Author Manuscript
Curr Cardiovasc Risk Rep. Author manuscript; available in PMC 2015 October 01.
Published in final edited form as:
Curr Cardiovasc Risk Rep. 2014 October ; 8(10): . doi:10.1007/s12170-014-0400-y.
Abstract
NI Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana adanya
H-
P kerusakan ginjal dan terjadinya penuurunan fungsi ginjal yang tidak normal selama
A setidaknya tiga bulan . CKD merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama
A
ut karena prevalensi dan komplikasinya. Berdasarkan data National Health and
ho Nutrition Examination Survey (NHANES) prevalensi CKD telah meningkat,
r
M hingga perkiraan yang lebih dari 13,1% populasi di Amerika Serikat, proporsi yang
an mirip dengan diabetes mellitus. Sama halnya dengan diabetes, CKD diakui sebagai
us
risiko kardiovaskular yang setara, banyaknya gejala merugikan yang ditimbulkan,
CKD lebis sering ditemukan setelah memasuki stadium lanjut atau CKD sedang
(stadium 3), dengan prevalensi lebih dari 8% populasi..
NI
H- EPIDEMIOLOGY
P
A Hipertensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada CKD yang terjadi
A
ut seringkali tidak terkontrol dengan baik. Sebuah studi cross sectional pada pasien
ho CKD dari studi Chronic Renal Insufficiency Cohort (CRIC) menemukan prevalensi
r
M 85,7% untuk hipertensi yang didefinisikan sebagai BP ≥ 140/90 atau penggunaan
an obat antihipertensi . Tingkat pengendalian hipertensi lebih tinggi dalam studi CRIC
us
dibandingkan dengan kelompok sebelumnya dengan 67,1% dan 46,1%
dikendalikan dengan tujuan BP masing-masing <140/90 atau <130/80. Namun
perlu dicatat bahwa dalam kohort CRIC hipertensi, 58% menggunakan pengobatan
NI dengan 3 atau lebih obat antihipertensi yang menunjukkan bahwa sebagian besar
H- kohort memiliki hipertensi resisten.
P
A
A
ut
ho
r
M
an
us
Prevalensi bervariasi tergantung pada kondisi apakah BP pra-dialisis, BP
pasca-dialisis, atau BP rawat jalan interdialitik diperiksa, hipertensi juga
umum terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) pada
dialisis. Sebuah studi cross sectional baru-baru ini terhadap 369 pasien HD
menggambarkan hal ini karena 82% subjek mengalami hipertensi yang
didefinisikan sebagai penggunaan obat antihipertensi atau rata-rata BP
rawat jalan interdialitik 44 jam ≥ 135/85, dan hipertensi cukup terkontrol
pada 38%.
PATHOPHYSIOLOGY
Kondisi komorbiditas yang memperberat hipertensi adalah peningkatan
kekakuan arteri dan apnea tidur obstruktif yang sekali terjadi pada populasi
CKD, banyak mekanisme yang lebih spesifik pada penyakit ginjal yang
berkontribusi dalam meningkatkan faktor resiko terjadinya hipertensi.
Tingginya kadar natrium dalam darah secara klinis telah lama diakui
sebagai kontributor utama untuk terjadinya hipertensi baik pada mereka yang
memiliki fungsi ginjal normal ataupun pada mereka yang memiliki penyakit
ginjal. Saat laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dengan progresi CKD,
menyebabkan lebih sedikit natrium yang disaring sehingga terjadi retensi
natrium dan volume cairan ekstraseluler yang secara tidak langsung
mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) yang tidak
teraktivasi secara tepat , salah satu faktor yang ikut mempengaruhi kondisi
tersebut adalah iskemia ginjal pada pasien dengan penyakit renovaskular.
aktivitas sistem saraf simpatis yang berlebihan yang timbul dari saraf eferen
ginjal merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam menyebabkan
terjadinya hipertensi pada pasien CKD. seperti yang didapatkan dalam
penelitian bahwa peningkatan aktivitas saraf simpatis otot pada pasien ESRD
dibandingkan dengan kontrol normal atau status pasien ESRD pasca
nefrektomi bilateral. faktor lain yang ikut berperan dalam menyebabkan
terjadinya aktivitas berlebihan pada saraf simpatis adalah renalase, suatu
Curr Cardiovasc Risk Rep. Author manuscript; available in PMC 2015 October 01.
enzim yang disekresikan oleh ginjal yang berperan dalam memetabolisme
katekolamin yang bersirkulasi dalam darah baik pada hewan maupun pada
manusia.
