Gabungan Analisa Gap Fix
Gabungan Analisa Gap Fix
Pengambilan Spesimen
Pengambilan spesimen, pengiriman, dan pemeriksaan lab untuk difteri secara ideal
dimulai dari pesiapan. Peralatan pengambilan spesimen tersedia lengkap yakni masker medis,
sarung tangan medis, spatula, alat swab dalam media transport, dan form permintaan
pemeriksaan. Untuk prosedurnya sendiri spesimen harus diambil dari daerah inflamasi tanpa
menyetuh bagian mulut yang lain, kemudian dimasukkan ke dalam media transport atau bisa
langsung ditanam pada media isolasi yaitu agar darah, agar CTBA, ataupun agar loeffler.
Selanjutnya spesimen yang telah diambil idealnya harus segera dikirim ke laboratorium untuk
menghindari overgrowth bakteri flora normal, spesimen dapat bertahan pada suhu kamar
selama 24 jam, sedangkan bila disimpan pada suhu 2 – 4 °C spesimen dapat bertahan >24
jam.
Petugas medis yang melakukan ataupun yang mengantarkan spesimen harus diberikan
perlindungan diri berupa penggunaan APD yang memadai yang meliputi jas lab, masker,
gloves, dan kaca mata. Perlindungan terhadap lingkungan juga harus dilakukan yakni dengan
cara pengepakan sampel yang baik, dekontaminasi bila ada tumpahan, dan melakukan
prosedur pembuangan limbah infeksi yang sesuai. Bila RS atau Puskesmas tempat kasus
probable difteri ditemukan tidak tersedia media transport, maka RS atau Puskesmas dapat
menghubungi Dinkes Setempat. Jenis pemeriksaan Konfirm Difteri adalah Kultur, tes secara
mikroskopik dan molekuler digunakan sebagai tes lanjutan untuk konfirmasi dari hasil kultur.
Semua laboratorium RS/Klinik dapat melakukan pemeriksaan Difteri, namun tes lab harus
berbasis kultur, jika hasil meragukan sampel dapat dikirim ke Laboratorium Rujukan yakni
Badan Litbangkes ataupun BBLK Surabaya. Sebelum hasil laboratorium keluar pasien
dianjurkan untuk menjalani perawatan dalam ruang isolasi di rumah sakit. Hasil pemeriksaan
akan keluar berkisar antara 7-10 hari. Kemudian jika spesimen pasien positif/Konfirm Difteri
maka segera ambil spesimen pada kontak terdekat pasien, jumlah spesimen kontak yang
diambil berkisar antara 10-20 orang, dan segera lakukan imunisasi difteri secara menyeluruh di
daerah dimana pasien Difteri positif ditemukan.
Pada penyakit difteri sangat penting untuk melakukan penelusuran kontak dan
pemeriksaan pada kontak erat. Menurut Kemenkes, kontak erat adalah semua orang yang
pernah kontak dengan kasus difteri sejak 10 hari sebelum timbul gejalan sakit menelan sampai
2 hari setelah pengobatan (masa penularan). Kategori kontak erat adalah: (1) Kontak erat satu
rumah: tidur satu atap, (2) Kontak erat satu kamar di asrama, (3) Kontak erat teman satu kelas,
guru, teman bermain, (4) Kontak erat satu ruang kerja, (5) Kontak erat tetangga, kerabat,
pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah, (6) Petugas kesehatan di lapangan dan di
RS, (7) Pendamping kasus selama dirawat. Setiap kontak erat dari kasus suspek difteri harus
teridentifikasi pada formulir monitoring kontak erat (Form DIF-7c).
Pada orang yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya
diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) swab dan kultur hidung dan tenggorok (b)
monitoring gejala klinis selama masa inkubas (10 hari) (c) pemberian Imunisasi Difteri kepada
kontak erat saat penyelidikan epidemiologi, sesuai umur dan status imunisasi (lihat Gambar 1).
Setiap kelompok kontak erat memiliki Pemantau Minum Obat (PMO) yang bertugas
memastikan obat diminum setiap hari. PMO dapat berasal dari petugas kesehatan, kader
kesehatan, tokoh masyarakat, guru dan sebaiknya tidak berasal dari keluarga. Jika timbul
keluhan akibat pemberian kemoprofilaksis, keluarga kasus agar segera membawa kasus ke
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.
