Anda di halaman 1dari 9

 

Pendahuluan
Keselarasan hidup perlu diwujudkan dengan mengharmonisasikan hubungan
kita kepada Sang Pencipta (Parhyangan), hubungan dengan sesame (Pawongan) dan
juga hubungan harmonis kita dengan lingkungan hidup kita
(Palemahani).Keharmonisan itu membangun keseimbangan hidup yang akan menuntun
kehidupan manusia untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia yang disebut
dengan Jagadhita. Itulah sebabnya Agama Hindu dalam setiap aktivitasnya senantiasa
terus mengupayakan keselarasan hidup, yang diimplementasikan baik melalui aktivitas
jasmaniah Sekala dan aktivitas spiritual/Niskala.
Aktivitas atau kerja Sekala dan Niskala ini juga salah satu bentuk sinergisitas
badan manusia itu sendiri yang hakikatnya terdiri dari badan wadag dan ruhnya. Begitu
juga alam semesta ini ada yang nampak dan juga ada alam lain di dimensi lain yang
hidup bersama kita. Tidak nampak, tetapi sejatinya ada dan mempengaruhi hidup
manusia. Sekala-nya manusia melakukan aktivitas kerja fisiknya, seperti berlar,
berjalan, membersihkan lingkungan, dan lain sebagainya. Sedangkan
secara Niskala hal yang dilakukan adalah melalui kegiatan yajña, sebagai bentuk
pernyataan persembahan dan penyerahan diri yang tulus ikhlas kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi Beliau. Dua hal itu dilakukan secara
sinergis dan berkesinambungan sehingga mereka mengalir dalam setiap langkah umat
Hindu, yang nampaknya setiap saat melakukan upacara dan pesembahan. Itu
merupakan wujud antara aktivitas fisik dan spiritual, sekala-niskala, itu berjalan
bersama, berdampingan dan saling mempengaruhi. Tiada hari tanpa yajña, tiada
aktivitas tanpa didahului oleh yajña, seberapapun besarnya pekerjaan yang
dilakukan, yajña pasti menjadi awal dan akhir dari pekerjaan tersebut.
Salah satu pekerjaan yang amat nyata dan mudah kita amati bersama adalah
saat manusia muai membuka lahan untuk dijadikan lahan pemukiman, dibuka lahannya
untuk kawasan pertanian dan perkebunan, serta aktivitas yang bersentuhan langsung
dengan pemanfaatan lahan dan lingkunga, umat Hindu senantiasa mengawalinya
dengan upacara Pacaruan, dalam hal ini disebut dengan upacara Pangruakan, yaitu
upacara bhuta yajña untuk memohonkan permakluman dan izin untuk memanfaatkan
lahan. Secara sekala upacara ini dapat dijadikan sebagai tonggak dimulainya kerja
serta orientasi medan dalam pemanfaatan lahan. Sedangkan secara Niskala hal ini
bermakna untuk menetralisir kekuatan negatif agar tidak mengganggu kerja manusia,
serta mengatur energy-energi alam agar teratur dan seimbang posisinya di wilayah itu.
Begitu besarnya peranan banten caru dalam kehidupan ini, menyebabkan upacara ini
tidak dapat bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Secara hukum Acara
Agama perbedaan bentuk dan julukan nama sejatinya sama, dan hal itu masih
dibenarkan. Dari tataranTattwa dan Susilanya sejatinya tak mungkin akan jauh berbeda
dan secara etis pastilah mencerminkan hal tersebut.

