Anda di halaman 1dari 8

Penulis: 

dr. Robertus Arian Datusanantyo, M.P.H., M.Ked.Klin., SpBP-RE


( Dokter spesialis alumni Universitas Gadjah Mada dan Universitas Airlangga)

Disrupsi terhadap rutinitas pelayanan di masa pandemi COVID-19 menyisakan pertanyaan


mengenai keberlangsungan pengukuran dan kawalan mutu pelayanan kesehatan. Pengukuran
mutu dan keselamatan pasien yang telah berjalan rutin dari waktu ke waktu ditantang dengan
perubahan kondisi yang tiba-tiba di masa pandemi. Komite mutu dan keselamatan pasien di
rumah sakit dituntut untuk tanggap dan mampu beradaptasi dengan cepat pada masa turbulensi
ini.

Sebuah opini di Journal of American Medical Association (JAMA) menyoroti soal bagaimana
pandemi Covid-19 telah menunjukkan berbagai kelemahan dalam pengukuran mutu pelayanan
rumah sakit (Austin and Kachalia, 2020). Kelemahan ini antara lain adalah terlalu padat karya,
kelambatan data yang signifikan, dan ketiadaan standar yang memungkinkan pembagian data
dengan cepat. Kelemahan-kelemahan ini pun kerap kita jumpai pada rumah sakit di Indonesia.

Di sisi lain, pelatihan-pelatihan mengenai peningkatan mutu dan keselamatan pasien yang telah
dilakukan kepada para tenaga kesehatan memungkinkan respon yang adekuat terhadap tantangan
pandemi COVID-19 (Fitzsimons, 2020). Pengalaman di Cleveland Clinic menunjukkan bahwa
untuk tetap melakukan peningkatan mutu di masa pandemi, diperlukan pendekatan gegas PDSA
(plan - do - study - act) dan kepemimpinan di semua level yang mampu mengkoordinasi,
mengembangkan protokol, dan mengimplementasikan perubahan (Oesterreich et al., 2020).

Meskipun prinsip-prinsip tersebut tidak baru, memaknainya dalam konteks pandemi menjadi
penting. Sebagai contoh adalah kebiasaan pengumpulan data mutu dan analisisnya. Sebagian,
bila tidak semua, rumah sakit mengukur berbagai indikator mutu sebagai tambahan atas beban
utama dan dilakukan setelah pelayanan. Keadaan ini menjadi hambatan pengukuran dan analisis
pada proses peningkatan mutu berkelanjutan pada saat terjadi puncak kebutuhan sumber daya
saat pandemi.

Beberapa indikator keselamatan pasien dan indikator mutu seperti contohnya infeksi daerah
operasi (IDO) yang memiliki kelambatan 6 sampai 12 bulan tergantung periode waktu analisis
yang ditetapkan setiap rumah sakit. Saat data selesai dianalisis, umpan balik yang direncanakan
kemungkinan sudah tidak sesuai karena tidak tepat waktu untuk memunculkan intervensi yang
berdampak. Dalam krisis seperti misalnya pandemi, efek buruk kelambatan data ini membesar
karena kinerja pelayanan dalam situasi krisis ini tidak dapat terukur pada waktu yang tepat.

Dalam waktu inilah peran kepemimpinan diperlukan untuk mentransformasi kegiatan-kegiatan


peningkatan mutu yang pada kondisi biasa adalah kegiatan elektif menjadi kegiatan yang dapat
diaplikasi pada kondisi akut atau gawat darurat. Para tenaga kesehatan sudah mengenal dan
dilatih untuk menggunakan improvement science dan patient safety science (Fitzsimons, 2020).
Lewat kedua pengetahuan inilah persoalan padat karya, kelambatan, dan ketiadaan standar
berbagi indikator-indikator mutu bisa diatasi pada masa pandemi.

