Penyusun :
Dokter Pembimbing :
NIM : 112017123
Yang Mengesahkan,
KATA PENGANTAR
2
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah
diberikan-Nya, sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan. Laporan kasus dengan
judul “Otitis Media Efusi Aurikula Dextra dan Rhinofaringitis Akut” ini disusun
untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mengikuti dan menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit
Umum Daerah Tarakan Jakarta Pusat. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan,
bantuan dan doa dari berbagai pihak, laporan kasus ini tidak akan dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. dr. Danneswarry, Sp. THT-KL, selaku dosen pembimbing di Bagian SMF Ilmu
Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah
Tarakan yang telah membimbing kami menyelesaikan tugas ini,
2. Para Pegawai dan Perawat di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
3. Rekan-rekan sejawat dokter muda di Bagian SMF Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung dan Tenggorokan di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan,
4. Semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan sangat
bermanfaat bagi penulis demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
3
1.1 Latar Belakang
Istilah otitis media berarti bahwa ada adalah peradangan pada telinga tengah.
Otitis media dapat dikaitkan dengan infeksi atau steril. Otitis media biasanya
disebabkan oleh bakteri yang bermigrasi ke telinga tengah melalui tuba Eustachius.
Kadang-kadang otitis media yang dapat disebabkan oleh jamur (Candida, Aspergillus)
atau patogen lainnya, seperti virus herpes. Dalam situasi ini, biasanya terdapat masalah
dengan fungsi kekebalan tubuh atau ada lubang (perforasi) pada gendang telinga.1
Biasanya ada cairan berwarna yang jelas atau kekuningan di belakang gendang telinga.
Berbagai serosa sering dikaitkan dengan alergi tetapi juga dapat terjadi dari berbagai
sumber-sumber potensial lainnya termasuk pengobatan radiasi atau virus. Otitis media
serosa dapat dikaitkan dengan kedua gangguan pendengaran dan vertigo.1 Cairan efusi
ini pada orang dewasa sering terjadi setelah mengalami radioterapi, barotrauma
(misalnya penyelam), dan disfungsi tuba Eustachius akibat infeksi atau alergi saluran
pernapasan atas.1
Rhinitis akut simpleks adalah iritasi pada hidung dimana terjadi inflamasi
selama beberapa hari yang secara umum disebabkan oleh virus. Rhinitis akut simpleks
dapat pula disebut sebagai common cold, selesma, pilek, maupun flu. Etiologi yang
umum pada rhinitis simpleks adalah Rhinovirus, namun dapat pula disebabkan oleh
virus lain seperti Myxovirus, Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza,
Coxsackie virus, ECHO virus dan lainnya. Penyakit ini sangat menular dan gejala
timbul akibat tidak adanya kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh (kedinginan,
kelelahan, adanya penyakit menahun dan lain-lain). Faringitis merupakan peradangan
dinding faring yang disebabkan oleh virus (40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma,
toksin dan lain-lain.2 Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari
kemudian akan menimbulkan faringitis.
Laporan ini dibuat untuk memperluas wawasan para pembaca mengenai Otitis
Media Efusi dan Rhinofaringitis Akut dengan harapan pembaca dapat mengerti dan
4
memahami seluk beluk dan perjalanan penyakit ini berdasarkan teori dan
membandingkannya dengan kasus yang ditemukan di lapangan.
Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT) FK
UKRIDA di RSUD Tarakan Jakarta.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.1 Anatomi Telinga
Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna/auricula), liang telinga (meatus
acusticus externus, MAE) sampai gendang telinga (membran timpani). Daun telinga
merupakan gabungan dari tulang rawan elastin yang dilapisi kulit. 1 Liang telinga
berbentuk huruf S, dengan 1/3 bagian luar terdiri dari tulang rawan yang disebut pars
cartilagenous, sedangkan 2/3 bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang atau disebut
pars osseus. Panjangnya kira-kira 2,5- 3 cm. Pada sepertiga bagian luar liang telinga
terdapat banyak kelenjar serumen (kelenjar keringat) dan rambut. Kelenjar keringat
terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada 2/3 bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen.1
1. Membran Timpani
Membran timpani dibentuk dari dinding lateral kavum timpani dan memisahkan
liang telinga luar dari kavum timpani. Membran ini memiliki panjang vertikal ratarata
9-10 mm, diameter antero-posterior kira-kira 8-9 mm, dan ketebalannya rata-rata 0,1
6
mm. Letak membran timpani tidak tegak lurus terhadap liang telinga akan tetapi miring
yang arahnya dari belakang luar ke muka dalam dan membuat sudut 450 dari 4 dataran
sagital dan horizontal. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari
arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. 1 Bagian atas disebut
pars flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran
propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa
saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri
dari serat kolagen dan serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan
sirkuler di bagian dalam.1 Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran
timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) ke
arah bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pada pukul 5 untuk
membran timpani kanan. Reflek cahaya (cone of light) ialah cahaya dari luar yang
dipantulkan oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut,
sirkuler dan radier. Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang
berupa kerucut itu. Secara klinis reflek cahaya ini dinilai, misalnya bila letak cahaya
mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.1 Membran timpani dibagi
dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis
yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-
belakang, bawah-depan, serta bawah-belakang, untuk menyatakan letak perforasi
membran timpani.1 Di dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang
tersusun dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran di
dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes. Stapes
melekat pada tingkap lonjong yang berhubungan koklea. Hubungan antar tulang-tulang
pendengaran merupakan persendian.1 Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut
atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga
tengah dan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang
menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.1 Aliran darah membran
timpani berasal dari permukaan luar dan dalam. Pembuluhpembuluh epidermal berasal
dari aurikula yang merupakan cabang dari arteri maksilaris interna. Permukaan mukosa
7
telinga tengah didarahi oleh arteri timpani anterior cabang dari arteri maksilaris interna
dan oleh stilomastoid cabang dari arteri aurikula posterior.1
2. Kavum Timpani
Kavum timpani terletak di dalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya
bikonkaf, atau seperti kotak korek api. Diameter antero-posterior atau vertikal 15 mm,
sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu :
bagian atap, lantai, dinding lateral, medial, anterior, dan posterior.1 Kavum timpani
terdiri dari :
b) Otot, terdiri atas: otot tensor timpani (muskulus tensor timpani) dan otot
stapedius (muskulus stapedius).
