Anda di halaman 1dari 25

TATA KELOLA BERBASIS KINERJA

Disusun Oleh :

INDRA ANUGRAH

NIM. 1921046

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKUKTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SINJAI

TA 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahamatullahi Wabarakatuh.

Dengan segala kerendahan hati penyusun memanjatkan puji syukur atas


kehadirat Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah tentang “Tata Kelola Berbasis Kinerja” pada waktu
yang telah ditentukan, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang ikut membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan baik itu
dari segi penulisan, isi dan lain sebagainya, maka kami sangat mengharapkan
kritikan dan saran guna perbaikan untuk pembuatan makalah selanjutnya dalam
mata kuliah Tata Kelola Pemerintahan.

Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga


tulisan sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sinjai, 30 November 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................


iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5

C. Tujuan Perumusan ................................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kinerja .................................................................................................. 6

B. Good Government Governance ............................................................ 9

C. Anggaran Berbasis Kinerja ................................................................. 10

BAB III PEMBAHASAN

A. Tata Kelola Pemerintahan Berbasis Kinerja ...................................... 12


B. Pengaruh Prinsip Good Government Governance
Terhadap Kinerja ............................................................................... 15
C. Pengukuran Kinerja dan Penerapannya ............................................. 16
D. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja ...................................... 18

