Anda di halaman 1dari 7

Streptoccocal Pharyngitis

Michael R. Wessels, M.D.

Gadis berusia 10 tahun datang dengan keluhan nyeri tenggorokan dan deman yang telah
berlangsung selama 1 hari. Dia terlihat kemerahan dan sakit sedang. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan suhu 39 c, pembesaran nodus limfe bilateral anterior cervical sekitar 1-2 cm
dan kemerahan serta eksudat putih kekuningan pada pembesaran tonsil dan faring posterior.
Tes deteksi antigen cepat dari usapan apus tenggorok positif untuk grup A streptokokus.
Bagaimana seharusnya evaluasi dan tatalaksana pasien ini ?

Masalah klinis

Nyeri tenggorok adalah gejala yang paling sering timbul. Faringitis akut merupakan 1.3%
dari jumlah pasien rawat jalan yang mengunjungi tempat kesehatan di Amerika dan terhitung
15 juta pasien datang pada tahhun 2006. Grup A streptococcus bertanggungjawab pada 5-
15% dari kasus faringitis pada dewasa dan 20-30% kasus pada anak-anak. Faringitis
streptokokus terjadi paling banyak pada anak anak antara usia 5 sampai 15 tahun. Terutama
tertinggi pada musim dingin dan musim semi. Msalah ekonomi yang berkaitan dari faringitis
streptokokus pada anak-anak di Amerika sekitar 224 juta sampai 539 juta dollar pertahun,
dengan assosiasi terkait dengan biaya dan hitungan waktu bekerja orangtua yang terbuang,.

Infeksi streptokokus pharyngeal tidak hanya mengakibatkan sakit akut tetapi juga
mengakibatkan sindrom postinfeksi dari glomerulonefritis poststreptococcal dan demam
reumatik akut. Demam reumatik jarang terjadi pada negara maju, tetapi ini menjadi penyebab
utama masalah penyakit lever pada anak-anak di banyak negara miskin seperti Afrika sub
sahara, India dan bagian dari Australasia.

Strategi dan Bukti

Evaluasi

Onset dari gejala pada pasien dengan faringitis streptokokal seringkali tidak jelas. Selain
nyeri tenggorok, gejala juga meliputi demam, menggigil, malaise, nyeri kepala dan pada anak
yang lebih kecil terdapat nyeri abdominal, mual dan muntah. Pada beberapa kasus, faringitis
streptococcal diiikuti juga dengan demam scarlet, yang manifestai klinisya kemerahan
papular tersebar di wajah dan terdeskuamasi selama timbul. Batuk, coryza dan konjungtivitis
adalah gejala yang tidak tipikal pada faringitis streptokokal dan jika ada mengarah pada
infeksi viral. Nyeri tenggorok dapat berat dan lebih berat lagi pada satu sisi. Nyeri unilateral
yang berat dan tidak dapat menelan dapat mengarah pada komplikasi lokal supuratif seperti
peritonsilar dan abses retrofaringeal dan jika gejala ini timbul dan memberat pada beberapa
hari sebelum sakit. Pada anak usia kurang dari 3 tahun, eksudatif faringitis karena infeksi
streptokokus jarang terjadi,pada usia ini infeksi streptokokus bermanifestai sebagi coryza,
nares eksokoriasi dan adenopati yang umum. Pada kebanyakan orang, demam dapat turun
sampai 3-5 hari dan nyeri tenggorok dapat sembuh dalam seminggu tanpa pengobatan
spesifik.

Diagnosis dari faringitis steprokokus berdasarkan temuan klinis tidak jelas. Gejala dan tanda
bervariasi dan keparahan penyakit bervariasi dari sakit tenggorokan yang tidak nyaman
ringan sampai faringitis eksudatif dengan demam tinggi. Diagnosa semakin kompleks dengan
kenyaatan bahwa banyak infeksi yang disebabkan oleh bermacam agen infeksi sulit
dibedakan secara klinis oleh faringitis streptokokal.