3. Prosesus Mastoideus
Rongga mastoid berbentuk seperti bersisi tiga dengan puncak mengarah ke kaudal.
Atap mastoid adalah fosa kranii media. Dinding medial adalah dinding lateral fosa
kranii posterior. Sinus sigmoid terletak di bawah duramater pada daerah ini. Pada
dinding anterior mastoid terdapat aditus ad antrum yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid.1
4. Tuba eustachius.
Tuba eustakhius disebut juga tuba auditori atau tuba faringotimpani berbentuk
seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan kavum timpani
dengan nasofaring. Pada orang dewasa panjang tuba sekitar 36 mm berjalan ke bawah,
depan dan medial dari telinga tengah dan pada anak dibawah 9 bulan adalah 17,5 mm.1
8
a) Bagian tulang terdapat pada bagian belakang dan pendek (1/3 bagian).
b) Bagian tulang rawan terdapat pada bagian depan dan panjang (2/3 bagian).
Fungsi Tuba Eustakhius adalah ventilasi, drenase sekret dan menghalangi masuknya
sekret dari nasofaring ke telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan
di telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Adanya fungsi ventilasi tuba
dapat dibuktikan dengan melakukan perasat Valsava dan perasat Toynbee.1 Perasat
Valsava meniupkan dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet serta mulut
ditutup. Bila Tuba terbuka maka akan terasa ada udara yang masuk ke telinga tengah
yang menekan membran timpani ke arah lateral. Perasat ini tidak boleh dilakukan kalau
ada infeksi pada jalur nafas atas.1 Perasat Toynbee dilakukan dengan cara menelan
ludah sampai hidung dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa
membran timpani tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis.1
Terdiri dalam terdiri koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea
disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. 1
Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk
lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli
sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah, dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya.1 Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media
berisi endolimfa. Hal ini penting untuk pendengaran. Dasar skala vestibuli disebut
sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah
membran basalis. Pada membran ini terletak organ Corti. 1 Pada skala media terdapat
bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal
melekat sel rambut yang terdiri dari satu baris sel rambut dalam, tiga baris sel rambut
luar dan kanalis Corti, yang membentuk organ Corti.1
Proses mendengar ini dimulai dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga
dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang koklea. Getaran ini
9
dialirkan ke telinga tengah dan mengenai membran timpani, sehingga membran timpani
bergetar. Selanjutnya getaran ini akan diteruskan ke telinga tengah melalui tulang-
tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain yang terdiri dari maleus, incus,
dan stapes. Stapes akan menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan
perilimfe dalam skala vestibuli. Getaran melalui membran reissner akan mendorong
endolimfe dan membrane basilaris ke bawah. Perilimfe juga akan bergerak. 2 Proses
tersebut akan menyebabkan defleksi stereo silia sel-sel rambut pada organ corti,
sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion-ion bermuatan listrik dari badan
sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf
auditorius, kemudian dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran
(area 39 dan 40) di lobus temporalis.3
Nama lain adalah Otitis media serosa, Otitis media musinosa, Otitis media efusi,
Otis media sekretoria, Otis media mucoid (glue ear).1,4
Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya secret yang nonpurulen di telinga
tengah, sedangkan membrane timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah dengan
membrane timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan
efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut
kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terjadi
terutama akibat adanya transude atau plasma yang mengalir dari pembuluh arah ke
telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik,
sedangkan pada otitis media mukoid, cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat
sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, dan rongga mastoid. Faktor yang berperan utama dalam keadaan ini adalah
terganggunya fungsi tuba Eustachius. Faktor lain yang dapat berperan sebagai penyebab
adalah adenoid hipertrofi, adenoitis, sumbing palatum (cleft-palate), tumor di
nasofaring, barotrauma, sinusitis, rintis, defisiensi imunologik atau metabolik. Keadaan
10
alergik sering berperan sebagai faktor tambahan dalam timbulnya cairan di telinga
tengah (efusi di telinga tengah).1,4
Beberapa ahli memberi batasan yaitu otitis media efusi adalah keadaan terdapat
cairan di telinga tengah baik berbentuk nanah, secret encer, ataupun secret yang kental
(mukoid/glue ear). Dengan kata lain otitis media efusi dapat berupa OMA (otitis media
akut), OMS (otitis media serosa), atau OMM (otitis media mukoid/glue ear).1,4
Oleh karena itu istilah otitis media serosa/otitis media sekretoria/otitis media
mukoid/otitis media efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum
timpani dengan membrane timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut
berbentuk pus, membrane timpani utuh dan disertai tanda-tanda radang maka disebut
Otis media akut (OMA).
