Anda di halaman 1dari 15

Tugas Paper Lembaga Keuangan Syariah

Lembaga Wakaf

Dosen
Drs. Arief Syah Safrianto, MM

Disusun oleh
Andy Kurniawan
1834021003
Prodi Manajemen S1
Universitas Krisnadwipayana
Fakultas Ekonomi
Bekasi
2021
A. Sejarah dan Perkembangan Wakaf

Dalam sejarah Islam, Wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan
setelah nabi SAW Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang
di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan
syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali
melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW untuk
dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin
Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin
Muad berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin
mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah wakaf
Rasulullah SAW.” (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di
Madinah; diantaranya ialah kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut
pendapat sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf
adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, ia
berkata:
Dari Ibnu Umar ra, berkata : “Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di
Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar
berkata : “Hai Rasulullah SAW., saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum
mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah
SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum kerabat, hamba
sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf
makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain
dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR.Muslim).
Kemudian syariat wakaf yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu
Thalhah yang mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh
sahabat Nabi SAW. lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di
Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman
menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang subur.
Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar Al-Anshar”.
Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Zubair bin
Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.
Praktek wakaf menjadi lebih luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah,
semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga
pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan
beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan
wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor
untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya hanyalah keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan
kekayaan yang dimilikinya dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun
setelah masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah
keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang
mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik secara
umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar
AlHadhramiy pada masa khalifah Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik
dengan pengembangan wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana
lembaga lainnya dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali
dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu
juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan lembaga
wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan hasilnya disalurkan
kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr
alWuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian
perkembangan wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat
dirasakan oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan
administrasinya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan,
dimana hampir semua tanah-tanah pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh
negara dan menjadi milik negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah
Mesir, maka ia bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan
keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah
sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih berbeda
pendapat di antara para ulama.
Pertama kali orang yang mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan
dan sosial adalah Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh
seorang ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya bahwa
mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi (dalil)
memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik negara pada
dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak mewakafkan lahan milik
negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk
pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah, madrasah al-Malikiyah dan madrasah
mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian,
seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan
cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni
Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang
datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan
diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi (fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah
menjadi sarana bagi dinasti al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya
ialah mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul
mal) menjadi modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus
mazhab Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam,
sehingga apapun yang dapat diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling
banyak yang diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung
perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba
sahaya yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan
pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman Basya yang
mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat wakaf pada masa dinasti Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf,
seperti wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial,
membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan
miskin. Yang lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah
dan Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Raja
Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah
setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun
sekali.
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung
dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu
meski tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun
menurut berita dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti
Mamluk dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana
dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing empat
mazhab Sunni.
Pada orde al-Dzahir Bibers perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat
negara hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap
berjasa, wakaf untuk membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan
masyarakat umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab.
Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah untuk
merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang perwakafan.
Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan
tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir
tahun 1280 Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf,
sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan
wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan
tanah-tanah kekuasaan Turki Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari
implementasi undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang
berstatus wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa
kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih dilaksanakan dari
waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di Indonesia.
Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini
telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu
kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak
atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim lain, wakaf
mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu
memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf terus berkembang dan akan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan,
seperti bentuk wakaf uang, wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia
sendiri, saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya
Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaannya.
B. Wakaf Tunai

Kata wakaf (jamaknya: awqaf) mengandung arti mencegah atau penahanan. Lebih jauh
dapat dikatakan juga bahwa wakaf sebagai sesuatu yang substansi (wujud aktiva)
dipertahankan, sementara hasil atau manfaatnya digunakan sesuai dengan keinginan dari
orang yang menyerahkan (waqif) dengan proses legal sesuai dengan fungsi wakaf yang
disebutkan dalam UU No.41 Tahun 2004 Pasal 5 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah
dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Wakaf tunai merupakan dana yang dihimpun
oleh pengelola wakaf (nadzir) melalui penerbitan sertifikat wakaf tunai yang dibeli oleh
masyarakat.
Wakaf tunai dapat juga diartikan mewakafkan harta berupa uang atau surat berharga
yang dikelola oleh institusi (perbankkan atau lembaga keuangan syari'ah) yang
keuntungannya akan disedekahkan, dengan syarat modalnya tidak bisa dikurangi untuk
sedekahnya, sedangkan dana wakaf yang terkumpul selanjutnya dapat digulirkan dan
diinvestasikan oleh nadzir ke dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, sehingga
keuntungannya dapat dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara
keseluruhan. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa berkenaan
dengan wakaf tunai yang menyatakan bahwa (1) wakaf uang (cash wakaf atau waqf al-Nuqud)
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam
bentuk uang tunai, (2) termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, (3)
wakaf uang hukumnya boleh (jawaz), (4) wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan
untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar'i, dan (5) nilai pokok wakaf uang harus dijamin
kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