Pasien CKD memiliki tahanan vaskular yang kurang baik, salah satunya
disebabkan akibat adanya vasokonstriksi yang tidak normal yang disebabkan
oleh gangguan sintesis nitrit oksida dari inhibitor yang bersirkulasi seperti
dimetil arginin asimetris . Aktivasi reseptor endotelin berkontribusi terhadap
vasokonstriksi karena peningkatan kadar endotelin-1 berpengaruh dalam
berbagai kondisi CKD dan blokade reseptor endotelin juga berperan dalam
meningkatkan faktor resiko terjadinya hipertensi. Baru-baru ini, penelitian
mendapatkan bahwa dengan antagonis reseptor endotelin-1 dapat berperan
sangat efektif, karena menunjukkan antara 35-40% penurunan albuminuria
pada 12 minggu pengobatan dan penurunan tekanan darah rawat jalan 24
jam dari 4-6 mmHg pada periode waktu yang sama.
Curr Cardiovasc Risk Rep. Author manuscript; available in PMC 2015 October 01.
PERAWATAN NON FARMAKOLOGI
NI
H- Pembatasan Natrium
P
A Mengingat pentingnya menghindari terjadinya kelebihan volume yang
A berperan sangat penting dalam terjadinya patogenesis hipertensi pada
ut
ho penyakit ginjal, salah satunya dengan membatasi asupan natrium yang
r merupakan salah satu diet penting untuk membantu mengontrol hipertensi
M
an pada CKD. Sementara itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet
us rendah natrium berpengaruh dalam membantu pasien yang sedang
menjalani pengobatan hipertensi resisten tanpa penyakit ginjal. penelitian
menyatakan bahwa diet rendah natrium dalam upaya untuk mengendalikan
hipertensi pada CKD telah terbukti dengan adanya penurunan tekanan darah
NI
H- pada pasien sesuai dengan standar normal tekanan darah.
P
A Penelitian terbaru dengan percobaan kontrol acak selama 6 minggu
A
menunjukkan adanya manfaat pada diet rendah natrium terhadap penurunan
ut
ho tekanan darah pada 20 pasien CKD stadium 3-4 yang disertai hipertensi.
r
Subjek diberi konseling tentang diet rendah natrium dan diberikan sampel
M
an makanan rendah natrium dan setelah fase run-in mereka diacak untuk
us
menerima tablet natrium versus plasebo dengan tujuan asupan natrium <80
mmol per hari di kelompok natrium rendah dan 200 mmol per hari pada
kelompok natrium tinggi. Pada subjek awal memiliki tekanan darah rawat
jalan rata-rata selama 24 jam sebesar 151/82 mmHg, perbandingan tekanan
NI
H- darah pada pasien rawat jalan diet rendah natrium dapat dilihat perbedaannya
P
secara signifikan (9.7 / 3.9 mmHg) dengan pasien rawat jalan diet tinggi
A
A natrium. Kuesioner, jumlah pil, dan pengumpulan urin 24 jam digunakan
ut
untuk mengkonfirmasi kepatuhan dengan kandungan natrium dalam
ho
r makanan dan asupan kalium yang stabil antar kelompok.
M
an Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa mengurangi penyerapan natrium
us
usus dengan menghambat penyerapan natrium makanan menggunakan
tenepanor obat, penghambat transporter NHE3 yang tidak dapat diserap
dapat mengurangi BP dan melindungi ginjal pada hewan dengan nefrektomi
subtotal . Di antara sukarelawan sehat yang normal, obat tersebut
mengurangi penyerapan natrium yang bergantung pada dosis sekitar 50
mmol per hari tanpa menyebabkan diare. Uji klinis pada nefropati diabetik
sedang berlangsung untuk mengevaluasi efek antihipertensi dan
antiproteinurik obat ini.
NI
H- PHARMACOLOGIC TREATMENT
P
A Karena pasien dengan CKD dan ESRD substansial biasanya dikeluarkan
A
dari uji coba terkontrol secara acak, terdapat kekurangan bukti untuk
ut
ho memandu pilihan obat untuk mengobati hipertensi pada pasien dengan
r
penyakit ginjal. Sementara mengakui keterbatasan ini, pedoman praktik
M
an klinis yang baru-baru ini diterbitkan dari JNC 8 dan KDIGO keduanya
us
menekankan penggunaan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEi).
dan obat penghambat reseptor angiotensin (ARB) pada populasi CKD
berdasarkan hasil uji coba yang lebih lama. Namun, penggunaan ganda
NI obat ACEi dan ARB saat ini dikontraindikasikan sehubungan dengan hasil
H- yang baru-baru ini dilaporkan dari uji coba Veterans Affairs Nephropathy
P
A in Diabetes (NEPHRON-D) yang melibatkan 1.448 pasien dengan nefropati
A diabetik, dengan atau tanpa hipertensi. Subjek diacak untuk meminum
ut
ho losartan plus lisinopril versus losartan plus plasebo untuk pencegahan titik
r akhir komposit primer kejadian ginjal atau kematian dan percobaan
M
an dihentikan lebih awal karena kurang efektif serta untuk peningkatan efek
us samping pada kelompok terapi ganda. Khususnya, BP tidak berbeda antar
kelompok.