2.3.2 Etiologi
Pada dasarnya otitis media serosa dapat dibagi atas dua jenis otitis media serosa
akut dan otitis media serosa kronik. Gangguan fungsi tuba eustachius merupakan
penyebab utama. Gangguan tersebut dapat terjadi pada:4
11
Terapi antibiotik yang tidak adekuat pada OMSA dapat menonaktifkan
infeksi tetapi tidak dapat menyembuhkan secara sempurna. Akan menyisakan
infeksi dengan grade yang rendah Proses ini dapat merangsang mukosa untuk
menghasilkan cairan dalam jumlah banyak. Jumlah sel goblet dan kelenjar
mukus juga bertambah.
4. Infeksi virus
Berbagai virus adeno dan rino pada saluran pernapasan atas dapat
menginvasi telinga tengah dan merangsang peningkatan produksi sekret.
2.3.3 Patofisiologi
Otitis media terjadi kibat terganggunya faktor pertahanan tubuh yang bertugas
menjaga kestrelilan telinga tengah. Otitis media sering diawali dengan infeksi pada
saluran napas seperti radang tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah
lewat tuba Eustachius.5 Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat
menyebabkan infeksi dialuran tersebut sehingga terjadi pembengkakan disekitar
saluran. Tersumbatnya saluran Eustachius menyebabkan transudasi dan datangnya sel-
sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri
dengan mengorbankan dirinya sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam
telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius
menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel telinga tengah terkumpul dibelakang
gendang telinga.5 Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat
terganggu karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubunga gendang telinga
dengan oragan pendengaran didalam telinga tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan
pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 dB (bsiikan halus). Namun, cairan yang
lebih banyak dapa tmenyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 dB (kisaran
pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat,
cairan yang terlalu banyan tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena
tekanannya.5
Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya secret yang nonpurulen di telinga
tengah, sedangkan membrane timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah dengan
membrane timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media dengan
efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi tersebut
12
kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terjadi
terutama akibat adanya transude atau plasma yang mengalir dari pembuluh arah ke
telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat adanya perbedaan tekanan hidrostatik,
sedangkan pada otitis media mukoid, cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat
sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, dan rongga mastoid. Factor yang berperan utama dalam keadaan ini adalah
terganggunya fungsi tuba Eustachius. Factor lain yang dapat berperan sebagai penyebab
adalah adenoid hipertrofi, adenoitis, sumbing palatum (cleft-palate), tumor di
nasofaring, barotrauma, sinusitis, rintis, defisiensi imunologik atau metabolik. Keadaan
alergik sering berperan sebagai faktor tambahan dalam timbulnya cairan di telinga
tengah (efusi di telinga tengah).5
Beberapa ahli memberi batasan yaitu otitis media efusi adalah keadaan terdapat
cairan di telinga tengah baik berbentuk nanah, secret encer, ataupun secret yang kental
(mukoid/ glue ear). Dengan kata lain otitis media efusi dapat berupa OMA (otitis media
akut), OMS (otitis media serosa), atau OMM (otitis media mukoid/glue ear).5
Oleh karena itu istilah otitis media serosa/otitis media sekretoria/otitis media
mukoid/otitis media efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum
timpani dengan membrane timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut
berbentuk pus, membrane timpani utuh dan disertai tanda-tanda radang maka disebut
Otis media akut (OMA).
Pada dasarnya otits media serosa dapat dibagi atas dua jenis otitis media serosa akut
dan otitis media serosa kronik.
2.3.4 Klasifikasi
2.3.4.1 Otitis media serosa akut5
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya secret di telinga
tengah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba, keadaan
13
akut ini dapat disebabkan antara lain oleh : (1) sumbatan tuba, pada keadaan
tersebut terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh tersumbatnya tuba
secara tiba-tiba seperti pada barotrauma, (2) virus, terbentuknya cairan di telinga
tengah yang berhubungan dengan infeksi virus pada jalan napas atas, (3) alergi,
terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan keadaan alergi
pada jalan napas atas (4) idiopatik.
14
Gambar 2.3.4.2. Otitis media serosa kronik
2.3.5 Diagnosa
2.3.5.1 Anamnesa4,5 :
a. Pendengaran berkurang
b. Rasa tersumbat pada telinga
c. Suara sendiri terdengar lebih nyaring / berbeda pada telinga yang sakit
(diplacusis binauralis)
d. Kadang-kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga
pada saat posisi kepala berubah
e. Rasa sedikit nyeri (saat awal tuba Eustachius terganggu)
2.3.5.2 Pemeriksaan fisik :
a. Pemeriksaan fisik memperlihatkan imobilitas gendang telinga pada
penilaian otoskop.