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 23
B. Saran .................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance –
GCG) merupakan hal yang diinginkan oleh perusahaan untuk bertumbuh dan
berkembang di seluruh dunia (Fernando, 2009 : 14). Menurut Crawford (2007:
53) tata kelola perusahaan yang baik, yaitu hasil dari perencanaan yang
matang, implementasi, koordinasi, dan evaluasi. Tata kelola perusahaan yang
baik ditentukan berdasarkan standar penilaian yang dikembangkan oleh
Deminor International, sebuah perusahaan konsultan yang berbasis Brussel,
bekerja sama dengan memimpin investor institusi dan juga memperhatikan
kode pemerintahan nasional akun (Schilling, 2003 : 3). Menurut Plessis et al
(2005 : 7) tata kelola perusahaan yang baik harus memenuhi karakteristik
disiplin, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, tanggung jawab, keadilan,
tanggung jawab sosial. Prinsip lain dari tata kelola perusahaan yang baik
sebagai indikator menurut Organisasi untuk Kerjasama
Ekonomi dan Pembangunan, adalah keadilan, transparansi,
akuntabilitas, tanggung jawab dan independensi (Zelenak, 2014). Corporate
Governance menciptakan mekanisme dan alat kontrol untuk memungkinkan
terciptanya efisiensi bagi perusahaan (Cahyani Nuswandari, 2009).
Teori yang dikemukakan di atas didukung oleh penelitian sebelumnya,
yaitu ada beberapa buku yang mengatakan bahwa GCG dan kinerja
perusahaan saling mempengaruhi, salah satunya adalah yang mengatakan
tanpa adanya tata kelola perusahaan yang baik, maka kinerja perusahaan
maupun uang investor mungkin akan beresiko (Mallin, 2003 : 1). Ada teori
yang lain yang mengatakan bahwa penerapan prinsip GCG mampu
meningkatkan kinerja perusahaan (Djokosantoso Moeljono, 2005 : 30).
Menurut (A.B. Sutanto, 2005 : 196) agar semua perusahaan dapat berjalan
dengan baik, maka perusahaan itu harus memiliki suatu sistem kinerja yang
baik.
Kinerja perusahaan yang baik merupakan pengelolaan organisasi yang
berkaitan dengan kepengurusan sumber daya keuangan organisasi dan
pengelolaan organisasi yang peduli dengan pengelolaan sumber daya
lingkungan (Crowther et al, 2011 : 42). Kinerja perusahaan yang baik akan
menghasilkan keuntungan bagi perusahaan yang diperoleh dari pendapatan
penjualan (Zalduendo, 2013 : 2012). Kinerja perusahaan diakui sebagai
informasi bagi manajemen yang memungkinkan untuk terciptanya
pelaksanaan budaya berorientasi pasar (Gounaris, 2005 : 111).
Seperti organisasi pada umumnya maka pemerintah juga berusaha
untuk mencapai kinerja setinggi mungkin. Messer (2017) menyatakan dalam
hasil penelitiannya bahwa membandingkan kinerja aktual dengan kegiatan
yang direncanakan merupakan kontrol manajemen yang penting. Implikasi
dari pernyataan Messer tersebut adalah bahwa kinerja merupakan apa yang
nyatanya telah dilakukan. Dincer, Hacioglu, dan Yuksel (2017) menyatakan
bahwa pengukuran kinerja adalah proses yang menganalisis keluaran
perusahaan dan efektivitas sumber daya yang diperoleh oleh perusahaan ini.
Menganalisis disini dapat berupa membandingkan dengan target, capaian
tahun lalu, atau dengan industri sejenis.
Kinerja pemerintah dapat dalam bentuk pelayanan publik, resapan
anggaran, capaian output, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Pelayanan publik merupakan salah satu tujuan utama dari instansi pemerintah.
Semua organisasi sektor publik bertujuan untuk mensejahterahkan masyarakat
di bidang-bidang tertentu.
2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana bentuk tata kelola pemerintahan berbasis kinerja ?
2) Bagaimana pengaruh Prinsip-prinsip Good Governance Terhadap Kinerja?
3) Bagaimana cara pengukuran kinerja dan penerapannya ?
4) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja ?
3. Tujuan Perumusan
1) Untuk mengetahui bentuk tata kelola pemerintahan berbasis kinerja
2) Untuk dapat mengetahui pengaruh prinsip Good Governance terhadap
kinerja
3) Untuk dapat mengetahui pengukuran kinerja dan penerapannya
4) Agar dapat mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kinerja
Kata kinerja merupakan istilah yang sudah lazim diberikan untuk kata
“performance” yang berarti pekerjaan dan perbuatan. Dalam pengertian yang
lebih luas kata-kata performance selalu dipergunakan dengan kata-kata seperti
job performance atau work performance yang berarti hasil kerja atau prestasi
kerja (Robbins, 2012: 167). Kemudian Prawirosentoso (2013: 2) menyatakan
bahwa “prestasi kerja atau produktivitas merupakan hasil kerja yang dapat
dicapai dalam sebuah organisasi sesuai dengan tanggung jawab dan wewenang
yang diembannya”.
Dalam keputusan Ketua Lembaga Administrasi Negara No.
589/IX/6Y/2013 Tanggal 20 September 2013 tentang Pedoman Penyusunan
Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah menyatakan bahwa
kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu
kegiatan / program / kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran dan tujuan
organisasi (LAN: 2013).
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka kinerja dapat diartikan
sebagai gambaran tentang sesuatu yang dicapai dalam suatu waktu, biasanya
dalam wujud prestasi yang diperlihatkan melalui hasil-hasil yang telah dicapai
baik dari segi akuntabilitas maupun kualitas sesuai dengan harapan yang
tertuang dalam suatu tujuan organisasi.
Kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja (produktifitas) yang dicapai
seorang pegawai dalam sebuah organisasi sesuai dengan wewenang dan
tanggungjawabnya dalam mencapai tujuan, sehingga dapat dikatakan bahwa
pegawai yang kinerjanya tinggi adalah pegawai yang produktif. Kinerja sering
juga disebut sebagai prestasi kerja yaitu kesuksesan seorang pegawai dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya.
Menurut Dessler kinerja adalah penilaian terhadap hasil kerja
karyawan dengan jalan membandingkan hasil kerja dengan standar kerja yang
diharapkan meliputi kualitas, kuantitas, waktu dan tingkat kepuasan pelayanan
masyarakat.
Fokus kinerja menurut pengertian Dessler tersebut adalah pada
penilaian, hal ini sejalan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatus Sipil Negara, bahwa penilaian kinerja dilakukan dengan
memperhatikan target, capaian, hasil, dan manfaat yang dicapai serta perilaku
PNS, penilaian kerja dilakukan secara terukur, akuntabel, partisipatif, dan
transparan.
Indikator kinerja pegawai menurut Agus Dwiyanto adalah sebagai
berikut :
1) Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga
efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahami sebagai
rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu
sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba
mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan
memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang
diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
2) Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung semakin menjadi penting dalam
menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan
negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena
ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari
organisasi publik.
3) Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan
masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, mengembangkan
program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Secara singkat responsivitas disini menunjuk pada keselarasan
antara program dan kegiatan pelayanan dengan kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator kinerja
karena responsivitas secara langsung menggambarkan kemampuan
organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutama untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat.
4) Responsibilitas
Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar
atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun
implisit. Oleh sebab itu, responsibilitas bisa saja pada suatu ketika
berbenturan dengan responsibilitas.
5) Akuntabilitas
Akuntabilitas Publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan
kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat publik yang dipilih
oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena
dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan
kepentingan rakyat.

