Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,

dimulai dari sejak dalam kandungan sampai mati semuanya sudah diatur oleh

hukum. Manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara damai dan

menjaga eksistensinya di dunia menjadi peran sentral hukum dalam sepanjang

sejarah peradaban manusia. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 telah jelas menegaskan bahwa Negara Indonesia

adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa Indonesia harus menjunjung tinggi

hukum serta dalam tindakannya harus didasarkan pada hukum atau peraturan

yang diciptakan untuk mengatur warga negaranya dan juga tatanan di dalam

pemerintahan.

Negara hukum atau Rule of law sesungguhnya mempunyai sendi-sendi

yang sifatnya universal dan bahkan cukup fundamental, seperti pengakuan dan

perlindungan terhadap hak-hak asasi, adanya aturan hukum yang mengatur

tindakan negara atau pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara tersebut

dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam hal ini tentunya, akan

membawa konsekuensi pada hukum pidana khususnya.1

Djoko Prakoso, 1984, Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1

hlm. 51

1
Hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan individu

atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus di jaga

agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam

penyidikan atau mungkin sebaliknya tidak ada kejahatan yang oleh karena cara

penyidikan yang keliru menyebabkan orang yang tidak bersalah menderita dan

dihukum tanpa salah karena dicap sebagai penjahat. Maka para ahli hukum

pidana mengemukakan pendapat sebagai berikut :

1. Hukumlah penjahat, dan bebaskanlah yang tidak bersalah dari

tindakan hukum karena kekeliriuan.

2. Lebih baik 10 penjahat lolos, daripada kekeliruan menghukum 1

orang yang tidak bersalah.2

Perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya perlindungan terhadap

korban merupakan salah satu bentuk perwujudan atas penghormatan, penegakan,

dan penjaminan atas hak asasi manusia. Dengan menunjukkan adanya persamaan

prinsip dan ide hak asasi manusia, dapat digambarkan bahwa antara negara

hukum dan penegakan hak asasi manusia merupakan satu mata uang dengan sisi

yang berbeda.3 Sehingga upaya perlindungan hak asasi tersebut perlu adanya

peraturan-peraturan larangan bagi sistem hukum dan kedudukan sistem peradilan

pidana (SPP) dalam rangka perlindungan hak asasi manusia, perlindungan

2
Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,
CV.Armico, Bandung, hlm.17
3
H.A.Mansyur Efendi, 1993, Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum
Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 33

2
korban kejahatan dalam sistem hukum nasional sepertinya belum mendapatkan

perhatian yang serius.

Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia masih

berorientasi pada perlindungan bagi pelaku (offender orientied). Hal ini terlihat

dari sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dari

perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan

terhadap korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

penyimpangan dari Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang

menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya.”

Dalam hal ini negara berkomitmen bahwa setiap warga negara harus

diperlakukan baik dan adil, sama kedudukannya didalam hukum sesuai dengan

asas equality be for the law, juga dalam pengertian apakah ia seorang tersangka

atau korban suatu tindak pidana, perikemanusiaan sebagai sendi nilai falsafah

Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di Negara Indonesia, mulai dari

Undang-Undang Dasar 1945 hingga kepada peraturan perundang-undangan di

bawahnya.4

Salah satu masalah yang terjadi dalam Sistem Peradilan Pidana adalah

terjadinya pelanggaran hak pada salah satu atau seluruh tingkat pemeriksaan.

4
Leden Marpaung, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 81.

3
Pelanggaran tersebut dapat berupa pelanggaran prosedural, pelanggaran

adminstratif, pelanggaran terhadap diri pribadi tersangka sampai pada

pelanggaran berat seperti rekayasa saksi-saksi dan rekayasa bukti-bukti suatu

perkara.5 Apabila suatu keterangan tersangka yang diduga telah melakukan

tindak pidana dipergunakan sebagai alat bukti bagi penyidik ternyata

perolehannya atas dasar tekanan atau paksaan yang berakibat penderitaan secara

psikis dan fisik dan menimbulkan rasa takut. Perolehan keterangan sebagai alat

bukti tersebut harus dinyatakan tidak sah karena bisa saja berisi suatu pengakuan

yang terekayasa.6

Pelanggaran prosedur serta kesalahan tindakan identifikasi terhadap

korban tindak pidana yang masih terjadi saat ini, dipandang sebagai akibat

lemahnya kemampuan profesionalisme aparat penegak hukum, kasus salah

prosedur dan salah penyidikan dapat mengakibatkan kesalahan dalam

menentukan pelakunya atau yang sering disebut dengan salah tangkap. Salah

tangkap atau yang biasa dikenal dengan sebutan error in persona ini bermula

dari human eror atau kesalahan dari penyidikan yang dilakukan oleh pihak

penyidik, kesalahan dalam proses penyidikan mempunyai konsekuensi yang

cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera diperbaiki akan terus

berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Apabila terjadi kesalahan dalam proses

ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau keluarganya

5
O.C.Kaligis, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, PT.Alumni, Bandung, hlm. 233
6
Djoko Prakoso, Op.cit, hlm.116

4
dapat mengajukan praperadilan tentang ketidaksahan dari proses penangkapan

tersebut, sekaligus dapat menuntut ganti kerugian. Namun apabila kesalahan dari

proses penangkapan tersebut tidak diketahui dan baru diketahui setelah

perkaranya diputus oleh pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara

tersebut, maka terpidana atau terhukum bisa melakukan suatu upaya hukum luar

biasa setelah putusan hakim tersebut meskipun telah berkekuatan hukum tetap

(In Krach Van Gewijsde).7

Terhadap seorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya

setelah diputus bersalah oleh suatu pengadilan tidaklah seketika tertutup jalan

keadilan baginya, keadilan dalam konteks apapun merupakan suatu hak bagi

siapapun juga yang ingin mendapatkannya sesuai aturan yang berlaku di

Indonesia. Tidak hanya bagi yang merasa dirugikan sebagai korban atas suatu

kejahatan tetapi juga bagi yang diputus bersalah oleh pengadilan atas suatu

kejahatan.

Contoh kasus salah tangkap sudah cukup banyak terjadi dan yang paling

mudah diingat dan dilihat adalah kasus salah tangkap yang terjadi di Cipulir

Jakarta Selatan tahun 2013. Kasus ini merupakan kasus tindak pidana

pembunuhan yang diduga telah dilakukan oleh para terdakwa (Fikri, Pau, Fata

dan Ucok) serta dua (2) orang lainnya yaitu Nurdin Priyanto dan Andro

Supriyanto (perkaranya diajukan terpisah). Berdasarkan isi surat dakwaan,

7
Anton Tabah, 1991, Menetap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hlm 21

5
perbuatan terdakwa dilakukan karena ketidaksukaannya kepada korban yang

tidak menunjukan rasa hormat sebagai pengamen baru di wilayah Cipulir, akibat

ketidaksukaan para terdakwa, mereka merencanakan untuk memberi pelajaran

kepada korban dengan menyiksa korban di bawah jembatan Cipulir. Selama

penyiksaan tersebut, terjadilah penusukan terhadap korban yang dilakukan oleh

Benges dan Andro disertai aksi pemukulan oleh para terdakwa, akibat penusukan

tersebut, korban pun akhirnya meninggal dunia.8

Pada saat proses pemeriksaan di Polda Metro Jaya para terdawka

mengaku mendapatkan perilaku kasar yang dilakukan oleh beberapa aparat

kepolisian Polda Metro Jaya, dengan tujuan agar para tedakwa mengakui

pebuatan yang tidak pernah mereka lakukan sama sekali. Setelah kurang lebih 3

bulan lamanya mereka mendekam dibalik jeruji besi Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau

dipangil untuk mengikuti sidang pertama mereka di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan dengan Nomor Perkara 1131/PID.AN/2013/PN/JKT.SEL, Fikri, Fattah,

