Anda di halaman 1dari 8

Kedudukan dan Sistematika Filsafat Ilmu dalam Rasionalisasi Ilmu Pengetahuan

Kedudukan dan Sistematika Filsafat Ilmu dalam Rasionalisasi Ilmu Pengetahuan

Isnoa*

aProgram Studi Pendidikan Agama Islam Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya
Mojokerto
*Koresponden penulis: isnobisa@gmail.com

Abstract
Rationalization Science happened since Rene Descartes with a skeptical attitude-
metodisnya doubting everything, except him who is hesitant (cogito ergo sum). This
attitude continued in Auf Klarung, an era which is an attempt to reach a rational man
about himself and nature. The purpose of this paper is to describe the position and
systematic philosophy of science in the rationalization of science. Relates to a process
of rationalization of knowledge derived from sensory experience, both of which have
been declared a scientific or unscientific, using logic, everything that has been known
empirically as well as on the basis of faith more easily accepted by common sense.
Philosophy has the ability to add one's faith in religion, but "if either apply it" will
make people doubt his belief in the teachings of the sacred. What according to
religious teachings enough to be felt, the philosophies need to be considered, so the
feeling for religion is an act of rational and logical.
Keywords: Rationalisation Philosophy, Science.

Pendahuluan telah diketahui keberadaannya, baik eksistensi


fisikal maupun nonfisikal. Eksistensi yang
Filsafat sebagai pengetahuan cara berpikir
fisikal diketahui melalui pengalaman indrawi,
yang diawali dengan adanya keraguan
sedangkan yang nonfisikal dapat diketahui
terhadap kenyataan yang ada. Ada atas segala
melalui pikiran. Keduanya bertalian dengan
kepastian yang ada atau ada karena
logika yang bertujuan merasionalisasi semua
kemungkinan keberadaannya. Setiap
pengetahuan, karena tidak semua orang dapat
kenyataan tidak “berarti” realitas yang
berpikir tentang sesuatu, kemudian menjadi
sebenar-benarnya. Hal itu tidak menjadi
tahu atau pengetahuan. Sama halnya, bahwa
kenyataan yang disaksikan oleh mata. Akan
tidak semua orang memiliki pengalaman yang
tetapi, mata selalu saja tertipu oleh cahaya.
sama tentang sesuatu, artinya tidak semua
Jalan raya dan padang pasir yang tersorot
orang mengetahui sesuatu yang sama. Akan
matahari disebut mata air, itu kenyataan,
tetapi, apabila pikiran dan pengalaman telah
hanya dari kejauhan. Setelah didekati dan
dirasionalisasi, semua orang akan memiliki
dilihat sedekat-dekatnya, ternyata bukan air,
pengetahuan atau menjadi tahu karena
melainkan jalan raya dan hamparan pasir, lalu
diperoleh secara logika. (FILSAFAT ILMU,
apa yang terlihat semula itu kenyataan atau
2015:59)
mimpi? Kenyataannya mata tidak mampu
menerobos realitas yang sesungguhnya. Jika Rasionalitas merupakan pohon pilar
demikian, yang salah siapa, apakah cara pengetahuan, hari demi hari akan semakin
melihat atau bola matanya sendiri? (FILSAFAT tumbuh dengan bertambahnya kesuburan akal
ILMU, 2015:59) manusia hingga menuju pada puncak dan
pada akhirnya berbuah, hari demi hari pun
Setiap pengetahuan tentunya sesuatu yang