Pengelolaan Wakaf Tunai

Suatu hal yang menjadi terobosan penting yang dilakukan oleh Prof Dr M.A Manan dari
Bangladesh adalah dengan mengadakan sertifikat wakaf tunai ( cash waqf certificate) dengan
keberadaan SIBL-nya ( Sosial Investment Bank Ltd.) Konsep sertifikat wakaf tunai ini
merupakan inovasi dari sistem wakaf yang Selama ini hanya berbentuk benda yang tidak
bergerak saja semisal tanah dan bangunan.
Pola Sertifikasi Wakaf Tunai ini memberikan peluang untuk memaksimalkan potensi umat
dalam kontribusinya untuk wakaf. Sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat berpartisipasi
untuk menghimpun dana melalui konsep wakaf tunai. Wakaf tunai membuka peluang yang
unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan dan pelayanan sosial.
Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran
Sertifikat Wakaf Tunai. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai
tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti pemeliharaan harta
harta wakaf itu sendiri.
Dana wakaf tunai yang diperoleh dari para wakif (orang yang mewakafkan hartanya)
dikelola oleh nadzir (pengelola wakaf) dalam hal ini bertindak sebagai manajemen investasi.
Para wakif tersebut mensyaratkan ke mana alokasi pendistribusian keuntungan investasi
wakaf nantinya seperti apakah ke sektor pendidikan, kesehatan, rehabilitasi keluarga, dll.
Kemudian dana wakaf tersebut dikelola dan diinvestasikan sebagian pada instrumen
keuangan syariah, sebagian lagi diinvestasikan langsung ke berbagai badan usaha yang
bergerak sesuai syariah, dapat juga diinvestasikan untuk mendanai pendirian badan usaha
baru yang mampu mengurangi ketergantungan rakyat kepada tengkulak. Portofolio investasi
lainnya adalah menyalurkan dana melalui kredit mikro ke sektor-sektor yang mampu
mengurangi pengangguran dan menciptakan calon- calon wirausaha baru.
Dalam pengelolaan dana wakaf, seorang nadzir harus memperhitungkan keamanan
investasinya tersebut. Hal ini dikarenakan apabila pengelolaan tersebut kurang professional
maka dikhawatirkan dana wakaf tersebut akan hilang dikarenakan kerugian yang dialaminya.
Apabila kerugian tersebut akibat kesalahan manajemen dari nadzir, maka yang paling
bertanggung jawab adalah nadzir namun apabila kerugian disebabkan oleh hal-hal diluar
kehendak manusia misalkan bencana alam dan lain sebaginya, maka kerugiaan ditanggung
bersama antara pihak nadzir dan pengelola usaha dana wakaf.
Manfaat lain dari adanya pola sertifikat wakaf tunai adalah dapat memberikan
kesempatan kepada masyarakat menengah kebawah untuk menginvestasikan hartanya
untuk diwakafkan. Selama ini wakaf hanya mampu dilaksanakn oleh orang-orang yang
mempunyai banyak harta sehingga dia dapat mewakafkan hartanya semisal tanah dan
bangunannya. Namun dengan adanya sertifikat wakaf Tunai hal itu tidak dapat dirisaukan
oleh kalangan menegah kebawah karena nominasi dari Sertifikat Wakaf Tunai cukup
terjangkau. Keberadaan Sertifikat Wakaf Tunai merupakan sebuah bukti keikutsertaan wakif
dalam Perwakafan ini. Penerbitan
Sertifikat Wakaf Tunai akan membuka peluang Penggalangan dana yang cukup besar
karena:
1. Lingkup sarana pemberi wakaf tunai (pewakif) bisa menjadi sangat luas dibandingkan
dengan wakaf biasa.
2. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan , yang
disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju, yang kira-kira memiliki kesadaran beramal
tinggi.

