Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
2019
Sepsis
Lubis, Bastian
Universitas Sumatera Utara
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/11564
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
SEPSIS
BASTIAN LUBIS
19841228 201012 1 003
1
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini, sebagai salah satu tulisan
pada Program Studi Anastesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Tulisan ini berjudul “Sepsis”. Dalam penyelesaian tulisan ini, penulis mendapat
banyak bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu.
Penulis menyadari bahawa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis
mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi kita semua.
2
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 1
BAB 3. KESIMPULAN 16
Daftar Pustaka 17
3
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan refarat ini adalah untuk membahas secara ringkas mengenai
definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi sepsis.
4
Universitas Sumatera Utara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan infeksi bersama dengan manifestasi sistemik dari
infeksi.Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis ditambah dengan disfungsi organ akibat
sepsis atau hipoperfusi jaringan.Syok septikdidefinisikan sebagaihipotensiyang diinduksi
sepsis yang menetapmeskipunresusitasicairan yang diberikan sudah adekuat. Hipoperfusi
jaringanyang diinduksi infeksi didefinisikan sebagaihipotensiyang diinduksi infeksi,
peningkatan laktat, atauoliguria.Hipotensiyang diinduksi oleh
sepsisdidefinisikansebagaitekanan darahsistolik(SBP) <90 mmHg atautekanan arteri rata –
rata (MAP) <70mmHgataupenurunanSBP>40mmHgataukurang dari duastandar deviasi di
bawahnormal untuk usiatanpa adanyapenyebab lain darihipotensi.3
Sepsis bisa disebabkan oleh banyak kelas mikroorganisme.Mikroba yang masuk ke
peredaran darah tidak esensial, sampai terjadi inflamasi lokal dan juga adanya kerusakan
organ yang jauh serta hipotensi. Pada kenyataannya kultur darah terdapat bakteri atau jamur
hanya sekitar 20-40% dari kasus severe sepsis dan 40-70% pada kasus syok.4
2.2 Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh
virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling
sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan Pseudomonas juga sering
ditemukan. 5
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan presentase 60-70%
kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang terpacu
10
untuk melepaskan mediator inflamasi. Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun
dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran
kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
5
Universitas Sumatera Utara
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
2.3 Patogenesis
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang berat. Hal ini dikatakan
berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan berlangsung terus menerus dengan sendirinya,
dikatakan intravaskular karena proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui
pembuluh darah dan dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah
perluasan dari peradangan biasa.6
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator inflamasi
termasuk diantaranya sitokin.Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin
yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon γ yang bekerja membantu sel untuk
menghancurkan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi
yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi,
koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses
penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan
meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial,
disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan
organ akibat gangguan sirkulasi.Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi
adalah alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain
sehingga menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang merusak.6
6
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram
negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan
lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah
penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar
didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+dan akan bereaksi dengan
makrofag dan mengekspresikan imunomodulator.6
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat
berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan
sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen
Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC
(Major Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan dengan
CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell Reseptor. 6
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan
mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor), sedangkan
Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang
merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai imunoregulator utama
juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan
prostaglandin E2 (PG-E 2 ) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan
adhesi.3 Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding
endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil
juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas (nitrat oksida) sehingga
mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan
terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah
menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ
multipel.6
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-6
menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel.Setelah terjadi reperfusi pada jaringan
iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil metabolisme xantin dan
hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme asam amino yang turut menyebabkan
7
Universitas Sumatera Utara
kerusakan jaringan. ROS penting artinya bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam
memerangi peradangan, membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh
darah, Namun bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka
dia akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan bisa
menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi, kardiovaskuler,
respirasi, hati, ginjal dan hematologi.6
8
Universitas Sumatera Utara
menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang sangat penting dalam
mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor
koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan koagulasi intravaskular
diseminata yang merupakan salah satu kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa. 6
Gambar 3. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi4
dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction
syndrome (MODS).7
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan
hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer
(renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran pemeriksaan fisik yang
konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.8
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah kurangnya
beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini mungkin lebih sering ditemukan
dengan manifestasi hipotermia dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan
9
Universitas Sumatera Utara
leukositosis, dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti pada
pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium) atau pasien ini
kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan penyebab yang lain (seperti pada
bayi yang gelisah). Pada pasien dengan usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-
spesifik dapat mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-
kurangnya infeksi, seperti foto toraks dan urinalisis.9
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin berlanjut menjadi
gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama perjalanan tinggal di unit gawat
darurat, dengan permulaan hanya ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan.
Perubahan status mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena
perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium, tetapi mudah
terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan kemungkinan penyebab
perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi. Penurunan produksi urine
(≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan
pertimbangan klinis.10
2.5 Diagnosis
Pada tahun 2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan konsensus internasional yang ketiga
yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien dengan waktu perawatan di ICU dan risiko
kematian yang meningkat. Konsensus ini menggunakan skor SOFA (Sequential Organ
Failure Assesment) dengan peningkatan angka sebesar 2, dan menambahkan kriteria baru
seperti adanya peningkatan kadar laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan
11
penggunaan vasopressor pada keadaan hipotensi.
Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh terhadap
infeksi.Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap sudah tidak
membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah putih, temperatur, dan
laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya).
Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam
jiwa.Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan
11
adanya infeksi.
≥ 2.Dan istilah sepsis
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA
10
Universitas Sumatera Utara
berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari
respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan
skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick SOFA (qSOFA)
12
untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU.
di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara
cepat dan berulang.Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali
12
kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi terapi.
11
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Skor qSOFA (Quick Sequential Organ Failure Assessment)
2.6. Laboratorium
Hasil laboratorium sering ditemukan asidosis metabolik, trombositopenia, pemanjangan
waktu prothrombin dan tromboplastin parsial, penurunan kadar, serta perubahan morfologi
dan jumlah neutrofil. 13
12
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Hour-1 Surviving Sepsis Campaign Bundle of Care
Berikut akan dibahas masing-masing rekomendasi dalam sepsis bundle-1.
13
Universitas Sumatera Utara
patogen penyebab harus dilakukan pada pasien sepsis tanpa melakukan penundaan
substansial terhadap pemberian antibiotik. Dalam pedoman tatalaksana Surviving Sepsis
Campaign pada tahun 2016, panel merekomendasikan waktu paling lama 45 menit untuk
mengambil seluruh sampel infeksius dari pasien yang diduga kuat menjadi sumber infeksi.23
Berdasarkan SSC 2016 sangat direkomendasikan pengambilan seluruh sampel tubuh
pasien sepsis yang berdasarkan riwayat penyakit dan gejala yang timbul besar dugaan
menjadi sumber infeksi. Pemeriksaan kultur mikrobiologis rutin yang baik idealnya terdiri
atas dua set sampel kultur darah yang aerobik dan anaerobik. Pengambilan darah sebisa
mungkin dilakukan pada satu waktu. Pengambilan sampel setelah dilakukannya pemberian
antibiotik tidak akan berguna karena sterilisasi kultur dapat terjadi dalam hitungan menit
hingga jam setelah antibiotik diberikan.24
14
Universitas Sumatera Utara
tersebut.23
15
Universitas Sumatera Utara
Tabel 4. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi
(Sepsis Bundle: Antibiotic Selection Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre)7
16
Universitas Sumatera Utara
2.7.5 Pemberian Vasopressor
Restorasi mendesak tekanan perfusi yang memadai ke organ vital adalah bagian penting dari
resusitasi. Jika tekanan darah tidak pulih setelah cairan awal resusitasi, maka vasopressor
harus dimulai dalam jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) dari≥
65mm Hg.13 Rekomendasi penerapan vasopressor pada SSC 2016 adalah sebagai berikut:
Obat – obatan vasoaktif23
1. Kami merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopresor lini pertama (strong
recommendation, moderate quality of evidence).
2. Kami menyarankan penambahan vasopressin (sampai dengan 0,03 U/min) (weak
recommendation, moderate quality of evidence) atau epinefrin (weak recommendation,
low quality of evidence) dengan norepinefrin untuk meningkatkan MAP (mean arterial
pressure) sesuai target, atau menambahkan vasopressin (sampai dengan 0.03 U/min)
(weak recommendation, moderate quality of evidence) untuk menurunkan dosis
norepinefrin.
3. Kami menyarankan untuk menggunakan dopamine sebagai vasopresor alternatif pada
norepinefrin hanya pada pasien tertentu (misalnya pasien dengan takiaritmia resiko
rendah dan bradikardi absolut atau relatif) (weak recommendation, low quality of
evidence).
4. Kami merekomendasikan untuk menggunakan dopamine dosis rendah untuk melindungi
ginjal (strong recommendation, high quality of evidence).
5. Kami menyarankan untuk menggunakan dobutamin pada pasien yang menunjukkan
hipoperfusi persisten meskipun sudah diberikan cairan yang adekuat dan menggunakan
vasopresor (weak recommendation, low quality of evidence). Jika diinisiasi, dosis harus
dititrasi hingga titik akhir yang menggambarkan perfusi, dan agen dikurangi atau
dihentikan bila terjadi perburukan hipotensi atau aritmia.
6. Kami menyarankan semua pasien yang membutuhkan vasopresor memiliki kateter arteri
yang sudah terpasang segera bila tersedia (weak recommendation, very low quality of
evidence).
2.8 Komplikasi
1. MODS (Disfungsi Organ Multipel)
17
Universitas Sumatera Utara
Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan perfusi
jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal
dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam patogenesis ini.18
2. KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)
Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata disebabkan oleh
faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah dijelaskan pada patogenesis
sepsis diatas.