25
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 6 No. 2 Nop 2016

buah akan jatuh dan membusuk, kebusukan logika (logica). Kata itu berasal dari bahasa
buah pengetahuan justru menjadi pupuk Yunani logos, yang berarti kata-kata (word)
kesuburan bagi tanah pengetahuan sendiri, atau akal budi (reason). Dalam arti ini logika
suatu saat biji buah akan mencipta pohon- bisa juga disebut sebagai ilmu pengetahuan
pohon dan dahan pengetahuan baru dengan rasional (rational science). Seorang filsuf abad
jenis yang sama akan tetapi berbeda. Maka pertengahan bernama Boethius berpendapat,
kajian rasionalisasi merupakan kajian bahwa filsafat dapat dibagi menjadi tiga, yakni
interdisipliner ilmu pengetahuan seiring filsafat natural (natural philosophy), filsafat
dengan perkembangan zaman. (FILSAFAT moral (moral philosophy), dan filsafat rasional
ILMU, 2015:59) (rational philosophy). Logika terletak di dalam
ranah filsafat rasional. Logika juga dapat
Ilmu dalam literatur terdapat pendapat
dianggap sebagai alat untuk berfilsafat. Di sisi
berbagai ahli yang menyatakan misalnya
lain para filsuf Romawi berpendapat, bahwa
bahwa ilmuya adalah suatu pranata
logika dapat dikategorikan sebagai bagian dari
kemasyarakatan (sosial institution), suatu
seni liberal (liberal art). Logika juga dapat
kekuatan kebudayaan (cultural force), atau
dikategorikan sebagai trivium bersama dengan
sebuah permainan (game). Pernyataan
retorika dan grammar. Dari sini dapatlah
pernyataan semacam ini bukanlah pengertian
disimpulkan, bahwa logika sekaligus bagian
atau definisi ilmu, melainkan lebih tepat
dari ilmu bahasa (dalam tradisi Romawi) dan
menunjukkan dimensi ilmu. (gie, 2007:131)
filsafat rasional (dalam tradisi Boethius).
Dalam pembahasan tentang ilmu seringkali Berdasarkan penelitian Ashworth, logika mulai
kita dihadapkan dengan paradigma bebas nilai melulu dipahami sebagai filsafat rasional.
dalam ilmu. Dalam bahasa Inggris paradigma Artinya logika haruslah dibedakan dengan
bebas nilai disebut dengan value free, filsafat natural, yang sibuk untuk memahami
mengatakan bahwa ilmu dan juga teknologi gejala alamiah (natural phenomena). Logika
bersifat otonom. Ilmu secara otonom tidak lebih berurusan dengan penarikan kesimpulan
memiliki keterkaitan sama sekali denga nilai. (inference) serta metode berpikir, dan bukan
Pembatasan-pembatasan etis hanya akan soal gejala alamiah. (Alam, 2013)
menghalangi eksplorasi pengembangan ilmu.
Filsafat ilmu lebih mengedepankan
Bebas nilai berarti semua kegiatan yang terkait
penggalian ontologis dalam melakukan
dengan penyelidikan ilmiah harus disandarkan
rasionalisasi terhadap pengetahuan dicirikan
pada hakikat ilmu itu sendiri. Ilmu dikatakan
oleh logika. Oleh karena itu, problematika
bernilai karena menghasilkan pengetahuan
pertama dalam filsafat ilmu terletak pada
yang dapat dipercaya kebenarannya, yang
penerapan logika. Yang paling penting bukan
obyektif, yang terkaji secara kritik.
mengerti atau tidak mengerti melainkan logis
(http://muhamad-abdorin.blogspot.com/2012
atau tidak logis. Dalam ilmu pengetahuan,
/05/ilmu-bebas-nilai.html)
kebenaran sebuah pengetahuan itu sangat
Problem Rasionalisasi Ilmu Pengetahuan bergantung pada keberadaan suatu objek
Secara umum pada abad Pertengahan memiliki pengetahuan. Keberadaan itu sendiri dapat
pemahaman yang menarik tentang logika. berada di alam pikiran manusia, yang
Berdasarkan penelitian Ashworth (1964), logika sesungguhnya tidak berada di alam realitas
dianggap memiliki tujuan yang jelas. Logika empirik. Bagi Plato, yang paling “ada” itu
berfungsi untuk membentuk dan menyatakan adalah ide, sedangkan yang lain hanyalah
kebenaran, sehingga orang bisa bergerak maju bayangan dari ide itu sendiri. Yang paling
dalam membentuk pengetahuan baru. utama adalah bagaiman menjadikan filsafat
Ashworth juga menjelaskan beragam arti kata sebagai metode berfikir, sebagai alat utama

