Anda di halaman 1dari 13

STUDI ISLAM TERAPAN DI INDONESIA: METODOLOGI NU

Untuk memenuhi mata kuliah metodologi studi islam

Dosen Pengampu: AMSAL QORI DALIMUNTHE, M.Pd.I.

Kelompok 11:

SITI SARAH AGUSTIN HARAHAP NIM 0105192033

M. IQBAL ISRO’I NIM 0105192029

MUHAMMAD AL FAYYAD NIM 0105192018

IKOM-2/SEMESTER III

PRODI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA


TAHUN 2021

Kata Pengantar

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatnya  sehingga kami masih diberikan kesempatan untuk dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “STUDI ISLAM TERAPAN DI
INDONESIA: METODOLOGI NU”. Makalah ini kami buat guna memenuhi
penyelesaian tugas pada mata kuliah metodologi studi islam ini semoga makalah
ini dapat menambah wawasan dan pengatahuan bagi para pembaca.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami dengan segala kerendahan hati
meminta maaf dan mengharapkan kritik serta saran yang membangun perbaikan
dan penyempurnaan kedepannya.

Akhir kata kami mengucapkan selamat membaca dan semoga materi yang ada
dalam makalah yang berbentuk makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana
mestinya bagi para pembaca.

Medan, 02 desember 2020

Kelompok 11
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa


Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui
jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal
dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar
ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon


kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun
1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri”
(kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan
keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar,
(pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar,
selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang
berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

K.H. Hasyim Asy’arie, Rais Akbar (ketua) pertama NU. Berangkan komite dan
berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa
perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis,
untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31
Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais
Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab
I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan
dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam
berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari Latar Belakang yang dipaparkan di atas maka bisa ditarik rumusan masalah
sebagai berikut :

1. Bagaimana Sejarah dari NU ?


2. Bagaimana hakikat bermazab dalam NU ?
3. Bagaimana Penetapan Hukum Dalam Bahtsul Masail NU?
4. Bagaimana paham keagamaan NU ?
5. Apa itu basis pendukung NU?
6. Bagaimana dinamika dalam NU?
7. Apa tujuan organisasi NU?

C. TUJUAN

Dari Rumusan Masalah yang dijelaskan diatas maka dapat ditarik tujuan sebagai
berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana Sejarah dari NU.


2. Untuk mengetahui hakikat bermazab dalam NU.
3. Untuk mengetahui Penetapan Hukum Dalam Bahtsul Masail NU.
4. Untuk mengetahui paham keagamaan NU.
5. Untuk mengetahui basis pendukung NU.
6. Untuk mengetahui dinamika dalam NU.
7. Untuk mengetahui tujuan organisasi NU
BAB II

PEMBAHASAN

1. Latar Belakang dan Sejarah Berdirinya Nahdhatul Ulama (NU)


Jika di Mesir dan Turki gerakan pembaruan muncul akibat kesadaran
politik atas ketertinggalan mereka dari Barat, di Arab Saudi tampil gerakan
Wahabi yang bergulat dengan persoalan internal umat Islam sendiri, yaitu
reformasi faham tauhid dan konservasi dalam bidang hukum yang menurut
mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda umat Islam.
Sementara di Indonesia tumbuh organisasi sosial kebangsaan dan keagamaan yang
bertujuan untuk memajukan kehidupan umat, seperti Budi Utomo (20 Mei 1908),
Syarekat Islam (11 November 1912), dan kemudian disusul Muhammadiyah (18
Nopember 1912).

Hal-hal tersebut telah membangkitkan semangat beberapa pemuda Islam


Indonesia untuk membentuk organisasi pendidikan dan dakwah, seperti Nahdatul 
Wathan (Kebangkitan tanah air), dan Taswirul Afkar (potret pemikiran). Kedua
organisasi dirintis bersama oleh Abdul Wahab Hasbullah dan Mas Mansur
organisasi inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya NU.