Pendekatan rapid learning cycle (RLC) adalah inti dari peningkatan mutu dengan cara
menetapkan tujuan perubahan, menentukan cara pengukuran perubahan, dan menciptakan
perubahan untuk menghasilkan peningkatan mutu. Ini diikuti dengan siklus plan - do - study - act
yang diulang untuk memvalidasi atau memperbesar perubahan (Fitzsimons, 2020). Siklus PDSA
dilakukan dengan sesedikit mungkin disrupsi pada pelayanan klinis dan harus bersandar pada
cara pengukuran perubahan yang adekuat. Pengukuran perubahan harus teliti sehingga
perubahan hasil pengukuran dapat diinterpretasikan dengan benar.

Perubahan perilaku juga merupakan hal penting pada peningkatan mutu di masa pandemi.
Economic and Sosial Research Institute di Irlandia mengumpulkan cukup banyak bukti berbagai
pendekatan untuk perubahan perilaku baik di tingkat organisasi maupun di tingkat masyarakat
umum (Lunn et al., 2020). Walaupun bukan suatu systematic review, Lunn dkk menemukan
bahwa komunikasi yang efekif di saat krisis melibatkan kecepatan, kejujuran, kredibilitas,
empati, dan mendorong perilaku individu yang bermanfaat. Intervensi perilaku yang efektif
terbukti meningkatkan kebiasaan cuci tangan walaupun tidak terbukti untuk mengurangi
kebiasaan menyentuh wajah.

Selain improvement science, rumah sakit dapat juga melakukan peningkatan mutu dengan
pendekatan patient safety science seperti misalnya menggunakan model system engineering
initiative for patient safety (SEIPS) yang terakhir diusulkan pembaruannya menjadi versi ketiga
(Carayon et al., 2020). Melalui model ini, rumah sakit di masa pandemi dapat melakukan
intervensi seperti crisis resource management (CRM), brifing harian dengan durasi pendek, dan
after action review (AAR) (Fitzsimons, 2020). Penerapan model SEIPS dapat mengidentifikasi
berbagai isu keselamatan yang muncul dari interaksi pasien dengan beberapa pemberi pelayanan
baik dalam sistem mikro klinis maupun yang lebih luas.

Selain harus bersandar betul pada pengukuran mutu (Austin and Kachalia, 2020; Fitzsimons,
2020), komite mutu dan keselamatan pasien juga harus dapat mengidentifikasi ulang apa yang
dimaksud dengan pelayanan yang bermutu pada situasi krisis dengan mengedepankan prinsip
keadilan, kewajiban untuk melayani, kewajiban untuk menjaga sumber daya, transparansi,
konsistensi, proporsionalitas, dan akuntabilitas (Fitzsimons, 2020). Menggunakan dasar-dasar
improvement science dan patient safety science, mutu pelayanan rumah sakit di masa pandemi
COVID-19 dapat terus dijaga kelangsungannya bahkan ditingkatkan. Semoga bermanfaat!

Kepustakaan
 Austin, J. M. and Kachalia, A. (2020) ‘The State of Health Care Quality Measurement in
the Era of COVID-19: The Importance of Doing Better’, JAMA: the journal of the American
Medical Association, 324(4), pp. 333–334.
 Carayon, P. et al. (2020) ‘SEIPS 3.0: Human-centered design of the patient journey for
patient safety’, Applied ergonomics, 84, p. 103033.
 Fitzsimons, J. (2020) ‘Quality & Safety in the time of Coronavirus-Design Better, Learn
Faster’, International journal for quality in health care: journal of the International Society for
Quality in Health Care / ISQua. doi: 10.1093/intqhc/mzaa051.
 Lunn, P. D. et al. (2020) ‘Using Behavioral Science to help fight the Coronavirus’,
Journal of Behavioral Public Administration. doi: 10.30636/jbpa.31.147.
 Oesterreich, S. et al. (2020) ‘Quality improvement during the COVID-19 pandemic’,
Cleveland Clinic journal of medicine. doi: 10.3949/ccjm.87a.ccc041.

