Anda di halaman 1dari 85

REVISI KELOMPOK 4: KAMIS/8 OKTOBER 2020

MAKALAH
LANDASAN ILMU PENDIDIKAN

“LANDASAN FILOSOFIS, LANDASAN SOSIOLOGIS, LANDASAN


PSIKOLOGIS, SERTA LANDASAN KULTURAL PENDIDIKAN
(Pandangan Barat, Pandangan Indonesia dan Pandangan Islam) “

OLEH
FITRIA HANDAYANI
19175004

DOSEN :
Prof. Dr. Hj. Festiyed, MS

PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN FISIKA


UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i


KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan ........................................................................................ 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................... 3
A. Landasan Filosofis Pendidikan .................................................................... 3
B. Landasan Sosiologis Pendidikan ................................................................ 20
C. Landasan Psikologis Pendidikan ................................................................ 29
D. Landasan Kultural Pendidikan.................................................................... 52
BAB III ................................................................................................................. 66
PEMBAHASAN ................................................................................................... 66
A. Landasan Filosofis Pendidikan .................................................................. 66
B. Landasan Psikologis Pendidikan ................................................................ 67
C. Landasan Sosiologis Pendidikan ................................................................ 69
D. Landasan Kultural Pendidikan ................................................................... 71
BAB IV ................................................................................................................. 76
PENUTUP ............................................................................................................. 76
A. Kesimpulan ................................................................................................ 76
B. Saran ........................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga sampai saat ini kita masih diberikan kesempatan
untuk mengikuti perkuliahan. Shalawat dan salam tidak lupa disampaikan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah menjadi inspirasi terbesar dalam kehidupan
setiap manusia

Makalah ini membahas tentang Manusia, Kemanusian serta Landasan,


Asas, dan Prinsip Pendidikan yang dibimbing oleh Ibu Prof.Dr.Festiyed, M.S.
Makalah ini bersumber dari buku maupun dari internet dengan membuat gagasan
dari beberapa sumber tersebut

Penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat untuk menambah


pengetahuan kita mengenai Manusia, Kemanusian serta Landasan, Asas, dan
Prinsip Pendidikan. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan yang perlu untuk dibenahi. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa
saya terima untuk perbaikan makalah berikutnya

Padang, Oktober 2020

Penulis

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan yang sekaligus
membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya. Dimana pendidikan mampu
menciptakan seseorang yang berkualitas dan berkarakter, hal ini sejalan dengan UU
No. 20 tahun 2003. Mengingat hakikat pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya
memanusiakan manusia, maka para pendidik perlu memahami hakikat manusia
sebagai salah satu landasannya. Konsep hakikat manusia yang dianut pendidik
akan berimplikasi terhadap konsep dan praktek pendidikannya.
Pendidikan akan dapat dilaksanakan secara mantap, jelas arah tujuannya,
relevan isi kurikulumnya, serta efektif dan efisien metode atau cara-cara
pelaksanaannya hanya apabila dilaksanakan dengan mengacu pada suatu landasan
yang kokoh. Sebab itu, sebelum melaksanakan pendidikan, para pendidik perlu
terlebih dahulu memperkokoh landasan pendidikannya.
Landasan Pendidikan marupakan salah satu kajian yang dikembangkan
dalam kaitannya dengan dunia pendidikan. Landasan pendidikan adalah
seperangkat asumsi yang dijadikan titik tolak dalam rangka pendidikan. Baik dalam
momen studi pendidikan maupun dalam momen praktek pendidikan. Adapun
cakupan landasan pendidkan adalah : landasan hukum, landasan filsafat, landasan
sejarah, landasan sosial budaya, landasan psikologi, dan landasan ekonomi.
Landasan Pendidikan diperlukan dalam dunia pendidikan khususnya di
negara kita Indonesia, agar pendidikan yang sedang berlangsung dinegara kita ini
mempunyai pondasi atau pijakan yang sangat kuat karena pendidikan di setiap
negara tidak sama.Untuk negara kita diperlukan landasan pendidikan.
Ada berbagai jenis landasan pendidikan, berdasarkan sumber perolehannya
kita dapat mengidentifikasi jenis landasan pendidikan menjadi 1) landasan religius
pendidikan, 2) landasan filosofis pendidikan, 3) landasan ilmiah pendidikan, 4)
landasan yuridis atau hukum pendidikan. Dalam makalah ini, akan dibahas
mengenai landasan pendidikan berupa landasan filosofis, landasan psikologi,

1
landasan sosiologi, danlandasan kultural pendidikan. Landasan ini merupakan
landasan pendidikan utama yang menjadi norma dasar pendidikan.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari landasan filosofis?
2. Apa pengertian dari landasan sosiologis?
3. Apa pengertian dari landasan psikologis?
4. Apa pengertian dari landasan kultural?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1. Menjelaskan mengenai landasasan filosofis,
2. Menjelaskan mengenai landasan sosiologis
3. Menjelaskan mengenai landasan psikologi
4. Menjelaskan mengenai landasan kultural

D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Guru/Tenaga pendidik sebagai tambahan wawasan mengenai pengertian
landasan filosofis, sosiologis, psikologis, dan kultural dalam pendidikan.
2. Sumber ide dan referensi bagi penulis lain.
3. Penulis, sebagai modal dasar untuk mengembangkan diri dalam bidang
penulisan, menambah pengetahuan dan pengalaman.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Filosofis Pendidikan


Sebelum membahas mengenai landasan filosofis, akan dibahas terlebih
dahulu landasan pendidikan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
landasan berarti “Tumpuan, dasar atau alas”. Landasan merupakan tempat
bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak atau dasar pijakan ini dapat
bersifat material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual
(contoh: landasan pendidikan). Landasan bersifat koseptual identik dengan
asumsi,
Menurut Sulipan (2009:25), pendidikan adalah “Kegiatan seseorang atau
sekelompok orang atau lembaga dalam membantu individu atau sekelompok orang
untuk mencapai tujuan pedidikan”. Kegiatan bantuan dalam praktek pendidikan
dapat berupa pengelolaan pendidikan (makro maupun mikro), dan dapat berupa
kegiatan pendidikan (bimbingan, pengajaran dan atau latihan). Berdasarkan uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa landasan pendidikan menurut
Sulipan(2009:25)adalah “Asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik
tolak dalam rangka praktek pendidikan atau studi pendidikan”. Pendidikan
diberikan oleh pendidik yaitu guru berupa ilmu pengetahuan untuk memberikan
pengetahuan kepada peserta didik. Sebagaimana yang terdapat pada Surat Al-a’alaq
ayat 1-5:

Artinya :”Bacalah dengan (menyebut) nama tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah, dan tuhanmu lah yang paling
pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahui.

3
Menurut Robandi, Babang (2005:1), ada berbagai jenis landasan
pendidikan, berdasarkan sumber perolehannya kita dapat mengidentifikasi jenis
landasan pendidikan menjadi:
1. Landasan religius pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari religi
atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau
studi pendidikan.
2. Landasan filosofis pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari
filsafat yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi
pendidikan.
3. Landasan ilmiah pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari berbagai
cabang atau disiplin ilmu yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek
pendidikan dan atau studi pendidikan. Tergolong ke dalam landasan ilmiah
pendidikan antara lain: landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologis
pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis pendidikan,
dsb.
4. Landasan yuridis atau hukum pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber
dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak dalam
rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
Dari penjelasan di atas, dapat dinyatakan bahwa landasan filosofis
merupakan jenis dari landasan dalam pendidikan yang menjadikan filsafat menjadi
titik tumpunya.
Menurut Suyitno (2009:8), landasan filosofis adalah asumsi-asumsi yang
bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam pendidikan. Ada berbagai
aliran filsafat, antara lain: Idealisme, Realisme, Pragmatisme, Pancasila, dsb.
Menurut Suyitno ini, landasan filosofis pendidikan berisi tentang gagasan-gagasan
atau konsep-konsep yang bersifat normatif atau preskriptif. Landasan filosofis
pendidikan dikatakan bersifat normatif atau preskriptif, sebab landasan filosofis
pendidikan tidak berisi konsep-konsep tentang pendidikan apa adanya (faktual),
melainkan berisi tentang konsep-konsep pendidikan yang seharusnya atau yang
dicita-citakan (ideal), yang disarankan oleh filsuf tertentu untuk dijadikan titik tolak
dalam rangka praktek pendidikan dan/atau studi pendidikan.

4
Menurut Rohendi, Edi, dkk (2013: 65), terdapat dua aliran filosofis
pendidikan, yaitu: “Landasan filosofis pendidikan Idealisme dan landasan filosofis
pendidikan Realisme”. Adapun perbedaannya, dapat dilihat pada Tabel 1

Tabel 1. Matriks Perbedaan Landasan Filosofis Pendidikan Idealisme &


Landasan Filosofis Pendidikan Realisme
No Landasan Filosofis Idealisme Landasan Filosofis Realisme
1. Idealisme: hakikat realitas bersifat Realisme: Hakikat realitas bersifat
kejiwaan/spiritual/rohaniah/ideal. fisik/material dan objektif; keberadaan dan
perkembangan realitas diatur dan
diorganisasikan oleh hukum alam.
2. Manusia memperoleh pengetahuan Manusia adalah bagian dan dihasilkan dari
melalui berpikir, intuisi, atau mengingat alam itu sendiri; hakikat pribadi
kembali. tertentukan dari apa yang dapat
dikerjakannya; manusia mampu berpikir
tetapi ia dapat bebas atau tidak bebas.
3. Kebenaran pengetahuan diuji melalui Pengetahuan diperoleh manusia melalui
koherensi/konsistensi ide-idenya. pengalaman pendriaan; kebenaran
pengetahuan diuji melalui
korespondensinya dengan fakta.
4. Hakikat nilai diturunkan dari realitas Nilai hakikatnya diturunkan dari hukum
absolute (Tuhan). alam dan konvensi/kebiasaan serta adat
istiadat masyarakat.
5. Pendidikan hendaknya bertujuan untuk Pendidikan bertujuan agar siswa mampu
mengembangkan bakat, kepribadian, menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
dan kebajikan sosial para siswa, agar dan mampu melaksanakan tanggungjawab
mereka sosial.
dapat melaksanakan kehidupan yang
baik di dalam masyarakat/negara sesuai
nilai-nilai yang diturunkan dari Yang
Absolut.
6. Kurikulum berisikan pendidikan liberal Kurikulum pendidikan berpusat kepada isi
dan pendidikan vokasional/praktis; mata pelajaran. Kurikulum tersebut harus
kurikulum harus memuat pengetahuan memuat pengetahuan dan nilai-nilai
dan nilai-nilai esensial kebudayaan; esensial kebudayaan yang diberlakukan
sebab itu kurikulum pendidikan sama untuk semua siswa.
cenderung sama untuk semua siswa.
7. Metode mengajar yang diutamakan Metode mengajar yang utama adalah
adalah beberapa metode yang efektif pembiasaan; para siswa hendaknya
yang mendorong belajar siswa belajar melalui pengalaman langsung
ataupun pengalaman tidak langsung.

5
8. Guru harus unggul dalam hal intelektual Peranan guru cenderung bersifat otoriter;
maupun moral; bekerjasama dengan guru harus menguasai pengetahuan dan
alam dalam proses pengembangan keterampilan teknik-teknik mengajar;
manusia; dan bertanggung jawab
menciptakan lingkungan pendidikan
bagi para siswa.
9. Siswa berperan bebas mengembangkan Siswa berperan untuk menguasai
kepribadian dan bakat-bakatnya. pengetahuan, harus taat pada aturan dan
disiplin.
(Sumber: Rohendi, Edi, dkk (2013: 66-69)

Dari penjelasan di atas,maka orientasi pendidikan Realisme memiliki


kesamaan dengan orientasi pendidikan Idealisme, yaitu Essensialisme. Pendidikan
Idealisme dan Realisme sama-sama menekankan pentingnya memberikan
pengetahuan dan nilai-nilai esensial bagi para siswa. Namun demikian, karena
kedua aliran tersebut memiliki perbedaan konsep mengenai filsafat umumnya
(hakikat: realitas, pengetahuan, manusia,dan nilai-nilai) yang menjadi landasan
bagi konsep pendidikannya, maka dapat dipahami pula jika kedua aliran itu tetap
berbeda dalam hal tujuan pendidikannya, kurikulum pendidikannya, metode
pendidikan, serta peranan guru dan peranan siswanya.
1. Landasan Filosofis Pendidikan Indonesia
Landasan filosofis sebagai salah satu fondasi dalam pelaksanaan pendidikan
berhubungan dengan sistem nilai. Sistem nilai merupakan pandangan seseorang
tentang “sesuatu” yang berkaitan dengan arti kehidupan (pandangan hidup).
Landasan Filosofis Pendidikan menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional adalah
pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”. Sehubungan dengan hal di atas, bangsa Indonesia
memiliki landasan filosofis pendidikan tersendiri dalam sistem pendidikan
nasionalnya, yaitu Pancasila. Bagi bangsa Indonesia, pandangan hidupnya adalah
Pancasila. Kita perlu mengkaji nilai-nilai Pancasila untuk dijadikan titik tolak
dalam rangka praktek pendidikan maupun studi pendidikan lebih lanjut.
Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia. Pancasila yang
dimaksud adalah Pancasila yang rumusannya terdapat dalam “Pembukaan”
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,

6
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/
Perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena Pancasila adalah
dasar Negara Indonesia, implikasinya maka Pancasila juga dijadikan dasar
pendidikan nasional. Sejalan dengan ini Pasal 2 Undang-Undang RI No. 20 Tahun
2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional”. Pancasila sebagai landasan filosofis
pendidikan mempunyai makna:
a. Dalam merumuskan pendidikan harus dijiwai dan didasarkan pada Pancasila.
b. Sistem pendidikan nasional haruslah berlandaskan Pancasila.
c. Hakikat manusia haruslah diwujudkan melalui pendidikan, sehingga tercipta
manusia Indonesia yang dicita-citakan Pancasila.
Landasan pendidikan nasional di Indonesia, terdiri atas:
a. Landasan ideal : Pancasila
b. Landasan konstitusional : UUD 1945
c. Landasan Operasional : GBHN

2. Landasan Filosofis Pendidikan dalam Islam


a. Pendidikan Islam dalam Tinjauan Filosofis
Sebelum menjelaskan definisi pendidikan Islam, di sini akan penulis
sampaikan beberapa definisi pendidikan menurut para pakar pendidikan.
Umumnya, beberapa pakar pendidikan Barat memberikan arti pendidikan sebagai
sebuah proses. Tepatnya, proses menjadikan manusia lebih baik dan tumbuh ke arah
yang lebih optimal.
Mortimer J. Adler mengartikan pendidikan sebagai proses, dimana semua
kemampuan dan bakat manusia dipengaruhi dengan pembiasaan, disempurnakan
dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, melalui sarana yang dibuat secara artistik
dan dipakai untuk membantu orang lain atau dirinya sendiri dalam rangka mencapai
tujuan yang ditetapkan, yaitu kebiasaan yang baik.
Pendidikan sebagai proses bertujuan untuk mengoptimalkan seluruh
kemampuan dan bakat yang dimiliki manusia. Optimalisasi tersebut dapat ditempuh
dengan cara pembiasaan, latihan, dan praktek yang berkesinambungan. Pendidikan
dapat dikatakan pula sebagai pembiasaan itu sendiri. Dalam proses pembiasaan
terdapat sarana-prasarana yang dibutuhkan guna menunjang proses pendidikan.

7
Tujuan dari serangkaian proses dan alat bantunya tersebut adalah untuk mencetak
insan manusia yang sempurna. Jadi, Mortimer J. Adler ingin mengatakan bahwa
pendidikan adalah proses mencetak kepribadian manusia menjadi lebih optimal dan
lebih baik, dimana seluruh potensi dan bakat alam yang dimilikinya dikembangkan
semaksimal mungkin.
Pendidikan sebagai proses juga disampaikan Herman H. Horne. Ia
berpendapat bahwa pendidikan harus dipandang sebagai proses penyesuaian diri
manusia secara timbal balik dengan alam sekitar, sesama manusia, dan tabiat
tertinggi kosmos.Manusia dapat belajar dari sesamanya, alam dan lingkungan
sekitar. Manusia yang fitrah, secara alamiah, memang dicetak oleh lingkungan.
Akan tetapi, setelah manusia mampu mengembangkan pikiran dan sering belajar
dengan merefleksikan kehidupan maka akan muncul timbal-balik antara manusia
dan lingkungannya.
Dalam konteks pengertian di atas, seorang individu tidak sepenuhnya
dipengaruhi oleh lingkungan melainkan juga berpeluang untuk mempengaruhi
lingkungannya. Pendidikan adalah proses penyesuaian diri dengan lingkungan,
sehingga selama proses penyesuaian tersebut terdapat unsur-unsur pembelajaran.
Individu dapat belajar dari lingkungannya namun lingkungannya juga dapat
mengambil pelajaran darinya. Dengan begitu, kehidupan itu sendiri adalah aktifitas
pendidikan, dimana manusia tidak dapat melepaskan diri dari proses penyesuaian
dengan sesamanya maupun lingkungannya.
Oleh karena itu, apabila pengertian di atas dijadikan landasan pemikiran
filosofi maka filsafat pendidikan mengakui bahwa manusia harus menemukan
dirinya sendiri sebagai suatu bagian integral dari alam rohani.Alam rohani yang
dimaksud adalah kondisi dimana setiap jiwa dan pribadi dapat dikembangkan
sesuai tingkat pembelajaran yang diperolehnya dari lingkungan dan sekitarnya.
Menemukan jati diri adalah kata kunci dari pengertian pendidikan Herman H.
Horne. Sebab, manusia yang sudah mengenal jati dirinya akan berusaha
mengidentifikasi diri dan menyeleksi hal-hal lain di luar dirinya. Interaksi antara
diri dan hal-hal lain menjadi suatu proses penyesuaian diri atau pendidikan.
Namun, lebih jauh lagi, pendidikan tidak hanya menumbuhkan melainkan

8
mengembangkan ke arah tujuan akhir. Pendidikan juga tidak hanya suatu proses
yang sedang berlangsung melainkan suatu proses yang berlangsung ke arah
sasarannya. Dalam pengertian analisis, pendidikan pada hakikatnya adalah
membentuk kemanusiaan dalam citra Tuhan. Dengan kata lain, proses penyesuaian
diri maupun aktifitas belajar dari lingkungan sekitar memiliki tujuan akhir yang
jelas. Tujuan akhir ini bisa disebut pula sebagai visi dalam pendidikan.
Sementara pengertian pendidikan Islam, menurut Omar Muhammad al-
Touny al-Syaebani, adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan
pribadi, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya melalui proses kependidikan.
Tentunya, tingkah laku yang perlu diubah adalah tingkah laku yang tidak segaris
dengan ajaran-ajaran islam, kemudian diarahkan ke jalan yang islami. Usaha
mengubah adalah pendidikan itu sendiri, sementara visi keislaman menjadi tujuan
akhir dari pendidikan Islam.
Di sinilah letak perbedaan pendidikan yang Islami dan sekuler. Pendidkan
Islam memiliki orientasi pendidikan yang terbatas dan dibatasi oleh nilai-
nilaikeislaman. Pendidikan Islam berakhir pada terciptanya insan kamil yang
sejalan dengan nilai-nilai islami. Sekalipun nilai-nilai kemanusiaan menjadi salah
satu yang diperjuangkan dalam pendidikan Islam namun dengan catatan bahwa
nilai kemanusiaan tersebut harus berakar pada ajaran Islam. Berbeda dengan
pendidikan yang sekuler, dimana nilai baik yang akan dituju oleh proses pendidikan
belum dibatasi secara jelas, apakah oleh nilai-nilai dalam filsafat kemanusiaan
ataukah nilai-nilai dalam ajaran Kristen yang dominan.
Selanjutnya, pengertian pendidikan Islam datang dari hasil rumusan
Seminar Pendidikan Islam se-Indonesia 1960, yang memberikan pengertian
pendidikan Islam sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani
menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih,
mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam. Ada semacam
pengayoman terhadap anak didik, sehingga perjalanan proses kependidikan selalu
terpantau dan terdeteksi.
Pengayoman dapat diterima sebagai suatu kekhasan yang dimiliki oleh
dunia pendidikan ala Indonesia. Seorang pendidik yang bertugas menumbuh

