Anda di halaman 1dari 19

A.

ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT

Sumber : Alfarisi,2011.

Anatomi fisilogi sistem integumen terdiri dari kulit, stuktur tambahannya, seperti
folikel rambut dan kelenjar keringat, dan jaringan subkutan dibawah kulit. Kulit terbentuk
dari berbagai macam jaringan yang berbeda dan dianggap sebagai suatu organ. Karena
kulit menutupi seluruh permukaan tubuh, salah satu fungsinya sudah jelas terlihat:
memisahkan tubuh dari lingkungan luar dan mencegah masuk berbagai macam zat
berbahaya. Jaringan subkutan yang secara langsung berada dibawah kulit dan
menghubungkan kulit dengan otot serta mempunyai fungsi lain. (Syarif M.2007)
Secara garis besar kulit terdiri dari 3 lapisan yaitu:
a) Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis trdiri dari antara lain sebagai brikut :
1) Stratum korneum.
Lapisan ini terdiri dari banyak lapisan tanduk (keratinasi), gepeng, kering, tidak
berinti, inti selnya sudah mati, dan megandung zat keratin.
2) Stratum lusidum.
Selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum adalah sel-sel sudah banyak
yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus
sinar.Lapisan ini hanya terdapat pada telapak tangan dan telapak kaki.Dalam
lapisan terlihat seperti suatu pipa yang bening, batas-batas sel sudah tidak begitu
terlihat disebut stratum lusidum.

1
3) Stratum granulosum.
Lapisan ini terdiri dari 2-3 lapis sel pipih seperti kumparan dengan inti ditengah
dan sitoplasma berisi butiran (granula) keratohiali atau gabungan keratin dengan
hialin.Lapisan ini menghalangi benda asing, kuman dan bahan kimia masuk ke
dalam tubuh.
4) Stratum spinosum/stratum akantosum.
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm
terdiri dari 5-8 lapisan . sel-selnya disebut spinosum karena jika dilihat di bawah
mikroskop, sel-selnya terdiri dari sel yang bentuknya polygonal/banyak sudut
dari mempunyai tanduk (spina). Lapisan ini berfungsi untuk menahan gesekan
dan tekanan dari luar.Bentuknya tebal dan terdapat di daerah tubuh yang banyak
bersentuhan atau menahan beban dan tekanan seperti tumit dan pangkal telapak
kaki.Disebut akantosum sebab sel-selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk
tersebut ada hubungan antara sel yang lain yang disebut intercelulair bridges atau
jembatan interselular.
5) Stratum Basal/Germinativum.
Disebut stratum basal karena sel-selnya terletak dibagian basal/basis, stratum
germinativum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel
induk.Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong.Di dalamnya
terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin warna.Sel tersebut disusun
seperti pagar pagar (palisade) dibagian bawah sel tersebut terdapat suatu
membran disebut membran basalis, sel-sel basalis dengan membran basalis
merupakan batas terbawah dari pada epidermis dengan dermis.Ternyata batas ini
tidak datar tapi bergelombang, pada waktu korium menonjol pada epidermis
tonjolan ini disebut papilla kori (papilla kulit). Dipihak lain epidermis menonjol
kearah korium, tonjolan ini disebut Rute Ridges atau rete peg = prosessus inter
papilaris.
b) Lapisan Dermis.
Lapisan dermis terdiri dari 2 lapisan antara lain sebagai brikut :
a. Bagian atas, Pars Papilaris (stratum papilar).
b. Bagian bawah, Retikularis (stratum retikularis).

