Pendahuluan
Keselarasan hidup perlu diwujudkan dengan mengharmonisasikan hubungan
kita kepada Sang Pencipta (Parhyangan), hubungan dengan sesame (Pawongan) dan
juga hubungan harmonis kita dengan lingkungan hidup kita
(Palemahani).Keharmonisan itu membangun keseimbangan hidup yang akan menuntun
kehidupan manusia untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia yang disebut
dengan Jagadhita. Itulah sebabnya Agama Hindu dalam setiap aktivitasnya senantiasa
terus mengupayakan keselarasan hidup, yang diimplementasikan baik melalui aktivitas
jasmaniah Sekala dan aktivitas spiritual/Niskala.
Aktivitas atau kerja Sekala dan Niskala ini juga salah satu bentuk sinergisitas
badan manusia itu sendiri yang hakikatnya terdiri dari badan wadag dan ruhnya. Begitu
juga alam semesta ini ada yang nampak dan juga ada alam lain di dimensi lain yang
hidup bersama kita. Tidak nampak, tetapi sejatinya ada dan mempengaruhi hidup
manusia. Sekala-nya manusia melakukan aktivitas kerja fisiknya, seperti berlar,
berjalan, membersihkan lingkungan, dan lain sebagainya. Sedangkan
secara Niskala hal yang dilakukan adalah melalui kegiatan yajña, sebagai bentuk
pernyataan persembahan dan penyerahan diri yang tulus ikhlas kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi Beliau. Dua hal itu dilakukan secara
sinergis dan berkesinambungan sehingga mereka mengalir dalam setiap langkah umat
Hindu, yang nampaknya setiap saat melakukan upacara dan pesembahan. Itu
merupakan wujud antara aktivitas fisik dan spiritual, sekala-niskala, itu berjalan
bersama, berdampingan dan saling mempengaruhi. Tiada hari tanpa yajña, tiada
aktivitas tanpa didahului oleh yajña, seberapapun besarnya pekerjaan yang
dilakukan, yajña pasti menjadi awal dan akhir dari pekerjaan tersebut.
Salah satu pekerjaan yang amat nyata dan mudah kita amati bersama adalah
saat manusia muai membuka lahan untuk dijadikan lahan pemukiman, dibuka lahannya
untuk kawasan pertanian dan perkebunan, serta aktivitas yang bersentuhan langsung
dengan pemanfaatan lahan dan lingkunga, umat Hindu senantiasa mengawalinya
dengan upacara Pacaruan, dalam hal ini disebut dengan upacara Pangruakan, yaitu
upacara bhuta yajña untuk memohonkan permakluman dan izin untuk memanfaatkan
lahan. Secara sekala upacara ini dapat dijadikan sebagai tonggak dimulainya kerja
serta orientasi medan dalam pemanfaatan lahan. Sedangkan secara Niskala hal ini
bermakna untuk menetralisir kekuatan negatif agar tidak mengganggu kerja manusia,
serta mengatur energy-energi alam agar teratur dan seimbang posisinya di wilayah itu.
Begitu besarnya peranan banten caru dalam kehidupan ini, menyebabkan upacara ini
tidak dapat bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Secara hukum Acara
Agama perbedaan bentuk dan julukan nama sejatinya sama, dan hal itu masih
dibenarkan. Dari tataranTattwa dan Susilanya sejatinya tak mungkin akan jauh berbeda
dan secara etis pastilah mencerminkan hal tersebut.
4. Penutup
Caru sebagai modifikasi praktik ajaran Bhairawa yang masih dilanjutkan oleh
umat Hindu Nusantara memiliki makna dan nilai yang amat mendalam, yaitu sikap rela
berkorban. Pengorbanan jiwa adalah pengorbanan tertinggi bagi Tuhan, Kita rela
mengorbankan kesenangan kita, harta kita, dan juga tenaga kita untuk menyiapkan
sarana caru itu adalah bentuk kesungguhan kita dalam berkorban, yang tentunya
dilandasi dengan semangat tulus ikhlas tanpa pamerih. Caru merupakan wujud
kepedulian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga keseimbangan dan
keharmonisan alam, untuk menjaga keberlangsungan hidup setiap makhluk agar hidup
dalam kedamaian dan kesejahteraan (Shanti Jagadhita).
Urip Wewaran pada caru dan tawur (Lontar Warigha Bhagawan Gargha)
Penggunaan urip wewaran / neptu pada caru dasarnya adalah panca wara, karena sesuai
dengan mitologi panca korsika, yakni: :