9
kembangkan kepribadian anak didik tidak berhenti pada tataran menyampaikan
atau transformasi ilmu semata. Pengayoman yang berupa mengarahkan,
mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi sangatlah dibutuhkan. Tenaga
pengajar bagaikan orang tua. Orang tua kedua setelah orang tua anak didik yang
melahirkannya. Tentu saja, pendidikan Barat belum sepenuhnya memiliki konsep
kependidikan yang sedemikian indahnya.
Di samping itu, istilah membimbing, mengarahkan, mengasuh,
mengajarkan atau melatih mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak
didik melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu
menanamkan takwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran, sehingga
terbentuklah manusia dengan kepribadian luhur sesuai ajaran Islam. Atau juga
dapat dikatakan sebagai pendidikan atau pengajaran ‘sepanjang masa’. Guru tidak
sekadar bertugas di dalam ruang kelas melainkan juga bertanggung jawab di luar
kelas.
Terlepas apakah idealisme ini terlalu utopis, yang jelas, dunia pendidikan
membutuhkan pengayoman sepanjang hayat, pengajaran yang tidak hanya di dalam
kelas, sehingga perilaku anak didik terus terpantau dan terhindar dari
penyelewengan. Penyelewengan adalah keinginan anak didik untuk berjalan di luar
rel-rel yang dikehendaki dunia pendidikan. Kecenderungan untuk tidak mematuhi
aturan yang mengantarkan pada visi pendidikan selalu ada dalam watak dasariah
manusia. Antisipasi terhadap penyelewengan inilah yang menjadi tujuan utama dari
pengayoman.
Kongres se-Dunia ke-II tentang Pendidikan Islam mendefinisikan bahwa
pendidikan Islam ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan pribadi
manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran,
kecerdasan, perasaan dan panca indera. Pendidikan Islam harus mengembangkan
seluruh aspek kehidupan manusia, baik spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah,
keilmihannya, bahasa, baik secara individual maupun kelompok, serta mendorong
aspek-aspek tersebut ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan.
Integrasi dan interkoneksi menjadi ciri khas pendidikan Islam. Dikotomi
ilmu pengetahuan adalah suatu konsep yang tidak dikenal dalam Islam. Sekalipun

10
sebagian intelektual muslim klasik mencoba membagi atau mendikotomi ilmu
antara yang duniawi dan yang ukhrawi, namun usaha tersebut harus
diinterpretasikan sebagai klasifikasi untuk mempermudah, bukan sebagai dikotomi
untuk menjauhkan satu sama lain. Sebab, insan kamil yang diinginkan pendidikan
Islam adalah manusia yang menguasai seluruh pengetahuan dan mengintegrasikan
aspek-aspek spiritualitas, intelektualitas, skill, dan potensi-potensi lain.
Dalam kaitannya dengan esensi pendidikan Islam yang dilandasi filsafat
pendidikan yang benar dan mengarahkan proses kependidikan Islam, pendidikan
yang harus diselenggarakan umat muslim adalah pendidikan keberagamaan yang
berlandaskan keimanan, yang berpijak pada filsafat pendidikan yang universal.
Dengan kata lain, nilai-nilai agama adalah tujuan akhir yang hendak dicapai,
sedangkan filsafat yang universal adalah perangkat utama yang sepenuhnya
dibutuhkan guna bisa tiba di stasiun terakhir.
Keimanan adalah dasar pendidikan yang benar, karena iman mengarahkan
manusia ke arah akhlak mulia. Akhlak mulia memimpin manusia ke arah usaha
mendalami hakekat dan menuntut ilmu yang benar. Sedangkan ilmu yang benar
mendorong manusia ke arah amal sholeh.Bermula dari keimanan dan berakhir pada
amal sholeh yang bermanfaat bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara.
Kebermanfaatan individu di mata dunia hanya bisa ditempuh dengan cara mencetak
diri menjadi insan kamil (sempurna).
Alhasil, pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan menusia kepada
kehidupan yang baik (sesuai dengan ajaran Islam) dan mengangkat derajat
kemanusiaannya, sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan
ajarnya. Tidak ada definisi mutlak tentang pendidikan Islam. Namun, ini
merupakan usaha untuk memetakan konsepsi tentang apa yang harus ditempuh
tenaga pendidik, tujuan kependidikan, dan hal-hal yang perlu dicapai.
b. Tujuan Pendidikan Islam dalam Tinjauan Filosofis
Dari beberapa definisi pendidikan Islam yang sudah dikemukakan di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan Islam berarti berbicara
tentang nilai-nilai ideal yang bercorak islami atau tujuan yang merealisasi idealitas
Islami. Adapun yang dimaksud dengan Idealitas Islami pada hakikatnya

11
mengandung nilai perilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan takwa
kepada Allah Swt.
Menurut Hasan Langgulung sebagaimana disebutkan Abuddin Nata bahwa
tujuan pendidikan agama harus mampu mengakomodasikan tiga fungsi utama dari
agama, yaitu fungsi spiritual yang berkaitan dengan akidah dan iman, fungsi
psikologis yang berkaitan dengan tingkah laku individual termasuk di dalamnya
niali akhlak, dan fungsi sosial yang berkaitan dengan aturan-aturan yang
menghubungkan manusia dengan manusia lain serta masyarakat dengan
masyarakat yang lain sehingga terjalin hubungan yang harmonis dan seimbang.
Dalam ajaran Islam pun sesungguhnya sudah memberikan tuntunan
yangnyata kepada para pendidik melalui firman Tuhan: “Tidaklah Aku
mengutusmu Muhammad, melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam”.
Dari beberapa penjelasan tentang tujuan pendidikan Islam menurut
pandangan para ahli setidaknya terdapat ciri-ciri sebagai berikut; (1) mengarahkan
manusia agar menjadi khalifah Tuhan di muka bumi dengan sebaik-baiknya, yakni
melaksanakan tugas untuk memakmurkan dan mengolah bumi sesuai dengan
kehendak Tuhan, (2) mengarahkan manusia agar dalam melaksanakan tugas
kekhalifahannya tersebut dalam rangka tujuan ibadah kepada Allah (3)
mengarahkan manusia agar berakhlak mulia, sehingga dalam melaksanakan tugas
kekhalifahannya tidak disalah gunakan, (4) membina dan mengarahkan potensi
akal, jiwa, dan jasmaninya, sehingga ia memiliki ilmu, akhlak dan keterampilan
yang dapat mendukung keberhasilan dalam mengemban tugas sebagai khalifah, dan
(5) mengarahkan manusia agar dapat mencapai kebahagiaan hidup di duniadan
akhirat.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa hakikat dari tujuan pendidikan Islam
tidak lain adalah membentuk manusia yang baik, manusia yang beribadah kepada
Allah serta mampu mengemban amanat dan tugasnya sebagai khalifah di muka
bumi
c. Metode Pendidikan Islam dalam Tinjauan Filosofis
Filsafat pendidikan Islam tentu sangat diperlukan sebagai aplikasi filsafat
dalam pendidikan. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pendirian lembaga

12
pendidikan senantiasa berhubungan dengan individu dan masyarakat yang
menyelenggarakan dan mengkonsumsi pendidikan. Oleh karena itu, pengelola
pendidikan harus memahami filsafat pendidikan sebagai basis penyelenggaraan dan
pelaksanaan pendidikan, termasuk di dalamnya metode dalam pendidikan.
Metode merupakan langkah atau cara menyelenggarakan pendidikan.
Karenanya, metode merupakan salah satu hal krusial yang perlu dirumuskan.
Herman H. Horne memberikan pembatas arti metode dalam pendidikan sebagai
suatu prosedur dalam mengajar. Suatu metode atau kombinasi metode yang
dipergunakan dapat diidentifikasi, walaupun seorang pengajar tidak menyadari
sama sekali permasalahan metode. Suatu prinsip metode yang sering diikuti adalah
“ajarlah orang lain seperti orang lain pernah mengajarmu”. Dalam serangkaian
aktifitas belajar-mengajar, metode seringkali menjadi satu hal yang inheren,
sehingga pengajar maupun pelajar kerap mengabaikannya. Karenanya, sekalipun
tidak dipikirkan, metode tetap includ di dalam proses kependidikan.
Menurut H.M. Arifin metode dalam pandangan filosofis pendidikan
merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu
mempunyai fungsi yang bersifat polipragmatis yakni bilamana metode itu
mengandung kegunaan yang serba ganda di satu sisi memberikan manfaat dan
berdampak positif namun di sisi lain bisa menjadi sesuatu yang membahayakan dan
berdampak negatif sebagaimana media yang berbasis IT (informsi teknologi) dan
monopragmatis atau alat yang hanya dapat dipergunakan untuk mencapai satu
macam tujuan saja seperti laboratorium.
Dalam sejarah pendidikan Islam, para pendidikan muslim menerapkan
berbagai metode mendidik dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Al-Ghazali
mengatakan, seorang pendidik harus menggunakan pengaruhnya serta cara yang
tepat guna sukses dalam tugas. Penggunaan pengaruh cenderung menjadi suatu alat
kontrol terhadap peserta didik untuk tetap berada dalam naungan pengawasan dan
pengarahan pendidik. Wibawa seorang guru, misalnya, menjadi salah satu alat
kontrol. Wawasan keilmuan yang luas juga dapat menjadi alat kontrol. Di bawah
pengaruh wibawa dan wawasan keilmuan seorang guru maka peserta didik dapat
dikontrol, diarahkan, dan dicetak sesuai visi pendidikan.

13
Seorang guru atau tenaga pendidik bukan semata berkewajiban
mentransformasi keilmuan melainkan juga membimbing perkembangan akhlak dan
spiritualitas anak didik. Metode pendidikan Islam tidak berhenti membicarakan
langkah-langkah yang sebatas menularkan teori-teori pengetahuan melainkan juga
bagaimana anak dapat menerapkannya dalam kehidupan, disertai dengan perilaku
sehari-hari yang sejalan dengan tuntunan agama. Alhasil, metode pendidikan Islam
harus memperhatikan semua aspek kepribadian anak didik.
Landasan adalah sesuatu yang menjadi sandaran semua dasar dalam suatu
bangunan, sedangkan dasar adalah fundamen yang menegakkan suatu bangunan,
sehingga menjadi kuat dan kokoh dalam pengembangan pendidikan Islam.
Dalam usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk mencapai suatu
tujuan harus mempunyai landasan yang tepat sebagai tempat berpijak yang baik dan
kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagai suatu usaha dalam membentuk
manusia dan peradabannya harus mempunyai landasan yang kuat ke mana semua
kegiatan itu dihubungkan atau disandarkan, baik sebagai sumber maupun dasar
yang menjadi pedoman penerapan dan pengembangannya (Darajad,
Zakiyah,1996:35) Landasan itu terdiri dari al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad
saw.
Filsafat pendidikan Islam merupakan kajian filosofis mengenai pendidikan
Islam yang didasarkan al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber primer, dan
pendapat para ahli, khususnya para filosof muslim sebagai sumber sekunder.
Menurut Nata, Abudin (1997:35), filsafat Islam adalah “Filsafat pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam”.
Maka akan dijelaskan secara rinci seperti berikut ini:
a. Al-Qur’an (kalamullah)
Al-Qur’an sebagai kalamullah yang mencakup segala aspek persoalan
kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan pencipta-Nya, sesama manusia dan
alam semesta yang merupakan persoalan mendasar dalam setiap kehidupan
manusia. Al-Qur’an memiliki gagasan mendasar yang amat luas dalam berbagai
bidang kehidupan manusia yang semuanya dapat dan harus dijadikan sebagai
landasan dasar utama dalam pengembangan Pendidikan Islam. Kedudukan al-

14
Qur’an dalam kerangka Pendidikan Islam bukan saja sebagai dasar bahkan menjadi
sumber yang sangat berharga untuk terus digali, dipahami dan diambil intisarinya
untuk senantiasa diaktualisasikan dalam hidup dan kehidupan manusia.
Semua huruf, lafadz, dan makna Al-Qur’an termasuk Kalamullah. Dalil
bahwa Al-Qur’an itu Kalamullah (Firman Allah), yaitu firman Allah Ta’ala
dalam Surah At – Taubah ayat 6:

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan


kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah (Al-
Qur’an), kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu
disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui” (At-Taubah: 6)

Al-Qur’an berisi segala hal mengenai petunjuk yang membawa hidup


manusia bahagia di dunia dan akhirat kela. Al-Qur’an berisi petunjuk segala sesuatu
yang dengan jelas dinyatakan dalam ayat lain, Q.S. An-Nahl ayat 89:

“...dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
berserah diri” (An-Nahl :89).
b. As-Sunnah
As-Sunnah bermakna seluruh sikap, perkataan dan perbuatan Rasulullah
saw. dalam menerapkan ajaran Islam serta mengembangkan kehidupan umat

15
manusia yang benar-benar membawa kepada kerahmatan bagi semua alam,
termasuk manusia dalam mengaktualisasikan diri dan kehidupannya secara utuh
dan bertanggung jawab bagi keselamatan dalam kehidupannya. Kedudukan as-
Sunnah dalam kehidupan dan pemikiran Islam sangat penting, karena di samping
memperkuat dan memperjelas berbagai persoalan dalam al-Qur’an, juga banyak
memberikan dasar pemikiran yang lebih kongkret mengenai penerapan berbagai
aktivitas yang mesti dikembangkan dalam kerangka hidup dan kehidupan umat
manusia.
c. Pemikiran Islam
Pemikiran Islam yakni penggunaan akal budi manusia dalam rangka
memberikan makna dan aktualisasi terhadap berbagai ajaran Islam yang
disesuaikan dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan zaman yang muncul
dalam kehidupan umat manusia dalam berbagai bentuk persoalan untuk dicarikan
solusinya yang diharapkan sesuai dengan ajaran
Islam.
d. Sejarah Islam
Sejarah (kebudayaan) Islam merupakan segala dinamika kehidupan dan
hasil karya masa lampau yang pernah dan terus dikembangkan dalam kehidupan
umat Islam secara terus menerus. Semua ini akan memberikan gambaran bagi
pembinaan dan pengembangan Pendidikan Islam yang dapat dijadikan landasan
sebagai sumber penting pendidikan Islam.
e. Realitas Kehidupan
Realitas kehidupan sekarang ini, yakni kenyataan realitas yang tampak
dalam kehidupan secara keseluruhan terutama menyangkut manusia dengan segala
dinamikanya, kenyataan alam semesta dengan segala ketersediaannya. Dengan
demikian realitas ini menyangkut kehidupan manusia dan berbagai makhluk
lainnya serta alam semesta ini semuanya merupakan sumber dalam rangka
pengembangan pendidikan Islam.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa landasan dasar pendidikan Islam
adalah suatu dasar, landasan yang menjadi sumber dibangun dan dikembangkannya
pendidikan Islam baik secara filosofis, maupun teoritis dan empiris dalam dunia

16
pendidikan Islam. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa pemikiran mengenai
landasan yang menjadi sumber dasar pendidikan Islam adalah al-Qur’an, as-sunnah,
pemikiran Islam, sejarah Islam dan realitas kehidupan.
3. Landasan Filosofis Pandangan Barat
Filsafat pada dasarnya merupakan pernyataan secara sengaja tentang suatu
kebudayaan tertentu, kekhususan pada adat-istiadat, pola tingkah laku, ide-ide,
maupun sistem nilai. Filsafat juga bisa berarti sebagai suatu ekspresi atau
interpretasi secara objektif tentang watak nasional suatu bangsa. Amerika
merupakan suatu negara yang dibentuk dari bangsa-bangsa asing yang
mendiaminya. Mereka secara sadar memilih menjadi warga negara Amerika.
Filsafat Amerika Serikat senasib dengan kebudayaan Amerika pada
umumnya. Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan Amerika Serikat mempunyai ciri
khas yaitu tidak mempunyai tradisi yang panjang. Karena itu, ia belum pernah
mempunyai wajah sendiri. Kebudayaannya bersandar pada "self made man".
Apabila kita lihat, pandang secara cermat, ciri yang penting adalah perkembangan
material dan tekniknya. Perkembangan ini sangat mempengaruhi alam pemikiran
bangsa tersebut. Pengaruh itu jelas dalam pragmatisme.
Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah amerika merupakan
negara yang dibentuk dari bangsa-bangsa asing yang mendiaminya. Kondisi
tersebut berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia, karena pada umumnya suatu
negara dibentuk dari penduduk-penduduk asli bangsanya. Meskipun demikian,
kegiatan pendidikan di Amerika tetap berpijak pada landasan kependidikan yang
berupa pemikiran kefilsafatan/keilmuwan/wawasan-wawasan lain.
Istilah pragmatisme berasal dari kata Yunani "pragma" yang berarti
perbuatan atau tindakan. "Isme" di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya
yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme berarti:
ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria
kebenarannya adalah "faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis dianggap
oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori
adalah benar if it works (apabila teori dapat diaplikasikan).