Add new comment

Kualitas Hidup Pasien Demensia Alzheimer di Era


Pandemi Covid 19
21 SEPTEMBER 2020HEADLINE

(Catatan kecil: refleksi tentang kualitas hidup pasien demensia di tengah pandemi)

Penulis:
Sabar P Siregar (Psikiater Dokdiknis (NIDK)
RSJ Prof dr Soeroyo, Magelang)

Seorang wanita 60 tahun dibawa oleh keluarganya ke poliklinik psikiatri. Dari informasi yang
disampaikan bahwa belakangan menunjukkan perubahan perilaku. Awalnya tampak jadi
pendiam dibanding biasanya, jarang senyum, jarang mengungkapkan apa yang dirasakan dan
jarang memberi respon terhadap ungkapan perasaan orang lain terhadap dirinya. Masih dapat
beraktivitas sehari-hari tetapi beberapa hal kegiatan harus diingatkan. Puncak perubahan perilaku
itu terjadi saat klien suatu waktu mau memasak nasi.

Kegiatan ini sudah dilakukan bertahun-tahun. Seperti biasa sebelum memasak nasi, beras dicuci
dulu dengan wadah berbahan plastik. Setelah itu baru ditempatkan ke tempat memasak nasi lalu
ditaruh diatas kompor dan kompor dinyalakan. Tapi yang terjadi adalah wadah pencuci beras
berbahan plastik yang biasa digunakan untuk mencuci beras, langsung ditaruh diatas kompor dan
kompornya dinyalakan. Gejala lain yang bertambah berat adalah semakin lama penderita
semakin pelupa terhadap banyak hal dan tambah banyak diam. Rawat diri, misal: makan dan
mandi, harus dibantu.

***

Belakangan ini banyak aspek kehidupan di hubungkan dengan situasi pandemi yang sedang
terjadi hampir di seluruh dunia. Tulisan ini mencoba membuat sedikit catatan untuk refleksi
dampak pandemi terhadap klien demensia.
Literatur tentang demensia dapat banyak ditemukan dari berbagai sumber. Masih banyak hal
yang belum diketahui tentang demensia. Walaupun demikian, sudah ada beberapa pemahaman
yang telah diterima secara luas. Dari beberapa literatur disampaikan bahwa demensia adalah
suatu terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya berbagai gangguan kognitif
(sindrom), terutama gangguan memori, yang disebabkan karena “sakit” otak.

Jadi demensia bukanlah suatu penyakit. Akan tetapi terjadinya demensia disebabkan berbagai
penyakit, salah satunya adalah penyakit Alzheimer, yang bulan ini diperingati. Demensia
Alzheimer adalah demensia yang disebabkan penyakit Alzheimer. Jenis demensia ini yang paling
banyak terjadi dibandingkan jenis demensia lainnya. Selanjutnya pada tulisan ini, demensia yang
dimaksud adalah demensia Alzheimer.

Dampak dari demensia sangat luas. Dapat berdampak langsung kepada klien demensianya
sendiri maupun kepada sekitarnya, terutama bagi keluarganya. Dampak yang luas ini dilandasi
seberapa luas jaringan otak yang “sakit” dimana hal ini akan menentukan tingkat gangguan
kognitifnya. Definisi tentang kognitif yang dikemukakan dari berbagai literatur juga beragam.
Pada tulisan ini yang dimaksud kognitif adalah kemampuan untuk berpikir dan mengetahui,
menggunakan intelektual, logika, pertimbangan, memori dan semua fungsi tertinggi dari kortikal.

Kognitif yang utuh memungkinkan seseorang mampu menghargai dunia luar maupun dunia di
dalam dirinya sendiri, juga memampukan seseorang berinteraksi dengan orang lain dan
bernegosiasi dalam kehidupannya sehari-hari. Selanjutnya, komunikasi dan pemahaman yang
tepat dari seseorang, tidak hanya tergantung pada kemampuan bahasa dan berbicara serta tidak
adanya gangguan pada pikiran tetapi tergantung juga pada keadaan fungsi otak lainnya yaitu
kognitif dan intelektual yang dimiliki. Fungsi kognitif adalah satu hal penting dalam kehidupan
setiap orang.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa pada demensia ditemukan beberapa
gangguan kognitif. Dengan pemahaman fungsi kognitif seperti di atas dan pada klien demensia
ditemukan beberapa gangguan kognitif maka dapat dipahami kenapa klien-klien demensia
mengalami hambatan pada hampir setiap aspek kehidupan pribadinya. Aspek yang paling
terdampak adalah menurunnya kemampuan untuk mandiri.