- otitis media serosa akut : pada otoskopi terlihat membran timpani
retraksi. Kadang- kadang tampak gelembung udara (air bubbles) atau
permukaan cairan dalam kavum timpani (air fluid level)
- otitis media serosa kronik : pada otoskopi terlihat membran timpani
utuh, retraksi, suram, kuning kemerahan atau keabu-abuan.
b. Garpu tala : untuk membuktikan adanya tuli konduktif
c. Pemeriksaan penunjang (bila tersedia sarana)5
Beberapa instrumen penunjang juga membantu menegakkan diagnosis
OME, antara lain:
Otoskop pneumatik
15
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi
pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat
gendang telinga yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk
menilai respon gendang telinga terhadap perubahan tekanan udara).
Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali
dapat dilihat dengan pemeriksaan ini.
Audiometri impedans (timpanometri)
Digunakan untuk mengukur perubahan impedans akustik sistem
membran timpani telinga tengah melalui perubahan tekanan udara di
telinga luar. Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan
timpanosentesis (penusukan terhadap gendang telinga). Namun
timpanosentesis tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi
perlunya timpanosentesis antara lain adalah OMA pada bayi di bawah
usia enam minggu dengan riwayat perawatan intensif di rumah sakit,
anak dengan gangguan kekebalan tubuh, anak yang tidak memberi
respon pada beberapa pemberian antibiotik, atau dengan gejala sangat
berat dan komplikasi.
Pure tone Audiometry
Banyak digunakan, terutama menilai dari sisi gangguan dengar atau
tuli konduktif yang mungkin berasosiasi dengan OME. Meski teknik
ini memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan peralatan yang
mahal, tetap digunakan sebagai skrining, dimana tuli konduktif
berkisar antara derajat ringan hingga sedang.
2.3.6 Penatalaksanaan
2.3.6.1 Medikamentosa
16
pengaruh asap rokok, menghindarkan anak dari fasilitas penitipan anak, menghindarkan
berbagai alergen makanan atau lingkungan jika anak diduga kuat alergi atau sensitif
terhadap bahan-bahan tersebut.6
Jika OME ternyata menetap dan mulai bergejala, maka pengobatan medis mulai
diindikasikan, seperti:
2. Mukolitik
Dimaksudkan untuk merubah viskoelastisitas mukus telinga tengah
untuk memperbaiki transport mukus dari telinga tengah melalui tuba Eustachius
ke nasofaring. Namun demikian mukolitik ini tidak memegang peranan penting
dalam pengobatan OME.
3. Antibiotik
Pemberian obat ini harus dipertimbangkan secara hati-hati, karena OME
bukanlah infeksi sebenarnya. Meskipun demikian OME seringkali diikuti oleh
OMA, di samping itu isolat bakteri juga banyak ditemukan pada sampel cairan
OME. Organisme tersering ditemukan adalah S. pneumoniae, H. influenzae non
typable, M. catarrhalis, dan grup A streptococci, serta S.aureus. Studi terkontrol
17
menunjukkan antibiotika golongan amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat,
sefalosporin, eritromisin, trimetropim-sulfametoksazol, atau eritromisin-
sulfisoksazole, dapat memperbaiki klirens efusi dalam 1 bulan. Pemberian
antibiotika juga meliputi dosis profilaksis yaitu ½ dosis yang digunakan pada
infeksi akut. Namun demikian perlu dipertimbangkan pula hubungan antara
antibiotika profilaksis dengan tingginya prevalensi dan meningkatnya spesies
bakteri yang resisten.
2.3.6.2 Pembedahan
18
Tuba ventilasi dibiarkan pada tempatnya sampai terlepas sendiri dalam jangka waktu
enam bulan hingga satu tahun. Sayangnya karena cairan sering kali berulang,
beberapa anak memerlukan tuba yang dirancang khusus sehingga dapat bertahan
lebih dari satu tahun. Keburukan tuba yang tahan lama ini adalah menetapnya
perforasi setelah tuba terlepas. Pemasangan tuba ventilasi dapat memulihkan
pendengaran dan memperbaiki membran timpani yang mengalami retraksi berat
terutama bila ada tekanan negatif yang menetap.6
1. Myringotomy
Anak-anak yang tidak dapat di terapi dengan antibiotik profilaksis atau dalam
masa infeksi/peradangan dapat disarankan untuk dilakukan operasi myringotomy.
Prosedur ini dilakukan di bawah anestesi umum.
Keburukan utama dari tuba ventilasi adalah telinga tengah perlu dijaga agar tetap
kering. Untuk tujuan ini telah dikembangkan berbagai macam sumbat telinga. Insisi
19
miringotomi dan pemasangan tuba telah dikaitkan dengan pembentukan kolesteatoma
pada beberapa kasus (jarang). Drainase melalui tuba bukannya tidak sering terjadi, dan
dapat dikaitkan dengan infeksi saluran napas atas, atau memungkinkan air masuk ke
dalam telinga tengah, dan pada kasus-kasus tertentu dapat merupakan masalah menetap
yang tidak bisa dijelaskan. Pada kasus-kasus demikian, penanganan medis dengan
antibiotik sistemik atau tetes telinga harus diteruskan untuk waktu yang lebih lama
bahkan saat tuba masih terpasang.