3. ARDS
Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran darah
kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan edema interstitial
dan alveolar.Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi paru menyebabkan
kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu
hipoxia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan Acute Respiratory Distress
Syndrome.20
4. Gagal ginjal akut
Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal.vaskular dan sel
endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang menyebabkan gangguan
fungsi organ ginjal.19
5. Syok septik
Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah dilakukan
terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah karena adanya vasodilatasi
perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk
perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia relatif.21
BAB III
KESIMPULAN
Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan infeksi bersama dengan manifestasi sistemik dari
infeksi.Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis ditambah dengan disfungsi organ akibat
sepsis atau hipoperfusi jaringan.Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi
yang ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory
18
Universitas Sumatera Utara
response syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada
multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
DAFTAR PUSTAKA
19
Universitas Sumatera Utara
3. Michael R Pinsky, MD, CM, FCCP, FCCM. Shock Septic.
http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview#a0156.Diunduh September
2012.
4. Besten, Andrew D. et al. 2009. Oh’s Intensive Care Manual Sixth Edition. British Library
5. R. P. Dellinger, et al. Intensive Care Medicine.Surviving Sepsis Campaign: International
Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock, 2012. February 2013,
Volume 39, Issue 2, pp 165–228. ISSN: 0342-4642 (Print) 1432-1238 (Online)
6. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. 2005. Pathophysiology of sepsis and multiple
organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds. Textbook of critical care.
15th ed. London: Elsevier Saunders Co. p: 1249-57
7. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Juang DT, et al. A randomized trial of
protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med 2014; 370(18):1683-1693
8. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi cairan. Bagian
Anestesi dan Terapi Intensif RSUP.dr.Kariadi. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro,2006.
9. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition and
institution of therapy are crucial. Postgraduate Med. 2002;3:50-9.
10. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III . Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007;1840-43.
11. Sepsis. Available from :
http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Website/lectures/lecture/sepsis.htm. diunduh
pada tanggal 16 Desember 2017
12. PB PAPDI. Panduan Tatalaksana Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam
Edisi I. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010. 123-5.
13. Mitchell ML, Laura EE dan Andrew R. The Surviving Sepsis Campaign Bundle : 2018
Update. Society of Critical Care Medicine and the European Society of Intensive
Medicine. June 2018 ; 48(6) : 997-9. DOI :10.1097/cccm.0000000000003119
14. Ahmed H, Ahmed M dan Heba N. Perfusion Indices Revisited. Journal of Intensive Care.
2017;5(24):1. DOI 10.1186/s40560-017-0220-5
15. Andra LB. Lactate-A Marker for Sepsis and Trauma. 2007. EMCREG-International.
http://emcreg.org/publications/monographs/acep/2006/alb_acep2006.pdf. Diakses pada
22 Juli 2018, 09:29 WIB.
16. Muller BM dan Dellinger RP. Lactate as a hemodynamic marker in the critically ill. Curr
Opin Crit Care. 2012;18(3):267–72.
20
Universitas Sumatera Utara
17. Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, et al; LACTATE studygroup. Early
lactate-guided therapy in intensive care unit patients: a multicenter, open-label,
randomized controlled trial. Am J Respir CritCare Med 2010; 182:752–761
18. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S, et al. Emergency Medicine Shock Research Network
(EMShockNet) Investigators: Lactate clearance vs central venous oxygen saturation as
goals of early sepsis therapy: a randomized clinical trial. JAMA 2010; 303:739–746
19. Lyu X, Xu Q, Cai G, et al. Efficacies of fluid resuscitation as guided by lactate clearance
rate and central venous oxygen saturation inpatients with septic shock. Zhonghua Yi Xue
Za Zhi 2015; 95:496– 500
20. Tian HH, Han SS, Lv CJ, et al. The effect of early goal lactate clearance rate on the
outcome of septic shock patients with severe pneumonia. Zhongguo Wei Zhong Bing Ji
Jiu Yi Xue 2012; 24:42–45
21. Yu B, Tian HY, Hu ZJ, et al. Comparison of the effect of fluid resuscitation as guided
either by lactate clearance rate or by central venous oxygen saturation in patients with
sepsis. Zhonghua Wei Zhong Bing Ji Jiu Yi Xue 2013; 25:578–58
22. Shapiro NI, Howell MD, Talmor D, et al. Serum lactate as a predictor of mortality in
emergency department patients with infection. Ann Emerg Med. 2005;45(5):524-528
23. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for Management of Sepsis and
Septic Shock : 2016. Society of Critical Care Medicine and European Society of Intensive
Care Medicine. Maret 2017; 53(3):494
24. Baron EJ, Miller JM, Weinstein MP, et al. A guide to utilization of the microbiology
laboratory for diagnosis of infectious diseases: 2013 recommendations by the Infectious
Diseases Society of America (IDSA) and the American Society for Microbiology (ASM).
ClinInfect Dis 2013; 57:e22–e121
21
Universitas Sumatera Utara