Anda di halaman 1dari 10

MAKNA SIMBOLIK TANDA PADA UPACARA WISUDA LENGGER

DI DESA GERDUREN KECAMATAN PURWOJATI


KABUPATEN BANYUMAS

Timbang Viga Khoirunnisa & Siti Fathonah


PBSI UM PURWOKERTO

ABSTRAK : Penelitian yang berjudul “Makna Simbolik Tanda pada Upacara


Wisuda Lengger Di Desa Gerduren Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas”
bertujuan untuk mendeskripsikan dan membahas jenis tanda dan makna simbolik
tanda yang terdapat pada upacara wisuda lengger. Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini adalah makna simbolik tanda yang terdapat
dalam tradisi wisuda lengger di Desa Gerduren Kecamatan Purwojati Kabupaten
Banyumas. Sumber data penelitian adalah keseluruhan prosesi upacara wisuda
lengger di Desa Gerduren Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas dan sumber
data lainnya yaitu narasumber atau informan. Data dalam penelitian ini yaitu tanda-
tanda yang terdapat pada upacara wisuda lengger. Metode dalam penelitian ini
menggunakan tiga tahap yaitu (1) tahap penyediaan data, yang meliputi: (a)
wawancara, (b) observasi, dan (c) dokumentasi, (2) tahap analisis data yaitu
menggunakan padan refensial dengan teknik pilah unsur penentu (teknik PUP), dan
teknik lanjutan hubung banding samakan (HBS), (3) tahap penyajian hasil analisis
data yaitu menggunakan penyajian informal. Berdasarkan analisis data, hasil
penelitian ini yaitu jenis tanda dan makna simbolik. Jenis tanda tersebut meliputi ikon,
indeks, dan simbol. Hasil analisis data mengenai simbol terdapat simbol verbal dan
simbol nonverbal. Simbol verbal yang ditemukan yaitu satu bait lagu sekar gadhung,
simbol nonverbal yang ditemukan berupa (a) simbol fisik meliputi perlengkapan
seperti kusan, tumpal tapih, tumpeng, dan sesajen (sesaji), (b) simbol tindakan, dan
(c) simbol latar yaitu latar waktu. Selanjutnya hasil analisis mengenai makna simbolik
tanda yaitu berupa; (1) makna simbolik tanda dalam konteks religi meliputi, (a)
ekspresi kepercayaan dan (b) sistem ritual, (2) makna simbolik tanda dalam konteks
etika, (c) makna simbolik dalam konteks estetika, kemudian (d) makna simbolik
dalam konteks filosofi.
Kata kunci : semiotik, makna simbolik, tanda, kesenian lengger dan upacara wisuda
lengger

SYMBOLIC MEANING OF SIGNS ON THE LENGGER


INAUGURATION CEREMONY IN GERDUREN VILLAGE PURWOJATI SUB -
DISTRICT BANYUMAS REGENCY

Siti Fathonah & Timbang Viga Khoirunnisa


PBSI UM PURWOKERTO

ABSTRACT: This qualitative descriptive research entitled “Symbolic Meaning of


Signs on the Lengger Inauguration Ceremony in Gerduren Village Purwojati Sub -
District Banyumas Regency” aimed to describe and discuss about kinds of sign and
its symbolic meaning on lengger inauguration ceremony. The objects of this research
were symbolic meanings on the tradition of lengger inauguration in Gerduren Village
Purwojati Sub - District Banyumas Regency. The source of research data was the
whole procession of lengger inauguration ceremony in Gerduren Village Purwojati
Sub-district of Banyumas Regency and the other data source was from interviewee or
informant. Data in this research was signs on the lengger inauguration ceremony.
The method of the research used three steps namely (1) data provision, includes : (a)
interview, (b) observation, dan (c) documentation, (2) data analysis, using referential
method with determinant-sorting technique (PUP), and advanced technique used
correlation of the equalizing technique, (3) presentation of data analysis result used
informal presentation. Based on data analysis, the result was symbol types and
symbolic meanings. They included icons, indexes, and symbols. The result about
analyzing the symbols was there were verbal symbols and non-verbal symbols. Verbal
symbols found in one verse of sekar gadhung song, non-verbal symbols found were
(a) physical symbols included equipments such as kusan (steaming tool), tumpal tapih
(different patterns of a Javanese traditional fabric which are in the tip of it), tumpeng
(the way of serving rice and its side dishes in cone form) and sesajen (ritual
offerings), (b) action symbols, and (c) background symbols i.e time settings.
Furthermore, the analyzing results of signs symbolic meaning were; (1) the symbolic
meaning of the sign in the context of religion included, (a) the expression of trust and
(b) the ritual system, (2) the symbolic meaning of the sign in the ethical context, (c)
the symbolic meaning in the aesthetic context, then (d) the symbolic meaning in the
philosophy context.
Keywords : semiotic, symbolic meanings, signs, lengger art, lengger inauguration
ceremony

