Anda di halaman 1dari 105

MAKALAH STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN. M DENGAN DIAGNOSA


MEDIS PERFORASI GASTER + ILLEUS PARALITIK DENGAN
PNEUMOPERITONITIS DI RUANG INTENSIF CARE UNIT
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH BANDUNG
Diajukan untuk Menyelesaikan Tugas Case Based Learning Keperawatan Kritis
Dosen Pembimbing: Santy Sanusi, S. Kep., Ners., M. Kep

Oleh:
Kelompok VII

Afdhalun Nisa’ 302017002


Dimas Faisal L.S. 302017025
Ekka Nurfitrya Agustin 302017027
Eliza Ayunda Putri 302017030
Nurasyifa Anugrah fratami 302017053
Puput Putri Kusuma Wardani 302017054
Putri Pramitha Nurislami Fahmawati 302017057
Reina Febrianty Sukma 302017060
Rika Meliasari 302017061
Utari suci anjani 302017076
Virna Damayanthy Ekasari 302017078
Wida Ningsih 302017080

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih dan
sayangnya kepada kita semua khususnya kepada penulis serta selalu memberikan
hidayah dan inayahnya sehingga saya dapat membuat makalah ini dengan penuh
suka cita dan dapat mengumpulkan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat
dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada nabi besar kita, nabi
Muhammad SAW.
Makalah yang kami buat ini memaparkan mengenai Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Tn. M Dengan Diagnosa Medis Perforasi Gaster + Illeus Paralitik
Dengan Pneumoperitonitis Di Ruang Intensif Care Unit Rumah Sakit
Muhammadiyah Bandung. Di dalamnya akan dijelaskan mengenai mekanisme
terjadinya perforasi gaster, peran perawat pada pasien perforasi gaster, monitoring
hemodinamik pasien mulai dari organ jantung, paru-paru serta sirkulasi peredaran
darah, dan asuhan keperawatan yang diberikan.
Kami sebagai penulis mengakui bahwa ada banyak kekurangan pada
makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari
seluruh pihak senantiasa kami harapkan sehingga di kemudian hari penulis dapat
membuat makalah jauh lebih baik dari makalah ini. Kami berharap dengan
dibuatnya makalah ini dapat menambah pengetahuan serta pemahanan pembaca
serta menjadi inspirasi bagi pembaca.

Bandung, Januari 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................4
C. Tujuan...........................................................................................................4
1. Tujuan Umum............................................................................................4
2. Tujuan Khusus...........................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................6
A. Mekanisme Perforasi Gaster Dapat Menyebabkan Peritonitis.....................6
1. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan......................................................6
2. Perforasi Gaster.......................................................................................10
B. Mekanisme Peritonitis Dapat Menyebabkan Ileus Paralitik.......................17
1. Peritonitis.................................................................................................17
2. Ileus Paralitik...........................................................................................28
C. Pengaruh Perforasi Gaster, Peritonitis, Dan Ileus Paralitik Terhadap
Gangguan Hemodinamik....................................................................................52
D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Perforasi Gaster + Illeus Paralitik
Dengan Pneumoperitonitis Di Ruang Intensif Care Unit...................................57
BAB III TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN......................................60
A. Tinjauan Kasus............................................................................................60
PENGKAJIAN...............................................................................................60
DIAGNOSA KEPERAWATAN....................................................................76
INTERVENSI KEPERAWATAN.................................................................77
IMPLEMENTASI, CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
DAN EVALUASI (MENGGUNAKAN CLINICAL PATHWAY)..............81
B. Pembahasan.................................................................................................86
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN............................................................94
A. KESIMPULAN...........................................................................................94
B. SARAN.......................................................................................................98
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR GAMBAR

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perforasi gaster merupakan salah satu kondisi emergensi yang sering
terjadi di seluruh dunia, dengan angka kematian mencapai 30% dan angka
kesakitan sampai 50%. Perforasi terjadi apabila isi dari gaster masuk ke dalam
kavum abdomen sehingga menyebabkan peritonitis. Peritonitis merupakan
komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari
organ-organ abdomen. Jong (2011) dalam Sayuti (2020).
Menurut survei World Health Organization (WHO), angka mortalitas
peritonitis mencapai 5,9 juta per tahun dengan angka kematian 9661 ribu
orang meninggal. Negara tertinggi yang menderita penyakit ini adalah
Amerika Serikat dengan penderita sebanyak 1.661 penderita. Paryani (2014)
dalam Sayuti (2020). Hasil survey yang dilakukan pada tahun 2015 angka
kejadian peritonitis masih tinggi.
Di Indonesia jumlah penderita peritonitis berjumlah sekitar 9% dari
jumlah penduduk atau sekitar 179.000 penderita. Departemen Kesehatan
(2012) dalam Sayuti (2020). Peritonitis salah satu penyebab kematian
tersering pada penderita bedah dengan mortalitas sebesar 10-40%. Beberapa
penelitian menunjukan angka mortalitas di Indonesia mencapai 60% bahkan
lebih. Arief (2009) dalam Sayuti (2020).
Peritonitis masih merupakan masalah yang besar karena angka
mortalitas dan morbilitasnya tinggi termasuk di Indonesia. Manajemen terapi
yang tidak adekuat bisa berakibat fatal. Ordonez (2009) dalam Sayuti (2020).
Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera diambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan komplikasi yang semakin berat.
Pemberian antibiotik dan terapi penunjang lainnya diberikan guna mencegah
komplikasi sekunder yang mungkin terjadi. Tujuan dari pemberian antibiotik
ini untuk membunuh bakteri yang ada di rongga peritonium maupun dalam
sirkulasi. Paryani (2014) dalam Sayuti (2020).

1
2

Perforasi gaster merupakan perforasi gastrointestinal umum, yang


sering disebabkan oleh karena komplikasi penyakit ulkus peptikum (ulkus
gaster dan ulkus duodenum). Penyakit ulkus peptikum merupakan penyakit
yang banyak dijumpai pada populasi dengan angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi pada dua dekade terakhir. Prabu (2014) dalam Sayuti, dkk (2020).
Penyebab perforasi ulkus peptikum dilaporkan bervariasi antar area
geografis dikaitkan dengan faktor-faktor sosiodemografi dan lingkungan.
Populasi di negara berkembang kebanyakan pasien berusia muda dengan
lelaki predominan, pasien yang terlambat datang, dan erat dihubungkan
dengan kebiasaan merokok. Rokok dan alkohol telah dilaporkan berhubungan
dengan peningkatan risiko perforasi gaster. Teori mengatakan rokok akan
menghambat sekresi bikarbonat, dan kandungan nikotin dalam rokok akan
menstimulasi sekresi asam. Alkohol sebagai agen berbahaya juga dapat
menyebabkan kerusakan mukosa lambung, menstimulasi asam lambung, dan
meningkatkan kadar gastrin serum. Sayuti (2020). Sedangkan di daerah barat
kejadian perforasi ulkus peptikum sering ditemukan pada pasien lanjut usia
dengan riwayat sering menggunakan obat-obatan ulserogenik. Chalya et al
(2011) dalam Sayuti, dkk (2020)
Di Indonesia, menurut data BPPK tahun 2008, ulkus gaster menempati
peringkat 10 sebagai penyebab kematian pada laki-laki yang berusia 45-54
tahun. Koto, dkk (1016) dalam Sayuti (2020). Di Rumah Sakit Hasan Sadikin
(RSHS) Bandung , kasus perforasi gaster tahun 2005 26 orang, tahun 2006
sejumlah 38 orang dan tahun 2007 meningkat menjadi 57 orang. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang juga dilakukan di Rumah Sakit Immanuel Bandung
dimana kasusnya pada tahun 2006 tidak lebih dari 10 orang, tetapi dalam 6
bulan terakhir mencapai 46 orang. Mayoritas kasus adalah pria (77%) dan
terbanyak pada usia 50 – 70 %. Wahyudi (2018) dalam Iskandar (2015).
Perforasi ulkus peptikum merupakan indikasi operasi kegawatdaruratan
lambung yang paling sering dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang
berpotensial mengancam nyawa. Trias klasik penanda perforasi ulkus
peptikum ditandai dengan nyeri abdomen yang tiba-tiba, takikardi, dan
3

dijumpai kekakuan dinding abdomen. Perforasi terjadi pada sekitar 2-10%


kejadian ulkus peptikum. Mortalitas dan morbiditas yang diakibatkan oleh
perforasi ulkus peptikum ini sangatlah penting, dimana proporsi resiko
mortalitas dilaporkan sebesar 20-50% di beberapa penelitian yang berbasis
populasi. Perforasi itu sendiri merupakan penyebab kematian pada 70% pasien
dengan ulkus peptikum dan resiko mortalitas akibat penyakit ini meningkat 10
kali lipat dibanding penyakit akut abdomen yang lain seperti apendisitis akut
dan kolesistitis akut. Kesadaran yang cepat akan kondisi pasien sangat
dibutuhkan, dan dengan diagnosa dini dan penanganan sesegera mungkin
dapat mengurangi tingginya angka mortalitas. Chung et al (2017) dalam
Sayuti (2020)
Dalam satu dekade terakhir dilaporkan adanya peningkatan insiden
perforasi ulkus peptikum yang disebabkan oleh meningkatnya penggunaan
obat golongan non steroid anti inflammatory drugs ( NSAIDs ) dan jamu.
Obat golongan ini menyebabkan kerusakan barier mukosa gaster serta
duodenum sampai akhirnya menimbulkan komplikasi perforasi.Komplikasi
perforasi pada ulkus peptikum terjadi sama dengan komplikasi perdarahan
saluran cerna. Lokasi perforasi paling banyak terjadi pada sisi anterior (60%),
dapat pula terjadi pada bagian anthrum (20%) dan pada bagian kurvatora
minor (20%). Lange et. al, (2011) dalam iskandar (2015)
Pemberian analgesik untuk menghilangkan simptom nyeri merupakan
pilihan terapi yang paling mudah. Tetapi pemberian analgesik yang kurang
sesuai dengan aturan dapat mengakibatkan komplikasi yang memperparah
keadaan pasien. Terutama untuk analgesik golongan NSAID (Non steroid
Inflamatory Drug) yang mempunyai efek samping berupa ulser gaster. Pada
pasien ini, untuk menghilangkan nyeri diberikan analgesik NSAID dalam
jangka waktu lama, dimana pasien ada riwayat gastritis yang tidak terdeteksi
oleh dokter yang merawat. Prevalensi kejadian ulser gaster 15- 30%, diantara
prevalensi tersebut sekitar 2 % terjadi didaerah duodenum. Lama pemakaian
NSAID yang dapat menimbulkan ulser gaster dengan pemakaian selama 1
bulan (1%) dan 3-6 bulan (4%). Valerie (2015) dalam Rochmah (2018)
4

Data diatas menunjukan bahwa perforasi gaster merupakan


kegawatdaruratan yang harus ditangani secara cepat untuk meminimalisir
angka kematian yang terjadi dengan merumuskan asuhan keperawatan dengan
tepat. Peran perawat sangat penting dalam pemberian asuhan keperawatan
pasien. dengan perforasi gaster secara komprehensif dan profesional Asuhan
keperawatan yang di berikan pada pasien dengan perforasi gaster bertujuan
untuk mengatasi masalah keperawatan yang di alami klien melalui lima
tahapan asuhan keperawatan meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa
keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan keperawatan, evaluasi
keperawatan Smeltzer (2013) dalam Annisa (2020).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk menyusun
makalah tentang asuhan keperawatan pada klien dengan dengan diagnosa
medis perforasi gaster + illeus paralitik dengan pneumoperitonitis.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan acuan yang akan menjadi bahasan. Adapun
beberapa rumusan maslah pada makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana terjadinya mekanisme perforasi gaster?
2. Bagaimana mekanism peritonitis dapat menyebabkan ileus paralitik?
3. Bagimana pengaruh perforasi gaster, peritonitis, dan ileus paralitik
terhadap gangguan hemodinamik?
4. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada perforasi gaster +
illeus paralitik dengan pneumoperitonitis di ruang intensif care unit.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan
asuhan keperawatan pada pasien Tn. m dengan diagnosa medis perforasi
gaster + illeus paralitik dengan pneumoperitonitis di ruang intensif care
unit.
5

2. Tujuan Khusus
Tujuan dari pembentukan makalah ini merupakan suatu pembahasan untuk
menjawab pertanyaan yang ada di rumusan masalah. Adapun tujuan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui bagaimana terjadinya mekanisme perforasi gaster.
2. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme peritonitis dapat
menyebabkan ileus paralitik.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh perforasi gaster, peritonitis,
dan ileus paralitik terhadap gangguan hemodinamik.
4. Untuk mengetahui bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan pada
perforasi gaster + illeus paralitik dengan pneumoperitonitis di ruang
intensif care unit.
6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Perforasi Gaster Dapat Menyebabkan Peritonitis


1. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

Gambar 2..1.1 Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan


Chalik (2016) menjelaskan bahwa pada proses pencernaan
melibatkan pencampuran antara koreografi makanan dengan getah
pencernaan (digestive juice) yang meliputi asma kuat, garam empedu
deterjen, dan enzime aktif. Selanjutnya tubuh akan memaksimalkan proses
penyerapan nutrisi yang akan dicerna. Setelah penyerapan zat-zat yang
berguna sistem peredaran darah akan mengangkut zat-zat tersebut ke sel-
sel untuk digunakan menjadi suatu energi atau sebagai molekul baru yang
dapat membangun dan juga memelihara jaringan dan organ.
Pada setiap individu diketahui panjang dari sistem pencernaan yang
diukur dari mulut sampai ke anus sekittar 450 cm atau sekitar hampir 15
kaki, akan tetapi dari sekitar 395cm merupakan panjang ususs besar dan
7

juga usus kecil. Selain memiliki panjang sekitar 395cm, usus kecil dan
usus besar memiliki diameter sekitar 1-3 inci yang melingkar dalam perut
mulai dari pusar sampai ke bagian bawah.
Perlu diketahui bahwa pencernaan yang sehat merupakan bagian
yang penting dalam kehidupan karena dengan proses pencernaan ini akan
mengubah nutrisi dan zat-zat pada makanan menjadi tenaga atau bahan
baku dalam tubuh yang membangun dan menjadi bahan bakar sel tubuh.
Jika dijelaskan secara khusus alur proses pencernaan makanan diawali
dengan pengelompokan menjadi molekul nutrisi, penyerapan molekul
yang telah dikelompokan kedalam aliran darah, dan akan dibuang oleh
tubuh kita sisa dari pencernaan makanan tersebut.
Pencernaan merupakan proses pemecahan makanan yang dilakukan
secara mekanik dan kimiawi yang merupakan bentuk sederhana sehingga
dapat diserap oleh sel tubuh kita. Organ gastrointestinal (saluran
pencernaan) membentang dari mulut sampai ke anus. Organ utama pada
saluran pencernaan ini meluputi mulut, faring, esofagus (kerongkongan),
lambung, usus kecil, usus besar, dan lubang anus. Sedangkan untuk organ
aksesorinya adalah gigi, lidah, kelenjar saliva, hati, kantung empedu, dan
pankreas.
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan dengan meliputi
satu tabung yang memanjang dari mulut sampai ke anus dan juga organ
aksesori yang saling berhubungan, terutama pada bagian kelenjar yang
terletak di bagian saluran luar pencernaan yang melakukan proses ekresi
pada cairan yang ada di dalamnya. Ketika makanan sudah melalui proses
pemecahan sampai menjadi molekul-molekul yang nantinya akan diserap
dan bagian sisa pencernaan akan dibuang oleh tubuh. Saluran pencernaan
memiliki nama lain yang disebut dengan alimentary tract atau alimentary
canal (saluran gastrointestinal) yang meliputi tabung panjang yang
membentang dari mulut sampai ke bagian anus. Ada juga struktur akesori
yang terdapat di mulut meliputi lidah dan gigi.
beberapa organ dalam tubuh yang memiliki peran dalam proses
pencernaan tetapi bukan bagian dari saluran pencernaan, beberapa organ
8

tersebut meliputi kelenjar ludah, hati, kantung empedu, dan pankreas. Jika
dilihat secara teknis, saluran gastrointestinal atau saluran pencernaan ini
hanya mengacu pada organ lambung dan juga usus.
a. Fungsi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaaan memiliki fungsi untuk menyediakan makanan,
air, dan juga elektrolit untuk tubuh yang berasal dari nutrien dengan
melalui proses pencernaan sampai siap untuk dicerna. Proses
pencernaan terjadi secara mekanik dan juga kimiawi yang meliputi
beberapa proses berikut ini:
1) Ingesti adalah masuknya makanan ke dalam mulut.
2) Pemotongan dan penggilingan makanan dilakukan secara mekanik
oleh gigi. Makanan kemudian bercampur dengan saliva ditelan
(menelan).
3) Peristalsis adalah gelombang konstraksi otot polos involunter yang
menggerakkan makanan tertelan melalui saluran pencernaan.
4) Digesti adalah hidrolisis kimia (penguraian) molekul besar menjadi
molekul kecil sehingga absorpsi dapat berlangsung.
5) Absopsi adalah pergerakan produk akhir pencernaan dari lumen
daluran pencernaan ke dalam sirkulasi darah dan limfatik sehingga
dapat digunakan oleh sel tubuh.
6) Egesti (defekasi) adalah proses eliminasi zat-zat sisa yang tidak
tercerna, juga bakteri, dalam bentuk feses dari saluran pencernaan.
b. Garis besar saluran pencernaan
Ada 4 lapisan atau tunika yang melapisi dinding saluran pencernaan
meliputi:
1) Mukosa adalah lapisan terdalam dari dinding dan seabagian besar
terbuat dari dinding dan sebagian besar terbuat dari jaringan epitel
yang mensekresi enzim dan mukus ke dalam dari kanal. Lapisan
ini sangat aktif dalam menyerap nutrisi
2) Submukosa adalah lapisan dalam dari mukosa. Mengandung
jaringan ikat longgar, pembuluh darah, kelenjar, dan saraf.
Pembuluh darah di lapisan ini mengangkut nutrisi yang diserap.
9

3) Lapisan muskuler. Lapiran ini terletak di luar submukosa. Terbuat


dari lapisan jaringan otot polos dan berkontraksi untuk
menggerakkan material melalui kanal.
Muskularis ekterna memiliki dua lapisan otot meliputi lapisan
sirkular dalam dan lapisan longitudinal luar. Ketika lapisan sirkular
kontraksi maka akan mengkonstriksi lumen saluran dan ketika
terjadi kontraksi di lapisan longitudinal akan menyebabkan lumen
saluran menjadi pendek dan lebar. Konstraksi ini akan
mengakibatkan sebuah gelombang yakni gelombang peristalsis
yang menggerakkan isi salurah kearah depan.
4) Seoras merupakan lapisan terluar dari saluran yang banyak dikenal
dengan peritoneum viseral. Serosa mengeluarkan cairan yang
memiliki fungsi untuk menjaga bagian luar saluran tetap lembab
atau bahkan basah dan juga mencegah agar saluran tetap melekat
ke organ lainnya.
5) Mesenterium dan omentum merupakan lipatan jaringan pertoneal
memiliki lapisan ganda yang merefleks balik dari peritoneum
viseral. Lipatan ini memiliki fungsi untuk mengikat organ-organ
abdominal antara satu dengan yang lainnya dan juga
melabuhkannya ke arah dinding abdominnal belakang. Pembuluh
darah, limfatik, dan saraf terletak dalam lipatan peritoneal.
6) Organ yang tidak terbungkus peritoneum, tetapi hanya tertutup
olehnya disebut retroperitoneal (di belakang peritoneum). Yang
termasuk retroperitoneal antara lain: pankreas, duodenum, ginjal,
rektum, kantung kemih, dan beberapa organ reproduksi
perempuan.
c. Enzim Pencernaan
Ketika pencernaan berlangsung terdapat tiga kelompok molekul yang
dapat ditemukan. Setiap molekul dipecah-pecah menjadi beberapa
komponen molekul oleh enzim-enzim khusus:
1) Kompleks karbohidrat atau polisakarida (seperti tepung) dipeceh
menjadi oligosakarida (mengandung 2-10 monosakarida yang
10

berhubungan), disakarida (seperti maltosa), atau monosakarida


tunggal (seperti glukosa dan fruktosa). Enzim yang disebut amilase
memecah amilum (tepung)
2) Protein dipecah menjadi rantai asam amino pendek (peptida) atau
asam amino tunggal oleh enzim yang disebut protease.
3) Lemak (lipida) dipecah menjadi gliserol dan asam lemak (peptida)
oleh enzim yang disebut lipase.
Ringkasan pencernaan karbohidrat, protein, dan lemak dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Enzim Sumber Sekresi Aksi
Karbohidrat Kelenjar saliva Zat tepung→Maltosa
Amilase saliva Pankreas Zat tepung→Disakarida dan
(ptialin) Usus halus maltose
Amilase Usus halus Maltosa→Glukosa
pankreas Usus halus Sukrosa→Glukosa dan fruktosa
Maltase Laktosa→Glukosa dan galaktosa
Sukrase Protein→Polipeptida Protein dan
Laktase Lambung (Pepsinogen peptida→Peptida yang lebih kecil
diaktivasi oleh HCl Protein dan peptida→Peptida
Protein lambung) yang lebih kecil
Pepsin Dipeptida→Asam amino
Pankreas (Tripsinogen Trigesirida→Monogliserida dan
Tripsin diaktivasi oleh asam lemak
enterokinase)

