Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH FRAKTUR

Oleh :

NYOMAN DEVI PRADNYA PARAMITA (P07120215046)

NI PUTU SINTHA DEVI SUARDIANTI (P07120215047)

I GEDE AGUS PUTRA ADITYA (P07120215048)

NI LUH PUTU PUSPA DEWI (P07120215049)

CHANDRA DEWI (P07120215050)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

JURUSAN KEPERAWATAN PRODI D4

2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi di istregritas
tulang, penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan tetapi factor
lain seperti proses degenerative juga dapat berpengaruh terhadap
kejadian fraktur (Brunner & Suddarth, 2008 ). Fraktur terjadi jika
tulang dikenai stress atau beban yang lebih besar dan kemampuan
tulang untuk mentolelir beban tersebut. Fraktur dapat menyebabkan
disfungsi organ tubuh atau bahkan dapat menyebabkan kecacatan atau
kehilangan fungsi ekstremitas permanen,selain itu komplikasi awal
yang berupa infeksi dan tromboemboli (emboli fraktur) juga dapat
menyebabkan kematian beberapa minggu setelah cedera, oleh karena
itu radiografi sudah memastikan adanya fraktur maka harus segera
dilakukan stabilisasi atau perbaikan fraktur( Brunner & Sudart, 2002)

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat terdapat lebih dari 7


juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2
juta orang mengalami kecacatan fisik. Usman (2012) menyebutkan
bahwa hasil data Riset Kesehatan Dasar (RIKERDAS) tahun 2011, di
Indonesia terjadinya fraktur yang disebabkan oleh cedera yaitu karena
jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam / tumpul. Dari 45.987
peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8
%), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, mengalami fraktur
sebanyak 1.770 orang (8,5 %), dari 14.127 trauma benda tajam /
tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7 %). (Depkes
2009) Dan menurut data depkes 2005 kalimantan timur korban fraktur
akibat dari kecelakaan berkisar 10,5%, sedangkan bedasarkan data
yang diperoleh dari catatan medical record di rumah sakit islam
samarinda, data pada tahun 2012 (periode januari – juni ) didapatkan
14 kasus fraktur, sedangkan untuk bulan juli ada 7 kasus fraktur.
Dampak masalah dari fraktur yaitu dapat mengalami
perubahan pada bagian tubuh yang terkena cidera, merasakan cemas
akibat rasa sakit dan rasa nyeri yang di rasakannya, resiko terjadinya
infeksi, resiko perdarahan, ganguan integritas kulit serta berbagai
masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya, selain itu fraktur
juga dapat menyebabkan kematian. Kegawatan fraktur diharuskan
segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari kecacatan
fisik. Kecacatan fisik dapat dipulihkan secara bertahap melalui
mobilisasi persendian yaitu dengan latihan range of motion (ROM).
Range of motion adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakkan persendian secara normal dan lengkap
untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005).
Pasien harus diusahakan untuk kembali ke aktivitas biasa sesegera
mungkin. Hal tersebut perlu dilakukan sedini mungkin pada klien post
operasi untuk mengembalikan kelainan fungsi klien seoptimal
mungkin atau melatih klien dan menggunakan fungsi yang masih
tertinggal seoptimal mungkin.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang di maksud dengan fraktur ?
1.2.2. Apa saja faktor predisposisi ?
1.2.3. Bagaimana pohon masalah dan patofisiologi fraktur ?
1.2.4. Apa saja klasifikasi fraktur?
1.2.5. Apa saja gejala klinis fraktur?
1.2.6. Bagaimana pemeriksaan diagnostic/ penunjang fraktur ?
1.2.7. Bagaimana penatalaksaan fraktur ?
1.2.8. Bagimana manajemen preopreatif pasien fraktur ?
1.2.9. Bagaimana komplikasi fraktur ?
1.2.10. Apa saja konsep dasar asuhan keperawatan pada fraktur?
1.2.11. Apa saja diagnose keperawatan pada fraktur ?
1.2.12. Apa saja rencana asuhan keperawatan pada fraktur ?