Keberadaan Sertifikat Wakaf Tunai tidak hanya bernilai sosial ekonomi bagi kaum miskin,
tetapi juga bisnis. Terutama bagi sektor perbankan islam. Dengan melihat pengalaman Dr M.A
Mannan dengan SIBL-nya bisa menjadi contoh, bagaimana seharusnya sebuah lembaga
keuangan (Bank) harus berinovasi dalam mengembangkan berbagai instrument keuangan
dalam upayanya menarik likuiditas yang sebesar-besarnya dari masyarakat. Disamping itu
pengalaman SIBL juga bisa dijadikan pelajaran penting bagi perbankan islam di Indonesia
tentang bagaimana strategi penyaluran kredit tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga
bernilai sosial.

Operasional dan mekanisme Wakaf Tunai

Dalam transaksi wakaf tunai, pewakaf merupakan orang yang berwakaf dengan membeli
Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat tersebut dapat diatasnamakan anggota keluarga yang masih
hidup ataupun yang telah meninggal. Pewakaf mesyaratkan keuntungan pengelolaan dana
wakaf tunai tersebut untuk tujuan tertentu, apakah untuk pendanaan pendidikan, kesehatan,
pendirian fasilitas keagamaan atau membantu rakyat miskin. Nadzir lalu menginvestasikan
dana tersebut ke berbagai portofolio investasi (Husain, 2003: 16).
Di antara bentuk investasi yang bisa dijalankan adalah investasi:
1. Keuangan syariah seperti produk perbankan syariah baik dalam negeri maupun luar
negeri yang berkinerja baik.
2. Mendanai berbagai industri dan perusahaan serta mendirikan badan usaha. Dalam hal
ini, dana wakaf dapat diinvestasikan melalui pembelian saham berbagai perusahaan.
Nadzir wakaf akan mendapatkan keuntungan yang besar dengan pembagian deviden
perusahaan yang mendapatkan laba tinggi.
3. Pendanaan kredit mikro untuk mengatasi masalah pengangguran dan menumbuhkan
caloncalon pengusaha baru yang mandiri. Dalam hal ini, dana wakaf dapat dipinjamkan
kepada pengusaha kecil menengah, dengan syarat usahanya tersebut diprediksikan akan
menguntungkan.
Wakaf tunai biasanya diproduktifkan dengan dikembangkan menjadi sebuah proyek
misalnya peternakan, industri atau pertanian. Program wakaf tunai dapat diaplikasikan dan
dirancang dengan produk keuangan modern. Wakaf tunai dapat dihimpun dan diberdayakan
dengan produk lembaga keuangan saat ini. Kesemuanya itu tergantung nadzir wakaf tunai
yang harus selalu merancang ide dan program kreatif dalam wakaf tunai.
Karena itulah wakaf tunai ini mempunyai prospek cerah dan menjanjikan. Dari sisi
penghimpunan dana, wakaf tunai dapat ditangani dengan bank atau lembaga keuangan
modern, seperti yang telah dibuktikan Dompet Dhuafa Republika yang bekerjasama dengan
Bank Internasional Indonesia untuk menggalang dana. Sedangkan dari segi penyaluran dana
atau distribusi, dana wakaf juga dapat dimanfaatkan dengan model investasi yang beragam
sesuai dengan tuntunan jaman, misalnya proyek perindustrian, peternakan, perkebunan, dan
sebagainya.

Perbedaan Wakaf Tunai dengan sedekah


Sepintas lalu, tidak ada perbedaan signifikan antara wakaf tunai dan sedekah. Kedua
bentuk tindakan kebajikan ini seakan memiliki kesamaan, yaitu infak yang dikeluarkan oleh
seorang muslim di jalan Allah. Hanya saja, jika dianalisa lebih lanjut, maka kita dapat
memahami adanya beberapa perbedaan signifikan antara wakaf tunai dan sedekah. Dengan
adanya perbedaan ini, maka kita tidak boleh hanya mencukupkan kepada sedekah saja
dengan mengesampingkan wakaf tunai. Kita harus menjadikan wakaf tunai ini sebagai
alternatif dana infak yang menarik dan diminati umat Islam secara luas.
Beberapa perbedaanantara wakaf tunai dan sedekah dapat dijabarkan sebagai berikut ini:
1. Wakaf dilakukan dengan benda yang mempunyai zat yang kekal, seperti tanah
bangunan atau benda benda bergerak seperti uang (wakaf tunai) atau kendaraan dengan
syarat keaslian zatnya tidak berubah dan bisa dikekalkan. Sedangkan sedekah bisa
menggunakan benda yang kekal dan bisa juga tidak menggunakan benda yang kekal.
2. Berwakaf bukan seperti berderma atau bersedekah biasa. Pahala wakaf lebih besar
dan manfaatnya terhadap diri yang berwakaf lebih besar. Hal itu karena ganjaran wakaf
terus berjalan terus menerus selama barang wakaf itu masih berguna. Demikian juga
terhadap masyarakat, dapat menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya, juga
dapat menghambat potensi kerusakan. Ini bisa dilihat di negeri-negeri Islam di jaman dulu,
karena adanya wakaf, umat Islam dapat maju ke depan. Bahkan sampai sekarang telah
beratas-ratus bahkan beribu-ribu tahun masih juga kekal.