Kimotripsin Pankreas Monogliserida→Asam lemak dan


Peptidase (Kimotripsinogen gliserol
diaktivasi oleh tripsin)
Usus halus
Lemak
Lipase Pankreas (dengan garam
pankreas empedu)
Lipase usus Usus halus (dengan garam
empedu)

2. Perforasi Gaster
a. Definisi Perforasi Gaster
Perforasi gaster adalah luka yang terjadi pada lapisan lambung
sehingga terbentuknya lubang pada lambung. Perforasi gaster ini
disebabkan oleh komplikasi serius dari penyakit tukak lambung.
Akibat lapisan dinding lambung yang berlubang maka isi lambung
11

keluar dan masuk kedalam rongga perut. Pada pasien perforasi gaster
sering ditandai dengan acute abdomen mendadak dan dari nyeri ini
menyebabkan takikardi pada pasien. Gejala yang dirasakan pada
pasien tidak pernah benar – benar hilang walaupun sudah dilakukan
penanganan umum, sehingga memaksa pasien untuk segera
mendapatkan penanganan pembedahan (Chung & Shelat, 2017).
b. Etiologi
Menurut (Stern et al., 2020), penyebab dari perforasi gaster dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Perforasi Non-Trauma:
a) Spontan pada bayi baru lahir yang terimplikasi syok dan stress
b) Komplikasi akut dari ulkus gaster yang bisa disebabkan oleh
infeksi H Pylori, obat-obatan (OAINS, kortikosteroid).
c) Gaya hidup
d) Stress psikologis
e) Ingesti aspirin, anti inflamasi non steroid, dan steroid: terutama
pada pasien lanjut usia.
2) Perforasi Trauma (Tajam atauTumpul),
a) Trauma iatrogenic setelah pemasangan pipa nasogastric saat
endoskopi
b) Luka penetrasike dada bagian bawah atau abdomen
c) Trauma tumpul pada gaster: trauma seperti ini lebih umum
pada anak dari pada dewasa dan termasuk trauma yang
berhubungan dengan pemasangan alat, cedera gagang kemudi
sepeda dan sindrom sabuk pengaman.
c. Manifestasiklinis
Menurut (Chung & Shelat, 2017), tanda dan gejala perforasi gaster
adalah
1) Kesakitanhebatpadaperut dank ram diperut
2) Nyeri di daerah epigastrium
3) Hipertermi
4) Takikardi
12

5) Hipotensi
6) Biasanya tampak letargi kkarna syok toksik
d. Patofisiologi Perforasi Gaster
Penyebab dari perforasi gaster yaitu Infeksi (H. pylori) dan
konsumsi obat NSAIDs sehingga menyebabkan respon inflamasi yang
lokal ataupun sistemik. Mekanisme awal dari infeksi H. Pylori adalah
sel mast disertai pelepasan mediator histamin, kinin, leukotrienes,
prostacyclines, dan radikal bebas menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler di peritoneum sehingga
menyebabkan masuknya sistem komplemen dan faktor pembekuan
darah dari sistem koagulasi. Setelah opsonisasi bakteri lewat C3b yang
terjadi karena membran dari kapsul bakteri gram negatif (liposakarida,
lipid A, endotoksin) dan kapsul bakteri gram positif (asam lipoteikoik,
peptidoglikan) berikatan dengan reseptor CD14 di sel-sel monosit,
bakteri kemudian dibawa masuk ke sirkulasi sistem limfa yang
kemudian ditransport ke organ retikuloendotelia untuk dihancurkan.
Komplemen juga menarik netrofil ke lokasi cedera lewat sistem
kemotaktik faktor c3a dan c5a. Netrofil akhirnya memfagositosis
bakteri. Akhirnya sistem tissue factor mengaktifasi faktor pembekuan
darah yang menghasilkan fibrin yang akan membungkus bakteri
sehingga terjadi pembentukan abses.
Proses ini semua dapat mempunyai efek sistemik karena
degranulasi sel Mast yang dapat masuk ke sirkulasi. Mediator-
mediator ini juga menyebabkan peningkatan permeabilitas dan relaksai
dari otot polos. Sel-sel granulosit dan makrofag juga ditarik ke tempat
cedera yang akhirnya menghasilkan pelepasan sitokin-sitokin IL-1, IL-
6, TNF-a, IFN-y yang masuk ke sistem sirkulasi dan secara klinis
menimbulkan gejala klinis demam, leukositosis, pelepasan kortisol dan
sintesis protein fase akut. Resultan dari semua status fisiologis ini yang
dinamakan SIRS (Systemic Inflammatory Response SyndromeI) yang
kemudian berujung ke suatu keadaan sepsis. (Leeman et al., 2013)
13

NSAIDs (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) merupakann


penyebab tersering dari perforasi gaster setelah infeksi bakteri dan
komplikasi perdarahan dari tukak lambung. Efek sistemik ini
disebabkan oleh inhibisi sintesis prostaglandin endogen. Hambatan
prostaglandin ini menurunkan produksi mukus epitel, sekresi
bikarbonat, aliran darah mukosa, proliferasi epitel, dan resistensi
mukosa.
Efek samping NSAID pada saluran cerna tidak terbatas pada
lambung. Efek samping pada lambung memang yang paling sering
terjadi. NSAID merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme, yakni
topical dan sistemik. Kerusakan mukosa secara topical terjadi karena
NSAID bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah trapping
ion hydrogen masuk ke dalam mukosa dan menimbulkan kerusakan.
Efek sistemik NSAID tampaknya lebih penting, yaitu kerusakan
mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun. NSAID secara
bermakna menekan prostaglandin.
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin
pada penggunaan NSAID melalui 4 tahap, yaitu menurunnya sekresi
mukus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-
sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan
mikrovaskuler yang diperberat oleh kerjasama platelet dan mekanisme
koagulasi. Endotel vaskuler secara terus menerus menghasilkan
vasodilator prostaglandin E dan I, yang apabila terjadi gangguan atau
hambatan (COX-1) akan timbul vasokontriksi sehingga aliran darah
menurun yang menyebabkan nekrosis epitel. Hambatan COX-2
menyebabkan peningkatan perlengketan leukosit PMN pada endotel
vaskuler gastroduodenal dan mesenterik, dimulai dengan pelepasan
protease, radikal bebas oksigen sehingga memperberat kerusakan
epitel dan endotel. Perlengketan leukosit PMN menimbulkan statis
aliran mikrovaskuler, iskemia dan berakhir dengan kerusakan mukosa
lambung/tukak lambung. (Salomo, G. and Jekson, 2018)
14

Reaksi awal perforasi gaster menyebabkan peritonitis adalah


ketika keluarnya eksudat fibrosa. Eksudat fibrosa ini keluar karena
terjadinya perforasi pada gaster sehingga isi pada gaster keluar dan
mengisi cavum peritoneum sehingga menyebabkan terjadinya
peradangan. Akibat dari perforasi gaster ini dapat menyebabkan
obstruksi usus.
Peradangan ini menimbulkan akumulasi cairan karena kapilar
dan membran mengalami kebocoran. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi cairan dan elektrolit maka produk buangan juga ikut
meningkat dan menumpuk di cavum peritoneum dan dinding abdomen
mengalami edema. Edema ini disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler oleh organ – organ tersebut.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus
meningkatkan tekanan intra abdomen. Bila infeksi ini sudah menyebar
maka terjadi peritonitis dan bisa menyebabkan aktivitas peristaltik
menurun sehingga timbul ileus paralitik. (Ruben, 2018)
e. Pemeriksaan Penunjang
a) Foto polos abdomen pada posisi berdiri
Pemeriksaan penunjang foto polos abdomen posisi tegak
menunjukkan pneumoperitoneum pada 80% kasus. Jika tidak
didapati udara bebas pada foto polos abdomen, CT abdomen akan
menunjukkan hasil yang lebih sensitif (hingga 98%).
b) Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas
dengan berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak
homogen karena terdapat kandungan lambung.
c) CT-scan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak
seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan
15

negative. Oleh karena itu, CT-scan sangat efisien untuk deteksi dini
perforasi gaster (Chung & Shelat, 2017).
d) Komplikasi
Menurut (Chung & Shelat, 2017), komplikasi pada perforasi gaster,
sebagai berikut:
a) Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan
bakteri pada Gaster.
e) Kegagalan luka operasi Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial
atau total pada setiap lapisan luka operasi) dapat terjadi segera atau
lambat. Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan
luka operasi antara lain malnutrisi, sepsis, uremia, diabetes melitus,
terapi kortikosteroid, obesitas, batuk yang berat, hematoma (dengan
atau tanpa infeksi)
1) Abses abdominal terlokalisasi
2) Kegagalan multi organ dan syok septic :
- Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang
menimbulkan manifestasi sistemik, seperti kekakuan,
demam, hipotermi (pada septicemia gram negatif dengan
endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada
septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.
- Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal
berikut, sepert hilangnya tonus vasomotor, peningkatan
permeabilitas kapiler, depresi myocardial, pemakaian
leukosit dan trombosit, penyebaran substansi vasoaktifkuat,
seperti histamin, serotonin dan prostaglandin, menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler, aktivasi komplemen dan
kerusakan endotel kapiler.
- Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang
lebih buruk dari gram-positif, mungkin karena hubungan
dengan endotoksemia.
3) Gagal ginjal danketidak seimbangan cairan, elektrolit, dan pH
a. Perdarahan mukosa gaster.
16

b. Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena


adesipostoperatif
c. Delirium post-operatif.
f. Penatalaksanaan
Menurut (Soreide, 2019), penatalakasanaan pasien perforasi gaster
harus dalam tempo sesegera mungkin dalam penegakan diagnosis dan
resusitasi, sebagai berikut :
g. Tatalaksana non-Operatif
Penatalaksanaan non-operatif mampu dilakukan hanya jika
kondisi klinis pasien dalam keadaan yang baik dengan gejala sedikit
atau lokal. Opsi operasi dapat ditunda namun harus tetap diobservasi
secara rutin. Penatalaksanaan yang ada dapat berupa antibiotik
intravena, puasa dan dekompresi, obat anti-sekretorik dan protein
pump inhibitor.
Faktor yang paling penting terhadap kesuksesan dari tatalaksana
non-operatif dari perforasi gaster adalah apakah ulkus tersebut sudah
menutup atau belum. Hal ini dapat ditunjukkan lewat pemeriksaan
menggunakan kontras gastrografin. Jika ada kebocoran dari kontras,
maka tindakan operasi diperlukan. Tapi, jika ulkus telah tertutup
sendirinya dengan omentum ataupun organ lainnya, tatalaksana non-
operatif dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki peritonitis
ataupun sepsis berat.
h. Tatalaksana Operatif
Manajemen perforasi gaster yang utama adalah pembedahan dan
jahitan dengan beberapa teknik yang berbeda. Teknik yang paling
umum meliputi penutupan secara langsung dengan interrupted sutures,
penutupan dengan interrupted sutures yang diselimuti oleh tangkai
omentum di atasnya (Cellan-Jones repair) atau memasukkan omental
plug bebas ke lokasi perforasi (Graham patch).
17

B. Mekanisme Peritonitis Dapat Menyebabkan Ileus Paralitik


1. Peritonitis
a. Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau
kondisi aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah
selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut
bagian dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat
akut atau kronik. (Japanesa et al., 2016)
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum yang dapat terjadi karena
kontaminasi mikroorganisme dalam rongga peritoneum, bahan kimiawi,
atau keduanya. Peritonitis merupakan komplikasi berbahaya yang sering
terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen. (Sayuti,
2020)
Berdasarkan definisi diatas, kelompok menyimpulkan bahwa
peritonitis adalah peradangan pada selaput organ perut (peritoneum).
Peritonitis dapat disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme dalam
rongga peritoneum, bahan kimiawi, atau keduanya.
b. Anatomi Peritoneum

Gambar 2.2.1 Peritoneum


Peritoneum adalah lapisan serosa yang paling besar dan paling
komleks yang terdapat dalam tubuh. Membran serosa tersebut
membentuk suatu kantung tertutup (coelom) dengan batas-batas:
a. anterior dan lateral: permukaan bagian dalam dinding abdomen
b. posterior: retroperitoneum
c. inferior: struktur ekstraperitoneal di pelvis
18

d. superior: bagian bawah dari diafragma


Peritoneum dibagi atas:
a. peritoneum parietal
b. peritoneum viseral
c. peritoneum penghubung yaitu mesenterium, mesogastrin, mesocolon,
mesosigmidem, dan mesosalphinx
d. peritoneum bebas yaitu omentum
Lapisan parietal dari peritoneum membungkus organ-organ viscera
membentuk peritoneum visera, dengan demikian menciptakan suatu
potensi ruang diantara kedua lapisan yang disebut rongga peritoneal.
Normalnya jumlah cairan peritoneal kurang dari 50 ml. Cairan peritoneal
terdiri atas plasma ultrafiltrasi dengan elektrolit serta mempunyai kadar
protein kurang dari 30 g/L, juga mempunyai sejumlah kecil sel
mesotelial deskuamasi dan bermacam sel imun. (Warsinggih, 2016)
c. Klasifikasi
Menurut Elsevier (2007) dikutip dari (Sayuti, 2020) menyebutkan
bahwa peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer,
peritonitis sekunder, dan peritonitis tersier.
a. Peritonitis primer disebabkan oleh penyebaran infeksi melalui darah
dan kelenjar getah bening di peritoneum dan sering dikaitkan dengan
penyakit sirosis hepatis. Menurut (Warsinggih, 2016) peritonitis
primer sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis
(SBP). Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama
oleh bakteri gram negatif (E. coli, klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus), bakteri gram positif (streptococcus
pneumonia, staphylococcus).
Peritonitis primer dibedakan menjadi 2 yaitu:
1) Spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik,
misalnya kuman tuberkulosa.
2) Non- spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang
non spesifik, misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak
spesifik. (Warsinggih, 2016)
19

b. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang


berasal dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis
yang paling sering terjadi.
c. Peritonitis tersier merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan
langsung yang sering terjadi pada pasien imunokompromais dan
orang-orang dengan kondisi komorbid.
d. Etiologi
Menurut (Warsinggih, 2016) Kelainan dari peritoneum dapat disebabkan
oleh bermacam hal, antara lain:
a. Perdarahan, misalnya pada ruptur lien, ruptur hepatoma, kehamilan
ektopik terganggu
b. Asites, yaitu adanya timbunan cairan dalam rongga peritoneal sebab
obstruksi vena porta pada sirosis hati, malignitas.
c. Adhesi, yaitu adanya perlekatan yang dapat disebabkan oleh corpus
alienum, misalnya kain kassa yang tertinggal saat operasi, perforasi,
radang, trauma
d. Radang, yaitu pada peritonitis
e. Adapun Faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko kejadian
peritonitis, yaitu: penyakit hati dengan ascites, kerusakan ginjal,
compromised immune system, pelvic inflammatory disease,
appendicitis, ulkus gaster, infeksi kandung empedu, colitis ulseratif
/chron’s disease, trauma, CAPD (Continous Ambulatory Peritoneal
Dyalisis), pankreatitis. (Warsinggih, 2016)
e. Manifestasi Klinis
Menurut (Warsinggih, 2016) gejala klinis peritonitis yang terutama
adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat dirasakan terus-menerus selama
beberapa jam, dapat hanya di satu tempat ataupun tersebar di seluruh
abdomen dan makin hebat nyerinya dirasakan saat penderita bergerak.
Gejala lainnya meliputi:
- Demam Temperatur lebih dari 380C, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia
20

- Mual dan muntah Timbul akibat adanya kelainan patologis organ


visera atau akibat iritasi peritoneum
- Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas
Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.
- Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak
terdengar bising usus
- Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun
involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
- Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
- Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
- Tidak dapat BAB/buang angin.
f. Patofisiologi
Menurut (Ruben, 2018) reaksi awal peritoneum terhadap invasi
oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah
(abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi
satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga
membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ.
Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi
cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk.
Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal
begitu terjadi hypovolemia. (Ruben, 2018)
21

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding


abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan
cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem
seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta
muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan
yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka
terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi
hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus
yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total
atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh
darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau
ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis. (Ruben,
2018)
22

g. Pathway (Sholikhah, 2015)


23
24

h. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen cedera fisiologis
b. Hipertermia b.d proses infeksi
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
peningkatan kebutuhan metabolik
d. Kekurangan volume cairan b.d kegagalan dalam mekanisme
pengaturan, kehilangan caiaran sekunder akibat mual dan muntah
e. Kontipasi b.d penurunan peristaltic usus

i. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut (Schwartz et al., 2000) terdapat pemeriksaan diagnostik
penyakit peritonitis yaitu sebagai berikut.
a. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang
untukpertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen
akut. Padaperitonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu:
1) Tidur telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan
proyeksian teroposterior (AP)
2) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan,
dengan sinar horizontal proyeksi AP
3) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus=LLD), dengan
sinar horizontal,proyeksi AP
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu: terlihat kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan
adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal
25