2. Good Government Governance


Konsep governance bukanlah hal yang baru, governance diartikan
sebagai proses membuat keputusan dan proses bagaimana keputusan itu di
implementasikan atau tidak di implementasikan. Menurut UNDP (United
Nation Development Program), governance dapat dipandang sebagai
pelaksanaan ekonomi, politik, dan kewenangan administratif untuk mengelola
urusan Negara di semua tingkatan. Hal ini terdiri dari mekanisme, proses, dan
institusi melalui kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka,
menggunakan hak hukum mereka, memenuhi kewajiban mereka dan
memediasi perbedaan mereka.
Good government governance diartikan sebagai upaya pemerintah
dalam memenuhi tata kelola pemerintahan yang baik. Menurut Mardiasmo
(2002), Government Governance diartikan sebagai cara mengelola urusan-
urusan publik. Dilain pihak, World Bank mendefinisikan Good government
governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang
solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi
baik secara politik maupun administrative, menjalankan disiplin anggaran
serta penciptaan rerangka hukum dan politik bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Dalam penerapan good government governance, masyarakat
mengambil peranan penting dalam memberikan penilaian terhadap kualitas
kinerja pemerintah meliputi kualitas layanan admininstrasi, kualitas
penggunaan anggaran dan kualitas terhadap pengadaan barang-barang umum
atau infrastruktur yang diadakan oleh pemerintah seperti jalan raya, layanaan
kesehatan dan layanan lain di pusat-pusat pelayanan pemerintah lainnya.
Dalam masa sekarang ini, pemerintah terlihat lebih dituntut untuk
menjadi motor penyelesaian masalah publik seperti buruknya layanan
pemerintah kepada masyarakat, maraknya tindakan koruptif oleh
penyelenggaraan pemerintahan dan eksklusifnya informasi hanya untuk
kalangan tertentu atau sulitnya untuk akses informasi.
Menurut Krina, (2003) bahwa indikator good governance pada
pemerintahan meliputi: (1) Perumusan visi, misi, (2) Perumusan indikator
kinerja, (3) Ada tidaknya komitmen dari pimpinan dan seluruh staf, (4) Ada
sistem yang mampu menjamin penggunaan sumber daya, (5) Menunjukkan
tingkat pencapaian tujuan dan sasaran, (6) Evaluasi kinerja programdan
kegiatan.
Inti pembahasan dari Good Governance terletak pada pemahaman atas
prinsip-prinsip Good Governance itu sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan bertanggung jawab bisa berjalan apabila dalam penerapan
otoritas politik, ekonomi, dan administrasi, memiliki interaksi yang setara.
Interaksi dapat terjadi ketika prinsip-prinsip telah diterapkan dan dipahami
dengan baik. Prinsip-prinsip yang dikembangkan dalam Good Governance
adalah sebagai berikut (UNDP, 1997) :
1) Partisipasi (participation), mendorong setiap warga untuk mempergunakan
hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan,
yang menyangkut kepentingan masyarakat.
2) Kepastian Hukum (rule of law), mewujudkan penegakan hukum yang adil
bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat
3) Transparansi (transparency), menciptakan kepercayaan timbal-balik antara
pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin
kemudahan di dalam memperoleh informasi.
4) Responsif (responsiveness), meningkatkan kepekaan para penyelenggara
pemerintahan dan pihak-pihak yang terkait terhadap aspirasi masyarakat
tanpa kecuali.
5) Orientasi Konsensus (consensus orientation), yaitu meningkatkan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas.
6) Kesetaraan (equity), memberi peluang yang sama bagi setiap anggota
masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya.
7) Efisien dan Efektif (efficiency and effectiveness), menjamin
terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan
sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab.
8) Akuntabilitas (accountability), usaha meningkatkan akuntabilitas para
pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan
masyarakat.
9) Visi Strategis (strategic vision), membangun daerah berdasarkan visi
strategis dan mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan,
sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap
kemajuan daerahnya.

Kurniawan Agung (2005: 16) mengungkapkan tujuan dari


diterapkannya Good Governance dalam pemerintahan adalah untuk
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan
bertanggung jawab, serta efisiensi dan efektif dengan menjaga kesinergisan
interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan
masyarakat.

3. Anggaran Berbasis Kinerja


Anggaran berbasis kinerja pada dasarnya merupakan sebuah sistem
penganggaran yang berfokus pada hasil yang akan dicapai. Bastian (2006:171)
menyebutkan bahwa anggaran berbasis kinerja merupakan sistem
penganggaran yang berorientasi pada output organisasi yang berkaitan erat
dengan visi dan misi serta perencanaan strategis organisasi. Selanjutnya
menurut Mardiasmo (2002:105) anggaran kinerja merupakan sistem
penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada
pencapaian hasil atau kinerja. Kinerja tersebut mencerminkan efektifitas dan
efisiensi pelayanan publik yang berarti berorientasi pada kepentingan publik.
Menurut Halim (2007:177) anggaran berbasis kinerja adalah sistem
penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang
dituangkan dalam kegiatan-kegiatan dengan ouput dan outcome yang
diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapain outcome dari output tersebut.
Output dan outcome tersebut dituangkan didalam target kinerja yang telah
dibuat pada setiap unit kinerja. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003, anggaran berbasis kinerja adalah sistem penyusunan anggaran
berdasarkan pada kinerja atau prestasi kerja yang akan dicapai.
BAB III