Wakaf Tunai dalam lintasan sejarah

Wakaf tunai yaitu wakaf dalam bentuk uang tunai, masih belum dipraktekan dalam
kehidupan Rasulullah dan para sahabat. Dalam sejarah kenabian dan sahabat, kita hanya
mendapatkan kasus wakaf berupa sumur atau tanah seperti dalam kasus Umar bin Khatthab.
Dalam berbagai hadits Nabi yang menjelaskan wakaf, kita dapat mengetahui bahwa benda
wakaf didominasi oleh tanah dan bangunan (Sayyid Sabiq, 1992: 377).
Namun sebagaimana dikutip oleh Daud Ali, bahwa Muhammad bin Hasan Assyaibani,
salah seorang sahabat dekat Abu Hanifah, memiliki pendapat yang membolehkan adanya
wakaf dengan uang (Daud Ali, 2000: 18). Hanya saja pada masanya masih jarang diterapkan.
Pada masa itu, orang masih banyak berwakaf dengan tanah.
Menurut Dian Masyitah, dosen Universitas Padjajaran Bandung, istilah wakaf tunai (cash
waqf) baru popular sejak dipopulerkan oleh seorang pemikir Bangladesh, A. Mannan.
Kemudian sejak itulah istilah wakaf tunai menjadi popular di dunia Islam, termasuk di
kalangan umat Islam Indonesia (Dian Masyitah, 2002:18).
Masyitah menambahkan bahwa sesungguhnya wakaf tunai telah lama dikenal dan
ditemukan pada era Ottoman (dinasti Utsmaniyah) dan di negeri Mesir. Hanya saja Masyitah
tidak menguraikan secara panjang lebar praktek wakaf dengan uang pada masa dinasti
Utsmaniyyah dan yang dipraktekkan di Mesir tersebut.
Menurut Syafii Antonio, dalam catatan sejaah Islam, cash waqf ternyata sudah
dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyyah (Syafii Antonio, 2003). Ia berargumentasi
dengan sebuah riwayat dari imam Bukhari, bahwa imam Azzuhri (wafat 124 H) salah seorang
ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar
dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun
caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian
menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.
Dari paparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa praktek wakaf uang pernah
dijalankan oleh ulama salaf, namun tidak sering dilakukan. Hal ini karena umat Islam pada
jaman itu banyak berwakaf dengan tanah dan bangunan. Wakaf uang baru dikenal secara luas
oleh dunia Islam setelah dipopulerkan oleh A. Mannan, seorang cendekiawan muslim
Bangladesh.