Gambar 2.2 Foto BNO pada peritonitis


b. Pemeriksaan laboratorium
1) Darah lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematokrit
yang meningkat
2) Analisa gas darah, menunjukna asidosis metabolik, dimana
terdapat kadar karbondioksida yag disebabkan oleh
hiperventilasi
j. Penatalaksanaan
Menurut (Warsinggih, 2016) peritonitis adalah suatu kondisi yang
mengancam jiwa, yang memerlukan pengobatan medis sesegera
mungkin. Prinsip utama terapi pada infeksi intra abdomen adalah:
a. mengkontrol sumber infeksi
b. mengeliminasi bakteri dan toksin
c. mempertahankan fungsi sistem organ
d. mengontrol proses inflamasi
Adapun terapi yang dapat dilakukan pada pasien peritonitis
menurut (Warsinggih, 2016) terbagi menjadi:
a. Terapi medis, termasuk di dalamnya antibiotik sistemik untuk
mengontrol infeksi, perawatan intensif mempertahankan
hemodinamik tubuh misalnya pemberian cairan intravena untuk
mencegah dehidrasi, pengawasan nutrisi dan keadaan
metabolik, pengobatan terhadap komplikasi dari peritonitis
(misalnya insufisiensi respiratorik atau ginjal), serta terapi
terhadap inflamasi yang terjadi.
- Terapi antibiotik pada SBP (Spontaneus Bacterial
Peritonitis), pemberian antibiotik terutama adalah dengan
Sefalosporin gen-3, kemudian diberikan antibiotik sesuai
dengan hasil kultur. Penggunaan aminolikosida sebaiknya
dihindarkan terutama pada pasien dengan gangguan ginjal
26

kronik karena efeknya yang nefrotoksik. Lama pemberian


terapi biasanya 5-10 hari.
- Pada peritonitis sekunder dan tersier, terapi antibiotik
sistemik ada pada urutan ke-dua. Untuk infeksi yang
berkepanjangan, antibiotik sistemik tidak efektif lagi,
namun lebih berguna pada infeksi akut.
- Pada infeksi inta-abdominal berat, pemberian imipenem,
piperacilin/tazobactam dan kombinasi metronidazol
dengan aminoglikosida.
- Terapi analgetic digunakan analgetik opiat intravena dan
mungkin dibutuhkan antiemetik. (Ruben, 2018)
b. Intervensi non-operatif
- Pemberian oksigen Adalah vital untuk semua pasien
dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor oleh pulse oximetri
atau BGA.
- Resusitasi cairan biasanya dengan kristaloid, volumenya
berdasarkan derajat syok dan dehidrasi. Penggantian
elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan.
Pasien harus dikateterisasi untuk memonitor output urine
tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan
inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis
atau pasien dengan komorbid. Hipovolemi terjadi karena
sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen
usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke
dalam ruang vaskuler. (Ruben, 2018)
- dapat dilakukan drainase percutaneus abses abdominal dan
ekstraperitoneal. Keefektifan teknik ini dapat menunda
pembedahan sampai proses akut dan sepsis telah teratasi,
sehingga pembedahan dapat dilakukan secara elektif. Hal-
hal yang menjadi alasan ketidakberhasilan intervensi non-
operatif ini antara lain fistula enteris, keterlibatan pankreas,
27

abses multipel. Terapi intervensi non-operatif ini umumnya


berhasil pada pasien dengan abses peritoneal yang
disebabkan perforasi usus (misalnya apendisitis,
divertikulitis). Teknik ini merupakan terapi tambahan. Bila
suatu abses dapat di akses melalui drainase percutaneus
dan tidak ada gangguan patologis dari organ intraabdomen
lain yang memerlukan pembedahan, maka drainase
perkutaneus ini dapat digunakan dengan aman dan efektif
sebagai terapi utama. Komplikasi yang dapat terjadi antara
lain perdarahan, luka dan erosi, fistula.
c. Terapi operatif, pembedahan sering diperlukan untuk
mengatasi sumber infeksi, misalnya apendisitis, ruptur organ
intra-abomen.
Bila semua langkah-langkah terapi di atas telah dilaksanakan,
pemberian suplemen, antara lain glutamine, arginine, asam lemak
omega-3 dan omega-6, vitamin A, E dan C, Zinc dapat digunakan
sebagai tambahan untuk mempercepat proses penyembuhan.
(Warsinggih, 2016)
k. Komplikasi
Menurut (Agustini, 2017) komplikasi pada peritonitis
dikelompokan menjadi 2 kelompok yaitu sebagai berikut.
a. Komplikasi peritonitis spontan meliputi :
1) Ensefalopati, yang merupakan hilangnya fungsi otak yang
terjadi ketika hati tidak bias lagi membuang zat beracun
dari darah
2) Sindrom hepatprenal, yaitu gagal hinjal yang progresif
akibat kegagalan hati
3) Sepsis, yang merupakan reaksi yang terajdi ketika aliran
darah terinfeksi bakteri
b. Komplikasi peritonitis sekunder meliputi :
28

1) Abses intra-abdominal, abses atau kumpulan nanah pada


rongga perut perlengketan usus dapat terjadi sehingga
menyebabkan usus tersumbat
2) Adhesi intraperitoneal, merupakan pita dari jaringan
fibrosa menempel dengan organ perut dan dapat
menyebabkan penyumbatan usus
3) Syok sepsis, kondisi ini bisa menyebabkan tekanan darah
menurun drastis sehingga beberapa organ tubuh gagal
berfungsi.
2. Ileus Paralitik
1. Definisi
Menurut (Beach & De Jesus, 2020) Ileus, juga dikenal sebagai
ileus paralitik atau ileus fungsional, terjadi bila ada penurunan non-
mekanis atau penghentian aliran isi usus. Obstruksi usus adalah
penyumbatan mekanis isi usus oleh massa, adhesi, hernia, atau
penyumbatan fisik lainnya. Kedua penyakit ini mungkin muncul
dengan cara yang sama, tetapi pengobatannya bisa sangat berbeda
tergantung pada patologi yang mendasarinya. 
Menurut (Weledji, 2020) ileus paralitik adalah suatu kondisi di
mana terdapat kelumpuhan motorik fungsional pada saluran
pencernaan akibat kegagalan neuromuskuler yang melibatkan plexus
myenteric (Auerbach's) dan submucous (Meissner's). Usus gagal
mengirimkan gelombang peristaltik, mengakibatkan obstruksi
fungsional, dan memungkinkan cairan dan gas terkumpul di usus.
Berdasarkan definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa ileus
paralitik adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran cerna
tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada
sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen usus,
penyumbatan mekanis isi usus oleh massa, adhesi, hernia, atau
penyumbatan fisik lainnya.
29

2. Etiologi
Menurut (Beach & De Jesus, 2020) penyebab ileus belum dapat
ditentukan dengan jelas namun, ada beberapa faktor resiko yang telah
terbukti meningkatkan kemungkinan ileus diantaranya sebagai berikut.
a. Operasi perut atau panggul yang berkepanjangan
b. Operasi saluran pencernaan bagian bawah
c. Operasi terbuka
d. Operasi tulang belakang retroperitoneal
e. Penggunaan opioid
f. Peradangan intraabdominal (sepsis/peritonitis)
g. Komplikasi perioperatif (pneumonia,abses)
h. Pendarahan (intra operatif/pasca operatif)
i. Hipokalemia
j. Penempatan selang nutrisi enternal atau nasogastrik yang tertunda
Resiko ileus dipengaruhi oleh berbagai faktor, masing-masing
memengaruhi sebagian kecil sistem neuroimun yang kompleks. Faktor
tersbut meliputi agen farmakologis seperti opioid, antihipertensi, serta
kondisi medis termasuk pneumonia,stroke dan kelainan elektrolit.
3. Manifestasi Klinis
Menurut (Weledji, 2020) manifestasi klinis dari ileus paralitik
diantaranya sebagai berikut.
a. Nyeri ringan sampai sedang, tidak terlokalisasi dengan baik, dan
stabil, berbeda dengan nyeri kram parah yang berhubungan dengan
obstruksi mekanis. Hal ini disebabkan peristaltik yang meningkat
terhadap lesi obstruktif atau paralitik dan adanya tumpang tindih
karena obstruksi mekanis.
b. Takipnea karena diafragma didorong ke atas dan takikardia akibat
hipovolemia.
c. Obstruksi usus menyebabkan distensi abdomen, peningkatan
tekanan intraluminal yang berkepanjangan merusak viabilitas
dinding usus dengan difusi produk bakteri beracun ke dalam
30

rongga peritoneum di mana mereka diserap dan menghasilkan


toksemia sehingga abdomen menjadi buncit.
d. Deplesi kalium, yang menyebabkan kelemahan dan paresis otot
polos, dan dapat menyebabkan keadaan ileus adinamik pada lesi
obstruktif yang ada.
e. Muntah jarang terjadi, dengan sedikit muntahan asam atau bilious.
f. Suara resonansi yang ditimbulkan oleh perkusi abdomen (timpani)
dapat didengar terkait dengan ileus paralitik dan mengindikasikan
adanya gas yang terperangkap di usus. Meskipun bukan
karakteristik ileus, percikan succussion dapat dideteksi saat
abdomen terguncang jika terdapat cairan atau gas dalam jumlah
besar di loop usus yang melebar.
g. Hasil radiografi polos menunjukkan adanya gas di seluruh
lambung, usus kecil, dan usus besar, dengan lebih banyak di usus
besar daripada usus halus. Lingkaran usus buncit dapat terlihat di
dekat lokasi proses inflamasi, seperti yang berhubungan dengan
apendisitis atau pankreatitis.
4. Patofisiologi
Menurut (Beach & De Jesus, 2020) mekanisme dan penyebab
pasti ileus tidak diketahui secara pasti karena kompleksitas dan
banyaknya sistem yang terlibat. Ileus merupakan interaksi neuroimun
yang terdiri dari dua fase yaitu fase neurogenik awal dan fase
inflamasi. Interaksi ini diatur oleh komunikasi dua arah antara sistem
saraf otonom (termasuk aferen, eferen, dan sistem saraf enterik) dan
sistem kekebalan baik di luar maupun di dalam saluran GI (sel mast,
makrofag).
Makrofag yang berada di tunika muskularis eksternal dinding
usus melepaskan sitokin yang menginduksi aktivasi sel pro-inflamasi
lebih lanjut, sitokin antiperistaltik lainnya (termasuk interleukin-6 dan
TNF-alpha), bersama dengan neuropeptida dan oksida nitrat. Secara
keseluruhan interaksi ini dimulai dengan manipulasi usus. Stres
31

operasi dan manipulasi usus menyebabkan aktivasi respon inflamasi


molekuler lokal, pelepasan hormon, dan neurotransmitter yang
menghasilkan aktivitas simpatis penghambatan berkelanjutan dan
penekanan aparatus neuromuskuler (Beach & De Jesus, 2020).
Ileus paralitik terjadi akibat perubahan aktivitas saraf dan sinyal
yang mengontrol motilitas gastrointestinal. Sementara motilitas
gastrointestinal dirangsang oleh sistem saraf parasimpatis, ia dihambat
oleh simpatis dan dikoordinasikan oleh sistem saraf enterik (intrinsik).
Patofisiologi ileus paralitik ditentukan oleh penyebabnya. Bentuk
miogenik terjadi akibat disfungsi otot seperti yang berhubungan
dengan distrofi miotonik. Bentuk neurogenik ileus melibatkan
disfungsi sistem saraf otonom dan / atau sistem saraf enterik. Jenis
ileus ini terjadi akibat penghambatan motilitas usus yang berlebihan,
kurangnya eksitasi motilitas, atau keduanya. Abnormalitas metabolik,
termasuk hipokalemia dan ketoasidosis, beberapa obat, dan trauma
pada tulang belakang atau regio retroperitoneal dapat menyebabkan
perubahan fungsi neuronal yang menyebabkan ileus paralitik
(Woodfork, 2017).
Peritonitis adalah kondisi serius akibat iritasi pada peritoneum
akibat infeksi, seperti perforasi usus buntu, atau dari iritasi kimiawi
akibat kebocoran usus, seperti perforasi ulkus duodenum. Dalam kasus
terakhir, infeksi tambahan juga secara bertahap terjadi karena
Escherichia coli dan Bacteroides yang merupakan organisme yang
paling umum. Rongga peritoneum menjadi meradang akut dengan
produksi eksudat inflamasi yang menyebar ke seluruh peritoneum,
menyebabkan dilatasi usus dan ileus paralitik. Peritonitis menyebabkan
ileus awalnya dari peradangan, kedua dari toksin bakteri, dan akhirnya,
adhesi fibrinous yang akhirnya dapat menahan kembalinya fungsi
usus. Bakteri lipopolisakarida (LPS) juga menyebabkan ileus memulai
respon inflamasi di dalam lapisan otot polos usus dan penurunan
selanjutnya secara in vitro dan in vivo kontraktilitas otot polos. Ileus
32

pada peritonitis umum ditandai dengan beberapa usus yang


membengkak (Weledji, 2020).

5. Pathway
33
34
35

6. Pemeriksaan Diagnostik
Berdasarkan jurnal [ CITATION Vil17 \l 1033 ] pemeriksaan diagnostik
dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1) Pemeriksaan fisik
Menurut Sarr et al dalam [ CITATION Vil17 \l 1033 ] Pemeriksaan
fisik sangat penting dilakukan karena dapat menghasilkan bukti
terjadinya ileus mekanis. Pada pemeriksaan fisik biasanya harus
mencakup tanda-tanda vital, pemeriksaan abdomen secara
menyeluruh biasanya pasien akan mengalami takikardia, takipnea,
demam dan nyeri perut menyeluruh dan biasanya saat dilakukan
pemeriksaan juga saat bising usus dilakukan palpasi Dengan
stetoskop, bising usus mungkin terdengar sangat keras dan
bernada tinggi, atau tidak terdengar sama sekali.
2) Tes laboratorium
Menurut Niko et al, Maulana et al & Sari et al dalam [ CITATION
Ind151 \l 1033 ] Nilai laboratorium pada awalnya normal,
kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,leukositosis, dan
gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi
tegak,terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan 15 gambaran
anak tangga dari usus kecil yang mengalami dilatasi dengan air
fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya
obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah
jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan rektosigmoidoskopi
dan kolon (dengan colok dubur dan barium inloop) untuk mencari
penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia.
3) Gambaran tanda dan gejala
Menurut [ CITATION Sig201 \l 1033 ] Tanda dan gejala pada ileus
juga dapat menjadi acuan terhadap pemeriksaan diagnostik dan hal
ini dilihat dari tanda dan gejala ileus dan derajat keparahannya
bergantung pada lokasi sumbatan. Tanda dan gejala dapat berupa
penolakan makan, muntah, dan penurunan aktivitas. Manifestasi
36

yang paling umum adalah distensi dan nyeri abdomen yang tiba-
tiba; Gejala yang kurang umum adalah ileus, gangguan
pernapasan, demam, muntah, hematemesis, atau hematochezia.
Pasien dengan perforasi selalu mengeluhkan onset akut nyeri perut
yang parah atau nyeri dada; pasien sering mencatat waktu onset
nyeri yang tepat. Nyeri dada atau perut yang parah setelah
instrumentasi harus dilihat dengan tingkat kecurigaan yang tinggi
untuk perforasi lambung. Pasien yang menggunakan agen
imunosupresif atau anti-inflamasi mungkin memiliki respons
inflamasi yang terganggu dan beberapa mungkin memiliki lebih
sedikit rasa sakit dan nyeri tekan. Banyak dari mereka akan
mencari pertolongan medis dengan timbulnya rasa sakit tetapi
beberapa akan hadir dengan cara yang tertunda (mungkin muncul
dengan sepsis). Iritasi diafragma dapat terjadi yang menyebabkan
nyeri menjalar ke bahu. Sepsis bisa menjadi presentasi awal
perforasi. Kemampuan permukaan peritoneal untuk menutup
perforasi dapat terganggu pada pasien dengan komorbiditas medis
yang parah terutama pasien yang lemah, lanjut usia, dan
imunosupresi, yang mengakibatkan sepsis.
Tes berikut harus dilakukan untuk evaluasi lebih lanjut:
a) Parameter infeksi sistemik
b) Elektrolit (hipokalemia mungkin menunjukkan ileus
fungsional)
c) Tes fungsi ginjal (ini mungkin menunjukkan gagal ginjal
karena perpindahan cairan)
d)Parameter kolestasis, transaminase, dan lipase (pankreatitis
adalah penyebab potensial ileus fungsional).
Pemeriksaannya juga harus mencakup hal-hal berikut:
a) Pengujian koagulasi (kelainan pembekuan bisa menjadi tanda
gagal hati)
37

b)Analisis gas darah arteri (nilai pH dan laktat mungkin


merupakan bukti nonspesifik hipoperfusi organ).
4) Ultrasonografi abdomen
Menurut Suri et al dalam [ CITATION Vil17 \l 1033 ] Ultrasonografi di
ruang gawat darurat merupakan cara yang sangat efektif untuk
mendeteksi cairan bebas atau hernia. Menurut [ CITATION Sig201 \l
1033 ] Pendekatan diagnostik pada pasien dengan nyeri perut
dimulai dengan film biasa. Sensitivitas film biasa untuk mendeteksi
udara bebas ekstra luminal berkisar dari 50% hingga 70%.
Ultrasonografi (US) juga telah dipelajari dan menunjukkan potensi
yang sangat baik untuk mengidentifikasi pneumoperitoneum.
Modalitas pencitraan yang paling berguna adalah CT scan yang
sangat sensitif dan spesifik untuk udara bebas.
5) Film polos perut dan studi kontras usus
Menurut Thompson et al dalam [ CITATION Vil17 \l 1033 ] Film polos
perut dalam posisi berdiri atau lateral mudah untuk diperoleh, tetapi
juga relatif tidak sensitif dan tidak spesifik. Film biasa
direkomendasikan sebagai studi pertama untuk pasien yang secara
klinis stabil yang tidak memiliki bukti infeksi dan gejalanya hanya
ringan. Setelah itu, studi transit gastrointestinal dapat diperoleh
dengan pemberian media kontras murni secara oral. Properti
insidental penting dari studi kontras adalah efek pencahar dari
media kontras beryodium hipertonik. Sebuah meta-analisis telah
menunjukkan bahwa, karena efek ini, studi kontras usus dapat
mengurangi kebutuhan laparotomi dengan adhesiolisis, dan dengan
demikian juga mempersingkat masa rawat inap.
6) Computed tomography of the abdomen
Menurut Branco et al dalam [ CITATION Vil17 \l 1033 ] Abdominal
computed tomography (CT) dengan media kontras oral dan
intravena lebih dari 90% sensitif dan spesifik untuk diagnosis ileus
mekanis dan dengan demikian merupakan standar emas. Ini
38

memungkinkan penilaian tingkat keparahan (ileus lengkap versus


tidak lengkap), lokalisasi yang tepat (perbedaan kaliber), dan
penentuan penyebab (hernia yang dipenjara, tumor, perubahan
inflamasi), bersama dengan deteksi potensi komplikasi (iskemia,
perforasi).
7. Penatalaksanaan
Terapi Standar
Menurut Summers dalam (Woodfork, 2017) pengobatan ileus
paralitik harus mengatasi penyebabnya, seperti kelainan metabolik,
sepsis atau respons yang merugikan terhadap terapi obat. Tindakan
pendukung meliputi perbaikan dehidrasi dan ketidakseimbangan asam
basa atau elektrolit. Obat yang menurunkan motilitas usus harus ditarik
atau dosisnya dikurangi. Tidak ada yang diambil secara lisan, dengan
nutrisi parenteral total sementara diperlukan dalam kasus yang
berkepanjangan. Konsultasi bedah harus dilakukan jika terdapat
obstruksi mekanis atau tanda-tanda peritoneal, seperti nyeri, nyeri
tekan, dan kekakuan otot perut (pelindung) yang ditimbulkan oleh
pergerakan dinding perut. Ini menunjukkan proses inflamasi seperti
apendisitis, perubahan iskemik usus, atau perforasi.
Dekompresi nasogastrik adalah pengobatan suportif yang
mencegah udara yang tertelan melewati distal dan menghilangkan
sekresi gastrointestinal bagian atas. Ini biasanya digunakan, secara
intermiten, untuk menghilangkan rasa sakit yang parah dan kembung
yang disebabkan oleh ileus. Menurut Cheatham et al dalam
(Woodfork, 2017) Sebuah meta-analisis dari 26 percobaan menemukan
bahwa dekompresi nasogastrik efektif dalam mengurangi distensi
abdomen dan muntah, meskipun hal itu dikaitkan dengan peningkatan
risiko komplikasi paru, seperti atelektasis dan pneumonia, dan
peningkatan waktu untuk asupan oral pertama. Penggunaan
dekompresi nasogastrik tidak mengurangi lamanya rawat inap.
39