2
Batas antara pars papilaris dengan pars retikularis adalah bagian bawahnya sampai
ke subkutis. Baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari serabut-serabut
yaitu serabut kolagen, serabut elastis, dan serabut retikulus.Serabut ini saling
beranyaman dan masing-masing mempunyai tugas yang berbeda.Serabut kolagen,
untuk memberikan kekuatan kepada kulit, serabut elastic untuk memberikan
kelenturan pada kulit, dan retikulus terdapat terutama disekitar kelenjar dan folikel
rambut dan memberikan kekuatan pada alat tersebut. (Syarif M.2007)

1. Unsur sel
Unsur utama sel dermis adalah fibroblast, makrofag, dan terdapat sel lemak
yang berkelompok.Disamping itu ada juga sel jaringan ikat bercabang dan
berpigmen pada lingkungan epidermis yang banyak mengandung pigmen
misalnya areola mammae dan sekitar anus.
2. Serat otot
Serat otot polos dijumpai di dalam dermis tersusun membentuk berkas
dihubungkan dengan folikel rambut (muskulus erector fili) bertebaran diseluruh
dermis dalam jumlah yang cukup banyak pada kulit, putting susu, penis,
skrotum dan sebagian perenium.

c) Lapisan Subkutis.
Subkutis terdiri dari kumpulan-kumpulan sel-sel lemak dan diantara gerombolan ini
berjalan serabut-serabut jaringan ikat dermis.Sel-sel lemak ini bentuknya bulat dengan
intinya terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini di
sebut perikulus adiposus, yang tebalnya tidak sama pada tiap-tiap tempat dan juga
pembagian antara laki-laki dan perempuan tidak sama (berlainan). Guna perikulus
adiposus adalah sebagai Shok breker = pegas/bila tekanan trauma mekanis yang
menimpa pada kulit, Isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbun
kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah subkutis terdapat selaput otot
kemudian baru terdapat otot. (Syarif M.2007)

3
ADNEKSA KULIT

Adneksa kulit terdiri atas kelenjar – kelenjar kulit, rambut, dan kuku (Syarif M.2007)

1. Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis,terdiri atas :


a. Kelenjar keringat (glandadula sudorifera)
Ada dua macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil – kecil, terletak
dangkal di dermis dengan secret yang encer, dan kelenjar apokrin yang lebih
besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
b. Kelenjar minyak (glandula sebasea)
Terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali di telapak tangan dan kaki.
c. Kuku
Kuku adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Bagian kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku (nail root), bagian
yang terbuka diatas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari tersebut badan kuku
(nail plate), dan yang paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh
dari akar kuku keluar dengan kecepatan tumbuh kira-kira 1 mm per minggu.
d. Rambut
Terdiri atas bagian yang terpendam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang
berada di luar kulit (batang rambut). Ada dua macam tipe rambut, yaitu:
1. Lanugo yang merupakan rambut halus, tindak mengandung pigmen dan
terdapat pada bayi.
2. Rambut terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen,
mempunyai medulla, dan terdapat pada orang dewasa.

FISIOLOGI KULIT
Kulit dapat dengan mudah dilihat dan diraba, hidup, dan menjamin kelangsungan hidup.
Dengan demikian kulit pada manusia mempunyai peranan yang sangat penting. Fungsi
utama kulit ialah sebagai proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh
(termoregulasi), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D, dan keratinisasi.
(Syarif M.2007)

4
B. KONSEP DASAR PENYAKIT KUSTA
1. DEFINISI KUSTA
Penyakit kusta (Morbus hansen) adalah suatu penyakit infeksi menahun akibat
bakteri tahan asam yaitu Mycobacterium leprae yang secara primer menyerang saraf
tepi dan secara sekunder menyerang kulit serta organ lainnya (Schreuder, 2010).
Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang dapat menimbulkan masalah
kecacatan (Susanto, 2006).
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya
menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo
endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan
psikologis. (Amiruddin, 2006).
Berdasarkan pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit
kusta adalah penyakit kulit menahun yang disebabkan oleh bakteri tahan asam
Mycobacterium leprae yang awalnya menyerang saraf tepi, kemudian dapat menyebar
menyerang organ lain, seperti kulit, selaput mukosa, testis dan mata serta jika tidak
diobati dengan tepat akan menimbulkan kecacatan fisik pada penderita. Penyakit
kusta muncul diakibatkan karena adanya faktor penyebab.

