Harun Nasution
mengatakan, taubat yang dimaksud Sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang
tidak membawa kepada dosa lagi. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme
adalah melupakan segala hal kecuali Tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang
cinta kepada Allah dan senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.6
Mustafa Zahri menyebutkan taubat bersamaan dengan istighfar
(memohon ampun). Bagi orang yang awam taubat cukup dengan membaca
astaghfirullah wa atubu ilaihi sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi
orang yang khawas bertaubat dengan melakukan riadhah (latihan) dan
mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri
dengan Tuhan.7
Dalam Al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan
manusia untuk bertaubat. Diantaranya:
٣١ َ‫َوتُوب ُٓواْ إِلَى ٱ َّللِ َج ِميعًا أَيُّهَ ٱ ۡل ُم ۡؤ ِمنُونَ لَعَلَ ُك ۡم ت ُ ۡف ِل ُحون‬
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung”. (Q. S An-Nur (24): 31)

َ ُ‫ظلَ ُم ٓواْ أَنف‬


‫س ُه ۡم ذَ َك ُرواْ ٱ َّللَ فَٱ ۡست َۡغفَ ُرواْ ِلذُنُو ِب ِه ۡم‬ َ ‫َوٱلَذِينَ ِإذَا فَ َعلُواْ َٰفَ ِح‬
َ ‫شةً أ َ ۡو‬

6
Ibid., 197-198
7
Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) hal 105-106
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka.” (Q. SAli-Imran:135).

2). Wara
Secara harfiyah Al-Wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa.
Dalam tradisi Sufi yang dimaksud dengan wara' adalah meninggalkan sesuatu yang
belum jelas hukumnya (subahat), hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas
manusia baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman,
pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekarja, dan lain-lain.8
Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan
sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan,
meminum atau memakainya. Maka mereka sangat hati-hati akan hal ini, sebab para
sufi senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hati yang bersih.
3). Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak menginginkan hal yang bersifat
keduniaan.Menurut Harun Nasution zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan
hidup kematerian.Dalam pandangan kaum Sufi, dunia dan segala isinya adalah
sumber segala kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkan diri dari
tuhan. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk
menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidupnya, sehingga
memalingkannya dari tuhan. Menurut Al-Junaidi yang dikutip oleh Hasyim
Muhammad mengatakan bahwa, zuhud adalah kosongnya tangan dari pemilikan dan
kosongnya hati dari pencarian.Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau
mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, dari pada mengejar
kehidupan dunia yang fana dan sementara.

8
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar
Offset 2002) cet.Pertama hal. 31
Allah berfirman:
٣٨ ‫فَ َما َم َٰت َ ُع ٱ ۡل َحيَ َٰوةِ ٱلد ُّۡنيَا فِي ٱ ۡۡل ٓ ِخ َرةِ إِ ََّل قَ ِلي ٌل‬
“Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan)
diakhirat hanyalah sedikit.” (Q.S Al-Taubah: 38)
١٧ ‫ر َوأ َ ۡب َق َٰ ٓى‬ٞ ‫َوٱ ۡۡل ٓ ِخ َرة ُ خ َۡي‬
“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.”(Q.S Al-A’la:17)

Orang memiliki pandangan yang demikian tidak akan mengorbankan


kebahagiaan hidupnya di akhirat hanya untuk mengejar duniawi saja. Sikap
zuhud adalah sikap yang harus di tempuh oleh seorang sufi.
4) Fakir
Secara harfiah fakir diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang
miskin.Sedang menurut pandangan Sufi faqr adalah tidak meminta lebih dari apa
yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban – kewajiban. Tidak meminta sesungguhpun tak ada pada diri
kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.9 Sikap fakir ini
penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah SWT karena kekayaan atau
kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat kepada kejahatan dan sekurang-
kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain Allah SWT.10
5) Sabar
Sabar berarti tabah hati. sabar jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan
nafsu dan amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-
nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-
shabr al-badani).11 Dalam tradisi sufi, sabar merupakan salah satu maqam yang
harus ditempuh dalam perjalanan menuju Allah SWT, yang sering diterjemahkan
sebagai ketabahan dan ketekunan.Kesabaran adalah pembuka jalan keluar dari suatu

9
Ibid.,200
10
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) . 200
11
Ibid., 201
masalah. Bersabar diri merupakan sifat dariorang-orang yang memiliki kecerdasan
spiritual yang tinggi dan kecerdasan emosional yang bening.12
٢٠٠ َ‫طواْ َوٱت َقُواْ ٱ َّللَ لَ َعلَ ُك ۡم ت ُ ۡف ِل ُحون‬ َ ‫َٰ َيٓأَيُّ َها ٱلَذِينَ َءا َمنُواْ ٱصۡ ِب ُرواْ َو‬
ُ ‫صا ِب ُرواْ َو َرا ِب‬
“Wahai orang-orang yang beriman, berlaku sabarlah dan perkuat kesabaran
diantara sesamakalian, dan bersiapsiagalah kalian serta bertaqwalah kepada
Allah supaya kalian memperoleh keberuntungan (Q.S Ali-Imran: 200)