Menurut jurnal Baig dan Wexner dalam (Woodfork, 2017) ada


data yang bertentangan mengenai efektivitas pemberian makan pasca
operasi dini dalam mengurangi durasi ileuspasca operasi. Meskipun
beberapa penelitian menunjukkan peningkatan mual pada kelompok
makan awal, tidak ada yang menunjukkan peningkatan ileus paralitik
atau komplikasi pasca operasi pada kelompok makan awal. Sebuah
studi kecil tentang pemberian makan palsu menunjukkan bahwa pasien
yang diberi permen karet untuk dikunyah tiga kali selama hari pertama
pasca operasi mengalami durasi yang lebih pendek dari ileus pasca.
Menurut Summers dalam (Woodfork, 2017) Enema lembut
mungkin berguna dalam mengevakuasi usus bagian distal pada kasus
pseudoobstruksi kolon akut (sindrom Ogilvie). Radiografi yang sering
harus dilakukan untuk memantau diameter kolon. Paling umum
kondisi ini hilang secara spontan dengan pengobatan non-invasif
suportif. Sering dinyatakan bahwa penanganan pseudoobstruksi kolon
akut non-invasif dapat dilanjutkan sampai diameter kolon mencapai 12
cm, di mana terdapat risiko tinggi perforasi kolon yang menyebabkan
sepsis fatal. Namun, diameter yang berkembang pesat dapat
memberikan korelasi yang lebih baik dengan risiko perforasi yang
akan datang, seperti juga durasi pelebaran kolon. Dalam kondisi ini,
intervensi bedah dapat diindikasikan. Paling umum, deflasi
kolonoskopi digunakan. Meskipun prosedur ini memiliki tingkat
keberhasilan 75-100%, prosedur ini berisiko menyebabkan perforasi
usus besar, terutama pada usus besar yang tidak dipersiapkan dengan
baik. Biaya bedah lebih sering digunakan di masa lalu untuk
mengobati kondisi ini dan mungkin masih diindikasikan untuk
beberapa pasien.
Menurut jurnal Baig dan Wexner dalam (Woodfork, 2017) Ada
sedikit cara farmakoterapi untuk ileus paralitik. Banyak agen yang
digunakan untuk merangsang motilitas usus dalam kondisi seperti
gastroparesis tidak efektif atau minimal efektif pada penderita
40

ileusparalitik. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa


metoclopramide,sebuah dopamin D2 dan serotonin 5-HT3 reseptor
antagonis dan 5-HT4 reseptor agonis, tidak efektif dalam
memperpendek durasi ileus pasca operasi. Erythromycin, agonis
reseptor motilin yang menstimulasi aktivitas kontraktil dari saluran
gastrointestinal bagian atas tampaknya juga tidak efektif. Bethanechol,
agonis reseptor kolinergik muskarinik, memiliki aktivitas prokinetik
minimal di ileus dan menghasilkan efek samping kolinergik yang
signifikan.
Nama Agen Penjelasan
Neostigmin Sebuah penghambat asetilkolinesterase,
meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis. Dengan
menghambat pemecahan asetilkolin, neostigmin
memfasilitasi neurotransmisi kolinergik di saluran
cerna, merangsang motilitas saluran cerna. Sebuah
studi pada pasien dengan sindrom Ogilvie
mengungkapkan bahwa neostigmin yang diberikan
secara intravena (2 mg) menghasilkan evakuasi
flatus atau feses yang cepat pada 91% pasien,
dengan waktu rata-rata untuk lewat 4 menit Ponec
et al dalam (Woodfork, 2017).
8. Komplikasi
Menurut jurnal [CITATION Mad16 \l 1033 ] Komplikasi pada ileus
paralitik ini biasa nya disebabkan karena adanya peningkatan IAP
yang mengakibatkan hipertensi intra-abdominal berkelanjutan dan
komplikasi ini mempengaruhi terjadinya disfungsi organ multipel yang
terdiri dari beberapa organ tubuh seperti :
1) Refluks / aspirasi gastroduodenal
Menurut Ewig et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Gangguan
motilitas dan gangguan propulsi isi usus menyebabkan refluks
cairan usus dari usus kecil kembali ke lambung dan meningkatkan
41

residu lambung. Konsekuensinya adalah kolonisasi lambung


dengan bakteri usus, peningkatan mikroorganisme ke
kerongkongan dan ke dalam faring dan aspirasi 'diam' ke dalam
pohon trakeobronkial. Hal ini, bersamaan dengan muntah dan
aspirasi yang berlebihan, meningkatkan risiko terjadinya
pneumonia
2) Pengambilan cairan / hypovolemia
Menurut Nellgard et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Semua
jenis ileus dikaitkan dengan efek yang sangat besar pada
keseimbangan cairan tubuh. Setidaknya pandangan konvensional
dari obstructive ileus menyatakan bahwa peningkatan distensi dan
peningkatan intraluminal dan / atau IAP secara bersamaan
mengganggu perfusi usus, mengganggu mikrosirkulasi (terutama
sistem vena pasca kapiler) dan pada akhirnya mengakibatkan
sekuestrasi cairan ke dalam dinding usus dan ke dalam usus.
lumen. Selain itu, pada ileus obstruktif juga terjadi perkembangan
peradangan yang mendalam pada dinding usus yang mendorong
hilangnya cairan ke dalam ruang luminal. Pada ileus paralitik
perfusi mukosa meningkat — setidaknya pada tahap awal dan
tanpa adanya peningkatan IAP — oleh reaksi inflamasi pada
dinding usus. Cairan ini ke dalam 'ruang ketiga' dapat
menyebabkan beberapa liter, dapat menyebabkan hipovolemia dan
gangguan peredaran darah, dan dapat menyebabkan atau
memperburuk berbagai konsekuensi sistemik ileus.
Penatalaksanaan cairan dan peredaran darah sangat penting untuk
mencegah komplikasi ini dan dengan demikian menjadi landasan
dalam terapi pasien dengan ileus (lihat di bawah).
3) Pertumbuhan berlebih bakteri
Menurut Marshall et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Baik ileus
obstruktif dan paralitik berhubungan dengan perubahan flora usus,
dengan pertumbuhan berlebih dari bakteri, terutama Escherichia
42

coli. Dengan kerusakan efek perlindungan lapisan mukus


gastrointestinal, mikro-organisme dan / atau endotoksin /
eksotoksin dapat menempel atau menyerang mukosa,
menyebabkan peradangan mukosa, dan meningkatkan perfusi
mukosa dan hipersekresi.
Pemberian antibiotik secara bersamaan dan / atau tidak memadai
dapat mendorong seleksi bakteri dan pertumbuhan berlebih. Hal ini
akan menyebabkan diare atau kolitis yang diinduksi oleh
antibiotik, tetapi juga menjadi faktor penting dalam mendorong
translokasi bakteri. Dalam konteks ini saluran gastrointestinal juga
disebut sebagai 'abses yang tidak terkendali. Hubungan erat antara
kolonisasi gastrointestinal dan evolusi infeksi invasif telah
dibuktikan. Ini juga membentuk dasar pemikiran untuk prosedur
lavage usus untuk mengurangi pertumbuhan bakteri yang
berlebihan.
4) Translokasi bakteri
Menurut Wilmore et al & Deitch et al [ CITATION Mad16 \l 1033 ]
Istilah translokasi menunjukkan permeasi mikroorganisme yang
dapat hidup (bakteri, virus, jamur), fragmen mikroorganisme
(endotoksin) atau makromolekul melalui dinding usus yang utuh
atau terluka ke dalam sistem limfatik dan / atau sirkulasi vena usus.
Translokasi menyajikan mekanisme fisiologis penting untuk
presentasi antigen ke sistem kekebalan; ini mendorong pematangan
sistem kekebalan dan evolusi toleransi kekebalan, yang diperlukan
untuk menimbulkan respons inflamasi yang memadai terhadap
infeksi. Translokasi, bagaimanapun, dapat menjadi fenomena
patologis jika jenis atau jumlah bakteri usus tidak normal dan / atau
fungsi penghalang dari dinding usus terganggu dan / atau
imunokompetensi sistemik organisme terganggu. Hal ini akan
mengakibatkan tumpahan mikroorganisme ke dalam sistem
limfatik (dan melalui vena kava superior ke dalam sirkulasi dan
43

paru-paru) dan / atau ke dalam sirkulasi portal dan hati dan


akhirnya mendorong evolusi infeksi sistemik dan septikemia,
masing-masing (hipotesis usus' dari sepsis).
5) Kardiovaskular
Menurut Cheatham et al dalam (Woodfork, 2017) Peningkatan IAP
dan peningkatan tekanan intratoraks secara bersamaan
menyebabkan penurunan curah jantung yang progresif. Pada pasien
dengan peningkatan IAP, aliran balik vena, pengisian jantung,
kepatuhan ventrikel, dan kontraktilitas semuanya terpengaruh.
Pada model hewan, peningkatan IAP dari 15 menjadi 20 dan
menjadi 25 mmHg menghasilkan penurunan curah jantung yang
bergradasi masing-masing 14, 21 dan 35%. Pada pasien ICU
medis, dekompresi abdomen non-bedah mengakibatkan penurunan
yang signifikan pada tekanan vena sentral, tekanan baji kapiler
paru, dan tekanan arteri pulmonalis. Pada saat yang sama, curah
jantung dan tekanan arteri rata-rata meningkat secara signifikan.
Setidaknya pada tahap hipertensi abdomen yang lebih ringan,
tekanan arteri rata-rata tidak terpengaruh karena peningkatan
kompensasi pada resistensi vaskular sistemik. Status volume pasien
adalah yang paling penting dalam memodulasi efek - yang lebih
jelas terlihat pada hipovolemia. Pembebanan volume danperedaran
darah dukunganadalah manuver terapeutik sentral untuk
mengurangi konsekuensi sistemik. Banyak, tetapi tidak semua,
keterlibatan organ yang tercantum di bawah ini merupakan
konsekuensi dari penurunan curah jantung.
6) Usus
Menurut Sugure et al & Ivatury et al dalam [ CITATION Mad16 \l
1033 ] Usus merupakan organ yang paling sensitif terhadap
peningkatan IAP. Penurunan aliran darah mesenterika selanjutnya
mengganggu fungsi pertahanan usus dan meningkatkan translokasi
bakteri (lihat di atas). Pengukuran pH intramucosal dengan
44

tonometri lambung pada pasien hipertensi abdomen menunjukkan


penurunan pH dengan peningkatan IAP. Pada pasien dengan
trauma abdomen dan peningkatan IAP intramucosal pH meningkat
75% setelah dekompresi abdomen. Ketika IAP dinaikkan di atas 15
mmHg perfusi splanknikus menurun, mengakibatkan hipoperfusi
viseral dan pembengkakan dilatasi usus. Hipovolemia yang sudah
ada sebelumnya, curah jantung yang rendah dan terapi katekolamin
dengan efek negatif pada aliran darah splanknikus dapat
memperburuk disfungsi usus pada pasien dengan hipertensi intra-
abdominal. Manuver terapeutik harus ditujukan terutama untuk
memelihara fungsi usus pada pasien perawatan intensif.
7) Hepatik
Menurut Diebel et al & Biancofiore et al dalam [ CITATION Mad16 \l
1033 ] Peningkatan IAP merusak baik perfusi hati dan Portal aliran
darah vena. Pada model hewan, peningkatan IAP hingga 10 mmHg
menyebabkan penurunan akut aliran darah arteri hepatik sebesar
39%. Gangguan aliran darah hati selama peningkatan IAP dapat
diperburuk oleh hipovolemia. Dalam penelitian terbaru, hipertensi
intraabdomen dengan IAP . 25 mmHg ditemukan pada 32% dari
108 pasien setelah transplantasi hati ortotopik dan dikaitkan
dengan gagal ginjal, penundaan penyapihan pasca operasi dari
ventilasi, dan mortalitas yang lebih tinggi. Setelah dekompresi
abdomen, misalnya dengan paracentesis pada pasien sirosis, aliran
darah hati meningkat. Oleh karena itu, paracentesis berulang
mungkin bermanfaat pada pasien dengan gagal hati dan dapat
mencegah disfungsi organ. Lebih lanjut, IAP dapat meningkatkan
hipertensi portal vena pada pasien sirosis dan mungkin
bertanggung jawab atas episode perdarahan dari varises esofagus.
8) Pulmonal
Menurut Schien et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Peningkatan
IAP juga mengakibatkan peningkatan progresif dalam tekanan
45

intratoraks dan memiliki konsekuensi untuk pola fungsi pernapasan


yang luas. Peningkatan IAP menyebabkan peningkatan diafragma
dengan kompresi parenkim paru secara bersamaan dan penurunan
kapasitas residu fungsional secara berturut-turut. IAP juga dapat
mempengaruhi mekanisme paru-paru dan dinding dada dengan
penurunan komplians paru — yang mendorong terjadinya
atelektasis dan peningkatan pirau intrapulmonal. Bahkan
peningkatan IAP yang moderat menghasilkan peningkatan yang
signifikan pada tekanan alveolar puncak dan dataran tinggi dan
secara negatif memengaruhi pertukaran gas — dan yang terakhir,
namun tidak kalah pentingnya, kerja pernapasan. Pada pasien
dengan ventilasi mekanis, dekompresi abdomen menyebabkan
peningkatan tiba-tiba pada tekanan alveolar, komplians paru, dan
oksigenasi arteri. Misalnya, pada pasien trauma, laparotomi
dekompresi menyebabkan peningkatan paru kepatuhan dari 26
menjadi 36 ml / cm / H2O dengan penurunan tekanan saluran napas
puncak yang signifikan dari 49 menjadi 20 cm H2O. Hal ini
menghasilkan peningkatan signifikan pada Pao2/ FiO2. Pasien
dengan ventilasi mekanis dengan hipertensi abdomen memerlukan
tingkat tekanan saluran napas yang lebih tinggi untuk perekrutan
alveolar. PEEP terbaik untuk pasien ini untuk menjaga paru tetap
terbuka tampaknya lebih tinggi daripada pasien tanpa hipertensi
intraabdomen. Disarankan bahwa PEEP pada pasien dengan
hipertensi perut dipertahankan minimal 2 cm H2O lebih tinggi dari
IAP diukur. Terutama pada pasien obesitas dengan nilai dasar IAP
yang lebih tinggi, efek negatif dari hipertensi abdomen lebih
terlihat. Pada pasien yang bernapas spontan dengan hipertensi
intraabdomen, volume paru dan oksigenasi juga berkurang dan
kerja pernapasan meningkat. Oleh karena itu, pasien yang bernapas
spontan dengan peningkatan IAP setelah ekstubasi harus
dipertahankan dalam posisi setengah terlentang untuk menurunkan
46

diafragma dan untuk mengurangi kompresi parenkim paru,


sehingga meningkatkan oksigenasi arteri dan memfasilitasi
pernapasan spontan.
9) Ginjal
Menurut Firth et al & Doty et al [ CITATION Mad16 \l 1033 ] Selama
bertahun-tahun telah diketahui bahwa peningkatan IAP
menyebabkan gangguan fungsi ginjal. Peningkatan dari atas 10
mmHg menyebabkan penurunan progresif aliran darah ginjal,
filtrasi glomerulus, dan output urin. Selain itu, proteinuria
berkorelasi dengan tekanan vena ginjal dan IAP. Beberapa faktor
dapat berkontribusi: tekanan vena ginjal, yang menyebabkan
peningkatan sistem renin-angiotensin- aldosteron, kompresi
langsung ginjal, dengan peningkatan resistensi vaskular, penurunan
curah jantung dan berpotensi juga kompresi ureter. Faktor
endokrin, seperti peningkatan output simpatis dan peningkatan
sekresi hormon antidiuretik non-osmotik, juga dapat terlibat. Gagal
ginjal akut yang berkembang adalah komplikasi yang paling serius.
Telah sering ditunjukkan bahwa perkembangan gagal ginjal akut
pada pasien yang sakit kritis merupakan penentu utama
kelangsungan hidup.
10) Neurologis
Menurut Bloomfield et al dalam [ CITATION Mad16 \l 1033 ]
Hipertensi intra-abdominal dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial dengan penurunan aliran darah otak dengan
obstruksi fungsional dari sistem vena jugularis. IAP meningkatkan
tekanan intratoraks, mengakibatkan peningkatan tekanan vena
sentral dengan stasis vena. Karena volume intrakranial dibatasi
oleh tulang tengkorak, hipertensi intra-abdominal menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial yang akut dan segera serta
penurunan tekanan perfusi serebral. Studi dalam model babi telah
menunjukkan bahwa peningkatan IAP hingga 25 mmHg
47

menghasilkan peningkatan tekanan intrakranial dari 7 menjadi 21


mmHg dengan penurunan bersamaan dalam tekanan perfusi otak
dari 82 menjadi 62 mmHg. Secara khusus, fenomena ini juga telah
diamati pada pasien dengan trauma perut dan kepala multipel.
Lebih lanjut, hipertensi intraabdomen yang disebabkan oleh
pembedahan laparoskopi diagnostik mengakibatkan peningkatan
akut pada tekanan intrakranial pada pasien dengan trauma kepala.
Hipertensi intraabdomen akut juga dapat menyebabkan kerusakan
neurologis pada pasien trauma tanpa tanda-tanda trauma kepala
yang jelas. Penurunan tekanan perut dengan laparotomi
dekompresi menunjukkan perbaikan tekanan intrakranial pada
trauma kepala yang parah.
9. Operasi Laparotomi
Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan pada selaput
abdomen, membuka selaput yang membuat irisan vertikal besar pada
dinding perut ke dalam rongga perut operasi yang di lakukan pada
daerah abdomen. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan
merasakan organ dalam membuat diagnosis apa yang salah. Bedah
dilakukan di daerah abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik
sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan
pada bedah digestifdan perkemihan. (Aap et al., 2017)
Adapun tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan
teknik laparatomi adalah herniotomi, gasterektomi,
kolesistoduodenostomi, hepatorektomi, splenoktomi, apendektomi,
kolostomi, hemoroidektomi dan fistuloktomi. Sedangkan teknik bedah
perkemihan dengan teknik laparatomi adalah nefrektomi dan
ureterostomy.
a) Persiapan klien di unit perawatan
a) Persiapan fisik
Persiapan fisik pre operasi yang dialami oleh pasien dibagi
dalam 2 tahapan, yaitu persiapan di unit perawatan dan
48

persiapan di ruang operasi.Berbagai persiapan fisik yang harus


dilakukan terhadap pasien sebelum operasi antara lain sebagai
berikut:
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan
pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi
identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu,
riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap,
antara lain status hemodinamika, statuskardiovaskuler, status
pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin,
fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien harus
istirahat yang cukup, karena dengan istirahat dan tidur yang
cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh
lebihrileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat
hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan bagi pasien
wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal.
2) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan
dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar
protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan
nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus dikoreksi
sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup
untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi burukdapat
mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca
operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama
dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering
terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya
jahitan sehingga luka tidak bisa menyatu), demam dan
penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius
pasien dapat mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan
kematian.
49

3) Keseimbangan cairan dan elektrolit


Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
input dan output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit
serum harus berada dalam rentang normal. Kadar elektrolit
yang biasanya dilakukan pemeriksaan diantaranya adalah
kadar natrium serum (normal : 135 -145 mmol/l), kadar
kalium serum (normal : 3,5 –5 mmol/l) dan kadarkreatinin
serum (0,70 –1,50 mg/dl). Keseimbangan cairan dan
elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal
berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi
metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka
operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal
mengalami gangguan seperti oliguri/anuria, insufisiensi
renal akut, dan nefritis akut,maka operasi harus ditunda
menunggu perbaikan fungsi ginjal, kecuali pada kasus-kasus
yang mengancam jiwa.
4) Kebersihan lambung dan kolon
Khusus pada pasien yang membutuhkan operasi CITO
(segera), seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas, maka
pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara
pemasangan NGT (naso gastric tube).
5) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk
menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan
pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat
menjadi tempat bersembunyi kuman dan juga
mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan
perawatan luka.
6) Personal hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan
operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber
50

kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang


dioperasi. Pada pasienyang kondisi fisiknya kuat dianjurkan
untuk mandi sendiri dan membersihkan daerah operasi
dengan lebih seksama. Sebaliknya jika pasien tidak mampu
memenuhi kebutuhan personal hygiene secara mandiri maka
perawat akan memberikan bantuan pemenuhan kebutuhan
personal hygiene
7) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengongan isi bladder
tindakan kateterisasi juga diperlukanuntuk mengobservasi
balance cairan
8) Latihan praoperasi
- Latihan nafas dalam
Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien
untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat
membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih
mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat
meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga
dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah
setelah anastesi umum
- Latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien
terutama klien yang mengalami operasi dengan anstesi
general. Karena pasien akan mengalami pemasangan
alat bantu nafas selamadalam kondisi teranestesi.
Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak
nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir
kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat
bermanfaat bagi pasien setalah operasi untuk
mengeluarkan lendir atau sekret tersebut
51