2. EPIDEMIOLOGI KUSTA
Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe
multibasiler (MB). Cara penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan
anggapan yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.
Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa
hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi,40 hari sampai 40 tahun. Kusta
menyerang semua umur dari anak - anak sampai dewasa. Faktor sosial ekonomi
memegang peranan, makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta,
sebaliknya sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan dengan
iklim, kusta tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama
di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India, Brazil,
Bangladesh, dan Indonesia. (Djuanda.2008)

5
3. ETIOLOGI KUSTA
Penyebab munculnya penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae
yang ditemukan pertama kali oleh G. H. Armauer Hansen pada tahun 1873. Bakteri
ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka pada permukaan kulit atau bisa juga
melalui droplet yangdihembuskan dari saluran pernafasan.
Sehgal (dalam Putra, 2012) mengatakan bahwa Mycobacterium leprae
memiliki ciri-ciri yaitu tahan asam,bersifat gram positif, berbentuk batang, lebar 0,3-
0,4 mikrometer, panjang 2-7 mikometer, dan hidup di dalam sel yang banyak
mengandung lemak dan lapisanlilin. Mycobacterium leprae membelah dalam kurun
waktu 21 hari, sehingga menyebabkan masa tunas yang sangat lama yaitu 4 tahun.
Munculnya penyakit kusta tersebut ditunjang oleh cara penularan. (Djuanda.2008)

4. PATOFISIOLOGI KUSTA
Adanya bakteri Mycobacterium Leprae akan masuk ke dalam tubuh sehingga
akan menyebabkan imunitas seseorang menjadi tinnggi dan menjadi rendah. Pada
keadaan imunitas tinggi akan menyebabkan tipe tuberkoloid yang menyebabkan
adanya gangguan saraf sensoris, saraf motorik, dan saraf otonom. Pada saraf sensoris
akan mengalami mati rasa sehingga menyebabkan adanya lesi pada kulit sehingga
munculah diagnosa kerusakan integritas kulit. Pada saraf motorik akan mengalami
kelumpuhan dan kelemahan sehingga muncul diagnosa gangguan mobilitas fisik dan
intoleransi aktivitas. Pada saraf otonom akan menyebabkan kulit seseorang menjadi
kering sehingga muncul diagnose kerusakan integritas kulit.
Pada keadaan imunitas rendah akan menyebabkan adanya Tipe Lepramatosa
yang akan menyerang kulit dan mukosa hidung sehingga menyebabkan terjadinya
proses inflamasi. Proses inflamasi ini akan terjadi pada kulit yang akan menyebabkan
munculnya lesi pada kulit sehingga akan muncul diagnosa nyeri ketika terjadi nyeri
kulit juga akan timbul kemerahan yang akan mengakibatkan adanya diagnosa
kerusakan integritas kulit. Selain pada kulit terjadi juga pada hidung yang akan
menyebabkan adanya kerusakan tulang rawan pada hidung sehingga akan muncul
diagnosa gangguan citra tubuh.

6
5. KLASIFIKASI KUSTA
Klasifikasi penyakit kusta menurut Depkes (2006) yaitu dibagi menjadi tipe
paucibacillary (PB) dan multibacillary (MB).
a. Tipe paucibacillary atau tipekering memiliki ciri bercak atau makula dengan
warna keputihan, ukurannya kecildan besar, batas tegas, dan terdapat di satu
atau beberapa 15 tempat di badan (pipi,punggung, dada, ketiak, lengan,
pinggang, pantat, paha, betis atau pada punggung kaki ), dan permukaan bercak
tidak berkeringat. Kusta tipe ini jarang menular tetapi apabila tidak segera
diobati menyebabkan kecacatan (Sofianty, 2009).
b. Tipe yang kedua yaitu multibacillary atau tipe basah memiliki ciri-ciri berwarna
kemerahan, tersebar merata diseluruh badan, kulit tidak terlalu kasar, batas
makula tidak begitu jelas, terjadi penebalan kulit dengan warna kemerahan, dan
tanda awal terdapat pada telinga dan wajah (Hernawati, 2013).
Tabel Klasifikasi Kusta