Pada saat yang sama, tantangan pembaruan yang dibawah oleh Muhammad
Abduh di Mesir mempengaruhi ulama Indonesia dalam bentuk Muhammadiyah,
yakni organisasi Islam terbesar kedua pada abad ke-20 di Indonesia. Penghapusan
kekhalifahan di Turki dan kejatuhan Hijaz ke tangan Ibn Sa’ud yang menganut
Wahabiyah pada tahun 1924 memicu konflik terbuka dalam masyarakat Muslim
Indonesia. Perubahan-perubahan ini mengganggu sebagian besar ulama Jawa,
termasuk Hasbullah. Dia dan ulama sefaham menyadari serta melakukan usaha-
usaha untuk melawan ancaman bid’ah tersebut serta merupakan kebutuhan yang
mendesak. Hasyim As’ari (1871-1947) Kiai dari pesantren Tebuireng, Jombang,
Jawa Timur, yang merupakan ulama Jawa paling disegani-menyetujui permintaan
mereka untuk membentuk NU pada tahun 1926 dan dia menjadi ketua pertamanya
atau ro’is akbar.

Khittah NU 1926 menyatakan tujuan NU sebagai berikut:


1. Meningkatkan hubungan antar ulama dari berbagai mazhab
sunni
2. Meneliti kitab-kitab pesantren untuk menentukan kesesuaian
dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah
3. Meneliti kitab-kitab di pesantren untuk menentukan
kesesuaiannya dengan ajaranahlusunnah wal-jama’ah
4. Mendakwahkan Islam berdasarkan ajaran empat mazhab
5. Mendirikan Madrasah, mengurus masjid, tempat-tempat ibadah,
dan pondok pesantren, mengurus yatim piatu dan fakir miskin
6. Dan membentuk organisasi untuk memajukan pertanian,
perdagangan, dan industri yang halal menurut hukum Islam

2. Hakikat bermazhab dalam NU


NU berpandangan bahwa bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh, tetapi
merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling
terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'i. Jadi,
menurut NU, bermadzahab juga ada tingkatan-tingkatannya. Makin tinggi
kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin
longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.

NU juga sering mendasarkan pandangannya dengan dasar ittiba', yaitu mengikuti


hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal
yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:
1. Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat
baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba'
atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti
dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak
akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya
dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa
karena tidak mampu melakukan ittiba'
2. Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih
tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba'
tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga. 

Meski NU banyak mendasarkan pandangan fiqihnya pada madzhab empat, tetapi


NU juga tidak menutup pintu ijtihad. Ijtihad di sini diartikan dengan usaha keras
untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan
atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas,
tegas, atau qath'i, pasti. Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam
untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'i dalam al-
Quran dan atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling
terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para
mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut
madzhab yang asal artinya tempat berjalan.

Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh
orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri
yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid
tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah
konsumen.

Ijtihad tidak boleh dilakukan sembarangan. Prinsip ahlus sunnah wal jamaah ini
menegaskan bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum
agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi
assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya
adalah:
1. Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala
kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.
2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang
dapat  dipertanggungjawabkan.
3. Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi
kepada Allah dalam mencari  kebenaran, bukan sekedar mencaricari argumentasi
untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain. 

Menurut pandangan NU, bermadzhab adalah upaya untuk menempuh jalan yang
lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi
ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar
al-Quran dan al-Hadits. Sedangkan taqlid buta, atau taqlid kepada sembarang
orang tentu dilarang oleh agama. Bagi mereka yang ada kesempatan dan
kemampuan tentu wajib mengetahui seluk beluk dalil yang dipergunakan oleh
para fuqaha'. Namun, untuk mencapai derajat mujtahid barangkali sulit, walaupun
kemungkinan itu selalu ada.