Kendala Wakaf Tunai

Prospek cerah wakaf tunai ini nampaknya belum banyak direspon oleh umat Islam di
Indonesia. Hal ini karena adanya beberapa faktor berikut ini:
a. Kesadaran Pentingnya berwakaf
Umat Islam di Indonesia menempati jumlah mayoritas. Sekitar 90% penduduk Indonesia
beragama Islam. Ini merupakan modal yang sangat berharga. Hanya saja, masih banyak umat
Islam yang belum sadar akan pentingnya berinfak untuk kemajuan umat Islam. Hal ini karena
mereka belum menyadari tentang prospek wakaf tunai bagi kemajuan dan kesejahteraan
umat Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa pahala wakaf akan terus mengalir meski mereka
telah meninggal dunia.
Padahal menurut Mustafa Edwin Nasution, seorang akademisi dari Universitas Indonesia,
bahwa apabila 20 juta rakyat Indonesia (10%) menyisihkan uangnya untuk wakaf Rp 1. 000
perhari/Rp 30. 000 perbulan, maka akan terkumpul uang Rp 20 miliar/hari atau Rp 7,2 triliun/
pertahun (Mustafa Edwin Nasution, 2004: 6). Karena itulah, tugas semua lapisan umat Islam
adalah menyadari potensi mereka ini dan berpartisipasi aktif untuk mengeluarkan dana
wakaf.
b. sosialisasi
Banyak masyarakat yang masih belum mengenal seluk beluk dan operasional wakaf tunai.
Ini bisa dimaklumi, mengingat wacana wakaf tunai adalah hal baru yang digulirkan. Mereka
hanya menganggap bahwa wakaf hanya dibolehkan dengan tanah,bangunan atau benda tidak
bergerak lainnya. Sedangkan uang, dalam pandangan mereka tidak diperbolehkan.
Realita di Indonesia seperti itu merupakan hal wajar. Karena madzhab Syafii yang banyak
dianut oleh umat Islam Indonesia tidak banyak memberikan tempat bagi benda bergerak
sebagai benda wakaf. Madzhab Syafii banyak menekankan benda wakaf pada tanah dan
bangunan atau benda lainnya yang dianggap kekal.
Karena itulah, sosialisasi wakaf tunai perlu digencarkan kembali. Hal ini untuk memotivasi
masyarakat untuk berpartisipasi dalam wakaf tunai. Lembaga zakat yang juga berstatus
sebagai nadzir wakaf, perlu menggencarkan sosialisasi mereka agar masyarakat sadar akan
pentingnya wakaf tunai. Sosialisasi dapat dilakukan dengan berbagai media, baik media cetak,
elektronik, ceramah, seminar, lokakarya dan lain sebagainya. Dengan sosialisasi yang intens,
maka umat Islam akan semakin menyadari potensi besar wakaf tunai dan selanjutnya ikut
berperan serta mensukseskan program wakaf tunai ini.
c. Manajemen
Perlu diakui bahwa selama ini, zakat, infak dan sedekah (ZIS) ataupun wakaf belum
dikelola secara professional dengan manajemen yang handal. Padahal potensi dana yang
dapat terserap dari amalan kebajikan tersebut sangatlah besar. Karena itulah, sudah saatnya
pengelolaan ZIS dilakukan secara profesional.

Potensi Wakaf Tunai Di Indonesia

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa Negara kita merupakan Negara yang
mempunyai banyak potensi baik dari segi Sumber Daya Alam maupun sisi Sumber Daya
Manusia itu sendiri. Namun sudah hampir enam puluh tahun Indonesia terlepas dari belenggu
penjajahan tidak dapat menampilkan sisi ekonomi yang kuat. Hal ini berakibat kepada
kesejahteraan masyarakat Indonesia yang rendah. Indonesia sudah tertinggal jauh dengan
negara-negara lain.
Terjadinya krisis multidimensi semenjak tahun 1997 telah menghantarkan Indonesia
kedalam keterpurukan ekonomi, sehingga Indonesia dimasukan dalam kategori Negara
miskin akibat krisis tersebut. Di Indonesia data tentang kemiskinan memang ada berbagai
versi. Salah satu efek dari kesulitan ekonomi tersebut, diberlakukanlah kebijakan hutang oleh
pemerintah Indonesia. Hutang tersebut tentu saja bukan merupakan pemberian yang
mengasyikan buat Negara kita. Karena yang namanya hutang, tentu saja harus dibayar
dikemudian hari. Pembayaran hutang selama ini ternyata sangat membebani APBN, sehingga
alokasi pembayaran hutang ini harus memangkas anggaran-anggaran untuk alokasi
pendidikan, social yang seharusnya diberdayakan kearah itu.
Bila dikaitkan dengan wakaf produktif khususnya wakaf tunai. Hal ini dapat menjadi
sarana alternatif untuk memebrdayakan perekonomian yang ada di Indonesia. Bukankah
sudah berulang kali pemerintah Indonesia menerapkan berbagai formula kebijakan ekonomi
baik mikro maupun makro. Namun alih-alih memperlihatkan hasil positif, justru
mengantarkan bangsa Indonesia memasuki “lorong gelap” kehidupan yang nyaris tanpa
ujung. Paling tidak, pengembangan wakaf produktif sebagai starting point menuju
pengembangan sektor ekonomi kerakyatan.
Melihat potensi wakaf tunai di Indonesia, ada beberapa tujuan dilakukannya wakaf tunai
diantaranya:
a. Melengkapi perbankan Islam dengan produk Wakaf Tunai yang berupa suatu sertifikat
berdenominasi tertentu yang diberikan kepada para wakif sebagai bukti keikutsertaan.
b. Membantu penggalangan tabungan sosial melalui Sertifikat Wakaf Tunai yang dapat
diatasnamakan orang-orang tercinta baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal
sehingga dapat memperkuat integrasi kekeluargaan di antara umat.
c. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan sosial menjadi
modal sosial dan membantu pengembangan pasar modal sosial.
d. Menciptakan kesadaran orang kaya terhadap tanggung jawab sosial mereka terhadap
masyarakat sekitarnya sehingga keamanan dan kedamaian sosial dapat tercapai.

