Anda di halaman 1dari 8

Penyelidikan Epidemiologi

Berdasarkan Pedoman Penanggulangan dan Pencegahan Difteri, setiap suspek Difteri


dilakukan penyelidikan epidemiologi (PE) serta dilakukan identifikasi faktor risiko dan kelompok
dengan risiko tinggi tertulat difteri. Penyelidikan epidemiologi terdiri dari beberapa langkah yang
harus dilakukan. Pertama, setiap laporan tentang adanya kasus yang datang dari masyarakat,
petugas kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas bahkan media, harus secepatnya ditindaklanjuti
dengan melakukan verifikasi informasi. Kemudian, verifikasi informasi tersebut diantaranya
menanyakan kembali informasi yang lebih lengkap ke petugas surveilans tentang gejala, jumlah
kasus, waktu sakit dan tempatnya. Kunjungan kepada kasus difteri harus dilakukan untuk
pengumpulan data riwayat penyakit, faktor risiko, kontak dan risiko penularan dan penyebaran
dengan menggunakan format daftar kasus difteri individu. Setelah adanya kepastian bahwa
informasi tersebut akurat terjadi KLB penyakit difteri, secepatnya form W1 dilengkapi dengan
daftar kasus difteri individu dilaporkan secara berjenjang ke tingkat yang lebih tinggi.
Petugas yang melaksanakan penyelidikan epidemiologi adalah petugas yang terlatih,
bisa dari Pustu, Puskesmas, Dinkes Kab/Kota, Dinkes Propinsi, dan Kementerian Kesehatan.
Petugas yang melakukan penyelidikan epidemiologi harus menggunakan APD yaitu minimal
masker bedah,penutup kepala dan sarung tangan. Setiap kasus Difteri yang ditemukan, diberi
nomor epidemiologi dengan format yang telah ditentukan. Dalam wawancara diupayakan agar
bisa diketahui dari mana kemungkinan kasus berawal, kasus-kasus tambahan yang ada di
sekitarnya, cara penyebaran kasus, waktu penyebaran kasus, dan arah penyebaran penyakit.
Berdasarkan strategi penanganan dan pencegahan yang telah dilakukan, Kementerian
Kesehatan telah mengeluarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2018 yang mencakup data
sebaran difteri di Indonesia menurut provinsi tahun 2017-2018 dengan jumlah kasus terbanyak
terdapat di Jawa Timur sebanyak 385 kasus. Proporsi kasus difteri terbesar terdapat pada
kelompok umur di atas 14 tahun (15,1%), sedangkan proporsi terendah terdapat pada
kelompok umur kurang dari 1 tahun (0,9%) dan suspek dengan umur tidak diketahui (1,1%).
Pada tingkat provinsi, Dinas Kesehatan Jawa Timur juga telah mengeluarkan Profil
Kesehatan tahun 2018 yang mencakup data sebaran kasus difteri per kabupaten/kota dengan
jumlah kasus terbanyak terdapat di kota Surabaya sebanyak 69 kasus. Namun belum ada data
sebaran kasus difteri berdasrakan kelompok usia. Data sebaran kasus difteri berdasarkan usia
didapatkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Instansi diluar pemerintah dengan kasus
terbanyak berada pada kelompok usia >19 tahun (33,1%) dan paling sedikit pada kelompok
usia < 2 tahu (7%). Dari penelitian tersebut, didapatkan juga bahwa selama tahun 2018 kasus
difteri paling banyka terjadi pada bulan Januari sebanyak 139 kaus dan paling rendah pad bulan
Juni sebanyak 27 kasus.
Pada tingkat daerah, Dinas Kesehatan Kediri juga mengeluarkan Profil Kesehatan tahun
2018 yang mencakup data sebaran difteri di tiap kecamatan dan puskesma. Pada profil
kesehatan tersebut juga didapatkan data mengenai case fatality rate dari difteri. Dinas
Kesehatan Kediri juga telah melakukan pelacakan dari kasus pertama yang dilaporkan oleh
Puskesmas. Dari pelacakan tersebut, didapatkan 10 kasus tambahan yang kontak erat dengan
pasien dan telah diberikan penanganan.
Adanya profil kesehatan yang dikeluarkan baik oleh Kemenkes, Dinas Kesehatan
Provinsi, maupun daerah menunjukkan bahwa penyelidikan epidemiologi telah dilaksanakan
sesuai dengan Pedoman Penanggulangan dan Pencegahan Difteri. Adanya penelitian yang
dilakukan oleh instansi non pemerintahan juga membantu memberikan data yang lebih jelas
terhadap sebaran epidemiologi difteri yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan
kepurusa di subsitem yang lain.