PENDAHULUAN
Mengingat globalisasi modern saat ini berkembang begitu pesat, maka kita
perlu mengetahui dan melestarikan tradisi warisan leluhur. Keterbatasan dan
kurangnya pengetahuan tentang apa dan bagaimana suatu tradisi menjadi salah satu
faktor masyarakat enggan mempertahankan tradisi yang telah diwariskan oleh leluhur
kita. Maka dari itu, tidak heran jika banyak tradisi suatu daerah yang mulai hilang dan
cenderung dilupakan. Depdiknas, (2017:1293) menjelaskan tradisi adalah segala
sesuatu (seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran) yang turun temurun dari nenek
moyang. Tradisi menjadi bagian dari kebudayaan yang beragam di Indonesia. Jawa
menjadi salah satu daerah yang kaya akan budaya dan tradisi. Tradisi di Jawa
memiliki kekhasan tersendiri dari satu daerah dengan daerah lain. Salah satu daerah di
Jawa yang masih melestarikan tradisi yaitu Banyumas.
Banyumas sendiri merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah
Provinsi Jawa Tengah. Salah satu tradisi yang masih dipegang teguh dan dilaksanakan
di Banyumas adalah upacara wisuda lengger dalam kesenian lengger. Menurut
Kusumawardani (2012) kesenian lengger adalah salah satu cabang kesenian
tradisional di Jawa, yaitu berasal dari Wonosobo dan Banyumas. Lengger di
Banyumas merupakan salah satu kesenian yang sampai sekarang masih berkembang
dan diminati masyarakat. Upacara wisuda lengger bisa ditemui di salah satu daerah di
Banyumas yaitu desa Gerduren Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas. Marwah
(2015;113) merujuk pada Pemendagri No 25 Tahun 2007 tentang Pedoman
Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Nilai Sosial Budaya Masyarakat,
pada tahun 2011 Desa Gerduren masuk dalam lima desa yang menyandang status desa
adat. Gerduren menyandang status sebagai desa adat karena memiliki corak adat dan
istiadat yang kuat dan unik. Dari hasil observasi peneliti, desa Gerduren merupakan
desa yang cukup terpencil, sehingga budaya, adat, dan tradisinya belum banyak
mengalami perubahan.
Ada beberapa kesenian yang berkembang di desa Gerduren yaitu kesenian
ebeg, sintren, dan kesenian lengger. Dari tiga kesenian yang banyak berkembang di
desa Gerduren, masyarakat luar Gerduren menganggap kesenian lengger itu kesenian
yang sudah hilang nilai sakralnya atau nilai mistiknya. Kesenian lengger saat ini
hanya berlaku sebagai hiburan saja. Bahkan banyak yang beranggapan bahwa penari
lengger biasanya identik dengan kata ‘murahan’. Hal ini juga disampaikan oleh
Marwah (2015:113) bahwa dilihat dari perjalanan sejarahnya, ketika lengger mulai
masuk ke kalangan priyayi dan kolonial, lengger sudah mulai cenderung dilekatkan
dengan pemenuhan nafsu seksualitas laki-laki. Padahal tidak demikian, anggapan
seperti itu tidak bisa dilekatkan pada kesenian lengger itu sendiri, karena di desa
Gerduren terdapat upacara wisuda lengger dimana banyak terdapat simbol yang
menyatakan bahwa kesenian lengger juga tetap memperhatikan kebaikan yang
berlaku dalam diri manusia.
Menurut wawancara dengan narasumber (bapak Suhar, 8 Juli 2017), upacara
wisuda lengger sudah ada dari sebelum Desa Gerduren berdiri yaitu sekitar 1813
masehi. Upacara wisuda lengger ini merupakan tradisi pelantikan untuk penari
lengger. Seseorang yang akan menjadi penari lengger harus mengikuti tradisi upacara
wisuda lengger terlebih dahulu, sehingga bisa dinyatakan sah menjadi penari lengger
dan boleh melaksanakan pertunjukkan dimana pun. Pelantikan tersebut dilakukan oleh
penari lengger sesepuh (tua) kepada penari lengger yang masih baru atau akan
dilantik. Dalam upacara wisuda lengger terdapat puncak acara yaitu gebyag wisuda
lengger atau gebyag lengger. Beberapa urutan acara puncak tersebut diantaranya
ketika calon penari lengger dikukupi kusan, dibasuh tumpal tapih, ngobong menyan,
dan menyanyikan lagu sekar gadung. Menurut wawancara (Suhar, 8 Juli 2017 dan
Nakim, 23 Juli 2017) rangkaian acara pada gebyag lengger dan beberapa peralatan
sekaligus perlengkapannya itu memiliki makna yang berisi harapan-harapan baik.
Harapan-harapan baik yang ingin disampaikan dalam upacara wisuda lengger
dapat disampaikan melalui tanda-tanda yang terdapat dalam rangkaian
pelaksanaannya. Berpedoman pada pandangan Pierce, tanda dibagi menjadi tiga
kategori yaitu ikon, indeks, dan simbol. Dilihat dari urutan prosesinya, dalam tanda-
tanda yang terdapat pada upacara wisuda lengger memiliki makna simbolik yang
terkandung di dalamnya. Makna simbolik adalah makna dari suatu bentuk yang
berasosiasi dengan bentuk lain. Baik peralatan, urutan prosesi, semua perlengkapan,
maupun bentuk-bentuk yang ada pada upacara wisuda lengger mengandung makna