Masyarakat Indonesia mempunyai potensi yang besar dalam penggalangan dana melalui
wakaf tunai. Jika Bangladesh dengan 120 juta jiwa , SIBL yang dibentuk Prof. M.A Mannan bisa
eksis, kenapa Indonesia dengan 210 juta jiwa, perbankan islam tidak eksis. Bila kita membuat
perkiraan perhitungan dana yang dapat dihimpun dari wakaf tunai. Pertama-tama kita asumsi
bahwa muslim kelas menengah memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal. Selama
ini sarana untuk beramal terutama berwakaf dari golongan ini sangat terbatas sehingga
mereka hanya dapat beramal pada sector tradisional seperti amal masjid, pembangunan
mushola and lain-lain. Melalui pengelolaan wakaf Tunai yang professional, tentu saja hal ini
dapat memberikan peluang bagi warga kelas menegah kebawah untuk ikut serta
memberdayakan perekonomian Indonesia melalui lembaga wakaf tuanai dan tentu saja hal
ini merupakan lahar baru untuk beramal.

C. Wakaf Uang dan Pemberdayaan Masyarakat

Wakaf merupakan ibadah yang berdimensi ganda, selain untuk menggapai keridhaan
serta pahala dari Allah, wakaf merupakan ibadah yang berdimensi sosial. Dalam sejarah Islam,
wakaf banyak digunakan untuk kepentingan sosial. Wujud kepentingan sosial tersebut dapat
berupa pemberdayaan masyarakat, jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain- lain.
Dalam manajemen modern saat ini, wakaf diintegrasikan dengan berbagai sistem modern
yang telah ada, terutama terkait dengan wakaf uang saat ini tengah digencarkan di Indonesia.
berdasarkan UU No. 41 tahun 2004, penerimaan dan pengelolaan wakaf uang dapat
diintegrasikan dengan lembaga keuangan syariah. Dalam wakaf uang, wakif tidak boleh
langsung menyerahkan mauquf yang berupa uang kepada nazhir, tapi harus melalui LKS, yang
disebut sebagai LKS Penerima Wakaf Uang (PWU).
Nasution et al. (2018), menyatakan bahwa wakaf, zakat, infaq adalah sumber- sumber
dana merupakan pranata agama yang memiliki kaitan secara fungsional dengan upaya
pemcahan masalah kemiskinan dan kepincangan sosial. Dalam sistem pengelolaan wakaf
uang tidak banyak berbeda dengan wakaf tanah atau bangunan, nazhir bertugas untuk
menginvestasikan sesuai syariah dengan satu syarat: nilai nominal uang yang diinvestasikan
tidak boleh berkurang. Sedangkan hasil investasi dialokasikan untuk upah nazhir (maksimal
10%) dan kesejahteraan masyarakat (minimal 90%).
Saat ini yang tengah berjalan adalah kerjasama nazhir dengan perbankan syariah. Ini
tercermin dari Keputusan Menteri Agama RI No. 92-96 tahun 2008 yang menunjuk 5 bank
syariah untuk bermitra dengan nazhir dalam soal wakaf uang. Kelima bank tersebut adalah
Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah dan Bank Syariah
Mega Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan, ke depan pengembangan wakaf uang
juga bias dipadukan dengan instrument lembaga keuangan syariah non bank.
Dalam pasal 34 amandemen UUD 1945 dikatakan, “Bahwa negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesai dengan martabat kemanusiaan”. Berdasarkan amandemen UUD 1945
tersebut secara eksplisit bahwa Negara harus mampu memberdayakan masyarakat.
Terminologi pemberdayaan adalah membantu masyarakat agar mereka mampu menjadi
mandiri dalam mensejahterakan dirinya sendiri.
Wakaf uang sebagai suatu gerakan baru dalam dunia perwakafan terutama di Indonesia
mampu mengambil peranan yang signifikan dalam merancang program- program
pemberdayaan masyarakat. Sebab tugas memberdayakan masyarakat bukanlah tugas
pemerintah semata, namun setiap elemen masyarakat harus turut serta dalam
memberdayakan masyarakat. Program pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan
sistem perwakafan, hal ini sesuai dengan UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf yang telah
mengamanatkan Badan Wakaf Indonesia agar mengelola harta benda wakaf yang berskala
nasional dan internasional. Sifat utama perwakafan mengharuskan kekal dan abadi pokok
hartanya, lalu dikelola dan hasilnya disalurkan sesuai dengan peruntukannya sangat sesuai
dan selaras dengan program sistem jaminan sosial atau asuransi. Dalam perwakafan, pihak
wakif dapat menentukan peruntukan hasil pengelolaan harta wakaf (mauquf ‘alaih).
Dalam ketentuan undang-undang terdapat dua model wakaf uang, yaitu wakaf uang
untuk jangka waktu tertentu dan wakaf uang untuk selamanya. Wakaf uang jangka waktu
tertentu haruslah diinvestasikan ke produk perbankan agar lebih aman dan memudahkan
pihak wakaf dalam menerima uangnya kembali pada saat jatuh tempo. Sedangkan wakaf
uang untuk selamanya, pihak nazhir memiliki otoritas penuh untuk mengelola dan
mengembangkan uang wakaf untuk mencapai tujuan wakafnya. Bila kegiatan investasi
menggunakan dana penghimpunan wakaf, maka atas keuntungan bersih usaha hasil investasi
ini (yaitu pendapatan kotor dikurangi dengan biaya operasional), akan dibagikan sesuai
dengan ketentuan undang- undang wakaf yaitu 90% keuntungan akan diperuntukkan untuk
tujuan wakaf (mauquf ‘alaih) dan 10% untuk penerimaan pengelola atau nazhir. Seorang
wakif dapat menetapkan jenis peruntukkan harta wakaf, misalnya untuk pemberdayaan
komunitas secara integral. Seperti pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan,
pemberdayaan kesehatan, pemberdayaan sosial dan pemberdayaan ekonomi suatu
komunitas. Bentuk pemberdayaan pendidikan misalnya dapat berupa pendirian sekolah
gratis dengan kualitas mutu terjamin atau bantuan uang sekolah dan peralatan sekolah
dengan tetap memperhatikan kesejahteraan guru. Sementara pemberdayaan kesehatan
dapat berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis bagi masyarakat kurang
mampu. Atau bantuan biaya kesehatan ibu hamil dan bantuan melahirkan bagi ibu tidak
mampu, serta bantuan gizi bagi balita.
Kemudian pemberdayaan sosial dapat berupa pelatihan kerja dan kewirausahaan bagi
para pengangguran atau anak jalanan. Selain itu pemberdayaan sosial dapat pula program
penanganan dan rehabilitasi remaja bermasalah (narkoba, premanisme, PSK, dsb). Aktifitas
pemberdayaan ekonomi dapat berupa bantuan dana bergulir dengan skema qardhl hasan
bagi pengusaha kecil dengan diikuti pembinaan terhadapnya berupa program pelatihan dan
pembinaan usaha, bantuan pemasaran serta peningkatan mutu produk.