Pengambilan Spesimen

Pengambilan spesimen, pengiriman, dan pemeriksaan lab untuk difteri secara ideal
dimulai dari pesiapan. Peralatan pengambilan spesimen tersedia lengkap yakni masker medis,
sarung tangan medis, spatula, alat swab dalam media transport, dan form permintaan
pemeriksaan. Untuk prosedurnya sendiri spesimen harus diambil dari daerah inflamasi tanpa
menyetuh bagian mulut yang lain, kemudian dimasukkan ke dalam media transport atau bisa
langsung ditanam pada media isolasi yaitu agar darah, agar CTBA, ataupun agar loeffler.
Selanjutnya spesimen yang telah diambil idealnya harus segera dikirim ke laboratorium untuk
menghindari overgrowth bakteri flora normal, spesimen dapat bertahan pada suhu kamar
selama 24 jam, sedangkan bila disimpan pada suhu 2 – 4 °C spesimen dapat bertahan >24
jam.

Petugas medis yang melakukan ataupun yang mengantarkan spesimen harus diberikan
perlindungan diri berupa penggunaan APD yang memadai yang meliputi jas lab, masker,
gloves, dan kaca mata. Perlindungan terhadap lingkungan juga harus dilakukan yakni dengan
cara pengepakan sampel yang baik, dekontaminasi bila ada tumpahan, dan melakukan
prosedur pembuangan limbah infeksi yang sesuai. Bila RS atau Puskesmas tempat kasus
probable difteri ditemukan tidak tersedia media transport, maka RS atau Puskesmas dapat
menghubungi Dinkes Setempat. Jenis pemeriksaan Konfirm Difteri adalah Kultur, tes secara
mikroskopik dan molekuler digunakan sebagai tes lanjutan untuk konfirmasi dari hasil kultur.
Semua laboratorium RS/Klinik dapat melakukan pemeriksaan Difteri, namun tes lab harus
berbasis kultur, jika hasil meragukan sampel dapat dikirim ke Laboratorium Rujukan yakni
Badan Litbangkes ataupun BBLK Surabaya. Sebelum hasil laboratorium keluar pasien
dianjurkan untuk menjalani perawatan dalam ruang isolasi di rumah sakit. Hasil pemeriksaan
akan keluar berkisar antara 7-10 hari. Kemudian jika spesimen pasien positif/Konfirm Difteri
maka segera ambil spesimen pada kontak terdekat pasien, jumlah spesimen kontak yang
diambil berkisar antara 10-20 orang, dan segera lakukan imunisasi difteri secara menyeluruh di
daerah dimana pasien Difteri positif ditemukan.

Di Indonesia sendiri pelaksaan pengambilan, pengiriman, dan pemeriksaan terhadap


spesimen sudah sesuai dengan yang diharapkan. Tinggal bagaimana caranya mengurangi
angka kejadian difteri dengan pengobatan maksimal bagi yang telah terkena penyakit Difteri
dan imunisasi sebagai tindakan pencegahan.