PEMBAHASAN

1. Bentuk Tata Kelola Pemerintahan Berbasis Kinerja


Pemerintahan berbasis kinerja dalam Permenpan Nomor 11 Tahun
2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019, ditandai dengan
beberapa hal, antara lain:
1) Penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan dengan berorientasi pada
prinsip efektif, efisien, dan ekonomis;
2) Kinerja pemerintah difokuskan pada upaya untuk mewujudkan outcomes
(hasil).
3) Seluruh instansi pemerintah menerapkan manajemen kinerja yang
didukung dengan penerapan sistem berbasis elektronik untuk
memudahkan pengelolaan data kinerja;
4) Setiap individu pegawai memiliki kontribusi yang jelas terhadap kinerja
unit kerja terkecil, satuan unit kerja di atasnya, hingga pada organisasi
secara keseluruhan. Setiap instansi pemerintah, sesuai dengan tugas dan
fungsinya, secara terukur juga memiliki kontribusi terhadap kinerja
pemerintah secara keseluruhan.
Tata kelola pemerintahan yang baik dibutuhkan pada suatu
penyelenggaraan otonomi daerah yang diwujudkan melalui pengembangan
dan penerapan sistem pertanggungjawaban pemerintah yang akun tabel dan
transparan. Pertanggungjawaban atau akuntabilitas pemerintahan diwujudkan
ke dalam LAKIP atau Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
yang menggambarkan pertanggungjawaban pemerintah kepada publik tentang
kinerja melalui pengelolaan keuangan selama satu tahun anggaran.
Pengelolaan keuangan pada penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel
akan mendapat dukungan dan kepercayaan dari publik atas apa yang
diselenggarakan, direncanakan, dan dilaksanakan oleh program yang
berorientasi kepada publik, sementara itu di pihak penyelenggara akuntabilitas
mencerminkan komitmen pemerintah dalam melayani publik ( Putra, Akram,
Hermanto: 2018: 271-272).
Penganggaran berbasis kinerja adalah sistem yang mencakup kegiatan
penyusunan dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
dan sasaran program (Mardiasmo, 2009:84). Implementasi penganggaran
berbasis kinerja diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 sebagaimana telah diubah lagi dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 21 Tahun 2011 yang merupakan salah satu bentuk upaya
proses perbaikan penyusunan anggaran untuk menciptakan transaparansi dan
meningkat-kan akuntabilitas kinerja pemerintah daerah.
Bastian (2006) menjelaskan sistem penganggaran adalah berorientasi
“output” dan berkaitan dengan visi dan misi organisasi, dengan demikian
pengukuran “output” oleh organisasi adalah sebagai indikator kinerja yang
dilakukan dalam mengalokasikan sumber daya pada program. Oleh karena itu,
penganggaran berbasis kinerja dapat disimpulkan sebagai penganggaran yang
disusun secara jelas dan sistematis menggunakan indikator kinerja dengan
konsep value for money sehingga implementasinya dapat dicapai secara
ekonomis, efektif dan efisien serta dapat dievaluasi secara periodik.
Sistem anggaran berbasis kinerja memiliki sejumlah kelebihan antara
lain meningkatkan kinerja aspek keuangan, akuntabilitas, lingkungan
manajemen dan politik (Lewis: 2007). Selain itu penerapan anggaran berbasis
kinerja dapat mengakomodasi aspirasi masyarakat, mempermudah proses
evaluasi pelaksanaan pembangunan, dan menjadi sistem insentif/disinsentif
bagi pelaksanaan program pemerintah (Utomo et al,2007). Selain mempunyai
kelebihan, anggaran berbasis kinerja juga mempunyai kelemahan yaitu adanya
mind set traditional budgeting (Rahayu, dkk: 2007).
Penganggaran berbasis kinerja disusun dengan memadukan antara
perencanaan kinerja tahunan dengan perencanaan anggaran tahunan [1].
Rencana kinerja memuat rencana program dan kegiatan pemerintah sedangkan
rencana anggaran memuat pembiayaan untuk program dan kegiatan tersebut.
Rencana anggaran disusun berdasarkan pendekatan kinerja dimaksudkan
untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan menggunakan
sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, program dan kegiatan harus
diarahkan untuk mencapai hasil dan keluaran yang telah ditetapkan sesuai
dengan rencana kinerja (Andayani: 2007).
Agar sistem penganggaran ini berjalan dengan baik, perlu di tetapkan
beberapa hal yang sangat menentukan yaitu standar harga, tolak ukur kinerja
dan standar pelayanan minimum yang ditetapkan. Berikut ini ruang lingkup
anggaran berbasis kinerja:
1) Menentukan Visi dan Misi yang Mencerminkan Strategi dan Tujuan
Organisasi
Visi, Misi dan Tujuan organisasi merupakan pondasi penting
dalam menjalankan sebuah organisasi. Visi dan Misi menjadi tujuan
tertinggi yang hendak dicapai organisasi dan indikator kinerja harus
dikaitkan dengan komponen tersebut. Itu sebabnya dalam menyusun
rencana strategi organisasi, harus melibatkan masyarakat untuk
mendapatkan proyeksi kebutuhan masyarakat yang menjadi prioritas
pembangunan
2) Menentukan Indikator Kinerja
Indikator kinerja menggambarkan kepada pemangku kepentingan
terkait apakah rencana yang ditetapkan berada pada jalurnya. Indikator
kinerja harus terukur atau dapat diukur. Indikator kinerja meliputi : (a)
input (masukan), dapat berupa dana, sumber daya manusia dan faktor-
faktor ekonomi lainnya. (b) Output (keluaran), merupakan hasil kerja yang
terlihat setelah menggunakan masukan (input). Output biasanya dalam
bentuk fisik. (c) Outcome (manfaat) merupakan dampak positif yang
ditimbulkan atau dirasakan setelah menggunakan output.
3) Analisis Standar Biaya (ASB)
Analisis Standar Biaya merupakan standar biaya dari suatu
program atau kegiatan. Standar biaya menggambarkan kepada kita harga-
harga yang umum terjadi atas pelaksanaan kegiatan. Penyusunan ASB ini
dilakukan untuk meminimalisir kesepakatan antar eksekutif dan legislatif
untuk melonggarkan alokasi anggaran.
Penyusunan suatu rencana kinerja dalam konteks penyusunan
anggaran berbasis kinerja berkaitan erat dengan rencana strategis (Bastian:
2006). Rencana strategis (renstra) merupakan kegiatan yang menunjukkan
dimana suatu organisasi berada, arah kemana organisasi harus menuju dan
bagaimana cara (strategi) yang digunakan untuk mencapai tujuan itu. Renstra
pemerintah daerah disusun untuk digunakan selama periode lima tahun.
Target sasarannya dalam rencana strategis ini dicapai melalui rencana
operasional, yaitu rencana tahunan. Pembuatan Renstra dilakukan dengan
merumuskan visi dan misi organisasi, melakukan analisis lingkungan internal
dan lingkungan eksternal (environment scanning), merumuskan tujuan dan
sasaran, serta merumuskan strategi-strategi yang digunakan untuk mencapai
tujuan dan sasaran tersebut (Andayani :2007).
Sistem penganggaran berbasis kinerja dicanangkan di Indonesia sejak
tahun 2003 melalui penerbitan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang
Keuangan Negara. Indrawati (Wijaya, 2009:1) menyatakan bahwa mengubah
sistem penganggaran menjadi berbasis kinerja bukan hal yang mudah.
Pengalaman dari negara lain menunjukkan dibutuhkan waktu yang lama untuk
menerapkan sistem penganggaran ini.