Ucok dan Pau diputus bersalah dengan hukuman Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau

masing-masing selama 2 tahun 7 bulan. Setelah adanya putusan tersebut mereka

melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan dengan

Nomor Perkara 360/PID/2013/PT.DKI yang mana putusan tersebut menguatkan

kembali putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

1131/PID.AN/2013/PN.JKT.SEL. Tidak sampai disitu Fikri, Fattah, Ucok, dan

8
Diakses dari http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/10/anotasi_cipulir_daw.pdf,
Tanggal 14 Februari 2020, Pukul 21.00 WITA

6
Pau, melakukan upaya hukum tingkat kasasi pada Mahkamah Agung dengan

Nomor 118/K/Pid.Sus/2014 yang mana menyatakan permohonan tidak dapat

diterima karena sudah melewati batas waktu yang ditentukan yakni 14 hari dari

pengumuman hasil banding dari Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan. Setelah

adanya putusan bahwa permohonan yang diajukan oleh Fikri, Fattah, Ucok, dan

Pau tidak diterima, keluaraga Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau menemukan bukti

baru yaitu pelaku pembunuhan yang sebenarnya dengan dibantu oleh Lembaga

Bantuan Hukum Jakarta.

Pelaku pembunhan Dicky maulana diketahui oleh salah satu saksi yang

bernama Iyan pribadi yang merupakan teman/sahabat Dicky maulana yang mana

menjelaskan bahwa yang telah melakukan pembunuhan tersebut adalah

Chaerudin Hamzah alias Brengos dan Jubai alias jubai, iyan mengakui bahwa

mereka telah merencanakan pembunuhan tersebut kepada Dicky maulana dengan

merampas sepeda motor milik Dicky tetapi yang membunuh Dicky adalah jubai.

Oleh karena buktibaru yang mereka temukan Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau

mengajukan kembali upaya hukum tingkat Peninjauan Kembali dengan

menghadirkan bukti baru (novum) dan didampingi oleh Lembaga Bantuan

Hukum Jakarta dengan Nomor Perkara 131/PK/Pid.Sus/2015 dengan

menyatakan mereka tidak terbukti bersalah.

Dalam Pasal 95 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

dijelaskan tentang ganti kerugian sebagai berikut :“Tersangka, terdakwa, atau

terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan

7
diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan Undang-

undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”

Selanjutnya tentang rehabilitasi dijelaskan dalan Pasal 97 ayat (1) sebagai berikut

: “Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas

atau lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai

kekuatan hukum tetap”.

Terjadinya salah tangkap terhadap orang-orang yang tidak sama sekali

bersalah, bahkan lebih dari sekedar penangkapan, orang yang tidak bersalah

tersebut terkadang mau tidak mau harus merasakan pahitnya penahanan dengan

kurungan, menghadapi hukuman yang sama sekali tidak diperbuat oleh korban.

Hal ini sudah pasti mengalami mental dan fisik yang negatif pula bagi si korban,

selain mendapati kerugian-kerugian besar bagi keluarga korban salah tangkap

tersebut yang sebagian merupakan tulang punggung bagi kehidupan keluarganya

selama ini, kemudian pada akhirnya di ketahui terjadinya kesalahan Penyidik

Polri dalam melakukan tugasnya sebagai penegak hukum, tetapi hanya dengan

membebaskan atau meminta maaf kepada korban salah tangkap tanpa melihat

kerugian-kerugian yang diterima si korban. Hal tersebut sudah jelas tidak

bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat oleh Polri sebagai penyidik.

Setelah adanya putusan yang menyatakan bahwa Fikri, Pau, Ucok Dan

Fattah tidak bersalah pada upaya hukum Peninjauan kembali, lalu terpidana

menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi pada pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dengan Nomor Perkara 76/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel. Majelis hakim berpendapat

8
lain dengan menolak ganti kerugian yang diajukan oleh 4 orang pengamen

Cipulir tersebut dengan pertimbangan bahwa permohonan para pemohon telah

kadaluwarsa berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun

2015 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu

pada pokoknya jangka waktu pengajuan Ganti kerugian dan Rehabilitasi adalah 3

(Tiga) bulan setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Berdasarkan pemaparan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian lebih lanjut yang berjudul Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi

Terhadap Terpidana Atas Kekeliruan Penegakan Hukum Dalam Proses

Penyelessaian Berkas Pidana (Studi Penetapan No. 76/Pid.Pra/2019/Jkt.Sel).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sebagaimana telah diuraikan di atas

maka yang menjadi rumusan masalah dari penelitian ini adalah apakah yang

menjadi pertimbangan hukum hakim dalam menolak ganti kerugian dan

rehabilitasi korban salah tangkap berdasarkan Penetapan No.

76/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka tujuan

yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apa yang

9
menjadi pertimbangan hakim dalam menolak ganti kerugian dan rehabilitasi

korban salah tangkap berdasarkan Penetapan No. 76/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel.

D. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan yang akan dicapai sebagaimana dikemukakan di atas,

maka penelitian ini juga bermanfaat untuk:

1. Manfaat Secara Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, memperluas

pengetahuan dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan

ilmu hukum pada umunya dan hukum acara pidana pada khususnya

terutama yang berhubungan dengan perlindungan hukum bagi korban

salah tangkap dalam peradilan pidana.

b. Memberikan wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai upaya

hukum apa saja yang dapat ditempuh seorang terpidana untuk mencari

keadilan apabila menjadi korban dalam error in persona oleh penyidik

Polri.

2. Manfaat Secara Praktis

a. Memberi jawaban atas masalah yang diteliti.

b. Sebagai bahan masukan serta tambahan pengetahuan bagi para pihak yang

terkait dengan masalah yang diteliti, dan berguna bagi para pihak yang

berminat pada masalah yang sama.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Sistem Peradilan Pidana

Istilah criminal justice system pertama kali dikemukakan di Amerika

Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam criminal justice science,

Criminal justice system muncul seiring dengan ketidakpuasan terhadap

mekanisme kerja aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang

didasarkan pada pendekatan hukum dan ketertiban yang sangat menggantungkan

keberhasilan penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi kerja hanya

pada organisasi kepolisian (law enforcement).9

Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan

suatu open system, open system merupakan suatu sistem yang di dalam gerakan

mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek (resosialisasi), jangka menegah

(pencegahan kejahatan) maupun jangka panjang (kesejahteraan sosial) sangat

dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidan-bidang kehidupan manusia,

maka sistem peradlian pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface

(interaksi, interkoneksi, interdependensi) dengan lingkungannya dalam

peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi,

serta subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystem of

criminal justice system).


9
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Bina Cipta. Jakarta, hlm. 9.

11
1. Pengertian Dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Pengertian sistem peradilan pidana menurut beberapa ahli,

diantaranya:

a. Mardjono Reksodiputro

Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan

yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian. Kejaksaan, pengadilan dan

permasyarakatan terpidana.10 Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan

pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat

untuk menanggulangi kejahatan.11 Menanggulangi diartikan sebagai

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi

masyarakat. Pengendalian kejahatan agar masih dalam batas toleransi

masyarakat tidak berarti memberikan toleransi terhadap suatu tindak

kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi. Toleransi tersebut

sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih

ada manusia di dalam masyarakat. Jadi, dimana ada masyarakat pasti

tetap akan ada kejahatan.

b. Muladi

10
Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas
Indonesia, Depok, hlm. 1.
11
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif
Eksistensialisme Dan Abolisionalisme,Penerbit Bina Cipta, Jakarta, hlm. 15.