26
Kedudukan dan Sistematika Filsafat Ilmu dalam Rasionalisasi Ilmu Pengetahuan

dalam menggali hakikat dan seluk beluk yang ada di balik pengalaman bukan
kebenaran suatu pengetahuan. menambah pengalaman itu sendiri, melainkan hikmah
ketajaman berfikir logis, sistematis, sebuah pengalaman. Di pihak lain, rasio yang
kontemplatif dan radikal. Dengan demikian, mengolah kinerjanya sendiri, akan menjadi
problem dalam filsafat ilmu dlam kaitannya bagian dari pengalaman kontemplasi yang
dengan ketajaman logika dengan mudah dapat jarang terjangkau oleh orang awam.
diketahui. Melalui berbagai pernyataan dan (FILSAFAT ILMU, 63)
ilustrasi yang merangsang otak untuk
Dunia empirik tidak mutlak berdiri sendiri,
memahami dengan cepat. Kebingungan
kebutuhan terhadap rasionalisasi sangat
memahami pernyataan atau ilustrasi, paling
dominan. Sejak Francis Bacon (1561-1625),
tidak, dapat dikatakan sebagai indikator
pengetahuan empiris-analitis yang kemudian
“lemahnya logika”. (http://muhamad-
menjadi ilmu-ilmu alam direfleksikan secara
abdorin.blogspot.com/2012 /05/ilmu-bebas-
filosofis sebagai pengetahuan yang sahih
nilai.html)
tentang kenyataan. Melalui rasionalisme dan
Objek formal logika adalah berpikir lurus empirisme, ilmu-ilmu alam itu
dan tepat. Sistematika filsafat ilmu bermula memperkembangkan konsep teori murni.
dari logika yang menghubungkan Dengan mengambil sikap teoretis murni, ilmu-
pengetahuan rasio dengan pengetahuan ilmu alam dapat membebaskan diri dari
indrawi. Peranan logika ini sangat penting, kepentingan-kepentingan. Sikap ini tak
terutama dalam menghubungkan pengalaman ubahnya dengan “kontemplasi kosmos” yang
seseorang kepada orang lain yang “tidak dilakukan para filosof purbakala untuk
memiliki” pengalaman atau berbagi memahami alam sebagai suatu tertib yang
pengalaman. Apabila logika tidak disertai diatur oleh hukum-hukum tetap. Mengingat
rasio, tentu penerjemahan pengalaman tidak kesejajaran ini, dapat dikatakan bahwa ilmu-
akan sempurna. Bisa jadi, pengalaman yang ilmu alam merupakan kelanjutan riwayat
dimaksudkan justru menjadi tidak logis dan ontologi. Deskripsi mengenai hukum-hukum
orang akan menolaknya sebagai sebuah alam menggantikan deskripsi tentang ada di
pengalaman. Oleh karena itu, di samping dalam ontologi. Menurut Francisco Budi
logika, sistematika filsafat ilmu adalah berpikir Hardiman (1990:23), dari arus perkembangan
sistematis dan logis itu sendiri. Hukum untuk filsafat empiris-analitis lahirlah positivisme
berpikir demikian diatur secara normatif oleh yang dirintis oleh Auguste Comte (1798-1857).
logika. Urutan-urutan cara berpikir logis dapat Positivisme adalah puncak pembersihan
dilakukan secara deduktif, induktif, atau pengetahuan dari kepentingan dan awal
dialektis. (FILSAFAT ILMU, 53) pencapaian cita-cita untuk memperoleh
pengetahuan demi pengetahuan, yaitu teori
Gagasan tentang konsep muncul dalam
yang dipisahkan dari praksis hidup manusia.
pikiran manusia setelah ada atau sama sekali
Positivisme menganggap pengetahuan
belum ada “pengalaman”. Rasionalitas
mengenai fakta objektif sebagai pengetahuan
terhadap pengalaman akan lebih memudahkan
yang sahih. Dengan menyingkirkan
berpikir logis. Tanpa daya dukung
pengetahuan yang melampaui fakta,
pengalaman, rasionalitasnya akan didominasi
positivisme mengakhiri riwayat ontologi atau
oleh kekuatan praduga dan khayalinya sendiri.
metafisika, karena ontologi menelaah apa yang
Keduanya dapat dilakukan, dan hukumnya
melampaui fakta indrawi. Sungguhpun
boleh karena tanpa pengalaman sekali pun,
demikian darah sang ibu, ontologi, tetap
rasio memiliki potensi untuk membuka tabir di
mengalir dalam diri si anak, positivisme.
balik berbagai pengalaman, sedangkan apa
Positivisme tak sanggup melepaskan diri