1.3 Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan fraktur
1.3.2. Untuk mengetahui faktor predisposisi pada fraktur
1.3.3. Untuk mengtahui pohon masalah pada fraktur
1.3.4. Untuk mengetahui klasifikasi fraktur
1.3.5. Untuk mengetahui gejala klinis fraktur
1.3.6. Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostic pada
fraktur
1.3.7. Untuk mengetahui apa saja penatalaksaan fraktur
1.3.8. Untuk mengetahui manajemen preopreatif pada fraktur
1.3.9. Untuk mengetahui kompliksi pada fraktur
1.3.10. Untuk mengetahui dasar asuhan keperwatan pada fraktur
1.3.11. Untuk mengetahui apa saja diagnose keperawata pada
fraktur
1.3.12. Untuk mengetahui apa saja rencana asuhan keperawatan
pada fraktur
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Dasar Penyakit


2.1 Definisi Fraktur
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis,
atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

2.2 Penyebab/ Faktor Predisposisi


Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya diakibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
b. Fraktur patologik
c. Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
d. Fraktur beban
e. Fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam
angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
2.3 Pohon masalah dan Patofisiologi

Trauma langsung Trauma tdk langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tlg Nyeri Akut

Perubahan jaringan sekitar Kerusakan fragmen tlg

Pergeseran fragmen tulang Spasme otot Tekanan sumsum tulang


lbh tinggi dari kapiler
Deformitas Peningkatan tek kapiler
Melepaskan katekolamin

Ggn fungsi ekstermitas Pelepasan histamin Metabolisme asam lemak

Hambatan mobilitas fisik Protein plasma hilang Bergabung dg trombosit

Laserasi kulit Edema Emboli

Penekanan pembuluh darah Menyumbat pembuluh


darah

Mengenai jaringan kutis dan sub kutis Ketidakefektifan perfusi


Kerusakan integritas
kulit jaringan perifer

Perdarahan
Resiko Infeksi
Kehilangan volume cairan

Resiko syok
(hipovolemik)
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau
trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki
terbentur bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang
jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma
akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena
otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi (Doenges, 2000).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut,
jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat
tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di
tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi
sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati (Carpenito, 2000).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat
anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen
(Brunner & Suddarth, 2002).
2.4 Klasifikasi

Fraktur dapat dibagi menjadi empat, yaitu:


1) Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
2) Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi
pada sebagian dari garis tengah tulang.
3) Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar atau bila jaringan kulit yang
berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.
4) Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau
terputusnya jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang pernah
atau sedang berhubungan dengan dunia luar. Fraktur terbuka dapat
dibagi atas tiga derajat, yaitu :
a) Derajat I
- Luka < 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
- Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau koinutif ringan
- Kontaminasi minimal
b) Derajat II
- Laserasi > 1 cm
- Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
- Fraktur kominutif sedang
- Kontaminasi sedang
c) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas :
- IIIA :Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
- IIIB :Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat
pelepasan lapisan periosteum, fraktur kontinuitif
- IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan
agar bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan
jaringan lunak hebat.
2.5 Gejala Klinis
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), manifestasi klinik dari faktur
yaitu:
a.      Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai almiah yang di rancang utuk meminimalkan gerakan
antar fregmen tulang
b.      Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya
tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada
fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan
ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
c.     Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai
2,5-5 cm (1-2 inchi).
d.     Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik
tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara
fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan
kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
e.     Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat
trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru
bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur
adalah:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen
tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema.
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi
otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang


Menurut Permenkes RI (2014), pemeriksaan diagnosik meliputi:
a. Foto polos
Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral,
untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
b. Pemeriksaan radiologi lainnya.
c. Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain:
radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan
MRI, untuk memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi
kerusakan jaringan lunak.
d. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah.
e. Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress
normal setelah trauma.
f. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
g. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.

