PERTEMUAN KETIGA
Oleh :
Kelompok 3
Kerusuhan Poso
Pihak terlibat
Pemeri
ntah
Kabupaten
Batalyo
n Infanteri 711
Polres
Poso
Pemeri
ntah
Kabupaten
Arief
Patanga
Muin
Pusadan
Deddy
Woeryantono
Djasma
n Baso Opu
Kekuatan
Tidak 700 orang
diketahui (2000)
Fase pertama dan kedua berawal dari serangkaian bentrokan antara kelompok
pemuda Islam dan Kristen. Beberapa faktor berkontribusi terhadap pecahnya
kekerasan, termasuk persaingan ekonomi antara penduduk asli Poso yang mayoritas
Kristen dan para pendatang seperti pedagang Bugis Muslim
dan transmigran dari Jawa, ketidakstabilan politik dan ekonomi
menyusul jatuhnya Orde Baru, persaingan antarpejabat pemerintah mengenai posisi
birokrasi, dan pembagian kekuasaan daerah antara pihak Kristen dan Islam. Situasi
dan kondisi yang tidak stabil, dikombinasikan dengan penegakan hukum yang lemah,
menciptakan lingkungan yang menjanjikan untuk terjadinya kekerasan.
Bulan Mei menandai dimulainya fase ketiga, yang secara luas dipandang sebagai
periode kekerasan terburuk dalam hal kerusakan dan jumlah korban. Fase ini
merupakan ajang balas dendam oleh kelompok Kristen setelah dua fase sebelumnya
yang sebagian besar didominasi oleh serangan dari pihak Muslim, dan berlangsung
sampai bulan Juli 2000. Fase ketiga ini memuncak dalam sebuah
peristiwa pembantaian di sebuah pesantren yang terjadi di Desa Sintuwu Lemba yang
mayoritas penduduknya Islam. Dalam fase ketiga ini, ratusan orang jatuh menjadi
korban, umumnya dari pihak Muslim.
Latar Belakang
Sulawesi Tengah adalah sebuah provinsi yang didominasi dataran tinggi, yang
terletak di antara wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara di pulau Sulawesi.
Poso adalah salah satu dari delapan kabupaten —kabupaten lain baru berdiri setelah
tahun 2002— di provinsi ini. Ibu kota kabupaten Poso (kota Poso) terletak di teluk,
sekitar enam jam perjalanan sebelah tenggara dari ibu kota provinsi Palu. Kabupaten
Poso memiliki populasi mayoritas Muslim di kota dan desa-desa pesisir, dan
masyarakat adat mayoritas Kristen di dataran tinggi. Selain penduduk Muslim asli,
ada banyak pendatang dari Sulawesi Selatan, terutama suku Bugis, dan juga dari
daerah Gorontalo di utara. Tradisi panjang pedagang Arab yang menetap di wilayah
ini sudah lama terjadi, dan keturunan mereka memainkan peran penting dalam
lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan Islam. Kabupaten ini juga merupakan
sasaran program transmigrasi pemerintah, yang memindahkan warga dari daerah
padat penduduk, seperti pulau-pulau yang didominasi Muslim
termasuk Jawa dan Lombok, dan juga pulau mayoritas Hindu seperti Bali. Warga
Muslim Poso terdiri dari masyarakat adat, transmigran resmi, dan para imigran
ekonomi dari berbagai etnis. Banyak imigran yang telah menetap di kabupaten ini
selama beberapa dekade. Pada akhir tahun 1990-an, penduduk Muslim menjadi
mayoritas di Poso dengan angka di atas 60 persen. Kelompok etno-linguistik yang
meliputi Pamona, Mori, Napu, Besoa dan Bada mendiami pedalaman dan dataran
tinggi kabupaten. Banyak dari kelompok suku ini, dulunya berbentuk kerajaan dan
memiliki sejarah perang antar suku. Kegiatan misionaris Belanda dimulai pada
pergantian abad ke-20. Kota Tentena merupakan pusat ekonomi dan religius untuk
warga Kristen Poso, dan merupakan pusat dari Gereja Kristen Sulawesi Tengah. Kota
kecil ini terletak di sebelah utara Danau Poso di kecamatan Pamona Puselemba, salah
satu dari beberapa kecamatan dengan mayoritas etnis Pamona. Meskipun konflik pada
awalnya berpusat pada ketegangan antara pendatang Bugis beragama Muslim dan
etnis Pamona yang mayoritas Kristen, banyak kelompok lain yang ditarik melalui
ikatan etnis, budaya, atau ekonomi mereka.
