Di Susun
Oleh :
KELOMPOK IX
1. RUKAYANA RANI
2. RUKAYYA
3. SULKIFLI HAFID
Syukur Alhamdulillah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul "Ayat-
Ayat Tentang Ilmu Pengetahuan" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita sanjung pujian kepada
Nabi Besar Muhamad Saw. yang telah membawa kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang
benderang ini.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian Makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Analisa :
Berdasarkan ayat tersebut Rasulullah disuruh untuk membaca agar menjadi orang yang
bisa membaca sebelum tadinya tidak. Betapa pentingnya membaca itu,
bahkan sesungguhnya setiap detik hidup ini adalah membaca. Tanpa membaca, orang akan
kesulitan untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Setiap orang bisa saja membaca objek yang
sama. Namun yang membedakan adalah kualitas pembacaannya. Pada masa jahiliyyah
dahulu, kondisi kehidupan masyarakat didominasi oleh pembacaan yang salah. Membaca
yang benar dalam arti menyeluruh harus menjadi bagian dari hidup seorang muslim. Manusia
dapat baru dapat dimintai pertanggungjawaban setelah mampu membaca dalam arti luas.
Sebab kemampuan membaca adalah tanda berfungsinya akal seseorang. Dikutip dari
sebuah hadits, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”. Kualitas pembacaan juga
ditandai dengan kedalaman atau kejauhan pandangan. Dengan hanya sedikit indikator atau
tanda, seharusnya setiap Muslim mampu membaca jauh melebihi apa yang dilihatnya.
Dalam ayat tersebut dapat diketahui perintah Allah SWT kepada manusia untuk
menuntut ilmu, dan dijelaskan pula sarana yang digunakan untuk menuntut ilmu yaitu kalam.
Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan mengamalkannya juga
merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT
sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun dalam salah satu
2 Ibid. Hlm. 8060
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW
bersabda:
"Perumpamaan apa yang aku bawa dari petunjuk dan ilmu adalah seperti air hujan yang
banyak yang menyirami bumi, maka di antara bumi tersebut terdapat tanah yang subur,
menyerap air lalu menumbuhkan rumput dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya terdapat
tanah yang kering yang dapat menahan air maka Allah memberikan manfaat kepada
manusia dengannya sehingga mereka bisa minum darinya, mengairi tanaman dengannya
dan bercocok tanam dengan airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang turun kepada
tanah/lembah yang tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan rumput-
rumputan. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan orang yang
mengambil manfaat dengan apa yang aku bawa, maka ia mengetahui dan mengajarkan
ilmunya kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak perhatian sama sekali
dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya." (HR.
Al-Bukhariy).
Di dalam hadits ini terdapat pengarahan dari Nabi SAW agar bersemangat untuk
mencari ilmu, yaitu beliau SAW memberikan perumpamaan terhadap apa yang beliau bawa,
yaitu hujan yang menyeluruh di mana manusia mengambil dan memanfaatkan air hujan
tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian beliau Saw. menyerupakan orang
yang mendengar ilmu dengan bumi/tanah yang bermacam-macam dimana air hujan (ilmu)
turun padanya:
a. Diantara mereka ada orang yang berilmu, beramal dan mengajarkan ilmunya kepada
yang lainnya, maka orang ini seperti tanah yang baik, yang menyerap air lalu memberikan
manfaat pada dirinya dan menumbuhkan tanaman dan rumput-rumputan sehingga
memberikan manfaat bagi yang lainnya.
b. Diantara mereka ada yang mengumpulkan ilmu yang dia sibuk dengannya, di mana ilmu
tersebut dimanfaatkan pada masanya dan masa setelahnya dalam keadaan dia belum
bisa mengamalkan sebagian darinya atau belum bisa memahami apa yang dia
kumpulkan, akan tetapi dia sampaikan kepada yang lainnya, maka orang ini seperti tanah
yang menahan air sehingga manusia dapat mengambil manfaat darinya.
c. Dan di antara mereka ada orang yang mendengar ilmu tetapi tidak menghafalnya, tidak
beramal dengannya dan tidak pula menyampaikannya kepada yang lainnya, maka orang
ini seperti tanah lumpur atau tanah tandus yang tidak dapat menerima/menampung air.