2.7 Penatalaksanaan Medis


Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi dan kekuatan.
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada
tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka.
b. Reduksi fraktur (setting tulang)
Mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan
rotasi anatomis.Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya dengan manipulasi dan traksi manual.
Reduksi terbuka dilakukan dengan pendekatan bedah, fragmen
tulang direduksi alat fiksasi interna (ORIF) dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi.
c, Retensi (Imobilisasi fraktur)
Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus diimobilisasi
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna (OREF) meliputi : pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu
pin, dan tehnik gips atau fiksator ekterna.Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna (ORIF) yang berperan sebagai
bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur yang dilakukan dengan
pembedahan.
d. Rehabilitasi (Mempertahankan dan mengembalikan fungsi)
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan
jaringan lunak.Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan aliran
darah.Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan
untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

2.8 Manajemen Preoperatif pada Pasien Fraktur


Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang
dilakukan oleh perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk
dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk menjamin
keselamatan pasien intraoperatif.Persiapan fisik maupun pemeriksaan
penunjang serta pemeriksaan mental sangat diperlukan karena
kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari kesuksesan
persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan.

a. Evaluasi Pra Anestesi


Tatalaksana evaluasi pra-anestesi meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, konsultasi dan koreksi
terhadap kelainan fungsi organ vital dan penentuan status fisik
pasien praanestesi. Hal ini dilakukan untuk menegakkan diagnosis
sehingga persiapan pasien dapat dilakukan sesegera mungkin.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah identifikasi
pasien,riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya
gangguan faal hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi di daerah
lumbal, syok, anemia, dan kelainan tulang belakang, riwayat obat-
obatan yang sedang atau telah digunakan,riwayat operasi dan
anesthesia yang pernah dialami di waktu yang lalu, serta kebiasaan
buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya
anestesi seperti merokok.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat,
suhu badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia,
tekanan darah, nadi dan lain - lain. Pemeriksaan laboratorium yang
diperlukan pada pasien fraktur adalah pemeriksaan darah (Hb,
leukosit, golongan darah, faal hemostasis), foto polos AP/ lateral
pada bagian yang dicurigai fraktur, foto polos toraks, dan EKG.
Gangguan elektrolit dan abnormalitas dari faktor koagulasi harus
dikoreksi terlebih dahulu.

b. Persiapan Pra Anestesi


Persiapan pra-anestesi adalah mempersiapkan pasien baik
psikis maupun fisik agar pasien siap dan optimal untuk menjalani
prosedur anestesi dan diagnostik atau pembedahan yang
direncanakan sesuai hasil evaluasi praanestesi, persiapan juga
mencakup surat persetujuan tindakan medis. Sebagai seorang ahli
anestesi yang menjadi perhatian utama pada pasien dengan
peritonitis adalah memperbaiki keadaan umum pasien sebelum
diambilnya tindakan operasi. Tindakan mencakup airway,
breathing dan circulation. Oksigenisasi, terapi cairan,
vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan.
Pemasangan infuse bertujuan untuk mengganti deficit cairan
selama puasa dan mengkoreksi deficit cairan prabedah, sebagai
fasilitas vena terbuka untuk memasukan obat-obatan selama
operasi dan sebagai fasilitas transfusi darah, memberikan cairan
pemeliharaan, serta mengoreksi deficit atau kehilangan cairan
selama operasi. Berikut adalah tujuan dari terapi cairan, yaitu
mengganti cairan dan kalori yang dialami pasien prabedah akibat
puasa, fasilitas vena terbuka bahkan untuk koreksi defisit akibat
hipovolemik atau dehidrasi.
2.9 Komplikasi
a. Komplikasi awal
 Syok hipovolemik atau traumatik: bisa berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cedera. Syok hipovolemik atau traumatik
akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksternal maupu tak
kelihatan) dan kehilangan cairan ekstremitas, toraks, pelvis dan
vertebra.
 Emboli lemak: dapat terjadi dalam 48 jam atau lebih
 Sindrom kompartemen: berakibat kehilangan fungsi ekstremitas
permanen jika tidak ditangani segera. Sindrom kompartemen
merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otor
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan.
Biasanya pasien akan merasa nyeri pada saat bergerak. Ada 5
tanda syndrome kompartemen:
a. Pain : nyeri
b. Pallor : pucat
c. Pulsesness : tidak ada nadi
d. Parestesia : rasa kesemutan
e. Paralysis : kelemahan sekitar lokasi terjadinya
syndrome kompartemen.
 Infeksi
 Tromboemboli emboli paru)
 Koagulopati intravaskuler diseminata (KID): sekelompok
kelainan pendarahan dengan berbagai penyebab, termasuk
trauma massif. Manifestasi KID meliputi ekimosis, pendarahan
yang tidak terduga setelah pembedahan, dan pendarahan dari
membrane mukosa, tempat penusukan jarum infus, saluran
gastrointestinal dan kemih.