27
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 6 No. 2 Nop 2016

sungguh- sungguh dari ontologi. Kaitan Tujuan Penulisan


keduanya tampak dalam konsep teori yang
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk
dianut, yaitu teori yang bebas dari
mendeskripsikan kedudukan dan sistematika
kepentingan-kepentingan manusiawi.
filsafat ilmu dalam rasionalisasi ilmu
(FILSAFAT ILMU, 64)
pengetahuan.
Hakikat empiris-analitis mengeluarkan
hakikat pengalaman sebagai sumber
pengetahuan. Secara sistematis, setiap
Pembahasan
pengalaman menjadi ladang bagi rasio untuk
menguraikan unsur-unsur pengetahuannya. Menurut Habermas, rasionalitas-yakni,
Oleh karena itu, pengaruh pengalaman kemampuan berpikir logis dan analitis-lebih
manusia terhadap keberadaan pengetahuan dari sekedar kalkulasi strategis bagaimana
akan sangat dimotivasi oleh kecerdasan logika mencapai beberapa tujuan yang telah dipilih.
dalam merasionalisasinya. Apabila upaya Alih-alih, rasionalitas merupakan sebentuk
memilih dan memilah unsur-unsur yang “tindakan komunikatif” yang diorientasikan
terdapat dalam pengalaman keliru, secara untuk mencapai kesepakatan atau konsensus
logika dapat lahir kesimpulan yang tidak tepat. dengan orang lain. Jadi menurutnya, adalah
Logika biasanya menyusun berbagai premis suatu hal yang sangat penting bahwa dalam
dan menetapkan suatu tesis tentang menggunakan bahasa berarti kita
pengalaman yang sedang dirasionalisasi. berpartisipasi di dalam apa yang menurut
Tercapainya kerja keras logika dipengaruhi Habermas disebut “Situasi pembicaraan yang
oleh suasana pikiran dan perasaan manusia. ideal” atau “komunikasi dialogis-
Berpikir matang tidak akan pernah dicapai emansipatoris bebas kekuasaan”. Dalam situasi
apabila mentalitas sedang jatuh, sebagaimana seperti ini masyarakat akan mampu
mentalitas yang sedang terkurap berpengaruh menghindari penggunaan klaim-klaim politik
terhadap cara kerja rasio. Kesimpulan yang dan moral dan mendasarkan diri semata pada
tidak logis adalah tidak rasional, tetapi sesuatu rasionalitas. (Alam, 2013)
yang dipandang irasional pada kenyataannya
Habermas mengukur rasionalitas itu
banyak yang logis. (FILSAFAT ILMU, 65)
dengan mengajukan kriteria tentang
Apabila kebenaran suatu pengetahuan pandangan dunia terhadap dinamika sebuah
dipandang irasional, secara normatif masyarakat dan menjelaskan proses-proses
dikategorikan tidak ilmiah. Akan tetapi, belajar mana yang mengembangkannya. Jika
sesuatu yang tidak ilmiah bagi filsafat masih Karl Marx menemukan adanya hubungan
merupakan objek kajian, karena kerja logika lurus antara perkembangan alat-alat produksi,
bukan hanya pada pengetahuan ilmiah, terhadap masyarakat, namun bagi Habermas
melainkan termasuk pula yang tidak ilmiah. tak ada garis lurus antara perkembangan
Berpikir kritis terhadap sesuatu yang metafisik teknologi dengan pemahaman diri masyarakat,
merupakan makanan filsafat, baik perspektif melainkan sebaliknya, yaitu perkembangan
ontologi maupun epistemologi. Tuhan yang alat-alat produksi itu datang belakangan.
diyakini umat manusia sebenarnya tidak Magnis-Suseno mencontohkan dengan
ilmiah, tetapi hakikat Tuhan, keberadaan, dan keberadaan agama Islam, bahwa agama Islam
kekuasaan-Nya sangat logis. (FILSAFAT itu tidak lahir karena adanya cara produksi
ILMU, 65) masyarakat Arab waktu itu, melainkan karena
terjadi perubahan politik dan ekonomi
masayarakat Arab dalam abad ke-7 masehi..