12
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network)

peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,

baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum

pelaksanaan pidana.12 Namun demikian kelembagaan substansial ini harus

dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal

apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan

membawa kepada ketidakadilan.13

c. Rehmington Dan Ohlin

Mengartikan sistem peradilan pidana sebagai pemakaian

pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana dan

peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau

tingkah laku sosial.14

Tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro

adalah mencegah masyarakat menjadi objek/korban, menyelesaikan kasus

kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah

ditegakan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan agar mereka

yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.15

2. Asas-Asas Peradian Pidana

12
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, hlm. 18.
13
Ibid, Hlm. 4.
14
Romli Atmasmita, op. cit, hlm. 14.
15
Ibid, hlm. 15.

13
a. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan

Dari dahulu, sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan

kata-kata lebih konkret daripada yang dipakai di dalam KUHAP.

Pencantuman peradilan cepat (contante justitie; speedy trial) didalam

KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan istilah “segera” itu.

Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut didalam

KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-Undang Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman. Peradilan cepat (terutama untuk

menghindari penahanan yang lama sebelum ada putusan hakim)

merupakan bagian dari hak asaasi manusia. Begitu pula dalam peradilan

bebas, jujur, dan tidak memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang

tersebut.

Penjelasan umum yang dijabarkan dalam banyak pasal dalam

KUHAP antara lain sebagai berikut :16

1). Pasal 24 ayat (4), Pasal 25 ayat (4), Pasal 26 ayat (4), Pasal 27 ayat

(4), dan Pasal 28 ayat (4). Umumnya dalam pasal-pasal tersebut

dimuat ketentuan bahwa jika telah lewat waktu penahanan seperti

tercantum dalam ayat sebelumnya, maka penyidik, penuntut umum,

dan hakim harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari

tahanan demi hukum.

16
Andi Hamzah, 2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 12.

14
2). Pasal 50 mengatur tentang hak tersangka dan terdakwa untuk segera

diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya

tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu dimulai

pemeriksaan.

3). Pasal 102 ayat (1) menyatakan penyidik yang menerima laporan atau

pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga

merupakan tindak pidana wajib segera melakukan penyidikan yang

diperlukan.

4). Pasal 106 menyatakan hal yang sama di atas bagi penyidik.

5). Pasal 10 ayat (3) menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana selesai

disidk oleh penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf b, segera

menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui

penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1) huruf a.

7). Pasal 110 mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik

yang semuanya disertau dengan kata segera. Begitu pula Pasal 138.

8). Pasal 140 ayat(1) menyatakan bahwa :”dalam hal penuntut umum

berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan,

ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan”.

b. Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence)

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara

pidana, Ketentuan asas “praduga tak bersalah” eksistensinya tampak

15
pada Pasal 8 ayat (1) Undang–Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan

penjelasannya umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan bahwa :

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau

dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum

ada putusan pengadilaan yang menyatakan kesalahannya dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.”17

Dalam praktik peradilan manifestasi asas ini dapat diuraikan

lebih lanjut, selama proses peradilan masih berjalan (pengadilan negeri,

pengadilan tinggi, mahkamah agung) dan belum memperoleh kekuatan

hukum tetap (inkracht van gewijsde), maka terdakwa belum dapat

dikategorikan bersalah sebagai pelaku dari tindak pidana sehingga selama

proses peradilan pidana tersebut harus mendapatkan hak-haknya

sebagaimana diatur undang-undang.

c. Asas oportunitas

A.Z. Abidin Farid memberi perumusan tentang asas oportunitas

sebagai berikut :18 “asas hukum yang memeberikan wewenang kepada

penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa

syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi

kepentingan umum.”

d. Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum

17
Ibid, hlm. 14
18
Ibid, hlm. 20

16
Pada kepala sub paragraf ini telah tegas tertulis “pemeriksaan

pengadilan”, yang berarti pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan

praperadilan terbuka untuk umum. Dalam hal ini dapat diperhatikan pula

Pasal 153 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : 19

Ayat (3) “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka

sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara

mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. ”Ayat (4), yaitu

“Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan

batalnya putusan demi hukum.”

Pada penjelasan ayat (3) dinyatakan cukup jelas, dan untuk ayat

(4) lebih dipertegas lagi, yaitu : “Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di

atas diperkuat berlakunya, terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika

asas tersebut tidak dipenuhi.”

e. Asas semua orang diperlakukan sama di depan hakim

Dalam hukum acara pidana tidak mengenal forum priviligiatum

atau perlakuan yang bersifat khusus, karena Negara Indonesia sebagai

negara hukum mengakui bahwa manusia sama di depan hukum (equality

before the law).20 Sebagaimana ditentukan Pasal 4 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 tahun 2009 dan penjelasan umum angka (3) huruf a

19
Ibid, hlm. 20
20
Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus Terhadap:
Surat Dakwaan, Eksepsi, Dan Putusan Peradilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 17.

17
KUHAP yaitu “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membeda-bedakan orang”.

f. Asas tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum

Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang

bantuan hukum tersebut dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan

yang sangta luas, Kebebasan itu antar lain sebagai berikut :21

1). Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan.

2). Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

3). Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua

tingkat pemeriksaan pada setiap tingkat.

4). Pembicaraan antar penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh

penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut

keamanan negara.

5). Tuntutan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat

hukum guna kepentingan pembelaan.

6). Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari

tersangka/terdakwa.

g. Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan

Pada asasnya dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan

persidangan dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-


21
Ibid, hlm. 17

18
saksi serta dilaksanakan dengan secara lisan dalam bahasa indonesia.

Tegasnya hukum acara pidana indonesia tidak mengenal pemeriksaan

perkara pidana dengan acara mewakilkan dan pemeriksaan secara tertulis

sebagaimana halnya dalam hukum perdata. Implementasi asas ini lebih

luas dapat dilihat dari penjelasan umum angka (3) huruf h, Pasal 153,

Pasal 154, serta Pasal 155 KUHAP, dan seterusnya.22

3. Komponen Sitem Peradilan Pidana Indonesia

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka Het

Herziene Regement sebagai landasan sistem peradilan pidana Indonesia,

landasan bagi proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia telah dicabut.

Komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam

pengetahuan mengenai kebijakan kriminal (criminal policy) maupun dalam

praktik penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.23

a. Kepolisian

Kepolisian sebagai salah satu komponen sistem peradilan pidana

merupakan lembaga yang secara langsung berhadapan dengan tindak pidana

22
Ibid, hlm. 18
23
Romli Atmasasmita, op,cit, hlm. 24

19
yang terjadi dalam masyarakat. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan definisi

kepolisian sebagai hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga

polisis sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Fungsi kepolisian

berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang tersebut adalah : “salah satu fungsi

pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan huku, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan

kepada masyarakat.”

b. Kejaksaan

Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana bekerja setelah ada

pelimpahan perkara dari kepolisian. Kejaksaan merupakan lembaga

pemerintahan dibidang penuntutan serta tugas lain yang ditetapkan

berdasarkan undang-undang. Dalam Pasal 13 KUHAP disebutkan bahwa :

“jaksa merupakan penuntut umum yang diberi wewenang oleh undang-

undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan putusan hakim.”

c. Pengadilan

Pengadilan merupakan tempat berlangsungnya proses peradilan,

sedangkan kewenangan mengadakan pengadilan itu sendiri berada ditangan

lembaga kehakiman. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Tugas pengadilan adalah

menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang

diajukan kepadanya. Tugas ini meliputi pengadilan negeri, pengadilan

20
tinggi, dan mahkamah agung. Selain itu pengadilan berkewajiban pula

untuk mewujudkan membantu pencari keadilan serta berkewajiban untuk

mewujudkan suatu peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan

sesuai dengan asas peradilan yang ditetapkan oleh KUHAP.

d. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan merupakan lembaga terakhir yang

berperan dalam proses peradilan pidana. Sebagai tahapan akhir dari proses

peradilan pidana lembaga pemasyarakatan mengemban harapan dan tujuan

dari sistem peradilan pidana yang diantaranya berusaha agar pelaku tindak

pidana tidak lagi mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya.

e. Advokat

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik

didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan

berdasarkan ketentuan undang-undang. Jasa hukum adalah jasa yang

diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum,

menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan

landasan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Diundangkannya

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, maka advokat

juga menjadi bagian (subsistem) dari sistem peradilan pidana, hal ini

ditegaskan dalam pasal 5 ayat (1) undang-undang tersebut, yang

menyebutkan bahwa: “advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas

21
dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-

undangan.”