Komplikasi lambat:
a) Penyatuan terlambat atau tidak ada penyatuan
Penyatuan terlambat terjadi bila penyembuhan tidak terjadi
dengan kecepatan normal untuk jenis dan tempat fraktur
tertentu. Penyatuan terlambat mungkin berhubungan dengan
infeksi sistemik dan distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang.
Pada akhirnya fraktur menyembuh. Hal ini dapat disemabuhkan
dengan graft tulang. Dimana graft tulang memberikan
kerangka untuk invasi sel-sel tulang.

b) Nekrosis Avaskuler Tulang


Nekrosis avaskuler terjadi bila tulang kehilangan asupan darah
dan mati. Dapat terjadi setelah fraktur (khususnya kolum
femoris), dislokasi, terapi kortikosteroid dosis tinggi
berkepanjangan, penyakit ginjal kronik, anemia sel sabit, dan
penyakit lain. Tulang yang mati mengalami tulang kolaps atau
diabsorpsi dan diganti dengan tulang yang baru.

c) Reaksi terhadap alat fiksasi interna


Alat fiksasi interna biasanya diambil setelah penyatuan tulang
telah terjadi, namun pada kebanyakan pasien alat tersebut tidak
diangkat sampai menimbulkan gejala. Nyeri dan penurunan
fungsi merupakan indikator utama telah terjadinya masalah.
Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis (pemasangan dan
stabilisasi yang tak memadai), kegagalan material (alat yang
cacat atau rusak), berkaratnya alat, menyebabkan inflamasi
local, respon alergi terhadap campuran logam yang digunakan,
dan remodeling osteoporotic di sekitar alat fiksasi (stress yang
dibutuhkan untuk memperkuat tulang diredam oleh alat tersebut,
mengakibatkan osteoporosis disuse). Bila angkat diangkat,
tulang perlu dilindungi dari fraktur kembali sehubungan dengan
osteoporosis, struktur tulang yang terganggu dan trauma.
Remodeling tulang akan mengembalikan kekuatan struktural
(Brunner & Suddath, Keperawatan Medikal Bedah Vol 3, hal
2365 -2368).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Data Subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian
tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah
terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan
sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

Pengumpulan Data

a) Anamnesa
1. Identitas Klien
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri.Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian
yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang
menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
c. Region, radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri
yang dirasakan klien, bisa berdasarkan  skala nyeri
atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
4. Riwayat Penyakit Dahulu
5. Riwayat Penyakit Keluarga
6. Riwayat Psikososial
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa
mengganggu keseimbangannya dan apakah klien
melakukan olahraga atau tidak.
b. Pola Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium,
zat besi, protein, vitamin C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan
mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar
sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien.
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada
pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji
frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri
dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan
atau tidak.
d. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien.Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
e. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas
klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain
f. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani
rawat inap
g. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image).
h. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang
lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
i. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani
rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri
yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan
dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri
dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang
ditempuh klien bisa tidak efektif.
k. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi
dan konsentrasi.Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien.