Paucibacillary Baciler Multibacillary


Tanda Utama
(PB) Baciler (MB)
Bercak Kusta Jumlah 1 s/d 5 lesi Jumlah > 5 lesi

Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Satu saraf


disertai dengan gangguan
fungsi
(Gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa
atau kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf yang
bersangkutan)

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif


Sumber: Klasifikasi Kusta Berdasarkan Standar WHO, 1982

7
6. TANDA DAN GEJALA KUSTA
Menurut Departemen Kesehatan RI (2006), diagnosis penyakit kusta ditetapkan
dengan cara mengenali cardinal sign atau tanda utama penyakit kusta yaitu:
a. Bercak pada kulit yang mengalami mati rasa; bercak dapat berwarna putih
(hypopigmentasi) atau berwarna merah (erithematous), penebalan kulit
(plakinfiltrate) atau berupa nodul-nodul. Mati rasa dapat terjadi terhadap rasa
raba,suhu, dan sakit yang terjadi secara total atau sebagian
b. Penebalan pada saraf tepi yang disertai dengan rasa nyeri dan gangguan
padafungsi saraf yang terkena. Saraf sensorik mengalami mati rasa, saraf
motorik mengalami kelemahan otot (parese) dan kelumpuhan (paralisis), dan
gangguan pada saraf otonom berupa kulit kering dan retak-retak.
Gejala pada penderita kusta yang dapat ditemukan biasanya penderita mengalami
demam dari derajat rendah hingga menggigil, nafsu makan menurun, mual dan
kadang-kadang diikuti dengan muntah. Penderita kusta juga mengalami sakit kepala,
kemerahan pada testis, radang pada pleura, radang pada ginjal, terkadang disertai
penurunan fungsi ginjal, pembesaran hati dan empedu, serta radang pada serabut
saraf (Zulkifli, 2003).

7. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga
harus diperhatikan dan jugadilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaandengan
menggunakan alat ± alat sederhana yaitu jarumuntuk rasa nyeri, kapasuntuk rasa raba,
tabung reaksi masing ± masing dengan air panas dan es,pensiltinta Gunawan (tanda
Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerahlesi yang dapat jelasdan
dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnyamulai dari tengah lesi, yang
kadang ± kadangdapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut
sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
 Pemeriksaan Saraf TepiUntuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran,
konsistensi dan nyeriatau tidak. Hanya beberapasaraf yang diperiksa yaitu
N.fasialis, N.aurikularismagnus, N.radialis, N. Ulnaris, N.Medianus, N.poplitea
lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan
saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran
reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya
nyeri atau tidak (Daili,21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya

8
billateral danmenyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti
tempat lesinya.Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau
sudahmenebaldan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang
banyak (Daili.2003).
 Cara pemeriksaan saraf tepiA .N. Aurukularis magnus Pasien disuruh menoleh ke
samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot
di bawahnya sehingga acap kali sudah bisaterlihat bila saraf membesar. Dua jari
pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot.
Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan
jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri
dan yang kanan (Daili.2003).
 B .N. UlnarisTangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba
lekukan di bawahsiku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan
atau tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat
adanya perbeedaan atau tidak (Daili.2003).
 C .N. Paroneus lateralis Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di
sebelah lateral dari capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 2003).
 D .N .Tibialis Posterior Raba maleulus medialis kaki, raba bagian posterior dan
urutkan kebawah kearah tumit. Pemeriksaan harus dibandingkan kiri dan kanan
dalam hal besar, bentuk, seratnya, lunaknya

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Bakterioskopik (Kerokan Jaringan Kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakan diagnosis
dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam (BTA), antara lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Bakteriokopik
negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung
kuman M. Leprae.
Pertama – tama harus ditentukan lesi dikulit yang diiharapkan paling padat
oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. Mengenai jumlah lesi yang ditentukan oleh tujuanya, yaitu untuk riset
dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat, yaitu