17
Progmatisme muncul sebagai usaha refleksi analitis dan filosofis mengenai
kehidupan Amerika sendiri yang dibuat oleh orang Amerika di Amerika sebagai
suatu bentuk pengalaman mendasar, dan meninggalkan jejaknya pada setiap
kehidupan Amerika. Oleh karena itu ada suatu alasan yang kuat untuk meyakini
bahwa pragmatisme mewakili suatu pandangan asli Amerika tentang hidup dan
dunia. Atau barangkali lebih tepat kalau dikatakan bahwa pragmatisme
mengkristalisasikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang telah menentukan
perkembangan Amerika sebagaimana menggejala dalam berbagai aspek
kehidupannya, misalnya dalam penerapan teknologi, kebijaksanaan-kebijaksanaan
politik pemerintah, dan sebagainya.
Menurut Putu Sudira, dkk (2014), Pragmatisme merupakan gerakan filsafat
Amerika yang begitu dominan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Bangsa
Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dengan Amerika sehingga Popkin dan
Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari
Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di
Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang
kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok
pembahasan dalam filsafat barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya
menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan
dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan “what is” harus dieliminir dengan
“what for”. Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat
disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies].
Dalam perkembangannya lebih lanjut, filsafat tersebut diterapkan dalam
setiap bidang kehidupan manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang
tindakan manusia, maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang
penerapan dari filsafat yang satu ini. Dan karena metode yang dipakai sangat
populer untuk di pakai dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu,
karena menyangkut pengalaman manusia sendiri, filsafat inipun segera menjadi
populer. Dan filsafat ini yang berkembang di Amerika pada abad ke-19 sekaligus
menjadi filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya seperti Charles Sander

18
Peirce, William James, dan John Dewey menjadi sebuah aliran pemikiran yang
sangat mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika.
Namun filsafat ini akhirnya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode
dalam mengambil keputusan, melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut
kebijaksanaan tertentu. Lebih dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang
khas Amerika, ia dikenal sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model
bertindak, dan model praktis Amerika.
Bagi kaum pragmatis, untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal
penting. Pertama, ide atau keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil
untuk melakukan tindakan tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu
sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket
tunggal dari metode bertindak yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide
atau keyakinan itu yang ingin direalisasikan.
Untuk merealisasikan ide atau keyakinan itu, manusia mengambil
keputusan yang berisi: akan dilakukan tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau
keyakinan tadi. Dalam hal ini, sebagaimana diketahui oleh Peirce,
tindakan tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu tidak
lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau konsekwensi
praktis dari adanya tindakan itu.
B. Landasan Sosiologis Pendidikan
1. Pengertian Landasan Sosiologis Pendidikan
Sosiologi lahir pada abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan
tentang masyarakat. Istilah sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August
Comte (1798 – 1857). Secara etimologi sosiologi berasal dari kata sosios dan
logos.Sosios artinya masyarakat/sosial, logos artinya ilmu. Dengan demikian dapat
dipahami sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam
kelompok – kelompok dan struktur sosialnya. Sosiologi mempunyai ciri – ciri
(Bachri, 2002):
a. Empiris, adalah ciri utama sosiologi sebagai ilmu, sebab bersumber dan
diciptakan dari kenyataan yang terjadi di lapangan.

19
b. Teoritis, adalah peningkatan fase penciptaan yang menjadi salah satu bentuk
budaya disimpan dalam waktu lama dan dapat diwariskan kepada generasi
berikutnya.
c. Komulatif, adalah akibat dari penciptaan terus – menerus sebagai konsekuensi
dari terjadinya perubahan di masyarakat, yang membuat teori – teori itu akan
berkomulasi mengarah kepada teori yang lebih baik.
d. Nonetis, artinya teori ini menceritakan apa adanya tentang masyarakat beserta
individu– individu di dalamnya, tidak menilai apakah hal itu baik atau buruk.
Dengan demikian, landasan sosiologi pendidikan berkenaan dengan
perkembangan, kebutuhan dan karakteristik masayarakat., dimana manusia di
dalamnya sebagai makhluk sosial, menjadikan sosiologi sebagai landasan bagi
proses dan pelaksanaan pendidikan. Sebab kegiatan pendidikan merupakan wujud
usaha untuk mengembangkan potensi pada masyarakat. Selain itu, karakteristik
dasar manusia sebagai makhluk sosial akan berkembang dengan baik dan
menghasilkan kebudayaan-kebudayaan yang bernilai serta peradaban tinggi
melalui pendidikan.
a. Landasan Sosiologis Pendidikan dalam Islam
Dasar-dasar sosiologis pendidikan Islam tercermin secara mendasar dengan
adanya kerjasama yang kondusif antara pendidikan keluarga, sekolah dan
masyarakat, akan terwujud kontrol pendidikan yang baik. Inilah yang akan
menghasilkan siswa dan siswi yang berakhlakul karimah, yang nantinya selain
membanggakan orang tua dan guru, juga masyarakat sebagai pemakai hasil
pendidikan. Dengan demikian jelaslah bahwa tanggung jawab dalam Islam bersifat
perorangan dan sosial. Selanjutnya siapa yang memiliki syarat-syarat tanggung
jawab ini tidak hanya bertanggung jawab terhadap perbuatanya dan perbaikan
dirinya tetapi juga bertanggung jawab terhadap perbuatan orang-orang yang berada
di bawah perintah, pengawasan tanggungannya dan perbaikan masyarakat.
1) Keluarga Muslim dan Masyarakat
Lingkungan pendidikan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang
pertama dan utama dalam membantu pelaksanaan pendidikan formal dan
nonformal. Sedemikian pentingnya lingkungan pendidikan keluarga ini maka

20
tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak merupakan tanggung jawab
hakiki dan qudrati yang diminta pertanggung jawabanya disisi Allah SWT.
Keluarga sebagai unit kecil dalam masyarakat yakni persekutuan antar sekelompok
orang yang mempunyai pola-pola kepentingan masing-masing dalam
mendidik anak yang belum ada dilingkunganya. Kegiatan pendidikan dalam
lembaga ini tanpa ada suatu organisasi yang ketat. Tanpa ada program waktu dan
evaluasi. Menurut Islam keluarga dikenal dengan istilah “usrah” dan” Nasb:,
Sejalan dengan pengertian di atas, keluarga juga diperoleh lewat persusuan
dan pemerdekaan. Keluarga merupakan orang pertama, dimana sifat kepribadian
akan tumbuh dan terbentuk. Seorang akan menjadi warga masyarakat yang baik,
bergantung pada sifatnya yang tumbuh dalam kehidupan keluarga dimana ia
dibesarkan. Melihat peran yang dapat dimainkan oleh keluarga maka tidak
berlebihan bila Sidi Gazalba seperti yang dikutip oleh Ramayulis, mengkategorikan
keluarga sebagai jenis lembaga pendidikan primer, utamanya untuk masa bayi dan
masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam lembaga ini sebagai pendidik adalah
orang tua, kerabat, famili dan sebagainya. Orang tua selain sebagai pendidik, juga
sebagai penanggung jawab.(Ramayulis, 2008: 282)
Keluarga Islam bagi umat muslim bagaikan tembok pertahanan yang harus
selalu kokoh bangunannya serta kuat pondasinya, tembok pertahanan dapat selalu
berdiri tegak jika dijaga dan diawasi supaya tidak dapat diruntuhkan oleh musuh,
begitu pula keutuhan rumah tangga dapat terjaga dengan anggota keluarga yang
Islami, masyarakat Islam tidak dapat dibangun hanya mengandalkan peranan laki-
laki, tetapi peranan perempuan sangat diperlukan untuk menumbuhkan benih yang
menjadi generasi masa depan. Keluarga Islam merupakan pondasi dasar
terbentuknya bangunan masyarakat Islam, bagian paling utama dalam keluarga
Islam adalah ibu, seorang bapak yang baiktidak dapat membangun sebuah keluarga
Islam tanpa bantuan seorang ibu yang juga baik, karena ibu yang baik dapat
melahirkan anak-anak yang saleh. Seorang penyair bertutur (Hidayatullah Ahmad
Syas, 2008: 92)
Akhlak anak-anak yang santun, Cermin dari akhlak ibu yang baik. Ibu
rumah tangga yang berprilaku baik, tidak sama dengan yang berprilaku buruk.

21
Bagaimana anak tumbuh cerdas, jika diasuh oleh ibu yang tidak berilmu.
Bagaimana mengharapkan anak yang sehat, jika menelan asi yang buruk.
Islam sangat memperhatikan terhadap keluarga yang baik, sebab, keluarga
yang baik berperan dapat mengarahkan anak-anaknya kepada kebaikan dan
kesalehan; ibu memberikan asi dengan penuh ketulusan, menyuapkan makanan dan
menyampaiakan nilai-nilai luhur kehidupan, selalu mengingatkan kepada Allah dan
Rasulnya agar selalu bertakwa dan mencintai dengan Islam, anak akan tumbuh
dengan karakter yang dimilikinya, Rasulullah SAW. menegaskan akan pentingnya
peranan keluarga sebagaimana yang dinyatakan oleh pakar psikologi dan ahli
genetika, hadits beliau: “Pilihlah Ibu untuk anak-anak kalian, nikahi yang sepadan”,
Nabi juga berpesan: “Pilihlah untuk anak-anak kalian tempat yang baik”.
2) Keluarga adalah Fondasi Masyarakat
Keluarga menurut pengertian yang umum adalah satuan kekerabatan yang
sangat mendasar di masyarakat yang terdiri atas ibu, bapak dan anak sedangkan
menurut Hasan Ayub menjelaskan bahwa keluarga adalah suatu kumpulan manusia
dalam kelompok kecil yang terdiri atas suami, istri,dan anak-anak. Kumpulan dari
beberapa keluarga disebut masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
keluarga merupakan organisasi terkecil dari suatu masyarakat, masyarakat terus
berkembang baik secara horizontal maupun vertical menjadi suku dan atau bangsa.
Dalam organisasi terkecil yang membentuk bangsa ini terdapat berbagai
instrument. Insrumen-instrumen itu harus berfungsi secara sistemik dan organik,
baik yang menyangkut maupun kewajiban, guna menopang laju dan
berkembangnya organisasi terrkecil tersebut. Jika instrumen-instrumen itu tidak
berjalan sebagaimana mestinya, perjalanan keluarga akan mengalami goncangan
yang bisa mempengaruhi keajegan masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, setiap
anggota yang terlibat didalamnya yaitu suami, istri dan anak harus mengetahui dan
menjalankan hak dan kewajiban mereka masing-masing secara fungsional. Dilihat
dari segi ini keluarga berperan sebagai tiang dan penyangga masyarakat yang
menentukan arah dan gerak laju bangsa menuju kehidupan sejahtera yang diridhai
Allah SWT, Negara yang baik dibawah naungan ampunan Tuhan.

22
Hasan Ayub menerangkan bahwa kehidupan keluarga suami istri dilandasi
dengan sifat saling membutuhkan, hubungan perasaan, dan saling memberi
perhatian. Mengenai saling membutuhakan alQuran menjelaskan bahwa wanita
merupakan bagian dari laki-laki. Oleh karana itu keduanya tidak bisa hidup sendiri-
sendiri (QS, al A’raf: 189 dan al Baqarah:187).
Arti dan maksud dari katanafswahidah dalam surat yang disebut pertama,
adalah Nabi Adam a.s; dan libas dalam surat yang disebut kedua, arti asalnya
pakaian yang kemudian beralih ke arti penyatuan hubungan suami istri. Libas dalam
pengertian pertama berfungsi sebagai penutup yang sapat dipergunakan oleh suami
istri untuk saling menutupi kelemahan pasangannya. Adapun libas dalam
pengertian kedua menunjukkan menyatunya suami istri baik alam proses awal
penciptaan manusia maupun dalam keluarga. Sifat hubungan perasaan antara suami
istri digambarkan alquran (surat al-Rumayat 21). Perasaan yang dimaksud dalam
ayat itu adalah perasaan tenang dan tenteram yang terlahir dari cinta kasih antara
pasangan suami istri yang mendapat rahmat Allah.
b. Landasan Sosiologis Pendidikan Indonesia
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber
dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami
kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, maka yang menjadi perhatian adalah pola
hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyrakat tersebut. Untuk
mewujudkan kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai
sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat
kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota
masyarakat.
Menurut Natawidjaja, et. al (2007:68), Dalam kehidupan bermasyarakat
terdapat tiga macam norma yang dianut, yaitu:
1) paham individualisme,
2) paham kolektivisme,
3) paham integralistik.
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia lahir merdeka dan
hidup merdeka. Masing-masing individu boleh berbuat apa saja sesuai

23
keinginannya masing-masing, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain.
Dampak individualisme menimbulkan cara pandang lebih mengutamakan
kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti
ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu
dengan yang lain saling berkompetisi menimbulkan dampak untuk selalu menang
dalam bersaing. dimana yang kuat yang dapat mengembangkan dirinya.
Paham kolektivisme dan paham integralistik memiliki pandangan yang
berbeda dari paham individualaisme. Paham kolektivisme memberikan kedudukan
yang berlebihan kepada masyarakat, sedangkan kedudukan anggota masyarakat
secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Paham integralistik
menganut pandangan bahwa masing-masing anggota masyarakat saling
berhubungan erat satu sama lain secara organis sebagai masyarakat. Paham ini juga
menunjukkan manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sudah memiliki sifat sosial
sejak bayi, sebagai potensi yang dibawa sejak lahir. Terdapat beberapa faktor yang
menunjukkan manusia sebagai makhluk sosial : a) Sifat ketergantungan manusia
dengan manusia lainnya, b) Sifat adaptability dan intelegensi.
Meurut Umar (2005:96), landasan sosiologi pendidikan di Indonesia
menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat:
(1) kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2)
kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi
warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh
karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia
secara orang per orang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.
c. Landasan Sosiologis Pandangan Barat
Sosiologi lahir dalam abad ke-19 di Eropa, karena pergeseran pandangan
tentang masyarakat sebagai ilmu empiris yang memperoleh pijakan yang kokoh.
Sosiologi sebagai ilmu yang otonom dapat lahir karena terlepas dari pengaruh
filsafat. Nama sosiologi untuk pertama kali digunakan oleh August Comte (1798-
1857) pada tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan positif yang
memepelajari masyarakat. Sosiologi mempelajari berbagai tindakan sosial yang
menjelma dalam realitas sosial. Mengingat banyaknya realitas sosial, maka lahirlah

24
berbagai cabang sosiologi seperti sosiologi kebudayaan, sosiologi ekonomi,
sosiologi agama, sosiologi pengetahuan, sosiologi pendidikan, dan lain-lain.
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu,
bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda memperkembangkan
diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan
sengaja dibentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologi pada pendidikan semakin
intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan
tersebut maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan. Ciri-ciri sosiologis pendidikan
:
1) Empiris adalah adalah ciri utama sosiologi sebagai ilmu, Sebab bersumber dan
diciptakan dari kenyataan yang terjadi di lapangan.
2) Teoritis adalah peningkatan fase penciptaan yang menjadi salah satu bentuk
budaya yang bisa disimpan dalam waktu lama dan dapat diwariskan kepada
generasi muda.
3) Komulatif adalah sebagai akibat dari penciptaan terus – menerus sebagai
konsekuensi dari terjadinya perubahan di masyarakat, yang membuat teori –
teori itu akan berkomulasi mengarah kepada teori yang lebih baik.
4) Nonetis adalah karena teori ini menceritakan apa adanya tentang masyarakat
beserta individu– individu di dalamnya, tidak menilai apakah hal itu baik atau
buruk.
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber
dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami
kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola
hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Kehidupan
bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu:
1) Paham individualisme
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan
hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya,
asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme
menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di
atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk

25
mencapai pengembangan diri, antara anggota masyarakat satu dengan yang lain
saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat.
2) Paham kolektivisme
Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada
masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah
sebagai alat bagi masyarakatnya.
3) Paham integralistik
Paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota
masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan
masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara
individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan
juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan
tanpa merugikan kepentingan pribadi.

A. Ruang Lingkup Sosiologis Pendidikan


Menurut Natawidjaja, et. al (2007:45), Dalam sistem pendidikan, ruang
lingkup yang dipelajari oleh sosiologi pendidikan meliputi empat bidang, yaitu:
a. Hubungan sistem pendidikan dengan sistem sosial lainnya, yang mempelajari:
1) Fungsi pendidikan dalam kebudayaan, 2) Hubungan sistem pendidikan dan
proses control social dan sistem kekuasaan. 3) Fungsi sistem pendidikan dalam
memelihara dan mendorong proses sosial dan perubahan kebudayaan, 4)
Hubungan pendidikan dengan kelas sosial atau sistem status, 5) Fungsionalisme
sistem pendidikan formal dalam hubungannya dengan ras, kebudayaan, atau
kelompok-kelompok dalam masyarakat.
b. Hubungan kemanusian dalam sistem pendidikan yang meliputi: 1) Sifat
kebudayaan sekolah khususnya yang berbeda dengan kebudayaan di luar
sekolah 2) Pola interaksi sosial atau sruktur masyarakat sekolah.
c. Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya, yang mempelajari: 1) Peranan
sosial guru 2) Sifat kepribadian guru, 3) Pengaruh kepribadian guru terhadap
tingkah laku siswa 4) Fungsi sekolah dalam sosialisasi anak-anak

26
d. Pola interaksi antara sekolah dengan kelompok social lain didalam
komunitasnya, yang meliputi: 1) Pelukisan tentang komunitas seperti tampak
dalam pengaruhnya terhadap organisasi sekolah 2) Analisis tentang proses
pendidikan seperti tampak terjadi pada sistem sosial komunitas kaum tidak
terpelajar 3) Hubungan antara sekolah dan komunitas dalam fungsi
kependidikannya 4) Faktor-faktor demografi dan ekologi dalam hubungannya
dengan organisasi sekolah.
Keempat bidang yang dipelajari tersebut sangat esensial sebagai saran untuk
memahami sistem pendidikan dalam kaitannya dengan keseluruhan hidup
masyarakat. Kajian sosiologi tentang pedidikan pada prinsipnya mencakup semua
jalur pendidikan, baik pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah,
terutama apabila di tinjau dari sosiologi maka pendidikan keluarga sangat penting
karena keluarga merupakan lembaga social yang pertama bagi setiap manusia.

B. Fungsi Kajian Sosiologis Pendidikan


Sosiologi pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi
mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses
pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut
kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal. Sosiologi
Pendidikan secara operasional sebagai cabang sosiologi yang memusatkan
perhatian pada mempelajari hubungan antara pranata pendidikan dengan pranata
kehidupan lain, antara unit pendidikan dengan komunitas sekitar, interaksi social
antara orang-orang dalam satu unit pendidikan, dan dampak pendidikan pada
kehidupan peserta didik (Natawidjaja, et. al., 2007).
Sebagaimana ilmu pengetahuan pada umumnya, sosiologi pendidikan memiliki tiga
fungsi pokok, yaitu :
a. Fungsi eksplanasi, yaitu menjelaskan atau memberikan pemahaman tentang
fenomena yang termasuk ke dalam ruang lingkup pembahasannya. Untuk
diperlukan konsep-konsep, proposisi-proposisi mulai dari yang bercorak
generalisasi empirik sampai dalil dan hukum-hukum yang mantap, data dan
informasi mengenai hasil penelitian lapangan yang actual, baik dari lingkungan

27
sendiri maupun dari lingkungan lain, serta informasi tentang masalah dan
tantangan yang dihadapi. Dengan informasi yang lengkap dan akurat,
komunikan akan memperoleh pemahaman dan wawasan yang baik dan akan
dapat menafsirkan fenomena – fenomena yang dihadapi secara akurat.
Penjelasan-penjelasan itu bisa disampaikan melalui berbagai media komunikasi.
b. Fungsi prediksi, yaitu meramalkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang
diperkirakan akan muncul pada masa yang akan datang. Sejalan dengan itu,
tuntutan masyarakat akan berubah dan berkembang akibat bekerjanya faktor-
faktor internal dan eksternal yang masuk ke dalam masyarakat melalui berbagai
media komunikasi. Fungsi prediksi ini amat diperlukan dalam perencanaan
pengembangan pendidikan guna mengantisipasi kondisi dan tantangan baru.
c. Fungsi utilisasi, yaitu menangani permasalahan-permasalahan yang dihadapi
dalam kehidupan masyarakat seperti masalah lapangan kerja dan pengangguran,
konflik sosial, kerusakan lingkungan, dan lain-lain yang memerlukan dukungan
pendidikan, dan masalah penyelenggaraan pendidikan sendiri.
Jadi, secara umum sosiologi pendidikan bertujuan untuk mengembangkan
fungsi-fungsinya selaku ilmu pengetahuan (pemahaman eksplanasi, prediksi, dan
utilisasi) melalui pengkajian tentang keterkaitan fenomena-fenomena siosial dan
pendidikan, dalam rangka mencari model-model pendidikan yang lebih fungsional
dalam kehidupan masyarakat. Secara khusus, Sosiologi Pendidikan berusaha untuk
menghimpun data dan informasi tentang interaksi sosial di antara orang-orang yang
terlibat dalam institusi pendidikan dan dampaknya bagi peserta didik, tentang
hubungan antara lembaga pendidikan dan komunitas sekitarnya, dan tentang
hubungan antara pendidikan dengan pranata kehidupan lain.