Perlu dipertimbangkan untuk menghindari diuretik seperti tiazid pada CKD
dengan GFR <30 mL / menit / 1,73m2, meskipun secara klasik diakui
bahwa pengobatan diuretik sering diperlukan untuk pengendalian hipertensi
pada CKD. Namun, dua uji coba yang tidak terkontrol baru-baru ini
menentang paradigma tersebut. Percobaan pertama melibatkan 14 pasien
dengan perkiraan GFR rata-rata 27 mL / menit / 1,73m2 dan rata-rata 24
jam SBP rawat jalan 143 pada median 4 obat antihipertensi, dan setelah
fase run-in semua pasien diobati dengan chlorthalidone 25 mg setiap hari
dengan dosis dititrasi. Pada akhir intervensi 12 minggu subjek mengalami
penurunan signifikan 10,5 mmHg pada tekanan darah sistolik rawat jalan
24 jam, dan pengobatan secara umum ditoleransi dengan baik.. Percobaan
kedua mendaftarkan 60 pasien CKD dengan GFR rata-rata diperkirakan 39
mL / menit / 1,73m2 dan rata-rata BP 151 mmHg pada 1,8 obat
antihipertensi. Setelah fase run-in semua pasien dimulai dan dipertahankan
dengan chlorthalidone 25 mg setiap hari dan pada akhir minggu ke-8, BP
berkurang secara signifikan sebesar 20 mmHg. Khususnya, 9 pasien dengan
GFR yang diperkirakan <30 mL / menit / 1,73m2 memiliki penurunan
tekanan darah yang signifikan serupa.
Dalam populasi ESRD pada dialisis, dua analisis meta dari uji coba
terkontrol secara acak telah menunjukkan terapi antihipertensi nonspesifik
dikaitkan dengan penurunan risiko kejadian kardiovaskular , tetapi masih ada
kelangkaan bukti uji klinis yang tersedia untuk memandu pilihan pengobatan
saat merawat hipertensi pada pasien dialisis. Uji coba Hipertensi pada Pasien
Hemodialisis yang Diobati dengan Atenolol atau Lisinopril (HDPAL) mulai
menjawab kekurangan tersebut. Percobaan ini mengacak 200 pasien HD baik
dengan hipertensi didefinisikan sebagai 44 jam interdialytic rawat jalan BP ≥
135/85 dan dengan hipertrofi ventrikel kiri untuk terapi antihipertensi dengan
rejimen berdasarkan label terbuka atenolol versus lisinopril untuk
pengurangan hipertrofi ventrikel kiri sebagai titik akhir primer . Selama 1
tahun pasien dirawat dengan antihipertensi tambahan dan pengurangan berat
badan untuk menjaga BP ≤ 140/90 diperiksa setiap bulan. Uji coba
dihentikan lebih awal karena efek samping serius yang berlebihan pada
kelompok lisinopril, dan hasil akhir yang tidak berbeda signifikan antar
kelompok pada saat penelitian dihentikan.
Terlepas hasil studi yang negatif atau berbahaya, mereka mungkin masih
menawarkan kontribusi berharga untuk akumulasi pengetahuan di lapangan
dan memberikan informasi baru kepada penyedia untuk membangun praktik
berbasis bukti mereka. Hasil terbaru dalam studi CKD tidak
merekomendasikan untuk menggunakan pemasangan stent arteri ginjal,
denervasi ginjal, terapi ACEi ganda dan ARB, obat ACEi atau ARB sebagai
terapi lini pertama pada HD disertai CKD, dan target TD yang ketat pada
CKD. Lebih lanjut, hasil positif baru-baru ini membuat kami
mempertanyakan paradigma lama untuk menghindari diuretik seperti tiazid
pada CKD lanjut, menekankan kembali kemanjuran pembatasan natrium
dan di antara pasien hemodialisis mendorong kami untuk menggunakan
atenolol sebagai terapi antihipertensi lini pertama.
Reference List and Recommended Reading
• Of importance
•• Of major importance