Pemutusan Transmisi dan ORI

Sebagai strategi utama dalam mencegah adanya penyakit difteri di lingkungan


masyarakat maka diperlukan penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program
imunisasi nasional. Karena imunisasi merupakan salah satu upaya kesehatan masyarakat
esensial yang efektif untuk memberikan kekebalan spesifik terhadap Penyakit yang Dapat
Dicegah dengan Imunisasi (PD3I) yaitu hepatitis B; poliomyelitis; tuberkulosis; difteri; pertusis;
tetanus; pneumonia dan meningitis yang disebabkan oleh Hemophilus Influenza tipe b (Hib)
(Permenkes, 2017). Menurut kajian Buletin Surveilans PD3I dan Imunisasi terjadi penurunan
Cakupan imunisasi Penta 1 dan 3 pada bulan April 2020 sebesar 50%.

Dalam upaya menaikkan cakupan Imunisasi ini kementrian kesehatan melakukan


penyusunan petunjuk teknis, menyelenggarakan kegiatan webinar untuk petugas dari Dinas
Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Puskesmas, Rumah Sakit, bidan,
dokter praktik mandiri, akademisi dan berbagai organisasi profesi lainnya dengan dukungan
mitra seperti WHO, UNICEF dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) (Kemenkes, 2020).
Dalam hal ini pemerintah telah menyiapkan langkah demi menanggulangi adanya PD3I jika
terjadi di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, maka akan menjadi beban ganda bagi
pemerintah, petugas kesehatan dan masyarakat.

Pada penyakit difteri sangat penting untuk melakukan penelusuran kontak dan
pemeriksaan pada kontak erat. Menurut Kemenkes, kontak erat adalah semua orang yang
pernah kontak dengan kasus difteri sejak 10 hari sebelum timbul gejalan sakit menelan sampai
2 hari setelah pengobatan (masa penularan). Kategori kontak erat adalah: (1) Kontak erat satu
rumah: tidur satu atap, (2) Kontak erat satu kamar di asrama, (3) Kontak erat teman satu kelas,
guru, teman bermain, (4) Kontak erat satu ruang kerja, (5) Kontak erat tetangga, kerabat,
pengasuh yang secara teratur mengunjungi rumah, (6) Petugas kesehatan di lapangan dan di
RS, (7) Pendamping kasus selama dirawat. Setiap kontak erat dari kasus suspek difteri harus
teridentifikasi pada formulir monitoring kontak erat (Form DIF-7c).

Pada orang yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya
diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) swab dan kultur hidung dan tenggorok (b)
monitoring gejala klinis selama masa inkubas (10 hari) (c) pemberian Imunisasi Difteri kepada
kontak erat saat penyelidikan epidemiologi, sesuai umur dan status imunisasi (lihat Gambar 1).
Setiap kelompok kontak erat memiliki Pemantau Minum Obat (PMO) yang bertugas
memastikan obat diminum setiap hari. PMO dapat berasal dari petugas kesehatan, kader
kesehatan, tokoh masyarakat, guru dan sebaiknya tidak berasal dari keluarga. Jika timbul
keluhan akibat pemberian kemoprofilaksis, keluarga kasus agar segera membawa kasus ke
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.

Sedangkan pada mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala difteri,
tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam nasofaringnya disebut sebagai
karier. Pengobatan untuk karier adalah eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis (4x500
mg untuk dewasa) selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari) atau Benzathil Penicillin
intramuscular 600.000 unit (anak < 5 tahun) dan 1.200.000 unit (anak > 5 tahun) dosis tunggal.
Eritromisin lebih superior daripada penisilin untuk eradikasi karier difteri nasofaring.
Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama.

Outbreak Response Immunization (ORI) di lakukan tanpa menunggu hasil Laboratorium


suspek difteri, dengan sasaran sesuai degan kajian epidemiologi tanpa memandang status
imunisasi sebelumnya. Luas wilayah ORI adalah minimal tingkat kecamatan dan dilaksanakan 3
putaran dengan jarak pemberian anta putaran pertama dan kedua 1 bulan, dan antara putaran
kedua dan ketiga adalah 6 bulan. Vaksin yang di gunakan adalah:

a. Anak usia 1-<5 tahun menggunakan vaksi DPT-HB-hib

b. Anak usia 5-<7 tahun menggunakan vaksin DT

c. Anak Usia > 7 tahun menggunakan Vaksin Td

Cakupan ORI minimal 90% pada lokasi yang telah di tetapkan.