- Latihan gerak sendi


Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi
pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera
melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk
mempercepat proses penyembuhan.
b) Persiapan penunjang
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil
pemeriksaan penunjang, maka dokter bedah tidak mungkin bisa
menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien.
Pemeriksaan penunjang yang dimaksud adalah berbagai
pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan lain
seperti ECG, dan lain-lain. Sebelum dokter mengambil
keputusan untuk melakukan operasi pada pasien, dokter
melakukan berbagai pemeriksaan terkait dengan keluhan
penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan penyakit
yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan bahwa
pasien harus operasi maka dokter anestesi berperan untuk
menentukan apakahkondisi pasien layak menjalani operasi.
Untuk itu dokter anestesi juga memerlukan berbagai macam
pemeriksaan laboratorium terutama pemeriksaan masa
perdarahan (bledding time) dan masa pembekuan (clotting time)
darah pasien, elektrolit serum, Hemoglobin, protein darah, dan
hasil pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG.
c) Pemeriksaan status anestesi
Pemeriksaaan status fisik untuk dilakukan pembiusan
ditujukanuntuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum
dilakukan anestesi demi kepentingan pembedahan, pasien akan
mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk
menilai sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri pasien.
Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah pemeriksaan dengan
52

menggunakan metode ASA (American Society of


Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena obat dan
teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu fungsi
pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf.
d) Informed concent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang
terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan
aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu
Informed Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus
menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun
mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan
menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan
persetujuan dilakukan tindakan medis (pembedahan dan
anestesi)
e) Persiapan mental atau psikis
Masalah mental yang biasa muncul pada pasien preoperasi
adalah kecemasan. Maka perawat harus mengatasi permasalahan
yang sedang dihadapi klien.Perawat perlu mengkaji mekanisme
koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi
stres.Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa
digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah
ketakutan dan kecemasan preoperasi, seperti adanya orang
terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor
pendukung/support system.
f) Obat-obatan premedikasi
Sebelum operasidilakukan pada esok harinya. Pasien akan
diberikan obat-obatan premedikasi untuk memberikan
kesempatan pasien mendapatkan waktu istirahat yang cukup.
Obat-obatan premedikasi yang diberikan biasanya adalah valium
atau diazepam. Antibiotik profilaksis biasanya diberikan
sebelum pasien dioperasi. Antibiotik profilaksis yang diberikan
53

dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi selama


tindakan operasi, antibiotika profilaksis biasanya diberikan 1-2
jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan pasca bedah 2-3
kali
g) Peran perawat preoperative
a. Membina hubungan terpeutik, memberi kesempatan pada
klien untuk menyatakan rasa takut dan perhatiannya terhadap
rencana operasi
b. Melakukan sentuhan untuk menunjukkan adanya empati dan
perhatian
c. Menjawab atau menerangkan tentang berbagai prosedur
operasi
d. Meningkatkan pemenuhan nutrisi dan hidrasi
e. Mengajarkan batuk dan nafas dalam
f. Mengajarkan manajemen nyeri setelah pembedahan
g. Mengajarkan latihan lengan dan ambulasi
h. Menerangkan alat –alat yang akan digunakan oleh klien
selama operasi.Sehari sebelum operasi
i. Memberikan dukungan emosional, menjawab pertanyaan
dan memberikan dukungan spiritual bila diperlukan
j. Melakukan pembatasan diet pre operasi
k. Menyiapkan kebutuhan eliminasi selama dan setelah
pembedahan
l. Mencukur dan menyiapkan daerah operasi. (Aap et al.,
2017)

C. Pengaruh Perforasi Gaster, Peritonitis, Dan Ileus Paralitik Terhadap


Gangguan Hemodinamik
Hemodinamik adalah aliran darah dalam system peredaran tubuh kita
baik melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva
(sirkulasi dalam paru-paru). Monitoring hemodinamik adalah pengamatan
54

parameter fisiologi dari sistem kardiovaskular, dibutuhkan untuk pasien yang


dirawat di unit perawatan intensif karena ketidakstabilan hemodinamik yang
menyebabkan ketidak seimbangan antara pengiriman dan permintaan oksigen.
Ketidakstabilan hemodinamik ini didasari atas 3 kelainan hemodinamik
utama, yaitu perubahan volume sirkulasi (hipovolemia), disfungsi jantung dan
perubahan tonus vaskular (misalnya syok vasoplegik pada sepsis) yang akan
mengakibatkan disfungsi organ, gagal multi organ, dan akhirnya kematian.
Parameter hemodinamik yaitu sebagai berikut:
1. Mean arterial pressure (MAP) atau tekanan arteri rata-rata
Mean arterial pressure adalah tekanan arteri rata-rata selama satu siklus
denyutan jantung yang didapatkan dari pengukuran tekanan darah systole
dan tekanan darah diastole. Niai normal dari MAP adalah berkisar antara
70-100 mmHg. Sedangkan mean arterial pressure didapatkan dari rumus
sebagai berikut:
MAP = (S + 2D)/3
Keterangan:
S = Tekanan darah sistolik
D = Tekanan darah diastolik
Pasien dengan peritonitis dapat menyebabkan komplikasi salah satunya
infeksi yang menyebar ke dalam darah dan seluruh tubuh (sepsis). Kondisi
ini bisa menyebabkan tekanan darah menurun drastic (syok sepsis)
2. Saturasi oksigen
Menurut Potter & Perry, 2005 dalam Andriani, A., & Hartono, R. (2013).
Nilai saturasi oksigen penting untuk dipantau karena dapat menunjukan
keadekuatan oksigenasi atau perfusi jaringan pasien dan menurunnya
saturasi oksigen akan menyebabkan kegagalan dalam tranportasi oksigen,
karena oksigen dalam tubuh sebagian besar terikat oleh haemoglobin dan
terlarut dalam plasma darah dalam jumlah kecil. Nilai normal saturasi
oksigen adalah 95 % - 100%. (Andriani & Hartono, 2013)
3. Frekuensi Pernapasan
55

Frekuensi pernapasan atau RR pada pasien yang menggunakan ventilasi


mekanik pada batas atas dan bawah. Batas bawah ditentukan pada nilai
yang dapat memberikan informasi bahwa pasien mengalami hipoventilasi
dan batas atas pada nilai yang menunjukan pasien mengalami
hiperventilasi. Frekuensi pernafasan normal pada usia neonatus: 30-
60x/menit, 1bulan-1 taun: 30-60xmenit, 1-2tahun : 25- 50x/menit, 3-4
tahun: 20-30x/mnt, 5-9 tahun dan usia lebih dari 10 tahun : 15-30x/menit.
Pada pasien dewasa lebih sering digunakan 12- 24x/mnt. Pada pasien
peritonitis terdapat cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong
diafragma mengakibatkan kesulitan bernafas sehingga frekuensi nafas
meningkat. (Warsinggih, 2016)
4. Frekuensi denyut nadi
Perhitungan denyut jantung dilakukan dengan alat bantu monitor. Nilai
normal denyut nadi pada orang dewasa adalah 60-100x/menit. Pada kasus
peritonitis Takikardi terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi.
5. Capillary Refill Time (CRT)
Menurut (Fergusson, 2008) Capillary Refill Time (CRT) adalah tes yang
dilakukan cepat pada daerah dasar kuku untuk memonitor dehidrasi dan
jumlah aliran darah ke jaringan
6. Penilaian Laju Serebral
Perubahan status mental, seperti perburukan tingkat kesadaran, konfusi
(bingung), agitasi, dan letargi, merupakan penentu penting pada perfusi
serebral dan adanya syok.(Fergusson, 2008)
Berikut dibawah ini merupakan mekanisme pengaruh perforasi gaster,
peritonitis, dan ileus paralitik terhadap gangguan hemodinamik.
Konsumsi makanan pedas
Telat makan dan asam
56

Menghambat Sintesis
Konsumsi obat
MAAG kerja cox 2 leukotrien
warung
Eksresi molekul adhesi
Minum jamu Pengaruh anti platelet
NSAID intraceluller molecule 1
yang minimal
Efek toksis Menghambat kerja cox 1
Tromboksan A2 Menyebabkan aktivasi
merusak mukosa
tetap aktif neutrophil endotheal
lambung
Mengganggu sintesis prostaglandin
Agresi
trombosit
Mengalami penurunan pada Merusak
Terganngunya
Sekresi mucus, Sekresi HCO3-, integritas
poliferasi epitel Mikrotrombus
dan Aliran darah ke lambung lambung

Perlengketan
neutrofil
Pelepasan mediator nyeri Lesi akut Aliran darah ke
(histamin, bradykinin, mukosa lambung menurun
prostaglandin, serotonin, lambung dan radikal bebas
ion kalium dll oksigenasi meningkat

Nosiseptor
Pembentukan erosi gastrointestinal Menembus semua Perforasi gaster
dan ulkus peptikum (lambung & lapisan mukosa
Dihantar serabut tipe
usus)
AD dan serabut tipe C
Peritonitis / infeksi
rongga abdomen
Medulla spinalis Pembentukan jaringan parut Perdarahaan

Obstruksi lambung Anemia Kehilangan sejumlah Hipotensi


Berlanjut tidak
Hipotalamus dan dan usus halus hemoragik besar cairan
tertangani
system limbik
57

Distensi lambung Kehilangan komponen Transport o2 Dehidrasi Aliran darah ke


Otak (kortek vaskuler menurun ginjal menurun
somatosensorik)
Perasaan penuh
Penurunan resistensi Hipovolemia
Kebutuhan o2 GFR menurun
Persepsi nyeri perifer
tidak terpenuhi
Mual / muntah
Oliguria
Syok Hipoksia sel
Nyeri akut dan jaringan
Resiko kekurangan hipovolemik
Gangguan
volume cairan
Metabolisme eliminasi urine
anaerob

Penurunan pembentukan
ATP dan peningkatan asam
laktat jaringan
Tekanan intra
Mendesak lambung
abdominal
Intoleransi aktivitas /
keletihan HCL meningkat
Menekan
diagfragma
Merangsang pusat
muntah
dihipotalamus Penurunan ekspansi
paru
Mual /muntah
Sesak nafas

Nausea
Pola nafas tidak
efektif
58

D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Perforasi Gaster + Illeus


Paralitik Dengan Pneumoperitonitis Di Ruang Intensif Care Unit
1. Peran Perawat ICU
Menurut (Suprihatin, 2015) ada beberapa Tugas Perawat ICU yaitu
sebagai berikut.
a. Memberikan Asuhan keperawatan secara holistik meliputi aspek Bio,
Psiko, Sosial dan spiritual
b. Melaksanakan semua tindakan keperawatan dan pemantauan klien
c. Melaksanakan tugas limpahan tindakan medik sesuai dengan rencana
pengelolaan klien
d. Dalam keadaan darurat dapat memberikan pertolongan pertama sesuai
dengan kaidah –kaidah Resusitasi Kardiopulmoner Penunjang Hidup
Dasar dan Lanjut (Basic and Advanced Life Support)
e. Melaporkan kepada dokter ICU atau dokter jaga ICU tentang
perubahan keadaan klien yang dirawat
f. Menulis dan mencatat setiap tindakan yang dilakukan di pada status
klien.
g. Melakukan timbang terima secara menyeluruh pada setiap pergantian
tugas.
h. Membuat laporan inventaris kliendan tindakan keperawatan setiap
hari.
i. Ikut menjaga dan bertangguang jawab agar semua peralatan medik
maupun non medik di ICU berada dalam kondisi prima dan siap
pakai.
j. Sebagai anggota tim medik wajib menjaga agar policy, prosedur
perawatan dan pengendalian infeksi tetap ditegakan dan dilaksanakan
dengan baik.
k. Pengaturan jaga di ICU dilakukan oleh penanggung jawab urusan
SDM ICU.
2. Konsep Asuhan Keperawatan
59

Menurut (Agustini, 2017) konsep asuhan keperawatan yang dapat


dilakukan adalah sebagai berikut.
a. Pengkajian
1) Aktivitas istirahat
 Gejala : kelemahan
 Tanda : kesulitan ambulasi
2) Sirkulasi
 Gejala : takikarddi , berkeringat , pucat , hipotrensi , (tanda
syok)
 Tanda : edema jaringan
3) Eliminasi
 Gejala : ketidakmampuan defekasi dan flaktus , diare (kadang
kadang)
 Tanda : cengkukan ditensi abdomen, penulunan haluaran urine ,
warna gelap , penurunan atau tidak ada bising usus kekuan
abdomen
4) Makanan
 Gejala : anoreksia mual muntah haus.
 Tanda : muntah proyektil membran mukosa kering , lidah
bergerak tugor kulit buruk.
5) Nyeri/keamanan
 Gelaja : nyeri abdomen tiba tiba berat, umum, menyebar ke
bahu , terus menerus oleh gerakan.
6) Pernapasan
 Tanda : peernafasan dangkal , takipnea
7) Keamanan
 Gejala : riwayat inflamasi organ pelvic , infeksi pasca
melahirkan
b. Diagnosa keperawatan
Pre operasi:
60

a. Hipertemi b.d respon terhdap trauma (proses peradangan pada


peritoneum)
b. Nyeri akut b.d iritasi kimia petitoneum (distensi abdomen)
c. Gangguan pola tidur b.d gangguan rasa nyaman nyeri
d. Kontipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
Post operasi:
a. Hipertemi peningktan metabolisme post op laparatomi
b. Nyeri berhubungan agen cedera fisik post op laparatomi
c. Intoleransi aktifitas berhubungan bergerak akibat dari respon nyeri
dan infasive.
BAB III
TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus
PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien

Nama Pasien Tn. M


Tgl. Lahir 20 Mei 1975
Jenis Kelamin √ Laki-laki Perempuan
Pendidikan SD SMP
√ SMA/SMK Diploma
Sarjana Lainnya……………….

Pekerjaan Buruh pabrik


No. RM 692901
Alamat Desa Neglasari, Soreang Bandung
Tgl/jam masuk ICU 10 Agustus 2019, Pkl 00.30 WIB
Tanggal Pengkajian 10 Agustus 2019, Pkl 07.30 WIB
Sumber Data √ Pasien √ Keluarga
Rekam Medik ………………………
Rujukan Ya √ Tidak
Bila (ya) dari RS……………………………………………
Puskesmas …………………………………..
Dokter praktek ………………………………
Diagnosis rujukan ……………………………………………
Penanggung jawab Ny. T
Hubungan dengan pasien Istri
Alamat Desa Neglasari, Soreang Bandung

2. Anamnesa

a. Keluhan Utama
Keluhan nyeri √ Ya Tidak
Area/lokasi : abdomen Skala nyeri : 7 (1-10)
62

Klien merasakan nyeri pada seluruh kuadran abdomen, terutama bila


permukaan abdomen disentuh. Nyeri juga dirasakan bertambah saat merubah
posisi tidur. Pasien lebih nyaman bila posisi tidur terlentang, kaki diganjal
bantal dibawah lutut sehingga kaki agak menekuk, karena posisi kaki lurus
menambah regangan pada abdomen sehingga terasa sangat nyeri. Selain nyeri
karena regangan, pasien juga merasakan nyeri bagian dalam abdomen terasa
panas seperti rasa terbakar, membuat tidak enak pada mulut dan terasa mual.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Kronologis pasien masuk rumah sakit
Pasien merasa nyeri ulu hati sejak satu minggu yang lalu, terasa perih dan
terasa kembung. Karena pasien sudah merasa biasa jadi cukup membeli
obat warung saja. Sebelumnya pasien mengaku sering nyeri ulu hati tapi
tidak terlalu parah. Tapi untuk kali ini, setelah minum obat dari warung
tidak mengalami perbaikan malah nyeri semakin parah. Selama satu
minggu di rumah pasien muntah muntah terus hingga tidak masuk makan
dan minum sama sekali. Lama kelamaan nyeri ulu hati disertai sesak dan
juga BAB berwarna hitam, mual dan muntah. Akhirnya pasien dibawa ke
UGD oleh keluarganya.
2) Kronologis penanganan saat di IGD
Pkl 08.00 pasien datang ke IGD dengan kondisi gelisah, sesak, pucat,
mengeluh nyeri abdomen, teraba kembung, mual dan muntah darah. TTV
80/60 mmHg, HR 113 x/menit, RR 28 x/menit, Suhu 36,5ºC, saturasi 94%.
Diberikan tindakan pemasangan oksigen 3 liter permenit BC, dipasang
NGT decompresi, cairan warna merah kehitaman, guyur cairan NaCl 0,9%
2000 cc dalam 1 jam, dan terapi obat ceftriaxone 1 gr IV, pemasangan
63

cateter urine, dan pemeriksaan foto thoraks dan BNO 3 sisi, hasil ;
perforasi gaster, dan dijadwalkan untuk melakukan oprasi cito tapi pasien
harus masuk ICU dulu.
3) Riwayat pembedahan dan anestesi (bila dari OK)
Belum dilakukan pembedahan.
4) Riwayat PQRST saat dilakukan pengkajian
Pada saat dikaji di ICU pasien compos mentis, masih mengeluh nyeri
abdomen di semua kuadran, skala 7 (1-10), nyeri dirasakan terutama saat
merubah posisi tidur dan disentuh pada permukaan abdomen. Nyeri juga
dirasakan seperti panas di dalam, terasa terbakar sehingga merasa
mulutnya menjadi kering dan tidak nafsu makan. Pada perabaan teraba
distensi abdomen.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Pasien sering mengalami nyeri ulu hati atau terasa perih lambung apabila
terlambat makan atau makan pedas dan asam. Tapi biasanya rasa perih
tersebut akan hilang dengan menggunakan obat dari warung. Untuk menjaga
agar tidak kambuh pasien biasanya rutin minum jamu kemasan atau godogan.
Tapi lebih enak jamu kemasan karena nyerinya cepat hilang. Bekerja di pabrik
sering lembur, sehingga sering terlewat waktu makan karena pekerjaan. Pasien
perokok berat dan minum kopi sehingga lebih tahan tidak makan daripada
tidak merokok dan minum kopi.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga mengatakan bahwa tidak ada anggota yang memiliki penyakit seperti
klien dan juga penyakit menular atau tidak menular lainnya.

1. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum
Kesadaran √ Sadar Letargi Obtundasi
Stupor Koma DPO
Bila DPO, jenis obat ……………………….. Dosis obat……………………………
64

Tekanan Darah 72 /51 mmHg Frekwensi nadi 105.x/menit


Frekwensi Pernapasan 39 x/menit Suhu 38.9 ºC Saturasi 96 %
Berat Badan 39 kg Tinggi Badan 150 cm BMI …………………..
Resiko Jatuh √ Ya Tidak
Bantuan
Status Fungsional penuh Bantuan sebagian Mandiri
a. Pernapasan
Work of Breathing Minimal √ Sedang Berat
Alat bantu napas Tidak √ Ya, 3 ltr/menit
√ O2 canule Sungkup sdrhn NRM
RM Ventury Mask NIPPV/CPAP
Ventilator ETT Tracheostomi
Bila terpasang ventilator, mode setting CMV IPPV
SIMV SIMV + PS
……………………………………….
TV…….… MV….….…PEEP ….…… I : E ……………FiO2….….….Rate.….………
Jalan napas √ Bersih Sumbatan ……………..
Penyebab sumbatan Lidah jatuh Sputum Darah
EdemaLari Cairan lambung
Cairan buih Benda asing : ……………………….
Bunyi napas √ Vesikuler Ronchi Stridor
Wheezing Pada lobus mana…….…….……….
Bau napas keton Ya √ Tidak
Irama & kedalaman Dispneu Kusmaul Cheynestokes
Ortopneu
Kecepatan Eupneu Bradipneu √ Tachipneu
Apneu
Retraksi dada Simetris √ Asimetris Flial chest
Penggunaan otot bantu pernapasan Ya Tidak
Penurunan kotraksi otot pernapasan Ya √ Tidak
Peningkatan diameter anterior posterior Ya √ Tidak
Pernapasan bibir Ya Tidak
Pernapasan cuping hidung Ya √ Tidak
Posisi trachea √ Lurus Bergeser
Bila trachea bergeser, arah mana Kiri Kanan
Jejas/lebam dada Kiri Kanan
Luka terbuka dada dengan sucking wound Ya √ Tidak
Krepitasi Ya √ Tidak

b. Persarafan
FOUR Score E4 M4 B4 R4 =16 GCS Score : E4 M6 V5 =15
Riwayat sincope Ya √ Tidak
Bila (ya) berapa kali…………………….. Berapa lama sincope…………………….
Diameter pupil √ Simetris Asimetris Ki/ka….…/.….cm
Refleks cahaya Dilatasi Midriasis
65

Nyeri kepala Ya √ Tidak Skala nyeri ……..…


Merasa berputar Ya Tidak
Bila (ya) Muntah Limbung Rasa takut jatuh
Tekanan Intra Cranial (ICP)………mmHg Tekanan Perfusi Serebral ……..….mmHg
Kejang Ya Tidak
Frekwensi Kejang…………………..kali Berapa lama setiap kejang……..………..
Kaku kuduk Ya √ Tidak
Tanda dolls eyes Ya √ Tidak
Paralisis Ya √ Tidak
Bila (ya) dimana Hemiplegi Paraplegi
Kanan Kiri
Atas Bawah
Refleks √ Mengedip

c. Cardiovaskuler
Gambaran jantung Sinus Rithm Bradikardi √ takhikardi
Aritmia, bila (ya) tuliskan gambaran aritmia
…………………
Rentang Tekanan Darah 85/62mmHg 69/48mmHg
Rentang Mean Arterial Pressure (MAP) 69,6 55
Rentang Cardiac Output (CO) 8,4 6,3
Rentang Stroke Volume 8 6
Rentang Frekwensi Nadi 115 x/menit 98 x/menit
Amplitudo nadi √ Lemah Kuat
Amplitudo kiri & kanan √ sama Tidak sama
Bila amplitude nadi tidak sama, jelaskan ………………………………………………..
Irama nadi Tidak teratur √ Teratur
Akral √ Dingin Hangat
Warna kulit Sianosis √ Pucat Kemerahan
Jaundice
Konjungtiva √ Anemis Kemerahan
Diaporesis Ya Tidak Keringat dingin
CapillaryRefillTime > 2 detik √ ≤ 2 detik
Peningkatan JVP Ya √ Tidak
Bunyi Jantung S1 S2 S3/Murmur
Gallop Suara redup/menjauh
Ictus Cordis terlihat pada ICS 5 midklav kiri Ya √ Tidak
Teraba getaran melebihi midklav ICS 5 kiri Ya √ Tidak
Perdarahan Ya √ Tidak
Bila (ya), di area tubuh mana…………… Derajat kehilangan cairan……………....cc
Sindrome kompartemen Ya √ Tidak
Area syndrome kompartemen Tangan………. Kaki…………
Penyebab syndrome kompartemen Trombosis Cedera
Pembebatan ………………
d. Pencernaan
Ascites √ Tidak Ya, Lingkar perut………....cm
Distensi abdomen Tidak √ Ya Bising usus……x/m
66

Bentuk abdomen √ Simetris Asimetris


Teraba hepatomegaly √ Tidak Ya
Teraba massa √ Tidak Ya, pada kuadran…
Keluhan mual Tidak √ Ya ……………
Muntah √ Tidak Ya Proyektil
Bila (ya), jenis material Makanan Darah Cairan Lambung
Frekwensi muntah Sering Jarang ……….. x/hari
Riwayat diare √ Tidak Ya
Frekwensi BAB Sering √ Jarang ………...x/hari
Konsistensi Cair √ Lunak Darah
Tonjolan hernia √ Tidak Ya Nyeri, Skala……
Bila (ya) dimana Inguinalis Scrotalis ……………….
Konstipasi √ Tidak Ya …………….hari
Sulit Flatus Tidak Ya …………….hari
Distensi Suprapubik √ Tidak Ya Nyeri, Skala……
Pola makan melalui Oral Parenteral √ NGT

e. Perkemihan
Pola berkemih Normal √ Melalui kateter urine
Terapi diuretic Tidak Ya, jenis obat………..dosis…………
Jumlah urine 400 cc/24 jam
Warna urine kuning
Konsistensi urine ……………………….. Bau …………………………………….
Intake cairan 24 jam terakhir 1816 cc
Infus 63 cc/jam
Makan/minum PUASA
Cairan oplos obat 1380 cc
Balancing 24 jam terakhir .1628 cc
Penggunaan kateter urine lama (> 5 hari) Ya √ Tidak
Bila (ya) sudah berapa lama menggunakan kateter urine ………………………………..
Ganti kateter setiap 5 hari nomor kateter 18
Jenis bahan kateter √ Nelaton Silikon …………………
Retensi Urine √ Tidak Ya
Bila (ya) sejak kapan tidak keluar urine ……………………………………………….
Hidroneprosis √ Tidak Ya Kanan Kiri
Edema Anasarka Ekstre atas Ekstre bawah
Turgor kulit √ Baik Jelek
Irigasi kandung kemih √ Tidak Ya, hari ke….… warna…………

f. Muskuloskeletal
Kekuatan Otot ( 0 – 5) Atrofi Otot (+ / -)
67

Kontraktur sendi (+ / -)

Rentang gerak ekstremitas atas > 45º √ <45º


Rentang gerak ekstermitas bawah √ > 45º <45º
Farktur √ Tidak Ya
Jenis fraktur Terbuka Tertutup
Area fraktur Cranium Humerus Radius/ulna
Femoralis Patela Vertebra
Panggul …………………...............................
Terpasang alat Skin traksi Skeletal traksi ……………kg
Gips/bidai …………… ………………
Keluhan nyeri sendi √ Tidak Ya, area sendi……………………

g. Integumen
Luka Ya √ Tidak
Jenis luka /lesi Luka bakar Dekubitus Luka tusuk
Vulnus Gangren Abses
Kanker ……………………
Area luka/lesi decubitus/gangrene/vulnus/kanker, dll.…………………….…..……………
Luas / diameter……… Derajat ……………. Bau : ya / tidak
Warna Merah….% Kuning…....% Hitam …….%
Eksudat (+) / (-), warna ………….……...... Jumlah eksudat : banyak/sedang /sedikit

h. Kebutuhan Edukasi
Hambatan edukasi Ya √ Tidak
Faktor hambatan Kesadaran Pendengaran Penglihatan
Kognitif Status mental Bahasa
Budaya ……………………………………

i. Kondisi Psikis Dan Spiritualitas


Status Mental √ Menerima Menolak/marah Cemas/gelisah
Depresi HDR Menarik diri
Apatis …………………..…………………
Kebutuhan pendampingan √ Sesuai kebutuhan Setiap waktu
Ritual ibadah √ Bantuan Bantuan sebagian Mandiri
penuh
Jenis ibadah dibantu Thaharah Shalat Baca Al Quran
Do’a/dzikir Tausyiyah lisan ……………..
Libatkan rohaniawan √ Ya Tidak
Libatkan keluarga √ Ya Tidak
68

SKRINNING GIZI (berdasarkan Malnutrition Screening Tool / MST )


(Lingkari skor sesuai dengan jawaban, Total skor adalah jumlah skor yang
dilingkari)

No Parameter Skor
Apakah pasien mengalami penurunan berat badan yang tidak diinginkan dalam 6
1.
bulan terakhir ?
a. Tidak penurunan berat badan 0
b. Tidak yakin / tidak tahu / terasa baju lebih longgar 2

c. Jika ya, berapa penurunan berat badan tersebut


1-5 kg 1

6-10 kg 2
11-15 kg 3

> 15 kg 4
Tidak yakin penurunannya 2
2. Apakah asupan makan berkurang karena berkurangnya nafsu makan ?

a. Tidak 0

b. Ya 1

Total skor

3. BB/TB = 39 kg/150 cm BMI 17.3

4. Pasien dengan diagnosa khusus :  Tidak  Ya

5.  DM  Ginjal  Hati  Jantung  Paru  Stroke 

Kanker

6.  Penurunan  Imunitas  Geriatri  Lain-lain………………….


Rumus Harrist Benedict:
69

BMR = 66 + (13,7 X BB) + (5 X TB) – (6,8 X U)


= 66 + (13,7 X 39) + (5 x 150) – (6,8 x 45)
= 66 + (534) + (750) – (306)
= 1.044 kkal
70

j. Skoring Pasien ICU


ASPEK PENILAIN METODE INDIKATOR SKOR INTERPRETASI
15- 14 : compos mentis
Eye : 4 13- 12 : Apatis
Glasglow Coma Scale 11-10 : Delirium
Neurologi ICU Motoric : 6 15
(GCS) Score 9-7 : Somnolen
Verbal :5 6-5 : Stupor
4-3 : Comatus
HR : Heart rate (60-
100x/menit)
CO = HR x SV SV : stroke volume (60-
Cardiac ICU Cardiac Output 6,3
105 x 60 = 6300 = 6,3 l/mnt 120x/menit)
CO : curah jantung (4-
8x/menit)
DO2 = CO x CaO2 x 10
= 6,3 x 14,3 x 10
CO: curah Jantung
Delivery of Oxygen = 900,9 0,91
= 901 ml/O2 permenit
= 0,9 l/O2 permenit
Mean Arterial Pressure MAP = S + 2D/3 58 CO : Curah jantung
(MAP) = 72 +2 (51)/3 SVR : resistensi vascular
sistemik
= 72 + 102/3
CVP : tekanan vena sentral
71

ASPEK PENILAIN METODE INDIKATOR SKOR INTERPRETASI


= 58
E4 M4 B4 R4 = 16
Eye : 4
Respons mata, respons
Motorik : 4 motorik, refleks batang otak
Four Score 16
Batang otak : 4 dan pola pernafasan), dengan
skor total terdiri atas 16 poin
Respirasi : 4
(mulai 0-16)
Jenis kelamin : Laki-laki
Urea : 69
Hemoglobin : 10,1
Tekanan darah sistolik 75
mmHg
GI Bleed Blatchford Score
Nadi : 105
Melena : ada
Syncope : tidak
Penyakit hepatitis : tidak
Gagal jantung : tidak
72

2. Hasil Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
JENIS NILAI RUJUKAN TANGGAL
PEMERIKSAA 10/8/19 12/8/19 KET
N
Hb 13-18 7.7 10.1* *post transfusi
Eritrosit 4.7-6.1 2.65 4.85 PRC 4 labu
Hematokrit 45-55 23.7 42.6
Leukosit 4.500-10.000 4.000
Trombosit 150.000-450.000 268.000
Natrium 135-145 132
Kalium 3.5-5.0 4.0
Kalsium 8.8-10.4 1.07
Ureum 8-20 55 69
Creatinin 0.6-1.2 1.09

b. Pemeriksaan diagnostic
HARI / JENIS
KESAN KET
TANGGAL PEMERIKSAAN
10/08/2019 Foto rontgen Pneumoperitonitis Sebuah USG abdomen
menunjukkan area echogenic
yang berbentuk bola dan
berbatas tegas yang terletak
di peritoneum.

10/08/2019 BNO Ileus paralitic Gambaran radiologis pada


dengan peritonitis yaitu: terlihat
kekaburan pada cavum
pneumoperitontis
abdomen, preperitonial fat
dan psoas line menghilang,
dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra
peritoneal

c. Pengobatan
N Nama obat Dosis Jalur Indikasi
o
1 Raivas 0.05 mg/jam Drip IV Raivas diindikasikan untuk pengobatan
infeksi paru – paru dan sebagai terapi
tambahan henti jantung dan hipotensi
berat
2 Dobutamin 5 mcg/jam Drip IV obat yang digunakan oleh penderita
gagal jantung untuk membantu jantung
memompa darah ke seluruh tubuh.
Dobutamin diberikan ketika gagal
73

jantung yang diderita pasien sudah tidak


bisa dikompensasi oleh tubuh, yang
dapat menimbulkan turunnya tekanan
darah. Obat ini bekerja dengan
menstimulasi atau merangsang reseptor
yang berperan dalam meningkatkan
kontraksi jantung.
74

3. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1 DS : Faktor resiko : Rokok, Nyeri akut
Klien mengeluh nyeri pada Kopi, NSAID
bagian abdomen di ↓
semua kuadran Kerusakan mukosa
DO : lambung
Skala nyeri 7 (0-10) ↓
N : 105 x/menit Merangsang
RR : 39 x/menit pengeluaran histamin
wajah tampak meringis ↓
kesakitan Pengeluaran HCl dan
Nyeri dirasakan terutama peningkatan produksi
saat merubah posisi tidur pepsinogen
dan disentuh pada ↓
permukaan abdomen Peningkatan HCl

Nyeri dirasakan seperti
Degradari mukus
panas di dalam, terasa

terbakar
Iritasi mukosa lambung

Penghancuran kapiler
dan vena kecil

Perdarahan

Perforasi

Invasi bakteri ke
peritonium

Peritonitis

Proses Inflamasi:
Hiperemia Dan
Pembengkakan

Peningkatan Jaringan
Ikat Pada Tulang

Iskemia Tulang

Ketidakseimbangan
Kebutuhan Oksigen

Metabolisme anaerob

Asam Laktat
75

No Data Etiologi Masalah


Meningkat

Akumulasi K+
ekstraseluler dan H+

Mengaktifkan
nosiseptor

Persepsi Nyeri
(<3bulan)

Nyeri Akut

Nyeri Akut
2 DS: Perforasi gaster Nausea
 Nyeri abdomen yang ↓
dirasakan seperti panas di Peningkatan tekanan
dalam, terasa terbakar intra abdomen
sehingga merasa ↓
mulutnya menjadi kering Mendesak lambung
 Pasien mengeluh mual ↓
 Pasien tidak nafsu makan HCL meningkat
DO : ↓
 Pasien pucat Afferent vagal fibers
 Pasien takikardi dengan (reseptor serotinin) dan
nadi = 105x/menit splanchnic fibers dari
 Distensi abdomen visera GI

Merangsang pusat
muntah
/vomiting centre di
formation reticularis
lateralis medulla
oblongata

Nausea
3 DS :Pasien merasa mulut kering Factor resiko : Resiko Syok
Merokok, kopi,
DO : NSAID
 Pasien mengeluh BAB ↓
warna hitam Menghambat kerja
 Warna kulit pucat COX
 Akral dingin ↓
 Amplitudo nadi lemah Mengganggu sintesis
 Volume urin: 400cc/24 prostaglandin
jam ↓
 DO2: 0,9 liter/menit Merusak integritas
76

No Data Etiologi Masalah


 MAP: 58 lambung
 TD : 72/51 mmHg ↓
 N : 105x/menit Lesi akut mukosa
 RR : 39x/menit lambung
 S: 38,9 oC ↓
 Hb : 10.1 g/dL Pembentukan erosi
gastrointestinal dan
 Lk: 4000 g/dL
ulkus peptikum
 Ht : 42.6 %
(lambung & usus)
 Ureum: 69

Perdarahan

Tidak tertangani

Kehilangan komponen
vaskuler

Penurunan resistensi
perifer

Resiko Syok

DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia pada pasien ini adalah berikut.
1. Nyeri akut b.d agen cedera fisiologis inflamasi
2. Nausea b.d distensi lambung dan peningkatan tekanan abdominal
3. Resiko syok b.d hipotensi; kekurangan volume cairan; sepsis berat
77

INTERVENSI KEPERAWATAN
No Masalah Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan Rasional
1 Nyeri Akut berhubungan Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nyeri Manajemen Nyeri
dengan agen cedera keperawatan selama 3 x 24 Observasi Observasi
fisiologis jam masalah nyeri akut dapat 1) Memonitor tanda-tanda vital 1) Untuk mengetahui keadaan umum pasien.
teratasi dengan kriteria hasil : 2) Identifikasi lokasi, 2) Untuk mengetahui ketidaknyaman pasien
a. Pasien menunjukan karakteristik, durasi, frekuensi, yang dipengaruhi karena nyeri
wajah tampak rileks kualitas, intensitas nyeri, skala 3) Untuk mengetahui faktor apa saja yang
b. Pasien nyaman untuk nyeri. memperberat dan memperingan nyeri
istirahat 3) Identifikasi faktor yang Terapeutik
c. Pasien mengatakan nyeri memperberat dan 4) Untuk mengalihkan rasa nyeri dan
berkurang memperingan nyeri. meningkatkan relaksasi dapat mengurangi
d. Skala nyeri menurun dari Terapeutik rasa nyeri
7 menjadi 5 (1-10) 4) Berikan teknik 5) Agar pasien dapat merasa nyaman.
e. Pasien tidak meringis nonfarmakologis (teknik 6) Istirahat dan tidur dapat mengurangi rasa
f. Pasien tampak rileks relaksasi lavender) nyeri dan pasien dapat sedikitnya merasa
g. TTV dalam rentang 5) Kontrol lingkungan yang nyaman.
normal memperberat rasa nyeri. Edukasi
TD : 120/70mmHg 6) Fasilitasi istirahat dan tidur. 7) Agar pasien dapat mengendalikan nyeri secara
HR : 60-100x/mnt Edukasi mandiri.
RR : 16-20x/mnt 7) Jelaskan strategi meredakan 8) Agar pasien dapat melakukan teknik relaksasi
S : 36,5 – 37,5C nyeri. secara mandiri.
h. Pasien dapat melakukan 8) Ajarkan teknik nonfarmaklogis Kolaborasi
terapi relaksasi secara untuk mengurangi nyeri. 9) Karena teknik relaksasi tidak cukup untuk
mandiri Kolaborasi mengurangi nyeri dan hanya untuk
9) Kolaborasi dengan dokter mengalihkan nyerinya maka dilakukan
dalam pemberian analgetik. pemberian analgetik
78

No Masalah Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan Rasional


2 Nausea Setelah dilakukan tindakan Manajemen Mual Manajemen Mual
keperawatan selama 3 x 24 Observasi Observasi
jam nausea dapat teratasi 1) Identifikasi pengalaman mual 1) Untuk mengetahui faktor yang memungkinkan
dengan kriteria hasil: 2) Identifikasi dampak mual terjadinya mual
a. Tidak ada keluhan mual terhadap kualitas hidup (nafsu 2) Mengidentifikasi pengaruh mual terhadap
b. Perasaan ingin muntah makan, aktivitas, kinerja, kualitas hidup pasien
berkurang tidur) 3) Untuk mengetahui sumber mual yang terjadi
3) Identifikasi faktor penyebab pada pasien
mual 4) Untuk mengetahui tingkat mual yang dialami
4) Monitor mual (frekuensi, pasien
durasi, tingkat keparahan) 5) Untuk menjaga asupan nutrisi tetap terpenuhi
5) Monitor asupan nutrisi dan dan mencegah terjadinya mual dan muntah
kalori yang berlanjut

Terapeutik Terapeutik
6) Berikan jumlah makan dalam
6) Untuk menjaga nutrisi tetap terpenuhi dan
jumlah kecil dan menarik
mencegah terjadinya mual dan muntah
7) Berikan makanan dingin,
berlanjut
cairan bening, tidak berbau
7) Untuk mengurangi rangsangan mual dan
dan tidak berwarna
muntah pada lambung
Edukasi
Edukasi
8) Anjurkan istirahat dan tidur
yang cukup 8) Agar klien menjadi lebih baik dan melupakan
9) Anjurkan sering mual
membersihkan mulut, kecuali 9) Untuk mengurangi rangsangan mual dan
jika merangsang mual muntah akibat mulut yang kotor dan bau
10) Anjurkan makan makanan 10) Untuk menjaga asupan nutrisi tetap terpenuhi
tinggi kabrohidrat dan rendah dan mencegah terjadinya mual dan muntah
79

No Masalah Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan Rasional


lemak yang berlanjut
11) Ajarkan teknik 11) Penekanan pada titik P6 dan St36 diyakini
nonfarmakologi (akupresur) mampu memperbaiki aliran energi didalam
untuk mengatasi mual lambung sehingga dapat mengatasi gejala
mual dan muntah.
Kolaborasi
Kolaborasi
12) Kolaborasi pemberian
12) Antiemetik dapat memblok reseptor mual dan
antiemetic
mengurangi rasa mual.