C. Landasan Psikologis Pendidikan


1. Pengertian Landasan Psikologis Pendidikan
Pengertian psikologi, menurut asal katanya psikologi berasal dari bahasa
Yunani yaitu Psyche dan Logos. Psyche berarti jiwa, sukma dan roh, sedangkan
logos berarti ilmu pengetahuan atau studi. Secara harfiah pengertian psikologi
secara harfiah adalah ilmu tentang jiwa. Psikologi menelaah gejala-gejala

28
psikologis dari manusia. Sejalan dengan pendapat Savitri (2005), Psikologi
merupakan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan lingkungan. Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat penting sebagai
bekal dasar untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan dan atau
tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan
efisien.
Setiap individu memiliki bakat, kemampuan, minat, kekuatan serta tempo,
dan irama perkembangannya yang berbeda satu dengan yang lain. Sebagai
implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta
didik, sekalipun mereka mungkin memiliki beberapa persamaan. Penyusunan
kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman belajar yang
akan djadikan garis-garis besar program pengajaran serta tingkat keterincian bahan
belajar yang digariskan.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi dari ilmu pengetahuan, maka
perubahan-perubahan pesat terjadi pula dalam bidang pendidikan. Kurikulum yang
sering direvisi dalam pengembangannya, tujuan pendidikan sering mengalami
perubahan dalam perumusannya, metode belajar mengajar sering mengalami
perubahan dan pengembangan, dan sumber serta fasilitas belajar sering mengalami
penambahan.
Psikologi pendidikan merupakan psikologi yang mempelajari penggunaan
psikologi dalam masalah pendidikan. Berikut defenisi psikologi pendidikan
menurut ahli:
a. Witherington menyatakan bahwa psikologi pendidikan studi sistematis tentang
proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia.
b. Crow & Crow menyatakan bahwa psikologi pendidikan memberikan gambaran
dan penerapan tentang pengalaman-pengalaman belajar seorang individu sejak
dilahirkan s/d usia tua. Pokok persoalannya adalah keadaan-keadaan yang dapat
digunakan untuk mempelajari belajar.
c. Sumadi Suryabrata menyatakan bahwa psikologi pendidikan merupakan
pengetahuan psikologi mengenai anak didik dalam situasi pendidikan.

29
d. Sri Partini Suardiman menyatakan bahwa psikologi pendidikan merupakan ilmu
pengetahuan yang memnyelidiki gejala-gejala kejiwaan individu dalam
situasi pendidikan.
Dapat dipahami bahwa psikologi pendidikan adalah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki segi-segi psikologi dalam situasi pendidikan. Psikologi pendidikan
adalah ilmu yang mempelajari penerapan teori-teori psikologi dalam bidang
pendidikan Dengan demikian landasan psikologi pendidikan adalah suatu landasan
dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang kehidupan
manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi
manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan
menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan
untuk memudahkan proses pendidikan. Antara psikologi dengan pendidikan
merupakan satu kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Subyek dan obyek
pendidikan adalah manusia, sedangkan psikologi menelaah gejala-gejala psikologis
dari manusia. Kajian psikologi yang erat hubungannya dengan pendidikan adalah
yang berkaitan dengan kecerdasan, berpikir, dan belajar (Tirtarahardja, 2005).
a. Landasan Psikologis Pandangan Indonesia
Menurut Pidarta (2007:194), psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang
mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan
mengendalikan jasmani yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Jiwa manusia
berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan
aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologis pendidikan merupakan
suatu landasan dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi
tentang kehidupan manusia umumnya dan gejala-gejala yang berkaitan dengan
aspek pribadi manusia untuk mengenali dan menyikapi manusia sesuai dengan
tahapan usia perkembangannya yang bertujuan untuk memudahkan proses
pendidikan.
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-
pendekatan yang dimaksud adalah (Nana Syaodih, 1989).

30
1) Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-
tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda
dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain.
2) Pendekatan diferensial. Pendekatan ini dipandang individu-individu itu
memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu
orang-orang membuat kelompok–kelompok. Anak-anak yang memiliki
kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis
kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya.
3) Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap
individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat
perkembangan seseorang secara individual.
Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah pendekatan
pentahapan. Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu bersifat menyeluruh dan
yang bersifat khusus. Sifat menyeluruh mencakup segala aspek perkembangan
sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan,
sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai
dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget,
Koglberg, dan Erikson. Di samping itu, kajian Psikologi pendidikan telah
melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran
Nasution (Daeng Sudirwo, 2002) dengan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
1) Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan.
2) Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan
bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3) Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha
dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4) Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5) Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
6) Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7) Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun
termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8) Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.

31
9) Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar
dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
10) Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering
mengejar tujuan-tujuan lain.
11) Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12) Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
13) Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
b. Landasan Psikologis menurut Islam
Sudah selayaknya dalam pendidikan Islam memiliki landasan psikologis
yang berwawasan kepada Islam, dalam hal ini dengan berpandu kepada al-Qur’an
dan al-Hadisth sebagai sumbernya, sehingga akhir dari tujuan pendidikan Islam
dapat terwujud dan menciptakan insan kamil bahagia di dunia dan akhirat.
Sebenarnya, banyak sekali istilah untuk menyebutkan psikologi yang berwawasan
kepada Islam. Diantara para psikolog ada yang menyebut dengan istilah psikologi
Islam, psikologi alQur’a>n, psikologi Qur’ani, psikologi sufi dan nafsiologi.
Namun pada dasarnya semua istilah tersebut memiliki makna yang sama.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas
ganda, yaitu sebagai khalifah Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk
mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah
potensi di dalam dirinya. Hasan Langgulung mengatakan, potensi-potensi tersebut
berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah. Sejalan dengan itu, Zakiyah Darajat
mengatakan, bahwa potensi dasar tersebut berupa jasmani, rohani, dan fitrah namun
ada juga yang menyebutnya dengan jismiah, nafsiah dan ruhaniah.
1) Aspek jismiah
Aspek jismiah adalah keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel,
syaraf dan kelenjar diri manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling
sempurna diantara semua makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari
unsur tanah, air, api dan udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang
mati. Kehidupannya tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan
yang disebut dengan nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik
manusia. Kemampuannya sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan

32
fisik-biologis, seperti: susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral,
urat, darah, tulang, jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, aspek jismiah memiliki
dua sifat dasar. Pertama berupa bentuk konkret berupa tubuh kasar yang tampak
dan kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan
tubuh. Aspek abstrak jismiah inilah yang akan mampu berinteraksi dengan aspek
nafsiah dan ruhaniah manusia.

2) Aspek nafsiah
Aspek nafsiah adalah keseluruhan kualitas insaniah yang khas dimiliki dari
manusia berupa pikiran, perasaan dan kemauan serta kebebasan. Dalam aspek
nafsiah ini terdapat tiga dimensi psikis, yaitu dimensi nafsu, ‘aql, dan qalb.
a) Dimensi nafsu merupakan dimensi yang memiliki sifat-sifat kebinatangan dalam
sistem psikis manusia, namun dapat diarahkan kepada kemanusiaan setelah
mendapatkan pengaruh dari dimensi lainnya, seperti ‘aql dan qalb, ru>h} dan
fitrah. Nafsu adalah daya-daya psikis yang memiliki dua kekuatan ganda, yaitu:
daya yang bertujuan untuk menghindarkan diri dari segala yang membahayakan
dan mencelakakan (daya al-ghad}abiyah) serta daya yang berpotensi untuk
mengejar segala yang menyenangkan (daya al-shahwaniyyah).
b) Dimensi ‘aql adalah dimensi psikis manusia yang berada diantara dua dimensi
lainnya yang saling berbeda dan berlawanan, yaitu dimensi nafsu dan qalb.
Nafsu memiliki sifat kebinatangan dan qalb memiliki sifat dasar kemanusiaan
dan berdaya cita-rasa. Akal menjadi perantara diantara keduanya. Dimensi ini
memiliki peranan penting berupa fungsi pikiran yang merupakan kualitas
insaniah pada diri manusia.
c) Dimensi qalb memiliki fungsi kognisi yang menimbulkan daya cipta seperti
berpikir, memahami, mengetahui, memperhatikan, mengingat dan melupakan.
Fungsi emosi yang menimbulkan daya rasa seperti tenang, sayang dan fungsi
konasi yang menimbulkan daya karsa seperti berusaha.
3) Aspek ruhaniah
Aspek ruhiyah adalah keseluruhan potensi luhur (high potention) diri
manusia. Potensi luhur itu memancar dari dimensi ruh dan fitrah. Kedua dimensi

33
ini merupakan potensi diri manusia yang bersumber dari Allah. Aspek ruhaniyah
bersifat spiritual dan transedental. Spiritual, karena ia merupakan potensi luhur
batin manusia yang merupakan sifat dasar dalam diri manusia yang berasal dari ruh
ciptaan Allah. Bersifat transendental, karena mengatur hubungan manusia dengan
yang Maha transenden yaitu Allah. Fungsi ini muncul dari dimensi fitrah.
Dari penjabaran di atas, dapat disebutkan bahwa aspek jismiah bersifat
empiris, konkret, indrawi, mekanistik dan determenistik. Aspek ruhaniah bersifat
spiritual, transenden, suci, bebas, tidak terikat pada hukum dan prinsip alam dan
cenderung kepada kebaikan. Aspek nafsiah berada diantara keduanya dan berusaha
mewadahi kepentingan yang berbeda. Pada hakikatnya, proses pendidikan
merupakan proses aktualisasi potensi diri manusia. Sistem proses
menumbuhkembangkan potensi diri itu telah ditawarkan secara sempurna dalam
sistem ajaran Islam. Ini yang pada akhirnya menyebabkan manusia dapat
menjalankan tugas yang telah dibebankan Allah.
Pengaktualan potensi diri manusia tersebut dapat diarahkan melalui konsep
pembinaan “kecerdasan emosional dan spiritual”. Ary Ginanjar Agustian telah
menulis buku tentang ini dengan judul “Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan
Emosi dan Spiritual ESQ Emosional Spiritual Questiont berdasarkan Enam Rukun
Iman dan Lima Rukun Islam”. Dalam buku tersebut menjelaskan bahwa rukun
Iman dan rukun Islam adalah sistem pembinaan kecerdasan emosional dan spiritual.
Adapun rukun Iman dan rukun Islam, disamping sebagai petunjuk ritual
bagi umat Islam, ternyata pokok pikiran dalam rukun Iman dan rukun Islam tersebut
juga dapat memberikan bimbingan untuk mengenal dan memahami perasaan kita
sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri, mengelola emosi dalam
berhubungan dengan orang lain.
Hal inilah yang mendasari pemikiran penulis untuk menjelaskan bahwa
rukun Iman dan rukun Islam adalah suatu metode membangun emotional quetiont
(EQ) yang didasari oleh hubungan manusia dengan Tuhannya, spiritual quetiont
(SQ), sehingga saya menamakannya dengan emotional dan spiritual quetiont
(ESQ).

34
Rukun Islam merupakan metode pengasahan dan pelatihan ESQ. Syahadat
berfungsi sebagai “mission statement”, puasa sebagai “self controlling”, serta zakat
dan haji sebagai peningkatan “social intelligence” atau kecerdasan sosial. Islam
menuntut penganutnya agar senantiasa melaksanakan rukun Islam secara konsisten
dan kontinu. Ini merupakan bentuk training sepanjang hidup manusia. Disinilah
pembentukan dan pembinaan kecerdasan emosional dan spiritual yang sempurna.
Para ahli psikologi mengatakan bahwa tingkat perkembangan intelligence
quetiont (IQ) berbeda dengan perkembangan emotional dan spiritual quetiont
(ESQ). Tingkat kecerdasan IQ relatif tetap, sedangkan kecerdasan ESQ dapat
meningkat sepanjang hidup manusia. Struktur susunan rukun Iman dan rukun Islam
merupakan susunan anak tangga yang teratur secara sistematis, logis dan objektif
dalam pembentukan ESQ. Rukun iman berfungsi membentuk struktur fundamental
mental berupa: prinsip landasan mental, prinsip kepercayaan, prinsip
kepemimpinan, prinsip pembelajaran, prinsip masa depan hingga prinsip
keteraturan.
Setelah mental terbentuk, dilanjutkan dengan langkahlangkah pembentukan
“mission statement” melalui dua kalimat syahadat, kemudian pembangunan
karakter melalui shalat lima waktu sehari semalam, pengendalian diri melalui
puasa. Kemudian pembentukan kecerdasan sosial melalui zakat dan haji. Semua itu
merupakan struktur sistem pembinaan dengan strategi dan metode training yang
ideal.
Pembinaan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual secara
komprehensif melalui rukun Iman dan rukun Islam adalah proses pengaktualisasian
potensi diri manusia secara totalitas. Potensi luhur diri manusia yang bersumber dan
ruh dan fitrah Allah, inilah inti ibadah.
Pengaktualisasian potensi ruh mewujudkan fungsi khalifah dan aktualisasi
potensi fitrah mewujudkan fungsi ibadah. Dimana aktivitas pendidikan hamba
Allah tetap akan menjadi ibadah, bukan malah sebaliknya menjadi aktivitas yang
jauh dari nilai-nilai relegiusitas. Nilai-nilai inilah yang membedakan antara
pendidikan Islam dengan pendidikan lainnya. Pendidikan Islam yang berhasil
adalah proses yang menghasilkan perubahan tingkah laku berdasarkan norma dan

35
nilai yang sesuai dengan konsep ketuhanan yang arah pengembangannya banyak
ditentukan oleh pembentukan identitas primer yaitu kecenderungan untuk
mengimani Allah dan mentaati-Nya yang berlaku bagi seluruh aspek kehidupan
manusia (fungsi ibadah) dan juga identitas skunder yaitu transaksi antar manusia
dan manusia dengan alam (fungsi khalifah)
c. Landasan Psikologis Menurut Pandangan Barat
Psikologi berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos
berarti ilmu pengetahuan. Secara etimologi, psikologi berarti ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya maupun latar
belakangnya. Menurut Whiterington (1982) bahwa pendidikan adalah proses
pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar. Oleh karena itu,
untuk mencapai hasil yang diharapkan, metode dan pendekatan yang benar dalam
proses pendidikan sangat diperlukan.
Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan
anak atas empat tahap yaitu :
1) Masa bayi dari 0 – 2 tahun sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2) Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti
hidup manusia primitif.
3) Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan
kemauan untuk berpetualang.
4) Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata
hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.
Menurut Gagne prinsip belajar dapat dilakukan perubahan yang berkenaan
dengan kapabilitas individu. Sedangkan menurut Hilgard & Bower, perubahan
terjadi karena interaksi dengan lingkungan sebagai reaksi terhadap siatuasi yang
dihadapi. Morris L. Bigge membagi menjadi 3 teori belajar :
1) Teori disiplin mental (disiplin mental theistik, disiplin mental humanistik,
naturalisme, apersepsi)
a) Secara herediter anak mempunyai potensi tertentu.
b) Belajar merupakan upaya mengembangkan potensi-potensi tersebut

36
2) Teori behaviorisme (Teori S-R Bond (Thorndike), Conditioning (Guthrie),
Reinforcement (Skinner)
a) Anak tidak membawa potensi apapun dari lahirnya
b) Perkembangan ditentukan oleh faktor yang berasal dari lingkungan
c) Bersifat pasif
3) Cognitive Gestalt Field (Insight/Gestalt Field, Goal Insight,
Cognitive Field)
a) Menekankan pada unity, wholeness, integrity (keterpaduan)
b) Bersifat aktif
2. Ruang Lingkup Psikologis Pendidikan
Lingkup kajian psikologi cukup luas, sebab individu manusia berada dalam
berbagai posisi, kondisi dan tahap perkembangan. Setiap posisi,kondisi dan tahap
perkembangan dapat memperlihatkan karakteristik kegiatan atau perilaku tertentu
yang berbeda dengan pada kondisi, posisi terhadap perkembangan lainnya.
Menurut Sukmadinata (2005), “Secara garis besar dibedakan tiga kategori
bidang psikologi yaitu psikologi umum, psikologi khusus, dan psikologi terapan”.
Ketiga lingkup psikologi ini dijabarkan sebagai berikut:
a. Psikologi umum
Disebut juga sebagai pengantar psikologi, merupakan studi tentang perilaku
atau kegiatan individu secara umum. Studi ini memberikan pengantar kepada studi
tentang perilaku individu yang lebih lanjut, lebih khusus dan mendalam. Dalam
psikologi umum dipelajari konsep umum kegiatan atau perilaku individu, apa,
mengapa dan bagaimana individu melalukan kegiatan. Mengenai masalah apa,
mencakup jenis-jenis kegiatan atau perilaku yang dilakukan individu, apa yang
menjadi sasaran dan tujuan dari kegiatan tersebut. Jenis-jenis kegiatan atau perilaku
umpamanya, kegiatan perkembangan, belajar, berpikir, memecahkan masalah, dll.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan atau perbuatan individu baik
dari faktor yang berasal dari dalam diri maupun luar individu, baik faktor fisik dan
faktor psikis.Faktor yang berasal dari diri individu adalah kebutuhan dan motif,
minat, sikap, perasaan dan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya. Faktor-faktor yang

37
berasal dari luar diri individu bersumber dari lingkungannya seperti lingkungan
alam, sosial, politik, budaya, pengetahuan, teknologi, dll.
b. Psikologi Khusus
Lingkup ini mempelajari perilaku atau kegiatan individu secara khusus, baik
kekhususa
n karena tahap perkembangannya, posisinya, aspek yang mendapatkan
sorotan utamanya atau karena kondisinya, dalam lingkup ini kita mengenal istilah
psikologi perkembangan.
Psikologi perkembangan mempelajari perilaku dan karakteristik individu
dalam berbagai tahap perkembangan. Masa sebelum lahir (prenatal), masa bayi,
masa kanak-kanak, masa anak sekolah dasar, masa remaja awal, remaja tengah dan
adolesen, masa dewasa muda, dewasa dan dewasa tua, serta masa usia lanjut. Tiap
tahap perkembangan tersebut menjadi objek studi dari psikologi sebab masa
memiliki ciri-ciri atau karakteristik perkembangan yang berbeda. Individu selalu
berkembang, segi apa dan bagaimana perkembangannya pada setiap tahap
perkembangan tidak selalu sama. Sebagai contoh pada masa sebelum lahir dan
masa bayi perkembangan aspek fisik sangat pesat, masa bayi dan masa kanak-kanak
perkembangan gerak cukup dominan, masa anak sekolah dasar perkembangan
kognitif, sosila cukup pesat. Karena adanya perbedaan dominasi perkembangan
aspek tertentu masa seringkali individu memperlihatkan perilaku yang tidak sama.