Sistem skoring klinis telag dibuat untuk memprediksi infeksi streptokokus pada anak anak
dan dewasa dengna gejala nyeri tenggorokan. Sistem ini berdasarkan pada penilaian temuan
klinis ; demam,pembesaran tonsil atau tonsil eksudat dan pembesaran nodus limfe anterior
cervical dan tidak ada batuk. Kemungkinan hasil positif dari kultur tenggorok dan tes deteksi
cepat bervariasi dari 3 % atau kurang pada pasien dengan kriteria klinis, kira kira 30-50%
pada semua. Aturan klinis prediksi berdasarkan kriteria tersebut telah divalidasi pada anak-
anak dan dewasa untuk mengindentifikasi pasien yang tes kultur tenggorok dan test deteksi
antigen nya tertahan. Sebagai contoh, tidak adanya faktor risiko tertentu, seperti paparan
dengan orang yang faringitis streptokokal atau riwayatdemam reumatik akut atau penyakit
hati reumatik , kultur tenggorok atau tes deteksi cepat antigen tidak diindikasikan pada pasien
dengan hanya satu atau tidak ada kriteria tersebut.

Pertimbangan lain pada penentuan untuk melakukan kultur tenggorok atau tes deteksi
antigen adalah asimptomatik carier s.pyogenes. organisme dapat dikulutur dari faring pada
ketidakadaan gejala atau tanda infeksi selama musim dingin pada kira kira 10% dari anak
usia sekolah dan lebih sedikit pada orang pada kelompok usia lain. Karier dapat bertahan
selama mingguan atau bulanan dan terkait dengan risiko rendah supuratif fan sekuele non
supuratif atau transmisi ke yang lain, maka dari itu ketiadaaan dati temuan klinis, kultur
positif dan tes cepat antigen merefleksikan carier dari S.Pyogenes.

Tes laboratorium

Karena tampakan klinis tidak spesifik, diagnosa streptokokal faringitis harus berdasarkan
pada hasil tes spesifik untuk mendeteksi organisme; kultur tenggorok atau tes cepat deteksi
antigen atau spesimen usap tenggorok. Usapan dari faring posterior dan tonsil bukan lidal,
nibir atau mukosa bukal dapat meningkatkan sensitivitas dari kedua kultur dan tes cepat
deteksi antigen. Perhitungan dari serum antibodi dari streptolisin O atau DNA ase B,
walaupun berguna untuk diagnosa retrospektif dari infeksi streptokokus untuk mendukung
diagnosa dari demam reumatik atau glomerulonefritis poststreptokokus tetapi tidak berguana
dalam tatalaksana faringitis dikarenakan titer tidak akan mulai meningkat sampai hari ke 7-14
setelah onset infeksi, dan mencapai puncak dalam 3-4 minggu.

Karena hasil dari kultur tenggorok tidak akan ada sampai 1-2 hati, tes cepat deteksi antigen
dikembangkan untuk S.Pyogenes langsung dari usap tenggorok, dan dalam beberapa menit.
Tes ini berdasarkan dari ektraksi dari antigen dinding sel karbohidratv dan deteksi dari
antigen dengan menggunakan antibodi spesifik. Hasil alternatif dari identifikasi cepat dari
S.Pyogenes dengan hibridisasi pada DNA atau dengan tes rantai polimer. Sensitif nya cukup
tinggi (70-90%) pada tes cepat antigen telah dilaporkan dan perhitungan sensitifitas dari
infeksi streptokokal pada populasi. Spesifitas dari tes cepat antigen adalah 95% atau lebih dan
karena itu hasil positif dapat ditentukan sebagai kultur definitif. Tes cepat deteksi antigen
lebih tidak sensitif dari kultur, maka dari kebanyakan dari protokol menyarankan
menggunakan tes kultur tenggorok daripada tes cepat deteksi antigen.