6) Tawakal
Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri
hanya kepada Allah SWT. Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri.13 Inti
dari tawakal adalah sikap mempercayakan diri dan seluruh jalannya, serta semua
aktivitasnya hanya kepada Allah SWT, dalam kepercayaan jiwa yang sempurna dan
tanpasyarat. Kedudukan tawakal dalam dunia tasawuf adalah menampakan dirinya
sebagai berkaitan erat dengan Al-Ahwal (keadaan) yang merupakan perwujudan dari
karunia Allah SWT.14
Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakal tempat-tempatnya didalam hati, dan
timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati
itu. Hal itu terjadi setelah hamba-Nya meyakini bahwa segala ketentuan hanya
didasarkan pada ketentuan Allah. Mererka menganggap jika menghadapi kesulitan
maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.15
ُ‫علَى ٱ َّللِ فَ ُه َو َح ۡسبُ ٓهۥ‬
َ ‫َو َمن يَت ََو َك ۡل‬
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan) nya.” (Q.S Ath-Thalaq: 3)
Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa inti sari
atau sum-sum dari orang yang bertauhid adalah orang yang dekat kepada Allah
dengan suatu pancaran batin dari cahaya Tuhan, bahwa semua benda, bagaimanapun
banyak dan jenisnya, berasal dari satu sumber. Dengan demikian, orang yang

12
Asep Achmad Hidayat. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk Kretentraman dan
kemuliaan hidup (Bandung: Penerbit MARJA, 2009) 138-144
13
Abuddin Nata. Op Cit, hal 174
14
Op Cit, hal 147
15
Op Cit, hal 147
bertawakal adalah orang yang selalumengaitkan dan menggantungkan hatinya
kepada Allah untuk setiap usaha dan pekerjaannya.Abu Ali ar-Rudzbari
berpendapat, ada tiga tanda yang bertawakal kepada Allah SWT, yaitu tidak
meminta, tidak menolak sesuatu (pemberian), dan tidak pula menahan sesuatu
(yangakan diberikan).
7) Ridha
Ridha berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan
Allah SWT. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak
menentang qada dan qadar Allah malah menerima dengan hati senang.
Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya
perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang
dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang
menerima nikmat.16
Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan
Allah SWT dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Menurut Abdul Halim
Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai
Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan
akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah SWT.17
B. Ahwal (Hal)
Ahwal adalah jama’ dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state).
Secara terminologi ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk
dalam hati sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri
seseorang tanpa usaha ataupun perjalanan tertentu. Karena hal datang dan pergi
secara tiba-tiba dan tidak disengaja, maka Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada

16
Abuddin Nata. Op. Cit , 203
17
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) 201
dasarnya maqamat adalah upaya (makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib)
yang diberikan Allah sehingga hal datang tidak ditentukan oleh waktu tertentu.18
Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana disebutkan
diatas,seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat.
Kegiatan mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan dzikir
dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang terdapat
dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan
perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah (mengasingkan diri dari
keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada Allah), dan suluk (menjalankan
hidup sebagai sufi dengan cara dzikir).
Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan
mawasdiri (muhasabat dan muraqabat ), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta
(hubb), takut (khauf ), harap (raja’), rindu ( syauq), intim (uns).

1). Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)


Waspada dan mawas diri merupakan hal yang saling berkaitan erat, keduanya
merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaaan jasmani
yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
Waspada dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala
pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati,yang membuat seseorang menjadi hormat,
takut, dan tunduk kepada Allah SWT. Adapun mawas diri adalah meneliti dengan
cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang
dari yang dikehendaki-Nya.19
2) Cinta (Hubb)

Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, uhibbu, mahabatan,yang secara


harfiah berarti mencintai secara mendalam. Selain itu al-mahabbah dapat pula

18
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar
Offset 2002) cet.Pertama hal. 27
19
Op Cit, hal 203
berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spritual. Kata mahabbah
selanjutnya digunakan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam
hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan kepada Tuhan.20
Dalam pandangan tasawuf, mahabbah merupakan pijakan bagi segenap
kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam.
Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi
segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah. Mahabbah adalah
kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.21

3) Berharap dan Takut ( Raja’dan Khauf )