Kelompok pertama dan kedua dalam perumpamaan tersebut kelak akan dikumpulkan
menjadi satu karena kebersamaan mereka dalam memanfaatkan ilmu yang mereka miliki
walaupun derajat kemanfaatannya bertingkat-tingkat. Dan kelompok ketiga yang tercela akan
dipisahkan dari kelompok satu dan dua karena tidak adanya kemanfaatan darinya. Dan tidak
diragukan lagi bahwasanya terdapat perbedaan yang besar antara orang yang mencari ilmu
lalu memberikan manfaat pada dirinya dan orang lain dengan orang yang rela dengan
kebodohan dan hidup dalam kegelapannya sehingga dia tidak mendapat bagian sedikit pun
dari warisannya para Nabi.3
Sejarah menunjukkan, bahwa pada masa kaum muslimin mempelajari dan
melaksanakan agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia dengan pakar-pakar
yang menguasai dalam disiplin ilmunya masing-masing, sehingga Barat pun belajar dari
mereka. Baru di masa kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya dan tergiur dengan
kenikmatan duniawi dan berpaling ke barat, maka Allah SWT merendahkan dan menghinakan
mereka. Sungguh telah benar Rasulullah SAW yang telah memperingatkan umatnya dalam
hal ini. Karena kedudukan ilmu yang sedemikian tingginya, maka islam mewajibkan umatnya
untuk memperlajari ilmu.4
2. QS. Taubah (9) ayat 122
ْ ِّين َولِيُن) ِذر
ُوا قَ ۡ)و َمهُمۡ إِ َذا ْ )ة لِّيَتَفَقَّهٞ َُوا َكٓافَّ ٗۚة فَلَ ۡ)واَل نَفَ) َر ِمن ُك) ِّل فِ ۡرقَ ٖ)ة ِّم ۡنهُمۡ طَٓائِف
ِ ُ)وا فِي ٱل)د ْ ۞ َو َما َكانَ ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ لِيَنفِر
١٢٢ ََر َجع ُٓو ْا إِلَ ۡي ِهمۡ لَ َعلَّهُمۡ يَ ۡح َذرُون
Artinya :
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Tafsir Ayat :
Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad, serta
kecaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beriman
berduyun-duyun dan dengan penuh semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada
tempatnya karena ada area perjuangan lain yang harus dipikul. Ulama yang menyatakan
bahwa ketika Rasul Saw. tiba kembali di Madinah, beliau mengutus pasukan yang terdiri
dari beberapa orang ke beberapa daerah. Hal ini banyak sekali yang ingin terlibat dalam
pasukan kecil itu sehingga jika diperturutkan, tidak akan tinggal di Madinah bersama Rasul
kecuali beberapa gelintir orang saja. Maka dalam hal ini ayat ini menuntun kaum muslimin
3 Ibid.
4 Ibid. hlm. 216
untuk membagi tugas dengan menyatakan : Tidak sepatutnya bagi orang-orang
mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke
medan perang sehingga tidak tersedia lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika
memang tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum, maka mengapa tidak pergi
dari setiap golongan, yakni kelompok besar, di antara mereka beberapa orang dari
golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang
agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang
lain dan juga untuk memberi peringataan kepada kaum mereka yang menjadikan anggota
pasukan yang ditugaskan oleh Rasul Saw. itu apabila nanti setelah selesainya
tugas, mereka, yakni anggota pasukan itu, telah kembali kepada mereka yang
memperdalam pengetahuan itu supaya mereka yang jauh dari Rasul Saw. karena tugasnya
dapat berhati-hati dan menjaga diri mereka.5
Menurut al-Biqa’i sebagaimana dikutip Quraish menyatakan bahwa kata thaaifah dapat
berarti satu atau dua orang. Sementara ulama yang lain tidak menentukan jumlah tertentu,
namun yang jelas ia lebih kecil dari firqah yang bermakna sekelompok manusia yang
berbeda dengan kelompok yang lain . Karena itu, satu suku atau bangsa, masing-masing
dapat dinamai dengan firqah. Sedangkan kata liyatafaqqahuu terambil dari kata fiqh, yakni
pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan
hanya sekadar pengetahuan. Penambahan huruf taa pada kata tersebut mengandung
makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu para pelaku menjadi
pakar-pakar dalam bidangnya. Demikianlah kata-kata tersebut mengundang kaum muslimin
untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan. Sementara kata fiqh bukan terbatas pada apa
yang diistilahkan dalam disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang
hukum-hukum agama islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh melalui penalaran
terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata itu mencakup segala macam pengetahuan
mendalam. 6
Analisa :
Orang-orang yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad dan meninggalkan
negeri mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus tetap ada yang tinggal disana dan satu
kelompok lagi yang keluar menuntut ilmu yang bermanfaat. Apabila mereka kembali ke
kampung halaman, mereka wajib mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada kaumnya yang
5 Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2012), Hlm.