3 Risiko syok Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Syok Pencegahan Syok


keperawatan selama 3 x 24 Observasi Observasi
jam risiko syok padat teratasi, 1) Monitor status kardiopulmonal 1) Untuk mengetahui frekuensi kekuatan nadi
dengan kriteria: (frekuensi kekuatan nadi, frekuensi nafas dan tekanan darah
a. Pasien tidak mengeluh frekuensi nafs, tekanan darah, 2) Untuk mengetahui tingkat kecukupan
BAB berwarna hitam MAP) kebutuhan oksigen pasien
b. Pasien tampak segar 2) Monitor status oksigenasi 3) Untuk mengetahui asupan cairan pasien
c. Akral hangat (oksimetri nadi, AGD) 4) Untuk mengetahui kesadaran pasien
d. Tekanan darah 12/80 3) Monitor status cairan (masukan Terapeutik
mmHg dan haluaran, turgor kulit, 5) Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia
e. Nadi 60-100x/menit CRT) yang terjadi akibat penurunan ventilasi
f. Respirasi 12-20x/menit 4) Monitor tingkat kesadaran dan 6) Catat waktu dan haluaran berkemih batasi
g. Hb 14-18 g/dL respon pupil asupan cairan ambil sempel urine
h. Ht 40-54% Terapeutik Edukasi
5) Berikan oksigen untuk 7) Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien
mempertahankan saturasi 8) Untuk mengurangi peradangan
oksigen >94% 9) Membantu meningkatkan kadar hemoglobin
6) Pasang kateter urine untuk pada pasien
menilai produksi urine Kolaborasi
Edukasi 10) Untuk memenuhi kebutuhan cairan pasien
80

No Masalah Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan Rasional


7) Menjelaskan penyebab atau 11) Untuk mengurangi peradangan
faktor risiko syok 12) Membantu meningkatkan kadar hemoglobin
8) Menjelaskan tanda dan gejala pada pasien
awal syok
9) Anjurkan melapor jika
ditemukan atau merasakan
tanda dan gejala syok
10) Anjurkan memperbanyak
asupan cairan oral
Kolaborasi
11) Kolaborasi pemberian IV
12) Kolaborasi pemberian
antiinflamasi
13) Kolaborasikan pemberian
transfusi darah jika perlu
81

IMPLEMENTASI, CATATAN PERKEMBANGAN KEPERAWATAN DAN EVALUASI (MENGGUNAKAN CLINICAL


PATHWAY)

IMPLEMENTASI, CATATAN PERKEMBANGAN DAN EVALUASI

NO INDIKATOR
TANGGAL

10/8/19 11/8/19 12/8/19 13/8/19


1. DIAGNOSA KELOMPOK DATA : EVALUASI I EVALUASI I EVALUASI I
KEPERAWATAN

A. Nyeri Akut
B. Nausea
C. Resiko Syok
2. NURSING OUTCOME Cantumkan skor hasil
Cantumkan skoring yang pengkajian
relevan dgn Dx Kep : GCS : 15 (compos mentis)
Skala nyeri 7 (1-10)
A. Nyeri Akut
B. Nausea
C. Resiko Syok

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

JENIS PEMERIKSAAN NILAI RUJUKAN TANGGAL

10/8/19 12/8/19 KET


82

*post transfusi PRC 4 labu


Hb 13-18 7.7 10.1*

Eritrosit 4.7-6.1 2.65 4.85

Hematokrit 45-55 23.7 42.6

Leukosit 4.500-10.000 4.000

Trombosit 150.000-450.000 268.000

Natrium 135-145 132

Kalium 3.5-5.0 4.0

Kalsium 8.8-10.4 1.07

Ureum 8-20 55 69

Creatinin 0.6-1.2 1.09


TINDAKAN Dx 1
KEPERAWATAN 10) Memonitor tanda-tanda vital
11) Identifikasi lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri, skala nyeri.
12) Identifikasi faktor yang
memperberat dan
memperingan nyeri.

Dx 2
1) Mengidentifikasi
pengalaman mual
83

2) Mengidentifikasi dampak
mual terhadap kualitas
hidup (nafsu makan,
aktivitas, kinerja, tidur)
3) Mengdentifikasi faktor
penyebab mual
4) Memonitor mual
(frekuensi, durasi, tingkat
keparahan)
5) Memonitor asupan nutrisi
dan kalori
Dx 3

1) Monitor status
kardiopulmonal (frekuensi
dan kekuatan nadi,
frekuensi nafas, tekanan
darah, MAP)
2) Monitor status cairan
(masuk dan keluaran,
turgor kulit, CRT)
3) Monitor nilai HB dan HT
sebelum dan setelah
kehilangan darah
4) Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%
5) Pasang kateter urine untuk
menilai produksi urine
84

Dx 1
1) Pemberian analgetik.
PENGOBATAN Dx 2

1) Memberikan antiemetik
Dx 3

1) Kolaborasi pemberian IV
2) Kolaborasi pemberian
antiinflamasi
LAB & PROSEDUR
DIAGNOSTIK
Dx 2
1) Menganjurkan makan
DIET makanan tinggi
karbohidrat dan rendah
lemak
2) Menganjurkan makanan
dalam jumlah kecil dan
menarik
3) Berikan makanan dingin,
cairan bening, tidak
berbau dan tidak berwarna
AKTIVITAS Dx 1
1) Berikan teknik
nonfarmakologis (teknik
relaksasi lavender)
2) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
85

3) Fasilitasi istirahat dan tidur.

Dx 2
1) Menganjurkan istirahat
dan tidur yang cukup
2) Menganjurkan sering
membersihkan mulut,
kecuali jika merangsang
mual
Dx 1
1) Jelaskan strategi meredakan
nyeri.
EDUKASI 2) Ajarkan teknik
nonfarmaklogis untuk
mengurangi nyeri.

Dx 2
1) Mengajarkan teknik
nonfarmakologi akupresur
untuk mengatasi mual
86

B. Pembahasan
Penyebab pasien mengalami perforasi gaster dikarenakan pasien
memiliki riwayat mengkonsumsi obat warung, perokok berat, minum kopi dan
sering telat makan karena pekerjaan. Konsumi obat warung atau obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS)/ nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa lambung melalui
dua mekanisme yaitu topikal dan sistemik. Di system topical, NSAID bersifat
asam dan lipofilik sehingga memicu ion hydrogen masuk ke dalam mukosa
lambung dan menimbulkan kerusakan. Sedangkan di sistem sistemik, NSAID
akan menghambat produksi prostaglandin sehingga kerusakan mukosa terjadi
karena produksi prostaglandin menurun. Terdapat 4 tahap terjadinya
kerusakan mukosa lambung yaitu:
1. Penurunan sekresi mukus dan bikarbonat, sekresi asam dan proliferasi
sel-sel mukosa terganggu, penurunan aliran darah mukosa dan kerusakan
mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet dan mekanisme koagulasi.
2. Endotel vaskuler secara terus menerus menghasilkan vasodilator
prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan cox-1
maka akan timbul vasokontriksi yang menyebabkan aliran darah
menurun dan terjadi nekrosis epitel.
3. Hambatan cox-2 menyebabkan peningkatan perlengketan leukosit PMN
pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan
pelepasan protease, radikal bebas oksigen, sehingga memperberat
kerusakan epitel dan endotel.
4. Perlengketan leukosit PMN menimbulkan statis aliran mikrovaskuler,
iskemia dan berakhir dengan kerusakan mukosa lambung/tukak lambung.
(Simanjuntak & Siahaan, 2018)
Rokok dapat merusak sistem pencernaan seseorang. Dari seluruh organ
pencernaan, lambung adalah organ yang paling sensitif. Gangguan ini terjadi
secara terus-menerus terhadap sistem pencernaan dapat mengarah pada
penyakit tukak lambung atau gastritis. Ketika seseorang merokok, nikotin
yang terkandung di dalam rokok akan mengerutkan dan melukai pembuluh
87

darah pada dinding lambung, merokok yang berlebihan (>5%) akan


mengakibatkan iritasi ini memicu lambung memproduksi asam lebih banyak
dan lebih sering dari biasanya. Kelebihan asam di dalam lambung dan
lambatnya sekresi getah pelindung mengakibatkan timbulnya luka pada
dinding lambung. (Astuti & Wulandari, 2020)
Kafein di dalam kopi dapat mempercepat proses terbentuknya asam
lambung. Hal ini membuat produksi gas dalam lambung berlebih sehingga
sering mengeluhkan sensasi kembung di perut. Selain itu produksi asam
lambung yang berlebih menyebabkan lambung lebih asam dan dapat
mengiritasi mukosa lambung. (Muhammad Ishak Ilham et al., 2019)
Menurut sunarmi (2018) dikutip dari (Astuti & Wulandari, 2020)
menyebutkan bahwa orang yang bekerja lebih rentan terkena gastritis daripada
yang tidak bekerja disebabkan orang yang bekerja lebih sibuk dengan
pekerjaannya dan memiliki beban kerja yang dapat memicu munculnya stres
kerja. Seorang pekerja akan lebih mementingkan tugasnya dari pada makan,
sehingga orang yang bekerja memiliki pola makan yang tidak teratur yang
dapat menyebabkan terjadinya gastritis.
Pasien mengeluh nyeri abdomen seluruh kuadran akibat dari
peradangan pada mukosa lambung dan cairan lambung yang menyebar ke
seluruh perut yang merangsang pelepasan mediator nyeri (histamin,
bradykinin, prostaglandin, serotonin, ion kalium dll) dan mengaktivasi
nosiseptor yang dihantarkan oleh serabut tipe A dan D ke medulla spinalis
sampai ke hipotalamus dan system limbik dan dipersepsikan oleh otak
menjadi rasa nyeri.(Ruben, 2018)
Pasien mengalami mual dan muntah darah, tidak bafsu makan
disebabkan efek dari NSAIDs (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs).
Menurut (Irvan et al., 2016) NSAIDs merupakan penyebab tersering dari
perforasi gaster setelah infeksi bakteri dan komplikasi perdarahan dari tukak
lambung. Efek sistemik ini disebabkan oleh inhibisi sintesis prostaglandin
endogen. Hambatan prostaglandin ini menurunkan produksi mukus epitel,
88

sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa, proliferasi epitel, dan resistensi


mukosa.
Menurut (Amrulloh & Utami, 2016) NSAID merusak mukosa lambung
melalui 2 mekanisme, yakni topical dan sistemik. Kerusakan mukosa secara
topical terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofilik, sehingga bila berada
dalam lambung yang lumennya bersifat asam (pH kurang dari 3) akan
terbentuk partikel yang tidak terionisasi. Selanjutnya partikel obat tersebut
akan mudah berdifusi melalui membran lipid ke dalam sel epitel mukosa
lambung bersama dengan ion H+. Dalam epitel lambung, suasana menjadi
netral sehingga bagian obat yang mengalami difusi akan terperangkap dalam
sel epitel dan terjadi penumpukan obat pada lapisan epitel mukosa. Pada epitel
tersebut selanjutnya terjadi ulserasi, pembentukan prostaglandin terhambat,
dan terjadi proses inflamasi.
Prostaglandin merupakan substansi sitoproteksi yang sangat penting
bagi mukosa lambung. Sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran
darah pada mukosa serta meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat.
Prostaglandin memperkuat sawar mukosa lambung dengan cara meningkatkan
kadar fosfolipid mukosa lambung,sehingga hidrofobisitas permukaan mukosa
meningkat, selanjutnya akan mengurangi difusi balik ion hydrogen. (Amrulloh
& Utami, 2016)
Pasien gelisah, sesak dan pucat kemungkinan besar terjadinya syok,
disebabkan oleh kehilangan volume massive yang disebabkan oleh:
perdarahan gastro intestinal, peritonitis, dehidrasi, yang berasal dari
penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac
output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia
mendorong perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi
anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan
asidosis metabolic. (Dewi & Rahayu, 2009)
BAB pasien berwarna hitam, menurut (Irvan et al., 2016) Komplikasi
perdarahan dari tukak lambung, efek sistemik ini disebabkan oleh inhibisi
sintesis prostaglandin endogen. Hambatan prostaglandin ini menurunkan
89

produksi mukus epitel, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa, proliferasi


epitel, dan resistensi mukosa.
Pasien mengeluh sakit kepala karena asam lambung naik dan
mengalami infeksi, asam lambung akan masuk ke paru-paru dan ke dalam
system peradangan sampai akhirnya mencapai sel saraf otak.
Akral dingin dikarenakan saat mengalami syok hipovolemik, jantung
tidak mampu memompa darah dalam jumlah yang cukup ke seluruh tubuh
akibatnya akral dingin.
Distensi abdomen pada pasien merupakan reaksi awal perforasi gaster
menyebabkan peritonitis adalah ketika keluarnya eksudat fibrosa. Eksudat
fibrosa ini keluar karena terjadinya perforasi pada gaster sehingga isi pada
gaster keluar dan mengisi cavum peritoneum sehingga menyebabkan
terjadinya peradangan. Peradangan ini menimbulkan akumulasi cairan karena
kapilar dan membran mengalami kebocoran. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi cairan dan elektrolit maka produk buangan juga ikut
meningkat dan menumpuk di cavum peritoneum dan dinding abdomen
mengalami edema. Edema ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah kapiler oleh organ – organ tersebut. Terjebaknya cairan di
cavum peritoneum dan lumen usus meningkatkan tekanan intra abdomen.
(Ruben, 2018)
Tn. M mengalami gangguan pada hemodinamik kardiovaskuler ditandai
dengan tekanan darah pasien 72/51 mmHg yang dimana terjadinya
hypovolemia, Merupakan fenomena utama terhadap respon sistemik dan
kemungkinan disebabkan karena influx cairan ke dalam rongga peritoneum.
Karena luasnya area permukaan peritoneum, pergeseran cairan ke dalam
rongga peritoneum, dikombinasikan dengan pergeseran cairan ke dalam lumen
usus, dapat menyebabkan terjadinya penurunan yang bermakna pada volume
sirkulasi darah dan elevasi hematokrit. Kehilangan cairan dan elektrolit akan
terjadi lebih lanjut oleh adanya demam, muntah, dan diare. Dengan
berlanjutnya proses, penurunan aliran balik vena ke sisi kanan jantung
menyebabkan penurunan curah jantung, sehingga terjadi hipotensi. Hipotensi
90

sistemik disebabkan oleh karena sekresi TNF, IL-1, PAF, dan nitric oxide,
yang semuanya memiliki efek vasodilator dan dapat menurunkan resistensi
sistemik vascular.(Warsinggih, 2016)
Menurut Shiddiq, M. (2013). Suhu tubuh pasien meningkat dengan nilai
S : 38,9°c disebabkan oleh infeksi dan atau proses peradangan yang akan
menghasilkan sitokin-sitokin pirogenik seperti IL-1, IL-6, TNF, dan IFN yang
akan memasuki sirkulasi sitemik dan selanjutnya mencapai endothelium
hipotalamus. Pyrogen terdiri atas pyrogen eksogen dan endogen. Pyrogen
eksogen meliputi produk atau pun toksin bakteri, dapat menginduksi sel tubuh
menghasilkan pyrogen endogen. Ketika bakteri lisis, produk bakteri akan
dilepaskan ke jaringan atau aliran darah yang selanjutnya akan difagositosis
oleh sel-sel fagosit. Sel-sel inilah yang akan memicu sitokin. Sitokin pirogenik
selanjutnya memicu peningkatan produksi PGE2 yang akan menghasilkan c-
AMP sehingga terjadi peningkatan set point termoregulator dihipotalamus dan
bermanifestasi pada peningkatan suhu inti tubuh. Mannana, Takikardia
disebabkan karena dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia
intravaskuler yang disebabkan karena mual dan muntah, demam, kehilangan
cairan yang banyak dari rongga abdomen (Mannana, A., Tangel, S. J. C., &
Prasetyo, E)
Menurut (Warsinggih, 2016) pada pasien peritonitis terdapat cairan
dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma mengakibatkan kesulitan
bernafas sehingga frekuensi nafas meningkat ditandai dengan nilai respirasi
pasien yaitu 39x/menit.
Posisi kaki menekuk untuk mengurangi nyeri, menurut Mannana, A.,
Tangel, S. J. C., & Prasetyo, E. Nyeri abdomen merupakan gejala yang paling
sering ditemukan. Nyeri dirasakan bertambah berat dengan gerakan sehingga
kebanyakan pasien akan berbaring diam dengan posisi menekuk lutut untuk
mengurangi rasa sakit dan ketegangan pada dinding perut.
Pasien terpasang kateter, menurut Mieny & Mennen, 2013 Pemasangan
kateter perlu dilakukan untuk dapat mengukur output urine, yang merupakan
pengukuran sederhana dan sensitive terhadap pegisian intravaskular dan
91

fungsi organ, dan juga untuk memonitor apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi dan memantau perfusi jaringan. Produksi urine dianggap cukup
bila mencapai 1 cc/KgBB/jam.
Sesak walaupun sudah diberika terapi okigen pada passion merupakan
dampak dari distensi abdomen yang dialami pasien sehingga menekan
diafragma mengakibatkan penurunan ekspansi paru pasien. Itu sebabnya pada
saat pasien bernapa ekpansi paru asimetris. Tujuan dari terapi oksigen itu
sendiri adalah untuk mengatasi atau mencegah hipoksemia sehingga
mencegah hipoksia jaringan yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan
ataupun kematian sel. Hipoksemia terjadi jika adanya penurunan PaO2 pada
darah di bawah nilai normal. PaO2 <60 atau SaO2 <90% pada pasien (R.A.C
Semieniuk, et al).
Dekompresi gastrointestinal, menurut Mieny & Mennen, 2013
Dilakukan pemasangan pipa lambung (nasogastric tube) yang bertujuan untuk
dekompresi, mencegah terjadinya muntah, dan perkembangan distensi usus
lebih lanjut. Nasogastric tube (NGT) dimasukkan sampai ke lambung dan
diaspirasi.. Pemasangan pipa lambung ini penting untuk pengosongan
lambung. Aspirasi yang intermiten adalah untuk menjaga sampai ileus
paralitik hilang. Mengukur volume air lewat oral diperbolehkan jika hanya
sejumlah kecil yang teraspirasi. Jika abdomen tidak kaku dan sudah terdengar
bising usus, maka pemberian nutrisi lewat oral dapat segera dilakukan.
Penting untuk tidak memperpanjang ileus dengan melewati pemberian nutrisi
secara oral.
Resusitasi cairan, menurut Mieny & Mennen, 2013 Dilakukan resusitasi
dengan pemberian sejumlah cairan yang adekuat untuk mengembalikan
volume intravaskular, sehingga dapat mengoptimalkan pengiriman oksigen ke
jaringan.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium ditemukan beberapa
indicator yang nilainya kurang dari nilai normal yaitu Hb 10,1 g/dL,
Hematokrit 42.6 g/dL. Leukosit 4.000 g/dL, Natrium 132, Kalsium 10.7, dan
satu nilainya lebih dari normal yaitu ureum 1.09. Nilai yang abnormal
92

disebabkan oleh perilaku yang pasien yang berlebihan dalam mengkonsumsi


obat-obatan Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dalam bentuk
obat warung dan jamu sehingga menjadi masalah yang kompleks mengganggu
hemodinamik, dan fungsi organ lain.
Masalah yang kompleks itu terjadi sebagai bentuk efek samping
NSAID terhadap sistemik yaitu menghambat kerja COX-1 yang mengkatalis
pembentukan prostaglandin. Prostaglandin pada mukosa saluran cerna
berfungsi menjaga integritas mukosa, mengatur aliran darah, sekresi mukus,
bikarbonat, proliferasi epitel, serta resistensi mukosa terhadap kerusakan
(Simanjuntak & Siahaan, 2018). COX-1 yang berada pada lambung,
trombosit, ginjal, dan sel endothelial mempunyai peranan penting dalam
mempertahankan integritas fungsi renal, agregasi trombosit, dan integritas
mukosa lambung(Amrulloh & Utami, 2016). Sehingga ketika kerja COX-1
terhambat akan menyebabkan kerusakan mukosa lambung aliran darah pada
lambung, jika itu terjadi secara bersamaan, pada kondisi mukosa lambung
yang rusak, NSAID menggagu proses poliferasi sel dan merusak pertahan
mukosa sehingga lesi pada gaster tidak sembuh akan tetapi akan membentuk
lesi pada ulkus menyebabkan erosi pada gaster hingga menyebabkan
perdarahan.
Perdarahan yang berlanjut akan menyebabkan anemia hemoragik.
Kondisi ini membebakan terjadinya penurunan volume darah. Naik turunnya
nilai hematokrit (Hct) tergantung pada volume sel-sel darah yang
dibandingkan dengan volume darah keseluruhan, hal ini berarti kondisi
perdarahan juga menyebabkan penurunan nilai Hct (Prajawanti1 & M.P,
2019). Penurunan Hct diikuti penurunan Hb dan kehilangan komponen darah.
Penggunaan NSAID juga menghambat COX-2 selektif memiliki efek
menguntungkan, yaitu menurunkan inflamasi jaringan dimana Prostaglandin
juga menginhibisi aktivasi sel mast dan leukosit (Simanjuntak & Siahaan,
2018). Hal ini menyebabkan tidak ada nya penigkatan nilai leukosit, justru
nilai leukosit akan sedikit menurun sebagai dampak adanya penurunan volume
darah akibat perdarahan.
93