Kronologi
Kerusuhan Poso I
Fase pertama termasuk singkat dan terbatas pada beberapa lingkungan di kota
Poso, meskipun iring-iringan truk yang mengangkut kelompok tertentu dari daerah
lain bergabung dalam keributan. Para pendukung teori provokator menunjukkan
bahwa kekerasan dimulai tepat setelah pengumuman Arief Patanga pada tanggal 13
Desember 1998, yang menyatakan bahwa dirinya tidak akan mengikuti pemilihan
ulang sebagai Bupati Poso, sekaligus membuka peluang bagi sejumlah kandidat yang
ambisius. Secara kebetulan, fase ini juga bertepatan dengan pecahnya rangkaian
kekerasan dan unjuk rasa yang terjadi di seluruh Indonesia pasca kejatuhan Orde
Baru.
Sebab khusus
Kerusuhan Poso II
Setelah lebih dari satu tahun masa tenang, rangkaian peristiwa politik dan hukum
pada bulan April 2000 menimbulkan ketegangan. Fase kedua berlanjut di sepanjang
garis pertempuran yang sama dengan fase pertama, kali ini wilayah Kristen yang
menderita kerusakan. Persidangan saudara mantan bupati Agfar Patanga telah
dimulai. Dalam persidangan korupsi lainnya, seorang pengusaha lokal bernama
Aliansa Tompo didakwa telah menyalahgunakan dana dari program kredit pedesaan
(Kredit Usaha Tani, KUT). Ada desas-desus bahwa sebagian dari uang ini digunakan
untuk menyewa massa untuk menyerang gedung pengadilan dan membakar dokumen-
dokumen perihal keterlibatannya, yang memaksa penangguhan kedua kasus tersebut.
Pengadilan Patanga kemudian kembali diadakan di Palu. Selain itu, posisi tertinggi
kedua di Poso, sekretaris wilayah atau sekwilda sedang dipertimbangkan, dan
persaingannya sangat ketat. Sebuah surat kabar yang dicetak pada tanggal 15 April
memuat pernyataan oleh Chaelani Umar, seorang anggota DPRD provinsi dari Partai
Persatuan Pembangunan, yang memprediksi bahwa akan ada lebih banyak kekerasan
yang terjadi apabila mantan calon bupati, Damsik Ladjalani, tidak dipilih.
Bentrokan April-Mei
Kedatangan BRIMOB
Baru tiga minggu sejak fase kedua selesai, fase ketiga —yang menurut beberapa
pengamat, merupakan yang terbesar dan terparah— dimulai. Periode ini didominasi
oleh gelombang serangan balasan oleh kelompok merah Kristen terhadap warga
Muslim. Di samping bentrokan langsung dengan kelompok putih Islam, ada juga
penculikan dan pembunuhan orang-orang yang tidak berkepentingan. Hasil
wawancara yang dilakukan Human Rights Watch mengonfirmasi bahwa para migran
dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo yang umumnya menjadi korban atas tindakan
tersebut, namun kelompok etnis dan suku lainnya juga menderita.
Pada awal bulan Mei, muncul desas-desus bahwa banyak pemuda Kristen yang
mengungsi telah melarikan diri ke sebuah kamp pelatihan kelompok merah di Kelei.