b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata)
untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat
(lokalis).
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
1. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
b) Pemeriksaan head-to-toe:
1. Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala
2. Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis
(karena tidak terjadi perdarahan).
3. Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
4. Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
5. Mulut dan Gigi
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
6. Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
7. Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
8. Paru
a. Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan
paru.
b. Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
c. Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
d. Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
9. Jantung
a. Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
b. Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
c. Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada murmur.
10. Abdomen
a. Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
b. Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak
teraba.
c. Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
d. Auskultasi
Peristaltik usus normal  20 kali/menit.
11. Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.
12. Kulit
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
13. Ekstermitas
Kekuatan otot, adanya oedema atau tidak, suhu akral, dan
ROM.

2) Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
b. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase 
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang
meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas :
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi.
3. Elektromyografi : terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4. Arthroscopy : didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
6. MRI : menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

2. Diagnosa Keperawatan

Pre Operasi

a. Nyeri berhubungan dengan patah tulang, spasme otot, edema dan


kerusakan jaringan lunak.
b. Risiko tinggi terjadinya perubahan neurovaskuler perifer
berhubungan dengan menurunnya aliran darah akibat cidera
vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus,
hipovolemia.
c. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak
adekuatnya pertahanan primer: kerusakan kulit, trauma jaringan,
kerusakan pada jaringan lunak.
d. Kecemasan berhubungan dengan nyeri, ketidakmampuan dan
gangguan mobilisasi.
e. Regimen terapeutik tidak efektif berhubungan dengan kurangnya
informasi mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan
pencegahannya.
f. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan mekanik
(tekanan,teriris,gesekan) ditandai dengan keluhan gatal, nyeri,
kebas, tekanan pada area yang sakit / area sekitar, gangguan
permukaan kulit, invasi struktur tubuh, destruksi lapisan kulit /
jaringan.
g. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular : nyeri / ketidaknyamanan, terapi restriktif
(imobilisasi tungkai) ditandai dengan ketidakmampuan untuk
bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, menolak untuk
bergerak, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan / kontrol
otot.
h. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran
darah / emboli lemak, perubahan membran alveolus / kapiler,
interstitisial, edema paru kongesti
i. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurang terpajannya informasi,
salah interpretasi informasi ditandai dengan pertanyaan /
permintaan informasi, pernyataan salah konsepsi.
j. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan
primer, kerusakan kulit, trauma jaringan prosedur invasive, traksi
tulang.
k. Resiko syok hipovolemik.

Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan pemasangan pen, sekrup, drain dan adanya
luka operasi.
b. Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan adanya luka
operasi.
c. Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan nyeri dan terapi
fraktur, pemasangan traksi, gips dan fiksasi.
d. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan nyeri
ekstermitas.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan bertambahnya metabolisme untuk penyembuhan tulang dan
jaringan.
f. Risiko tinggi terjadinya komplikasi post operasi berhubungan dengan
imobilisasi.
g. Regimen terapeutik in efektif berhubungan dengan kurang informasi
mengenai penyakit, tanda dan gejala, pengobatan dan pencegahannya.