D. Badan Wakaf Indonesia (BWI)

Badan Wakaf Indonesia atau disingkat BWI adalah lembaga independen untuk
mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Badan ini dibentuk dalam rangka mengembangkan dan
memajukan perwakafan di Indonesia.
BWI dibentuk bukan untuk mengambil alih aset-aset wakaf yang selama ini dikelola oleh
nazhir (pengelola aset wakaf) yang sudah ada. BWI hadir untuk membina nazhir agar aset
wakaf dikelola lebih baik dan lebih produktif sehingga bisa memberikan manfaat lebih besar
kepada masyarakat, baik dalam bentuk pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, maupun
pembangunan infrastruktur publik.
BWI berkedudukan di ibukota Negara dan dapat membentuk perwakilan di provinsi,
kabupaten, dan/atau kota sesuai dengan kebutuhan. Anggota BWI diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden. Masa jabatannya selama 3 tahun dan dapat diangkat kembali
untuk satu kali masa jabatan. Anggota BWI periode pertama diusulkan oleh Menteri Agama
kepada Presiden. Periode berikutnya diusulkan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk BWI.
Adapun anggota perwakilan BWI diangkat dan diberhentikan oleh BWI.
Struktur kepengurusan BWI terdiri atas Dewan Pertimbangan dan Badan Pelaksana.
Masing-masing dipimpin oleh seorang ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan
Pelaksana merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur
pengawas
Lembaga Badan Wakaf Indonesia dibentuk tidak terlepas dari aspirasi masyarakat
Indonesia yang mayoritas muslim yang sudah mengamalkan ajaran Islam yaitu wakaf dan
menjadi adat di kalangan muslim seperti mewakafkan tanah untuk masjid dan fasilitas sosial
lain. Merunut sejarah tentang praktik wakaf sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, yang
menurut sejarah wakaf pertama adalah tanah Masjid Quba lalu Masjid Nabawi.
Berdasarkan Pasal 49 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, BWI
mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam me-ngelola dan mengembangkan harta
benda wakaf.
2. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional.
3. Memberikan persetujuan dan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf.
4. Memberhentikan dan mengganti nazhir.
5. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.