simbolik yang dalam ilmu semiotik, simbol dikenal sebagai tanda. Informasi tentang
makna simbolik tanda dalam upacara wisuda lengger penting diteliti karena akan
mengungkap makna yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat pada umumnya
yaitu makna simbolik tanda pada upacara wisuda lengger. Makna simbolik pada
upacara wisuda lengger akan mengungkapkan harapan-harapan baik yang ternyata
ada dalam kesenian lengger melalui simbol-simbol. Tujuan penelitian ini yaitu untuk
mendeskripsikan jenis-jenis tanda dan makna simbolik tanda yang terdpat dalam
upacara wisuda lengger di desa Gerduren kecamatan Purwojati kabupaten Banyumas.
TINJAUAN PUSTAKA
Koentjaraningrat (2009:146) mengatakan bahwa kebudayaan berasal dari
bahasa sansekerta yaitu buddayah , kata tersebut adalah bentuk jamak dari buddhi
yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Maka dari itu kebudayaan bisa diartikan sebagai hal-
hal yang bersangkutan dengan akal. Menurut Taylor (dalam Soelaeman. 2010:19)
kebudayaan pun bisa disebut peradaban, mengandung pengertian luas meliputi
pemahaman perasaan suatu bahasa yang kompleks, meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainya
yang diperoleh dari anggota masyarakat. Kebudayaan memiliki beberapa wujud,
menurut Koentjaraningrat (2009:150) wujud kebudayaan ada tiga macam yaitu: (a)
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan,
dan sebagainya, (b) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta
tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (c) wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia.
Selain wujud-wujud kebudayaan Unsur-unsur kebudayaan (cultural universal)
yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia disebut sebagai isi pokok
kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2009:165) unsur-unsur kebudayaan adalah:
(a) sistem religi dan upacara keagamaan, (b) sistem organisasi kemasyarakatan, (c)
sistem pengetahuan, (d) bahasa, kesenian, (e) sistem mata pencaharian, dan (f) sistem
teknologi dan peralatan. Dari pengertian di atas maka disebutkan bahwa bahasa
merupakan salah satu unsur dari kebudayaan.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan masyarakat untuk
bekerja sama, berinteraksi, mengidentifikasi diri, dan sebagai alat komunikasi
(Kridalaksana, 2009:24). Bahasa sebagai sistem lambang bunyi memiliki sifat atau
ciri bahasa. Sifat tersebut antara lain; (a) bahasa merupakan suatu sistem, (b) vokal
atau bunyi ujaran, (c) tersusun dari lambang-lambang manasuka (arbitrer symbols),
(d) unik dan khas, (e) dibangun dari kebiasaan-kebiasaan, (f) alat komunikasi, dan (g)
berubah-ubah (Anderson dalam Sobur, 2009:276). Selain Anderson, Chaer (2007:33)
juga menjelaskan tentang sifat atau ciri bahasa yang antara lain terdiri dari (a) bahasa
adalah sebuah sitem, (b) berwujud lambang, (c) berupa bunyi, (d) bersifat arbitrer, (e)
memiliki makna, (f) bersifat konvensional, (g) unik, (h) universal, (i) produktif, (j)
bervariasi, (k) dinamis, (l) sebagai alat interaksi sosial, dan (m) merupakan identitas
penuturnya. Kesimpulannya bahasa merupakan lambang bunyi yang digunakan oleh
masyarakat sebagai alat komunikasi yang bersifat berupa sistem, arbitrer
konvensional, unik, produktif, dan memiliki makna.
Salah satu sifat atau ciri bahasa adalah memiliki makna, Spencer (dalam
Dharmojo, 2005:39) mengatakan bahwa kebudayaan sebagai sebuah sistem terikat
dengan makna yang diuraikan dengan menginterpretasi simbol-simbol dan ritual. Jadi
bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa dan kebudayaan merupakan dua
sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan sebagai yang mengatur interaksi
manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai alat
kelangsungan interaksi itu (Chaer, 2004:165).
Kata semiotik berasal dari kata Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda.
Chandler (dalam Vera, 2014:2) mengatakan “the shortest definition is that it is the
study of signs” yang artinya definisi singkat dari semiotika adalah ilmu tentang tanda-
tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena masyarakat dan kebudayaan itu juga
merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, maupun
konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda tersebut mempunyai arti. Tanda sendiri
mempunyai dua aspek yaitu signifier dan signified atau dengan kata lain mempunyai
penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai sesuatu, yang
disebut petanda. Sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda itu
sendiri yaitu artinya. Ada dua tokoh perintis semiotika modern, yaitu Charles Sanders
Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Seussure (1857-1913).
Menurut Sobur (2009:41-42) berdasarkan objeknya Pierce membagi tanda