2. Pengertian dan Mithologi Caru


Caru secara bentuk upacara dan tata cara pelaksanaannya tidak lepas dari
praktik pelaksanaan ajaran Tantrakhususnya ajaran Bhairawa. Ajaran Bhairawa ini
menunjukkan usaha-usaha mistik untuk menuju kebahagiaan yang sempurna, salah
satunya dengan menghaturkan hewan kurban, daging, darah, minuman keran, gerak
tari dan hubungan intim simbolik religius yang disebut dengan istilah dengan Panca
Makara. Pelaksanaan Panca Makara sebagai praktek ajaranBhairawa yang masih
terwariskan hingga saat ini mengalami modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian, di
antaranya penggunaan daging mentah dan darah (Mamsa) diolah menjadi olah-olahan
caru, lawar dan sate dalam caru. Mina yaitu unsur ikan ditunjukkan dengan
penggunakan rerasmen, ikan teri, terasi, dan lain sebagainya pada
banten Caru.  Mada yaitu unsur-unsur minuman keras yang dimodifikasi dengan
penggunaan tetabuhan yang terdiri dari arak, berem, tuak, dan air gula.Mudra yaitu
gerak tangan simbolik religius, dalam caru diwujudkan saat melakukan prasawya pada
prosesi ngrebeg. Sedangkan untuk Maithuna yang secara harfiah berarti
penggabungan, hubungan intim, disimbolkan dengan melakukan prosesi matabuh
rah dan panglebar caru sesuai dengan tradisi daerah setempat.
Caru ini secara etimologi kata berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti
hewan kurban, berkurban, mengurbankan, ketel kurban, kawah kurban (Simpen, 1982:
52). Berdasarakan etimologi kata dan implementasinya sudah amat sesuai yaitu
adanya prosesi mengurbankan hewan sebagai sebuah pesembahan. Persembahan ini
bukan berarti umat Hindu adalah pemuja setan, tetapi melalui persembahan ini kita
memohon kepada Tuhan sekaligus mendoakan makhluk-makhluk di bawah kita agar
mendapatkan kedamaian dan penyucian dari Tuhan. Digunakannya unsur daging,
darah dan sarana-sarana yang nampaknya cukup mengerikan itu karena sarana darah,
daging, dan bau amis yang ditimbulkannya itu amat disukai oleh kekuatan itu dan
akhirnya mereka bisa tenang/ somya. Tetapi secara logika, penggunaan bahan organik
dalam banten caruyang kemudian nantinya ditanam dalam tanah itu akan amat
bermanfaat bagi kesuburan tanah di wilayah itu.
Mithologi yang mendasari pelaksanaan caru di Bali adalah kisah Mahabharata
pada Sauptika Parwa, yakni saat Dhuryodana yang dalam keadaan sekarat masih
penuh dendam dan amarah namun kematiannya belum kunjung datang. Saat itu
Aswatama ingin membalaskan dendam sahabatnya itu untuk membunuh Pandawa. Dini
hari ia melancarkan aksi memalukan sepanjang sejarah yakni membunuh Panca
Kumara yang masih tertidur lelap pasca perang Bharata Yudha. Panca Kumara ditebas
dengan pedang Aswatama, dan pedang yang berlumuran darah para pangeran
Pandawa itu dibawanya kepada Dhuryodana. Dioleskannya pedang itu disekujur tubuh
Dhuryodana dan akhirnya ia bisa memperoleh kematiannya dengan tenang. Hal ini
menunjukkan kekuatan negatif yang disimbolkan oleh Dhuryodana dapat menjadi
tenang oleh penggunaan darah. Itulah sebabnya pada banten caru menggunakan
daging dan darah lima ekor ayam sebagai simbol pengorbanan suciPanca
Kumara untuk mendamaikan, menyucikan, menyomya kekuatan negatif alam semesta
ini.
Sedangkan secara teologis, pelaksanaan Caru yang dilakukan oleh umat Hindu
di seluruh Nusantara dengan berbagai tata cara sesuai adat setempat bersumber pada
petunjuk dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan, Purwa Bhumi Tua, dan Kala
tattwa. Disebutkan dalam teks tersebut bahwa Caru merupakan upacara bhuta
yajña untuk menenangkan para bhuta kala agar tidak mengganggu kehidupan
manusia. Secara khusus dalam lontar Kala Tattwa juga dijelaskan bahwa dengan
melakukancaru maka alam akan disucikan (bhumi sudha) dan kekuatan-keuatan alam
lainnya akan seimbang kembali (somya) sehingga kehidupan manusia kembali
harmonis dan bisa memperoleh kesejahteraan (Tim Penyusun, 1998: 4).