c. Psikologi Terapan
Merupakan penerapan atau penggunaan pengetahuan, prinsip-prinsip,
kaidah-kaidah, pendekatan, metode dan teknik-teknik pikologis untuk memahami
dan memecahkan masalah-masalah pada bidang lain. Sebagai contoh pada bidang
industri dan perusahaan dikenal adanya psikologi industri dan perusahaan, pada
bidang pendidikan dikenal adanya psikologi pendidikan.
Fokus utama yang menjadi lingkup landasan psikologis pendidikan
berintikan interaksi antara pendidik (guru) dengan peserta didikuntuk
meningkatkan kemampuan peserta didik dengan dukungan sarana dan fasilitas
tertentu yang berlangsung dalam suatu lingkungan tertentu. Intreaksi ini seperti

38
halnya interaksi-interaksi manusia dalam kegiatan lainnya, selalu dipengaruhi oleh
kondisi dan latarbelakang dari pihak-pihak yang beinteraksi, dalam hal ini kondisi
dan latarbelakang guru dan siswa.
Sebagai contoh psikologi pendidikan berusaha memecahkan masalah-
masalah di sekolah sebagai berikut:
1) Pengaruh pembawaan dan lingkungan atas belajar;
2) Teori dan proses belajar;
3) Hubungan antara taraf kematangan dan taraf kesiapan belajar;
4) Individual differences dan pengaruhnya terhadap hasil pendidikan;
5) Perubahan batiniah yang terjadi selama belajar;
6) Hubungan antara teknik mengajar dan hasil belajar;
7) Teknik evaluasi yang efektif atas kemajuan yang dicapai anak didik;
8) Perbandingan hasil pendidikan formal dan informal atas individu;
9) Nilai sikap ilmiah terhadap pendidikan yang dimiliki para petugas pendidikan
(guru);
10) Pengaruh kondisi sosial anak didik atas pendidikan yang diterima. (Suryabrata,
2000).
3. Peran Landasan Psikologis Pendidikan Dalam Pembelajaran
Landasan psikologi pendidikan merupakan salah satu landasan yang
penting dalam pelaksanaan pendidikan karena keberhasilan pendidik dalam
menjalankan tugasnya sangat dipengaruhi oleh pemahamannya tentang peserta
didik. Oleh karena itu pendidik harus mengetahui apa yang harus dilakukan kepada
peserta didik dalam setiap tahap perkembangan yang berbeda dari bayi hingga
dewasa.
Keadaan anak yang awalnya belum dewasa hingga menjadi dewasa berarti
mengalami perubahan, karena dibimbing, dan kegiatan bimbingan merupakan
usaha atau kegiatan berinteraksi antara pendidik, anak didik dan lingkungan.
Perubahan tersebut merupakan gejala yang timbul secara psikologis. Di dalam
hubungan inilah kiranya pendidik harus mampu memahami perubahan yang terjadi
pada diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar itu
pula pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut psikologis. Dalam

39
proses dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pendidikan peranan psikologi menjadi
sangat mutlak. Analisis psikologi akan membantu para pendidik memahami
struktur psikologis anak didik dan kegiatan-kegiatannya, sehingga dapat
melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan secara efektif.
Pada akhir abad ke-19 ada dua aliran psikologi belajar yang sangat
menonjol, yakni aliran behavioristik dan aliran kognitif atau kognitivisme. Kedua
aliran tersebut besar sekali pengaruhnya terhadap teori pengajaran. Bahkan bisa
dikatakan hampir semua pengajaran yang dilaksanakan saat ini dihasilkan dari
kedua aliran psikologi belajar tersebut (Sudjana, 2008)
Ada tiga teori belajar aliran behavioristik yang paling terkenal yaitu : (a)
teori koneksionisme dari Thorndike, (b) teori kondisioning dari Pavlov, dan (c) teori
kondisioning operan (operant conditioning) dari Skinner.
a. Teori koneksionisme (E. L. Thorndike)
Thorndike pada tahun 1901 dengan teori psikologi perkembangannya
merupakan landasan pertama ke arah teknologi pembelajaran yang menyatakan tiga
dalil utama :
1) Dalil latihan dan ulangan: makin sering diulang respons yang berasal dari
stimulus tertentu, makin besar kemungkinan dicamkan.
2) Dalil akibat: menyatakan prinsip hubungan senang tidak senang. Respons akan
diperkuat bilamana diikuti oleh rasa senang, dan akan diperlemah bila diikuti
rasa tidak senang.
3) Dalil kesiapan: karena perkembangan sistem syaraf maka unit perilaku tertentu
akan lebih mudah dilakukan, dibandingkan dengan unit perilaku lain.
Menurut Saettler, kontribusi Thorndike dalam teknologi pembelajaran
adalah dengan rumusannya tentang pinsip-prinsip: (1) aktivitas diri, (2) minat atau
motivasi, (3) kesiapan mental, (4) individualisasi, dan (5) sosialisasi.
Prinsip yang dikemukakan oleh Thorndike ini memang masih banyak dianut
hingga kini, terutama dalam menentukan strategi belajar dan merancang produk
pembelajaran.
b. Teori kondisioning klasikal (Ivan Pavlov)

40
Teori kondisioning klasikal berpendapat bahwa tingkah laku dibentuk
melalui pengaturan dan manipulasi stimulus dalam lingkungan. Proses
pembentukan tingkah laku tersebut disebut proses pengkondisian. Dalam teori
kondisioning klasikal, memberikan pancingan dan dorongan stimulus belajar
merupakan factor penting agar dapat menimbulkan respons sehingga terjadi proses
perubahan tingkah laku.
c. Teori kondisioning operan (B. F. Skinner)
B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris
dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku
dikontrol melalui proses operantconditioning. Di mana seorang dapat mengontrol
tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam
lingkungan relatif besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel
daripada conditioning klasik. Gaya mengajar guru dilakukan dengan beberapa
pengantar dari guru secara searah dan dikontrol guru melalui pengulangan dan
latihan.
Menajemen kelas menurut Skinner berupa usaha untuk memodifikasi
perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi penghargaan pada
perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada perilaku yanag
tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan
positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang
kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.
Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah
penguatan. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus
respon akan semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini
menjadi dua yaitu penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk
penguatan positif berupa hadiah, perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk
penguatan negatif antara lain menunda atau tidak memberi penghargaan,
memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang.
Aliran kognitif atau kognitivisme lebih menekankan bahwa belajar
merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Pada dasarnya
belajar adalah suatu proses usaha yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi

41
dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya
untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman,
tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat relatif dan berbekas.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam
belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme,
belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi
terus-menerus sepanjang hayatnya. Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep
bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan
lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Teori kognitivisme
mengungkapkan bahwa belajar yang dilakukan individu adalah hasil interaksi
mentalnya dengan lingkungan sekitar sehingga menghasilkan perubahan
pengetahuan atau tingkah laku. Dalam pembelajaran pada teori ini dianjurkan untuk
menggunakan media yang konkret karena anak-anak belum dapat berfikir secara
abstrak.
Dalam teori ini ada dua bidang kajian yang lebih mementingkan proses
belajar daripada hasil belajar, yaitu:
a. Belajar tidak sekedar melibatkan stimulus dan respon tetapi juga melibatkan
proses berfikir yang sangat kompleks
b. Ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang
berkesinambungan dengan lingkungan. Menurut psikologi kognitivistik, belajar
dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti sesuatu dengan jalan mengaitkan
pengetahuan baru kedalam struktur berfikir yang sudah ada. Usaha itu dilakukan
secara aktif oleh siswa. Keaktifan itu dapat berupa mencari pengalaman, mencari
informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktekkan
sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Sehingga, pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya sangat menentukkan keberhasilan mempelajari informasi
pengetahuan yang baru (Desmita. 2011).
Teori ini juga menganggap bahwa belajar adalah pengorganisasian aspek-
aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini,
tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya. Sedangkan
situasi yang berhubungan dengan tujuan dan perubahan tingkah laku sangat

42
ditentukan oleh proses berfikir internal yang terjadi selama proses belajar. Pada
prinsipnya, belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu
dapat dilihat sebagai tingkah laku (tidak selalu dapat diamati). Dalam teori ini
menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian dari situasi yang terjadi dalam
proses belajar saling berhubungan secara keseluruhan. Sehingga jika keseluruhan
situasi tersebut dibagi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya
secara terpisah, maka sama halnya dengan kehilangan sesuatu.
Dalam aliran kognitivistik terdapat ciri-ciri pokok. Adapun ciri-ciri dari
aliran kognitivistik yang dapat dilihat adalah sebagai berikut:
a. Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia
b. Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian
c. Mementingkan peranan kognitif
d. Mementingkan kondisi waktu sekarang
e. Mementingkan pembentukan struktur kognitif
Teori belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan
mempergunakan bentuk-bentuk representatif yang mewakili obyek-obyek itu di
representasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan
atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya
seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar
negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tempat-tempat yang dikunjuginya
selama berada di negara lain tidak dapat dibawa pulang, orangnya sendiri juga tidak
hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu ia sedang bercerita, tetapi semua
tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang
disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.Tokoh dari teori tersebut
antara lain Jean Peaget, Bruner, dan Ausebel, Robert M. Gagne.

a. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jean Piaget.


Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah
mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri atas
beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget mengatakan bahwa
(i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa
ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi;

43
(iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi. Fungsi itu bersifat genetif, dibawa
sejak lahir, sedangkan struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan
upaya individu.
Teorinya memberikan banyak konsep utama dalam lapangan psikologi
perkembangan dan berpengaruh terhadap perkembangan konsep kecerdasan.
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan
untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi
dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari
guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar
mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan
berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan
baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan
sebaik-baiknya. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi
tidak asing. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya. Di
dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan
diskusi dengan teman-temanya.
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic,
artinya proses yang didasarkan atas mekenisme biologis dari perkembangan system
syaraf. Semakin bertambah umur seseorang, makin komplek susunan sel syarafnya
dan makin meningkat pula kemampuannya, sehingga ketika dewasa seseorang akan
mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang menyebabkan adanya
perubahan-perubahan kualitatif didalam struktur kognitifnya. Piaget membagi
proses belajar kedalam tiga tahapan yaitu :
1) Asimilasi adalah proses pengintgrasian informasi baru ke struktur kognitif yang
sudah ada. Contoh : seorang siswa yang mengetahui prinsip-prinsip
penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka terjadilah

44
proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dipahami
oleh anak) dengan prinsip perkalian (informasi baru yang akan dipahami anak).
2) Akomodasi adalah proses penyesuaian antara struktur kognitif ke dalam situasi
yang baru. Penerapan proses perkalian dalam situasi yang lebih spesifik.
Contohnya : siswa ditelah mengetahui prinsip perkalian dan gurunya
memberikan sebuah soal perkalian.
3) Equilibrasi adalah proses penyesuaian yang berkesinambungan antara asimilasi
dan akomodasi. Hal ini sebagai penyeimbang agar siswa dapat terus berkembang
dan menambah ilmunya. Tetapi sekaligus menjaga stabilitas mental dalam
dirinya, maka diperlukan roses penyeimbang. Tanpa proses ini perkembangan
kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tidak teratur, sedangkan
dengan kemampuan equilibrasi yang baik akan mampu menata berbagai
informasi yang diterima dengan urutan yang baik, jernih, dan logis.
Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses penyesuaian,
pengembangan dan pengintegrasian pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif
yang telah dimiliki seseorang sebelumnya. Inilah yang disebut dengan konsep
schema/skema (jamak = schemata/schemata). Sehingga hasil belajar/ struktur
kognitif yang baru tersebut akan menjadi dasar untuk kegiatan belajar berikutnya
Proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui
oleh siswa yang terbagi kedalam empat tahap, yaitu :
1) Tahap sensorimotor (anak usia lahir – 2 tahun)
2) Tahap preoperational (anak usia 2 – 8 tahun)
3) Tahap operational konkret (anak usia 7/8 – 12/14 tahun)
4) Tahap operational formal (anak usia 14 tahun lebih)
Secara umum semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka semakin
teratur dan juga semakin abstrak cara berfikirnya. Karena itu guru seharusnya
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya, serta memberikan
isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Piaget juga mengemukakan bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Proses belajar yang dialami
seorang anak berbeda pada tahap-tahap lainnya. Oleh karena itu guru seharusnya

45
memahami tahap-tahap perkembangan kognitif anak didiknya serta memberikan
isi, metode, media pembelajaran yang sesuai dengan tahapannya.

b. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Jarome Bruner.


Berbeda dengan Piaget, Burner melihat perkembangan kognitif manusia
berkaitan dengan kebudayaan. Bagi Bruner, perkembangan kognitif seseorang
sangat dipengaruhi oleh lingkungan kebudayaan, terutama bahasa yang biasanya
digunakan. Sehingga, perkembangan bahasa memberi pengaruh besar dalam
perkembangan kognitif.
Menurut Bruner untuk mengajarkan sesuatu tidak usah menunggu sampai
anak mancapai tahap perkembangan tertentu. Yang penting bahan pelajaran harus
ditata dengan baik maka dapat diberikan padanya. Dengan kata lain, perkembangan
kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan yang akan
dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah
kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari
Sekolah Dasar sampai Perguruan tinggi, tetapi disesuaikan dengan tingkat
perkembangan kognitif mereka, artinya menuntut adanya pengulangan-
pengulangan. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan
memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif kemudian dapat
dihasilkan suatu kesimpulan (Free Discovery Learning). Dengan kata lain, belajar
dengan menemukan.
Implikasi Teori Bruner dalam proses pembelajaran adalah menghadapkan
anak pada suatu situasi yang membingungkan atau suatu masalah; anak akan
berusaha membandingkan realita di luar dirinya dengan model mental yang telah
dimilikinya; dan dengan pengalamannya anak akan mencoba menyesuaikan atau
mengorganisasikan kembali struktur-struktur idenya dalam rangka untuk mencapai
keseimbangan di dalam benaknya. Dari implikasi ini dapat diketahui bahwa asumsi
dasar dari teori ini adalah bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan
pengalaman didalam dirinya yang tertata dalam bentuk struktur kognitif, yang
kemudian mengalami tahap belajar sebagai perubahan persepsi dan pemahaman
dari apa yang aia temukan.

46
Teori ini menjelaskan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan
kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan
(termasuk konsep, teori, definisi, dsb) melalui contoh-contoh yang menggambarkan
( mewakili ) aturan yang menjadi sumber . Dari pendekatan ini “belajar ekspositori”
(belajar dengan cara menjelaskan). Siswa diberikan suatu informasi umum dan
diminta untuk mencari contoh-contoh khusus dan konkrit .
Menurut bruner ada 3 tahap dalam perkembangan kognitif, yaitu:
1) Enaktif : usaha/kegiatan untuk mengenali dan memahami lingkungan dengan
observasi, pengalaman terhadap suatu realita.
2) Ikonik :siswa melihat dunia dengan melalui gambar-gambar dan visualaisasi
verbal.
3) Simbolik : siswa mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi
oleh bahasa dan logika dan penggunaan symbol.
Keuntungan belajar menemukan (Free Discovery Learning):
1) Menimbulkan rasa ingin tahu siswa sehingga dapat memotivasi siswa untuk
menemukan jawabannya.
2) Menimbulkan keterampilan memecahkan masalahnya secara mandiri dan
mengharuskan siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi.

c. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Ausebel.


Proses belajar terjadi jika siswa mampu mengasimilasikan pengetahuan
yang dimilikinya dengan pengetahuan baru (belajar menjadi bermakna/ meaning
full learning). Proses belajar terjadi melalui tahap-tahap:
1) Memperhatikan stimulus yang diberikan.
2) Memahami makna stimulus menyimpan dan menggunakan informasi yang
sudah dipahami.
Menurut Ausebel siswa akan belajar dengan baik jika isi pelajarannya
didefinisikan dan kemudian dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa
(Advanced Organizer), dengan demikian akan mempengaruhi pengaturan

47
kemampuan belajar siswa. Advanced organizer adalah konsep atau informasi
umum yang mewadahi seluruh isi pelajaran yang akan dipelajari oleh siswa.
Advanced organizer memberikan tiga manfaat yaitu :
1) Menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi yang akan dipelajari.
2) Berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara yang sedang dipelajari
dan yang akan dipelajari.
3) Dapat membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.
Untuk itu pengetahuan guru terhadap isi pembelajaran harus sangat baik,
dengan demikian ia akan mampu menemukan informasi yang sangat abstrak, umum
dan inklusif yang mewadahi apa yang akan diajarkan. Guru juga harus memiliki
logika berfikir yang baik, agar dapat memilah-milah materi pembelajaran,
merumuskannya dalam rumusan yang singkat, serta mengurutkan materi tersebut
dalam struktur yang logis dan mudah dipahami.

d. Teori Perkembangan Kognitif, dikembangkan oleh Robert M. Gagne


Menurut gagne belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi
dalam otak manusia. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi,
untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar.
Pengolahan otak manusia :
1) Reseptor
2) Sensory register
3) Short-term memory
4) Long-term memory
5) Response generator
Salah satu teori yang berasal dari psikolog kognitiv adalah teori pemrosesan
informasi yang dikemukakan oleh Robert M. Gagne. Menurut teori ini belajar
dipandang sebagai proses pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan
pengolahan otak manusia sendiri dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Reseptor (alat indera) : menerima rangsangan dari lingkungan dan mengubahnya
menjadi rangsaangan neural, memberikan symbol informasi yang diterimanya
dan kemudian di teruskan.

48
2) Sensory register (penempungan kesan-kesan sensoris) : yang terdapat pada
syaraf pusat, fungsinya menampung kesan-kesan sensoris dan mengadakan
seleksi sehingga terbentuk suatu kebulatan perceptual. Informasi yang masuk
sebagian masuk ke dalam memori jangka pendek dan sebagian hilang dalam
system.
3) Short term memory ( memory jangka pendek ) : menampung hasil pengolahan
perceptual dan menyimpannya. Informasi tertentu disimpan untuk menentukan
maknanya. Memori jangka pendek dikenal juga dengan informasi memori kerja,
kapasitasnya sangat terbatas, waktu penyimpananya juga pendek. Informasi
dalam memori ini dapat di transformasi dalam bentuk kode-kode dan selanjutnya
diteruskan ke memori jangka panjang.
4) Long Term memory (memori jangka panjang) :menampung hasil pengolahan
yang ada di memori jangka pendek. Informasi yang disimpan dalam jangka
panjang, bertahan lama, dan siap untuk dipakai kapan saja.
5) Response generator (pencipta respon) : menampung informasi yang tersimpan
dalam memori jangka panjang dan mengubahnya menjadi reaksi jawaban.

4. Pandangan Terhadap Perkembangan Individu Secara Psikologis


Perkembangan adalah proses terjadinya perubahan pada manusia baik
secara fisik maupun secara mental sejak berada di dalam kandungan sampai
manusia tersebut meninggal. Proses perkembangan pada manusia terjadi
dikarenakan manusia mengalami kematangan dan proses belajar dari waktu ke
waktu. Kematangan adalah perubahan yang terjadi pada individu dikarenakan
adanya pertumbuhan fisik dan biologis, misalnya seorang anak yang beranjak
dewasa akan mengalami perubahan fisik dan mentalnya.
Belajar adalah proses yang berkesinambungan dari sebuah pengalaman
yang akan membuat individu berubah dari tidak tahu menjadi tahu (kognitif), dari
tidak mau menjadi mau (afektif) dan dari tidak bisa menjadi bisa (psikomotorik),
misalnya seorang anak yang belajar mengendarai sepeda akan terlebih dahulu diberi
pengarahan oleh orang tuanya lalu anak tersebut mencoba untuk mengendarai
sepeda hingga menjadi bisa.

