Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

“PERKEMBANGAN POLITIK INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI


LIBERAL”

Disusun Oleh:

Nama Kelompok: 1. AMAR MA’RUF

2. MUH. ARGA SWARA ISKANDAR

3. HASRIANI

4. NUR FAJRIANTI

5. WIDIA HASTUTI

Kelas : XII MIPA 5

MAN ENREKANG

TAHUN PELAJARAN 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat
karunia-Nya serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
perkembangan politik di Indonesia pada masa Demokrasi Liberal ini dengan
sebatas pengetahuan dan kemampuan yang kami miliki.

Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah


wawasan serta pengetahuan kita mengenai perkembangan politik di Indonesia
pada awal kemerdekaan di masa demokrasi liberal. Kami juga menyadari
sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini banyak kekurangan-kekurangan dan jauh
dari sempurna. Untuk itu kami berharap adanya kritik,saran dan usulan demi
kebaikan masa yang akan datang. Tak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya.


Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kesalahan-keasalan kata yang kurang
berkenan di hati dan kami mohon kritik dan saran yang membangun demi
kebaikan di masa yang akan datang.

Baraka, 20 September 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR…………………………………………………. i

DAFTAR ISI…………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………...…………………. 1

a. Latar Belakang……………………….……………………... 1

b. Rumusan Masalh………………….………………………... 1

BAB II PEMBAHASAN………………………..………….………….. 3

a. Sejarah Munculnya Demokrasi Liberal……..………….…… 3

b. Pelaksanaan Pemerintahan Demokrasi Liberal……………… 3

c. Sistem Kepartaian dan Pemilu 1955……………………….... 14

BAB III PENUTUP……….………………………………………...….. 21

a. Kesimpulan………………………………………..…..…….. 21

b. Saran………………………………………………………… 21

DAFTAR PUSTAKA……………………………….…………………. iii

iii
BAB I

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Dalam perjalanan sitem politik di Indonesia banyak bukti menunjukan


bahwa UUD tidak dapat dijadikan pegangan dalam sistem pilitik maupun
penegakan hukum. Telah terjadi empat periode pemerintahan masa Kemerdekaan
(1945-1959), era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), masa Orde Baru (1966-
1998) dan era Reformasi (1998-Sekarang). Pada saat kemerdekaan dulu berlaku
tiga macam UUD(1945, RIS dan 1950) namun dalam prosesnya sitem demokrasi
dan hukum dapat ditegakan. Dekrit presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 kembali
berlaku dan dinyatakan penggunaan sistem Demokrasi Terpimpin, namun yang
berlaku sistem otoritarian (Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Kemudian beralih pada
masa Demokrasi Orde Baru 1966. Rakyat dan pemerintah bekerjasama
menjalankan pemerintahan yang demokratis dan menegakan hukum dengan
semboyan “kembali ke UUD 1945 dengan murni dan konsekuen”. Kemudian
belangsung Era Reformasi yang diawali perubahan mendadak dari sistem politik
otoriter ke sistem demokrasi. Pada saat pergantian kepemimpinan di bawah
presiden BJ Habibie, sistem demokrasi berubah 180 derajat. Kebebasan
membentuk partai politik, Lembaga-lembaga perwakilan bebas berbicara.

b. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah munculnya Demokrasi Liberal?


2. Bagaimana perkembangan kabinet yang berlangsung pada masa Demokrasi
Liberal?
3. Bagaiman sistem kepartaian dan Pemilu 1955 yang berlangsug pada masa
Demokrasi Liberal?

iv
BAB II

PEMBAHASAN

a. Sejarah Munculnya Demokrasi Liberal

Seperti yang kita ketahui dalam perkembangan sejarah Indonesia bahwa


negara Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan sistem demokrasi.
Diharapkan hal ini bisa mewujudkan demokrasi berbau indonesia meski konsep
dasar mengadopsi teori demokrasi luar. Berikut ini adalah salah satu analisis
dialektik-historis pada penerapan demokrasi di Indonesia.

Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950 RI Melaksanakan


demokrasi parlementer yang Liberal dengan mencontoh sistem parlementer barat,
dan masa ini disebut Masa demokrasi Liberal. Indonesia dibagi manjadi 10
Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – undang Dasar
Sementara tahun 1950 yang juga bernafaskan liberal. Akibat pelaksanaan
konstitusi tersebut, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri
(kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab
kepada parlemen (DPR). Sistem politik pada masa demokrasi liberal telah
mendorong untuk lahirnya partai – partai politik, karena dalam sistem kepartaian
menganut sistem multi partai.

Demokrasi Liberal berlangsung selama hampir 9 tahun, dalam


kenyataanya rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sisten Demoktasi
Liberal tidak cocok dan tidak sesuai dengan. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden
Soekarno mengumumkan dekrit mengenai pembubaran Konstituante dan
berlakunya kembali UUD 1945 serta tidak berlakunya UUDS 1950 karena
dianggap tidak cocok dengan kedaan ketatanegaraan Indonesia.

b. Pelaksanaan Pemerintahan Demokrasi Liberal

Tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 merupakan masa berjayanya


partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian

v
kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi
merupakan partai yang terkuat dalam DPR, dan dalam waktu lima tahun (1950
-1955) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat
kabinet. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;

1. KABINET NATSIR (6 September 1950 – 21 Maret 1951)

Kabiet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad


Natsir (Masyumi) sebagai perdana menteri. Merupakan kabinet koalisi yang
dipimpin oleh partai Masyumi. Kabinet ini merupakan kabinet koalisi di mana
PNI sebagai partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta, karena tidak
diberi kedudukan yang sesuai. Kabinet ini kuat formasinya di mana tokoh – tokoh
terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono
IX,Mr.Asaat,Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:

1. Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.

2. Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.

3. Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.

4. Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.

5. Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Hasil : Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya


mengenai masalah Irian Barat.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

– Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan


buntu (kegagalan).

– Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di


seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan RMS.

vi
Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan


Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah
No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut
disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada
Presiden.

2. KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 Februari 1952)

Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik


Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( M asyumi ) menjadi
formatur, namun gagal.Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur.
Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah
pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet
ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:

a. Menjamin keamanan dan ketentraman


b. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar
sesuai dengan kepentingan petani.
c. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
d. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian
Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
e. Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat
buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum,dan penyelesaian
pertikaian buruh.

Hasil : Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya
saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti

vii
awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya
diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

a) Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia


Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai
pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada
Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam
MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI
diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika.
b) Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara
Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai
telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
c) Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi
pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
d) Masalah Irian barat belum juga teratasi.
e) Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang
tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa
Tengah, Sulawesi Selatan.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman


sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya
menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya
kepada presiden.

3. KABINET WILOPO (30 Maret 1952 – 3 Juni 1953)

Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno menunjukan Sidik


Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( M asyumi ) menjadi
formatur, namun gagal.Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur.
Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah

viii
pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet
ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:

a. Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante,


DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan
pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
b. Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-
Belanda,Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan
politik luar negeri yang bebas-aktif.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

a) Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-
barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
b) Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak
terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya
besar untuk mengimport beras.
c) Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat
alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
d) Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk
menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang
dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya.
Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri
yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh
Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian
KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen
sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin
diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot
Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.

ix
e) Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut
dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution
menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran
tersebut ditolak.
f) Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan
reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD.
g) Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna
menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
h) Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah
mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-
tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan
pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera
Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah
aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah
mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah
dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani
terbunuh.
i) Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara
aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan
di Sumatera Timur (Deli).

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat
Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan
mandatnya pada presiden.

4. KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Kabinet keempat adalah kabinet Ali Sastroamidjojo,yang terbentuk pada


tanggal 31 juli 1953. Kabinet Ali ini mendapat dukungan yang cukup banyak dari
berbagai partai yang diikutsertakan dalam kabinet, termasuk partai baru NU.

x
Kabinet Ali ini dengan Wakil perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (partai
Indonesia Raya PIR).