2. Pengaruh Prinsip-Prinsip Good Governance Terhadap Kinerja


Pelaksanaan prinsip-prinsip good governance secara optimal akan
dapat mewujudkan suatu sistem ke pemerintahan yang baik sehingga dengan
sendirinya dapat meningkatkan kinerja yang ekonomis, efisiensi dan
efektivitas (value for money). Pemerintah akan mampu memberikan manfaat
yang baik kepada masyarakat dan berhasil guna dengan input yang paling
murah serta penggunaan sumber daya yang efisien (Sunardi, Yanti,
Ardiyansyah: 2019: 159-160).
Sejalan dengan penelitian Prima Yuda (2012) yang menunjukkan
bahwa variabel good governance dan pengendalian intern berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja organisasi. Hasil penelitian ini juga mendukung
penelitian yang dilakukan oleh Prasetyono & Kompyurini (2007) ini
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh langsung maupun tidak langsung
antara pengendalian intern dan penerapan prinsip-prinsip good corporate
governance yang mana akuntabilitas publik termasuk didalamnya, terhadap
kinerja organisasi. Hasil ini juga memperkuat penelitian Aprilia (2008) dan
Ulfa (2011) yang menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh positif antara
variabel good governance dalam meningkatkan kinerja sektor publik.

3. Pengukuran Kinerja dan Penerapannya


Kebanyakan manual pengukuran kinerja membuat perbedaan diantara
pengukuran kinerja dan indikator kinerja. Secara ideal pengukuran kinerja
melaporkan hubungan diantara aktivitas program dan output serta outcomes
yang muncul. Namun harus diakui bahwa hubungan diantara program dan
dampak sosial sulit untuk dimengerti dan akan berubah antar waktu. Misalnya,
jika kita ingin mengetahui akan hubungan diantara aturan keselamatan di
bidang transportasi dan berkurangnya kecelakaan, maka kita harus mengontrol
dampak dari pengaruh lain dalam lingkungan program keselamatan
transportasi. Di bawah ini dipaparkan contoh indikator-indikator input, output,
outcome dan proses dari berbagai sektor.
Dalam memilih indikator harus dipastikan konsekuensi penggunaan
indikator tersebut terhadap indikator yang lain. Harus dihindari hanya
menggunakan satu jenis indikator saja. Pemahaman menyeluruh terhadap
kinerja hanya dapat diperoleh dengan melakukan kombinasi dari berbagai
indikator. Secara ideal kinerja semestinya dievaluasi melalui suatu dialog,
bukan secara ranking mekanistik dari indikator kinerja tunggal. Jika hasil
pengukuran cukup pantas dan efektif dilihat dari biaya yang dikeluarkan,
kinerja harus diukur dengan menggunakan kombinasi indikator-indikator
input, output, outcome, dan proses yang realistis dan memiliki kecocokan
dengan aktivitas, sektor, dan periode waktu tertentu..
Ada peranan yang penting dari pelaksanaan benchmarking dalam
pengukuran kinerja. Benchmarking dikenal sebagai teknik membandingkan
praktik dan tingkatan kinerja diantara organisasi untuk mengidentifikasikan
kesempatan membuat perbaikan dalam ekonomi, efisiensi, atau efektivitas dari
suatu aktivitas organisasi.
Dua pendekatan dalam benchmarking adalah metrik dan proses.
Pendekatan metrik memberikan perhatian khusus kepada perhitungan
indikator kinerja numeric seperti unit biaya, jangka waktu, dan jumlah
keluhan, yang kemudian dibandingkan dengan data yang serupa dari
organisasi dalam bidang yang sama. Pendekatan metrik ini merupakan alat
diagnosa yang sangat bermanfaat karena akan membantu organisasi untuk
mengetahui bagian yang kurang efisien. Benchmarking dengan menggunakan
pendekatan metrik ini dapat kurang bermanfaat ketika membandingkannya
dengan organisasi lain karena adanya hambatan lingkungan yang berbeda.
Akan lebih akurat apabila digunakan untuk melihat kinerja organisasi yang
sama dalam kurun waktu yang berbeda.
Pendekatan proses dimulai dengan melakukan pemetaan proses dari
aktivitas di bidang-bidang yang telah ditentukan, mengumpulkan informasi
sumber daya yang dihabiskan, dan membuat analisis pelaksanaan, metode
yang digunakan, serta kebijakan yang menentukan kinerja dari aktivitas-
akivitas tersebut. Dalam tingkatan ini akan didapatkan berbagai
ketidakefisienan dalam proses pelaksanaan aktivitas. Jika ini dapat
dihilangkan maka akan didapatkan perbaikan kinerja yang signifikan. Langkah
selanjutnya adalah mendapatkan data yang akan dibandingkan,
membandingkan prosesnya, membuat rekomendasi, dan melaksanakan
perubahan.
Setelah perubahan dilaksanakan, nilai-nilai baru indikator kinerja
dijadikan dasar untuk mengukur perbaikan yang dicapai dan sekaligus sebagai
dasar pelaksanaan benchmarking pada masa mendatang. Teknik ini, oleh
karenanya, dalam literature dikenal sebagai perbaikan terus-menerus
(continues improvement).
Benchmarking dapat bersifat internal maupun eksternal. Benchmarking
internal dilakukan apabila perbandingan dilaksanakan diantara divisi dalam