Kemampuan untuk hidup mandiri pada level demensia tertentu, sangat menurun. Tidak dapat
lagi memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri bahkan untuk kebutuhan hidup yang paling dasar.
Sehingga klien demensia sangat tergatung pada lingkungannya. Penurunan kemandirian ini juga
terkait dengan menurunnya kemampuan memilih apa yang tepat untuk dirinya sendiri, termasuk
keputusan-keputusan moral, kehilangan kesempatan menikmati aktivitas sehari-hari yang
sebelumnya menyenangkan bagi dirinya dan terganggunya hubungan pribadi.

Pada klien demensia juga dapat terjadi beberapa masalah gejala-gejala psikopatologi seperti
apatis, agitasi, depresi dan psikosis. Adanya gejala-gejala psikiatri ini tentu akan membuat
keadaan akan lebih rumit karena gejala-gejala itu dapat berupa bagian gejala dari demensianya
sendiri, juga dapat berupa kondisi klinis yang berdiri sendiri atau gejala itu merupakan cara klien
demensia mengekspresikan apa yang dirasakan di dalam dirinya atau cara respon klien terhadap
lingkungannya.
Jadi ekspresi adanya gejala-gejala psikopatologi pada klien demensia tidak selalu menunjukkan
adanya gangguan-gangguan psikiatri. Untuk itu sangat diperlukan evaluasi yang komprehensif
dan cermat dalam menganalisa gejala-gejala psikopatologi pada klien demensia. Karena pastinya
hal ini akan terkait dengan penanganan lebih lanjut.

Level terakhir demensia adalah level dimana fungsi kognitif sudah terganggu total. Kontrol
motorik hilang. Kontrol motorik yang hilang ini semakin berat karena biasanya klien demensia
sudah lanjut usia (lansia). Seorang lansia pada umumnya sudah mengalami penurunan kontrol
motorik. Sehingga ketika digabungkan, keadaan demensia dan lanjutnya usia maka dapat
diprediksi hilangnya kontrol motorik bertambah berat.

Hal lain yang paling bermakna pada demensia level akhir adalah gangguan komunikasi.
Gangguan komunikasi yang berat akan membuat seorang klien demensia tidak mampu
menyampaikan: apa yang mereka pikirkan, rasakan, termasuk apa yang mereka inginkan,
maupun butuhkan dan menyampaikan gejala-gejala medis yang mereka alami. Walaupun
belakangan alat-alat medis sudah semakin maju dan itu adalah hal yang harus disyukuri, akan
tetapi komunikasi antara terapis dan klien pada pelayanan medis adalah hal prinsip yang tidak
dapat diganti alat-alat modern.

Hambatan komunikasi tentu akan mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan yang sebagian
besar membutuhkan komunikasi dua arah antara terapis dan klien. Jika ada bias dalam
komunikasi antara terapis dan kliennya dapat mengakibatkan tidak akuratnya diagnosis yang
tentunya diikuti kurang maksimalnya hasil terapi.

Di tengah pandemi covid-19 yang tidak ada seorangpun dapat memprediksi kapan berakhirnya,
klien demensia adalah salah satu kelompok yang memiliki resiko ganda. Kenapa resiko ganda?
Seperti disampaikan melalui media-media bahwa kelompok lansia adalah kelompok paling
rentan terinfeksi covid-19. Dari sisi usia klien demensia rata-rata sudah lansia, dengan demikian
secara alami sudah memilki satu faktor resiko. Faktor resiko lainnya adalah klien demensia
sangat tergantung kepada orang lain. Kontak klien demensia dengan yang merawat mereka
adalah salah satu jalur kemungkinan terinfeksinya klien demensia.