20
nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat
dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.9
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan
superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista
nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. 7 Septum dilapisi oleh perikondrium pada
bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula
oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi
dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung.7
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling
bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil
lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka
suprema disebut juga rudimenter.7 Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang
melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak
meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior
terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga
hidung.7
21
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung.7
Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya
mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsi
statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan
pelindung panas; serta 5) refleks nasal.10
Rinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh
infeksi virus, bakteri, dan bahan iritan.10
2.6.2 Etiologi
Rhinitis dapat terjadi akibat infeksi virus, bakerial dan materi beriritasi. Virus yang
paling sering menyebabkan rhinitis akut ialah Rhinovirus. Penyakit ini menular dan
gejala dapat timbul sebagai akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan
tubuh (kediginan, kelelahan, dan adanya penyakit menahun). 10,11
a. Rhinitis virus
1. Rhinitis simplek
Etiologi
Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet di udara.
Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya
22
seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
dalam 2-3 minggu.10
Gambaran klinis
Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung, lalu segera diikuti dengan hidung
tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat
demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Awalnya, secret
hidung (ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila terdapat
invasi sekunder bakteri, seperti Streptococcus Haemolyticus, pneumococcus,
staphylococcus, Haemophillus Influenzae, Klebsiella Pneumoniae, dan Mycoplasma
Catarrhalis.10,11
Pengobatan
Tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah penyakit semakin berat. Pasien
disarankan minum air lebih dari biasanya. Gejala-gejalanya dapat diatasi dengan
pemberian antihistamin dan dekongenstan. Analgesikberguna untuk mengatasi sakit
kepala, demam dan myalgia. Analgesik yang tidak mengandung aspirin lebih dianjurkan
karena aspirin dapat menyebabkan virus semakin berkembang biak. Antibiotik
diberikan bila terdapat infeksi sekunder bakteri.5
Komplikasi.
Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan membaik secara spontan
setelah 2-3 minggu, tetapi kadang-kadang, komplikasi seperti sinusitis, faringitis,
tonsiitis, bronchitis, pneumonia dan otitis media dapat terjadi.5
2. Rhinitis influenza
Virus influenza A, B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan gejalanya
mirip denagn common cold. Komplikasi sehubungan dengan infeksi bakteri sering
terjadi.5
3. Rhinitis eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis,
dimana didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder dan
komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.5
23
b. Rhinitis bakteri
1. Infeksi non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder. 5
Rinitis bakteri primer.
Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi pneumococcus, streptococcus
atau staphylococcus. Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di
rongga hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan.5
Rinitis bakteri sekunder.
Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut.5
2. Rhinitis difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri dapat
bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam
bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita
dengan riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan
karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat. Gejala rinitis akut ialah
demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada paralisis otot pernafasan.
Pada hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-abuan tampak menutup
konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket dan bila diangkat
dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir
bagian atas dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan
antitoksin difteri.11
c. Rhinitis iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat
iritatif seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga disebabkan
oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi
intranasal,contohnya pada pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat
reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhal reaction”
bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat
24
dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat menetap selama beberapa hari jika
epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi
yang terjadi karenanya.12
a. Stadium prodromal
Pada stadium ini pasien akan merasakan panas pada kavum nasi dan sering bersin
bersin disertai dengan keluarnya secret yang encer. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
terlihat edema dan hiperemi pada mukosa concha serta sekret yang serous.12
b. Stadium akut
Stadium ini biasanya berlangsung pada hari ke dua hingga ke empat perjalanan
penyakit. Pada stadium ini bersin bersin sudah mulai berkurang, namun obstruksi pada
nasi bertambah dikarenakan sekret yang menjadi kental dan biasanya berwarna kuning.
Biasanya penderita akan merasa tidak enak badan dan suhu tubuh sedikit meningkat.
Pada pemeriksaan rinoskopi enterior terlihat secret yang mukopurulen menandakan di
mulainya infeksi sekuder. Mukosa terlihat lebih edem dan hiperemis.12
c. Stadium penyembuhan
Pada stadium ini terjadi penurunan gejala, edema dan hiperemis mukosa juga
membaik sehingga gejala obstruksi berkurang.12
Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan
setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih
bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan antihistamin
disertai dengan istirehat yang cukup. Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila
terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.12
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut adalah
dengan menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat terbentuknya
system imuitas yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari serangan za-zat asing.
Istirehat yang cukup, mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan olahraga
yang teraturjuga baik untuk menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program
25
imunisasi lengkap juga dianjurkan, seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya
rinitis eksantematous.12
26
supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat
nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang
merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebu kapsul yang sebenar-
benarnya bukan merupakan kapsul yang sebena-benarnya.13
- Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus didalamnya.Terdapat macam tonsil yaitu tonsil
faringal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. 13
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai
celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya biasanya ditemukan
leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.
Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi
pada tonsilektomi.Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor, a.palatina
ascendens, cabang tonsil a.maksila eksterna, a.faring ascendens dan a.lingualis
dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.Infeksi dapat terjadi di
antara kapsul tonsila dan ruangan sekitar jaringan dan dapat meluas keatas pada
dasar palatum mole sebagai abses peritonsilar.
c. Laringofaring (hipofaring)
Batas laringofaring disebelah superior adalah tepi atas yaitu dibawah valekula
epiglotis berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus
27
makanan pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis (muara glotis bagian
medial dan lateral terdapat ruangan) dan ke esofagus, nervus laring superior berjalan
dibawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Sinus piriformis terletak di
antara lipatan ariepiglotika dan kartilago tiroid. Batas anteriornya adalah laring, batas
inferior adalah esofagus serta batas posterior adalah vertebra servikal. Lebih ke bawah
lagi terdapat otot-otot dari lamina krikoid dan di bawahnya terdapat muara esophagus. 13
Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring
tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial
dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga “kantong
pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-kadang bila menelan pil akan
tersangkut disitu.
Dibawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega
dan perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil
(bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya, epiglotis ini dapat
menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak
langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi
(proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut
menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan dibawah
dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada
pemberian anestesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 13
2.7.2 Fungsi Faring
1) Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara dan untuk artikulasi. Terdapat 3 fase dalam menelan yaitu
fase oral, fase faringeal dan fase esophageal. Fase oral, bolus makanan dari
mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja (voluntary). Fase faringeal
yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring. Gerakan disini
tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di
esofagus menuju lambung.
28
2) Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole
kea rah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatine menarik palatum mole
ke atas belakang hamper mengenai dinding posterior faring. Jarak yang
tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) Passavant pada dinding belakang
faring yang terjadi akibat 2 mavam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m,palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh
kontraksi aktif m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini
bekerja tidak pada waktu yang bersamaan. Ada yang berpendapat bahwa
tonjolan Passavant ini menetap pda periode fonasi, tetapi ada pula pendapat
yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan
dengan gerakan palatum.13
2.7.3 Fisiologi Menelan :
Dalam proses menelan akan terjadi hal-hal sebagai berikut, (1) pembentukan
bolus makanan dengan ukuran dan konsistensi yang baik, (2) upaya sfingter mencegah
terhamburnya bolus ini dalam fase-fase menelan, (3) mempercepat masuknya bolus
makanan ke dalam faring pada saat respirasi, (4) mencegah masuknya maknan dan
minuman ke dalam nasofaring dan laring, (5) kerjasama yang baik dari otot-otot rongga
mulut untuk mendorong bolus makanan ke arah lambung, (6) usaha untuk
membersihkan kembali esofagus. Proses menelan di mulut, faring dan esofagus secara
keseluruhan akan terlibat secara berkesinambungan.13
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase : fase oral, fase faringeal dan fase
esofageal.
A. Fase Oral
Fase oral terjadi secara “sadar”. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari
rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot
intrinsik lidah.13,14
29
Kontraksi m.levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan pada bagian atas dinding
posterior faring (Passavants ridge) akan terangkat pula. Bolus terdorong ke
posterior karena lidah terangkat ke atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan
nasofaring sebagai akibat kontraksi m.levator veli palatini. Selanjutnya terjadi
kontraksi m.palatoglosus yang menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti
oleh kontraksi m.palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke
rongga mulut.13
B. Fase Faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan bolus
makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak ke atas oleh kontraksi
m.stilofaring, m.salfingofaring, m.tirohioid dan m.palatofaring. 13
Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi
m.ariepiglotika dan m.aritenoid obligus. Bersamaan dengan ini juga terjadi penghentian
aliran udara ke laring karena refleks yang menghambat pernapasan, sehingga bolus
makanan tidak akan masuk ke dalam saluran napas. Selanjutnya bolus makanan akan
meluncur ke arah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan
lurus.13
C. Fase Esofageal
Fase esofageal adalah fase perpindahan bolus makanan dari esophagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esophagus selalu tertutup. Dengan adanya
rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringal, maka terjadi relaksasi
m.krikofaring, sehingga introitus esophagus terbuka dan bolus makanan masuk ke
dalam esophagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan berkontraksi lebih
kuat, melebihi tonus introitus esophagus pada waktu istirahat, sehingga makanan tidak
akan kembali ke faring. Dengan demikian refluks dapat dihindari. Gerak bolus makanan
di esophagus bagian atas masih dipenngaruhi oleh kontraksi m. konstriktor faring
inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus mkanan akan didorong ke distal ole
gerakan peristaltic esophagus.