menjadi tiga yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang hubungan antara
penanda dan petandanya merupakan bentuk alamiah atau bisa diartikan antara tanda
dan acuannya bersifat kemiripan. Kedua ada indeks, indeks merupakan suatu tanda
menunjukan sebab akibat yang langsung mengacu pada kenyataan. Terakhir ada
simbol yaitu tanda yang antara penanda dengan petandanya memiliki hubungan yang
arbitrer atau mana suka (semena, dimana hubungan tersebut merupakan konvensi
(perjanjian).
Menurut Dharmojo (2005:33-38) simbol terbagi menjadi dua bentuk yaitu
simbol verbal dan simbol nonverbal. Simbol verbal adalah simbol-simbol yang berupa
bahasa yang dituturkan oleh para pelaku. Simbol verbal terdiri atas kata, larik atau
kalimat, dan bait atau paragraf. Simbol nonverbal merupakan ebuah simbol selain dari
simbol verbal, maksudnya adalah komponen selain komponen simbol verbal yang
berupa bahasa yang dipergunakan sebagai komunikasi. Kajian komunikasi nonverbal
meliputi penampilan tubuh, cara berpakaian, penata rambut, kosmetik, dan artefak-
artefak lain. Simbol nonverbal dalam penelitian ini antara lain berupa fisik, tindakan,
dan latar.
Makna merupakan hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti, Grice
dan Bolinger (dalam Aminuddin, 2008:52-53). Makna asosiatif adalah makna yang
dimiliki sebuah leksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan
sesuatu yang berada di luar bahasa (Chaer, 2007:293). Makna asosiatif bisa disebut
makna simbol karena dalam pengertiannya, simbol merupakan suatu bentuk yang
sudah terkait dengan dunia penafsiran dan secara asosiatif memiliki hubungan dengan
berbagai aspek di luar bentuk itu sendiri Dharmojo (2005:38). Kesimpulannya makna
asosiatif sama dengan makna simbolik. Makna simbol atau makna asosiatif sama-
sama membahas hubungan suatu bentuk dengan suatu di luar bentuk itu sendiri.
Contohnya, melati yang memiliki makna leksikal ‘sejenis bunga kecil-kecil berwarna
putih dan berbau harum’ digunakan untuk menyatakan simbol ‘suci’ atau berasosiasi
dengan sesuatu yang ‘suci/kesucian’, dan merah berasosiasi dengan ‘berani’.
Menurut Dharmojo (2005: 119-139) makna simbolik dibagi menjadi empat
yaitu (1) makna simbolik dalam konteks religi, (2) makna simbolik dalam konteks
etika, (3) makna simbolik dalam konteks estetika, dan (4) makna simbolik dalam
konteks filosofi.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian dalam penilitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Sukmadinata
(2006:72) mengatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian
yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena
alamiah maupun fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk,
aktivitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara
fenomena yang satu dengan fenomena lainnya. Menurut Moleong (2013:6) penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami subjek penelitian secara menyeluruh dan dengan cara deskriptif dalam
bentuk kata-kata dan bahasa, kemudian prosedur analisis tidak menggunakan prosedur
analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Objek penelitian ini yaitu upacara
wisuda lengger di desa Gerduren Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas.
Data yang digunakan peneliti adalah tanda-tanda yang terdapat dalam tradisi
wisuda lengger di Desa Gerduren Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas. Dalam
menentukan dan mengambil data penelitian, peneliti mengacu pada pendapat Idrus
(2009:61) yang menyatakan bahwa data adalah segala keterangan (informasi)
mengenai semua hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Kemudian penelitian ini
memiliki sumber data yaitu keseluruhan prosesi upacara wisuda lengger di Desa
Gerduren Kecamatan Purwojati Kabupaten Banyumas. Sumber data lain yang
mendukung penelitian adalah informan atau narasumber. Dalam penelitian ini
terdapat tiga tahap yaitu tahap penyediaan data yang terdiri dari wawancara,
observasi, dan dokumentasi. Tahap selanjutnya yaitu tahap penganalisisan data, tahap
penganalisisan data ini peneliti menggunakan metode padan, yaitu padan referensial.
Menurut Sudaryanto (2016:15) metode padan referensial adalah metode padan dengan
alat penentu yaitu suatu referen atau apa yang dibicarakan. Selanjutnya teknik yang
digunakan yaitu teknik pilah unsur penentu (PUP), dengan teknik lanjutan hubung
banding samakan (HBS). Tahap ketiga yaitu tahap penyajian hasil analisis, dalam
tahap ini penyajian hasil analisis disajikan dengan model informal. Model informal
yaitu model penyajian dengan perumusan kata-kata biasa, walaupun dengan
terminologi yang bersifat teknis (Sudaryanto, 2016:241).