9
kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 – 4 lesi lain yang paling aktif, berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga
tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas
dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak.
Perlu diingat bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
ditempat yang sama pada pengamatan mengobatan untuk diibandigkan hasilnya.
(Sofianty, 2009).
2. Pemeriksaan Histopatologik
Magrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit didalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari hati, dan yang dari kulit
disebut histiosit. Salah satu tugas magrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau
ada kuman (M. Leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada sistem imunitas
seluler (SIS) orang itu. Apabila SIS- nya tinggi. Magrofag akan mampu
menfagosit M. Leprae. Dtangnya histiosit ketempat kuman disebabkan karena
proses imunologik dengan adanaya faktor kemotaktik. Kalau dattangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, magrofag akan berubah bentuk
menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah
menjadi sel datia langhans. Adanya masa epiteloid yang berlebihan dikelilingi
oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan
jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau runtuh, histiosid tidak
dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sel virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Granuloma adalah akumulasi magrofag dan atau derivat – derivatnya.
Gammbaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non – solid.. pada tipe
lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepuidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringanya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur – unsur tersebut. (Sofianty, 2009).
3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M. Leprae, yaitu antibodi antiphenolic glycolipid – 1 (PGL – 1)

10
dan antibodi 16 kD serta 35 kD.Sedangkan antibod yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti – lipoarabinomanan (LAM), yan juga dihasiilkan oleh kuman
M.tuberculosis.Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu
diagnosis kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati
lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. (Kosasih.2010)
Macam – macam pemeriksaan serologik kusta ialah :
a. Uji MPLA ( mycobacterium leprae Particle Aglunation)
b. Uji ELISA ( Emzyme Linked Immuno – sorbent Assay).
c. ML dipstick test (mycobacterium leprae dipstick).
d. ML flow test (Mycobacterium leprae Flow test).

9. PENATALAKSANAAN KUSTA
1. Terapi Farmakologis
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah Diaminodifenil
Sulfon (DDS) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak
1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun 1952. Klofazimin dipakai sejak 1962
oleh Brown dan Hogerzeil, dan rifampisin sejak tahun 1970. Untuk mencegah
resistensi, pengobatan tuberkulosisi telah menggunakan Multi Drug Treatment
(MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun 1971.
(Nugroho. 2006)
Cara pemberian MDT
a. MDT untuk multibasilar (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif)
adalah :
 Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
 DDS 100 mg setiap hari
 Klofazimin :300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50
mg sehari atau 100 mg selama sehari atau 3 kali 100 mg setiap minggu.
b. MDT untuk pausibasilar (I, TT, BT, dengan BakteriTahan Asam negatif)
adalah :
 Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan
 DDS 100 mg setiap hari.