Disamping itu, NSAID yang menghambat COX-1 sehingga


pembentukan prostaglandin, dari penghambatan prostaglandin menghambat
sekresi natrium di ginjal sehingga terjadi retensi urine (Mariam, 2016).
Penggunaan NSAID juga berdampak ginjal terganggu dalam
memepertahankan integritas fungsinya, ditambah ada penurunan aliran darah
ke ginjal (Simanjuntak & Siahaan, 2018). Hal ini akan berdampak kerusakan
pada organ ginjal sehingga tidak mampu menyaring ureum yang masuk, lalu
kadar ureum akan masuk ke dalam aliran darah. Pada penyakit yang berat
seperti ini, kalsium banyak terpakai untuk metabolisme dan ditunjang juga
dengan keinginan makan dan minumyang menurun saat sakit sehingga asupan
kalsium menjadi berkurang. Penurunan kadar kalsium total pada kondisi ginjal
yang terganggu akan merangsang sekresi hormon paratiroid dan katabolisme
hormone paratiroid terbanyak di ginjal, namun karena penurunan fungsi ginjal
akibtanya terjadi resisten terhadap hormonparatiroid untuk m enormalkan
kalsium karena penurunan efek 1,25 (OH) D3 pada aktifitas hormon paratiroid
di tulang (Said & Angriani, n.d.).
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan asuhan keperawatan pada
pasien dengan diagnosa perforasi gaster + peritonitis + ileus paralitik
kelompok memperoleh kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan
diatas bahwa Perforasi gaster adalah luka yang terjadi pada lapisan lambung
sehingga terbentuknya lubang pada lambung yang ditandai dengan nyeri pada
bagian abdomen dalam.
Penyebab pasien mengalami perforasi gaster dikarenakan pasien
memiliki riwayat mengkonsumsi obat warung, perokok berat, minum kopi dan
sering telat makan karena pekerjaan. Konsumi obat warung atau obat
antiinflamasi nonsteroid (OAINS)/ nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa lambung melalui
dua mekanisme yaitu topikal dan sistemik. Di system topical, NSAID bersifat
asam dan lipofilik sehingga memicu ion hydrogen masuk ke dalam mukosa
lambung dan menimbulkan kerusakan. Sedangkan di sistem sistemik, NSAID
akan menghambat produksi prostaglandin sehingga kerusakan mukosa terjadi
karena produksi prostaglandin menurun. Terdapat 4 tahap terjadinya
kerusakan mukosa lambung yaitu:
1. Penurunan sekresi mukus dan bikarbonat, sekresi asam dan
proliferasi sel-sel mukosa terganggu, penurunan aliran darah mukosa dan
kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh platelet dan mekanisme
koagulasi.
2. Endotel vaskuler secara terus menerus menghasilkan vasodilator
prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan cox-1
maka akan timbul vasokontriksi yang menyebabkan aliran darah menurun dan
terjadi nekrosis epitel.

94
95

3. Hambatan cox-2 menyebabkan peningkatan perlengketan leukosit


PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimulai dengan
pelepasan protease, radikal bebas oksigen, sehingga memperberat kerusakan
epitel dan endotel.
4. Perlengketan leukosit PMN menimbulkan statis aliran
mikrovaskuler, iskemia dan berakhir dengan kerusakan mukosa
lambung/tukak lambung. (Simanjuntak & Siahaan, 2018)
Pasien mengeluh nyeri abdomen seluruh kuadran akibat dari
peradangan pada mukosa lambung dan cairan lambung yang menyebar ke
seluruh perut yang merangsang pelepasan mediator nyeri (histamin,
bradykinin, prostaglandin, serotonin, ion kalium dll) dan mengaktivasi
nosiseptor yang dihantarkan oleh serabut tipe A dan D ke medulla spinalis
sampai ke hipotalamus dan system limbik dan dipersepsikan oleh otak
menjadi rasa nyeri.(Ruben, 2018)
Pasien mengalami mual dan muntah darah, tidak bafsu makan
disebabkan efek dari NSAIDs (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs).
Menurut (Irvan et al., 2016) NSAIDs merupakan penyebab tersering dari
perforasi gaster setelah infeksi bakteri dan komplikasi perdarahan dari tukak
lambung. Efek sistemik ini disebabkan oleh inhibisi sintesis prostaglandin
endogen. Hambatan prostaglandin ini menurunkan produksi mukus epitel,
sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa, proliferasi epitel, dan resistensi
mukosa.
Pasien gelisah, sesak dan pucat kemungkinan besar terjadinya syok,
disebabkan oleh kehilangan volume massive yang disebabkan oleh:
perdarahan gastro intestinal, peritonitis, dehidrasi, yang berasal dari
penurunan volume darah intravascular, yang menyebabkan penurunan cardiac
output dan tidak adekuatnya perfusi jaringan. Kemudian jaringan yang anoxia
mendorong perubahan metabolisme dalam sel berubah dari aerob menjadi
anaerob. Hal ini menyebabkan akumulasi asam laktat yang menyebabkan
asidosis metabolic. (Dewi & Rahayu, 2009)
96

BAB pasien berwarna hitam, menurut (Irvan et al., 2016) Komplikasi


perdarahan dari tukak lambung, efek sistemik ini disebabkan oleh inhibisi
sintesis prostaglandin endogen. Hambatan prostaglandin ini menurunkan
produksi mukus epitel, sekresi bikarbonat, aliran darah mukosa, proliferasi
epitel, dan resistensi mukosa.
Pasien mengeluh sakit kepala karena asam lambung naik dan
mengalami infeksi, asam lambung akan masuk ke paru-paru dan ke dalam
system peradangan sampai akhirnya mencapai sel saraf otak.
Akral dingin dikarenakan saat mengalami syok hipovolemik, jantung
tidak mampu memompa darah dalam jumlah yang cukup ke seluruh tubuh
akibatnya akral dingin.
Distensi abdomen pada pasien merupakan reaksi awal perforasi gaster
menyebabkan peritonitis adalah ketika keluarnya eksudat fibrosa. Eksudat
fibrosa ini keluar karena terjadinya perforasi pada gaster sehingga isi pada
gaster keluar dan mengisi cavum peritoneum sehingga menyebabkan
terjadinya peradangan. Peradangan ini menimbulkan akumulasi cairan karena
kapilar dan membran mengalami kebocoran. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi cairan dan elektrolit maka produk buangan juga ikut
meningkat dan menumpuk di cavum peritoneum dan dinding abdomen
mengalami edema. Edema ini disebabkan oleh peningkatan permeabilitas
pembuluh darah kapiler oleh organ – organ tersebut. Terjebaknya cairan di
cavum peritoneum dan lumen usus meningkatkan tekanan intra abdomen.
(Ruben, 2018)
Tn. M mengalami gangguan pada hemodinamik kardiovaskuler ditandai
dengan tekanan darah pasien 72/51 mmHg yang dimana terjadinya
hypovolemia, Merupakan fenomena utama terhadap respon sistemik dan
kemungkinan disebabkan karena influx cairan ke dalam rongga peritoneum.
Karena luasnya area permukaan peritoneum, pergeseran cairan ke dalam
rongga peritoneum, dikombinasikan dengan pergeseran cairan ke dalam lumen
usus, dapat menyebabkan terjadinya penurunan yang bermakna pada volume
sirkulasi darah dan elevasi hematokrit. Kehilangan cairan dan elektrolit akan
97

terjadi lebih lanjut oleh adanya demam, muntah, dan diare. Dengan
berlanjutnya proses, penurunan aliran balik vena ke sisi kanan jantung
menyebabkan penurunan curah jantung, sehingga terjadi hipotensi. Hipotensi
sistemik disebabkan oleh karena sekresi TNF, IL-1, PAF, dan nitric oxide,
yang semuanya memiliki efek vasodilator dan dapat menurunkan resistensi
sistemik vascular.(Warsinggih, 2016)
Pada pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium ditemukan beberapa
indicator yang nilainya kurang dari nilai normal yaitu Hb 10,1 g/dL,
Hematokrit 42.6 g/dL. Leukosit 4.000 g/dL, Natrium 132, Kalsium 10.7, dan
satu nilainya lebih dari normal yaitu ureum 1.09. Nilai yang abnormal
disebabkan oleh perilaku yang pasien yang berlebihan dalam mengkonsumsi
obat-obatan Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) dalam bentuk
obat warung dan jamu sehingga menjadi masalah yang kompleks mengganggu
hemodinamik, dan fungsi organ lain.
Untuk mengetahuinya maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang,
seperti: Foto polos abdomen pada posisi berdiri, pemeriksaan foto polos
abdomen posisi tegak menunjukkan pneumoperitoneum pada 80% kasus,
ultrasonografi merupakan pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan
bebas dengan berbagai densitas, CT scan abdomen adalah metode yang jauh
lebih sensitif untuk mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara
tampak seperti gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan
negative. Oleh karena itu, CT-scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi
gaster.
Peran perawat dalam menangani pasien Perforasi Gaster harus
memperhatikan berupa Dekompresi gastrointestinal, menurut Mieny &
Mennen, 2013 Dilakukan pemasangan pipa lambung (nasogastric tube) yang
bertujuan untuk dekompresi, mencegah terjadinya muntah, dan perkembangan
distensi usus lebih lanjut. Nasogastric tube (NGT) dimasukkan sampai ke
lambung dan diaspirasi.. Pemasangan pipa lambung ini penting untuk
pengosongan lambung. Aspirasi yang intermiten adalah untuk menjaga sampai
ileus paralitik hilang. Mengukur volume air lewat oral diperbolehkan jika
98

hanya sejumlah kecil yang teraspirasi. Jika abdomen tidak kaku dan sudah
terdengar bising usus, maka pemberian nutrisi lewat oral dapat segera
dilakukan. Penting untuk tidak memperpanjang ileus dengan melewati
pemberian nutrisi secara oral.
Resusitasi cairan, menurut Mieny & Mennen, 2013 Dilakukan resusitasi
dengan pemberian sejumlah cairan yang adekuat untuk mengembalikan
volume intravaskular, sehingga dapat mengoptimalkan pengiriman oksigen ke
jaringan.

B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penulis menyampaikan beberapa
saran, yaitu sebagai berikut.:
1. Bagi rumah sakit
Diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada pasien lebih optimal
untuk meningkatkan pelayanan mutu rumah sakit.
2. Bagi pasien dan keluarga
Diharapkan keluarga mengetahui tentang Perforasi Gaster.
3. Bagi institusi pendidikan
Sebagai tempat menempuh ilmu keperawatan diharapkan hasil
pembahasan ini dijadikan sebagai acuan dalam pemberian asuhan
keperawatan yang selanjutnya terkait dengan masalah Perforasi Gaster.
4. Bagi penulis selanjutnya
Diharapkan penulis selanjutnya dapat menggunakan atau memanfaatkan
waktu seefektif mungkin, sehingga dapat memberikan asuhan
keperawatan kepada klien secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Aap, A., Marliany, H., & Nandang, A. (2017). Jurnal Ilmiah Kesehatan
Keperawatan, Volume13, No. 1February 2017. Penatalaksanaan
Persiapan Pasien Preoperatif Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten
Ciamis, 13(1), 2–7.
Agustini, R. (2017). Asuhan Keperawatan Pada An. Dengan Gangguan Sistem
Pencernaan: Peritonitis Di Instalasi Bedah Post 4 Ruang G Rumah Sakit
Bhayangkara Palembang. Repository. http://repository.stik-
sitikhadijah.ac.id/328/1/41606031.pdf
Amrulloh, F. M., & Utami, N. (2016). Hubungan Konsumsi OAINS terhadap
Gastritis. Majority, 5, 18–21.
Amrulloh, F. M., & Utami, N. (2016). Hubungan Konsumsi OAINS Terhadap
Gastritis. Jurnal Majority, 5(5), 18–21.
Andriani, A., & Hartono, R. (2013). Saturasi Oksigen Dengan Pulse Oximetry
Dalam 24 Jam Pada Pasien Dewasa Terpasang Ventilator Di Ruang Icu
Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. In Jendela Nursing
Journal (Vol. 2, Issue 1, pp. 257–263).
https://doi.org/10.31983/jnj.v2i1.199
Astuti, D. A. O. P., & Wulandari, D. (2020). Stres Dan Perilaku Merokok
Berhubungan Dengan Kejadian Gastritis. Jurnal Ilmiah STIKES
Kendal, 10(2), 213–222.
Beach, E. C., & De Jesus, O. (2020). Ileus. StatPearls [Internet].
Chalik, R. (2016). Anatomi Fisiologi Manusia : Sistem Pencernaan. 183–206.
Chung, K. T. and Shelat, V. G. (2017) ‘Perforated peptic ulcer - an update’,
World Journal of Gastrointestinal Surgery, 9(1).
Chung, K. T., & Shelat, V. G. (2017). Perforated peptic ulcer-an update. World
Journal of Gastrointestinal Surgery, 9(1), 1.
Dewi, E., & Rahayu, S. (2009). Kegawatdaruratan Syok Hipovolemik.
Fergusson, D. (2008). Clinical Assessment and Monitoring in Children. Wiley.
https://www.wiley.com/en-
us/Clinical+Assessment+and+Monitoring+in+Children-p-
9781405133388
Irvan, I., Febyan, F., & Suparto, S. (2016). Sepsis Dan Tata Laksana Berdasar
Guideline Terbaru. JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 10(1), 62–73.
Japanesa, A., Zahari, A., & Renita Rusjdi, S. (2016). Pola Kasus dan
Penatalaksanaan Peritonitis Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 5(1), 209–214.
https://doi.org/10.25077/jka.v5i1.470
Leeman, M. F., Skouras, C. and Paterson-Brown, S. (2013) ‘The management
of perforated gastric ulcers’, International Journal of Surgery. Elsevier,
11(4)
Leeman, M. F., Skouras, C., & Paterson-Brown, S. (2013). The management of
perforated gastric ulcers. International Journal of Surgery, 11(4), 322–
324.
Mannana, A., Tangel, S. J. C., & Prasetyo, E. Diagnosis Akut Abdomen Akibat
Peritonitis. E-Clinic, 9(1).
Mariam, S. (2016). EVALUASI KEJADIAN INTERAKSI OBAT PADA
PASIEN RAWAT INAP GERIATRI PENDERITA GAGAL
JANTUNG. Jurnal Farmamedika, 1(1), 28–33.
Mieny, C. J. & Mennen, U., 2013. Principles Of Surgical Patient Care. Volume
II, Pp. 1-96
Muhammad Ishak Ilham, Haniarti, & Usman. (2019). Hubungan Pola
Konsumsi Kopi Terhadap Kejadian Gastristis Pada Mahasiswa
Muhammadiyah Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan, 2(3),
433–446. Https://Doi.Org/10.31850/Makes.V2i3.189
Prajawanti1, K. N., & M.P, D. A. A. (2019). HUBUNGAN KADAR
HEMOGLOBIN DAN NILAI HEMATOKRIT PADA PEROKOK
AKTIF. Jurnal Media Analis Kesehatan, 10(2), 99–105.
R.A.C Semieniuk, D.K Chu, L.H.Y Kim, W. Alhazzani, et al, Oxygen therapy
for acutely ill medical patients: a clinical practice guideline, 2018, 363 :
k4169
Ruben, P. (2018). Peritonitis. Medscape
Ruben, P. (2018). Peritonitis. Medscape.
https://www.jasajurnal.com/peritonitis/
Ruben, P. (2018). Peritonitis. Medscape.
Https://Www.Jasajurnal.Com/Peritonitis/
Said, I., & Angriani, H. (n.d.). Peran Kadar Kalsium Pada Penderita Kejang
Pada Anak. Ilmu Kesehatan Anak, Faklutas Kedokteran, Universitas
Hasanuddin, Makassar, 0813410385, 10.
Salomo, G. and Jekson, M. (2018). Patofisiologi Gastropati NSAID. Majalah
Ilmiah Methoda, 8, 2.
Salomo, G. and Jekson, M. (2018). Patofisiologi Gastropati Nsaid. Majalah
Ilmiah Methoda, 8(2).
Sayuti, M. (2020). KARAKTERISTIK PERITONITIS PERFORASI ORGAN
BERONGGA DI RSUD CUT MEUTIA ACEH UTARA. 6(2), 68–76.
Schwartz, Shires, & Spencer. (2000). Peritonitis dan Abses Intraabdomen
dalam Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah (6th ed.). EGC.
Shiddiq, M. (2013). Suhu Tubuh Dan Nilai Granulosit Praoperasi Pasien
Apendisitis Akut Berkomplikasi Di Rsud Dokter Soedarso Pontianak
Tahun 2012 (Doctoral Dissertation, Tanjungpura University).
Sholikhah, W. A. (2015). Woc Peritonitis. Scribd.
https://www.scribd.com/doc/259932523/Woc-Peritonitis-PDF
Simanjuntak, S. G. U., & Siahaan, J. M. (2018). Patofisiologi Gastrohepati
NSAID. Majalah Ilmiah Methoda, 8(2), 72–82.
http:ojs.lpmmethodistmedan.net
Simanjuntak, S. G. U., & Siahaan, J. M. (2018). Patofisiologi Gastrohepati
NSAID. Majalah Ilmiah Methoda, 8(2), 72–82.
Http:Ojs.Lpmmethodistmedan.Net
Søreide, K. et al. (2015) ‘Perforated peptic ulcer’, Emergency surgery, 286
Soreide, K. et al. (2019). Perforated peptic ulcer. Emergency Surgery, 286.
Stern, E. and Journey, J. D. (2019) Peptic Ulcer Perforated, Stat Pearls. Stat
Pearls Publishing. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30855910
Stern, E., Sugumar, K., & Journey, J. D. (2020). Peptic ulcer perforated. In
StatPearls [Internet]. StatPearls Publishing.
Suprihatin. (2015). MANAGEMEN STRES KERJA PADA PERAWAT ICU.
JURNAL KEPERAWATAN. 103–110. http://journal.poltekkesdepkes-
sby.ac.id/index.php/KEP/article/view/457
Warsinggih. (2016). PERITONITIS DAN ILLEUS.
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2016/10/PERITONITIS-DAN-ILUES.pdf
Warsinggih. (2016). PERITONITIS DAN ILLEUS.
Https://Med.Unhas.Ac.Id/Kedokteran/Wp-
Content/Uploads/2016/10/PERIT ONITIS-DAN-ILUES.Pdf
Weledji, E. P. (2020). Perspectives on paralytic ileus. Acute Medicine &
Surgery, 7(1), e573.
Woodfork, K. (2017). Paralytic Ileus. Journals & Books.

Anda mungkin juga menyukai