Sedangkan pada mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala difteri,
tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam nasofaringnya disebut sebagai
karier. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis (4x500
mg untuk dewasa) selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari) atau Benzathil Penicillin
intramuscular 600.000 unit (anak < 5 tahun) dan 1.200.000 unit (anak > 5 tahun) dosis tunggal.
Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri nasofaring.
Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama.
a. cluster I: Putaran I sebesar 93,7 %, Putaran II sebesar 83,6 % dan Putaran III sebesar
44,7%,
b. cluster II: Putaran I sebesar 41,1 %, Putaran II sebesar 18,30 % sedangkan Putaran III
1,3%,
c. cluster III: putaran I sebesar 58,50 %, Putaran II sebesar 60,30 % dan Putaran III
sebesar 10,60%
d. cluster Jawa Timur: pelaksanaan ORI sudah selesai dengan cakupan sebesar 95%.
Program Surveilans Difteri adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit Difteri, serta kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit Difteri, untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan Difteri
secara efektif dan efisien. Salah satu strategi pengendalian kasus difteri khususnya dalam
bidang penelitian dan pengembangan yaitu penemuan dan penatalaksanaan dini terkait kasus
difteri. Pemerintah pusat sebagai komando telah menyusun dan menetapkan strategi
penanggulangan kasus difteri yang nantinya akan diteruskan ke pemerintah provinsi,
Kabupaten/Kota, Masyarakat hingga ke pihak swasta.
Langkah awal program yang dilakukan yaitu dengan deteksi dini suspek difteri yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui penemuan kasus di fasilitas kesehatan. Setiap kasus
observasi difteri yang ditemukan, dilakukan skrining oleh klinisi untuk menetapkan diagnosis
suspek difteri atau bukan. Klinisi tersebut adalah spesialis Anak, Penyakit Dalam dan THT yang
menjadi anggota Komite Ahli Difteri dan telah mendapat mendapat sosialisasi tentang diagnosa
serta tatalaksana penyakit difteri. Penemuan kasus dilaksanakan di semua fasilitas pelayanan
kesehatan baik tingkat primer sampai tingkat rujukan akhir, baik pemerintah maupun swasta.
Setiap kasus observasi difteri dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan dan secara
bersamaan dinas kesehatan kabupaten/kota mengkonsultasikan ke ahli untuk menegakkan
diagnosis menggunakan Form DIF-6. Apabila secara klinis Ahli mendiagnosis sebagai suspek
difteri, maka kasus suspek difteri tersebut harus mendapatkan perawatan sesuai dengan
protokol tatalaksana kasus difteri dan diambil spesimennya sebelum diberikan antibiotik (jika
memungkinkan). Selanjutnya dinas kesehatan kabupaten/kota bersama dengan Puskesmas
setempat melakukan pelacakan terhadap suspek kasus difteri tersebut dengan menggunakan
formulir pelacakan epidemiologi kasus difteri (Form DIF-1) dan dinas kesehatan kabupaten/kota
melaporkan hasil pelacakan epidemilogi (Form DIF-1) ke dinas kesehatan provinsi.
Difteri termasuk dalam penyakit dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Bersama
dengan PD3I lain, sistem pelaporan difteri berpatokan pada langkah awal yaitu dari Puskesmas
dan Rumah Sakit. Adanya data mengenai profil kesehatan terkait difteri berarti sistem
pelaporan ini telah berjalan. Namun, tidak adanya publikasi data yang memperlihatkan kasus
per rumah sakit, puskesmas, ataupun fasilitas kesehatan lain mempersulit penilaian terhadap
surveilans difteri di fasilitas kesehatan. Laporan dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit tentang kesulitan pada pelaksanaan surveilans penyakit, yaitu
terbatasnya fasilitas, terutama terkait sinyal komunikasi dan fasilitas di laboratorium sehingga
kesulitan mengambil sampel. Terbatasnya anggaran, serta kuantitas dan kualitas tenaga
surveilans juga menjadi hambatan. Fasilitas kesehatan swasta yang belum terlibat dalam
sistem pelaporan PD3I juga menjadi penyulit kegiatan surveilans penyakit (Dirjen Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, 2019; Kemenkes, 2020).
Sumber:
Kementrian Kesehatan RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.