3. Unsur-unsur dalam Banten Caru


Banten Caru sejatinya ada beragam jenis dan fungsinya tersendiri.
Penamaan Caru itu sendiri disesuaikan dengan jenis hewan kurban yang digunakan.
Dalam makalah ini disajikan unsur-unsur bebantenan inti dalam Caru Ayam
Brumbunyaitu banten Caru yang menggunakan sarana ayam dengan bulu yang
berwarna brumbun (Campuran warna putih, merah, kuning dan hitam) sebagai hewan
kurbannya. Setelah ayam itu dipotong (bulunya tidak dicabut) lalu dikuliti sedemikian
rupa sehingga bagian kepala, sayap dan kakinya masih melekat satu dengan lainnya.
Dagingnya di “olah” dijadikan tiga jenis “urab-uraban” (urab barak, urab putih, gegecok)
dan 3 jenis sate (sate lembat, sate asem, sate calon). Ketiga jenis uraban dansate itu
disebut Trinayaka sebagai simbol jasmani ayam tersebut yang disimbolkan dengan
aksara suci Ang, Ung, Mang(Arwati, 2008:18)
Hindu adalah agama yang sangat fleksibel dan tidak kaku, sehingga memberikan
ruang kebebasan bagi umat untuk membuat sarana upakara sesuai dengan
kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, namun secara makna spiritual dan tujuan
yang dituju adalah sama. Itulah sebabnya tetandingan caru dan bentuk jejahitan dan
tata cara merangkainya antara desa yang satu dengan desa yang lainnya akan
berbeda, disesuaikan dengan desa, kala, patra. Namun ada hal pokok yang memiliki
kesamaan di setiap banten caru sesuai dengan yang disyaratkan dalam teks-teks
upacara banten Caru seperti lontar Dharma Caruban termasuk pula yang telah
dirumuskan melalui kesatuan tafsir agama Hindu dan pedoman-pedoman pelaksanaan
upacara agama yang dirumuskan secara praktis oleh Kementerian Agama. Menurut
pedoman tetabdingan banten caru ayam brumbun yang diterbitkan oleh Kantor Wilayah
Kementerian Agama Provinsi Bali, merumuskan unsur-unsur pokok yang terdapat
dalam banten caru ayam brumbun adalah sebagai berikut.

 Karangan, sebuah taledan berisi urab-uraban dan sate tiap jenisnya 2 biji, serta


dilengkapi dengan garam dan sambel. Berisi nasi dialasi sebuah bakul (nasi
sokan yang dilengkapi dengan sirih “lekesan” pinang dan gambir),
diisi dengan sampian nagasari.
 Kawisan, sebuah taledan yang isinya seperti membuat Karangan tetapi nasinya
diganti dengan nasi pangkonan/ penek, diisi dengan canang genten.
 Bayuhan, sebuah taledan berisi urab-uraban dan sate tiap jenisnya 1 biji.
Dibuat dalam 8 tanding. Nasinya adalah 8 buah tumpeng brumbun dan banten
danan masing-masing berisi tumpeng putih 2 buah,  lengkap dengan raka-raka,
sesaur dan sambel, diisi sampian matangga.
 Ketengan, sebuah taledan yang berisi urab-uraban dan sate tiap jenisnya 1 biji.
Dibuat dalam 8 tanding. Nasinya adalah “nasi sasah berumbun” 8 tanding dan
diisi canang genten.
 Segehan Cacahan dibuat sebanyaj delapan tanding.
  Cau dandan, dibuat sebanyak 8 buah berisi nasi brumbum serta dilengkapi

dengan lauk-pauk, disajikan di atasjejaitan kapu-kapu yang digandengkan.


  Tulung Sangkur, dibuat sebanyak 8 buah, berisi nasi brumbun dan lauk-pauk.

 Takep-takepan, dua buah ceper kecil yang dikatupkan di dalamnya berisi


beras, base tampel, benang putih, danuang kepeng. Dibuat 8 tanding.
 Banten Peras-Penyeneng, ayaban alit dari caru minimal berisi banten peras,
penyeneng, sanga urip, dan sorohan alit, yang diletakkan di hulunya
banten caru.
 Banten di Sanggah Cucuk, di dalam Sanggah Caru dihaturkan Daksina,
banten danan dengan sampian matangga, ketipat kelanan, tadah sukla, banten
burat wangi, dan  peras ajuman. Sanggah Cucuk dilengkapi dengangantung-
gantungan dan lamak, yang dialasi juga dengan daun telujungan.
 Kwangen, dibuat sebuah Kwangen yang diisi delapan uang kepeng.
 Layang-layang, belulang ayam brumbun tadi di taruh di atas
sebuah klatkat, sebaiknya klatkat sudamala, yang dialasi dengan daun
telujungan kecil, kemudian di taruh di bagian paling atas dari
tumpukan tetandingan banten caruini.
 Uparengga Caru, uparegga yang diperlukan dalam banten Caru ini adalah
sebuah 1). sengkuwi yang jumlah anyaman/ ulat-ulatannya sebanyak 8 buah.
2). Sanggah Cucuk, berbentuk segitiga, dilengkapi dengan cambeng yaitu
empat batang bambu kecil yang digantung atau diselipkan pada tangai sanggah
cucuk untuk tempat sarana tetabuhanyaitu arak, berem, tuak dan toya
anyar. 3) Kober Caru menggunakan secarik kertas lima warna, yang diikatkan
pada setangkai ranting bamboo kecil yang masih berisi daun. 4). Sampat, tulud,
prakpak, dan kulkul adalah sarana untukngrebeg.