satu organisasi yang melaksanakan proses-proses yang serupa. Misalnya
organisasi yang memiliki cabang-cabang diberbagai daerah seperti
pendidikan, kesehatan atau pajak, mereka dapat membandingkan sekolah,
rumah sakit atau kantor di berbagai kota yang berbeda. Sedangkan pelaku
eksternal bisa saja merupakan pesaing yaitu organisasi yang menjalankan
fungsi dan menghasilkan produk yang sama. Misalnya, benchmarking
dilakukan oleh universitas negeri terhadap universitas swasta saingannya, atau
benchmarking diantara organisasi pemerintah yang menjalankan aktivitas
yang sama. Bisa juga terhadap organisasi yang paling baik didekat wilayahnya
baik swasta maupun pemerintah, yang menjalankan proses kegiatan yang
sama, misalnya akuntansi, teknologi informasi, penggajian dan pembelian
barang ataupun pemberian pelayanan. Seringkali hal ini disebut sebagai tabel
liga (league tables).
Kegiatan benchmarking ini biasanya dimulai dengan kegiatan
benchmarking internal, dengan jalan memperbandingkan kinerja dari kantor
yang berbeda, lokasi yang berbeda, memahami proses dan metode yang
menerangkan perbedaan dalam pengukuran, dan memutuskan apa yang terbaik
dalam praktik internal, sebelum mencoba membandingkan dengan organisasi
lain. Penting untuk diperhatikan, seperti menentukan indikator kinerja,
pelaksanaan benchmarking ini juga hanya akan berhasil kalau dilakukan
dengan komitmen yang tinggi dari para birokrat senior untuk meningkatkan
kinerja organisasi.
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Pada awalnya teori yang sering disitir dalam berbagai literatur
menyebutkan bahwa kinerja dipengaruhi oleh interaksi dua faktor utama yaitu
kemampuan dan motivasi. Ilustrasi yang sederhana dapat ditunjukkan di sini.
Seorang pegawai dengan kemampuan yang tinggi dan motivasi yang tinggi
akan menghasilkan kinerja yang baik. Meskipun nampaknya pendapat ini
mudah diterima, cara pandang seperti ini mengabaikan faktor konteks
lingkungan. Bagaimanapun tingginya ketrampilan dan motivasi pekerja kalau
tidak mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka maka
tidak akan diperoleh kinerja yang diharapkan.
Sebagai misal, seorang dengan kemampuan yang tinggi dan memiliki
motivasi yang tinggi pula, tidak pernah mendapatkan pekerjaan yang berarti
dikantornya karena hubungannya yang tidak baik dengan atasan langsungnya.
Hal sebaliknya dapat saja terjadi. Seorang dengan kemampuan sedang dan
tidak terlalu memiliki motivasi, tetapi mampu memiliki hubungan yang dekat
dengan atasan, maka ia akan mendapatkan pekerjaan yang didapatkannya dari
pola hubungan yang ia miliki. Meskipun pekerja pertama memiliki
keunggulan internal, karena tidak ada yang dikerjakan ia tidak dapat
mempersembahkan kinerja yang tinggi. Pekerja yang kedua dengan kapasitas
internal yang tidak terlalu bagus, mampu memperlihatkan kinerja (barangkali
juga sedang-sedang saja) yang jika dibandingkan akan lebih baik dari pekerja
yang pertama. Faktor yang melekat pada lingkungan bekerja ini seringkali
disebut faktor situasional. Nampak jelas di sini bahwa faktor ini merupakan
faktor yang berada di luar kontrol pelaku. Ia akan menjadi batu sandungan
atau tenaga pendorong bagi pekerja dalam menjalankan tugas mereka sehari-
hari.
Kita dapat menerapkan teori ini untuk mengukur kinerja organisasi
dengan membuat beberapa penyesuaian. Tiga variabel independent yang
mempengaruhi kinerja organisasi adalah kapasitas organisasi, motivasi
organisasi dan lingkungan organisasi. Seperti yang telah diterangkan dalam
bagian sebelumnya, variabel kinerja organisasi dapat diukur dengan
menggunakan indikator: efisiensi, efektivitas dan relevansi. Sedangkan
kapasitas organisasi memiliki beberapa variabel, seperti kepemimpinan,
struktur, sumber daya manusia, keuangan, teknologi, pelayanan, infrastruktur
dan hubungan antar organisasi. Sedangkan motivasi organisasi dibentuk oleh
variabel-variabel: sejarah organisasi, misi, budaya, dan insentif.
Konteks lingkungan dibentuk oleh variabel-variabel seperti sistem
administrasi dan sistem hukum, politik, sosial budaya, teknologi, ekonomi dan
stakeholders (pemangku kepentingan). Konteks lingkungan merupakan faktor
yang telah mendapatkan perhatian besar dari ahli-ahli teori administrasi
pemerintahan dan organisasi. Kemampuan organisasi dalam beradaptasi
dengan lingkungannya disebutkan sebagai keharusan bagi kemajuan
organisasi.
Teori sistem juga digunakan dalam mencari faktor-faktor yang
memiliki peranan dalam peningkatan/penurunan kinerja. Model ini
menggambarkan bahwa kinerja dihasilkan dari hubungan diantara unit-unit
suatu sistem. Secara sederhana teori ini menghasilkan model input-output.
Langkah pertama dalam cara pandang ini adalah penentuan tujuan strategis
organisasi, yang kemudian dilanjutkan dengan penetapan tujuan operasional
yang memiliki karakteristik spesifik. Tujuan operasional ini kemudian