3. Rencana Asuhan keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
a. Nyeri akut NOC : NIC:
Pain level Pain management
Pain control a. Lakukan pengkajian
Comfort level nyeri secara
Kriteria Hasil komprehensif
a. Mampu termasuk lokasi,
mengontrol nyeri karakteristik, durasi,
(tahu penyebab frekuensi, kualitas dan
nyeri, mampu faktor presipitasi
menggunakan b. Observasi reaksi
teknik nonverbal dari
nonfarmakologi ketidaknyamanan
untuk mengurangi c. Gunakan tehnik
nyeri, mencari komunikasi terapeutik
bantuan). untuk mengetahui
b. Melaporkan bahwa pengalaman nyeri
nyeri berkurang pasien
dengan d. Kaji kultur yang
menggunakan mempengaruhi respon
managemen nyeri. nyeri
c. Mampu mengenali e. Evaluasi pengalaman
nyeri (skala, nyeri masa lampau
intensitas, f. Evaluasi bersama
frekuensi dan tanda pasien dan tim
nyeri). kesehatan lain tentang
d. Menyatakan rasa ketidakefektifan
nyaman setelah kontrol nyeri masa
nyeri berkurang. lampau
g. Bantu pasien dan
keluarga untuk
mencari dan
menemukan dukungan
h. Kontrol lingkungan
yang dapat
mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan
kebisingan
i. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
j. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi,
nonfarmakologi dan
interpersonal)
k. Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk
menentukan intervensi
l. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
m. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
n. Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
o. Tingkatkan istrihat
p. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada
keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
q. Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic administration
a. Tentukan lokasi,
karakter, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Cek intruksi dokter
tentang jenis obat,
dosi, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Pilih analgesic yang
diperlukan atau
kombinasi dari
analgesic ketika
pemberian lebih dari
satu
e. Tentukan pilihan
analgesic tergantung
tipe dan beratnya nyeri
f. Tentukan analgesic
pilihan, rute
pemberian, dan dosis
optimal
g. Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri
secara teratur
h. Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian anlgesik
pertama kali
i. Berikan analgesic
tepat waktu terutama
saat nyeri hebat
j. Evalusi efektivitas
analgesic, tanda dan
gejala
b. Hambatan NOC: NIC
mobilitas fisik Joint movement: Exercise therapy :
Active ambulation
Mobility Level a. Monitoring vital sign
Self care: ADLs sebelum/sesudah
Transfer performance latihan respon pasien
Kriteria hasil: saat latihan
a. Klien meningkat b. Konsultasikan dengan
dalam aktivitas terapi fisik tentang
fisik rencana ambulansi
b. Mengerti tujuan sesuai dengan
dari peningkatan kebutuhan
mobilitas. c. Bantu klien untuk
c. Memverbalisasikan menggunakan tongkat
perasaan dalam saat berjalan dan
meningkatkan cegah terhadap cidera
kekuatan dan d. Ajarkan pasien atau
kemampuan tenaga kesehatan lain
berpindah. tentang teknik
d. Memperagakan ambulansi
penggunaan alat e. Kaji kemampuan
bantu untuk pasien dalam
mobilisasi (walker). mobilisasi
f. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
g. Damping dan bantu
pasien saat mobilisasi
dan bantu penuhi
kebutuhan ADLs
pasien
h. Berikan alat bantu jika
pasien memerlukan
i. Ajarkan pasien
bagaimana merubah
posisi dan berikan
bantuan jika
diperlukan
c. Resiko infeksi NOC NIC
Immune status Infection Control
Knowledge: infection a. Bersihkan lingkungan
control setelah dipakai pasien
Risk control lain
Kriteria hasil b. Pertahankan teknik
a. Klien bebas dari isolasi
tanda dan gejala c. Batasi pengunjung bila
infeksi perlu
b. Mendeskripsikan d. Instruksikan pada
proses penularann pengunjung untuk
penyakit, factor mencuci tangan saat
yang berkunjung
mempengaruhi meninggalkan pasien
penularan serta e. Gunakan sabun
penatalaksanaannya antimikroba untuk cuci
c. Menunjukkan tangan
kemampuan untuk f. Cuci tangan setiap
mencegah sebelum dan sesudah
timbulnya infeksi tindakan keperawatan
d. Jumlah leukosit g. Gunakan baju, sarung
dalam batas normal tangan sebagai alat
e. Menunjukkan penlindung
perilaku hidup h. Pertahankan lingkunan
sehat aseptic selama
pemasangan alat
i. Ganti letak IV perifer
dan line central dan
dressing sesuai dengan
petunjuk umum
j. Gunakan kateter
intermiten untuk
menurunkan infeksi
kandung kencing
k. Tingkatkan intake
nutrisi
l. Berikan terapi
antibiotic bila perlu