Jadi sudah ada dua faktor resiko yaitu usia dan ketergantungannya dirawat orang lain. Hal lain
adalah jika klien demensia positip terinfeksi covid-19, tentu ada gangguan komunikasi, maka
klien demensia tidak mampu menyampaikan apa yang mereka alami karena lupa. Untuk
pemeriksaan dan terapi yang membutuhkan prosedur-prosedur tertentu untuk kepentingan
perawatan medis, tentu juga sulit dilakukan. Hambatan disebabkan berkurangnya kemampuan
untuk mengingat tahapan-tahapan prosedur yang diinstruksikan, padahal prosedur-prosedur
sangat dibutuhkan untuk mencapai hasil terbaik.

Evaluasi progres penanganan pasien juga membutuhkan komunikasi. Terutama jika ada hal-hal
yang tidak sesuai dengan efek dari terapi. Sebagian efek terapi memang dapat diobservasi tetapi
ada efek terapi yang hanya dapat dilaporkan klien. Pada klien demensia sering lupa instruksi-
instruksi yang diberikan sehingga tidak dapat melaporkan apa efek obat yang dialami dan sangat
mungkin muncul efek yang tidak diharapkan. Klien demensia juga dapat salah melaporkan efek
obat yang dialami. Karena klien demensia sulit mengingat kejadian-kejadian baru yang dialami
maka yang dilaporkan adalah pengalaman efek obat lain yang sebelumnya pernah dipakai.
Permasalahan gangguan kognitif pada demensia ini sering juga memunculkan masalah dalam
keluarga atau dengan pihak yang merawatnya. Masalah sering dimulai dari keseharian klien
demensia. Sering mengatakan belum diberi makan, padahal sudah. Hal sebaliknya dapat terjadi,
menolak makan karena merasa sudah makan, padahal belum. Menolak minum obat karena
merasa sudah minum obat atau sebaliknya.

Mandi berkali-kali karena lupa sudah mandi atau belum, tetapi dapat juga sebaliknya.
Mengatakan ke orang-orang bahwa barang berharga miliknya hilang diambil orang, padahal
karena lupa tempat menyimpannya. Pergi dari rumah dan lupa jalan pulang. Menetap disatu
tempat di luar rumah dan ketika diajak pulang tidak mau, karena meyakini tempat itulah
rumahnya. Kadang bangun malam lalu menghidupkan kompor untuk merebus air lalu pergi tidur
lagi dan lupa sedang menghidupkan kompor merebus air. Merasa ketakutan karena meyakini ada
orang lain di dalam rumah, padahal tidak ada.

Saat bicara, kadang-kadang tiba-tiba diam karena lupa mau menyampaikan apa. Menyampaikan
bahwa dirinya bertemu dengan kerabat atau orang yang sudah lama meninggal dunia.
Menggabungkan suatu peristiwa di masa lalu dengan situasi saat ini, padahal sesungguhnya hal
itu adalah keadaan yang tidak ada hubungan sama sekali. Semakin parah ketika klien demensia
lupa bagaimana seharusnya ke kamar kecil. Kejadian-kejadian tersebut, dan masih banyak
kejadian lain, sering membuat ketegangan antara klien demensia dengan orang / anggota
keluarga yang merawatnya.

Ketegangan semakin memuncak karena ketika kepada klien demensia disampaikan semua fakta-
fakta tentang apa yang sudah dilakukan, klien demensia sering membantahnya bahkan sampai
marah membantahnya. Karena bantahan dari klien, keluarga juga mungkin menjadi jengkel
karena menganggap klien demensia melawan atau berbohong, padahal sesungguhnya klien
demensia membantah karena mereka sendiri lupa apa yang sudah dilakukan. Karenanya klien
demensia sangat berpotensi mengalami kecelakaan karena tidak memahami resiko dari apa yang
dilakukannya.

Orang atau keluarga yang merawat klien demensia juga punya kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi tapi di sisi lain harus merawat klien demensia yang sulit dipahami. Walaupun demikian,
kebanyakan dari keluarga yang merawat tetap lebih mendahulukan terpenuhinya kebutuhan klien
demensia karena mereka menyadari bahwa klien demensia lebih memerlukan bantuan
dibandingkan dengan diri mereka sendiri yang masih mampu mengurus diri sendiri.