Demikianlah unsur-unsur pokok yang terdapat pada banten caru yang penulis


sadari masing-masing daerah memiliki perbedaan, baik tata cara nanding, unsur-unsur
yang dipergunakan, bentuk tetuasan dan lain-lainnya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan ada daerah yang tidak menggunakan beberapa unsur di atas, atau
bahkan ada yang lebih dari unsur-unsurtetandingan yang telah disajikan dalam
makalah ini. Hal itu kembali pada konsep desa kala patra, namun yang perlu diingat
bahwa unsur pokok dalam caru adalah adanya Trinayaka tersebut.
Jumlah tetandingan dalam makalah ini disajikan 8 tanding,jika caru ayam brumbun ini
digunakan untuk Caru Panca Sata. Sedangkan jika caru ayam brumbun ini berdiri
sendiri sehingga digunakan dalam Caru Eka Sata, maka jumlah tetandingan nya
menjadi tiga puluh tiga (33) tanding yang disebut dengan Uriping Bhuana, yang
didapatkan dari akumulasi dari urip kelima arah penjuru mata angin. Perlu diperhatikan,
jikaCaru Ayam Brumbun ini digunakan untuk menyertai empat caru ayam lainnya
dalam Caru Panca Sata maka keberadaan caru ayam brumbun ini adalah sebagai satu
kesatuan dengan empat caru lainnya. 
Ditinjau dari penggunaannya, Caru Ayam Brumbun ini disebut pula Caru
Pangruak yang digunakan untuk upacara membuka lahan pertama kali. Caru ini
difungsikan untuk menetralisir kekuatan alam di lingkungan yang akan dibuka lahannya
baik untuk pertanian, perkebunan, perumahan, lebih-lebih digunakan untuk pendirian
tempat suci. Harapannya agar lingkungan di tempat pembangunan tersebut menjadi
harmonis dan segala usaha yang dilakukan di tempat itu mendapatkan
keberhasilan. Caru Ayam Brumbun juga digunakan untuk menyucikan area pekarangan
rumah dari kekuatan-kekuatan negatif yang merugikan, sekaligus sebagai media
penbusan hutang manusia kepada alam semesta yang sudah banyak memelihara
hidup kita.

     4. Penutup 
Caru sebagai modifikasi praktik ajaran Bhairawa yang masih dilanjutkan oleh
umat Hindu Nusantara memiliki makna dan nilai yang amat mendalam, yaitu sikap rela
berkorban. Pengorbanan jiwa adalah pengorbanan tertinggi bagi Tuhan, Kita rela
mengorbankan kesenangan kita, harta kita, dan juga tenaga kita untuk menyiapkan
sarana caru itu adalah bentuk kesungguhan kita dalam berkorban, yang tentunya
dilandasi dengan semangat tulus ikhlas tanpa pamerih. Caru merupakan wujud
kepedulian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga keseimbangan dan
keharmonisan alam, untuk menjaga keberlangsungan hidup setiap makhluk agar hidup
dalam kedamaian dan kesejahteraan (Shanti Jagadhita).