Dinas kesehatan kabupaten Kediri bersama Puskesmas melakukan pelacakan kontak
erat dari setiap kasus suspek difteri dan memberikan serta melakukan pemantauan pemberian
profilaksis terhadap kontak erat melalui laporan monitoring harian kontak erat minum profilaksis
(Form DIF-2) dari Puskesmas menggunakan formulir monitoring kontak erat (Form DIF-7c).
Puskesmas juga menentukan PMO (Pemantau Minum Obat) untuk memantau ketaatan minum
obat serta efek samping obat. Pemantauan dilakukan minimal pada hari 1, ke 2 dan ke 7
dengan form DIF-2. PMO dapat berasal dari petugas kesehatan, kader kesehatan, tokoh
masyarakat, guru dan sebaiknya tidak berasal dari keluarga. Pada pelaksanaannya, Dinas
Kesehatan bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri melakukan pelacakan kontak,
terutama pada sekolah (terutama Sekolah Dasar dan Madrasah Ibdtidaiyah) dan pondok
pesantren ketika salah seorang siswa/santri ditemukan suspek difteri, dan dilanjutkan
melakukan profilkasis pada kontak erat dan ORI. ORI sebanyak 3 putaran dalam satu tahun
(pada bulan Februari, Juli dan November). Selain itu pelaksanaan BIAS (bulan Imunisasi Anak
Sekolah) rutin dilanjutkan.

Sudah melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) Cluster I – IV. ORI


dilaksanakan sebanyak 3 putaran di 4 cluster dengan tujuan untuk memutuskan rantai
penularan penyakit Difteri. Capaian Cakupan ORI/cluster sampai dengan 16 Februari 2019,
yaitu:

a. cluster I: Putaran I sebesar 93,7 %, Putaran II sebesar 83,6 % dan Putaran III sebesar
44,7%,

b. cluster II: Putaran I sebesar 41,1 %, Putaran II sebesar 18,30 % sedangkan Putaran III
1,3%,

c. cluster III: putaran I sebesar 58,50 %, Putaran II sebesar 60,30 % dan Putaran III
sebesar 10,60%

d. cluster Jawa Timur: pelaksanaan ORI sudah selesai dengan cakupan sebesar 95%.

Suveilans dan Tatalaksana

Program Surveilans Difteri adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus berdasarkan data dan informasi tentang kejadian penyakit Difteri, serta kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit Difteri, untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan Difteri
secara efektif dan efisien. Salah satu strategi pengendalian kasus difteri khususnya dalam
bidang penelitian dan pengembangan yaitu penemuan dan penatalaksanaan dini terkait kasus
difteri. Pemerintah pusat sebagai komando telah menyusun dan menetapkan strategi
penanggulangan kasus difteri yang nantinya akan diteruskan ke pemerintah provinsi,
Kabupaten/Kota, Masyarakat hingga ke pihak swasta.

Langkah awal program yang dilakukan yaitu dengan deteksi dini suspek difteri yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan melalui penemuan kasus di fasilitas kesehatan. Setiap kasus
observasi difteri yang ditemukan, dilakukan skrining oleh klinisi untuk menetapkan diagnosis
suspek difteri atau bukan. Klinisi tersebut adalah spesialis Anak, Penyakit Dalam dan THT yang
menjadi anggota Komite Ahli Difteri dan telah mendapat mendapat sosialisasi tentang diagnosa
serta tatalaksana penyakit difteri. Penemuan kasus dilaksanakan di semua fasilitas pelayanan
kesehatan baik tingkat primer sampai tingkat rujukan akhir, baik pemerintah maupun swasta.
Setiap kasus observasi difteri dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan dan secara
bersamaan dinas kesehatan kabupaten/kota mengkonsultasikan ke ahli untuk menegakkan
diagnosis menggunakan Form DIF-6. Apabila secara klinis Ahli mendiagnosis sebagai suspek
difteri, maka kasus suspek difteri tersebut harus mendapatkan perawatan sesuai dengan
protokol tatalaksana kasus difteri dan diambil spesimennya sebelum diberikan antibiotik (jika
memungkinkan). Selanjutnya dinas kesehatan kabupaten/kota bersama dengan Puskesmas
setempat melakukan pelacakan terhadap suspek kasus difteri tersebut dengan menggunakan
formulir pelacakan epidemiologi kasus difteri (Form DIF-1) dan dinas kesehatan kabupaten/kota
melaporkan hasil pelacakan epidemilogi (Form DIF-1) ke dinas kesehatan provinsi.