49
Proses kematangan dan belajar akan sangat menentukan kesiapan belajar
pada seseorang, misalnya seseorang yang proses kematangan dan belajarnya baik
akan memiliki kesiapan belajar yang jauh lebih baik dengan seseorang yang proses
kematangan dan belajarnya buruk.
Terdapat tiga teori perkembangan individu yaitu:
a. Nativisme
Teori nativisme adalah teori yang berasumsi bahwa setiap individu
dilahirkan kedunia dengan membawa faktor-faktor turunan dari orang tuanya dan
faktor tersebut yang menjadi faktor penentu perkembangan individu. Tokoh teori
ini adalah Schoupenhauer dan Arnold Gessel, implikasi teori nativisme terhadap
pendidikan yaitu kurang memberikan kemungkinan bagi pendidik untuk mengubah
kepribadian peserta didik.
b. Empiris
Teori empiris adalah teori yang berasumsi bahwa setiap individu yang
terlahir ke dunia adalah dalam kaeadaan bersih sedangkan faktor penentu
perkembangan individu tersebut adalah lingkungan dan pengalaman. Tokoh teori
ini adalah John Lock dan J.B. Watson
Implikasinya teori empirisme terhadap pendidikan yaitu dapat memberikan
kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik untuk dapat membentuk kepribadian
peserta didik.
c. Konvergensi
Teori konvergensi adalah teori yang berasumsi bahwa perkembangan
individu ditentukan oleh faktor keturunan dan faktor lingkungan serta pengalaman,
atau dengan kata lain teori ini adalah gabungan dari teori empiris dan teori
konvergensi. Tokoh teori ini adalah Wiliam Stern dan Robert J Havighurst.
Implikasi teori konvergensi terhadap pendidikan yaitu dapat memberikan
kemungkinan kepada pendidik untuk membentuk kepribadian individu sesuai yang
diharapkan akan tetapi tetapa memperhatikan faktor-faktor hereditas yang ada pada
individu.
Manusia dalam perkembangannya mengalami perubahan dalam berbagai
aspek yang ada pada manusia dan aspek-aspek tersebut saling berhubungan dan

50
berkaitan. Aspek-aspek dalam perkembangan tersebut diantaranya adalah aspek
fisik, mental, emosional, dan sosial. Semua manusia pasti akan mengalami
perkembangan dengan tingkat perkembangan yang berbeda, ada yang berkembang
dengan cepat dan ada pula yang berkembang dengan lambat.

D. Landasan Kultural Pendidikan


1. Pengertian Landasaan Kultural
Kebudayaan/kultural erat kaitannya dengan pendidikan. Dalam arti luas,
pendidikan merupakan proses pembudayaan melalui masing-masing anak, yang
dilahirkan dengan potensi belajar yang lebih besar dari makhluk menyusui lainnya.
Manan (1989:7) mengemukakan, “hakekat pendidikan adalah proses penyampaian
kebudayaan (proses of transmitting cultur), yang mencakup keterampilan,
pengetahuan, sikap-sikap, dan nilai-nilai serta pola-pola prilaku yang disebut “the
transmision of culture”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “budaya adalah sebuah
pemikiran, adat istiadat atau akal budi”. Pengertian kebudayaan secara deskriptif
merupakan totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, moral, adat, dan
apa saja kemampuan-kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh orang sebagai
aggota masyarakat” (Taylor, E.B dalam Manan, 1989:8). Sedangkan pengertian
kebudayaan secara historis yaitu merupakan seluruh prilaku tradisonal yang telah
dikembangkan oleh ras manusia yang secara berturutan “dipelajari” oleh masing-
masing generasi (Mead dalam Manan,1989:9).
Sejalan dengan pendapat di atas Kluckhon dan Kelly mendefiniskan budaya
berdasarkan sifat normatif yakni semua model bagi kehidupan baik secara eksplisit,
implisit, rasional, irasional, non rasional yang ada pada masa tertentu bagi prilaku
anggota-anggota masyarakat sedangkan definisi yang bersifat psikologis diutarakan
oleh La Piere bahwa kebudayaan adalah perwujudan di dalam adat, tradisi, dan
institusi dari apa yang dipelajari dalam satu kelompok sosial dan dari satu generasi
ke generasi lainnya. Terakhir adalah definisi yang bersifat struktural dari Turney
dan High mengemukakan bahwa kebudayaan adalah bekerjanya dan terintegrasinya
sejumlah aktivitas yang “tidak bersifat instingtif” dari masyarakat manusia.

51
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan adalah satu keseluruhan yang kompleks yang mencakup semua cara
kita berpikir dan berbuat, serta semua apa yang kita miliki sebagai anggota
masyarakat.
Menurut Tylor (dalam Manan, 1989:10) ada tujuh komponen-komponen
pokok yang terkandung dalam kebudayaan, yakni (1) keseluruhan yang kompleks,
(2) kebudayaan tidak terlihat secara nyata, melainkan pernyataan-pernyataan
emosional dan mental, (3) kebudayaan mencakup karya keseniaan dan moralitas
kekeluargaan, (4) kebudayaan memperlihatkan kesinambungan perilaku, (5)
kebudayaan dipandang secara objektif dan tidak memihak, (6) karakteristik
kebudayaan ditemukan diperoleh disuatu anggota masyarakat, dan (7) kebudayaan
hidup dalam sebuah masyarakat bersama orang lain. Dalam konsep kebudayaan
yang dikemukakan oleh Tylor secara eksplisit disebutkan: pengetahuan
(knowledge) dan kepercayaan (belief) dan secara implisit termasuk ke dalamnya
adalah filsafat, ilmu, cerita rakyat, dan tahayul.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, ada lima isi pokok/
komponen dari kebudayaan itu, yakni sebagai berikut.
a. Gagasan-gagasan
Mencakup kategori gagasan, yakni ilmu pengetahuan, agama, tahayul,
perumusan kebenaran, kesusastraan, cerita rakyat, ungkapan-ungkapan, dan
perumusan kebenaran.
b. Ideologi
c. Aktivitas-aktivitas/ norma
Mencakup kategori undang-undang, peraturan-peraturan, adat, kesusilaan,
larangan, ritual, upacara, konvensi, dan basa-basi.
d. Teknologi
e. Benda-benda
Mencakup kategori mesin-mesin, peralatan-peralatan, perabot, gedung-
gedung, peninggalan-peninggalan kuno, benda-benda seni, kendaraan, bahan
makanan, dan obat-obatan.

52
a. Landasan Kultural Pendidikan Pandangan Indonesia
Kata Kultural berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Budhayah, dalam bentuk
jamak dari kata budhi yang berarti budi atau akal. Budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan
diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan
sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah kebudayaan
karena hanya sedikit tindakan manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
tak perlu dibiasakan dengan belajar, seperti tindakan naluri, refleks, dan lainnya.
Bahkan tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang terbawa oleh
makhluk manusia dalam gennya bersamanya (seperti makan, minum, atau berjalan)
juga dirombak olehnya menjadi tindakan yang berkebudayaan. Kebudayaan
menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan
manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan
masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi
berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan
damai (Jatijajar, 2015).
Pengertian dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa kebudayaan
merupakan hasil cipta dan gagasan atau karya manusia berupa norma-norma, nilai-
nilai, kepercayaan, tingkah laku, dan teknologi yang dipelajari dan dimiliki oleh
semua anggota masyarakat tertentu. Kebudayaan dalam arti luas dapat berwujud
sebagai berikut.
1) Ideal seperti ide, gagasan, nilai.
2) Kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) Fisik yakni benda hasil karya manusia.
Kebudayaan dapat dibentuk, dilestarikan atau dikembangkan melalui
pendidikan baik kebudayaan yang berwujud ideal, atau kelakuan dan teknologi,
dapat diwujudkan melalui proses pendidikan. Sebagai contoh dalam penggunaan
bahasa, setiap masyarakat dapat dikatakan mengajarkan kepada anak-anak untuk

53
mengatakan sesuatu, kapan hal itu dapat dikatakan, bagaimana mengatakannya, dan
kepada siapa mengatakannya. Contoh lain, setiap masyarakat mempunyai
persamaan dan perbedaan dalam berpakaian. Dalam kaitan dengan pakaian, anak
harus mempelajari dari anggota masyarakat yang lain tentang cara menggunakan
pakaian tertentu dari dalam peristiwa apa pakaian tertentu dapat dipakai. Dengan
mempelajari tingkah laku yang dapat diterima dan kemudian menerapkan sebagai
tingkah lakunya sendiri menjadikan anak sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab
itu, anak-anak harus diajarkan pola-pola tingkah laku yang sesuai dengan norma-
norma yang berlaku dalam masyarakat.
Cara-cara untuk mewariskan kebudayaan, khususnya mengajarkan tingkah
laku kepada generasi baru berbeda dari masyarakat ke masyarakat. Pada dasarnya
ada tiga cara umum yang dapat diidentifikasikan, yaitu informal, nonformal, dan
formal. Cara informal terjadi dalam keluarga, dan non-formal dalam masyarakat
yang berkelanjutan dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan cara
formal melibatkan lembaga khusus yang dibentuk untuk tujuan pendidikan.
Pendidikan (formal) dirancang untuk mengarahkan perkembangan tingkah laku
anak didik. Kalau masyarakat hanya mentransmisi kebudayaan yang mereka miliki
kepada generasi penerus maka tidak akan diperoleh kemajuan. Oleh sebab itu,
anggota masyarakat berusaha melakukan perubahan yang disesuaikan dengan
kondisi baru sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nilai-nilai, dan norma-norma
baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat.
Landasan kultural mengandung makna norma dasar pendidikan yang
bersumber dari norma kehidupan berbudaya yang dianut oleh suatu bangsa
(Burhanuddin, 2013: 8). Kebudayaan dari satu pihak mengkondisikan suatu sistem
sosial dalam arti ikut serta membentuk atau mengarahkan, tetapi juga dikondisikan
oleh sistem sosial. Dengan memperhatikan berbagai dimensi kebudayaan, landasan
kultural pendidikan di Indonesia haruslah mampu memberi jawaban terhadap
masalah berikut: (1) semangat kekeluargaan dalam rumusan Undang-Undang Dasar
1945 sebagai landasan pendidikan, (2) rule of law dalam masyarakat yang
berbudaya kekeluargaan dan kebersamaan,(3) apa yang menjadi etos masyarakat
Indonesia dalam kaitan waktu, alam, dan kerja, serta kebiasaan masyarakat

54
Indonesia yang menjadi etos sesuai dengan budaya Pancasila; beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil, sehat jasmani dan rohani, dan (4) cara bagaimana masyarakat menafsirkan
dirinya, sejarahnya, dan tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap warga memandang
dirinya dalam masyarakat yang integralistik, bagaimana perkembanga cara
peningkatan harkat dan martabat sebagai manusia, apa yang menjadi tujuan
pembentukan manusia Indonesia seutuhnya.
Kebudayaan tertentu diciptakan oleh orang di masyarakat tertentu atau
dihadirkan dan diambil oleh masyarakat tersebut dan diwariskan melalui
belajar/pengalaman terhadap generasi berikutnya. Kebudayaan seperti halnya
sistem sosial di masyarakat merupakan kondisi esensial bagi perkembangan dan
kehidupan orang. Proses dan isi pendidikan akan memberi bentuk kepribadian yang
tumbuh dan pribadi-pribadi inilah yang akan menjadi pendukung, pewaris dan
penerus kebudayaan, secara ringkas melalui:
1) Kebudayaan menjadi kondisi belajar.
2) Kebudayaan memiliki daya dorong, daya rangsang, adanya respon-respon
tertentu.
3) Kebudayaan memiliki sistem ganjaran dan hukuman terhadap perilaku tertentu
sejalan dengan sistem nilai yang berlaku.
4) Adanya pengulangan pola prilaku tertentu dalam kebudayaan.
Tanpa pendidikan, maka budaya akan tertinggal. Aspek budaya pun sangat
berperan dalam proses pendidikan dapat dikatakan tidak ada pendidikan yang tidak
dimasuki unsur budaya. Materi yang dipelajari anak-anak adalah budaya, cara
belajar mereka adalah budaya. Dengan demikian, budaya tidak pernah lepas dari
proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedang setiap manusia selalu
menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu,
dalam UU-RI No. 2 Tahun 1989 Pasal 1 Ayat 2 ditegaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar
pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

55
Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan
dapat dilestarikan/dikembangkan dengan jalan mewariskan kebudayaan dari
generasi ke generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara informal maupun
secara formal. Sebaliknya bentuk, ciri-ciri dan pelaksanaan pendidikan itu ikut
ditentukan oleh kebudayaan masyarakat di mana proses pendidikan itu
berlangsung. Kemajuan di masyarakat tidak sekedar kemajuan peradaban saja,
tetapi juga sarana-sarana, kemajuan ekonomi sehingga mampu menopang
kebutuhan sekolah. Pengaruh dan peranan masyarakat terhadap sekolah sebagai
berikut (Ahmadi, 2001: 38):
1) Sebagai arah dalam menentukan tujuan
2) Sebagai masukan dalam menentukan proses belajar mengajar
3) Sebagai sumber belajar
4) Sebagai pemberi dan dan fasilitas lainnya
5) Sebagai laboratorium guna pengembangan dan penelitian sekolah
Kebudayaan sebagai dinamika kehidupan manusia akan terus berkembang
sejalan dengan perkembangan zaman, percepatan perkembangan ilmu dan
teknologi, serta perkembangan proses pemikiran manusia. Perkembangan- tersebut
tidak dapat disangkal dipengaruhi oleh pendidikan. Tampak bahwa pendidikan
berperan dalam mengembangkan kebudayaan. Pendidikan adalah medan bagi
manusia dibina, ditumbuhkan, dan dikembangkan potensi-potensinya. Semakin
potensi seseorang dikembangkan semakin ia mampu menciptakan atau
mengembangkan kebudayaan. Sebab pelaku kebudayaan adalah manusia.
Kehidupan budaya masyarakat yang mendasari penyelenggaraan
pendidikan meliputi kondisi-kondisi kultural yang ada dalam masyarakat berupa:
sistem nilai yang dianut, aneka kepercayaan, mitos-mitos, tata kelakuan atau norma,
perilaku kebiasaan atau adat istiadat, etnisitas, dan kesenian (Wahab, 2011:21).
Salah satunya di masyarakat terdapat norma-norma sosial budaya yang harus
diikuti oleh warganya dan norma-norma itu berpengaruh dalam pembentukkan
kepribadian warganya dalam pendidikan. Para tokoh tokoh masyarakat berperan
sebagai tauladan dalam norma-norma masyarakat disamping orang tua kepada
anak-anak tentang adat istiadat atau tradisi atau sopan santun, baik dalam

56
pertemuan-pertemuan resmi maupun dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma
masyarakat yang berpengaruh tersebut sudah merupakan aturan-atruran yang
ditularkan oleh generasi itu kepada generasi mudanya. Penularan-penularan yang
dilakukan dengan sadar dan bertujuan ini sudah merupakan proses pendidikan
masyarakat (Ahmadi, 2001:38).
Pada awal perkembangannya, suatu kebudayaan terbentuk berkat
kemampuan manusia mengatasi kehidupan alamiahnya dan kesengajaan manusia
menciptakan lingkungan yang cocok bagi kehidupannya. Setiap individu yang lahir
selalu memasuki lingkungan kebudayaan dan lingkungan alamiah, dan menghadapi
dua sistem sekaligus yaitu sistem kebudayaan dan sistem lingkungan alam. Individu
dalam masyarakat modern sangat dipengaruhi oleh besar dan kompleksnya
kehidupan masyarakat modern dan kecanggihan kebudayaannya. Ini berarti bahwa
individu hanya dapat hidup dalam masyarakat atau kebudayaan modern, apabila ia
mau dan mampu belajar terus menerus.
Keragaman budaya terwujud dalam keragaman adat istiadat, tata cara, dan
tata krama pergaulan, kesenian, bahasa, dan sastra daerah, maupun kemahiran dan
keterampilan yang tumbuh dan terpelihara di suatu daerah. Peserta didik diharapkan
tidak hanya mengenal lingkungannya (alam, sosial, dan budaya) akan tetapi juga
mau dan mampu mengembangkannya. Sebagai contoh, muatan lokal dalam
kurikulum tidak hanya sekedar meneruskan minat akan kemahiran yang ada di
daerah tertentu, tetapi juga serentak memperbaiki/meningkatkannya sesuai dengan
perkembangan IPTEK. Dengan demikian, kurikulum ikut memutakhirkan
kemahiran lokal (mengukir, melukis, menenun, menganyam, dan sebagainya),
sehingga sesuai dengan kemajuan zaman, membuka peluang tersedianya lapangan
kerja bagi peserta didik yang bersangkutan (umpama bidang kerajinan) dengan
memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia di lingkungannya.
Sebagai salah satu faktor yang ikut menentukan kelangsungan hidup suatu
masyarakat adalah kesanggupan dan kemampuan anggotanya untuk mendukung
nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Pendidikan sebagai sub-
sistem masyarakat mempunyai peranan mewariskan, memelihara dan sekaligus
sebagai agen pembaharuan kebudayaan. Pendidikan dapat dikonsepkan sebagai

57
proses budaya manusia. Kegiatanya dapat berwujad sebagai upaya yang dipikirkan,
dirasakan dan dikehendaki manusia. Pada dasarnya pendidikan merupakan unsur
dan peristiwa budaya. Pendidikan merupakan proses budaya, yakni generasi
manusia berturut-turut mengambil peran sehingga menghasilkan peradaban masa
lampau dan mengambil peranan di masa kini dan mampu menciptakan peradaban
di masa depan. Dengan kata lain, pendidikan memiliki tiga peran yaitu sebagai
pewarisan, sebagai pemegang peran dan sebagai pemberi kortribusi. Dengan
demikian dapat dipahami pendidikan sebagai proses upaya pemeliharaan dan peran
dalam membangun peradaban dan pendidikan tidak terbatas pada benda-benda
yang tampak
Analisis antropologi budaya dapat membantu mengatasi problema-
problema pendidikan yang dimunculkan oleh kelompok-kelompak minoritas dan
budaya yang lain. Pada hakikatnya manusia sebagai makhluk budaya dapat
menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat. Salah satu cara untuk memelihara
kebudayaan adalah melalui pengajaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pendidikan dapat berfungsi sebagai penyampaian, pelestarian dan sekaligus
pengembangan kebudayaan.
b. Landasan Kultural Pendidikan Pandangan Barat
Kultural berasal dari bahasa Inggris yaitu culture yang berarti kebudayaan.
Malinowski dalam Jatijajar (2015) menyebutkan bahwa kebudayaan pada
prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap tingkat
kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas. Menurut Taylor dalam
bukunya primitive culture (Setyawan, 2014:1) kebudayaan atau peradaban yaitu
meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, kebiasaan
dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat.
Beberapa negara dapat kita lihat bagaimana kultural pendidikannya. Seperti
di negara Jepang, hal yang patut dikagumi adalah budaya disiplin dan kerja
kerasnya yang turut berperan serta dalam pencapaian kesuksesan. Budaya disiplin
dan kerja keras orang Jepang sejak dahulu diajarkan dari leluhur mereka yang selalu
ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari yang juga berpengaruh pada kemajuan