11
2. Terapi Non Farmakologis
a. Pasien kusta secara rutin perlu menjaga kebersihan diri, terutama pada
region yang mengalami penurunan fungsi neurologis. Tangan atau kaki
yang anastetik dapat direndam setiap hari selama 10-15menit. Lesi kalus
atau kulit keras di sekitar ulkus dapat diabrasi, paling baik dilakukan oleh
tenaga medis dengan bilah skapel. Selanjutnya, untuk menjaga nutrisi dan
kelembapan yang adekuat pada kulit, dapat diberikan pelembab topical.
b. Istirahatkan region yang terlihat kemerahan atau melepuh. Hindari tekanan
yang berlebihan pada region lesi, misalnya dengan elevasi tungkai saat
istirahat atau mencegah berjalan kaki dalam jangka waktu lama.
c. Untuk mencegah dan menangani komplikasi yang ada, dibutuhkan kerja
sama dengan bedah ortopedi, podiatrist, neurologi, oftalmologi, dan
rehabilitasi medis (Nugroho. 2006)
10. KOMPLIKASI
Walau sudah ada pengobatan kusta, tetap saja bila penyakit ini tak mendapatkan
penanganan yang benar sesegera mungkin saat gejala muncul, komplikasi berpotensi
terjadi. Berikut ini bisa dilihat sejumlah komplikasi yang berisiko ketika kusta
terlambat dalam mendapatkan penanganan.
o Kebas Rasa sakit sudah tak dapat lagi dirasakan dan ini menjadi bagian
komplikasi ketika mati rasa atau kebas sudah terjadi pada seluruh tubuh. Ketika
sudah kebas, ini tandanya penderita dapat berpotensi terkena cedera tapi tidak
menyadarinya. Kalau sudah begini, ini bisa semakin rentang terhadap serangan
infeksi tanpa dapat dirasakan oleh penderitanya.
o Melemahnya otot. Otot pun juga terkena dampaknya, tak hanya kulit bagian luar
saja. Seluruh otot tubuh kemudian menjadi cepat lemah dan tak bertenaga.
Lama-kelamaan hal ini bisa meningkat menjadi sebuah kelumpuhan di mana
berdiri dan berjalan pun sudah sangat sulit.
o Cacat progresif. Mengerikannya penyakit kusta yang tak diobati adalah
berpotensi cacat progresif. Jenis kecacatan seperti ini berujung pada hilangnya
alis, cacat di bagian hidung, tangan, hingga kaki.
o Kerusakan saraf secara permanen. Semakin dibiarkan terlalu lama tanpa
penanganan yang benar dan efektif, saraf dapat rusak secara permanen. Bila

12
sudah demikian, kelumpuhan total adalah akibatnya dan tentu kegiatan apapun
juga tak bisa lagi kita lakukan. (Nugroho. 2006)

11. PROGNOSIS
Pada kasus kusta yang tidak diterapi, pasien yang bisa sembuh sendiri tanpa
pengobatan adalah pasien yang mengidap kusta tipe TT dan BT yang berkembang
menjadi TT. Sementara yang lainnya akan terjadi perkembangan secara progresif.
Gejala yang timbul sering kali karena cedera saraf dan fase reaksi.
BT, BB, BL, LLs bisa berkembang menjadi lebih buruk upgrade, sementara
BT, BB dan BL yang downgrading akan dapat sembuh sendiri. BL, LLs, dan LLp bisa
berkembang mejadi ENL. Neutritis perifer sering kali mengakibatkan kerusakan saraf
sensoris permanen dan susah untuk ditangan, hanya dapat dikurangi peradangannya
dengan kortikosteroid. (Kosasih,A. 2005)

13
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN KUSTA


1. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan melalui kegiatan
pengumpulan data atau perolehan data yang akurat dapat pasien guna mengetahui
berbagai permasalahan yang ada (Alimul. 2009).
a. Identitas klien dan keluarga
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, suku
bangsa, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor registrasi dan status
ekonomi menengah kebawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang
dengan padatnya penduduk.
2. Identitas penanggung jawab.
Nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, status
pernikahan, hubungan dengan pasien.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Biasanya pasien dengan kusta timbul bercak-bercak berwarna putih di kulit.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang di
rasakan saat ini, biasanya pasein mengeluh adanya bercak –bercak putih
dikulit
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Saat pasien dikaji apakah adanya penyakit menular atau penyakit keturunan
yang dialami.
4. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adakah riwayat penyakit yang sama pada keluarga klien seperti yang
dialaminya sekarang.
5. Riwayat alergi
Mencari adanya suatu alergi pada pasien seperti obat, makanan, debu, cuaca
dan yang lainnya.