B. Tinjaun Umum Tentang Ganti Kerugian Dan Rehabilitasi

1. Pengaturan Ganti Kerugian Dalam Sitem Hukum Indonesia

Istilah ganti rugi merupakan istilah yang hanya ditemui dalam

hukum pidana formil, yakni dalam Bagian XII tentang Ganti kerugian

dan Rehabilitasi pasal 95-101 Kitab Undang-undang Hukum Acara

Pidana. Karena itu, ketentuan ini tidak ditemui dalam hukum pidana

materiil. Ganti kerugian, sebagai suatu lembaga yang dikenal dalam

dunia hukum acara pidana dan hukum perdata, telah didefinisikan secara

lengkap, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dengan

penyumbangan pemikiran dari para ahli hukum. Berdasarkan pasal 1

butir 22 KUHAP, pengertian ganti kerugian adalah:24 “Hak seorang

untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan

sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa

alasan yang berdasarkan undnag-unndag atau karena kekeliruan

mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang

diatur dalam undang- undang ini.”

Dalam memori penjelasan atau pasal 95 ayat 1 KUHAP, atas

tindakan lain, yang mengakibatkan kerugian, ditegaskan bahwa yang

24
Indonesia, loc. cit, ps. 1 butir 22.

22
dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” adalah

kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan

penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan

adalah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.25

2. Jenis-jenis Dan Alasan Permintaan Ganti Kerugian Dalam Sistem

Hukum Acara Pidana Indonesia

Ganti rugi sebagai salah satu lembaga dalam sistematika hukum acara

pidana di Indonesia memiliki peranan yang penting dalam pemenuhan hak-

hak asasi manusia yang dimiliki oleh seseorang, khususnya tersangka,

terdakwa, maupun terpidana. Lembaga ini dibuat dengan tujuan untuk

melindungi hak-hak asasi yang dimiliki oleh tersangka, terdakwa, maupun

terpidana agar tercipta keadilan apabila terjadi kesalahan dalam penerapan

hukum. Dalam perundang- undangan negara lain dan juga dalam literatur

sering disebut tiga macam ganti kerugian, yakni:

a. Ganti kerugian karena seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun

diadili tanpa alasan yang bedasarkan undang-undang atau kekeliruan

mengenai orangnya atau salah dalam menerapkan hukum. Hal ini sama

dengan yang dimaksud dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1

butir 22 KUHAP dan pengaturannya dalam Pasal 95 dan 96 KUHAP;

b. Ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban (victim of crime atau

25
Martiman Prodjohamidjojo, op. cit., hlm. 21.

23
beledigde partij). Hal ini sama dengan ketentuan dalam Bab XIII

KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal

98-101 KUHAP) yang tidak dimasukkan dalam pengertian gugatan ganti

kerugian;

c. Ganti kerugian kepada terpidana sesudah peninjauan kembali

(Herziening).

3. Alasan Permintaan Ganti Kerugian

Masalah tuntutan ganti kerugian merupakan suatu masalah yang

terkait erat dengan adanya perbuatan yang menyebabkan terjadinya

kerugian, yang di pihak lain menimbulkan kewajiban untuk mengganti

kerugian tersebut. Dengan demikian, berbicara mengenai persoalan

“tanggung jawab” atas perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Salah

satu hal yang menonjol menyangkut masalah pemberian ganti rugi ini adalah

terdapat atau tidaknya unsur kesalahan.26

Menurut M. Yahya Harahap, secara umum ada 5 alasan mengapa

seseorang pemohon melakukan tuntutan ganti kerugian, yaitu: 27

Penangkapan yang dilakukan secara tidak sah, penahanan yang dilakukan

secara tidak sah, tindakan lain yang dilakukan tanpa alasan undang-undang,

dituntut dan diadili tanpa alasan undang-undang, penghentian penyidikan

atau penuntutan.

26
Djoko Prakoso, op. cit., hlm. 98.
27
Yahya Harahap, op. cit., hlm 567-574.

24
Alasan yang dinyatakan oleh pemohon peninjauan kembali ini

penting karena hal ini banyak digunakan sebagai satu indikator pelanggaran

hak-hak asasi manusia yang terjadi dalam satu tindak pidana atau dengan

kata lain dengan adanya alasan ini, maka hakim, sebagai pihak yang akan

memutus gugatan ganti kerugian yang diajukan oleh pemohon akan dapat

menilai apakah permohonan yang diajukan dapat diproses lebih lanjut lagi

atau tidak.

Dalam bidang hukum acara pidana, yaitu dalam Pasal 82 ayat (4)

KUHAP, menyatakan bahwa ganti kerugian dapat dimintakan terhadap hal-

hal yang meliputi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 95

KUHAP. Dalam hal ini, ketentuan undang-undang berarti membatasi hal-hal

apa saja yang dapat dimintakan ganti kerugian. Pembatasan tersebut

dilakukan sebatas ruang lingkup tindakan penghentian penuntutan serta

Tindakan penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pengadilan atau

dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau

karena kekeliruan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan

mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, sebagai salah satu kitab

yang memuat mengenai hukum acara yang ada di Indonesia, yang dalam hal

ini menitikberatkan pada hukum acara pidana, memberikan jaminan dan

perlindungan terhadap hak asasi manusia, dengan menitkberatkan pada asas-

25
asas yang penting seperti Asas Praduga Tidak Bersalah. Oleh karena itu,

penggunaan upaya paksa yang dilakukan menurut ketentuan yang terdapat

dalam KUHAP harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan, misalnya:

untuk dapat menangkap seseorang, yang diduga melakukan tindak pidana,

maka disyaratkan harus ada bukti permulaan yang cukup.28

4. Rehabilitasi Dalam Sistem Pidana Indonesia

Rehabilitasi merupakan satu lembaga hukum yang baru dikenal

dalam dunia hukum acara pidana di Indonesia, sama seperti ganti rugi. Akan

tetapi, berbeda dengan ganti rugi yang telah lama dikenal dalam dunia

hukum di Indonesia yaitu dalam hukum perdata, rehabilitasi merupakan

lembaga yang murni dibentuk dan baru dikenal dalam dunia hukum acara di

Indonesia. Pengaturan mengenai rehabilitasi pertama kali diatur dalam pasal

9 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman. Dalam menunjang pelaksanaan rehabilitasi dalam dunia hukum

acara pidana di Indonesia, maka pengertian mengenai rehabilitasi diatur

dalam beberapa perundang-undangan.

Dalam kamus istilah Hukum Fockema Andrae, pengertian

rehabilitasi adalah pemulihan kehormatan dan nama baik.29 Sedangkan

berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian Rehabilitasi adalah

Pemulihan kepada kedudukan (keadaan) yang dahulu (semula) dan

28
Indonesia, op. cit, ps. 17.
29
Leden Marpaung, op. cit., hlm 119.

26
Perbaikan individu, pasien Rumah sakit atau korban bencana supaya menjadi

manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam masyarakat.