Pasukan Kristen yang beroperasi pada fase ini disebut "kelelawar merah" dan
"kelelawar hitam". Kelelawar hitam yang bertopeng seperti "ninja" ini, disebut-sebut
menargetkan para Muslim di Kayamanya yang dianggap bertanggung jawab atas
serangan di Lombogia pada fase sebelumnya.Pasukan ninja ini disebut-sebut dipimpin
oleh Fabianus Tibo, seorang imigran sekaligus pekerja perkebunan
beragama Katolik yang datang dari pulau Flores (Nusa Tenggara Timur), yang pernah
dipenjara atas kasus pembunuhan seorang pria bertahun-tahun sebelumnya. Selain itu,
seorang tokoh Kristen bernama Adven Lateka digambarkan oleh pers dan kepolisian
sebagai otak, pemodal keuangan, atau "aktor intelektual" di balik kekerasan tersebut.
Pembalasan dendam
Pada pagi hari tanggal 23 Mei, sekelompok pasukan bertopeng ala ninja
membunuh seorang polisi, Sersan Mayor Kamaruddin Ali, dan dua warga sipil
Muslim, yang masing-masing bernama Abdul Syukur dan Baba. Kelompok ninja ini
kemudian dilaporkan bersembunyi di sebuah gereja Katolik di
Kelurahan Moengko. Kelompok tersebut, termasuk Tibo, mulai bernegosiasi dengan
polisi untuk menyerah. Kerumunan warga Muslim mulai berkumpul di depan gereja,
dan bukannya menyerahkan diri, Tibo serta yang lainnya justru melarikan diri ke
perbukitan di belakang kompleks gereja. Gereja tersebut dibakar pada pukul 10.00
pagi dan pertempuran terjadi di seluruh kota, yang paling parah di Sayo, dimana
sepuluh orang terluka terkena panah dan lemparan batu. Gubernur kembali
mengisyaratkan bahwa ada pihak-pihak luar —merujuk kepada status imigran Tibo—
yang menjadi provokator, sementara kepolisian mengumumkan bahwa tiga tersangka
dari kelompok ninja telah ditahan dan dibawa ke Palu setelah dikeroyok oleh massa
Muslim. Dua minggu kemudian tiga orang yang diduga sebagai provokator,
diidentifikasi sebagai Yen, Raf, dan Leo, ditahan atas tuduhan menghasut kerusuhan
pada tanggal 23 Mei.
Meluasnya pertempuran
Pada tanggal 28 Mei, serangan meluas terhadap warga Islam terjadi di beberapa
desa di kabupaten ini. Dalam sebuah peristiwa yang paling terkenal, sekelompok
orang Kristen —beberapa sumber menyebut bahwa Tibo dan kelompoknya ikut
berpartisipasi— mengelilingi Desa Sintuwu Lemba, yang juga dikenal sebagai Kilo
Sembilan. Para wanita dan anak-anak ditangkap dan beberapa di antaranya
mengalami pelecehan seksual. Sekitar tujuh puluh orang berlari ke pesantren terdekat
—Pesantren Walisongo— dimana banyak warga Muslim dibunuh dengan senjata api
dan parang, tanpa peduli mereka menyerah atau tidak. Mereka yang kabur, berhasil
ditangkap untuk kemudian dieksekusi dan mayatnya dilemparkan ke Sungai
Poso.Tiga puluh sembilan mayat kemudian ditemukan di tiga kuburan massal,
meskipun sebuah sumber Islam memperkirakan total 191 kematian dalam serangan
tersebut. Seorang warga yang selamat dari serangan tersebut mengatakan kepada
wartawan bahwa dirinya kembali ditangkap empat hari kemudian dan dibawa ke
sungai untuk dieksekusi, namun ia sekali lagi berhasil lolos dan selamat.
Pasca kerusuhan
Dalam kekerasan dan kerusuhan yang terjadi antara masyarakat Kristen dan Islam
di ibu kota Poso, kedua belah pihak didukung oleh massa seiman dari luar kota.
Masyarakat Muslim dibantu oleh orang-orang yang berasal dari Ampana yang
termasuk wilayah Tojo Una-Una dan terletak di sebelah timur laut kota Poso, dan
Parigi yang berada di sebelah barat Kabupaten Poso. Di sisi lain, masyarakat Kristen
dibantu oleh orang-orang Lage dari desa-desa seperti Sepe dan Silanca di Kecamatan
Lage, sebelah tenggara ibu kota Poso.