Infection protection
a. Monitor tanda dan
gejala infeksi sistemik
dan local
b. Monitor hitung
granulosit, WBC
c. Monitor kerentanan
terhadap infeksi
d. Batasi pengunjung
e. Pertahankan teknik
aspesis pada pasien
yang beresiko
f. Pertahankan teknik
isolasi k/p
g. Berikan perawatan
kulit pada area
epidema
h. Inspeksi kulit dan
membrane mukosa
i. Terhadap kemerahan,
panas, dan drainase
j. Inspeksi kondisi
luka/insisi bedah
k. Dorong masukkan
nutrisi yang cukup
l. Dorong masukan
cairan
m. Dorong istirahat
n. Instruksikan pasien
untuk minum
antibiotic sesuai resep
o. Ajarkan pasien dan
keluarga tanda dan
gejala infeksi
p. Ajarkan cara
menghindari infeksi
q. Laporkan kecurigaan
infeksi
r. Laporkan kultur positif
d. Resiko syok NOC NIC
hipovolemik Syok prevention Syok prevention
Syok management a. Monitor status
Kriteria hasil sirkulasi BP, warna
a. Nadi dalam batas kulit, suhu kulit,
yang diharapkan denyut jantung, HR,
b. Irama jantung dan ritme, nadi perifer,
dalam batas yang dan kapiler refill
diharapkan b. Monitor tanda
c. Frekunsi napas inadekuat oksigenasi
dalam batas yang jaringan
diharapkan c. Monitor suhu dan
d. Irama pernapasan pernafasan
dalam batas yang d. Monitor input dan
diharapkan output
e. Natrium serum dbn e. Pantau nilai labor:
f. Kalium serum dbn HB, HT, AGD, dan
g. Klorida serum dbn elektrolit
h. Kalsium serum dbn f. Monitor hemodinamik
i. Magnesium serum invasi yang sesuai
dbn g. Monitor tanda dan
j. PH darah serum gejala asites
dbn h. Monitor tanda awal
Hidrasi syok
Indicator i. Tempatkan pasien
a. Mata cekung tidak pada posisi supine,
ditemukan kaki elevasi untuk
b. Demam tidak peningkatan preload
ditemukan dengan tepat
c. TD dbn j. Lihat dan pelihara
d. Hematokrit dbn kepatenan jalan napas
k. Berikan cairan IV dan
atau oral yang tepat
l. Berikan vasodilator
yang tepat
m. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang tanda
dan gejala datangnya
syok
n. Ajarkan keluarga dan
pasien tentang langkah
untuk mengatasi gejala
syok
Syok management
a. Monitor fungsi
neurologis
b. Monitor fungsi renal
(e.g BUN dan Cr
Lavel)
c. Monitor tekanan nadi
d. Monitor status cairan,
input, output
e. Catat gas darah arteri
dan oksigen di
jaringan
f. Monitor EKG
g. Memanfaatkan
pemantauan jalur arteri
untuk meningkatkan
akurasi pembacaan
tekanan darah
h. Menggambarkan gas
darah arteri dan
memonitor jaringan
oksigenasi
i. Memantau tren dalam
parameter
hemodinamik
(misalnya CPV, MAP,
tekanan kapiler
pulmonal/arteri)
j. Memantau factor
penentu pengiriman
jaringan oksigen
(misalnya PaO2 kadar
haemoglobin SaO2,
CO) jika ada
k. Memantau tingkat
karbondioksida
sublingual dan/atau
tonometry
e. Ketidakefektifan NOC NIC
perfusi jaringan Circulation status Peripheral sensation
perifer Tissue perfusion: management
cerebral a. Monitor adanya daerah
Kriteria hasil tertentu yang hanya
Mendemonstrasikan peka terhadap
status sirkulasi yang panas/dingin/tajam/tu
ditandai dengan: mpul
a. Tekanan systole b. Monitor adanya
dan diastole dalam paretese
rentang yang c. Instruksikan keluarga
diharapkan. untuk mengobservasi
b. Tidak ada ortostatik kulit jika ada lesi atau
hipertensi. laserasi
c. Tidak ada tanda- d. Gunakan sarung
tanda peningkatan tangan untuk proteksi
tekanan intracranial e. Batasi gerakan pada
(tidak lebih dari 15 kepala, leher, dan
mmHg). punggung
f. Monitor kemampuan
Mendemonstrasikan BAB
kemampuan kognitif g. Kolaborasi pemberian
yang ditandai dengan: analgetik
a. Berkomuniakasi h. Monitor adanya
dengan jelas adn tromboplebitis
sesuai dengan i. Diskusikan mengenai
kemampuan. penyebab perubahan
b. Menunjukkan sensasi
perhatian,
konsentrasi dan
orientasi.
c. Memproses
informasi
d. Membuat
keputusan dengan
benar.
Menunjukkan fungsi
sensori motori cranial
yang utuh: tingkat
kesadaran membaik,
tidak ada gerakan-
gerakan involunter.