Dalam keadaan istirahat sfingter esophagus bagian bawah selalu tertutup dengan
tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga tidak akan
30
terjadi regurgitasi isi lambung. Pada akhir fase esofagal sfingter ini akan terbuka secara
reflek ketika dimulainya peristaltik esophagus servikal untuk mendorong bolus
makanan ke distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan
menutup kembali.13,14
2.8 Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus
(40-60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.Virus dan bakteri
melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bakteri
group A Streptokokus B hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat menimbulkan
demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut. Bakteri ini banyak
menyerang anak usia sekolah, orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3
tahun. Penularan infeksi melalui sekret hidung dan ludah.5,9
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika jika
perlu dan tablet isap. Antivirus metisoprinol diberikan pada infeksi herpes simpleks
dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa
dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.13
2.8.1.2.1 Gejala
Nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya.Beberapa hari kemudian
timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.Kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.13
2.8.1.2.2 Terapi
Antibiotik diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A
streptokokus β-hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB IM dosis tunggal,
atau amoxicillin 50 mb/kgBB dosis dibagi 3x/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3x
500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4x 500 mg/ hari.13
32
BAB III
LAPORAN KASUS
KEPANITERAAN KLINIK
IDENTITAS PASIEN
Alamat : GG. Balok IV, Duri Utara, Jakbar Status menikah : Menikah
ANAMNESA
33
Diambil secara : Autoanamnesis
Keluhan Utama:
Telinga kanan terasa penuh seperti ada air sejak 3 minggu SMRS.
Keluhan Tambahan:
34
Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan
keadaan sekarang. Riwayat hipertensi dan diabetes melitus disangkal.
Tidak ada anggota keluarga yang pernah memiliki keluhan yang sama.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS LOKALIS
Telinga
Dextra Sinistra
35
region mastoid Massa (-), hiperemis (-), Massa (-), hiperemis (-),
odem (-), nyeri tekan (-), pus odem (-), nyeri tekan (-), pus
(-), hipertemi (-), krepitasi (-), hipertemi (-), krepitasi
(-), sikatriks (-) (-), sikatriks (-)
liang telinga lapang, furunkel (-), jar. lapang, furunkel (-), jar.
granulasi (-), serumen (-), granulasi (-), serumen (+),
edem (-), sekret (-), darah (-), edem (-), sekret (-), darah (-),
hifa (-), hiperemis (-), hifa (-), hiperemis (-),
kolesteatom (-), stenosis (-), kolesteatom (-), stenosis (-),
atresia (-), laserasi (-), corpus atresia (-), laserasi (-), corpus
alienum (-) alienum (-)
Membran Timpani Retraksi membran timpani, Utuh, refleks cahaya (+) jam
warna kekuningan, refleks 7, hiperemis (-), retraksi (-),
cahaya (+) menurun bulging (-), sekret (+),
edema(-), bulla (-)
Tes Penala
Kanan Kiri
Rinne Negatif Positif
Weber Lateralisasi ke kanan
Swabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Penala yang digunakan 512 Hz 512 Hz
Hidung
Dextra Sinistra
Daerah sinus frontalis dan Dalam batas normal Dalam batas normal
maxillaris
36
(+) (+)
Rhinopharynx
Pemeriksaan Transiluminasi
Tenggorok
Pharynx
37
aktif (-), clotting (-), post nasal drip (-), massa (-), krusta (-),
corpus alienum (-), vulnus laceratum (-), vulnus punctum (-)
Arcus simetris, hiperemis (+), edema (-), ulkus (-), laserasi (-)
Tonsil T1-T1, hiperemis (-), edema (-), ulkus (-), detritus (-),
pseudomembran (-), kriptus (-)
Uvula Terletak di tengah, hiperemis (-), bifida (-), massa (-),
memanjang (-), edema (-)
Gigi Caries dentis (-), gigi berlubang (-)
Lain-lain Mukosa mulut : permukaan licin, hiperemis (-), massa (-)
Gingiva : hiperemis (-), ulkus (-), laserasi (-)
Larynx
Kelenjar limfe submandibula dan servical: tidak adanya pembesaran pada inspeksi dan
palpasi.
Besar gangguan yang dirasakan pasien dari gejala rinosinosinutis nya: VAS 4
Beratnya penyakit:
38
- BERAT = VAS > 7-10
Pemeriksaan Penunjang
1. Timpanometri
AD : pressure (-4 daPa)
Resume
Pemeriksaan Fisik
1. Telinga
- Pada pemeriksaan dengan menggunakan otoskop, ditemukan retraksi membran
timpani pada telinga kanan serta warna kekuningan dan reflex cahaya (+)
menurun
2. Hidung
- Tidak ada nyeri tekan pada daerah sinus frontalis, maxillaris dan ethmoidalis
- Konka inferior kanan dan kiri tampak edema, dan hiperemis, sekret (+)
3. Tenggorok
- Pada pemeriksaan faring dinding posterior tampak hiperemis
- Arcus faring tampak simetris dan hiperemis
39
- Tonsil kanan dan kiri T1-T1, kripta tidak melebar dan tidak ada detritus
- Uvula ditengah dan tidak tampak hiperemis.
Pemeriksaan Penunjang
1. Timpanometri
AD : pressure (-4 daPa)
DIAGNOSIS KERJA
2. Rhinofaringitis Akut
a. Anamnesis:
- Bersin berulang, hidung tersumbat (+), tenggorokan terasa kering
- Riwayat batuk dan pilek
- Keluarnya sekret serous
b. Pemeriksaan Fisik
- Pada rhinoskopi anterior ditemukan konka inferior tampak hiperemis dan udema
- Pada dinding faring posterior tampak hiperemis
40
DIAGNOSIS BANDING
a. Anamnesis:
- Keluhan telinga kanan seperti tertutup, kurangnya pendengaran
- Onset akut
b. Pemeriksaan Fisik:
- Pada pemeriksaan dengan menggunakan otoskop, ditemukan retraksi membran
timpani.
c. Pemeriksaan Penunjang:
- Pada pemeriksaan Timpanometri didapatkan hasil timpanogram tipe B.