Terapi antibiotik yang rasional

Faringitis streptokokal adalah penyakit yang dapat sembuh sendirpada kebanyakan kasus, dan
pertanyaan yang beralasan, apakah diperlukan tes diagnosa dan terapi antibiotik untuk kasus
yang sudah pasti atau masih dugaan. Walaupun pada glomerulonefritis potstreptokokal tidak
dapat dicegah dengan antibiotik dari faringitis streptokokus, dan keuntungan lainnya
disarankan untuk pengobatan,

Pada penelitian menunjukan pemberian antibiotik menurunkan risiko perkembangan menjdai


demam reumatik akut. Secara umum, penelitian ini menggunakan penelitian obat dan tidak
ada kelompok komtrol placebo ataupun double blind. Walaupun oleh keterbatasan tersbut,
pada meta analisis yang termasuk kedalamnya 9 penelitian menunjukan pemeberian regimen
dari intramuskular penisilin terkait dengan berkurangnya 80% kejadia demam reumatik akut
dibandingkan dengan tidak ada pemberian antibiotik.

Terapi antibiotik juga mengurangi risiko komplikasi infeksi streptokokal supuratif. Penelitian
cochrane randomized, placebo controled menujukan pada terapi antibiotik mengurangi risiko
otitis media akut dan abses peritonsilar.

Tanpa pengobatan, faringitis streptokokal terkait dengan hasil positif kultur tenggorok
persisten selama lebih dari 6 minggu. Sebaliknya pengobatan denngna antibiotik
menghasilkan hail negatif pada kultur tenggorok dalam waktur 24 jam pada 80% pasien. Hal
ini direkomendaikan pada anak anak yang menerima pengobatan faringitis streptokokal
selama 24 jam sebelum mereka kembali masuk sekolah karena interval yang lebih pendek
terkait dengan hasil kultur positf,

Terapi antibiotik juga mengurangi durasi gejala streptokokal. Pada percobaan kontrol hasil
dari demam dan nyeri tenggorok berkurang pad 24 jam pada pasien yang diterapi dengan
antibiotikb dibandingkan dengan pasien yang menerima plasebo. Antibiotik bisa lebih
kurang efektif pada perubahan gejala bila pengobatan tertunda.

Diagnosa dan pengobatan

Pada tahun 1950 dan 1960, alasan yang paling baik untuk penggunaan antibiotik pada
streptokokal faringitis adalah untuk mengurangi demam reumatik akut. Walaupu angka
kejadian tinggi pada beberapa daerah di dunia, tetapi kejadian demam reumatik akut pada
negara maju sudah berkurang. Tatalaksana untuk diagnosa dan pengobatan pada faringitis
streptokokal masih dalam perbaikan.

Pada konteks ini, beberapa hasil analisis dibandingkan dengan keefektifan biaya dari berbagai
macam diagnosa dan pengobatan. Strategi ini meliputi pengobatan antibiotik berdasarkan
hasil kutur tenggorok, tidak pengobatan, dan pengobatan semua pasien dengan gejala,
penatalaksanaan berdasarkan hsildari tes cepat deteksi antigen dan tes cepat deteksi antigen
bersama kultur pada oasien dengan hasil tes antigen negatif dan pengobatan berdasarkan
algoritma dari gejala dan tanda atau dengan kombinasi sesuai kultur selekti, tes antigen cepat
deteksi atau keduanya. Analisis satu dari 4 strategi untuk manajemen faringitis pada anak
anak, tes deteksi antigen cepat sendiri atau tes deteksi antigen cepat plus kultur menunjukan
bahwa tes antigen cepat deteksi plus kultur adalah yang biayanya paling efektif ketika biaya
dari mengatur komplikasi infeksi streptokokal dan tatalaksana diikutkan. Pada analisis ini,
nilai sensitifitas yang rendah didapatkan pada tes cepat deteksi antigen dan keuntungan
marginal dari kultur menurun dengan peningkatan sensitifitas dari tes kultur deteksi cepat
antigen. Penelitian lain mengikutkan anak anak yang termasuk keempat strategi dan juga
perlakuan khusus dan menggunakan sensitifitas 80% untuk tes cepat deteksi antigen
menunjukan bahwa tes cepat deteksi antigen sendiri ialah yang paling efektif biayanya.
Penelitian serupa mengikutkan orang dewasa menyimpulkan bahwa terapi empiris dari semua
gejala pasien adalah yang terakhir pada strategi biaya efektif dan pada keempat strategi
memiliki keefektifitasan yang sama. Strategi memberlakukan hanya pasien yang positif
kultur adalag yang paling tidak mahal. Bagaimanapun, tes cepat deteksi antigen plus kultur
ialah strategi biaya yang paling efektif jika prevalensi faringitis streptokokal lebih dari 20%.
Penemuan konsiste pada terapi antibiotik yang empiris berdasar pada gejala dan hasil pada
penggunaan antibiotik yang berlebihan, peningkatan biaya dan peningkatan angka efek
samping dari antibiotik dibandingkan dengan strategi lain/