Berdasarkan penjelasan resmi Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14

tahun 1970, pengertian Rehabilitasi dirumuskan sebagai: “Pemulihan hak

seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh

pengadilan.” Selain itu, pengertian Rehabilitasi juga dijabarkan dalam pasal

1 butir 22 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: “Rehabilitasi adalah hak

seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan,

kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat

penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut

ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena

kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini.”

Berdasarkan Pasal 97 ayat (1) KUHAP, dijelaskan bahwa seseorang

berhak meminta rehabilitasi apabila30. Adanya keputusan Pengadilan Negeri

dalam mana perkara terdakwa diputus bebas atau lepas daris segala tuntuan

hukum dan Putusan mana telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Akan tetapi, dalam ketentuan Pasal 97 ayat (2) KUHAP, dnyatakan

bahwa rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam

putusan pengadilan. Pasal 97 ayat (1) KUHAP menyatakan syarat

mendapatkan rehabilitasi adalah apabila sudah ada putusan berkekuatan


30
Ignatius Ridwan Widyadharma, op. cit, hlm. 92.

27
hukum tetap, tetapi dalam Pasal 97 ayat (2) KUHAP dinyatakan bahwa

rehabilitasi diberikan sekaligus dalam amar putusan yang membebaskan

terdakwa atau terpidana, dalam hal permintaan rehabilitasi hanya berkenaan

dengan permintaan rehabilitasi dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yakni

hanya atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, yang

perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.

Atas alasan yang disebutkan dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, yakni

atas putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak disinggung

sama sekali. Menurut pendapat M. Yahya Harahap, alasan atas keberlakuan

pasal ini adalah setiap putusan pengadilan yang berupa pembebasan atau

pelepasan dari segala tuntutan hukum, harus sekaligus memberikan dan

mencantumkan rehabilitasi. Karena itu, dapat dikatakan pemberian

rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,

merupakan hak wajib yang diberikan dan dicantumkan sekaligus secara

langsung dalam putusan bebas.

Rehabilitasi yang dimaksudkan dalam KUHAP adalah akibat dari

tindakan yustisial terhadap seseorang.31 Berdasarkan Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 35 tahun 1999 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman, pihak-pihak yang dapat meminta rehabilitasi adalah:

tersangka, terdakwa dan terpidana, keluarga, ahli waris atau kuasanya.

31
M. Hanafi Asmawie, 1990, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Pradnya Paramita
Cet II, hlm 45.

28
Sedangkan berdasarkan rumusan Pasal 97 KUHAP tersebut, yang berhak

memperoleh rehabilitasi adalah:32 Berdasarkan ayat (1) Yaitu yang diputus

bebas dan yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum, yang putusannya

telah berkekuatan hukum tetap, sementara berdasarkan ayat (3) yaitu yang

dimuat Pasal 95 KUHAP yakni: Tersangka, terdakwa, terpidana yang

ditahan, dituntut, diadili, dikenakan tindakan lain tanpa alasan berdasarkan

undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang

diterapkan.

C. Tinjauan Umum Tentang Korban


1. Pengertian Korban

Korban tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan,

tetapi juga bisa sekelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum.

Bahkan pada kejahatan tertentu, korban bisa juga berasal dari bentuk

kehidupan lainnya. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam tindak

pidana terhadap lingkungan, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana

yang dimaksud terakhir tidak masuk didalamnya. Dilihat dari pengertian

korban menurut beberapa para ahli atau yang bersumber dari konvensi

internasional mengenai korban tindak pidana yang menimpa dirinya, antara

lain bisa dilihat dari pengertian mengenai korban dari para ahli.

32
Indonesia, op. cit, ps. 97.

29
Menurut Arief Gosita, sebagaiman korban yang menderita jasmani

dan rohani yang diakibatkan dari tindakan orang lain yang mencari

kepentingan diri sendiri dan yang berkepentingan hak asasi yang di

rugikan.33 Sedankan menurut Bambang Waluyo dalam bukunya yang

berjudul Victimologi Perlindungan Korban dan Saksi, bahwa yang dimaksud

dengan korban adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau

penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas

perbuatan atau usaha pelanggaran ringan dilakukan oleh pelaku tindak

pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat

penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau

tindak pidana.34 Serta pendapat Muladi, mengenai korban (victim) adalah

orang-orang yang baik secara individu maupun kolektif telah menderita

kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau

gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental melalui

perbuatn atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing

negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.35

Mengacu pada pengertian pengertian korban tersebut dapat dilihat

bahwa korban di atas dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya

orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat

33
Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademik Presindo, Jakarta, hlm. 63
34
Bambang Waluyo, op.cit, hlm.9.
35
Muladi, 2005, Ham dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung,
hlm. 108

30
perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian penderitaan bagi dirinya

sendiri atau kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya

keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang

mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya

atau mencegah viktimisasi

Kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu

berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas

terjadinya kesalahan yang ditimbulkan karena tidak melakukan suatu

kerjaan. Perkembangan dari ilmu viktimologi selain mengajak setiap orang

untuk lebih melihat posisi korban juga memilih-milih jenis korban hingga

mencullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut.

a. Nonparticipating victims, upaya penanggulangan tindak pidana yang

mana mereka tidak memperdulikannya.

b. Latent victims, dimaksud yaitu setiap orang yang mempunyai kelakuan

tertentu sehingga minim menjadi korban.

c. Procative victims, mereka yang menimbulkan dorongan terjadinya

tindak pidana.

d. Participating victims, mereka yang berprilaku tidak sewajarnya

sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

e. False victims, karena perbuatan korban sendiri sehingga yang

menjadikan dirinya menjadi korban.

31
Korban salah tangkap dapat diartikan sebagai orang-orang yang

secara individu maupun kolektif yang menderita secara fisik maupun mental

yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau kesalahan proses penyidikan

yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang maupun pejabat

sejenisnya. Korban salah tangkap dalam proses peradilan dapat mengajukan

ganti kerugian sesuai yang telah dicantumkan pada Pasal 95 ayat (1)

KUHAP yang menjelaskan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana berhak

menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau

dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasar undang-undang atau

karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut tidak diajukan kepada

pengadilan negeri, melainkan diputus pada sidang praperadilan sebagaimana

yang dimaksud pada Pasal 77 KUHAP yang menjelaskan bahwa pengadilan

negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan

yang diatur dalam undang-undang ini mengenai sah atau tidaknya

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau pengentian

penuntutan dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang

perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan

2. Korban Salah Tangkap Dalam Pengaturan Hukum Acara Pidana

Indonesia.

Perumusan mengenai perlindungan hukum Korban salah tangkap

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

32
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimuat dalam Pasal I butir 10

berbunyi36: Peradilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa

dan memutuskan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,

tentang:

a. Sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan atas permintaan tersangka

atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.

c. Permintaan Ganti kerugian atau Rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan

ke pengadilan.

Pada Bab X bagian kesatu dalam Pasal 77 yang berbunyi :

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai

denganketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penghentian penyidikan atau penghentian

penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Pasal 81 yang

berbunyi“ Permintaan ganti kerugian dana atau rehabilitasi akibat tidak

sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian

Andi Hamzah, 2011, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang
36

Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, Jakarta, Rineka Cipta, hal 12

33
penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan

alasannya. Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditemukan sebagai

berikut:

a. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang

ditunjuk menetapkan hari sidang.

b. Dalam hal memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya

penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian

penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau

rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat

sahnya penyidikan atau penuntutan yang ada pada benda yang disita

yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan

baik dari tersangka atau pemohon maupun pejabat yang berwenang

c. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya

tujuh hari hakim sudah menjatuhkan putusannya

d. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,

sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan

belum selesai, maka pemeriksaan tersebut gugur

e. Putusan pengadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup

kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan olehpenuntut umum,

jika untuk itu diajukan permintaan baru. Putusan hakim dalam acara

34
pemeriksaan praperadilan mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81, harus memuat dengan jelas

dasar dan alasannya. Isi putusan selain memuat ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2) juga memuat hal-hal sebagai berikut

1. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau

penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum

pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera

membebaskan tersangka.

2. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penghentian

penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan

terhadap tersangka wajib dilanjutkan.

3. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau

penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah

besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan,

sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau

penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan maka

dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.

4. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita yang

tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan

dicantumkan bahwa benda tersebut harus segara dikembalikan

kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.

35
tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.

D. Tinjauan Umum Tentang Praperadilan

1. Pengertian Praperadilan

Berdasarkan Pasal 1 butir 10 KUHAP yang berbunyi:

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa

dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:37

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas

permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa

tersangka.

b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan

atas permintaan tersangka/ penyidik/ penuntut umum demi tegaknya

hukumdan keadilan.

c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau

keluarganya atau pihak lain atas kuasanya, yang perkaranya tidak

diajukan ke pengadilan.

Praperadilan berdasarkan penjelasan di atas, hanyalah menguji dan

menilai tentang kebenaran dan ketepatan tindakan upaya paksa yang

dilakukan penyidik dan penuntut umum dalam hal menyangkut ketepatan

penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan serta ganti

37
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 1.

36
kerugian dan rehabilitasi.

Praperadilan merupakan bagian dari pengadilan negeri yang

melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya paksa

terhadap tersangka oleh penyidik atau penuntut umum. Pengawasan yang

dimaksud adalah pengawasan bagaimana seorang aparat penegak hukum

melaksanakan wewenang yang ada padanya sesui dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang ada, sehingga aparat penegak hukum tidak

sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, bagi

tersangka, atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan meyimpang yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya, ia

berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.38

2. Fungsi P raperadilan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana.

Lembaga Praperadilan lahir bersama Undang-undang Nomor 8 Tahun

1981Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Sementara

peraturan itu sendiri lahir sesuai amanah Undang-undang Nomor 14 Tahun

1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman guna

menggantikan produk perundang-undangan zaman kolonial yakni Herziene

Indlansch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui

38
Ratna Nurul Alfiah, 1986, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, CV. Akademika Presindo,
Jakarta, hlm 75.

37
(RIB) dengan produk indonesia merdeka. HIR atau RIB itu dinilai sudah

usang dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang

ditengah masyarakat serta tidak melindungi hak asasi manusia, karena tidak

membatasi masa penahanan tersangka/terdakwa dan setiap kali dapat

diperpanjang untuk tiga puluh hari lamanya serta tidak diberikannya

kesempatan untuk didampingi oleh penasehat hukum pada pemeriksaan

pendahuluan oleh penyidik sangat dirasakan sebagai tidak menghormati hak-

hak tersangka.

Tujuan utama dari Praperadilan sangat erat dengan dilaksanakannya

pengawasan dalam suatu proses pidana. Proses ini haruslah mendapatkan

perhatian dan tempat yang khusus, karena tanpa suatu pengawasan yang ketat

tidak mustahil hak asasi manusia akan ditindas oleh kekuasaan. Selama hal ini

tidak terhindarkan, pihak polisi yang banyak tersangkut dalam Praperadilan.

Harus diakui banyak hal tindakan-tindakan oknum-oknum polisi membuat

masyarakat menjadi prihatin, tindakan yang memakai upaya paksa dan

penyiksaan dalam memperoleh pengakuan dan barang bukti dari tersangka.39

KUHAP mengatur wewenang penyidikan diberikan sepenuhnya kepada

Kepolisian, maka pengawasan atas tindakan-tindakan penegak hukum ini harus

diadakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang. Praperadilan

melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri (Pasal 77 KUHAP). Dipimpin

39
Darwan Prinst S.H., 1993, Praperadilan dan Perkembangannya di dalam praktik, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm 2.

38
oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dibantu oleh

seorang panitera. Adapun tugas-tugasnya meliputi:

a. Memeriksa sah tidaknya suatu penangkapan dan penahanan (Pasal 79

KUHAP).

b. Memeriksa sah tidaknya suatu penghentian penyidikan dan penuntutan

(Pasal 80 KUHAP).

c. Memeriksa permohonan ganti-rugi atau rehabilitasi akibat tidak sahnya

penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan

(Pasal 81 KUHAP).

Berdasarkan tugas-tugas tersebut tercermin bahwa Praperadilan

mengemban fungsi pengawasan atau kontrol terhadap tindakan penyidikan dan

penuntutan. Pengawasan oleh hakim Praperadilan terhadap Polisi dan terhadap

Jaksa. Pengawasan ini termasuk pengawasan horisontal, merupakan kontrol

dari instansi yang sejajar dan tidak hierarkis dalam jajarannya. Dengan

Lembaga Praperadilan maka hukum acara pidana memiliki fungsi pengawasan

baik terhadap perilaku warga masyarakat maupun terhadap perilaku para

penegak hukum yang berperan dalam proses bekerjanya secara pidana. Oleh

karena itu Praperadilan dimaksudkan sebagai pengawasan horisontal oleh

Hakim Pengadilan Negeri terhadap pelaksanaan tugas Penyidik dan Penuntut

Umum, terutama menyangkut pelaksanaan upaya paksa.40

Hakim dalam Praperadilan bukan berarti fungsionaris peradilan,


40
Ibid, hlm 3.

39
bukan pula wasit yang mengadili sengketa hukum. Hakim dalam Praperadilan

dipinjam karena diperlukan suatu fungsionaris netral untuk mengontrol

penangkapan dan penahanan itu. Jelaslah bahwa prosedur Praperadilan

mengganti atau mengalihkan tugas pengawasan terhadap penangkapan dan

penahanan serta penghentian penyidikan dan pnuntutan dari kepala-kepala

Kejaksaan atau kepala-kepala Kepolisian kepada Hakim Pengadilan Negeri

yang berkedudukan netral.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum

normatif atau doktrinal. Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter

Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa penelitian hukum doctrinal atau

normatif adalah sebagai berikut : “Penelitian doktrinal adalah penelitian yang

memberikan penjelasan sistematis aturan yang mengatur suatu kategori hukum

40
tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan menjelaskan daerah kesulitan

dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan”.41

Penelitian hukum normatif yang nama lainnya adalah penelitian hukum

doktrinal yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen

karena penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

penelitian hukum dengan mengkaji bahan-bahan hukum, baik bahan hukum

primer maupun bahan hukum sekunder.42 Data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data sekunder, berupa peraturan perundang-undangan, putusan

pengadilan, teori hukum, dan pendapat para ahli hukum.

B. Pendekatan Penelitian

Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan-pendekatan

yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang

(statute approach), Pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan

pendekatan konseptual (Concentual approach).43

Bahwa berdasarkan penjelasan di atas penulis akan menggunakan tiga

pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan

41
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm 32
42
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
hlm. 97.
43
Peter Mahmud Marzuki.Op.cit,hlm. 93

41
kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok masalah penelitian.

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi dan menjadi

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pendekatan

konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan menelah pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.44

C. Jenis Bahan Hukum

Jenis bahan hukum dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tertier. Dalam penelitian ini,

penulis menggunakan sumber bahan hukum yaitu :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan

perundang-undangan catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-

undangan dan putusan hakim, dalam penelitian ini bahan hukum primer yang

digunakan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


44
Ibid, hlm. 133-135.

42
c. Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

e. Peraturan Pemerintah Nomor 92 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana

f. Penetapan Hakim Nomor. 76/Pid.Pra/2019/Jkt.Sel.