28
Kedudukan dan Sistematika Filsafat Ilmu dalam Rasionalisasi Ilmu Pengetahuan

(Alam, 2013). (Alam, 2013).

Dalam kaca mata Habermas, rasionalisasi Weber sendiri sudah memberikan


yang terjadi di dalam dunia kehidupan sosial diagnosanya tentang pola penghancuran diri
budaya tidak dapat begitu saja disamakan dari proses rasionalisasi yang terjadi di dalam
dengan perluasan rasionalitas instrumental. masyarakat. Rasionalisasi, disatu sisi, telah
Weber merumuskan proses rasionalisasi menghasilakan efek-efek positif dan
sebagai perluasan rasionalitas strategis, karena emansipatoris bagi kehidupan manusia. Disisi
ia sendiri sangat terpengaruh oleh tradisi lain, proses rasionalisasi juga menciptakan
filsafat sejarah abad ke-18 yang spekulatif, dan krisis makna dan hilangnya kebebasan.
tradisi evolusionisme abad ke-19 yang Menurut Weber, subsistem tindakan rasional
mendasarkan diri melulu terhadap penelitian bertujuan telah tercerabut dari akar
empiris. Walaupun terpengaruh, Weber tetap masyarakatnya sendiri, menjadi independen,
bersikap kritis sekaligus meminati persoalan dan mengikuti dinamikanya sendiri.
filosofis sosiologis yang dibahas di dalam dua
Rasionalisasi kebudayaan telah
tradisi pemikiran tersebut. (Alam, 2013).
menyebabkan struktur-struktur kesadaran
Rasionalisasi yang lahir dari tradisi terdiferensiasi ke dalam bidang-bidang nilai
Yahudi/Kristen dan Filsafat Yunani di kultural yang otonom, seperti kognitif, etis-
kebudayaan Barat ini berciri universal. Artinya, normatif, dan ekspresif. Ketiga bentuk nilai
proses rasionalisasi ini melekat di dalam kebudayaan tersebut terwujud dalam
pemahaman kebudayaan modern. Di titik ini, pengetahuan, komunitas, dan seni. Dalam
searah dengan Weber, Habermas juga kebudayaan modern, segi kognitif dan
menekankan bahwa pemahaman modern berkembang dan terealisasi di dalam
dalam proses rasionalisasi dalam dimensi etis kemakmuran ekonomi dan kekuasan politis
mencangkup tiga unsur. Pertama, “konsep negara modern. Sedangkan, kegiatan artistis
dunia yang diabstraksi dari satu pandangan terwujud dalam bentuk budaya anti
totalitas hubungan-hubungan antar pribadi kemapanan yang bersifat hedonistis-seksual.
yang diatur secara normatif”. Kedua, Kedua hal tersebut tentu saja berlawanan
“diferensiasi sikap etis murni yang dapat dengan etika Protestan yang religius itu, dan,
digunakan orang untuk menguji norma- terlebih lagi, saling bertentangan satu sama
norma”. Ketiga, “perkembangan konsep lain. Dengan kata lain, orientasi-orientasi nilai
pribadi yang universalistis sekaligus lama telah tercerabut dari basis religiusnya,
individualistis yang berkaitan dengan suara dan digantikan dengan tindakan instrumental
hati, tanggung jawab moral, otonomi, dan dan hedonistis. Dalam pertentangan nilai
sebagainya”. Sedangkan dalam dimensi tersebut, nilai-nilai kognitif yang instrumental
kognitif, pandangan dunia yang dirasionalkan telah menghancurkan nilai etis normatif etika
mencangkup juga tiga unsur. Pertama, “ Protestan, dan nilai artistis seni. Keduanya
lahirnya konsep dunia yang bersifat formal dianggap tak bermakna.
dengan kaitan sebab akibat yang universal”.
Dalam etika protestan yang ditemukan oleh
Kedua, “adanya pembedaan sikap teoritis
weber berbeda dengan etika dalam Islam yang
murni yang dipisahkan dari praksis dan
ditemukan dalam penelitian selanjutnya.
dengan itu orang dapat memastikan kebenaran
Menurut weber, tidak ada potensi Islam untuk
secara definitif”. Ketiga, “adanya
menjadi kapitalis. Hal ini salah satunya
pengembangan konsep pengetahuan yang
disebabkan oleh pandangan weber tentang
menuntut subyek membersihkan diri dari
Islam bahwa Islam adalah agama tidak
segala bentuk kepentingan dan penilaian”.
rasional. Selain itu, adanya sistem patremoneal