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah:

a. Program dalam negeri mencakup keamanan, pemilu, dam kemakmuran.


b. Program luar negeri meliputi pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, dan
pengembalian Irian Barat ke Republik Indonesia.

Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet :

Ali Sastroamijoyo I yaitu; Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih


anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955,
menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 dan memiliki pengaruh
dan arti penting dagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa – bangsa
Asia – Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :

1. Berkurangnya ketegangan dunia.


2. Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik rasdiskriminasi
di negaranya.
3. Belanda mulai repot menghadapi blok afro- asia di PBB, karena belanda
masih bertahan di Irian Barat.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

a) Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan,


seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
b) Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya
kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan
dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD
mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya
mentri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD

xi
menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap
tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD.
Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun
panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-
pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
c) Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi
yang menunjukkan gejala membahayakan.
d) Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
e) Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan
untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang
diikuti oleh partai lainnya.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Pada tanggal 20 juli 1955 NU memutuskan untuk menarik kembali


menteri-menterinya yang kemudian diikuti oleh partai-partai lain. Keretakan
dalam kabinet ini memaksa Ali Sastromijoyo mengembalikan mandatnya kepada
Presiden.

5. KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret


1956)

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap.


Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi., sedangkan PNI membentuk oposisi.

Program :

1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru
3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

xii
Hasil :

a. Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955


(memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante).
Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos
seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak,
yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
b. Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran
Uni Indonesia-Belanda.
c. Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan
oleh polisi militer.
d. Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
e. Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel
AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap


menimbulkan ketidaktenangan.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap


selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet
sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus
bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.

6. KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet


baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai
yaitu PNI, Masyumi, dan NU.

Program :

xiii
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang
memuat program jangka panjang, sebagai berikut.

a. Perjuangan pengembalian Irian Barat


b. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD.
c. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
d. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
e. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.

Selain itu program pokoknya adalah :

a) Pembatalan KMB,
b) Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan
politik luar negeri bebas aktif,
c) Melaksanakan keputusan KAA.

Hasil :

Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak
dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh
perjanjian KMB.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

a. Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.


b. Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah
pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan
Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda
di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan
Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
c. Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap
mengabaikan pembangunan di daerahnya.

xiv
d. Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya
mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha
Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang
merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi
pengusaha nasional.
e. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar
Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan
PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas
demokrasi dan parlementer.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu


I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

7. KABINET DJUANDA (9 April 1957 – 5 Juli 1959)

Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para
pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam
menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya
perebutan kekuasaan antara partai politik. Dipimpin Oleh : Ir. Juanda

Program :

Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai


Kabinet Karya, programnya yaitu :

a. Membentuk Dewan Nasional


b. Normalisasi keadaan Republik Indonesia
c. Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
d. Perjuangan pengembalian Irian Jaya
e. Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan

Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah,


perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta
keuangan yang sangat buruk.

xv
Hasil :

a) Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi


Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui
deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia
dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
b) Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan
presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem
demokrasi terpimpin.
c) Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di
berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional
dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
d) Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis
dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.

Kendala/ Masalah yang dihadapi :

a) Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah


semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi
terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
b) Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program
pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
c) Terjadi peristiwa Cikini
e) yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan
Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya
bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan
keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.

Berakhirnya kekuasaan kabinet :

Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959


dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.

c. Sistem Kepartaian dan Pemilu 1955

xvi
1. Sistem Kepartaian

Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-


anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan
dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh, merebut dan
mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya partai politik
erat kaitannya dengan kekuasaan.

Paska proklamasi kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya


lembaga parlemen yang berfungsi sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan
amanat UUD 1945. Keberadaan parlemen, dalam hal ini DPR dan MPR, tidak
terlepas dari kebutuhan adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik.
Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno
mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai partai tunggal,
namun keinginan Presiden Soekarno tidak dapat diwujudkan. Gagasan
pembentukan partai baru muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan maklumat
pemerintah pada tanggal 3 November 1945. Melalui maklumat inilah gagasan
pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan berhasil membentuk
partai-partai politik baru.

Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multi
partai. Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta agar
memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan
bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan untuk mudah dapat mengukur
kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab
kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya
partai-partai politik tersebut cenderung untuk memperjuangkan kepentingan
golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai politik yang ada saling
bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik
yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan
penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan
berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah. Hal inilah yang
menyebabkan pada era ini sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur

xvii
panjang sehingga program-programnya tidak bias berjalan sebagaimana mestinya
yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial
ekonomi dan keamanan.

Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk


membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari
sistem demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.

2. Pemilihan Umum 1955

Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil


rakyat yang akan duduk dalam parlemen dan dewan Konstituante. Pemilihan
umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok
perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak cabinet Ali
Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia
Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum
tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I karena terlanjur jatuh. Kabinet
pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet
Burhanuddin Harahap.

Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan


yang meliputi 208 kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum
1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota
parlemen yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk
memilih anggota Dewan Konstituante (badan pembuat Undangundang Dasar)
dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada pemilu pertama ini 39 juta rakyat
Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara.

Pemilihan umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di


Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah
berjalannya demokrasi di kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak
pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang menilai

xviii
bahwa pemilihan umum 1955 merupakan pemilu yang paling demokratis yang
dilaksanakan di Indonesia.

Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada


17 Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan barang
sehari pun, karena pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup
kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”.
Penegasan ini dikeluarkan karena terdapat suara-suara yang meragukan
terlaksananya pemilu sesuai dengan jadwal semula.

Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil
yang mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
82 partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86
organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam
pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang
mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang ikut
dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)

Pemilihan umum untuk anggota DPR dilaksanakan pada tanggal 29


September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan
suara terbanyak adalah PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat
perolehan suara terbanyak memperoleh kursi sebagai berikut :

PNI : 57 kursi

Masyumi : 57 kursi

Nahdatul Ulama : 45 kursi

PKI : 39 kursi

Pemilihan Umum 1955 menghasilkan susunan anggota DPR dengan


jumlah anggota sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh
Presiden Soekarno. Acara pelantikan ini dihadiri oleh anggota DPR yang lama
dan menteri-menteri Kabinet Burhanudin Harahap. Dengan terbentuknya DPR

xix
yang baru maka berakhirlah masa tugas DPR yang lama dan penunjukkan tim
formatur dilakukan berdasarkan jumlah suara terbanyak di DPR.

Pemilihan Umum 1955 selain memilih anggota DPR juga memilih


anggota Dewan Konstituate. Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante
dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Dewan Konstituante bertugas untuk
membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan UUD Sementara
1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam pasal 134 UUD
Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang
Dasar) bersama-sama pemerintah selekaslekasnya menetapkan Undang-undang
Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar
Sementara ini”.

Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan


pada 16 Juli 1956, perolehan suara partai-partai yang mengikuti pemilihan
anggota Dewan Konstituante urutannya tidak jauh berbeda dengan pemilihan
anggota legislatif, empat besar partainya adalah PNI, Masyumi, NU dan PKI.

PNI : 119 kursi

Masyumi : 112 kursi

Nahdatul Ulama : 91 kursi

PKI : 80 kursi

Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan


umum dan yang diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota
Konstituate jika ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan
umum tidak memperoleh jumlah kursi sejumlah yang ditetapkan dalam UUD S
1950. Kelompok minoritas yang ditetapkan jumlah kursi minimal adalah golongan
Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 kursi dan golongan Arab 6
kursi.

Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung sejak tahun


1956 hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang

xx
diamanatkan oleh UUD S 1950. Dewan memang berhasil menyelesaikan bagian-
bagian dari rancangan UUD, namun terkait dengan masalah dasar negara, Dewan
Konstituante tidak berhasil menyelesaikan perbedaan yang mendasar diantara
usulan dasar negara yang ada.

