Anda di halaman 1dari 41

Menjengkali desember

Engkau dicumbu hening


Pada lalu lalang senja
Yang teratur digaris waktu

Dilepaskanya remah kerinduan


Sebab hujan membawa pesan
Tentang dingin
Dan teduhnya Desember

Engkau dan penghujung waktu


Dua belas
Sepanjang aku mengenalmu
Besok aku disisimu
Melati di depan jendela kamar

Ma,
Jika engkau mati
Akan kukubur engkau
Didepan jendela kamarku
Biar melati itu
Tiap pagi kucumbu
Bersama harummu
Lupa

Dik,
Sejatinya kau lupa
Lupakan saja

Dik,
Sejatinya kau ingat
Lupakan saja

Sebab aku
Sejatinya lupa
Cara melupamu
Mimpi? Mati?

Tetiba mimpiku tak maya


Ia hunus kelewangnya
Dikalungkan pesisirnya
Pada leherku

Jutaan sel darah menjerit


Lintang pukang
Keluar dari rumah memasing
Menyebar segala arah

Ruhku bergidik
Ia kembangkan sayap
Pergilah ia dari sangkarnya
Sekejap gelap

Jantungpun pingsan
Dihentikannya detak
Pada tiap detik
Mati
Menulis-ku

Menulis-ku
Sebab tak mau
Sajakku
Hanya sepotong nama
Diselembar nisan
Bahkan tak kugubah itu
Pamrih

Saat malaikat belajar bercanda


Tukang becak belajar baca
Lalu siapa?
Mau antarkan Tuhanku
Tengok tahajudku malam ini
Pagi menua

Sepasang beradu
ketika aku
menjadi bayu
membelai rambutmu

Engkau telah menua


seperti pagi
yang kemarin kurela
ia bawa pergi

Lain kali
inginku datang padamu
Menjadi camar
Membawa sepucuk tangkai cemara
Yang kemudian kau sisipkan
Di sela semak mawar depan rumahmu
Sajak Recehan 1

Sepasang cicak bercengkrama


Saling bertanya
Siapa kiranya nyamuk
Hinggap beberapa
Ia menjawab 1
Dia menjawab 2
Disitulah Tuhan tertawa
Sajak recehan 2

Tempat sajakku
Ialah kaleng susu
Mengawani lemar seribuan

Tak perlu jadi penyair


Tanpa slogan
Serta peci miring soekarno

Cukuplah saja
Sajakku membeli secangkir kopi
Tanpa hiruk pikuk diksi
Aben Babi

Sepi menulis mati


Tapi tak satu
Ratap menelanjangi
Ia disaksi
Jilat lidah api
Se Joli

Kukendarai waktu
Bukan masa
:Ia tak kenal
detik sebagai pengayuh
Kekasih

Sudah kupasangkan
Untukmu
Pelana beludru
Kendarailah waktuku
Engkau punyaku
Sebuah kapal dan dermaga

Seseorang telah menjadi kapal


Terombang ambing
antara laut dan dermaga
Tambat rindunya
menjadi sebuah skeptikal
yang tiba tiba sebuah khayal
melintas
:tentang ia memeluk lautan

Tak ia kembang layarnya


Sebab ayal angin menariknya
Menjauhi samudera

Ketika senja
Ia menyerah pada rindunya
Saat dermaga
Menariknya pulang
Selebaran Pemilu

Namaku kutulis memanjang


Ditiap tiang ujung gang
Sebab kutahu
Kau acuh
Bila lidah tak kugoyang
Pelacur di persimpangan gereja

Di persimpangan gereja
Ia menjaja
Lekuk tubuh manja
Senyum bunga seroja

Dirabanya beberapa
Entah sesiapa
Meneguk pengundang hampa
Ia meliuk dalam petikan harpa

Di persimpangan
Ia ditunggingkan
Tepat tengah saliban
Ditatapnya altar Tuhan
Seorang gadis di ujung pantai dekat dermaga

Gerbang panjang
Berlubang
Tergusah arah angin
Mendesah dari kerongkongmu

Sebuah truk abu abu


Sedan biru laut
Menabrak tiang ujung dermaga
Sebab melihatmu

Kau diam
Aku pergi
Sebab aku
Tak mengenalmu
Tentang Hujan

Diejanya jengkal demi jengkal


Uraian rambutmu
Yang jatuh
Seperti ia ketika itu

Diusapnya senyum
Pada wajah
Yang mengantarku
Pada ujung jalan

Dihempaskannya rindu
Pada sepasang
Yang berpelukan
Di dekap malam
Tentang hujan dan airmata