Regimen pengobatan

Followup sesudah pengobatan

Kultur ulang tidak direkomendasikan secara umum pada pengobatan faringitis streptokokal
tanpa komplikasi. Kultur positif setelah pengobatan yang sesuai tidak jelas tanda klinisnya
jika gejala dan tanda faringitis telah diatasi. Walaupun, hasil tersebut berpengaruh pada
kegagalan pengobatan, itu juga berarti bahwa pasien adalah carier streptokokal faringitis.

Tes cepat deteksi antigen, kutur maupun keduanya dilakukan jika gejala faringitis
simptomatik berulang setelah pengobatan. Jika hasilnya positif, diindikasikan pengobatan
ulang. Jika penempelan tidak lengkap untuk regimen inisial, penisilin intramuskular juga
disarankan untuk pengobatan berulang. Infeksi berulang mungkin juga merupakan reinfeksi
dari kontak dengan peralatan rumah tangga yang karier. Walaupun karier bukan merupakan
inidikasi untuk pengobaran, banyak ahli menyarankan kultur dari usap tenggorok dan
pengobatan pada semua suspek karier. Klindamisin dan sefalosporin menunjukan hasil yang
lebih efektid dari penisilin untuk eradikasi karier dan semua agen pada situasi ini. S pyogenes
dapat bertahan beberapa hari pada sikat gigi, namun menyebabkan reinfeksi tidak terbukti.
Tidak bukti yang meyakinkan dari binatang peliharaan sebagai sumber infeksi streptokokal.

Ketidakpastian area
Beberapa artikel menyarankan pengobatan bakteriologik terkait dengan pengobatan penisilin
menurun pada beberapa dekade terakhir dan sefalosporin yang paling efektif. Meta analisis
dari 51 penelitian menunjukan tidak ada perbedaan signifikan pada angka kegagalan
bakteriolgik terkaoit dengan pengobatan penisilin antara peripde 1953-1979 dan pada periode
1980-1993. Meta analisis yang besar 35 percobaan komparatif dari tahun 1970 sampai 1999,
meliputi 7125 anak anak menunjukan kecil namun signifikan perbedaan pada pengobatan
bakteriologik sefalosporin daripada penisilin. Bagaimanapun pad penelitian sebelumnya tidaj
ada perubahan yang signifikan pada perubahan yang terkait dengan penisilin dari tahun 1970
sampai 1990, penjelan yang bervariasi dari pengobatan bakteriologik terkait pengobatan
penisilin adalah variasi dari karier s.pyogene pada populasi penelitian. Penisilin lebih tidak
efektif daripada sefalosporin atau klindamisin dalam memberantas karier asimptomatik.
Inklusi dari proporsi karuer pada percobaan mungkin menghasilkan nilai pengobatan
bakteriologik yang lebih rendah. Pada percobaan randomized dibandingkan dengna sefadroxil
ddengan penisilin pada anak anak dengan kutur tengggorokan posituf atau tes cepat deteksi
antigen, secara keseluruhan pengobatan bakteriologik adalah 94% dan 86%. Bagaimanapun,
diantara pasien diklasifikasi secara klinis seperti pada faringitis streptokokal . tidak ada
perbedaan yang signifikan pada perbedaan antara kedua regimen pengobatan. Sebaliknya,
opada pasien yang diklasifikasi karier, angka pengobatan bakteriologik adalah 95% pada
kelompok sefadroxil dan hanya 73% pada kelompok penisilin.