Pembahasan mengenai dasar negara mengalami banyak kesulitan karena


adanya konflik ideologis antar partai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul
tiga usulan dasar negara yang diusung oleh partai-partai; Pertama, Dasar Negara
Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki;
Kedua, Dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII;
Ketiga, Dasar negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai
Buruh. Ketiga usulan dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua usulan
Pancasila dan Islam karena Sosial ekonomi tidak memperoleh dukungan suara
yang mencukupi, hanya sembilan suara.

Dalam upaya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat terkait dengan


masalah dasar negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila
tentang kemungkinan dimasukannya nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu
dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang
dasar yang baru. Namun usulan ini ditolak oleh pendukung Pancasila. Semua
upaya untuk mencapai kesepakatan diantara dua kelompok menjadi kandas dan
hubungan kedua kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan
Konstituante tidak berhasil menyelesaikan pekerjaannya hingga pertengahan
1958. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno dalam amanatnya di depan
sidang Dewan Konstituante mengusulkan untuk kembali ke UUD 1945.
Konstituante harus menerima UUD 1945 apa adanya, baik pembukaan maupun
batang tubuhnya tanpa perubahan.

Menyikapi usulan Presiden, Dewan Konstituante mengadakan


musyawarah dalam bentuk pemandangan umum. Dalam sidang-sidang
pemandangan umum ini Dewan Konstituante pun tidak berhasil mencapai
kuorum, yaitu dua pertiga suara dari jumlah anggota yang hadir. Tiga kali
diadakan pemungutan suara tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua

xxi
sidang menetapkan tidak akan mengadakan pemungutan suara lagi dan disusul
dengan masa reses (masa tidak bersidang). Ketika memasuki masa sidang
berikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri sidang lagi. Kondisi inilah
mendorong suasana politik dan psikologis masyarakat menjadi sangat genting dan
peka. Kondisi ini mendorong KSAD, Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang
Pusat (Peperpu) dengan persetujuan dari Menteri Pertahanan sekaligus Perdana
Menteri Ir. Djuanda, melarang sementara semua kegiatan politik dan menunda
semua siding Dewan Konstituante.

Presiden Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menyelesaikan


permasalahan yang ada dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh
pemerintahan, anggota Dewan Nasional, Mahkamah Agung dan pimpinan
Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. Hasil dari pembicaraan itu
esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden
1959 di Istana Merdeka. Isi pokok dari Dekrit Presiden tersebut adalah
membubarkan Dewan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali UUD 1945
dan menyatakan tidak berlakunya UUD Sementara 1950. Dekrit juga
menyebutkan akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu
sesingkat-singkatnya.

xxii
BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan

Dalam perkembangan Demokrasi Indonesia, Indonesia sudah mengalami


beberapa kali pergantian sistem politik dan pemimpin. Namun dengan sejalannya
demokrasi itu Indonesia sampai saat ini masih saja belum menemukan sistem
Demokrasi yang tepat. Banyak permasalahan yang datang dalam pencarian sistem
Indonesia maupun jiwa para pemimpinnya.

b. Saran     

Entah mengapa sampai saat ini Indonesia masih tertinnggal oleh negara
lain, tapi patut kita ketahui bahwa perubahan itu tidak ada dengan sendirinya. Kita
sebagai rakyat Indonesia lah yang harus memulai perubahan itu. Dimulai dari
penetapan sistem politik yang benar-benar tepat dan juga para anak bangsa yang
harus memperbaharuinya dengan perubahan yang membawa Indonesia maju.

xxiii
DAFTAR PUSTAKA

https://sariiskadewi.blogspot.com/2016/02/makalah-masa-demokrasi-liberal.html

https://adji-pras.blogspot.com/2016/08/makalah-perkembangan-politik-
masa.html#.XYdXyCgzbIV

https://sule-epol.blogspot.com/2017/01/makalah-demokrasi-liberal.html

Yuniyati, WA. 2018. Sejarah Indonesi. Surakarta: Putra Nugraha.

Zuhid, Susanto dkk. 2018. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kementrian Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia.

xxiv

Anda mungkin juga menyukai