Kemudian, melalui Peraturan BWI Nomor 1 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Wakaf Indonesia, BWI menjabarkan tugas dan wewenangnya sebagai berikut:
1. Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf.
2. Membuat pedoman pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf.
3. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional serta harta benda wakaf terlantar.
4. Memberikan pertimbangan, persetujuan, dan/atau izin atas perubahan peruntukan
dan status harta benda wakaf.
5. Memberikan pertimbangan dan/ atau persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
6. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan
kebijakan di bidang perwakafan.
7. Menerima, melakukan penilaian, menerbitkan tanda bukti pendaftaran nazhir, dan
mengangkat kembali nazhir yang telah habis masa baktinya.
8. Memberhentikan dan mengganti nazhir bila dipandang perlu.
9. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri Agama dalam menunjuk
Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU).
10. Menerima pendaftaran Akta Ikrar Wakaf (AIW) benda bergerak selain uang dari
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya BWI bekerja sama dengan Kementerian
Agama (c.q. Direktorat Pemberdayaan Wakaf), Majelis Ulama Indonesia, Badan Pertanahan
Nasional, Bank Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Islamic Development
Bank, dan berbagai lembaga lain. Tidak tertutup kemungkinan BWI juga bekerja sama dengan
pengusaha/ investor dalam rangka mengembangkan aset wakaf agar menjadi lebih produktif.
DAFTAR PUSTAKA

^https://bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=category&id=49%3Aprofil
bwi&layout=blog&Itemid=136&lang=in/

Abdul Aziz Setiawan. Wakaf Tunai Investasi Abadi, Manfaatnya Mengalir Tiada Henti.

www.hidayatullah.com

Al Arif, M. N. R. 2010. Pemberdayaan masyarakat berbasis wakaf uang. Jurnal Asy-Syir’ah Vol.
44 (2). 813 – 828.

Ali, Daud, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, Jakarta; UI Press, 1988.

Antonio, Syafii, Wakaf tunai dan pendidikan Islam, dalam www. tazkiaonline. com,tgl 6-3-
2003

Dian masyita Telaga SE MT. Wakaf Tunai Mendorong Kemandirian Bangsa. www. Pikiran
Rakyat.com. Sabti 17 Mei 2003

Hadi, S. 2017. Pemberdayaan ekonomi melalui wakaf. Ziswaf Vol. 4 (2). 229-244.

https://bwitangsel.or.id/Home/tugas_wewenang

https://www.bwi.go.id/sejarah-perkembangan-wakaf/

https://www.neliti.com/publications/255714/konsep-wakaf-tunai

https://www.waktumuhijrah.com/lembaga/badan-wakaf-indonesia

Mahfudz, Hasan, Wakaf Produktif, dalam www. republika. co. id,6-8-2004.

Mustafa. E Nasution . Wakaf Tunai dan Sektor Volunteer. Dalam Wakaf Tunai:Inovasi
Finansial Islam. ( Jakarta: PSTTI UI. 2006 ) hlm 43

Nasution, A. H., K. Nisa, M. Zakariah, dan M. A. Zakariah. 2018. Kajian Startegi zakat, infaq dan
shadaqah dalam pemberdayaan umat. Jurnal Ekonomi Bisnis Syariah Vol 1(1). 22-37.

Nasution, Mustafa Edwin, Potensi Wakaf Tunai, dalam majalah MODAL, 6-4-2004

Prof Dr. M.A Mannan. Sertifikasi Wakaf Tunai…. hlm 37

Shalih, Abdullah, Alqawa’id alfiqhiyyah, Kairo, Al-Azhar 1999.

Shidqi, Ahmad, Wakaf Tunai di Bangladesh, dalam www. modalonline. com, 9-9-2003

Sujiat Zubaidi Saleh. Agar Wakaf Lebih Produktif. Dalam Dalam Al-Ibroh: Jurnal Studi-studi
Islam. Vol 1 Tahun 2003. hlm vii

Sulhan, Nawawi, Wacana Wakaf Tunai, dalam www. modalonline. com. Syamsuddin, Dien,
Republika, 2-3-2004

Anda mungkin juga menyukai