Ma,
Jika engkau mati
Akan kukubur engkau
Didepan jendela kamarku
Biar melati itu
Tiap pagi kucumbu
Bersama harummu
Lupa
Dik,
Sejatinya kau lupa
Lupakan saja
Dik,
Sejatinya kau ingat
Lupakan saja
Sebab aku
Sejatinya lupa
Cara melupamu
Mimpi? Mati?
Ruhku bergidik
Ia kembangkan sayap
Pergilah ia dari sangkarnya
Sekejap gelap
Jantungpun pingsan
Dihentikannya detak
Pada tiap detik
Mati
Menulis-ku
Menulis-ku
Sebab tak mau
Sajakku
Hanya sepotong nama
Diselembar nisan
Bahkan tak kugubah itu
Pamrih
Sepasang beradu
ketika aku
menjadi bayu
membelai rambutmu
Lain kali
inginku datang padamu
Menjadi camar
Membawa sepucuk tangkai cemara
Yang kemudian kau sisipkan
Di sela semak mawar depan rumahmu
Sajak Recehan 1
Tempat sajakku
Ialah kaleng susu
Mengawani lemar seribuan
Cukuplah saja
Sajakku membeli secangkir kopi
Tanpa hiruk pikuk diksi
Aben Babi
Kukendarai waktu
Bukan masa
:Ia tak kenal
detik sebagai pengayuh
Kekasih
Sudah kupasangkan
Untukmu
Pelana beludru
Kendarailah waktuku
Engkau punyaku
Sebuah kapal dan dermaga
Ketika senja
Ia menyerah pada rindunya
Saat dermaga
Menariknya pulang
Selebaran Pemilu
Di persimpangan gereja
Ia menjaja
Lekuk tubuh manja
Senyum bunga seroja
Dirabanya beberapa
Entah sesiapa
Meneguk pengundang hampa
Ia meliuk dalam petikan harpa
Di persimpangan
Ia ditunggingkan
Tepat tengah saliban
Ditatapnya altar Tuhan
Seorang gadis di ujung pantai dekat dermaga
Gerbang panjang
Berlubang
Tergusah arah angin
Mendesah dari kerongkongmu
Kau diam
Aku pergi
Sebab aku
Tak mengenalmu
Tentang Hujan
Diusapnya senyum
Pada wajah
Yang mengantarku
Pada ujung jalan
Dihempaskannya rindu
Pada sepasang
Yang berpelukan
Di dekap malam
Tentang hujan dan airmata
Mendaya cinta
Tak beda membaca semesta
Entah, kanan ke kiri
Atau dari bait yang mana
Aku menyangsi
Hati tak bisa terbagi
Sebab bumi tak hanya siang
Atau hanya malam saja
Di ufuk
Entah, terlambang
Perseus dan andromeda
Menjadi pertanda
Biarlah
Fajar hanya merindu senja
Entah, bagaimana
Malam masih memeluknya
Malam ini aku pulang
Daripadamu
Sayup pandang merayu
Bikin ngilu tulang rusukku
Zah,sematkan saja
Bunga sepatu yang kubawa
Di belah jantungmu
Reguklah
Biar kukecap manisnya
Dari rekah bibirmu
Reguklah,
Biar kudengar do’a
Dari hatimu
Bahkan,
Itu lebih baik
Daripada ucap rindumu
Kutulis sajak di kaca jendelamu
Sajakku berguguran
Tumbang dikeram dingin hujan
Ia tak perlu berjanji
Kembali pada kaca jendelamu
Sebab
Aku memilih berlalu
Kusajak sajak saja 1
Sajak
Ia hal paling surgawi
Saat engkau
Mencumbu kekasihmu
Sajak
Ia hal paling saru
Saat aku
Mencumbu kekasihmu
Kusajak Sajak Saja 2
Menulismu semalam
Bahkan kekasihku tak mampu
Melayaniku
Saat kukecup bibirnya
Mengaduhlah
Sebab mulutku limaratus rupiah
Kutulislah engkau
Di dentang bel Jerusalem
Terbawa Jibril di peraduanku
Kugantung
Di tengah antara
Jam duabelas dan satu
Dengar nyanyianku
Diantara detik yang berlalu
Jenuh
Jenuh
Udara
Bertiup
Sama saja
Berputar
Pada poros
Tak berjalan
Semestinya
Raga
Menua
Tanpa
Melaku apa
Sukma
Mengambang
Dibatas
Fana
Berjalanku
Kembali Kumau
Nir Cara
Niscaya saja
Lelah
Kudekap
Masa
Berlalu
Tidurku
Dalam fana
Sejenak
Menyesak
Matiku
Tak mau
Tanpa Bisa
Apa apa
Hidupku
Berlayar
Tak labuh
Tanpa dermaga
Hilanglah aku
Ditelan
Waktu
Tertawa
Kacau
Aku bermimpi
Semar menjadi bagong
Bagong menjadi arjuna
Kuikut saja
Menjadi kresna
Biar kutulis Bhagavad Gita
Jadi Hanacaraka saja
Kepada kawanku sepi
Biar kutidur
Memeluk pena dan buku ditangan
Sebab kubangun
Kucatatkan adzan subuh
Sebagai gubahanku
Dosa
Di pecah nadimu
kembang yang kusisir tadi sore
merah merekah
Di talu jantungmu
terkutub datangku
lalu mati begitu saja
Bilamana rupanya
di rengkah mata
begah pandangku
Di lepas tangamu
Terbang layangku
Kau tarik benangmu
Hilang dan kembali
Begitupun engkau
Hilanglah
Pada arah mana
Yang menjadi pilihan
Aku menantimu
Pada persimpangan lain
Sebab takdir
Tak pernah berhenti berjalan
Kucumbu api Tuhanku
Kamilah kemiskinan
Yang disumpal omongan
Tiap pemilu datang
Kepala kami
Dijanjikan beras dan sarung
Blabak serta asbes
Di lampu merah
Seorang anak menjajakan koran
Sambil menggendong adik bayinya
Di pinggir jalan
Seorang tua buta meraba punggung anaknya
Sedang tangannya menengadah
Kamilah kemiskinan
Yang dijejali gabah
Tiap lebaran
Di negeri ini
Kemiskinan adalah produk budaya
Yang dimakan budaya
Pemukiman kumuh
Sudah seperti real estate
Sepanjang bantaran
Pengamen jalanan
Bak ajang pencarian bakat
Tiap menit datang, tiap menit berganti
Ia malam
Dalam dekapku
Menjelma menjadi sepi
Menjelma irisan
rembulan berkalang jambu
yang pada sore tadi
kuselip setangkai mawar
di daun telinganya
dan ia berbisik
Aku merindukanmu
Kau sajak sajak saja
Hembus nafasmu
Melepas ribuan kata cinta
Yang sering digubah
Sapardi Djoko Damono