2. Bahan hukum sekunder,

Bahan hukum sekunder yaitu Bahan hukum yang memberikan

penjelasan bahan hukum primer, Bahan hukum sekunder yang utama adalah

buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu

hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai

kualifikasi tinggi.45 dalam hal ini yaitu terdiri dari : Literature ilmu hukum,

Makalah-makalah, Jurnal ilmial, Artikel ilmiah yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti.

3. Bahan hukum tersier,

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

skunder, dalam hal ini terdiri dari : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus

45
Ibid.,hlm.142

43
Hukum, Pendapat para ahli dalam berbagai literatur/buku, Dokumentasi,

berita di koran, serta penelusuran website.

D. Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh

bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang

mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penelitian ini adalah studi dokumen

(studi kepustakaan). Studi dokumen adalah suatu alat pengumpulan bahan hukum

yang dilakukan melalui bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content

analisys.46 Teknik ini berguna untuk mendapatkan landasan teori dengan

mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan, peraturan

pemerintah maupun dari bahan hukum sekunder berupa penjelasan bahan hukum

primer, dilakukan dengan cara mencatat dan mengutip buku dan literatur yang

berhubungan dengan penulisan ini.

E. Analisis Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan analisis data dengan logika deskriptif

kualitatif, yaitu anaisi yang dilakukan secara deskritif, yakni penggambaran

argumentasi dari data yang di peroleh di dalam penelitian. Kemudian hasil

analisis tersebut dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif yaitu

suatu cara berfikir yang di dasarkan pada realitas yang bersifat khusus yang

kemudian disimpulkan secara umum, yang kemudian di bantu dengan hasil studi

46
Ibid.,hlm.21

44
kepustakaan. Analisis dilakukan dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus

yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menolak Ganti Kerugian Dan

Rehabilitasi Korban Salah Tangkap Berdasarkan Penetapan No.

76/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel.

Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya

aparat penegak hukum pidana mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan,

penangkapan dan penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan,

serta pelaksanaan putusan pengadilan, atau dengan kata lain bekerjanya

45
kepolisian, kejaksaan, kehakiman, hingga diakhiri lembaga pemasyarakatan.

Tujuan dari maksud ini adalah usaha pencegahan kejahatan (Prevention Of

Crime) baik jangka pendek, yaitu resosialisasi kejahatan, jangka panjang, yaitu

pengadilan kejahatan serta jangka panjang, yaitu kesejahteraan sosial.

Pada proses penyidikan oleh aparat kepolisian, penyidik melakukan

serangkaian tindakan yang diperlukan guna mendapatkan barang-barang bukti

yang nantinya akan diajukan sebagai alat bukti, apabila tidak cukup bukti atau

peristiwa tersebut ternyata bukan peristiwa pidana, maka penyidik berwenang

untuk menghentikan proses penyidikan. Begitu juga sebaliknya apabila bukti-

bukti telah terpenuhi dan peristiwa tersebut merupakan tindak pidana maka

penyidik akan melanjutkan proses penyidikan hingga selesai serta membuat

berita acara (pemberkasan perkara) yang kemudian diserahkan pada penuntut

umum.

Proses peradilan suatu perkara pidana melalui tahap-tahap sebagai

berikut : tahap penyidikan oleh aparat kepolisan, tahap penuntutan oleh jaksa

(Penuntut Umum), tahap Pemeriksaan Pengadilan. Dalam proses penyidikan

seringkali terjadi proses salah tangkap karena kurangnya profesionalitas dan

kehati-hatian dalam proses penyidikan, sehinga seringkali tidak jarang kasus

salah tangkap terjadi di Indonesia. Dalam penelitian ini penulis mengambil salah

satu kasus salah tangkap atau eror in persona yang terjadi di Jakarta selatan,

dengan terdakwanya adalah para pengamen Cipulir Jakarta selatan yang diduga

46
telah melakukan pembunuhan kepada Dicky Maulana alias Dicky di bawah

jembatan Cipulir Jakarta Selatan.

1. Kasus Posisi

Kasus salah tangkap yang menimpa 6 orang pengamen Cipulir

Jakarta Selatan, yang bernama Fattahilah alias Fattah, Arga Putra Samosir

alias Ucok, Fikri Pribadi alias Fikri, Bagus Firdaus alias Fikri, dan Andro

Suprianto alias Andro serta Nurdin Prianto alias Nurdin. Fattah, Fikri, Ucok,

dan Pau adalah pengamen yang masih dibawah umur sementara Andro dan

Nurdin adalalah pengamen yang tergolong dewasa sehingga berkas perkara

Andro dan Nurdin dipisah. Fattah, Fikri, Ucok, dan Pau dituduh telah

melakukan tindak pidana pembunuhan kepada Dicky Maulana alias Dicky.

Kasus ini bermula pada tanggal 30 Juni 2013 sekitar pukul 08.00 WIB, yang

mana Fattah, Fikri, Ucok, Pau, dan Andro serta Benges menemukan mayat di

bawah jembatan Cipulir Jakarta Selatan.

Pada saat mereka menemukan mayat mereka segera melapor ke

satpam yang sedang berjaga didekat jembatan layang Cipulir Jakarta Selatan,

saat itu satpam pun segera melapor ke polsek terdekat di wilayah Cipulir

Jakarta Selatan bahwa mereka menemukan mayat di bawah jembatan layang

tersebut. Saat polisi datang ke tempat mayat ditemukan, Fattah, Fikri, Ucok,

dan Pau diminta untuk ikut ke polsek untuk memberikan keterangan sebagai

saksi dalam penemuan mayat di jembatan Cipulir Jakarta Selatan,

sesampainya mereka di Polsek untuk memberikan keterangan yang

47
sebenarnya Fattah, Fikri, Ucok, dan Pau dipaksa oleh pihak kepolisian untuk

mengakui bahwa mereka yang telah melakukan tindak pidana pembunuhan,

namun mereka tetap memberikan keterangan yang sebenarnya bahwa bukan

merekalah yang melakukan pembunuhan terhadap Dicky Maulana.

Dalam proses penyidikan Fattah, Fikri, Ucok, dan Pau mendapatkan

perilaku kasar oleh pihak kepolisian, mereka disiksa di dalam ruangan gelap

dan disetrum pada saat memberikan keterangan. Sesudah selesai memberikan

keterangan dipihak kepolisian mereka di bawah kembali ke tempat kejadian

perkara di bawah jembatan layang Cipulir Jakarta Selatan, untuk menjelaskan

kembali pada saat mereka menemukan mayat Dicky Maulana. Ketika mereka

tiba di jembatan Cipulir mereka dipaksa kembali untuk mengakui bahwa

pembunuhan Dicky Maulana adalah tindakan mereka, mereka kembali

mendapatkan perlakuan kasar, dipukul, ditendang oleh pihak kepolisian untuk

mengakui bahwa merekalah yang telah melakukan pembunuhan yang terjadi

di bawah jembatan Cipulir Jakarta Selatan.

Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau dibawah ke Polda Metro Jaya Jakarta

Selatan untuk kembali dimintai keteranganya, saat itu mereka tidak

didampingi oleh pengacara dan dipaksa untuk mendekam dibalik jeruji besi

selama 3 bulan. Setelah berapa lama mereka mendekam dibalik jeruji besi

Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau dipangil untuk mengikuti sidang pertama mereka

di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 1 Oktober 2013 dengan Nomor

Perkara 1131/PID.AN/2013/PN/JKT.SEL. Fikri, Fattah, Ucok dan Pau

48
diputus bersalah dengan hukuman Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau masing-

masing selama 2 tahun 7 bulan penjara.