58
negaranya. Nilai-nilai positif dari negara Jepang patut kita terapkan dalam
menyongsong kesuksesan dan kemajuan pada negara kita.
Finlandia juga dapat dijadikan cerminan dalam hal pendidikan. Finlandia
dinobatkan sebagai negara dengan pendidikan terbaik. Salah satu alasannya adalah
budaya membaca orang Finlandia yang ditanamkan sejak anak-anak. Bahkan,
Finlandia menerbitkan lebih banyak buku anak-anak dari pada negara mana pun di
dunia. Guru diberi kebebasan melaksanakan kurikulum pemerintah, bebas memilih
metode dan buku teks. Stasiun TV pun menyiarkan program berbahasa asing
dengan teks terjemahan dalam bahasa Finish, sehingga anak-anak bahkan membaca
waktu nonton TV. Finlandia menganut sistem pendidikan yang cenderung rileks
dan sangat fleksibel. Dengan kata lain, jenis sistem pendidikan apapun, baik sistem
yang fleksibel ataupun kaku, bila ditopang dengan budaya pendidikan yang baik
akan berdampak pada luaran yang baik pula. Ditanah air, budaya pendidikan
menjadi salah satu masalah yang mempengaruhi kinerja sistem pendidikan.
Professor Stecher dalam Mulyono (2015) mengatakan bahwa sekolah harus
menjadi agen pembentukan pola budaya yang membentuk norma-norma pada
generasi mendatang. Artinya, disamping transfer pengetahuan, aktivitas pendidikan
juga harus mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana transfer karakter dan
budaya yang baik sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

c. Landasan Kultural Pendidikan Pandangan Islam


Kata kebudayaan dalam Islam lebih dipandang sebagai proses manusia
mewujudkan totalitas dirinya dalam kehidupan yang disebut amal. Amal atau
aktifitas budaya merupakan aktifitas hidup yang disadari, dimengerti dan
direncanakan serta berkaitan erat dengan nilai-nilai. Kebudayaan mencakup
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan
yang dibuat oleh manusia. Peran agama Islam dalam kebudayaan adalah
memberikan nilai-nilai etis yang menjadi pedoman dan ukurannya. Allah berfirman
dalam surat Ali Imran ayat 110:

59
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf (berbuat baik) dan mencegah dari yang mungkar
(kejahatan) dan beriman kepada Allah”.
Ayat ini menjelaskan bahwa ada dua kecenderungan budaya manusia, yaitu
budaya yang baik dan budaya yang buruk. Ayat tersebut menerangkan dengan tegas
dalam mengantisipasi dinamika budaya dan peradaban umat manusia.
Penyimpangan budaya dari nilai-nilai kebenaran dan kebaikan menimbulkan
budaya yang hancur.
Budaya termasuk bagian dari syari’ah (aturan agama) yang dijadikan
sebagai pertimbangan dalam setiap tindakan dan ucapan. Adapun dalil-dalil Al-
Qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang kultural sebagai berikut.
1) Kebudayaan berjabat tangan

‫علَ ْي أه‬ ‫صلهى ه‬


َ ُ‫َّللا‬ ‫سو أل ه أ‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ب َر‬
‫ص َحا أ‬ َ ‫َت ْال ُم‬
ْ َ ‫صافَ َحةُ فأي أ‬ ْ ‫ع ْن أبى الخطاب قَت َادَة َ قَا َل قُ ْلتُ أِلَن أَس ب أْن َمالأكٍ ه َْل كَان‬ َ
‫س هل َم َقا َل نَ َع ْم‬
َ ‫َو‬

Dari Abi Khattâb Qatâdah ia berkata: Saya bertanya kepada Anas bin Malik,
“Apakah para Sahabat Rasulullah SAW biasa berjabat tangan?” Ia menjawab,
“Ya.” (HR Bukhari)
2) Budaya bahasa yang berbeda-beda

Artinya: “Hingga apabila dia telah sampai di antara dua buah gunung, dia
mendapati di hadapan kedua bukit itu suatu kaum yang hampir tidak mengerti
pembicaraan. (Al Kahf: 93)
Maksudnya: mereka tidak bisa memahami bahasa orang lain, karena bahasa
mereka amat jauh bedanya dari bahasa yang lain, dan mereka pun tidak dapat

60
menerangkan maksud mereka dengan jelas karena kekurangan kecerdasan
mereka.
3) Perhatian Islam terhadap tradisi

‫قال عبد هللا بن مسعود‬: ُ‫س ٌن َو َما َرآَه‬ َ ‫هللا َح‬ َ ‫َما َرآَهُ ْال ُم ْس أل ُم ْونَ َح‬
‫س ًنا فَ ُه َو أع ْندَ أ‬
‫ي أ ٌء‬
ِّ ‫س‬ ‫س أيِّئا ً فَ ُه َو أع ْندَ أ‬
َ ‫هللا‬ ْ ‫رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم‬
َ َ‫ال ُم ْس أل ُم ْون‬.

Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam,
adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam,
maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”
Menjaga tradisi berarti menjaga kebersamaan. Melanggar tradisi dapat
menimbulkan fitnah dan perpecahan di kalangan umat.

2. Karakteristik Kebudayaan
Manan (1989:11) mengutarakan tiga karakteristik kebudayaan yang bersifat
pradoksal (kebudayaan memiliki sifat stabil dan dinamis) dapat dimaklumi, yakni
sebagai berikut.
a. Kebudayaan merupakan kekayaan universal umat manusia, tetapi manifestasi
lokal dan regionalnya bersifat unik.
b. Kebudayaan bersifat stabil, tetapi juga bersifat dinamis dan memperlihatkan
perubahan yang terus menerus dan tetap.
c. Kebudayaan mengisi dan menentukan jalan hidup kita, tetapi kebudayaan itu
jarang mengusik alam sadar kita.
Kesamaan anatomis yang sama menyebabkan kebutuhan dasar umat
manusia juga bersamaan. Kebutuhan dasar ini akan dipenuhi dalam bentuk respon.
Respon ini bersamaan dalam polanya dalam suatu masyarakat.Pola respon ini
dinamakan institusi budaya atau institusi sosial.Institusi budaya adalah suatu
perilaku yang terpola digunakan oleh suatu masyarakat untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dasar.Antropologi mengenal paling kurang delapan institusi, yakni
kekerabatan, ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan, estetika, dan rekreasi,
politik, kesehatan, jasmani, dan agama.

61
Murdok (dalam Manan,1989:15) mengemukakan enam karakteristik
kebudayaan yang bersifat unversal, yakni sebagai berikut.
a. Kebudayaan dipelajari dan bukan bersifat instingtif, karena itu tidak dapat dicari
asal-usulnya.
b. Kebudayaan ditanamkan. Manusia yang bisa menyampaikan warisan sosialnya
dan anak cucu yang dapat menyerap dan bukan mengubahnya.
c. Kebudayaan bersifat sosial dan dimiliki bersama oleh manusia dan berbagai
masyarakat yang terorganisir.
d. Kebudayaan bersifat gagasan yang diungkapkan sebagai norma-norma ideal atau
pola-pola perilaku.
e. Kebudayaan sampai pada tingkat memuaskan kebutuhan-kebutuhan induvidu,
kebutuhan-kebutuhan biologis secara budaya.
f. Kebudayaan bersifat integratif.

3. Fungsi Kebudayaan dan Institusi Sosial


a. Fungsi kebudayaan
Menurut Kerber dan Smith.
1) Pelanjut keturunan dan pengasuhan anak (penjamin kelangsungan hidup
biologis dari kelompok sosial).
2) Pengembangan kehidupan ekonomi (menghasilkan dan memakai benda-benda
ekonomi).
3) Transmisi budaya (cara-cara mendidik dan membentuk generasi baru menjadi
orang-orang dewasa yang berbudaya).
4) Keagamaan (menanggulangi hal-hal yang berhubungan dengan kekuatan yang
bersifat gaib/supernatural).
5) Pendekatan sosial (cara-cara yang dikembangkan untuk melindungi
kesejahteraan individu dan kelompok).
6) Rekreasi (aktivitas-aktivitas yang memberi kesempatan kepada orang untuk
memuaskan kebutuhannya akan permainan-permainan).

62
b. Institusi Sosial
Definisi institusi sosial.
1) Menurut Malinowki
“Institusi sebagai sekelompok orang yang bersatu untuk melaksanakan suatu
aktivitas yang sederhana/ kompleks”.
2) Menurut Koentjaraningrat
“Unsur-unsur institusi sosial terdiri dari sistem norma, personal, dan peralatan
fisik”.
3) Menurut Bierstedt
“Institusi sosial sebagai ‘an organized ways of doing things’ ”.
c. Fungsi Institusi Sosial
Menurut Gillin dan Gillin fungsi intitusi sosial, yakni sebagai berikut.
1) Menyederhanakan tindakan individu.
2) Menyediakan cara pengendalian sosial.
3) Menyediakan peran dan kedudukan bagi individu-individu.
4) Kadang-kadang merintangi perkembangan kepribadian, karena orang harus
selalu menyesuaikan diri dengan norma-norma yang telah ada.
5) Mendorong orang-orang tertentu untuk bereaksi menentang institusi tertentu
(karena telah usang dan berusaha merumuskan pola perilaku baru).
6) Mengharmoniskan berbagai badan dalam konfigurasi budaya secara
keseluruhan. Misal, institusi-institusi dalam suatu kebudayaan atau masyarakat
akan menyesuaikan diri satu sama lainnya.

4. Kebudayaan Sebagai Landasan Pendidikan Nasional


Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu
melalui upaya pendidikan sebagai wujud dari kebhineka tunggal ikaan masyarakat
dan bangsa Indonesia. Hal ini haruslah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan
kesatuan dan persatuan bangsa dan negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedang setiap manusia selalu
menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Oleh karena itu,
dalam UU RI No 2 Tahun 1989 Pasal 1 ayat 2 ditegaskan bahwa yang dimaksud

63
dengan Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada
kebudayaan bangsa Indonesia dan yag berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945.
Karena masyarakat Indonesia sebagai pendukung kebudayaan itu adalah
masyarakat yang majemuk, maka kebudayaan bangsa Indonesia tersebut lebih tepat
disebut kebudaayan Nusantara yang beragam. Puncak-puncak kebudayaan
Nusantara itu dan yang diterima secara nasional disebut kebudayaan nasional..
Di bidang pendidikan nasional misalnya penataan laporan pikir harus
dilakukan dalam sistem pendidikan nasional dengan tujuan menghilangkan unsur-
unsur yang mendorong orientasi persaingan yang berlebihan dan tidak fair, atau
bahkan telah menimbulkan semacam permusuhan (dimulai dari sistem ranking,
perbedaan jenis dan kualitas sekolah, lengkap dengan istilahnya seperti sekolah
unggulan dan bukan sekolah unggulan, hingga persaingan antar sekolah yang
berwujud tawuran pelajar dan perbuatan negatif lainnya). Persaingan harus sebatas
berlomba, bukan eksklusivisme yang mengakibatkan renggangnya kerukunan
sosial. Penataan pola pikir sistem pendidikan nasional harus menumbuhkan
pola kerjasama antar siswa, misalnya melalui praktek-praktek kegiatan belajar
yang diisi “proyek bersama” siswa dalam pembahasan materi pelajar, atau
pelaksanaan seni-budaya dan reaksi bersama antar sekolah-sekolah, menanamkan
kesadaran sebagai siswa sekolah Indonesia, dimanapun tempat bersekolahnya.
Ciri-ciri kebudayaan nasional menurut Umar Khayam :
a. Afeksi yang memiliki atau mengandung :
1) Sikap jujur dalam semua bidang
2) Tidak munafik, tidak berbeda antara apa yang dipikirkan dengan diucapkan
atau dikerjakan
3) Tulus dan ikhlas dalam semua pekerjaan yang harus dilakukan, tidak terlalu
banyak pertimbangan untung dan rugi
b. Sistem politik yang ban penghalang demokratis, yaitu;
1) Pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat
2) Rakyat selalu mendapat kesempatan untuk mempertanyakan perihal
pemerintahannya
c. Sistem Ekonomi yang:

64
1) Memberi kesempatan adil kepada semua warga negara untuk mendapat
penghidupan dan kehidupan yang layak sesuai dengan harkat kemanusiaan
2) Mampu menciptakan pasar luas untuk bersaing
3) Menyalurkan hasil penjualan untuk kesejahteraan yang relatif merata pada
seluruh masyarakat
d. Sistem pendidikan yang :
1) Sanggup menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh
warga negara untuk mendapatkan pendidikan, yang menjamin dapat
menemukan atau mengadakan lapangan pekerjaan yang dipilihnya
2) Mampu mendorong perimbangan ilmu dan teknologi yang setinggi-tingginya
e. Sistem kesenian yang :
1) Mampu mengembangkan sussana kehidupan kesenian yang kaya dan penuh
vitalitas
2) Tanpa adanya beban terhadap pernyataan kesenian
f. Sistem kepercayaan yang :
1) Sehat, toleransi, dan damai
2) Memberi tempat seluas-luasnya kepada semua bentuk agama untuk
berlangsung secara selamat dan tentram.

65
BAB III

PEMBAHASAN

A. Landasan Filosofis Pendidikan


Pandangan Indonesia Pandangan Barat Pandangan Islam
Landasan filsafat dalam pandangan Filsafat merupakan ilmu atau Al-Qur’an berisi segala hal mengenai
Indonesia disebut juga dengan landasan pendekatan yang mempelajari dengan petunjuk yang membawa hidup manusia
filsafat pancasila. Landasan filsafat sungguh-sungguh hakekat kebenaran segala bahagia di dunia dan akhirat kela. Al-Qur’an
pancasila merupakan harmonisasi dari sesuatu. Menurut Immanuel Kant (1724- berisi petunjuk segala sesuatu yang dengan
nilai-nilai dan norma-norma utuh yang 1804) yang seringkali disebut sebagai jelas dinyatakan dalam ayat lain, Q.S. An-
terkandung dalam sila-sila Pancasila, raksasa pemikir Barat, filsafat adalah ilmu Nahl ayat 89:
bertujuan untuk mendapatkan pokok- pokok yang merupakan pangkal dari segala
pokok secara mendasar dan menyeluruh pengetahuan.
agar menjadi landasan filsafat yang Landasan filosofis bersumber dari
sesuai dengan keperibadian dan cita-cita pandangan-pandangan dalam filsafat
Bangsa.Adapun bentuk Filsafat pendidikan, menyangkut keyakinan
Pancasila sendiri digolongkan sebagai terhadap hakekat manusia, keyakinan
“...dan Kami turunkan kepadamu Al kitab
berikut : tentang sumber nilai, hakekat pengetahuan,
(Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
a.Bersifat religius yang berarti dalam dan tentang kehidupan yang lebih baik
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
hal kebijaksanaan dan kebenaran dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal
bagi orang-orang yang berserah diri”.
mengenal adanya kebenaran mutlak sampai saat ini adalah idealisme, realisme,
yang berasal dari Tuhan Yang Maha perenialisme, esensialisme, pragmatisme
Esa (kebenaran religius) dan dan progresivisme, serta ekstensialisme.
sekaligus mengakui keterbatasan
kemampuan manusia.

66
Pandangan Indonesia Pandangan Barat Pandangan Islam
b.Memiliki arti praktis yang berarti
dalam proses pemahamannya tidak
sekedar mencari kebenaran dan
kebijaksanaan, serta hasrat ingin
tahu, tapi hasil pemikiran yang
berwujud filsafat pancasila tersebut
dipergunakan sebagai pedoman
hidup sehari-hari agar mencapai
kebahagiaan lahir dan bathin, dunia
maupun akhirat (Pancasilais).
Kesimpulan: Ketiga pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pendidikan secara umum yaitu landasan atau
dasar dari nilai- nilai dan norma- norma yang diterapkan untuk mencari kebenaran berdasarkan pedoman yang ada,
seperi berpedoman dengan Al-Quran dan hadist, Pancasila, peraturan, dll.

B. Landasan Psikologis Pendidikan


Pandangan Indonesia Pandangan Barat Pandangan Islam
Menurut Pidarta (2007:194), Psikologi berasal dari kata Yunani Psikologi Islam merupakan sebuah
psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu “psyche” yang artinya jiwa. Logos berarti aliran baru dalam dunia psikologi yang
yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa ilmu pengetahuan. Secara etimologi, mendasarkan seluruh bangunan teori-teori
itu sendiri adalah roh dalam keadaan psikologi berarti ilmu yang mempelajari dan konsep-konsepnya kepada Islam. Islam
mengendalikan jasmani yang dapat tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, sebagai subjek dan objek kajian dalam ilmu
dipengaruhi oleh alam sekitar. Jiwa prosesnya maupun latar belakangnya. pengetahuan harus dibedakan kepada tiga
manusia berkembang sejajar dengan Menurut Whiterington (1982) bahwa bentuk: Islam sebagai ajaran, Islam sebagai
pertumbuhan jasmani. Pendidikan pendidikan adalah proses pertumbuhan pemahaman dan pemikiran serta Islam
selalu melibatkan aspek kejiwaan sebagai praktek atau pengamalan. Islam
manusia, sehingga landasan psikologis sebagai ajaran bersifat universal dan berlaku

67
pendidikan merupakan suatu landasan yang berlangsung melalui tindakan- pada semua tempat dan waktu, bersifat
dalam proses pendidikan yang tindakan belajar. absolut dan memiliki kebenaran
membahas berbagai informasi tentang normatif, yaitu benar berdasarkan pemeluk
kehidupan manusia pada umumnya Itu artinya bahwa tindakan-tindakan agama tersebut, sehingga bebas ruang dan
serta gejala-gejala yang berkaitan belajar yang berlangsung secara terus waktu.
dengan aspek pribadi manusia untuk menerus akan menghasilkan pertumbuhan
mengenali dan menyikapi manusia pengetahuan dan perilaku sesuai dengan
sesuai dengan tahapan usiatingkatan pembelajaran yang dilalui oleh
perkembangannya yang bertujuan individu sendiri melalui proses belajar-
untuk memudahkan proses pendidikan. mengajar. Oleh karena itu, untuk mencapai
hasil yang diharapkan, metode dan
Ada tiga teori atau pendekatan pendekatan yang benar dalam proses
tentang perkembangan. Pendekatan- pendidikan sangat diperlukan.
pendekatan yang dimaksud adalah
(Nana Syaodih, 1989).
a. Pendekatan pentahapan.
Perkembangan individu berjalan
melalui tahapan-tahapan tertentu.
b. Pendekatan diferensial. Pendekatan
ini dipandang individu- individu itu
memiliki kesamaan- kesamaan dan
perbedaan- perbedaan
c. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini
berusaha melihat karakteristik
setiap individu, dapat saja disebut
sebagai pendekatan individual.

68
Kesimpulan: Ketiga pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan yang
mempelajari tentang jiwa seseorang, baik dengan pendekatan- pendekatan seperti pendekatan pentahapan, diferensial,
dan ipsatif serta cara- cara lainnya untuk menemukan sebuah kebenaran melalui psikologis.