Islam
Milisi yang datang dari luar Poso dan Palu yang sudah berada di Poso pada akhir
tahun 2001 meliputi:
Jemaah Islamiyah
Mujahidin KOMPAK
Laskar Jundullah, dipimpin oleh Agus Dwikarna dengan markas lokal
di Pendolo, Pamona Selatan.
Laskar Wahdah Islamiyah, sebuah kelompok yang berbasis di Makassar dan
berafiliasi dengan Wahdah Islamiyah dan dipimpin oleh Zaitun Rusmin.
Laskar Bulan Sabit Merah, dipimpin oleh seorang tokoh Darul Islam dari Jawa
Barat dan menjalin hubungan erat dengan Laskar Jundullah.
Laskar Jihad, dengan pemimpin lokal Mohamed Harits dan Abu Ibrahim, dan
dikirim ke Poso sekitar bulan Juli tahun 2001.
Laskar Khalid bin Walid, sebuah milisi kecil yang berasosiasi dengan Partai
Keadilan dan dipimpin oleh Sugianto Kaimudin.
Forum Perjuangan Ummat Islam, dipimpin oleh Adnan Arsal dan merupakan
organisasi dimana banyak anggota Jundullah direkrut.
Majelis Dzikir Nurkhaerat Poso, dipimpin oleh Habib Saleh al-Idrus.
Gerakan Anak Monginsidi, dipimpin oleh Mohammed Dong.
Anak Tanah Runtuh, sebuah milisi kecil yang dipimpin oleh Adnan Arsal dan
berbasis di kelurahan Gebangrejo, Poso Kota.
Brigade Pemuda Hisbullah Sulteng, sebuah pasukan kecil yang berkaitan
dengan cabang lokal dari Partai Bulan Bintang.
Kristen
Berbeda dengan milisi Islam, milisi Kristen sedikit sulit untuk diidentifikasi.
Salah satu di antara beberapa kelompok milisi yang berhasil diidentifikasi
adalah Brigade Manguni. Milisi ini berpusat di Manado, Sulawesi Utara dengan
jumlah personel sekitar 700 orang. Dalam kerusuhan Poso, pasukan ini diduga
berbasis di daerah Sepe dan Silanca, Lage. Brigade Manguni memiliki divisi di
masing-masing daerah yang membawahi cabang satuan. Pada fase ketiga yang
berlangsung pada bulan Mei 2000, muncul milisi dengan nama Laskar Kristus.
Kelompok ini disebut-sebut terdiri dari tiga kelompok, yaitu pasukan Macan, pasukan
Kelelawar, dan pasukan kipas (sisiru).
Korban
Pertanyaan tentang jumlah korban sangat sensitif dan berunsur politis. Hal ini
didorong oleh rasa keberatan yang dibuat lebih kuat oleh laporan berita yang tidak
lengkap atau kabar miring tentang serangan dan desas-desus terbaru tentang
pembantaian yang akan terjadi. Kurangnya pelaporan yang jelas oleh media atau
investigasi oleh pemerintah, ditambah dengan medan yang luas dan durasi konflik
yang panjang, menyulitkan untuk menentukan jumlah korban yang sebenarnya. Meski
demikian, Human Rights Watch mencatat bahwa kedua belah pihak telah menderita
banyak korban dalam kerusuhan ini. Meski ada beberapa perkiraan yang mencapai
sekitar 2.000 korban jiwa, sebagian besar memperkirakan antara 500 hingga 1.000
korban. Versi pemerintah, yang dikeluarkan pada tanggal 5 Desember 2001 —tepat
sebelum penandatanganan Deklarasi Malino— dirinci menjadi 577 korban tewas, 384
terluka, 7.932 rumah hancur, serta 510 fasilitas umum terbakar atau rusak. Sebuah
kelompok Muslim, Tim Evakuasi Pencari Fakta Korban Muslim Kerusuhan Poso
(Victims of the Poso Conflict Evacuation and Fact Finding Team), mengklaim bahwa
antara bulan Mei 2000 hingga Desember 2001, 840 mayat Muslim ditemukan,
kebanyakan ditemukan di Sungai Poso dan hutan-hutan di tepi kota. Jumlah yang
tidak diketahui juga dikatakan hilang. Kebanyakan korban jiwa diperkirakan sampai
pada kerusuhan ketiga, pada bulan Mei dan Juni 2000.