29
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 6 No. 2 Nop 2016

dan feodalisme yang bisa dilihat dalam sejarah Begitu pula dengan aktivitas perindustrian
Islam. (Arifin, 2013) Dengan ulasan lain, seperti Islam berupa sabun, kerajinan besi maupun
dikutip oleh Taufik Abdullah, meskipun Islam tembikar, dan terutama tekstil. Adapun puncak
dipercaya sebagai agama yang menganut dari kegiatan industri Islam terjadi di Spanyol
sistem teologi yang ‘monoteistis universalistis’, dengan ditemuinya aktivitas penambangan
Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas tembaga terbuka serta beragam mineral
prajurit’, mempunyai kecenderungan pada lainnya. Malahan, dalam dunia perdagangan,
‘kepentingan feodal’, berorientasi pada umat Islam kala itu telah melakukan
‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan “pembukuan ganda” berikut memperluas
bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak jaringan lembaga-lembaga bursa dan
mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi keuangan. Tak pelak, fenomena tersebut
(pertumbuhan) kapitalisme’. Weber percaya menyebabkan Turner mengamini pendapat
bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal Maxim Rodinson bahwa kapitalisme-rasional
dan sangat menentang pengetahuan, terutama sebagaimana termaktub dalam pengertian
pengetahuan teologis. (Arifin, 2013) “weberian” sesungguhnya telah ditemui dalam
konstelasi masyarakat Islam Abad Pertengahan
Terkait anggapan Weber mengenai Islam
(Turner, 2005: 206-207).
sebagai “agama prajurit perang”, Turner
mengemukakan bahwa hal tersebut justru Secara tak langsung, fakta di atas turut
menunjukkan kentalnya dimensi rasionalitas membuktikan bahwa dimensi asketisme dalam
dalam Islam. Pengklasifikasian prajurit Islam Islam sedikit-banyak menemui kemiripannya
ke dalam prajurit profesional, semi-Profesional, dengan calvinisme—bekerja keras, berhemat
kavaleri, dan lain sebagainya menunjukkan dan mengutamakan rasionalitas. Terlebih
eksistensi birokrasi-rasional yang telah dengan menilik serangkaian ajaran Islam—
mapan—ditemuinya spesialisasi (Turner, 2005: Quran dan Hadist—semisal; Tuhan tak akan
209). Pada ranah yang berlainan, Karen merubah nasib suatu kaum sebelum kaum
Armstrong dalam eksemplarnya, Perang Suci, tersebut merubah nasibnya sendiri,
mengatakan bahwa bentuk-bentuk berteberanlah di muka bumi untuk mencari
penaklukkan melalui pedang atau kekerasan rezeki Tuhan setelah menunaikan shalat,
merupakan suatu hal yang lumrah di Abad sesungguhnya pemboros adalah teman setan,
Pertengahan, baik Islam, Kristen maupun tangan di atas lebih baik ketimbang tangan di
kekuatan-kekuatan lainnya di masa itu bawah, beribadahlah seolah esok meninggal
menggunakan cara yang sama dalam dan bekerjalah seolah hidup selama-lamanya,
menyebarkan pengaruhnya (Armstrong, 2004: serta berbagai ajaran Islam lainnya yang
364). menyiratkan kemiripannya dengan ketiga butir
etika Calvin di atas. Dengan demikian, tak ada
Di sisi lain, Turner turut memaparkan
alasan bagi Weber guna menyebut Islam
bahwa pesatnya perkembangan dunia
sebagai agama irasional.
perdagangan dan industri Islam di Abad
Pertengahan merupakan bukti telah eksisnya Secara fakta diatas, Keberadaan yang
nilai-nilai kapitalisme dalam agama yang irasional bukan berarti tidak logis, sebaliknya
dibawa Nabi Muhammad tersebut. Tercatat, bahwa irasionalitas keberadaan Tuhan
perdagangan Islam berupa komoditas rempah- merupakan kenyataan yang paling rasional,
rempah, wewangian, perhiasan, logam mulia sehingga sangat logis apabila kekuasaan-Nya
berikut berbagai hewan cagar budaya—kala itu meliputi seluruh langit dan bumi. Apa yang
dianggap sebagai barang mewah—mengalami ada, yang dipandang tidak ada, yang terlihat
kemajuaan pesat pada periode-periode di atas. dan yang tidak tampak, yang lalu, sekarang