Berdasarkan pedoman surveilans dan penanggulangan difteri yang diterbitkan oleh


Kementrian Kesehatan, di Rumah Sakit, terdapat enam poin terkait pedoman surveilans dan
penanggulangan tersebut. Dalam pelaporan kasus, rumah sakit melaporkan kasus difteri ke
Dinas Kesehatan tingkat kota/kabupaten dalam waktu 1 x 24 jam dengan formulir ruma sakit
tentang pemberitahuan penderita suspek difteri (DIF-5). Selain itu, pasien difteri harus dirawat
dalam ruang isolasi yang terpisah dengan kasus lain. Memastikan alat pelindung diri bagi
petugas kesehatan, serta obat-obatan. Pengambilan sampel spesimen harus dilakukan pada
pasien suspek difteri untuk kemudian dikirim ke laboratorium. Rumah sakit juga harus
melakukan komunikasi resiko terutama terkait penularan pada keluarga serta pengunjung lain di
rumah sakit (Kemenkes, 2018).

Difteri termasuk dalam penyakit dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Bersama
dengan PD3I lain, sistem pelaporan difteri berpatokan pada langkah awal yaitu dari Puskesmas
dan Rumah Sakit. Adanya data mengenai profil kesehatan terkait difteri berarti sistem
pelaporan ini telah berjalan. Namun, tidak adanya publikasi data yang memperlihatkan kasus
per rumah sakit, puskesmas, ataupun fasilitas kesehatan lain mempersulit penilaian terhadap
surveilans difteri di fasilitas kesehatan. Laporan dari Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit tentang kesulitan pada pelaksanaan surveilans penyakit, yaitu
terbatasnya fasilitas, terutama terkait sinyal komunikasi dan fasilitas di laboratorium sehingga
kesulitan mengambil sampel. Terbatasnya anggaran, serta kuantitas dan kualitas tenaga
surveilans juga menjadi hambatan. Fasilitas kesehatan swasta yang belum terlibat dalam
sistem pelaporan PD3I juga menjadi penyulit kegiatan surveilans penyakit (Dirjen Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit, 2019; Kemenkes, 2020).

Selanjutnya dalam program penatalaksanaan kasus difteri, pemerintah pusat maupun


daerah merespon kasus difteri dengan melakukan beberapa tatalaksana upaya
penanggulangan dan pencegahan KLB difteri pada tahun 2018 meliputi tatalaksana kasus
termasuk pemberian Anti Difteri Serum (ADS) yang dikoordinasikan dengan komite ahli
penanggulangan difteri baik pusat maupun daerah (komite ahli di provinsi masing-masing).
Penyelidikan epidemiologi pada setiap kasus suspek Difteri untuk mencari kasus tambahan dan
mengidentifikasi kontak. Memberikan kemoprofilaksis kepada kontak erat selama 7 hari.
Namun, hal ini mempunyai hambatan dan tantangan karena kemoprofilaksis yang diberikan
dengan frekuensi minum obat sehari 4 kali mempunyai efek samping mual, menyebabkan
kurangnya kepatuhan dalam mengonsumsi kemoprofilaksis (obat).