Meskipun pertanyaan seperti ini adalah sesuatu yang dapat diselesaikan melalui
penyelidikan independen secara menyeluruh, namun pengaruh lingkungan yang
sangat terpolitisasi, hasil jangka panjang Deklarasi Malino, dan kelemahan Komnas
HAM membuat usaha semacam itu tidak mungkin terjadi. Jika tidak dilakukan
dengan tingkat profesionalisme yang tinggi, penyelidikan perihal jumlah korban bisa
memperburuk kondisi lebih jauh. Tetapi rekonsiliasi juga mungkin akan terhambat,
kecuali jika kedua belah pihak merasa bahwa keadilan telah ditangani dalam
kejahatan terburuk. Masih ada kejahatan berat dimana tidak ada yang bertanggung
jawab, seperti pembunuhan terhadap empat belas Muslim di Dusun Buyung Katedo
pada bulan Juli 2001 dan serangan sporadis terhadap desa-desa Kristen pada bulan
November. Keluarga dan kerabat dari mereka yang hilang —kebanyakan di antaranya
diculik selama masa kerusuhan— masih menunggu informasi tentang saudara mereka
yang diculik.
Pengungsi internal
Dengan gelombang kekerasan yang terus-menerus terjadi, masyarakat melarikan
diri ke daerah-daerah dengan mayoritas agama yang mereka anut: Muslim pergi
ke Palu, Ampana, Parigi, hingga Sulawesi Selatan, sementara Kristen melarikan diri
ke Tentena dan Napu di wilayah pegunungan, atau Manado di Sulawesi Utara. Pada
bulan Januari 2002, setelah Deklarasi Malino ditandatangani, angka dari kantor
pemerintah untuk mengkoordinasikan respon kemanusiaan dalam konflik
memperkirakan jumlah total 86.000 pengungsi di Sulawesi Tengah. Gereja Kristen
Sulawesi Tengah memperkirakan 42.000 pengungsi di basis daerah Kristen di
kabupaten lainnya.
Setelah Deklarasi Malino, ada beberapa kemajuan tentatif. Pada akhir Februari,
10.000 pengungsi telah kembali ke rumah, sebagian besar ke kota Poso,
kecamatan Poso Pesisir, Lage, dan Tojo.[31] Pada bulan Maret 2002, Human Rights
Watch menemukan bahwa banyak keluarga yang dengan ragu mengirimkan anggota
keluarga laki-laki untuk kembali dan membersihkan reruntuhan dengan membangun
rumah sementara, sambil menunggu untuk melihat jika situasi tetap stabil. Beberapa
juga menunggu akhir tahun sekolah. Sejak itu jumlah pengungsi mulai menurun, dan
perlahan-lahan, berkurang. Kantor Kesejahteraan Bangsa dan Politik Kabupaten Poso
melaporkan bahwa pada pertengahan Juli 2002, 43.308 orang telah kembali ke rumah,
sekitar 40 persen dari perkiraan 110.227 pengungsi.
Ada dua pengecualian penting untuk tren positif ini. Kekerasan baru sering
membuat warga yang trauma untuk kembali melarikan diri ke daerah yang aman.
Misalnya, bentrokan pada bulan Agustus 2002 memaksa sekitar 1.200 orang untuk
mencari perlindungan di Tentena. Upaya pemerintah atau individu untuk membangun
kembali telah terhambat oleh putaran baru kekerasan di seluruh krisis. Beberapa orang
mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka telah melihat rumah mereka
hancur lebih dari sekali, dan barak yang dibangun oleh pemerintah
kabupaten dan TNI pada tahun 2000 sering menjadi sasaran dalam serangan. Warga
Kristen di Tentena juga tidak punya rencana untuk membongkar tempat penampungan
mereka yang susah payah dibangun, jika mereka membutuhkan tempat perlindungan
di masa depan.
