Pergerakan Nasional Diindonesia
Pergerakan Nasional Diindonesia
1. BUDI UTOMO
Elemen yang bersuara untuk persatuan Hindia bukannya tidak ada, namun
minoritas. Diwakili oleh Tjipto Mangoennkoesoemo. Tjipto adalah penganjur
pendidikan untuk seluruh warga Hindia Belanda. Tjipto dengan keras pula
mencela seni dan sejarah Jawa, serta bangsawan Jawa. Hasrat ingin membawa
Budi Utomo ke arah politik ‘radikal’ yang menjadikan Hindia tanah merdeka jelas
berseberangan dengan Budi Utomo yang cenderung menjauhi politik dan hanya
berkutat di pendidikan dan kebudayaan. Maka jelas, jalan Tjipto bukanlah di Budi
Utomo. Sehingga ia pun akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo. Haluan
Budi Utomo, menurut soewarno, seorang tokoh Budi Utomo, menyatakan bahwa
Budi Utomo menjadi pelopor bagi Algemeen Javaansche Bond atau Persatuan
Seluruh Jawa. Namun tugas pokok Budi Utomo adalah untuk “merintis jalan bagi
perkembangan yang harmonis bagi negeri dan bangsa Hindia Belanda.”
Kecondongan, jika tak ingin disebut pemujaan, Budi Utomo pada Jawa
memang akhirnya yang mengurung organisasi itu sendiri, sehingga tak berkiprah
luas. Dalam Anggaran Dasar yang ditetapkan, Budi Utomo menyebutkan bahwa
tujuan organisasi adalah untuk “…menggalang kerjasama guna memajukan tanah
dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis.” Budi Utomo memang tidak
pernah ‘berniat’ untuk memperluas organisasinya pada daerah lain yang bukan
dibawah pengaruh kebudayaan Jawa. Meskipun sejak 1909 cabang-cabang dibuka
di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Ambon, namun keanggotaan dibatasi
pada personil militer yang berasal dari Jawa, atau untuk imigran Jawa yang telah
bermukim di sana. Hal ini disebabkan karena dalam syarat untuk menjadi anggota
Budi Utomo, disebutkan syarat keanggotaan terbatas pada pribumi Jawa dan
Madura.
Sikap dan pandangan Jawa sentris ini memang membelenggu Budi Utomo.
Maka tak heran hingga akhir tahun 1900-an pun anggotanya paling banyak hanya
10 ribu orang. Salah satu faktor yang membuat orang Jawa enggan untuk
bergabung dengan Budi Utomo adalah karena organisasi ini diisi oleh para priyayi.
Bagi rakyat Jawa jelata ada perasaan sungkan untuk begabung dengan (Priyayi
dan ningrat) Budi Utomo. Di Surakarta sendiri, Budi Utomo tidak mendapat
sambutan hangat. Kecondongan Budi Utomo kepada Kesultanan Jogjakarta
membuat rakyat Surakarta yang didominasi pedagang dan santri enggan merapat
ke Budi Utomo.
Budi Utomo memang terang bukan organisasi yang mendekat pada Islam.
Budi Utomo menganut paham netral agama. Bahkan Budi Utomo, jika ditelisik
lebih dalam lebih condong kepada Theosofi. Kedekatan Budi Utomo dengan
theosofi misalnya, dapat kita lihat dari seorang tokoh wakil sekretaris Himpunan
Theosofi di Hindia Belanda, yaitu D. Van Hinloopen Labberton. Labberton, yang
disebut ‘Kiai’ oleh Dr. Sutomo ini, memberikan dukungannya kepada Budi Utomo.
Maka meski ada upaya-upaya mendekatkan Budi Utomo kepada umat Islam yang
dilakukan oleh segelintir pengurus Budi Utomo, namun upaya ini akhirnya kandas,
karena tak disetujui oleh perkumpulan secara resmi.