C. Landasan Sosiologis Pendidikan


Pandangan Indonesia Pandangan Barat Pandangan Islam
Sosiologi Pendidikan secara Sosiologi pertama kali digunakan Di dalam Al-Qur’an termuat hukum-
operasional dapat defenisi sebagai oleh August Comte (1798-1857) pada hukum yang mengatur bagaimana manusia
cabang sosiologi yang memusatkan tahun 1839, sosiologi merupakan ilmu menjalani hidup dalam bermasyarakat
perhatian pada mempelajari hubungan pengetahuan positif yang memepelajari dengan baik. Hukum dalam ajaran Agama
antara pranata pendidikan dengan masyarakat. Sosiologi mempelajari Islam dikenal dengan istilah syariat, yang
pranata kehidupan lain, antara unit berbagai tindakan sosial yang menjelma berarti peraturan atau hukum-hukum yang
pendidikan dengan komunitas sekitar, dalam realitas sosial. diturunkan Allah melalui Rasul baik berupa
interaksi sosial antara orang-orang Al Qur’an maupun Sunnah Nabi yang
dalam satu unit pendidikan, dan Landasan sosiologi mengandung berupa perkataan, perbuatan, ketetapan
dampak pendidikan pada kehidupan norma dasar pendidikan yang bersumber Nabi Muhammad SAW, untuk umat
peserta didik (Natawidjaja , 2007: 82). dari norma kehidupan masyarakat yang manusia agar keluar dari kegelapan menuju
dianut oleh suatu bangsa. Untuk jalan terang, dan mendapat petunjuk kepada
Landasan sosiologis pendidikan di memahami kehidupan bermasyarakat suatu jalan yang lurus. Jadi, Al Qur’an memuat
Indonesia menganut paham bangsa, kita harus memusatkan perhatian aspek-aspek hukum bagi ketentraman
integralistik yang bersumber dari pada pola hubungan antar pribadi dan antarkehidupan makhluk Allah terutama
norma kehidupan masyarakat: (1) kelompok dalam masyarakat tersebut. manusia.
kekeluargaan dan gotong royong, Untuk terciptanya kehidupan masyarakat
kebersamaan, musyawarah untuk yang rukun dan damai, terciptalah nilai- Surat yang membahas tentang
mufakat, (2) kesejahteraan bersama nilai sosial yang dalam perkembangannya toleransi dalam Q.S Al-Kafirun: 1-6
menjadi tujuan hidup bermasyarakat, menjadi norma-norma sosial yang
(3) negara melindungi warga mengikat kehidupan bermasyarakat dan Katakanlah: “Hai orang-orang kafir,
Aku tidak akan menyembah apa yang

69
negaranya, dan (4) selaras serasi harus dipatuhi oleh masing-masing anggota kamu sembah. Kamu bukan penyembah
seimbang antara hak dan kewajiban. masyarakat. Tuhan yang aku sembah. Aku tidak
Oleh karena itu, pendidikan di pernah menjadi penyembah apa yang
Indonesia tidak hanya meningkatkan kamu sembah. Kamu tidak pernah
kualitas manusia secara orang per (pula) menjadi penyembah Tuhan yang
orang. aku sembah. Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”.

Kesimpulan: Ketiga pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa landasan sosiologis dalam pendidikan merupakan suatu
landasan untuk bermasyarakat dan saling menghormati dan mematuhi satu sama lain. Seperti dalam Al-quran bahwa
Allah S.W.T menjelaskan toleransi antar umat beragama dengan berfirman yaitu agamaku untuk ku dan agamu untuk
mu dalam surat Al-Kafirun ayat 1-6. Sehingga diperlukan sikap toleransi antar individu dalam bermasyarakat.

70
D. Landasan Kultural Pendidikan
Pandangan Barat Pandangan Islam

Landasan kultural mengandung Menurut Taylor dalam bukunya Kata kebudayaan dalam Islam lebih
makna norma dasar pendidikan yang primitive culture (Setyawan, 2014:1) dipandang sebagai proses manusia
bersumber dari norma kehidupan kebudayaan atau peradaban yaitu meliputi mewujudkan totalitas dirinya dalam
berbudaya yang dianut oleh suatu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, kehidupan yang disebut amal. Amal atau
bangsa (Burhanuddin, 2013: 8).Untuk hukum, adat-istiadat, kebiasaan dan aktifitas budaya merupakan aktifitas hidup
memahami kehidupan berbudaya suatu pembawaan lainnya yang diperoleh dari yang disadari, dimengerti dan direncanakan
bangsa kita harus memusatkan perhatian anggota masyarakat. serta berkaitan erat dengan nilai-nilai.
pada berbagai dimensi kebudayaan Professor Stecher dalam Mulyono Kebudayaan mencakup pengetahuan,
terkait dengan ciri manusia sendiri (2015) mengatakan bahwa sekolah harus kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
sebagai mahluk yang harus menjadi agen pembentukan pola budaya istiadat, dan kebiasaan yang dibuat oleh
berkembang. yang membentuk norma-norma pada manusia. Peran agama Islam dalam
Landasan kultural pendidikan di generasi mendatang. Artinya, disamping kebudayaan adalah memberikan nilai-nilai
Indonesia haruslah mampu memberi transfer pengetahuan, aktivitas pendidikan etis yang menjadi pedoman dan ukurannya.
jawaban terhadap masalah berikut: (1) juga harus mampu menjalankan fungsinya Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat
semangat kekeluargaan dalam rumusan sebagai sarana transfer karakter dan budaya 110:
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai yang baik sesuai dengan norma-norma yang
landasan pendidikan, (2) rule of law berlaku.
dalam masyarakat yang berbudaya
kekeluargaan dan kebersamaan,(3) apa
yang menjadi etos masyarakat Indonesia
dalam kaitan waktu, alam, dan kerja,
serta kebiasaan masyarakat Indonesia “Kamu adalah umat yang terbaik, yang
yang menjadi etos sesuai dengan budaya dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
Pancasila; beriman dan bertaqwa yang ma’ruf (berbuat baik) dan mencegah
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi

71
pekerti luhur, berkepribadian, dari yang mungkar (kejahatan) dan beriman
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, kepada Allah”.
bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil, sehat jasmani dan rohani, dan
(4) cara bagaimana masyarakat
menafsirkan dirinya, sejarahnya, dan
tujuan-tujuannya. Bagaimana tiap
warga memandang dirinya dalam
masyarakat yang integralistik,
bagaimana perkembanga cara
peningkatan harkat dan martabat
sebagai manusia, apa yang menjadi
tujuan pembentukan manusia Indonesia
seutuhnya.

Kesimpulan: Ketiga pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa kultural pendidikan merupakan landasan dalam memperoleh
tujuan pendidikan berdasarkan kebudayaan yang di anut oleh suatu daerah. Kebudayaan atau kultural pendidikan yang
ada di lingkungan yang akan mengembangkan kemampuan bagaimana cara suatu individu maupun kelompok untuk
meningkatkan martabatnya sebagai manusia berdasarkan pengetahuan atau pendidikan yang dimilikinya.
E. Implementasi Pembelajaran Fisika pada Landasan Filosofi, Sosial, Kultural dan Psikologis Pendidikan

72
Sosiologi Pendidikan Kultural Pendidikan Psikologis Pendidikan Filosofis Pendidikan
Contoh pada pelajaran fisika Contoh pada pelajaran fisika Model pembelajar fisika Pengetahuan seseorang tentang
materi getaran dan gelombang. materi getaran dan psikologis menjadi alternatif listrik arus searah adalah
Materi ini disesuaikan dengan gelombang. Materi ini model pembelajar bentukan siswa sendiri yang
lingkungan siswa. Siswa yang disesuaikan dengan fisikaan yang dapat terjadi karena siswa mengolah,
berada di lingkungan perkotaan lingkungan siswa. Siswa diterapkan. Model psikologis mencerna dan akhirnya
seperti di kota Malang, dapat yang berada di lingkungan ini lebih menekankan pada merumuskan pengertian tentang
dipahami materi getaran dan perkotaan seperti di kota interaksi dan komunikasi listrik arus searah tersebut. Jadi
gelombang ini gelombang tali, Malang, dapat dipahami dalam pembelajar fisikaan menurut filosofi
gelombang bunyi dan gelombang materi getaran dan serta menekankan pada konstruktivisme pengetahuan
radio. Namun akan berbeda gelombang ini gelombang proses pembentukan merupakan bentukan
dengan di lingkungan Pesisir tali, gelombang bunyi dan pengetahuan secara aktif (konstruksi) dari orang yang
yang jauh dari kehidupan kota, gelombang radio. Namun oleh peserta fisika. sedang belajar, yaitu dengan
hal ini dapat di implementasikan akan berbeda dengan di mengembangkan ide-ide dan
pada gelombang air, gelombang lingkungan Pesisir yang jauh pengertian yang dimiliki oleh
bunyi. Dapat disimpulkan dari kehidupan kota, hal ini pribadi orang belajar tersebut.
kebermaknaan dalam belajar dapat di implementasikan Dengan cara ini siswa dapat
akan tercapai dengan baik dengan pada gelombang air, menjalani proses
harapan hasil belajar lebih baik gelombang bunyi. Dapat mengkonstruksi pengetahuan
dan akan meningkat dari wkatu disimpulkan kebermaknaan baik berupa konsep, ide maupun
ke waktu, dimana kreativitas guru dalam belajar akan tercapai pengertian tentang sesuatu yang
sangat menentukan, serta kondisi dengan baik dengan harapan sedang dipelajarinya. Agar
social budaya suatu masayarakat hasil belajar lebih baik dan proses pembentukan
sangat mempengaruhi akan meningkat dari wkatu pengetahuan dapat berkembang
keberhasilan suatu proses ke waktu, dimana kreativitas dengan baik, maka kehadiran
Pendidikan. guru sangat menentukan, pengalaman menjadi sangat
serta kondisi social budaya penting untuk tidak membatasi

73
suatu masayarakat sangat pengetahuan siswa.
mempengaruhi keberhasilan Pengetahuan yang dibentuk
suatu proses Pendidikan. dengan sendirinya oleh siswa
ini dapat memunculkan atau
mendorong terhadap siswa
untuk mencari dan menemukan
pengalaman baru. Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa
pembelajaran yang menekankan
proses pembentukan
pengetahuan oleh siswa sendiri
dinamakan pembelajaran
konstruktivisme. Aktivitas
siswa merupakan syarat mutlak
agar siswa bukan hanya mampu
mengumpulkan banyak fakta,
melainkan siswa mampu
menemukan sesuatu
pengetahuan dan mengalami
perkembangan berpikir (proses
perkembangan berpikir dalam
rangka membangun konsep).
Pengetahuan-pengetahuan yang
didapat oleh masing-masing
siswa dibawa ke dalam diskusi
kelas, kemudian dipecahkan dan
dibahas bersama-sama di dalam

74
kelas. Dalam pembelajaran
konstruktivisme, guru hanya
berperan sebagai fasilitator dan
moderator, tugasnya adalah
merangsang dan membantu
siswa untuk mau belajar sendiri
dan merumuskan pengertiannya.
Jelas sekali bahwa pembelajaran
konstruktivisme adalah bentuk
pembelajaran yang ideal yaitu
pembelajaran siswa yang aktif,
kreatif, dinamis dan kritis.

75
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Landasan filosofis pendidikan merupakan salah satu landasan pendidikan
yang menjadikan filsafat menjadi titik tumpunya. Landasan Filosofis
Pendidikan menyatakan bahwa: “Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”. Dimana pancasila dijadikan sebagai landasan
filosofis pendidikan nasional.
2. Dasar sosiologis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan, dan
karakteristik masyarakat. Sosiologi pendidikan merupakan analisa ilmiah
tentang proses social di dalam sistem pendidikan.
3. Landasan psikologi pendidikan merupakan salah satu landasan yang
penting dalam pelaksanaan pendidikan karena keberhasilan pendidik dalam
menjalankan tugasnya sangat dipengaruhi oleh pemahamannya tentang
peserta didik. Oleh karena itu pendidik harus mengetahui apa yang harus
dilakukan kepada peserta didik dalam setiap tahap perkembangan yang
berbeda dari bayi hingga dewasa
4. Kebudayaan adalah cara hidup dan kehidupan manusia yang diciptakan oleh
manusia itu sendiri sebagai warga masyarakat. Peradaban adalah
kebudayaan yang sudah maju. Dengan memperhatikan berbagai dimensi
kebudayaan, dapat dikemukakan, bahwa landasan kultural pendidikan di
Indonesia.

B. Saran
Untuk lebih memahami dasar-dasar mempelajari landasan ilmu sangat
dianjurkan untuk membaca dari berbagai sumber seperti buku, artikel, dan jurnal.

76
77
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu dan Nur Uhbiyati. 2008. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Bachri, Syamsul. 2002. Sosiologi Pendidikan Dalam Perspektif Filsafat Ilmu


Pengetahuan.
Bahan Ajar Program Pascasarjana UNM. Makassar: UNM
Burhanuddin, Afid. 2013. Landasan Pendidikan. Bahan Mata Kuliah Landasan
Pendidikan.

Daeng Sudirwo. 2002. Kurikulum dan Pembelajaran Dalam Rangka Otonomi


Daerah. Bandung: Andira.
Darajad, Zakiah, dkk.. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
Desmita. 2011. Psikologi perkembangan pesrta didik. Pustaka Remaja Rosdakarya:
Bandung
Jatijajar, Afif. 2015. Pengertian Budaya dan kebudayaan. Tersedia:
http://historikultur.blogspot.co.id/2015/02/pengertian-budaya-dan-
kebudayaan/
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Nana Syaodih. 1989. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Natawidjaya, R., Sukmadinata, N.S., Ibrahim. Djohar, A,. 2007. Ilmu Rujukan
Filsafat, Teori, dan Praksis. Universitas Pendidikan Indonesia.
Manan, Imran. 1989. Anthropologi Pendidikan Suatu Pengantar (Ter. George F.
Kneller). Jakarta: P2LPTK Dirjen Dikti.
Robandi, Babang. 2005. Handout Mata Kuliah Landasan Pendidikan. Bandung:
UPI.

Rohendi, Edi, dkk. 2013. Handout Landasan Pendidikan. Bandung: UPI.

Pidarta, Made. 2009. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta


Savitri, Fatimaningrum. 2005. Psikologi Pendidikan. Universitas Negeri
Yogyakarta

78
Setyawan, Dodiet Aditya. 2014. Pengertian & Konsep Dasar kebudayaan.
Sudjana, Nana. 2008. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Sukmadinata, Nana, Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset

Sulipan. 2009. Pengertian dan Jenis Landasan Pendidikan. Bandung: ITB.

Suyitni. 2009. Landasan Filosofis Pendidikan. Bandung: UPI.


Suryabrata, Sumadi. 2000. Psikologi Pendidikan. CV. Rajawali Jakarta.
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Rhineka
Cipta Jakarta.
Wahab, Rochmat. 2011. Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta:
CV. Aswaja Pressindo
http://imran-adzkiaplus.blogspot.co.id/2012/10/makalah-landasan-sosiologi-
pendidikan_1535.htmlDiakses pada tanggal 7 September 2018.
http://smanplusprovinsiriau.blogspot.co.id/2014/04/antropologi-pendidikan.html.
Diakses pada tanggal 7 September 2018.

79
LAMPIRAN PERTANYAAN PRIBADI

1. Bagaimana konsep Pendidikan masa rasulullah menurut menurut


pandangan sosiologis!
Jawaban
Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari interaksi manusia,
sejatinya mencakup ruang lingkup yang luas. Segala sesuatu yang dilakukan oleh
manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dipandang sebagai wilayah
kepentingan analisis sosiologis. Oleh karena itu, selain sebagai disiplin ilmu yang
sangat luas, sosilogi pun dipandang memiliki nilai strategis bagi pengembangan dan
penataan kehidupan manusia. Hal ini disebabkan karena eksistensi manusia akan
terlihat dalam kebersamaannya dengan manusia lain dan lingkungannya. Kualitas
manusia dan kemanusiaannya lebih banyak diuji dalam interaksinya dengan sesame
atau lingkungannya, bukan dalam kesendiriannya.

LAMPIRAN PERTANYAAN KELOMPOK

1.Erlina Yusliani:
Pernyaaan:
Mengapa landasan Pendidikan tersebut penting dalam kehidupan?
Jawaban:
Landasan Pendidikan pada dasarnya merupakan paparan kritis akan kaidah-kaidah
dan kenyataan dasar Pendidikan. Dasar Pendidikan merupakan dasar bagi upaya
penemuan kebijakan dan praktik Pendidikan yang tepat guna dan bernilai.
Pemahaman akan landasan pendidikan akan membantu para calon/pendidik
professional untuk memikirkan persoalan dari tugas dan fungsinya secara lebih
jelas. Misalnya, bagaimana mengelola potensi kemampuan partisipan Pendidikan
untuk menciptakan situasi belajar yang optimal dengan kurikulun yang
berkesesuaian dengan murid, bagaimana bekerja sama dengan orang tua, dan
pengelola dan lain-lain.

80
2.Yumelda Marzuki
Pertanyaan:
Lembaga Pendidikan di Indonesia cenderung tidak menyesuaikan kegiatan
belajarnya dengan kebutuhan peserta didik, bagaimana tanggapan anda jika
dikaitkan dengan psikologi sebagai landasan Pendidikan?
Jawaban:
Kegiatan belajar di berikan wewenang pada pendidik, dalam hal ini tenaga
kependidikan harus menguasai 8 standar provisional guru. Dalam pelaksanaan di
harapkan krestivitas dan inovasi pendidik dalam memenuhi standar atau tujuan
Pendidikan Ketika pelaksanaan proses pembelajaran berlangsung.
Dalam hal ini diknas pendidikna sudah mengatur perundang undangan sebagai
standar baku Pendidikan, untuk daerah tertentu diharapakan Pendidikan mampu
memiliki komptensi yang mampu memberikan Pendidikan dengan keterbatasan
sarana dan prasarana dalam prosese pembelajaran, serta kultur masayarkat dalam
memandang pentingnya Pendidikan bagi anaknya yang masih stadar, maka
diperlukan sosialisasi makna pentingnya belajar 9 tahun.
Disamping itu Pendidikan yang berlangsung hendaknya tidak cepat puas dengan
ketercapaian yang standar, diperlukan inovasi dan motivasi dari pendidik dan
peserta didik yang didukung dengan adanya kepedulian dari pemertintah daerah
yang menyediakan sarana di balik keterbatasan di suatu Lembaga Pendidikan.
3.Yuri Yanti
Pertanyaan;
Salah satu ciri landasan sosiologis Pendidikan adalah non etis. Bagaimana
eksistensi non etis ini bagi kemajuan Pendidikan?
Jawaban:
Di tengah peradaban manusia yang semakin berkembang, pendidikan diharapkan
mampu mendorong manusia untuk memahami eksistensi pendidikan itu sendiri.
Dalam konteks inilah manusia diharapkan tidak sekadar memahami eksistensi
pendidikan hanya sebatas pemenuhan kapasitas intelektual, namun jauh daripada
itu. Manusia harus ditempa pada iklim pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai

81
luhur yang harus dijunjung tinggi oleh semua manusia. Poin pertama inilah yang
pertama sekali harus dibentuk dalam diri setiap manusia, sehingga kecerdasan
manusia yang lahir dari rahim pendidikan tidak tergerus pada sikap dan mental yang
mudah rapuh. Di belahan dunia manapun di muka bumi ini, proses pembentukan
karakter (character building) pada diri manusia tidak didahului dengan
pembentukan cakrawala berpikir (mencerdaskan), tetapi yang pertama dan utama
dilakukan, ialah membentuk manusia yang bertakwa dan berakhlak mulia. Rasional
jika pendidikan mengedepankan aspek-aspek seperti itu, namun sebaliknya,
irasional jika yang dibentuk terlebih dahulu ialah kecerdasan manusia.

82

Anda mungkin juga menyukai