Anda di halaman 1dari 3

Tanya Jawab RUU Cipta Kerja: Proses Legislasi setelah persetujuan

Tanya: proses apa yang selanjutnya akan terjadi setelah persetujuan DPR dan pemerintah pada
5 Oktober?

Jawab: UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun
2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatakan bahwa proses legislasi
terdiri dari lima tahap: perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan
pengundangan. Peristiwa “ketok palu” 5 Oktober 2020 adalah akhir dari proses pembahasan,
yaitu persetujuan bersama DPR dan Presiden atas suatu undang-undang. Tahap selanjutnya
adalah tahap pengesahan, yaitu dibubuhinya tanda tangan presiden sebagai syarat sahnya
sebuah undang-undang. Setelah ditandatangani atau setelah 30 hari sejak tanggal persetujuan
(bila tidak ditandatangani), masuklah tahap pengundangan. Dalam tahap pengundangan, sebuah
undang-undang yang sudah disahkan akan diletakkan di Lembaran Negara dan diberi nomor
undang-undang. Setelah diundangkan inilah, proses pembentukan berakhir sehingga undang-
undang sudah berdaya laku atau bisa diterapkan.

Tanya: Mengapa bisa ada sebuah UU yang diketok, tetapi ternyata sampai paling tidak 7 hari
setelah diketok, belum ada draf utuh yang bisa dibaca oleh publik dan bahkan beredar 4 versi
yang membingungkan publik?

Jawab: Ini merupakan akibat dari proses legislasi yang dipaksakan. Untuk menjawab pertanyaan
“mengapa,” kita harus lihat dulu fakta bahwa RUU Cipta Kerja ini diburu-buru sekali
pembahasannya. Sabtu malam (3 Oktober 2020) selesai, kemudian Senin sore (5 Oktober)
Paripurna untuk menyetujui dilakukan. Pembahasan yang di malam hari pada akhir pekan saja,
sudah tidak wajar. Apalagi di masa Pandemi ini, di mana DPR sebenarnya sudah mengatur bahwa
rapat-rapat dilaksanakan maksimal sampai pukul 16.00. Kemudian, ingat bahwa ini RUU
“raksasa”, ada seribuan halaman! Tentu saja tidak sempat untuk merapikan draf selama sehari
(hari Minggu, sebelum rapat Senin). Bayangkan saja revisi skripsi, kalau tebalnya 1.000 halaman
dan dibahas banyak dosen dan banyak dosen memberi masukan revisi, apa sanggup kita perbaiki
dalam waktu sehari? Jadi kesimpangsiuran draf adalah akibat dari proses yang dipaksakan. Ingat
juga bahwa tanpa persetujuan sebenarnya diagendakan 8 Oktober. Mendadak saja diubah
menjadi 5 Oktober.

Tanya: tapi kan yang penting dalam proses ini presiden dan DPR, untuk apa “publik” tahu draf
akhir yang mana?

Jawab: dalam proses politik dan kenegaraan seperti ini, komunikasi politik sangat penting. Wakil
rakyat dan presiden, adalah 2 pejabat negara yang dipilih langsung oleh rakyat, jadi para pemilih
berhak tahu apa yang sebenarnya disetujui dan mereka juga punya pertanggungjawaban politik
ke publik yang telah memilih mereka. Tidak boleh ada yang disembunyikan dari publik. Lagipula,
mesti diingat, undang-undang mengatur publik, tentu saja publik perlu mengetahui setiap bagian
dari proses ini dengan baik.

Sampai catatan ini dibuat (12 Oktober 2020 jam 11 siang), sudah ada 4 (empat) draf RUU Cipta
Kerja yang beredar di publik melalui media sosial: (1) versi berjumlah 1.028 halaman, yaitu versi
awal yang tersedia di website DPR; (2) versi berjumlah 905 halaman, yang beredar pada 5
Oktober; (3) versi berjumlah 1.052 halaman, yang disebut sudah bersih dari dari kesalahan ketik;
dan (4) versi berjumlah 1.035 halaman, yang beredar 11 Oktober dan dikatakan untuk dikirim ke
presiden.

Dalam konteks RUU Cipta Kerja ini, publik yang berdemonstrasi dikatakan belum baca RUU-nya,
sehingga banyak salah kaprah. Pertanyaannya, jadi mana yang bisa dibaca kalau memang publik
diminta membaca dulu? Lagipula, hak menyampaikan pendapat tidak punya prasyarat membaca
keseluruhan seribuan halaman undang-undang. Bahkan dikatakan ada pesan-pesan “hoaks” yang
beredar: bila RUU nya tidak jelas yang mana, dari mana mengukur mana pesan yang hoaks dan
mana yang tidak?