dihubungkan ke dalam siklus manajemen yang terdiri dari input, aktivitas, dan
output. Output yang berupa kebijakan diukur dampaknya dalam masyarakat.
Dampak ini dibagi menjadi dua, dampak intermediate dan dampak jangka
panjang. Dampak intermediate ini merupakan pencapaian intern, yang
diharapkan menjadi tenaga ekstra untuk mempercepat pencapaian tujuan
akhir.
Dampak harus dipahami bukan merupakan tindakan organisasi, tapi
konsekuensi yang muncul dari pelaksanaan program. Oleh karenanya jeda
waktu antara munculnya output dan outcome dapat dalam waktu yang pendek
atau panjang. Kita juga sulit untuk menentukan adanya kausalitas diantara
output dan outcomes. Dalam model sistem ini lingkungan juga merupakan
faktor yang harus diperhitungkan. Outcomes yang diinginkan harus selalu
diperbandingkan dengan outcomes yang dicapai. Sedangkan feedback akan
berasal dari perbandingan diantara outcomes dan tujuan. Apabila kita
menggunakan teori sistem, maka variabel-variabel kebijakan, manajemen dan
lingkungan merupakan penentu utama kinerja suatu organisasi.
Dalam varian yang lain dari teori sistem untuk mengukur kinerja,
variabel-variabel kapasitas manajemen dianggap sangat determinan dalam
meningkatkan atau menurunkan kinerja suatu organisasi. Kinerja organisasi
pemerintahan merupakan fungsi dari kejelasan tujuan, kapasitas manajemen
dan budaya pembangunan yang dimiliki.
Kapasitas manajemen merupakan kapasitas yang dimiliki dalam
melakukan pengelolaan sumber daya keuangan, sumber daya manusia dan
pengelolaan informasi. Kemampuan pengelolaan ini merupakan satu kesatuan
subsistem manajemen, yang menghasilkan kapasitas manajemen. Teori ini
nampaknya juga sangat memperhitungkan peran budaya dalam menentukan
bekerjanya fungsi-fungsi manajemen. Budaya pembangunan dikatakan
mempengaruhi dan secara timbal balik dipengaruhi kapasitas manajemen.
Dengan mengkombinasikan dua 4 faktor penting: fleksibilitas – kontrol di satu
sisi dan internal – eksternal di sisi yang lain, kita akan mendapatkan
kombinasi jenis budaya yang memiliki determinasi yang berbeda terhadap
kinerja organisasi.
1) Fleksibel – Internal
Budaya Kelompok
 Pribadi
 Kehangatan dan peduli
 Kesetiaan dan tradisi
 Kohesi dan semangat kerja
 Keadilan
2) Fleksibel – Eksternal
Budaya Pembangunan
 Dinamis dan berjiwa wirausaha
 Mau mengambil resiko
 Inovatif dan Pengembangan
 Pertumbuhan sumber daya
 Menghargai inisiatif individu
3) Kontrol – Internal
Budaya hirarkis
 Terstruktur secara formal
 Pengaturan secara ketat
 Orientasi Aturan
 Stabilitas
 Insentif berdasarkan urutan
4) ontrol – eksternal
Budaya Rasional
 Pencapaian target
 Pemenuhan tujuan
 Kompetisi dan prestasi
 Insentif berdasarkan hasil
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap kinerja instansi pemerintah
adalah sistem pengendalian intern pemerintah (Chintya, 2015). Pengenalian
internal yang baik dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan (Good
Governance) yang baik pula. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008,
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah sistem pengendalian
intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Dengan adanya penerapan SPIP, maka semakin
kecil kemungkinan terjadinya penyimpangan, sehingga meningkatkan
pencapaian kinerja pemerintah serta keseluruhan dari kegiatan-kegiatan yang
ditetapkan sebelumnya dapat berjalan dengan baik. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Lestari (2015) menyatakan bahwa pengendalian internal
berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi.
BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Tata kelola
pemerintahan yang baik dibutuhkan pada suatu penyelenggaraan otonomi
daerah yang diwujudkan melalui pengembangan dan penerapan sistem
pertanggungjawaban pemerintah yang akun tabel dan transparan.
Pertanggungjawaban atau akuntabilitas pemerintahan diwujudkan ke dalam
LAKIP atau Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang
menggambarkan pertanggungjawaban pemerintah kepada publik tentang
kinerja melalui pengelolaan keuangan selama satu tahun anggaran.
penganggaran berbasis kinerja berpengaruh positif terhadap akuntabilitas
kinerja pengelolaan keuangan. Hal ini berarti bahwa penerapan penganggaran
berbasis kinerja telah sangat baik diterapkan karena tolok ukur keberhasilan
penganggaran berbasis kinerja adalah adanya keterkaitan antara dana yang
tersedia dengan hasil yang diharapkan. Selain itu prinsip-prinsip good
governance secara signifikan berpengaruh positif terhadap kinerja
pemerintahan.
2. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian-penelitian mendatang
yang berhubungan dengan Tata Kelola Berbasis Kinerja diharapkan
mengembangkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi akuntabilitas kinerja
pemerintah daerah
DAFTAR PUSTAKA

