Anda di halaman 1dari 3

Gg

Nama
Kelas

Dari mana aku harus memulai? Dari aku sering menyayat diri? Atau dari aku yang sering
menangis diam-diam? Ah benar, sebaiknya dimulai dari bagian itu saja, bagian dimana saat
aku masih bersama nenek.
Hari itu sama seperti hari-hari biasanya. Aku bangun pagi, sarapan lalu berangkat sekolah.
Pukul empat sore aku kembali kerumah sewaan atau yang biasa disebut sebagai kontrakan.
Ketika membuka pintu dengan kunci cadangan, aku terdiam sejenak. Ah, hari ini benar-
benar melelahkan ya. Tentu saja, karena saat itu kurang 1 bulan lagi untuk hari lomba
pramuka, yang mana mau tidak mau aku harus sering berlatih.

Setelah bersih-bersih dan istirahat, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul delapan malam.
Sudah jam segini tumben belum pulang?, bingungku. Rasa khawatir mulai menyergap,
bagaimana tidak cemas jika mengingat yang masih di luar sana adalah wanita renta berumur
73 tahun? Aku sebenarnya sudah biasa di tinggal sendirian di rumah kecil ini sampai petang,
tapi tak biasa sampai sudah semalam itu beliau belum pulang. Apakah ada kemacetan di
Jakarta? Bukankah jarak dari Jakarta ke Bekasi hanya membutuhkan 2 jam perjalanan?
Karena jika dihitung dari biasa nenek pulang, harusnya beliau sudah pulang pukul 5 sore dari
Jakarta dan sampai ke Bekasi pukul 7.

Aku tidak bisa menhubungi beliau karena aku tidak punya ponsel, ponselku rusak. Lalu aku
harus menghubungi kemana? Malam itu aku berharap nenek cepat pulang dalam keadaan
baik-baik saja, diikuti doa yang terus kurapalkan dalam kecemasan. Namun, keesokan
paginya seperti yang aku takutkan, beliau tidak pulang. Aku bahkan mandi dan bersiap
sekolah sambil terus menangis. Di sekolah aku terus memikirkan, kemana beliau? Apakah
tersasar? Apakah dia berjalan terlalu jauh dengan kaki yang rapuh itu? Dan leganya, sepulang
aku dari sekolah ternyata nenek sudah pulang. Ya pulang, pulang dengan keadaan kaki di
perban sembari memakan roti tawar. Lalu kubertanya, “Nenek darimana? Kok tadi malam ga
pulang? Tau gak, aku nangis semalaman”. Dan beliau menjawab, “Kemarin nenek jatuh ke
parit saat di jalan, beruntung kepala ini ga pecah”. Syukurlah, pikirku. Setidaknya nenek
baik-baik saja.
Namun, setelah kejadian itu. Masalah kian silih berganti, dari nenek yang sudah tidak
sanggup membayar sewa rumah, nenek yang harus diopname di rumah sakit, dan aku yang
lulus sekolah menengah pertama tanpa didampingi siapapun. Bahkan mengambil raport
kelulusan pun sendiri. Dan saat terdesak seperti itu, ketika nenek sudah diperbolehkan
pulang, mau tidak mau aku dan nenek menumpang tinggal di rumah adik beliau karena sudah
tidak dapat membayar uang sewa rumah. Di sana aku terasa seperti pembantu, meski
memang seharusnya begitu. Tentu saja, karena aku dan nenek diperbolehkan tinggal dan
diberi makan. Pastinya aku harus berterimakasih hanya dengan membersihkan rumah dua
lantai itu seorang diri. Walau lelah, aku cukup menikmatinya.

Aku sekolah di sekitar situ dan memiliki cukup banyak teman yang baik meski hanya di
depan saja. Tapi rasanya apa yang kukerjakan selama itu tidak memuaskan bagi sang pemilik
rumah yang bagaikan predator jahat. Maafkan aku, namun aku sudah cukup tertekan batin
selama tinggal di situ sehingga aku menyebutnya seperti itu. Meski dia tidak tinggal di rumah
itu, tapi hampir setiap hari dia datang untuk mengecek apakah rumahnya bersih, apakah
rumahnya rapih dan wangi? Bahkan disaat aku pulang petang ia tetap tidak peduli selagi
rumahnya harus tetap bersih.

Dengan pergaulan di situ, aku mulai tau apa itu cutting atau menyayat diri untuk
melampiaskan emosi. Emosi akan kesedihan, kemarahan, stress, dan lain sebagainya. Setiap
aku merasa tertekan akan keadaan, aku akan melakukan hal tersebut diikuti memukul tangan
ke tembok, menarik rambut sendiri, dan juga menyalahkan diri sendiri terus menerus seperti,
seharusnya aku tidak usah lahir, seharusnya aku dibunuh saja sejak baru lahir. Aku tahu ini
salah, pikiran dan perbuatanku pun salah, aku butuh psikolog. Namun, bukankah untuk ke
spesialis itu membutuhkan cukup banyak dana? Aku terus berpikir ulang, aku harus bercerita
kepada siapa kalau begitu? Bisa makan saja untuk aku dan nenek sudah bersyukur, aku tidak
mau menambah pikiran nenek jika beliau tahu aku seperti ini. Karena kembali lagi, saat itu
aku masih remaja 15 tahun. Belum cukup tahan untuk dapat menanggung itu semua.
Meskipun selama ini aku sekolah negeri, tapi memikirkan bahwa aku harus membayar uang
SPP juga hanyalah menambah beban.

Banyak hal yang seharusnya tidak perlu, namun tetap kupikirkan. Setiap hari aku selalu
terlihat baik-baik saja. Baik di sekolah maupun di rumah besar itu, tapi hati ku tidak. Terasa
sudah rusak dan hampir hancur. Jangan berkata bahwa, aku harus mendekatkan diri pada
Tuhan agar tidak depresi, harus banyak bersyukur dan berdoa. Hei, percayalah bahwa aku
telah memcobanya. Tapi, depresi bukanlah hanya sekedar kurang bersyukur kepada Tuhan.
Bagaimana rasanya jika hati dan pikiran yang sudah rusak dan yang terputar hanyalah
stereotip untuk bunuh diri dapat tetap bertahan? Aku berusaha sebisa mungkin untuk hal itu,
dan aku bertahan. Meski tetap mengurungnya sendiri. Mengunci dan memilih untuk tetap
menyimpannya sendiri.

Hidup harus tetap berlanjut bukan? Walau sudah dua tahun berlalu, aku masih tetap ingat
bagaimana mereka mengusir aku dan nenek, bagaimana mereka memperlakukan aku, dan
sebagainya. Dalam jangka waktu dua tahun itu bahkan aku masih hidup dalam kesusahan,
bukan di finansial tapi lebih tepatnya kesusahan untuk,
Bagaimana aku harus tetap bertahan hidup dengan kesakitan ini untuk jangka waktu yang
lebih lama.

Anda mungkin juga menyukai