f. Kerusakan NOC NIC


integritas kulit Tissue integrity: skin Pressure management
and mucous a. Anjurkan pasien untuk
membranes menggunakan pakaian
Hemodyalisis akses yang longgar.
Kriteria hasil b. Hindari kerutan pada
a. Integritas kulit tempat tidur
yang baik bisa c. Jaga kebersihan kulit
dipertahankan agar tetap bersih dan
(sensai, elastisitas, kering.
temperature, d. Mobilisasi pasien
hidrasi, (ubah posisi pasien)
pigmentasi). setiap dua jam sekali
b. Tidak ada luka/lesi e. Monitor kulit akan
pada kulit. adanya kemerahan.
c. Perfusi jaringan f. Oleskan lotion atau
baik. minyak/baby oil pada
d. Menunjukkan daerah yang tertekan
pemahaman dalam g. Monitor aktivitas dan
proses perbaikan mobilisasi pasien
kulit dan mencegah h. Monitor status nutrisi
terjadinya cedera pasien
berulang. i. Memandikan pasien
e. Mampu melindungi dengan sabun dan air
kulit dan hangat
mempertahankan Insision site care
kelembaban kulit a. Membersihkan,
perawatan alami. memantau dan
meningkatkanproses
penyembuhan pada
luka yang ditutup
dengan jahitan, klip
atau straples
b. Monitor proses
kesembuhan area insisi
c. Monitor tanda dan
gejala infeksi pada
area insisi
d. Bersihkan area sekitar
jahitan atau straples,
menggunakan lidi
kapas steril
e. Gunakan preparat
antiseptic sesuai
program
f. Ganti balutan pada
interval waktu yang
sesuai atau biarkan
luka tetap terbuka
(tidak dibalut) sesuai
program

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan


tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau
persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya diakibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang disebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma
terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan.
Menurut Carpenito (2000) adapun penyebab fraktur antara lain:
e. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
f. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
g. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
f. Cidera atau benturan
g. Fraktur patologik
h. Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
i. Fraktur beban
j. Fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam
angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
3.2 SARAN
Dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, jadi penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Pembahasan dalam
makalah ini (Fraktur) merupakan masalah yang sering terjadi di kehidupan
masyarakat, oleh karena itu penulis menyarankan agar para pembaca
memahami tentang isi makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito. 2000. Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 6.


Jakarta: EGC.

Doenges at al. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.


Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC.

Wilkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Jakarta:


EGC.

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius.

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika.

Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Heather, Herdman. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-


2014. Jakarta: EGC.

Anlie. 2013. Manajemen Perioperatif Pada Pasien Fraktur Multipel.


https://www.scribd.com/doc/119623462/Manajemen-Perioperatif-pada-Pasien-
Fraktur-Multipel. Diakses pada tanggal 30 Agustus 2017 pukul 12.30 WITA.

Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction.

Anda mungkin juga menyukai