Urip Wewaran pada caru dan tawur (Lontar Warigha Bhagawan Gargha)
 
Penggunaan urip wewaran / neptu pada caru dasarnya adalah panca wara, karena sesuai
dengan mitologi panca korsika, yakni: :

 Umanis urip 5 di timur, 


 Paing urip 9 di selatan,
 Pon urip 7 di barat, 
 Wage urip 4 di utara, 
 dan Kliwon urip 8 di tengah. 
 Caru Artinya Cantik
 Dalam kitab Samhita Swara disebutkan, arti kata caru adalah cantik atau harmonis. Mengapa
upacara Butha Yadnya itu disebut caru. Hal itu disebabkan salah satu tujuan Butha Yadnya
adalah untuk mengharmoniskan hubungan manusia dengan alam lingkunganya. Dalam kitab
Sarasamuscaya 135 disebutkan, bahwa untuk menjamin terwujudnya tujuan hidup mendapatkan
Dharma, Artha, Kama dan Moksha, terlebih dahulu harus melakukan Butha Hita. Butha Hita
artinya menyejahtrakan alam lingkungan.
 Untuk melakukan Butha Hita, itu dengan cara melakukan Butha Yadnya. Hakekat Butha Yadnya
itu adalah menjaga keharmonisan alam agar alam itu tetap sejahtra. Alam yang sejahtera itu
artinya alam yang cantik.
 ButhaYadnya pada hakekatnya merawat lima unsur alam yang disebut panca maha butha
(tanah, air, api, udara dan ether). Kalau kelima unsur alam itu berfungsi secara alami, maka dari
kelima unsur itulah lahir tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itulah sebagai bahan dasar
makanan hewan dan manusia. Kalau keharmonisan kelima unsur alam itu terganggu maka
fungsinya pun juga akan terganggu. Dalam Bhagawadgita III.14 disebutkan tentang proses
berkembangnya makhluk hidup dari makanan. Dari hujan datangnya makanan. Hujan itu datang
dari Yadnya. yadnya itu adalah Karma. Dalam Bhagawadgita ini memang disebutkan hanya
hujan. Namun dalam proses menumbuhkan tumbuh-tumbuhan tidaklah hanya hujan saja yang
dapat melahirkan tumbuh-tumbuhan. Kelima unsur alam tersebut juga berfungsi menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan.
 Tanah, api (matahari), udara dan ether juga berfungsi untuk menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
Peredaran kelima unsur alam itu melahirkan iklim serta siang dan malam. Karena itu upacara
mecaru itu berfungsi untuk menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat manusia agar memiliki
wawasan kesemestaan alam.
 Hubungan antara manusia dehgan alam haruslah berdasarkan konsep Cakra Yadnya
sebagaimana ditegaskan dalam kitab Bhagawadgita III.16. ini artinya antara alam dan manusia
harus menjaga kehidupan yang saling memelihara berdasarkan Yadnya. Keberadaan alam ini
karena Yadnya dari Tuhan. Karena itu manusia berutang moral pada Tuhan dan alam secara
langsung. Utang moral itulah yang disebut rina dalam kitab Manawa Dharmasastra. Dalam
Yajurveda XXXX.l disebutkan bahwa Tuhan itu berstana pada alam yang bergerak atau tidak
bergerak (Isavasyam Idam Jagat). Ini artinya alam itu adalah badan raga dari Tuhan. Karena itu
upacara mecaru itu berarti suatu kewajiban merawat badan raga Tuhan dalam wujud merawat
alam.
 Di dalam kitab Manawa Dharmasastra V.40 disebutkan, tujuan digunakan tumbuhtumbuhan dan,
hewan tertentu sebagai sarana upacara yadnya adalah sebagai upaya dan doa agar semua
makhluk hidup tersebut meningkat kualitas dan kuantitasnya pada kelahiran yang akan datang.
 Akan menjadi tidak cantik kalau penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan tersebut hanya
mentok di tingkat upacara semata. Tujuan hakiki dari upacara mecaru itu adalah pelestarian alam
dengan eko sistemnya. Dari alam yang lestari itu manusia mendapatkan sumber kehidupan.
Jadinya hakekat Butha yadnya itu adalah mecaru untuk membangun kecantikan alam lingkungan
sebagai sumber kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan. Dan sudut pandang upacara; caru itu