Sejak kau menjadi udara


Ruang kamarku
Semakin sesak
Di deru nafasmu

Kau telisik tanya


Tiap waktu aku berdo'a
Mana lebih deras
Hujan atau air mata

Seribu, seribu satu, seribu dua


Dihitungnya tetes
Hingga engkau kembali beringsut
Di pojok kamar sambil menangis
Semesta cinta

Mendaya cinta
Tak beda membaca semesta
Entah, kanan ke kiri
Atau dari bait yang mana

Indah bak nyanyian hera


Yang dibubuhi syair syair eros
Kepada zeus
Sang mahadaya

Ataupun jiwa mars


Yang melangkahi bumi
Hanya untuk memeluk venus
Dewi cintanya

Aku menyangsi
Hati tak bisa terbagi
Sebab bumi tak hanya siang
Atau hanya malam saja

Di ufuk
Entah, terlambang
Perseus dan andromeda
Menjadi pertanda

Aku tak punya kata kata


Seperti siang
Yang melahirkan senja
Namun tak bisa melihat pagi
Aku tanpa upaya
Sebab rembulan
Tak perlu menyibak kabut
Untuk melihat bumi

Biarlah
Fajar hanya merindu senja
Entah, bagaimana
Malam masih memeluknya
Malam ini aku pulang

Zah, malam ini aku pulang


Memasung kaki kakiku
Di tekuk lenganmu

Pada ambang pintu


Embusan nafasmu
Mencekik rindu

Daripadamu
Sayup pandang merayu
Bikin ngilu tulang rusukku

Zah,sematkan saja
Bunga sepatu yang kubawa
Di belah jantungmu

Biar kuhirup aroma


Antara nafas dan desir
Yang menjadi satu

Zah, kubawakan kau buah tangan


Kurma dari tanah nabawi
Dari pusara nabi

Reguklah
Biar kukecap manisnya
Dari rekah bibirmu

Reguklah,
Biar kudengar do’a
Dari hatimu

Bahkan,
Itu lebih baik
Daripada ucap rindumu
Kutulis sajak di kaca jendelamu

Tak pernah hanya aku


Atau sajakku
Cuma menjadi tingkapan
Di jendela kamarmu
Yang basah dibasuh gerimis
Selebihnya engkau menghapusnya
Lewat basahan hembus nafasmu

Tetiba semuanya menjadi anasir


Perhuruf terbang per satu
Dirangkainya lain kata
Yang sedari tadi mengucap namamu
Menjadi sebuah kata kelu

Sajakku berguguran
Tumbang dikeram dingin hujan
Ia tak perlu berjanji
Kembali pada kaca jendelamu
Sebab
Aku memilih berlalu
Kusajak sajak saja 1

Sajak
Ia hal paling surgawi
Saat engkau
Mencumbu kekasihmu

Sajak
Ia hal paling saru
Saat aku
Mencumbu kekasihmu
Kusajak Sajak Saja 2

Kusajak sajak saja


Menulisku menulis saja
Biarlah moral dan makna
Di tanda titiknya
Tak ada tanda titik
Ketika engkau masih bertanya

Titikmu lembar berbeda


Kusajak sajak saja 3

Menulismu semalam
Bahkan kekasihku tak mampu
Melayaniku
Saat kukecup bibirnya

Mengaduhlah
Sebab mulutku limaratus rupiah

Kutulislah engkau
Di dentang bel Jerusalem
Terbawa Jibril di peraduanku
Kugantung

Pada ufuk rembulan kugantung


Jejak tiap aku memandangmu
Atau sekedar potret bututmu
Dalam dompetku

Di tengah antara
Jam duabelas dan satu
Dengar nyanyianku
Diantara detik yang berlalu
Jenuh

Jenuh
Udara
Bertiup
Sama saja

Berputar
Pada poros
Tak berjalan
Semestinya

Raga
Menua
Tanpa
Melaku apa

Sukma
Mengambang
Dibatas
Fana

Berjalanku
Kembali Kumau
Nir Cara
Niscaya saja

Lelah
Kudekap
Masa
Berlalu
Tidurku
Dalam fana
Sejenak
Menyesak

Matiku
Tak mau
Tanpa Bisa
Apa apa

Hidupku
Berlayar
Tak labuh
Tanpa dermaga

Hilanglah aku
Ditelan
Waktu
Tertawa
Kacau

Aku bermimpi
Semar menjadi bagong
Bagong menjadi arjuna

Tak mau kudalangi


Sebab pasti
Kahyangan jadi blencong
Kelir jadi Wrekudara

Kuikut saja
Menjadi kresna
Biar kutulis Bhagavad Gita
Jadi Hanacaraka saja
Kepada kawanku sepi