Cukup banyak anggota DPR yang sudah menyatakan, dan sudah dikutip di media massa, ternyata
sebelum ketok palu-pun, mereka belum membaca draf final RUU Cipta Kerja itu. Tetapi karena
sistem kita hanya mensyaratkan “pandangan umum fraksi”, maka kalau fraksi sudah setuju, bisa
diketok. Jadi tidak hanya pasca-ketok palu, proses sebelum persetujuan pun ternyata sudah
menunjukkan akibat dari proses terburu-buru itu.

Tanya: Katanya menyetujui tanpa ada draf final RUU-nya sudah lazim dilakukan di DPR? Jadi
jangan terlalu teoretik melihat proses legislasi ini.

Jawab: Yang menyatakan hal ini bisa dipastikan bukan orang yang benar-benar mengetahui
praktik. Sebab faktanya, bukanlah suatu kelaziman untuk menyetujui RUU sebelum ada naskah
final. Kita masih ingat kegaduhan yang timbul karena ada satu “pasal selundupan” mengenai
pertembakauan, yang dimasukkan diam-diam setelah UU diketok.

Karena “human error” tak terhindarkan, kalaupun masih ada perbaikan, hanya kesalahan ketik
saja yang bisa dilakukan, tetapi yang kita bicarakan ini sangat besar. Sebagai ilustrasi, dari versi
awal 1.028 halaman, berkurang 123 halaman ke versi 905 halaman. Lantas kemudian bertambah
lagi 147 halaman ke versi ketiga. Kita berbicara ratusan halaman dalam sebuah undang-undang,
yang dalam hitungan halaman sudah bisa menjadi satu (atau lebih) RUU sendiri!

Perlu saya tegaskan, dalam praktikpun, tidak lazim sebuah UU yang belum bisa dibaca naskah
finalnya, disetujui bersama. Ketok palu bukan terhadap DIM (Daftar Inventarisasi Masalah, alat
pembahasan berbentuk tabel pasal-per-pasal dan perubahannya), melainkan terhadap suatu
naskah RUU. Kita tidak bisa hanya berbicara soal tidak ada teks pasal yang mengatur bahwa
persetujuan mensyaratkan naskah final. Kita berbicara nilai-nilai konstitusional dan cara-cara
demokratis. Tidak bisa ada suatu naskah yang disetujui tanpa yang menyetujuinya tahu isinya.
Itu prinsip dalam persetujuan, bahkan dalam wilayah hukum privat (antar-individu), apalagi
dalam sebuah relasi demokratis seperti ini.

Selama ini, naskah suatu RUU bisa dalam posisi siap dibaca sebelum disetujui, karena waktu
pembahasannya wajar, sehingga ada cukup waktu untuk merapikan, makanya belum pernah ada
keributan serupa ini sebelumnya. UU Cipta Kerja ini dibuat terburu-buru dan terlalu banyak,
sehingga proses wajar tidak bisa terjadi.

Publik harus diberi kejelasan, mana yang sebenarnya akan disahkan dan diundangkan karena
banyak yang juga ingin segera menganalisis RUU ini secara kritis. Bagaimana peran kritis publik
dalam sebuah demokrasi mau didorong bila peran pemerintah dan DPR sendiri diabaikan seperti
ini?

Tanya: Lalu terkait klaim Badan Legislasi dan Sekretariat Jenderal DPR yang mengatakan punya
waktu satu minggu untuk melakukan screening atau pengecekan terhadap draf final sebelum
diberikan kepada pemerintah?

Jawab: Pasal 72 UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memang menyatakan bahwa RUU yang
telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden
untuk disahkan menjadi Undang-Undang dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.

Tapi pasal ini bukan berarti setelah disetujui boleh dilakukan perubahan lagi. Pasal ini ada karena
kita memahami kemungkinan adanya “human error,” kesalahan-kesalahan manusiawi seperti
salah ketik. Hanya soal ini yang boleh dilakukan dalam 7 hari itu, ditambah prosedur birokrasi
untuk membuat surat pengantar dan lain sebagainya. Sedangkan fenomena dalam RUU Cipta
Kerja ini ternyata cukup fatal. Dari versi awal 1.028 halaman, berkurang 123 halaman ke versi 905
halaman. Dan kemudian bertambah lagi 147 halaman ke versi ketiga. Ketika pagi ini Sekjen DPR
mengkonfirmasi bahwa versi 1,035-lah yang benar, maka kita tetap bisa melihat perbedaan
sebanyak 130 halaman dari yang beredar pada 5 Oktober. Dalam sebuah undang-undang,
hitungan lebih dari seratus halaman sudah bisa menjadi satu (atau lebih) RUU sendiri!

Tanya-Jawab ini dibuat oleh Bivitri Susanti (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera) untuk
kepentingan edukasi publik.

Anda mungkin juga menyukai