3. Penetapan Hukum Dalam Bahtsul Masail NU


Istilah istinbat dalam bahtsul masail tidak banyak digunakan karena
pengertian istinbat mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya, yaitu
al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, istilah istinbath yang dikenal dalam bahtsul
masail NU adalah penggalian hukum dilakukan dengan men-tathbiq-kan secara
dinamis nash-nash fuqaha. Hal ini dikarenakan ulama’-ulama’ NU meyakini
bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan sebagaimana mujtahid pada masa lalu.
Sebuah sikap yang arif dan sangat tawadlu’.
Sejak adanya bahtsul masail sampai NU lahir, belum ada system yang
ditetapkan terkait tentang pengambilan keputusan. Yang berlaku adalah
penyelesaian masalah melalui pencarian terhadap ibarat kitab / karya ulama’
empat madzhab yang sudah ada, yang terkadang jawabannya langsung ditemukan
secara jelas dalam teks kitabnya, dan terkadang tidak ditemukan tetapi dilakukan
upaya penyamaan masalah yang ada dengan masalah yang telah diselesaikan /
tertulis dalam kitab ulama’ salaf. Walaupun selalu terjadi kesepakatan untuk
khilaf. Hal ini dikarenakan, selain bahtsul masail belum menjadi lembaga otonom
dalam NU sampai tahun 1990, juga pandangan umum bahwa apa yang sudah
diputuskan oleh ulama atau qaul al-faqih dipandang selalu memiliki relevansi
dengan konteks kehidupan masa kini dan harus dipakai tanpa resesve atau krikik.
Qaul ulama yang dikemukakan dalam kitab-kitab rujukan dianggap sebagai kata
final. Boleh jadi pandangan demikian juga berkaitan dengan hakikat ilmu itu
sendiri. Pada masa lampau ilmu dirumuskan sebagai sesuatu yang diketahui dan
diyakini secara tuntas.
Mengenai sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masa’il di
lingkungan Nahdlatul Ulama baru disahkan dalam keputusan Munas Alim Ulama
Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan di Bandar Lampung pada tanggal 16-20
Rajab 1412 H./21-25 Januari 1992 M:

4. PAHAM KEAGAMAAN
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama’ah, sebuah
pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan
kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak
hanya Al-Qur’an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu,
seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i,
dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-
Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum
penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut
berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam
NU.
5. BASIS PENDUKUNG
Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan
mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari
mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki
kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang
sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah.
Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang
merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan


pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang
bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat
di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di
perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem
pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan
cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

6. DINAMIKA
Prinsip-prinsip dasar yang dicanangkan Nahdlatul Ulama (NU) telah
diterjemahkan dalam perilaku kongkrit. NU banyak mengambil kepeloporan
dalam sejarah bangsa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa organisasi ini hidup
secara dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Prestasi NU antara
lain:

1) Menghidupkan kembali gerakan pribumisasi Islam, sebagaimana


diwariskan oleh para walisongo dan pendahulunya.
2) Mempelopori perjuangan kebebasan bermadzhab di Mekah, sehingga umat
Islam sedunia bisa menjalankan ibadah sesuai dengan madzhab masing-
masing.
3) Mempelopori berdirinya Majlis Islami A’la Indonesia (MIAI) tahun 1937,
yang kemudian ikut memperjuangkan tuntutan Indonesia berparlemen.
4) Memobilisasi perlawanan fisik terhadap kekuatan imperialis melalui
Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945.
5) Berubah menjadi partai politik, yang pada Pemilu 1955 berhasil
menempati urutan ketiga dalam peroleh suara secara nasional.
6) Memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA)
1965 yang diikuti oleh perwakilan dari 37 negara.
7) Memperlopori gerakan Islam kultural dan penguatan civil society di
Indonesia sepanjang dekade 90-an.

7. Tujuan Organisasi

Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama’ah di


tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
A. KESIMPULAN

Dari materi-materi yang sudah disampaikan di atas maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) Didirikan pada 16 Rajab 1344 H
(31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagi Rais
Akbar, Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah Wal Jama’ah, sebuah pola
pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrim naqli (skripturalis), Jumlah warga Nahdlatul Ulama atau basis
pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam
profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di
desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi
memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran
Ahlusunnah Wal Jamaah dan pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat
dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar
budaya NU.

B. SARAN

Makalah yang penulis masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis sangat
berharap agar pembaca sekalian bisa memberi kritik dan saran yang membangun
agar penulis dapat menulis makalah dengan lebih baik lagi selanjutnya dan penulis
juga berharap agar yang penulis sampaikan dapat kita pahami dengan seksama
DAFTAR PUSTAKA

Fahrudin, Fuad, Agama dan Pendidikan Demokrasi Pengalaman Muhammadiyah


dan Nahdlatul Ulama, Pustaka Alvabet Jakarta. 2009

Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009

http//id.wikipedia.org/wiki/nahdatul ulama

http://www.nu.or.id/page/id/home.html

Al Barry, Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Arkola. Surabaya, 1994Sutarmo,


Gerakan Sosial Keagamaan Modernis, Suaka Alva. Jogyakarta. 2005

Anda mungkin juga menyukai