Kepada kawanku sepi


Ramai ini lebih sunyi
Dari hiruk pikuk lemari

Tak kudengar engkau


Seperti biasa bergurau
Berjam jam hingga memarau

Ingatkah ketika kita


Mengintai sepasang Kecoa
Bercumbu disudut meja

Kawanku sepi semesta


Aku hanya menua
Kau telah mati muda
Adzan milikku

Biar kutidur
Memeluk pena dan buku ditangan
Sebab kubangun
Kucatatkan adzan subuh
Sebagai gubahanku
Dosa

Angin telah membawa membawa kabar


:Lelap tidurku telah dicatat
sebagai kebejatan tiada dua
sebab kulupa
memeluk Tuhanku (Selingkuhanku)
Di pecah nadimu

Di pecah nadimu
kembang yang kusisir tadi sore
merah merekah

Di talu jantungmu
terkutub datangku
lalu mati begitu saja

Bilamana rupanya
di rengkah mata
begah pandangku

Pada apa lagi


Sampur sampirnya
Tariku menderu

Kaki, tangan, mata, Mata kaki, mata hati


Bahkan selangkangku
Terpucuk pada telunjukmu

Di lepas tangamu
Terbang layangku
Kau tarik benangmu
Hilang dan kembali

Ada yang hilang


Di tiap persimpangan
Karena arah
Selalu berubah

Begitupun engkau
Hilanglah
Pada arah mana
Yang menjadi pilihan

Aku menantimu
Pada persimpangan lain
Sebab takdir
Tak pernah berhenti berjalan
Kucumbu api Tuhanku

Kujilati lidah api Tuhanku


Sebelum ia menjilatku
DicumbuNya bibirku
Dengan pagutan nakalnya

Pada sirat kobarnya


Terhampar surga
Ialah nyala atman
Disentuh ribuan sel sperma
Sajak Kemiskinan

Kemiskinan adalah batu


Yang mengganjal
Perut perut di pinggir ciliwung

Kemiskinan adalah jalan raya


Yang menggantung
Diatas jutaan pengemis dan pengamen ibukota

Kemiskinan adalah rumbia


Yang tertata
Di pedalaman timika

Kamilah kemiskinan
Yang disumpal omongan
Tiap pemilu datang

Kepala kami
Dijanjikan beras dan sarung
Blabak serta asbes

Pun akhirnya sama saja


Mulut kami dibungkam
Suara kami dikebiri

Di lampu merah
Seorang anak menjajakan koran
Sambil menggendong adik bayinya

Masa depan negeri ini


Yang mereka junjung
Digadaikan dengan dua ribu rupiah

Di pinggir jalan
Seorang tua buta meraba punggung anaknya
Sedang tangannya menengadah

Berjalan perlahan diantara mobil mewah


Dilehernya terkalung tulisan
Veteran perang kemerdekaan

Aku tak habis tanya


Seorang pahlawan
Darahnya dijual di jalanan

Kamilah kemiskinan
Yang dijejali gabah
Tiap lebaran

Entah, kapan kami


Dijejali keselarasan
Bukan retorika kemakmuran

Tiap pagi dalam berita


Mereka berteriak
Laparlah kamu sebelum kamu dilaparkan

Jika kau tanya


Kami tidak kelaparan
Tidak, Kami cuma tidak bisa makan

Jika kau tanya


Kami tidak butuh rumah
Tidak, Kami cuma menggigil kedinginan

Di negeri ini
Kemiskinan adalah produk budaya
Yang dimakan budaya

Bayi kurang gizi


Sudah seperti pajangan museum
Di tiap tiap puskesmas

Pemukiman kumuh
Sudah seperti real estate
Sepanjang bantaran

Pengamen jalanan
Bak ajang pencarian bakat
Tiap menit datang, tiap menit berganti

Korupsi di setiap instansi


Itulah ibu yang melahirkan
Setiap kemiskinan negeri ini
Irisan rembulan berkalang jambu

Ia malam
Dalam dekapku
Menjelma menjadi sepi
Menjelma irisan
rembulan berkalang jambu
yang pada sore tadi
kuselip setangkai mawar
di daun telinganya
dan ia berbisik
Aku merindukanmu
Kau sajak sajak saja

Kau tak butuh


Lembar kertas dan pena
Ketika kau tulis sajakmu

Hembus nafasmu
Melepas ribuan kata cinta
Yang sering digubah
Sapardi Djoko Damono

Anda mungkin juga menyukai