adalah salah satu jenis upacara Butha Yadnya.
 Kalau Banten Butha Yadnya itu masih menggunakan nasi dengan lauknya bawang jahe belum
menggunakan hewan itu disebut Segehan. Segehan itu pun banyak jenisnya. Ada segehan Nasi
Sasah, ada Segehan Nasi Kepel, Segehan Nasi Wong-Wongan, ada Segehan Naga dan
sebagainya. Kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan ayam, banten itulah yang
disebut Caru. Ada Caru Eka Sata, Panca Sata, Panca Sanak, Panca Kelud. Balik Sumpah.
 Menurut Lontar Dang Dang Bang Bungalan, kalau banten Butha Yadnya itu sudah menggunakan
binatang kerbau tidak lagi ia disebut banten Caru. Banten itu sudah bernama Banten Tawur.
Misalnya Tawur Agung sudah menggunakan binatang kerbau seekor. Umumnya dipergunakan
untuk Tawur Kesanga setiap menyambut tahun baru Saka. Kalau ditambah lagi dengan tiga ekor
kerbau disebut Mesapuh Agung, ditambah lagi dengan lima ekor kerbau. Demikian antara lain
disebutkan dalam Lontar Dang Dang Bang Bungalan. Namun pada hakekatnya semuanya itu
tujuannya adalah mecaru mewujudkan keharmonisan sistem alam semesta.
 Dengan Caru Mengatasi Bhutakala
 Bhuta Kala umumnya dibayangkan sebagai suatu makhluk ajaib yang berwajah serem
menakutkan. Mulutnya lebar, bertaring panjang, mata merah mendelik, rambut tergerai tanpa
aturan, perut gendut dengan sikap garang. Keadaan itu sering diwujudkan dengan ogoh-ogoh
menjelang Nyepi. Penggambaran Bhuta Kala itu sangatlah wajar sebagai imajinasi para seniman
dan rohaniawan. Karena kalau manusia. tidak harmonis dengan Bhuta Kala perasaan ngeri
seperti melihat Bhuta Kala yang digambarkan di atas. Dalam bahasa sehari-hari di kalangan
umat Hindu terutama di Bali ada istilah mecaru untuk nyomia Bhuta Kala. Upacara nyomia Bhuta
Kala artinya mengubah sifat ganas Bhuta Kala menjadi bersifat lembut membantu manusia untuk
mengembangkan perbuatan baik.
 Jadi hakekat upacara mecaru itu adalah memotivasi spiritual agar selalu berbuat mengubah sifat
ganas menjadi lembut tentang keberadaan Bhuta Kala itu. Dengan demikian terjadilah suatu
hubungan yang harrnonis antara manusia dengan Bhuta Kala, Keharmonisan itulah tujuan dari
upacara mecaru itu.
 Bhuta Kala yang digambarkan itu tidak lain dari pada sifat-sifat alam kita ini. Manusia hidup
bersama alam bahkan jasmani manusia juga disebut alam kecil atau Bhuwana Alit. Sifat alam
kadang-kadang sebagai sahabat manusia kadang-kadang sebagai musuh manusia. Api dan air
bisa menjadi sahabat dan membantu kehidupan manusia. Bisa juga menjadi musuh manusia
seperti menimbulkan kebakaran, banjir dan lainnya. Agar alam itu selalu dapat bersahabat
dengan manusia, yang harus aktif membangun persahabatan itu adalah manusia itu sendiri.
Persahabatan dengan alam itu dapat dilakukan dengan cara sekala atau nyata dan dengan cara
niskala atau dengan cara kerokhanian. Upacara mecaru adalah membangun persahabatan
dengan alam dengan cara niskala. Cara niskala ini harus seimbang dengan cara sekala. Dengan
demikian Bhuta Kala itu akan selalu menjadi sahabat membantu kehidupan manusia.
 Dari sudut arti kata, Bhuta Kala berasal dari kata Bhuta yang artinya unsur-unsur alam kita ini.
Bhuta dibangun oleh lima elemen yang disebut Panca Maha Bhuta, yaitu unsur tanah, air, api,
udara dan ether. Lima unsur itulah yang membangun alam ini seperti planet-planet yang
bertebaran di kolong langit ini. Planet-planet yang paling dekat dengan kita adalah bumi, bulan
dan matahari. Perputaran planet-planet itu menimbulkan waktu dan musim. Waktu dalam bahasa
Sanskerta adalah Kala. Bhuta Kala arti sebenarnya adalah Ruang dan Waktu. Manusia hidup
dalam suatu ruang dan waktu tertentu. Tidak ada manusia hidup tidak berada pada ruang dan