30
Kedudukan dan Sistematika Filsafat Ilmu dalam Rasionalisasi Ilmu Pengetahuan

dan yang akan datang, semuanya dikuasai oleh pengetahuan dan sebaliknya ilmu pengetahuan
keberadaan-Nya. Dan keberadaan yang memiliki khas yang tidak dimiliki oleh filsafat.
demikianlah yang logis untuk menguasai Dalam tubuh filsafat terdapat sistem kerja yang
semuanya. menyeluruh, mendasar, dan dugaan-dugaan
logis, rasional, dan spekulatif (Juhaya S. Pradja,
Segala seluk-beluk yang bertalian dengan
1997:12).
mengetahui berlandaskan pada kemampuan
kognitif atau kemampuan akali yang disebut
dengan rasionalitas. Pada dasarnya (an sich),
rasionalitas bersifat netral, dengan Penutup
kemampuan-kemampuan: menyamakan dan
Berhubungan dengan proses rasionalisasi
membedakan (analogi), dan melakukan
terhadap pengetahuan yang bersumber dari
inferensi dengan logika deduktif atau induktif.
pengalaman indrawi, baik yang telah
Kemampuan tersebut diistilahkan kecerdasan,
dinyatakan ilmiah maupun yang tidak ilmiah,
yang oleh Plato disebut sebagai innate ideas.
dengan memanfaatkan logika, segala sesuatu
Dari pemahaman itulah, dihasilkan ilmu-ilmu
yang telah diketahui secara empirik maupun
formal seperti logika, matematika, statistika
karena atas dasar keyakinan lebih mudah
yang bersifat netral. Sumber pengetahuan
diterima oleh akal sehat. Filsafat memiliki
bukan hanya berakar dari akal pikiran manusia
kemampuan menambah keimanan seseorang
dengan kemampuan kognitifnya, tetapi karena
dalam beragama, tetapi “jika salah
dilengkapi dengan kecerdasan memahami
menerapkannya” akan membuat manusia
sarwa yang ada yang real dan menantang
meragukan keyakinannya terhadap ajaran
manusia untuk menduga-duga dalam
agama yang sakral. Apa yang menurut ajaran
memikirkan dan memahaminya pada setiap
agama cukup untuk dirasakan, bagi filsafat
kejadian dan yang mungkin terjadi secara
perlu dipikirkan, sehingga perasaan terhadap
fenomenologis. Kejadian sebagaimana yang
agama merupakan perbuatan yang rasional