Pada awalnya, kasus ini adalah kasus antar individu yang berbeda agama. Tapi
disini terjadi kesalahpahaman atau miss komunikasi, sehingga kasus ini merambat ke
skala konflik antar kelompok. Menurut kami, seharusnya pemerintah menjadi
penengah diantara masyarakatnya, tetapi di kasus ini beberapa oknum pemerintah
malah menyulut api konflik. Seharusnya pemerintah berpikir rasional dalam
bertindak. Mengambil keputusan yang membawa kedamaian demi kepentingan
masyarakatnya, bukan kepentingan kelompoknya saja. Wapres menjelaskan bahwa
kasus Poso terjadi bukan karena masalah agama namun adanya rasa ketidak adilan.
Awal mula terjadinya konflik karena adanya demokrasi yang secara tiba-tiba terbuka
dan membuat siapapun pemenangnya akan ambil semua kekuasaan.
Konflik sosial yang terjadi di Poso ini sangat berdampak pada masyarakat
khususnya masyarakat Poso itu sendiri, Mulai dari segi Budaya, Hukum, Politik,
Ekonomi, selain kehilangan nyawa dan harta benda, secara psikologis juga
bendampak besar bagi mereka yang mengalami kerusuhan itu.
Masyarakat yang secara dinamis tidak dapat tidak dapat dipisahkan dan bertalian
satu sama lain.mengenai akar dari masalah yang bertumpu pada subsistem budaya
dalam hal ini menyangkut soal suku dan agama. Belum lagi kurang adanya keadilan.
Masih kurangnya rasa masyarakat terhadap Bhineka tunggal ika. Dan masalah
metalisme masyarakat yang menunjukkan amarahnya secara spontanitas, sehingga
terjadi konflik. Pada kasus ini keberagaman agama yang menyebabkan kerusuhan,
terutama antara agama islam dan kristen. Mengambil keputusan yang membawa
kedamaian demi kepentingan masyarakatnya, bukan kepentingan kelompoknya saja.
Kesimpulan
Pada peristiwa awal konflik kerusuhan pertama yang terjadi di bulan Desember
1998 dan kerusuhan kedua pada bulan April 2000 bisa disebut sebagai tawuran,
karena penyebabnya bermula pada bentrokan antar pemuda berbeda agama dan
wilayah konflik kerusuhan terjadi sebatas hanya di Kecamatan Kota Poso. Kemudian
karena momentumnya bertepatan dengan pemilihan umum dan pemilihan Bupati Poso
membuat persoalan ini akhirnya dipolitisasi oleh elit politik lokal untuk dijadikan alat
untuk menghimpun dan memobilisasi massa berdasarkan identitas agama dan etnis,
sehingga isu yang muncul adalah konlik bernuansa SARA. Selanjutnya ketika konflik
yang berlangsung dari bulan Mei 2000 - Desember 2001, fenomena konflik telah
mengarah pada perang saudara yang membuat eskalasi konflik semakin meluas ke
wilayah lain di luar. Masing-masing kelompok yang bertikai semakin memperkuat
struktur in group dan solidaritas kelompoknya melalui konflik berdasarkan isu agama
dan etnisitas. Ketika sudah jelas mengenai siapa kawan dan lawan kedua komunitas
agama saling berupaya untuk menghilangkan eksistensi lawannya dengan melakukan
kekerasan langsung terhadap siapa pun yang dianggap sebagai lawan. Bahkan pada
perkembangan selanjutnya konflik menjadi semakin rumit setelah adanya keterlibatan
dari pihak luar Poso yang memberikan dukungan bantuan dana, persenjataan dan
dukungan milisi dari berbagai jaringan keagamaan dari luar Poso.