waktu tertentu itu. Ruang dan wakru itu dapat menjadi sahabat manusia dapat pula menjadi
musuh yang menyusahkan manusia. Dalam persahabatan ini manusialah yang semestinya aktif
menjalin persahabatan dengan ruang dan waktu itu. Untuk itu manusia hendaknya memahami
peredaran ruang dan waktu itu dan segala potensi yang dikandung dalam peredaran tersebut.
Dengan caru itu berarti kita dapat memanfaatkan secara positif ruang dan waktu atau Bhuta Kala,
sehingga Bhuta Kala tidak lagi mengerikan.
 Mengapa caru Menggunakan Binatang
 Banten Bhuta Yadnya yang disebut caru selalu menggunakan binatang kurban. Penggunaan
binatang ini sangat menentukan nama dan tingkatan banten caru tersebut. Misalnya caru Eka
Sata menggunakan ayam brumbun atau lima warna. Caru Panca Sata menggunakan lima ekor
ayam.
 Demikian seterusnya. Pemakaian binatang dan tumbuh-tumbuhan sebagai sarana upacara
Yadnya telah disebutkan dalam Manawa Dharmasastra V.40. Tumbuh-tumbuhan dan binatang
yang digunakan sebagai sarana upacara Yadnya itu akan meningkat kualitasnya dalam
penjelmaan berikutnya. Manusia yang memberikan kesempatan kepada tumbuh-tumbuhan dan
hewan tersebut juga akan mendapatkan pahala yang utama. Karena setiap perbuatan yang
membuat orang lain termasuk sarwa prani meningkat kualitasnya adalah perbuatan yang sangat
mulia. Perbuatan itu akan membawa orang melangkah semakin dekat dengan Tuhan. Karena itu
penggunaan binatang sebagai sarana pokok upacara banten caru bertujuan untuk meningkatkan
sifat-sifat kebinatangan atau keraksasaan menuju sifat-sifat kemanusiaan terus meningkat
menuju kesifat-sifat kedewaan.
 Tingkatan Caru dan Binatang yang Dipakai
 CARU
 pada hakikatanya dipahami sebagai persembahan untuk Bhuta Kala. Upacara caru dimaknai
sebagai upacara untuk menjaga keharmonisan alam, manusia dan waktu.
 Di Bali Dikenal Tiga Jenis Caru
             1. Caru Palemahan Bumi Sudha yaitu   upacara caru untuk tempat atau wilayah.          
Baik itu untuk mengharmoniskan tempat             untuk dipakai tempat suci, dibangun      rumah,
atau sebuah wilayah yang tertimpa         musibah.
             2. Caru Sasih yaitu caru yang       dilaksanakan berkaitan dengan waktu-  waktu tertentu
yang dipandang perlu      diharmoniskan. Misalnya Caru Sasih     Sanga (sehari sebelum Nyepi)
             3. Caru Oton yaitu caru untuk orang atau          benda sebagai unsur bhuana agung yang
mengalami berbagai siklus, baik terhadap         waktu maupun perkembangannya.         Misalnya
caru oton untuk anak yang baru lahir, untuk perkawinan, akil balik,           kematian dll. yang
sering juga disebut           dengan byakala.
 Banten caru biasanya berisikan hal-hal khas

             1. Aneka macam nasi, baik warna           maupun bentuk
             2. Aneka bumbu-bumbuan (bawang, jahe,       terasi, garam)
             3. Daging (terutama bagian jeroan)
             4. Arang
             5. Darah
             6. Blulang atau bayang-bayang binatang
             7. Tuak, arak dan berem
             8. Api takep
             9. Aneka bunyi-bunyian
 Dewasa Caru
 Upacara caru yang baik dilakukan pada:

             - Sasih Kanem, Kapitu, Kawolu dan        Kasanga.
             - Hari/tanggal Panglong, atau Tilem                                - Kajeng Kliwon
             - Ingkel Bhuta.
 Khusus untuk Caru Palemahan atau Bumi Sudha dilakukan secara insidental maupun rutin
menurut waktu atau sasih atau peristiwa dengan memperhitungkan hari dan ingkel.
 Jenis Caru Palemahan:
 * Caru Eka Sata
 Sarana: Olahan ayam putih dengan bayang-bayangnya (blulang --bahasa Bali-red) dialasi
sengkuwi dibagi lima tanding. Disertai dengan datengan, daksina, penyeneng dan canang (untuk
semua jenis caru).

Anda mungkin juga menyukai