HASIL PEMBAHASAN
Jenis tanda yang terdapat dalam upacara wisuda lengger ada tiga yaitu ikon,
indeks, dan simbol. Ketiga jenis tanda tersebut ditemukan dalam upacara wisuda
lengger baik dalam bentuk perlengkapan maupun urutan prosesinya. Berikut beberapa
perlengkapan yang ditemukan merupakan jenis tanda dalam upacara wisuda lengger
yaitu kusan, tumpal tapih, dan sajen atau sesaji. Urutan prosesinya yaitu ada ngobong
menyan, nyapu makam leluhur, sembah kiblat papat, lagu sekar gadhung dan jum’at
kliwon.
Data (1) klambi gadung
Klambi gadhung atau dalam bahasa Indonesia berarti baju berwarna gadhung
merupakan salah satu syarat yang harus ada dalam meja sesaji. Klambi gadung
merupakan ikon (icon), karena ada hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.
Klambi gadung termasuk dalam tanda ikon (icon) yaitu ikon diagramatik, karena ada
hubungan rasional antara harus adanya klambi gadung dengan sejarah lengger di desa
Gerduren. Menurut narasumber pak Suhar dan pak Nakim (18 Juli dan 23 Juli 2017),
penari lengger pertama di Desa Gerduren bernama nyi kuning atau saat ini biasa
dikenal dengan sebutan mbah kastinem, dahulu sekitar tahun 1813 masehi pada Kamis
kliwon meminta sebuah syarat. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi maka akan ada
bencana di Desa Gerduren. Syarat tersebut diantaranya: pada perkawinan ki lurah
(lurah pertama desa Gerduren) Nyi Kuning dan para remaja mau berjoged, meminta
jarit kawung, iket wulung, slendang hijau gadung, dan meminta diiringi bambu
kenclung. Sejak peristiwa itu setiap akan dilaksanakan upacara wisuda lengger di
Desa Gerduren, klambi gadung harus ada di meja sesaji. Klambi gadung harus ada
untuk mewakili keinginan atau syarat yang diminta mbah Kastinem (nyi kuning).
Data (6) ngobong menyan
Ngobong menyan merupakan salah satu urutan prosesi yang ada dalam upacara
wisuda lengger, yaitu urutan pada prosesi terakhir upacara, prosesi gebyag wisuda
lengger. Ngobong menyan berarti kegiatan membakar kemenyan. Ngobong menyan
menempati posisi sebagai penanda, dan memiliki hubungan sebab akibat dengan
petandanya yaitu ruh leluhur. Jadi ngobong menyan merupakan indeksional bahwa
saat itu ketika menyan sudah diobong (getah perca sudah dibakar) roh leluhur sudah
berapa disekitar calon penari lengger. Menurut narasumber pak Nakim (23 Juli 2017)
ketika ngobong menyan akan keluar bau khas dari menyan (getah perca) tersebut,
selain bau juga akan muncul asap dari getah perca yang dibakar. Ketika asap dan bau
khas keluar dari getah perca yang dibakar, dan sudah diberi mantra atau doa-doa saat
itulah dipercaya ruh leluhur merasa terpanggil.
Data (7) Wulan