Keberhasilan pengendalian penyakit Difteri dipengaruhi kesadaran masyarakat dalam


mendapatkan dan melengkapi imunisasi. Selain itu peran dari tenaga kesehatan dalam
menjaga kualitas manajemen rantai vaksin dan pelayanan imunisasi turut mempengaruhi. Bila
hal ini tidak berjalan baik maka akan terjadi gap immunity di populasi dan akan menimbulkan
KLB bahkan dapat menimbulkan wabah. Surveilans Difteri yang didukung laboratorium harus
dapat mendeteksi dini terjadinya KLB di masyarakat agar dapat diketahui penyebab terjadi KLB,
untuk menghasilkan rekomendasi penanggulangan yang tepat. Upaya di atas sangat
memerlukan dukungan politis dan penyediaan sumber daya yang memadai dari pemerintah
daerah serta komitmen dari tenaga kesehatan untuk melaksanakan upaya tersebut dengan
penuh tanggung jawab.

Sumber:

Wigrhadita D. R. 2019. Gambaran Karakteristik dan Status Imunisasi Penderita Difteri di


Provinsi Jawa Timur Tahun 2018. Jurnal IKESMA Volume 15 Nomor 1 Maret 2019
Kemenkes, K. 2018. Pedoman Penanggulangan dan Pencegahan Difteri.
Kemenkes, K. 2018. Profil Kesehatan Indonesia 2018
Kemenkes, K. 2018. Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2018
Kemenkes, K. 2018. Profil Kesehatan Kabupaten Kediri
Forlabinkes, 2017. Penatalaksanaan Spesimen Difteri. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan 2017. https://forlabinfeksi.or.id/wp-content/uploads/2017/12/Pedoman-Pengambilan-
Spesimen-Difteri.pdf diakses 29 Agustus 2020.
Ayomi Amindoni, 2017. Kemenkes: vaksinasi turunkan penyebaran difteri namun masyarakat
diminta waspada. BBC News Indonesia 2017. www.bbc.com/indonesia/indonesia-
42504670.amp diakses 29 Agustus 2020.
Gamasiano Alfiansyah, 2015. Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa (Klb) Difteri di
Kabupaten Blitar Tahun 2015. Fakultas Ilmu Kesehatan Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata
Kota Kediri, Jawa Timur.
Kemenkes RI. 2018. Pedoman Surveilans Penanggulanga Difteri Edisi 2018. Jakarta: Direktorat
Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementrian Kesehatan.
Kemenkes RI. 2020. Buletin Surveilans PD3I dan Imunisasi Edisi 2 Juli 2020
IDAI. 2018. Pendapat Ikatan Dokter Anak Indonesia pada Kejadian Luar Biasa Difteri 2018.
https://www.idai.or.id/about-idai/idai-statement/pendapat-ikatan-dokter-anak-indonesia-kejadian-
luar-biasa-difteri. Diakses pada Agustus 2020.
Anonim. 2018. Penyebaran Difteri Semakin Meluas, Dinkes Terus Lacak Penderita. Kediri Jatim
Times. https://kediri.jatimtimes.com/baca/165652/20180123/090950/penyebaran-difteri-
semakin-meluas-dinkes-terus-lacak-penderita. Diakses Agustus 2020.
KEMENKES RI 2017, Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri edisi 1/2017, Jakarta:
Direktorat Surveilans dan Pencegahan Pengendalian Penyakit

Kementrian Kesehatan RI. 2018. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 12 Tahun 2017. Tentang


Penyelenggaraan Imunisasi, diatur dalam Permenkes RI no 12 tahun 2017. Dikases pada 26
Agustus 2020.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. Buletin Suveilans PD3I dan Imunisasi edisi 2.
Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2019. Laporan Tahunan Direktorat Surveilans
dan Karantina Kesehatan tahun 2018.

Kemenkes, K., 2020. Buletin Surveilans PD3I & Imunisasi.

Kemenkes, K., 2018. Pedoman Surveilans dan Penanggulangan Difteri.

Anda mungkin juga menyukai