Akram, Hermanto, dkk. 2018. Determinan Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Di


Kabupaten Lombok Barat. Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan –
Volume 2, Nomor 2. Program Magister Akuntansi Universitas Mataram.

Andayani, Wuryan. 2007. Akuntansi Sektor Publik. Malang: Bayumedia


Publishin

Bastian, I. 2006. Akuntansi Sektor Publik: Suatu Pengantar. Penerbit Erlangga.


Jakarta.

Bastian, Indra. 2006. Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah


di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat

Chyntia, A. 2015. Analisis Efektivitas Sistem Pengendalian Internal Atas


Persediaan Barang Dagang Pada Grand Hardware Manado. Jurnal Riset
Ekonomi, Manajemen Bisnis dan Akuntansi. 3(3): 17-20

Dessler Gary., Manajemen Personalia, Penerbit Erlangga, Surabaya, 1993.

Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,


Gadjah Mada University, 2006

Halim, Abdul. 2007. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM


YKPPN

Harsasto, Priyatno. Manajemen dan Pengukuran Kinerja Pemerintahan.

Hawke, Lewis. 2007. Performance Budgeting in Australia. OECD Journal on


Budgeting. Vol. 7 No. 3 ISSN 1608-7143.

Krina P, Loina, dan Lalolo (2003), Indikator & Alat ukur Akuntabilitas,
Trasparansi & Partisipasi. Jakarta: Sekretariat Good Publik Governance
Bappenas.

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi. Yogyakarta.

Mardiasmo. (2002), Akuntansi Sektor Publik, Edisi.II, Andi Offset Yogyakarta.


Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatus Sipil Negara.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.60 tahun 2008 Sistem Pengendalian


Intern Pemerintah.

Permenpan Nomor 11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-
2019.

Rahayu, Sri, Unti Ludigdo dan Didied Affandy.2007. “Studi Fenomenologis


terhadap Proses Penyusunan Anggaran Daerah Bukti Empiris dari Satu
Satuan Kerja Perangkat Daerah di Provinsi Jambi”. ASSP. No. 03.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.

Utomo, Nugroho Adi, Putu Oka Ngakan dan Ahmad Dermawan. 2007. Anggaran
Berbasis Kinerja: Tantangannya Menuju Tata Kelola Kehutanan yang
Baik. Governance Brief, Number 37, September 2007.

Wijaya, Agoeng. 2009, Enam Kementrian Jajal Anggaran Berbasis Kinerja,


Tempo.

Anda mungkin juga menyukai