Sementara di sisi lain, klien demensia tidak mengerti seberapa besarnya pengorbanan pihak yang
merawatnya. Hal ini tentu dapat menimbulkan rasa lelah yang berat bagi yang merawat klien
demensia. Sangat perlu dukungan bagi siapapun yang merawat klien demensia karena selain
menghadapi gangguan kognitif yang sulit dipahami, perawatan demensia juga sering
berlangsung lama dan harapan pulih sangat kecil. Keadaan ini sangat menguras energi psikis dan
fisik.

Pada masa pandemi ini terjadi distraksi perekonomian, maka sangat mungkin pencari nafkah
utama dalam keluarga yang salah satu anggota keluarganya adalah klien demensia, kehilangan
pekerjaannya atau pendapatan usaha sangat menurun maka keadaan ini akan berdampak terhadap
perawatan klien demensia selanjutnya baik secara psikis dan fisik.
Penulis pernah mendapatkan informasi seorang ibu yang memiliki beberapa anak dan anak-
anaknya sudah pada menikah. Ibu ini tinggal dirumahnya sendiri ditemani anak perempuannya
yang bungsu dan sudah menikah. Di saat usia bertambah lanjut ibu ini mengalami demensia.
Lama kelamaan anak perempuan yang tinggal bersama ibu ini menyampaikan ke saudara-
saudaranya yang lain sudah tidak kuat merawat ibu mereka dengan berbagai alasan dan salah
satu alasannya karena memiliki anak-anak yang masih kecil. Anak-anak ibu ini, yang dilahirkan
dari rahimnya, yang dirawat mulai janin sampai dewasa, saling melempar tanggung jawab.

Tetapi keputusan harus dibuat dan diputuskan anak pertama laki-laki dalam keluarga yang harus
merawat. Keputusan tersebut diambil karena anak laki-laki tersebut secara ekonomi paling
mapan dibanding saudara-saudara lainnya, rumahnya cukup besar dan juga tanggung jawab
sebagai anak pertama. Seiring berjalannya waktu kondisi ibu ini bertambah sulit. Buang hajat
sembarangan dan selalu mondar mandir. Tidak dapat dikendalikan. Sudah mendatangkan
pengasuh lansia tapi semuanya minta berhenti karena tidak kuat. Akhirnya istri anak pertama
marah dan mengatakan: “Itu bukan ibu saya, kenapa harus saya yang mengurus?”. Puncaknya,
istri anak pertama itu minta supaya ibu mertuanya itu diurus anak-anaknya yang perempuan,
kalau tidak, sang istri mau pergi.

Sebagai catatan, sang menantu (istri anak pertama) tidak berkarir di luar rumah. Reaksi pembaca
mesti beragam kalau membaca kisah ini. Ini hanya sebagian konflik kecil yang dapat
menggambarkan betapa sulit dan kompleksnya dampak merawat klien dengan demensia dan
semoga sang menantu serta anak-anak yang lain tidak menjadi demensia di kemudian hari.

Studi kasus diawal tulisan ini menunjukkan gejala klinis dengan gangguan kognitif yang berat.
Pasien tidak dapat lagi mencapai tujuannya (memasak nasi) dengan cara yang semestinya,
padahal selama ini kegiatan itu sudah berulang-ulang dilakukan. Gejala diawali dengan gejala-
gejala apatis. Gangguan memori terjadi belakangan. Jadi pada kasus-kasus demensia kadang
diawali dengan gejala-gejala afektif bukan gangguan memori. Keluarga sangat memperhatikan
keadaan klien dan mengantarkannya kontrol teratur. Tempat tinggal klien dekat dengan tempat
tinggal anggota keluarga yang lain sehingga anggota keluarga dapat bergantian merawat klien.
Kebersamaan keluarga klien memperhatikan klien ini adalah nilai positip untuk terjaminnya
keberlanjutan perawatannya.