tampak dan dirasakan manusia merupakan
dan logis.
hakikat keberadaan alam yang tidak pernah
pasti dan mutlak. Perubahan yang terjadi pada
Daftar Pustaka
alam memungkinkan pertumbuhan filsafat
yang universal yang implikasinya melahirkan Armstrong, K. (2004). A short history of myth
ilmu pengetahuan yang kebenarannya relatif, (Vol. 1). Canongate Books.
sebagai wujud dari adanya kebenaran mutlak.
Auguste, C. (1842). Cours de philosophie
Dengan penjelasan di atas, dapat diambil
positive.
pemahaman bahwa sistematika ilmu
pengetahuan hanya terbatas pada sesuatu yang
FILSAFAT ILMU (Kontemplasi Filosofis
dapat diselidiki lagi, ilmu pengetahuan akan
tentang Seluk-Beluk, Sumber, dan Tujuan
berhenti sampai di situ. Berbeda dengan
Ilmu Pengetahuan)
penyelidikan filsafat, filsafat akan terus bekerja
hingga masalah yang dikajinya ditemukan Hardiman, F. B. (1990). Kritik Ideologi.
hingga ke akar-akarnya. Bahkan, filsafat baru Yogyakarta: Kanisius.
menampakkan hasil kerjanya manakala ilmu
pengetahuan telah berhenti penyelidikannya, http://muhamad-abdorin.blogspot.com/2012
yakni ketika ilmu tidak mampu memberi /05/ilmu-bebas-nilai.html
jawaban atas masalah. Oleh karena itu, ciri
khas filsafat tidak dimiliki oleh ilmu

31
TA’DIBIA Jurnal Ilmiah Pendidikan Agama Islam Vol. 6 No. 2 Nop 2016

Miftahul Arifin, (2013), Max Weber dan


Semangat Kapitalisme,
http://madurapost.blogspot.com/2013/06
/max-weber-dan-semangat-
kapitalisme.html

Praja, S. Juhaya. 1997. Aliran-Aliran Filsafat


dan Etika.

The liang gie, ( 2007), pengantar filsafat ilmu,


Yogyakarta: liberty

Umar Falahul Alam, (2013), pemikiran filsafat


“teori kritis ” jürgen habermas
http://valahulalam. blog. walisongo. ac.
id/2013/12/07/pemikiran-filsafat-teori-
kritis-jurgen-habermas/ diakses tanggal 3
Maret 2015.

Wahyu Budi Nugroho, (2012) Meninjau


Kembali Kritik Weber atas Islam,
http://kolomsosiologi.blogspot.com/2012/
03/meninjau-kembali-kritik-weber-
atas.html

32

Anda mungkin juga menyukai