14
6. Struktur keluarga (Genogram)
Menggambarkan kedudukan klien dalam keluarga yang diminimalkan
adalah tiga keturunan.
c. Pola Fungsi Kesehatan
1. Pola persepsi manajemen kesehatan
Menjelaskan tentang persepsi atau pandangan klien terhadap sakit yang
dideritanya, tindakan atau usaha apa yang dilakukan klien sebelum datang
kerumah sakit, obat apa yang telah dikonsumsi pada saat akan datang
kerumah sakit.
2. Pola nutrisi dan metabolic
Menggambarkan asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kondisi
rambut, kuku dan kulit, kebiasaan makan, frekuensi makan, nafsu makan,
makanan pantangan, makanan yang disukai dan banyaknya minum dan
apakah terjadi penurunan/peningkatan BB yang dikaji sebelum dan sesudah
masuk RS.
3. Pola eliminasi
Menggambarkan pola eliminasi klien yang terdiri dari frekuensi, volume,
adakah disertai rasa nyeri, warna dan bau.
4. Pola aktivitas dan latihan
Menggambarkan kemampuan beraktivitas sehari-hari, rutin melakukan
olahraga atau tidak, serta fungsi pernapasan dan fungsi sirkulasi. Pada kasus

Skala ketergantungan : Aktivitas menggunakan tonus otot:

a) Pasien mendiri a) Tidak ada kontraksi.


b) Pasien bergantung pada alat. b) Ada kontraksi tapi tidak ada
c) Pasien bergantung pada pergerakan sendi
orang. c) Ada pergerakan sendi tapi tidak
d) Pasien bergantung pada alat bisa menahan gaya grafitasi.
dan orang. d) Dapat menahan gravitasi sedang.
e) Pasien total care. e) Dapat menahan sekuat-kuatnya
gaya gravitasi.

15
5. Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan penggunaan waktu istirahat atau waktu senggang, kesulitan
dan hambatan dalam tidur. pada pasien dengan kasus kusta biasanya sering
terbangun karena terasa gatal pada kulitnya.
6. Pola hubungan dan peran
Menggambarkan tentang hubungan klien dengan lingkungan disekitar serta
hubungannya dengan keluarga dan orang lain.
7. Pola kognitif perseptual
Menggambarkan pola kemampuan klien untuk proses berpikir, pola penglihatan,
pendengaran, pengecapan, penciuman dan persepsi sensasi nyeri serta
kemampuan berkomunikasi dan mengerti akan penyakitnya.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Menggambarkan citra diri, identitas diri, harga diri dan ideal diri seseorang,
lamanya perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan
pasien mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga.
9. Pola reproduksi dan seksual
Meggambarkan tentang seksual klien, apakah ada riwayat seks bebas yang
dilakukan oleh pasien.
10. Pola penanggulangan stress
Menggambarkan kemampuan koping pasien terhadap masalah yang dialami dan
dapat menimbulkan ansietas. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit
yang kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi
psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan
lain–lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif atau adaptif.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan sejauh mana keyakinan pasien terhadap kepercayaan yang
dianut dan bagaimana dia menjalankannya. Adanya perubahan status kesehatan
dan penurunan fungsi tubuh tidak menghambat penderita dalam melaksanakan
ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah penderita.
d. Pemeriksaan Fisik
1. Status kesehatan umum
Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi badan, berat badan
dan tanda – tanda vital.