4. INDISCHE PARTIJ
Indische Partij adalah partai politik pertama di Hindia Belanda, berdiri
tanggal 25 Desember 1912. Didirikan oleh tiga serangkai, yaitu E.F.E. Douwes
Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hadjar Dewantara yang merupakan
organisasi orang-orang Indonesia dan Eropa di Indonesia. Hal ini disebabkan
adanya keganjilan-keganjilan yang terjadi (diskriminasi) khususnya antara
keturunan Belanda totok dengan orang Belanda campuran (Indonesia). IP sebagai
organisasi campuran menginginkan adanya kerja sama orang Indo dan bumi
putera. Hal ini disadari benar karena jumlah orang Indo sangat sedikit, maka
diperlukan kerja sama dengan orang bumi putera agar kedudukan organisasinya
makin bertambah kuat.Indische Partij, yang berdasarkan golongan indo yang
makmur, merupakan partai pertama yang menuntut kemerdekaan
Indonesia.Partai ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada
pemerintah kolonial Hindia Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913,
penolakan dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah
Belanda di negara jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini
dianggap oleh kolonial saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat
dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial
Belanda.Selain itu juga disadari betapa pun baiknya usaha yang dibangun oleh
orang Indonesia, tidak akan mendapat tanggapan rakyat tanpa adanya bantuan
orang-orang bumiputera. Perlu diketahui bahwa E.F.E Douwes Dekker dilahirkan
dari keturunan campuran, ayah Belanda, ibu seorang Indonesia. Indische Partij
merupakan satu-satunya organisasi pergerakan yang secara terang-terangan
bergerak di bidang politik dan ingin mencapai Indonesia merdeka. Tujuan Indische
Partij adalah untuk membangunkan patriotisme semua indiers terhadap tanah air.
IP menggunakan media majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar De Expres
pimpinan E.F.E Douwes Dekker sebagai sarana untuk membangkitkan rasa
kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan dari partai ini benar-benar revolusioner
karena mau mendobrak kenyataan politik rasial yang dilakukan pemerintah
kolonial. Tindakan ini terlihat nyata pada tahun 1913. Saat itu pemerintah
Belanda akan mengadakan peringatan 100 tahun bebasnya Belanda dari tangan
Napoleon Bonaparte (Perancis). Perayaan ini direncanakan diperingati juga oleh
pemerintah Hindia Belanda. Adalah suatu yang kurang pas di mana suatu negara
penjajah melakukan upacara peringatan pembebasan dari penjajah pada suatu
bangsa yang dia sebagai penjajahnya. Hal yang ironis ini mendatangkan
cemoohan termasuk dari para pemimpin Indische Partij. R.M. Suwardi
Suryaningrat menulis artikel bernada sarkastis yang berjudul Als ik een
Nederlander was (Andaikan aku seorang Belanda). Akibat dari tulisan itu R.M.
Suwardi Suryaningrat ditangkap. Menyusul sarkasme dari Dr. Cipto
Mangunkusumo yang dimuat dalam De Expres tanggal 26 Juli 1913 yang diberi
judul Kracht of Vrees?, berisi tentang kekhawatiran, kekuatan, dan ketakutan. Dr.
Tjipto pun ditangkap, yang membuat rekan dalam Tiga Serangkai, Douwes Dekker
mengkritik dalam tulisan di De Express tanggal 5 Agustus 1913 yang berjudul
Onze Helden: Tjipto Mangoenkoesoemo en Soewardi Soerjaningrat (Pahlawan
kita: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat). Kecaman-kecaman
yang menentang pemerintah Belanda menyebabkan ketiga tokoh dari Indische
Partij ditangkap. Pada tahun 1913 mereka diasingkan ke Belanda. Douwes Dekker
dibuang ke Kupang, NTT sedangkan Dr. Cipto Mangunkusumo dibuang ke Pulau
Banda. Namun pada tahun 1914 Cipto Mangunkusumo dikembalikan ke Indonesia
karena sakit. Sedangkan Suwardi Suryaningrat dan E.F.E. Douwes Dekker baru
kembali ke Indonesia pada tahun 1919. Suwardi Suryaningrat terjun dalam dunia
pendidikan, dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara, mendirikan perguruan Taman
Siswa. E.F.E Douwes Dekker juga mengabdikan diri dalam dunia pendidikan dan
mendirikan yayasan pendidikan Ksatrian Institute di Sukabumi pada tahun 1940.
Dalam perkembangannya, E.F.E Douwes Dekker ditangkap lagi dan dibuang ke
Suriname, Amerika Selatan.Pada tahun 1913 partai ini dilarang karena tuntutan
kemerdekaan itu, dan sebagian besar anggotanya berkumpul lagi dalam Serikat
Insulinde dan Comite Boemi Poetera.Akhirnya pun organisasi ini tenggelam
karena tidak adanya pemimpin seperti 3 serangkai yang sebelumnya.
5. NAHDATUL ULAMA
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak
terakomodir kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konverensi Islam
Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan
untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H.
Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini,
maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar),
kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab
tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai
dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan dan politik.