Beberapa penjelasan dilakukan untuk pengobatan kegagalan penisilin, tetapi data yang ada
kurang untuk mensupport. Mekanisme potensial meliputi degradasi lokal dari penisilin
dengan beta laktamase yang diproduksi oleh flora tenggorokan. Bagaimanapun data ang
mendukung mekanisme tidak diikutkan. Tidak ada bukti bahwa s.pyogenes lebih resisten
terhadap penisilin.

Guidelines

Rekomendasi untu evaluasi dan pengobaran daru faringitis streptokokal telah banyak
diterbitkan oleh american college of physician,the american academy of family physician,
dan the center for disease control and prevention. Semua protikol tersebut menyatakan masuk
akal untuk tidak melakukan kultur tenggorok dan tes antigen cepat deteksi pada orang yang
tidak ada tanda klinis infeksi streptokokal. Protokol dari CAP, AAFP dan CDC mendukung 3
alternatif strategi untuk orang dewasa dengan dua atau lebih dari kriteria klinis yang
dijelaskan tersebut. Pada strategi pertama untuk mengobati pasien dengan tes antigen deteksi
cepat. Strategi kedua adalah untuk mengobati pasien yang memenuhi 4 kriteria klinis tanpa
tes dan yang memenuhi dua atau tiga kriteria klinis dan memiliki tes antigen deteksi cepat.
Strategi ketiga adalah tidak ada yang ditest dan untuk mengobati pasien yang memiliki tiga
atau empat kriteria klinis. IDSA dan AHA tidak bisa dipakai untuk stratego kedua dan ketiga
untuk ACP, AAFP dan CDC karena digunakan hasil pada angka yang lebih tinggi pada
antibiotik yang tidak penting.

Protokol yang merekomendasikan oral penisilin dan intramuskular sebagai terapi faringitis
streptokokal. Protokol AHA juga dapat digunakan sebagai amoxisilin sebagai lini pertama
terapi. ACP, AAFP, CDC dan IDSA merekomendasikan penggunaan eritromisin pada pasien
yang alergi penisilin. AHA merekomendasikan sefalosporin generasi pertama pada pasien
dengan alergi penisilin yang tidak memiliki hipersensitifitas terhadap antibiotik betalaktam
dengan klindamisin, azitromisin, atau klaritromisin sebagai pengobatan alternatif. Protokol
pada beberapa negara di Eropa dengan hasil demikian, dimana protokol negara eropa lainnya
mempertimbangkan faringitis streptokokal sebagai penyakit self limited yang tidak
mengharuskan diagnosa spesifik atau antibiotik kecuali pada pasien dengan risiko tinggi atau
pasien yang sakit berat. Sebaliknya, protokol dari India, dimana insiden dari demam reumatik
akut membutuhkan penisilin G benzathine sebagai terapi yang direkomendasi untuk faringitis
streptokokal.

Kesimpulan dan rekomendasi

Pada pasien dengan tanda dan gejala yang mengarah faringitis streptokokal , seperti pada
pasien pada kasus, diagnosis spesfik dibuat dengan melakukan kultur tenggorok atau tes
cepat deteksi antigen, dan pada kebanyakan anak anak tes cepat deteksi antigen negatif.
Penisilin adalah terapi terpilih dan sefalosporin generasi 1 sebagai alternatif jika terdapat
hipersensitifitas tipe lambat terhadap beta laktamase. Pada pasien pada kasus ini, tes cepat
deteksi antigen menegakkan diagnosa infeksi streptokokal. Saya akan merekomendasikan
ibuprofen atau asetaminofen untuk meredakan gejala dan meresepkan penicilin untuk 10 hari.
Karena hasil tes cepat deteksi antigen positif, maka tidak lagi diperlukan kultur tenggorok
untuk diagnosa dan tidak juga dilakukan setelah pengobatan selesai jika gejala sudah
membaik.

Anda mungkin juga menyukai