16
2. Kepala dan leher
Kaji bentuk kepala, keadaan rambut, adakah pembesaran pada leher, telinga
kadang-kadang berdenging, adakah gangguan pendengaran, lidah sering terasa
tebal, ludah menjadi lebih kental, gigi mudah goyah, gusi mudah bengkak dan
berdarah, apakah penglihatan kabur/ganda, diplopia, lensa mata keruh.
3. Pemeriksaan pada kulit, rambut dan kuku.
Inspeksi: warna kulit, jaringan parut, lesi, kondisi vaskularisasi superfsial, warna
dan bentuk kuku, distribusi rambut dan warna dan tekstur rambut.
Palpasi: suhu kulit/kelembaban, tekstur (halus/kasar), turgor (elastic atau tidak),
edema.
4. Pemeriksaan Kepala
Inspeksi: bentuk kepala, kesimetrisan wajah, warna dan distribusi rambut, dan
tengkorak, kulit kepala.
Palpasi: massa, pembengkakan, Nyeri tekan, keadaan tengkorak, kulit kepala.
5. Pemeriksaan Mata
Inspeksi: bentuk bola mata, kelopak mata, konjungtiva, sclera, kornea, warna iris,
ukuran dan bentuk pupil, gerakan bola mata, lapang pandang, visus.
Palpasi: palpasi tekanan bola mata.
6. Pemeriksaan Telinga
Inspeksi: daun telinga (ukuran, bentuk, warna, lesi, massa).
Palpasi: kartilago, uji pendengaran.
7. Pemeriksaan Hidung
Inspeksi: warna dan pembengkakan hidung luar, secret, perdarahan dan
penyumbatan.
Palpasi: tekan di samping daerah hidung untuk mengetahui ada sinusitis
maksilaris, frontalis dan etmoidalis, septum.
8. Pemeriksaan Mulut
Inspeksi: bibir, gigi, kebersihan mulut dan bau mulut, lidah (kesimetrisan,
kelurusan, warna, ulkus), selaput lender.
Palpasi: pipi palatum dan dasar mulut.
Perkusi: gigi.

17
9. Pemeriksaan Dada
Inspeksi: bentuk dada, warna kulit, retraksi dada.
Palpasi: nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi dada, taktil
fremitus.
Perkusi: Perkusi paru-paru anterior dengan posisi px terlentang, perkusi paru-
paru posterior dengan posisi px duduk/berdiri, perkusi paru-paru
posterior untuk menentukan gerakan diafragma.
Auskultasi: auskultasi paru-paru kanan dan kiri.
10. Pemerksaan Jantung
Inspeksi dan palpasi: palpasi pd daerah apikal dan pulsasi aorta.
Perkusi: ukuran dan bentuk jantung secara kasar.
Auskultasi: auskultasi suara jantung S1, S2 dan suara jantung tambahan.
11. Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
Inspeksi: ukuran, bentuk, kesimetrisan payudara, warna, lesi, vaskularisasi,
edema.
Palpasi: daerah klavikula dan ketiak, payudara kanan dan kiri.
12. Pemeriksaan Perut
Inspeksi: retraksi, penonjolan, ketidaksimetrisan.
Auskultasi: bising usus, suara pembuluh darah (jarang terdengar).
Perkusi: dilakukan dari kuadran kanan atas dan memutar searah dengan jarum
jam.
Palpasi: Palpasi keadaan hepar, limpa ginjal dan kandung kemih.
13. Pemeriksaan alat kelamin
Inspeksi: rambut, pubis, kulit, ukuran, skrotum, penis.
Palpasi: adakah nyeri tekan pd penis/vagina, ukuran, konsistensi, massa.
14. Pemeriksaan muskuluskeletal
Inspeksi: Otot (ukuran, kontraktur, kontraksi, kekuatan)
Palpasi: kelemahan, kontraksi, gerakan.
Inspeksi: tulang (susunan tulang, pembengkakan
Palpasi: Odema, nyeri tekan.
Inspeksi: persendian (Kaku, ROM, nyeri tekan, bengkak, krepitasi).
15. Pemeriksaan Penunjang

18
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri
3. INTERVENSI

4. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh
perawat maupun tenaga medis lain untuk membantu pasien dalam proses
penyembuhan dan perawatan serta masalah kesehatan yang dihadapi pasien yang
sebelumnya disusun dalam rencana keperawatan (Setiadi, 2012)

5. EVALUASI
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam
melakukan evaluasi perawat harusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam
memahami respons terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan
tindakan keperawatan pada kriteria hasil (Hidayat, 2008).
1. Evaluasi formatif disebut juga evaluasi berjalan dimana evaluasidilakukan sampai
dengan tujuan tercapai.
2. Evaluasi somatif merupakan evaluasi akhir dimana dalam metode evaluasi ini
menggunakan SOAP.

19

Anda mungkin juga menyukai