6 Ibid. hlm. 188
tidak ikut menuntut ilmu. Mereka harus memberikan pemahaman kepada kaumnya tentang
agama Allah SWT, memperingatkan mereka akan bahaya maksiat dan melanggar perintah-
Nya. Menyerukan supaya mereka bertakwa kepada Tuhan mereka dengan mengamalkan
kitab-Nya dan sunnah Nabi SAW.
B. Keutamaan Orang yang Menuntut Ilmu
Diantara perkara mulia yang hendaknya menjadi kesibukan kita adalah menuntut ilmu syar’i
yang bersumber dari Al Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam . Karena
ilmu yang bersumber dari keduanya adalah cahaya dan pelita bagi pemiliknya, sehingga nampak
jelas baginya kegelapan kebatilan dan kesesatan. Orang yang memiliki ilmu akan dapat
membedakan antara petunjuk dan kesesatan, kebenaran dan kebatilan, sunnah dan bid’ah. Maka
ilmu adalah perkara mulia yang hendaknya menjadi perhatian setiap muslim, perkara yang harus
diutamakan. Karena ilmu itu lebih didahulukan daripada perkataan dan perbuatan.
Islam mewajibkan umatnya untuk mencari ilmu, hal ini menunjukkan betapa pentingnya
menuntut ilmu. Dengan ilmu, manusia dapat menjadi hamba Allah yang beriman dan beramal
shaleh, dengan ilmu pula manusia mampu mengolah kekayaan alam yang Allah berikan
kepadanya. Dengan demikian , manusia juga mampu menjadi hambaNya yang bersyukur, dan hal
itu memudahkan menuju surga.
Di sisi lain, manusia yang berilmu memiliki kedudukan yang mulia tidak hanya disisi manusia,
tetapi juga disisi Allah.
1. QS. Mujaadalah (58) ayat 11
ُ )ع ٱهَّلل ْ ٱنش) ُز ْ ٱنش) ُز
ُ َوا ف ُ )لَ )ح ٱهَّلل ُ لَ ُكمۡۖ َوإِ َذا قِي ۡ ْ س فَ ۡٱف َس)ح ۡ
ِ ُِوا فِي ٱل َم ٰ َجل ْ ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا إِ َذا قِي َل لَ ُكمۡ تَفَ َّسح
ِ )َوا يَ ۡرف ِ )ُوا يَف َس
١١ ير ٖ ۚ وا ۡٱل ِع ۡل َم َد َر ٰ َج
ٞ ِت َوٱهَّلل ُ بِ َما ت َۡع َملُونَ َخب ْ ُوا ِمن ُكمۡ َوٱلَّ ِذينَ أُوت ْ ُٱلَّ ِذينَ َءا َمن
Artinya :
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Ayat :
Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, oleh
siapapun: “Berlapang-lapanglah, yakni berupayalah dengan sungguh-sungguh walau
dengan memaksakan diri untuk memberikan tempat pada orang lain, dalam majelis-majelis,
yakni satu tempat, baik itu tempat duduk maupun bukan untuk duduk, apabila diminta
kepada kamu untuk melakukan itu maka lapangkanlah tempat itu untuk orang lain itu
dengan sukarela. Maka jika kamu melakukan hal tersebut , niscaya Allah akan melapangkan
segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini . Dan apabila dikatakan : Berdirilah kamu ke
tempat yang lain, atau duduk diduduki tempatmu buat orang yang lebih wajar, atau
bangkitlah untuk melakukan sesuatu seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan
bangkitlah, Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu, wahai yang
memperkenankan tuntunan ini, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat kemuliaan di dunia dan di akhirat dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan
sekarang dan masa datang Maha mengetahui. 7
Kata tafassahuu dan ifsahuu pada ayat tersebut, terambil dari kata fasaha,
yakni lapang. Sedangkan kata unsyuzuu terambil dari kata nuzuz, yakni tempat yang tinggi.
Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang lebih tinggi. Yang
dimaksudkan adalah pindah ke tempat lain untuk memberikan kesempatan kepada yang
lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan suau
aktifitas yang positif. Sementara itu, ada juga yang memahaminya dengan berdirilah dari
rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada kepentingan nabi saw
yang lain dan yang perlu segera beliau hadapi. Sedangkan kata majaalis adalah bentuk
jamak dari majelis. Pada umumnya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah
tempat Nabi saw memberikan tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini
adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik itu tempat duduk, tempat berdiri, atau
bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi
tempat yang wajar secara mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau pun orang-
orang yang lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun. 8
Analisa :
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa para sahabat berlomba-lomba untuk
berdekatan dengan tempat duduk Rasulallah SAW untuk mendengarkan pembicaraan
beliau yang mengandung banyak kebaikan dan keutamaan yang besar. Diperintahkan pula
untuk memberi kelonggaran dalam majlis dan tidak merapatkannya, dan apabila yang
demikian ini menimbulkan rasa cinta didalam hati dan kebersamaan dalam mendengarkan
hukum-hukum agama, maka akan dilapangkan baginya kebaikan-kebaikan di dunia dan
akhirat.
Tafsir Ayat:
Allah berfirman : Apakah orang yang beribadah secara tekun dan tulus di waktu-waktu
malam dalam keadaan sujud akan berdiri secara mantap demikian juga yang rukuk dan
duduk atau berbaring, sedang ia terus menerus takut siksa akhirat dan saat yang sama
senantiasa mengharapkan rahmat Tuhannya sama dengan mereka yang baru berdoa saat
mendapat musibah dan melupakan-Nya ketika memperoleh nikmat serta menjadikan bagi
Allah sekutu-sekutu? Tentu saja tidak sama! Katakanlah : “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui hak-hak Allah dan mengesakan-Nya dengan orang yang tidak mengetahui hak
Allah dan mengkufuri-Nya? Sesungguhnya orang yang dapat menarik banyak pelajaran
adalah Ulul Albab, yakni orang-orang yang cerah pikirannya .9
9 Ibid. Hlm. 180
Awal ayat di atas ada yang membacanya aman dalam bentuk pertanyaan dan ada
juga yang membacanya amman. Yang pertama merupakan bacaan Naafi, ini merupakan
pendapat Ibnu Katsir, dan Hamzah. Ia terdiri dari huruf alif dan man yang berarti siapa.
Kata man berfungsi sebagai subjek (mubtada), sedang predikat (khabar)-nya tidak
tercantum karena telah diisyaratkan oleh kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa
orang-orang kafir mengada-adakan bagi Allah sekutu-sekutu dan seterusnya. Menurut
Quraish bahwa bacaan kedua amman adalah bacaan mayoritas ulama. Ini pada mulanya
terdiri dari dua kata yaitu am dan man, lalu digabung dalam bacaan dan tulisannya. Ia
mengandung dua kemungkinan makna. Yang pertama kata am yang berfungsi sebagai kata
yang digunakan bertanya. Maka dengan demikian ayat ini bagaikan menyatakan “Apakah si
kafir yang mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sama dengan yang percaya dan tekun
beribadah? Yang kedua, kata am berfungsi memindahkan uraian ke uraian yang lain,
serupa dengan kata bahkan. Makna ini menjadikan ayat di atas bagaikan menyatakan. “
Tidak usah mengancam mereka, tapi tanyakanlah apakah sama yang mengada-adakan
sekutu bagi Allah dengan yang tekun beribadah? Sedangkan kata qaanit terambil dari
kata qanuut, yaitu ketekunan dalam ketaatan disertai dengan ketundukan hati dan
ketulusannya. Sementara itu, ulama menyebut juga nama-nama tertentu bagi tokoh yang
dinamai qaanit oleh ayat di atas, seperti Sayyidina Abu Bakar, atau ‘Ammar Ibnu Yasir ra.
dan lain-lain. Ini merupakan contoh dari sekian tokoh yang dapat menyandang sifat
tersebut. Dengan kata lain ayat di atas menggambarkan sikap lahir dan batin siapa yang
tekun itu. Sikap lahirnya digambarkan oleh kata-kata saajidan/ sujud dan qaaiman/
berdiri sedangkan sikap batinnya dilukiskan oleh kalimat yahdzaru al-akhirata wa yarjuu ar-
rahmah/ takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. 10
Analisa :
Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui (berilmu)
dengan melakukan ibadah di waktu malam, takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta
mengaharapkan ridha dari Allah; dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itu
merupakan salah satu ciri dari ulul al-bab, yaitu orang yang menggunakan hati untuk
menggunakan dan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan
akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang mulia.
Sehubungan dengan ayat ه ل يس توى الّ ذين يعلم ون والّ ذين ال يعلم ون, al-Maraghi
mengatakan: “Katakanlah hai rasul kepada kaummu, adakah sama, orang-orang yang