Menyingkirkan diagnosis:
Rhinitis Vasomotor
a. Anamnesis:
- Bersin – bersin (+), hidung tersumbat (+)
- Keluarnya sekret serous (+)
b. Pemeriksaan Fisik
- Pada rhinoskopi anterior ditemukan konka inferior tampak hiperemis dan oudema,
adanya sekret jernih di kavum nasi
- Audiometri
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
41
- Metil prednisolon 3 x 4 mg
- Avamys 2 x 2 puff
- Vectrine 3 x 1
- Cefixime 2 x 200mg
- Aldisa 2 x 1
Non medikamentosa
- Istirahat cukup
- Mengurangi makan dan minum yang dingin, makan pedas, gorengan dan
makanan yang mengiritasi
- Menghirup uap hangat
- Menghindari faktor pencetus (debu, asap, dingin)
PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik THT yang dilakukan pada pasien
ini, maka dapat ditegakkan diagnosis kerja Otitis Media Efusi Aurikula Dextra dan
Rhinofaringitis Akut.
Hasil anamnesis yang mendukung diagnosis otitis media efusi adalah terasa
penuh pada telinga kanan, pendengaran menurun dan adanya riwayat batuk pilek
berulang. Pada pemeriksaan fisik dengan menggunakan otoskop, ditemukan retraksi
membran timpani pada telinga kanan serta warna kekuningan dan reflex cahaya (+)
42
menurun. Pada liang telinga kiri hanya didapatkan sedikit serumen. Tes penala rinne
didapatkan hasil negatif, hal ini menunjukkan tanda-tanda tuli konduktif yang
merupakan gejala dari Otitis Media Efusi. Pada pemeriksaan penunjang dengan
timpanometri didapatkan hasil tympanogram suspect tipe B yang menunjukan gambaran
mendatar/flat akibat adanya cairan di telinga tengah. Pemberian pengobatan dengan
Antibiotik Cefixime diharapkan dapat mencegah atau meminimalisasi infeksi karena
tertumpuknya cairan di telinga tengah. Bila dengan pengobatan keluhan berlum berkurang,
dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan audiometri untuk mengetahui tingkat kerusakan
organ telinga mengingat pasien mengeluh pendengaran berkurang.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret yang nonpurulen di telinga
tengah, sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di telinga tengah dengan
membran timpani utuh tanpa adanya tanda-tanda infeksi disebut juga otitis media
dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis media serosa dan apabila efusi
tersebut kental seperti lem disebut otitis media mukoid (glue ear).
43
Penyebab utama pada otitis media serosa adalah gangguan fungsi tuba Eustachius.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh peradangan kronik rongga hidung, nasofaring, faring
misalnya oleh alergi, pembesaran adenoid dan tonsil, tumor nasofaring.
Otitis media serosa dapat dibagi menjadi otitis media serosa akut dan otitis media
kronik. Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis
media serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Penanganan pada otitis media serosa dapat bersifat medis dan bedah,
Pengobatan medis termasuk antibiotik, antihistamin, dekongestan, latihan ventilasi tuba
Eustachius dan hiposensitasi. Jika masih terdapat cairan setelah 3 bulan pengobatan
maka merupakan indikasi koreksi bedah. Koreksi ini dapat berupa insisi miringotomi,
pengeluaran cairan, dan pemasangan tuba penyeimbang tekanan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams LG, Boies LR, Higler PA. Anatomi telinga. Boies buku ajar penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.h.30-8, 90-1, 203, 276-8.
2. Dhingra PL. Anatomy of ear. In: Disease of ear, nose and throat. Fourth edition.
Elsevier. New Delhi. 2007.p.5-9.
3. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N.Gangguan
pendengaran dan kelainan telinga. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2007.h.10-6.
44
4. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 13.
Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.h.392-5.
5. Restuti RD, Bashiruddin J, Damajanti S, Soepardi EA, Iskandar N. Otitis Media
Akut. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.h.67-79.
6. Soepardi E, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti R. Serumen dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Jakarta; Balai penerbit
FKUI. 2010. Hal. 59-60.
7. dams GL, Boies LR, Higler PA. Boies buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 1997.h 30-8,107-16.
8. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Gangguan Pendengaran dan Kelainan
Telinga. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi ketujuh. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2012.h.10-6.
9. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi 13.
Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.h.392-5
10. Soepardi A, Iskandar N, Basshirudin J, dkk. Telinga, hidung, teggorok, kepala dan
leher. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2007.h. 118-310.
11. Gurkov R, Nagel P. Dasar-dasar ilmu THT. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2012.h. 34-
41.
12. Kridel RWH, Kelly PE, MacGregor AR. The nasal septum. In: Cummings, C.W., et
al. Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Ed. Philadelphia: Mosby; 2005.
P.1001.
13. Makmun, Dadang. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 edisi IV. FKUI. Jakarta. Hal. 315-319.
14. Helmi. Abses Mastoid. Dalam: Soepardi EA, Hadjat F, Iskandar N, editor.
Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. h.52-3.
45