Raja’ berarti berharap atau optimism, adalah perasaan hati yang senang
karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja telah ditegaskan dalam
Al-Quran:
ٓ
َ ُ‫سبِي ِل ٱ َّللِ أ ُ ْو َٰ َلئِكَ َي ۡر ُجونَ َر ۡح َمتَ ٱ َّللِ َوٱ َّلل‬
ٞ ُ ‫غف‬
‫ور‬ َ ‫ِإ َن ٱلَذِينَ َءا َمنُواْ َوٱلَذِينَ هَا َج ُرواْ َو َٰ َج َهدُواْ فِي‬
٢١٨ ‫يم‬ٞ ‫َر ِح‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Baqarah: 218)

Raja’ menuntut tiga perkara:


a. Cinta pada apa yang diharapkannya.
b. Takut harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.

Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang
berharap untuk sampai disuatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut
terlambat. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti,

20
Abuddin. Nata. Op. Cit , hal 208
21
Op Cit, hal 203
yang akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba
berbuat maksiat dan mendorongnya untuksenantiasa berada dalam ketaatan.22

4) Rindu (Syauq)
Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yang rindu ingin segera
bertemu dengan Tuhan. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan, mati dapat berarti
bertemu dengan Tuhan.,sebab hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan
ma’bud nya.23

5) Intim (Uns)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat Uns adalah sifat merasa selalu berteman,
tak pernah merasa sepi. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.24

C. Perbedaan Mendasar Maqamat Dan Ahwal


Secara historis, konsep maqamat dan ahwal diduga muncul pertama kali pada
abad 1 Hijriyah. Sosok yang memperkenalkan tersebut adalah Ali bin Abi Thalib.
Hal ini dapat ditelusuri ketika para sahabat berkonsultasi tentang iman. Ia menjawab
bahwa iman itu adalah bersumber pada empat fondasi yaitu taqwa, sabar, adil, jihad,
yang masing-masing fondasi tersebut mempunyai tingkatan ( maqamat).
Para sufi sendiri secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan ahwal.
Maqam, menurut mereka, ditandai oleh kemapanan. Sementara itu, ahwal justru
mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya.
Sementara itu, ahwal dapat diperoleh secara disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan
upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa mencekam, rindu,
gelisah, atau harap. Jelasnya, hal sama dengan bakat, sedangkan maqam diperoleh
dengan daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam
diperoleh dengan berupaya. Orang yang meraih maqam tetap dalam tingkatannya,

22
Ibid 204
23
Ibid., 205
24
Ibid., 206
sementara orang yang meraih ahwal justru akan mudah lepas dirinya.
Secara mendasar, perbedaan maqamat dan ahwal ini baik dari cara mendapatkannya
maupun pelangsungannya yaitu Maqamat berupa tahap-tahap perjalanan spiritual
yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini
pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang untuk melawan hawa
nafsu, ego manusia, yang dipandang perilaku yang buruk yang paling besar yang
dimiliki manusia dan hal itu menjadi kendala menuju Tuhan.
Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa
seseorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan taun hanya untuk bergeser dari
satu stasiun ke stasiun yang lainnya. Sedangkan “ahwal”yang sering diperoleh secara
spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Di antara “ahwal” yang sering disebut adalah
takut, sukur, rendah hati, tawakkal, gembira. Meskipun ada perdebatan di antara para
penulis tasawuf, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami
secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh tidak berdasarkan usaha
sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah
berupa kalitan-kalitan ilahi (Divine Flashes), yang biasa disebut lama’at.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
- Maqamat adalah jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk
berada dekat dengan Allah SWT. Maqamat berupa tangga yang harus
ditempuh.
- Para sufi berbeda pendapat mengenai jumlah maqamat. Namun yang
disepakati ada tujuh, yaitu Taubat, Wara, Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal, dan
Ridha.
- Sedangkan Ahwal adalah karunia yang diberikan Allah kepada kita.
- Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan
mawasdiri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb),
cinta (hubb),takut (khauf ), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns).

Saran

Manusia tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil sikapnya, kadang-


kadang manusia berbuat yang tidak masuk akal. Oleh sebab itu, manusia perlu sekali
tahu mengenai dirinya sendiri. Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan
makalah ini, baik yang kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu
sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi

(cet. Pertama).Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Nata, Abuddin. 2000. Akhlak Tasawuf . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mustafa Zahri. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: Bina Ilmu

Jamil, Muhammad. Cakrawala Tasawuf . Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-

Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Cairo: Dar al-Khair, t.t.)

Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia

Asep Achmad Hidayat. 2009.


Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk Kretentraman an kemuliaan hidup.
Bandung: Penerbit MARJA

Anda mungkin juga menyukai