Sebagai catatan, penulis pernah menemukan kasus lain, seorang wanita lansia dengan demensia,
diantar suaminya yang juga sudah lansia datang ke poliklinik. Klien ini sudah pada level
demensia akhir, jadi harus total care. Memiliki seorang anak perempuan yang sudah nikah,
tinggal di luar negeri dan tidak pernah lagi pulang ke Indonesia bahkan komunikasipun sangat
jarang. Keluarga lansia ini hanya tinggal berdua di rumah. Semua kegiatan di rumah, termasuk
merawat klien demensia ini, dilakukan sendiri oleh sang suami. Kadang ada asisten rumah
tangga datang membantu. Saudara-saudara tinggal jauh dan tentunya saudara-saudaranya juga
punya kehidupan masing-masing yang harus diurus jadi tidak mungkin diharapkan membantu
secara terus menerus. Setelah beberapa kali pertemuan di poliklinik, suami klien bertanya pada
penulis: “dokter, kalau saya “duluan”, istri saya ini bagaimana ya dok?”.

Di Undang-undang sudah diatur bagaimana tanggung jawab negara terhadap warganya termasuk
lansia dan juga berarti lansia dengan demensia. Negara bukanlah hanya pemerintah tapi semua
elemen yang ada dalam suatu negara. Seharusnya jika melihat undang-undang yang ada, maka
keresahan sang suami yang disampaikan ke dokter, tidak perlu terjadi. Namun kesulitan suatu
kebijakan adalah justru pada tataran pelaksanaan. Beberapa literatur melaporkan bahwa
perhatian negara, terutama negara-negara berkembang, sangat terbatas pada kelompok demensia.
Karena bagi negara-negara berkembang masih banyak kebutuhan lain yang lebih mendesak dan
menyangkut kebutuhan khalayak lebih banyak.

Demensia memang dilematis. Bagaimanapun keberadaan seseorang, termasuk jika mengalami


demensia, mereka tetap sebagai warga negara suatu negara. Negara harus merawatnya. Di sisi
lain, seberapapun besar investasi yang diberikan untuk merawat dan penelitian untuk penanganan
demensia, saat ini progresnya memang masih sangat terbatas. Sejarah mencatat beberapa pesohor
dunia, dimasa tuanya mengalami demensia dan salah satunya adalah mantan presiden negara
adidaya. Artinya siapapun dapat menjadi seseorang dengan demensia. Para pesohor dunia itu pun
tidak mengerti sebelumnya bahwa mereka nantinya akan mengalami demensia. Seandainya
mereka mengerti akan mengalami demensia, tentu para pesohor tersebut, saat lagi berkuasa, akan
membuat kebijakan-kebijakan yang memprioritaskan penanganan demensia.

Alangkah indahnya jika para pesohor dunia dimanapun saat ini, selagi berkuasa, memberi
perhatian yang berkualitas dan berkelanjutan terkait kebijakan bagi klien-klien demensia. Bukan
tidak mungkin kebijakan yang dibuat saat ini, secara tidak sengaja dipersiapkan untuk para
pembuat kebijakan itu sendiri, siapa tau dimasa mendatang akan mengalami demensia.
Walaupun jika nantinya benar mengalami demensia, akan lupa bahwa dirinyalah dahulu yang
mempersiapkan kebijakan-kebijakan terhadap klien-klien demensia.

Diakhir tulisan ini penulis mengajak semua pihak, sejenak merenung, tentang klien demensia
dengan segala dinamikanya dan hidup sebatang kara, siapakah yang akan merawatnya? Marilah
kita semua, mengingat sesama kita yang sudah tidak mampu mengingat kita.

Daftar Pustaka:

 Edited by: Budson A E, Kowall N W. The handbook of alzheimer’s disease ant other
dementias. Wiley-Blackwell. 2011.
 Budson A E, Solomon P R. Memory Loss, alzheimer’s disease and dementia. 2nd edition.
Elsevier. 2016.
 Hay D P, Klein D T, Hay L K, Groosberg G T, Kennedy J S. Agitation in patient with
dementia. American Psychiatric Publishing, Inc. 2003.
 Weiner M F & Lipton A M. Textbook of alzheimer disease and other dementias.
American Psychiatric Publishing, Inc. 2009.
 Edited by: Weiner M F & Lipton A M. Clinical manual of alzheimer disease and other
dementias. American Psychiatric Publishing, Inc. 2012.

Anda mungkin juga menyukai