Wulan merupakan salah satu pilihan kata yang digunakan dalam lirik lagu
sekar gadhung. Lagu sekar gadhung juga merupakan bagian dari urutan prosesi
upacara wisuda lengger karena wajib dinyanyikan oleh calon penari lengger. Lagu
sekar gadhung merupakan bagian dari simbol, yaitu simbol verbal. Maka kata wulan
di sini merupakan simbol verbal. Wulan sendiri dalam bahasa Indonesia berarti bulan.
Simbol verbal yang terdapat pada kata wulan yaitu kata wulan menandakan ‘sinar’
atau peneliti menyimpulkan sebagai ‘keindahan’. Secara umum bulan merupakan
benda langit yang indah, karena itu banyak penyair yang menggunakan kata bulan
untuk mengungkapkan keindahan. Selain itu Trisna (2013:122) menjelaskan bahwa
ada tujuh kebagusan Allah SWT yaitu kecantikan untuk dzat mengenal Allah SWT
(Asmaul Husna), keindahan untuk Surga, kelembutan untuk para pidadari, penerangan
untuk matahari, cahaya untuk bulan, kegelapan untuk malam, dan kehalusan untuk
udara.
Data (12) Kusan
Secara leksikal kusan memiliki arti alat untuk mengukus, kukusan. Kusan
merupakan perlengkapan yang wajib ada dalam pelaksanaan upacara wisuda lengger,
karena kusan digunakan sesepuh lengger untuk melantik calon penari lengger yaitu
dengan cara ditutupkan ke kepala calon penari lengger tiga kali secara berurutan.
Kusan memiliki simbol ‘percaya diri’ karena dalam penggunaannya di upacara
wisuda lengger yaitu ketika kusan ditutupkan pada kepala calon penari lengger, maka
secara langsung wajah calon penari lengger pun ikut tertutup kusan. Tertutupnya
wajah calon penari lengger memiliki kepercayaan dan harapan supaya calon penari
lengger menjadi ‘percaya diri’. Eyang Tasem dan Bu Warsiah (22-23 Juli 2017)
mengatakan calon penari lengger dikukupi kusan supaya ‘percaya diri’, supaya ‘tidak
malu’ terutama dalam menari lengger, karena penari lengger ketika sedang
pertunjukkan adalah seorang bintang.
Data (14) Tumpeng
Tumpeng dalam upacara wisuda lengger merupakan simbol nonverbal karena
tumpeng termasuk dalam benda yang bermakna kultural dan ritual. Tumpeng dalam
upacara wisuda lengger menandakan ‘keselamatan’ karena tumpeng biasanya
digunakan masyarakat Gerduren untuk tradisi slametan. Jadi sebelum masuk acara
inti gebyag lengger yaitu pelantikan calon penari lengger, para penabuh (penayagan)
melakukan slametan lebih dulu yaitu berdo’a bersama dan makan tumpeng beserta
lauk-pauk bersama-sama dengan tujuan kebersamaan. Do’a yang dipanjatkan dalam
slametan tersebut yaitu do’a untuk meminta keselamatan dalam hidup.
Data (18) Dawegan
Selain perlengkapan, simbol nonverbal juga terdapat dalam sesaji, salah
satunya yaitu dawegan. Dawegan dalam bahasa Indonesia sama dengan kelapa muda.

Anda mungkin juga menyukai