Setelah keluarnya putusan tersebut mereka melakukan upaya

hukum banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan, dengan Nomor Perkara

360/PID/2013/PT.DKI pada tanggal 28 Oktoer 2013 yang mana putusan

tersebut menguatkan kembali putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 1131/PID.AN/2013/PN.JKT.SEL. Tidak sampai disitu Fikri, Fattah,

Ucok, dan Pau, melakukan upaya hukum tingkat kasasi pada Mahkamah

Agung dengan Nomor 118/K/Pid.Sus/2014 pada tanggal 14 Februari 2014

yang mana menyatakan permohonan tidak dapat diterima karena sudah

melewati batas waktu yang ditentukan yakni 14 hari dari pengumuman hasil

banding dari Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan.

Dengan adanya putusan bahwa permohonan yang diajukan oleh

Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau tidak diterima, keluaraga Fikri, Fattah, Ucok, dan

Pau menemukan bukti baru yaitu pelaku pembunuhan yang sebenarnya

dengan dibantu oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta pada tanggal 5 Maret

2014. Pelaku pembunuhan Dicky Maulana diketahui oleh salah satu saksi

yang bernama Iyan Pribadi yang merupakan teman/sahabat Dicky Maulana,

yang mana menjelaskan bahwa yang telah melakukan pembunuhan tersebut

adalah Chaerudin Hamzah alias Brengos dan Jubai alias Jubai, Iyan mengakui

bahwa mereka telah merencanakan pembunuhan kepada Dicky Maulana

49
dengan merampas sepeda motor milik Dicky tetapi yang membunuh Dicky

adalah Jubai.

Oleh karena bukti baru yang mereka temukan pada tanggal 6 April

2015 Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau mengajukan kembali upaya hukum tingkat

Peninjauan Kembali dengan menghadirkan bukti baru (novum) dan

didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dengan Nomor Perkara

131/PK/Pid.Sus/2015 dengan menyatakan mereka tidak terbukti bersalah.

Petikan putusan Nomor 131/PK/Pid.Sus/2015 yang berkekuatan hukum tetap

telah diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta sebagai pengacara dari

Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau pada tanggal 11 Maret 2016, dan salinan putusan

baru diterima pada tanggal 25 Maret 2019.

Pada tanggal 19 Januari 2016 Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau akhirnya

dibebaskan oleh pihak kepolisan, setelah mereka dibebaskan Fattah, Fikri,

Ucok, dan Pau menggugat Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI

Jakarta pada tanggal 21 Juni 2019, untuk permohonan ganti kerugian atas

perkara salah tangkap dengan sebesar 1 milyar. Namun permohonan yang

diajukan oleh Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau ditolak oleh hakim Pengadilan

Jakarta Selatan dalam Penetapan Nomor 76/Pid.Pra/2019/Jkt.Sel dengan

alasan bahwa permohonan yang diajukan oleh Fikri, Fattah, Ucok, dan Pau

telah kadaluwarsa terhitung tanggal petikan putusan diterima pada tanggal 11

Maret 2016.

2. Alasan Permohonan

50
Berdasarkan pokok perkara yang telah penulis uaraikan di atas

maka yang menjadi alasan permohonan dalam pengajuan ganti kerugian dan

rehabilitasi para pemohon yaitu bahwa permohonan praperadilan ganti

kerugian dan rehabilitasi diajukan berdasarkan alasan-alasan yang tertuang

dalam Pasal 95 ayat (1)47 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Saat

pemeriksaan di Polda Metro Jaya, para pemohon mengaku terdapat oknum

polisi yang mengitimidasi dan memaksa baik dengan ancaman verbal maupun

kekerasan fisik, dengan cara menendang para pemohon dan memukul dengan

stik golf untuk megakui perbuatan pembunuhan terhadap Dicky Maulana yang

mana tidak pernah mereka lakukan. Selain itu juga terdapat oknum polisi

Polda Metro Jaya yang menyetrum buah zakar alat kelamin para pemohon

dengan tujuan agar para pemohon mengaku.

Tindakan tersebut jelas telah melanggar Pasal 5248 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana dan Pasal 13 ayat (1) 49 huruf a dan e Peraturan

Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak

Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, oleh karena itu

47
Pasal 95 ayat (1) KUHAP : tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti
kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan
48
Pasal 52 KUHAP: Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim
49
Pasal 13 ayat (1) huruf a dan e Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian:
Dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang: a. melakukan intimidasi,
ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau
pengakuan dan huruf e. merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan
kebenaran.

51
tindakan yang dilakukan oleh Kepolisian telah bertentangan dengan hukum

dan Hak Asasi Manusia. Para pemohon sudah di hukum sejak tingkat

penyidikan hingga tingkat pemeriksaan di Pengadilan yakni Fattah, Ucok,

Fikri, dan Pau masing-masing selama 2 (Dua) Tahun 7 (Tujuh) bulan penjara,

oleh karena itu para pemohon merupakan korban salah tangkap atau eror in

persona dan telah melalui segala proses peradilan yang sesat, maka para

pemohon yang diputus bebas berhak mendapatkan ganti kerugian dan

rehabilitasi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015

tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Bahwa hak untuk menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi dijamin

berdasarkan Pasal 14 ayat (6) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan Ratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Sipil Dan Politik

“Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang

mempunyai kekuatan hukum tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan

sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau diampuni

berdasarkan suatu fakta baru, yang baru saja ditemukan menunjukan secara

meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan, maka

orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut

harus diberi ganti rugi menurut hukum kecuali jika dibuktikan bahwa tidak

terungkapnya fakta yang tidak diketahui sepenuhnya atau sebagian karena

dirinya sendiri.

3. Pertimbangan Hukum Hakim

52
Sebelum penulis menguraikan pertimbangan hakim dalam menolak

ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan oleh para pemohon dalam

Penetapan Nomor 76/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel, penulis terlebih dahulu akan

menguraikan dasar permohonan para pemohon dalam pengajuan ganti

kerugian dan rehabilitasi. Adapun yang menjadi dasar permohonan para

pemohon meminta ganti kerugian dan rehabilitasi yaitu berdasarkan Pasal 95

ayat (1) KUHAP “Bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana berhak

menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, diuntut, dan diadili atau

dikarenakan tindakan lainya, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang

atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Namun dalam KUHAP tidak diatur secara jelas dan rinci mengenai batas

waktu yang ditentukan untuk dapat mengajukan permohonan ganti kerugian

dan rehabilitasi, sehingga untuk melihat batas waktu yang dapat diajukan

untuk permohonan ganti kerugian dan rehabilitasi terdapat dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang perubahan Kedua atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana pada Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

“Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP

hanya dapat diajukan dalam paling lama 3 (Tiga) bulan terhitung sejak

tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap diterima.

53
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

1131/Pid.An/2013/PN.Jkt.Sel, para pemohon dinyatakan terbukti bersalah

melakukan tindak pidana pembunuhan, dan putusan tersebut diperkuat oleh

putusan Pengadilan Tinggi DKI dengan Nomor Putusan

360/PID/2013/PT.DKI. Sebelumnya para pemohon juga telah mengajukan

upaya hukum pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung terhadap Putusan

Pengadilan Tinggi DKI, yang mana menyatakan permohonan Kasasi tidak

dapat diterima karena sudah melewati batas waktu Permohonan. Sehingga

para pemohon mengajukan upaya hukum kembali pada tingkat Peninjauan

Kembali pada tanggal 19 Januari 2016 dengan Nomor 131PK/Pid.Sus/2015,

yang pada pokoknya para pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan

Jaksa/Penuntut Umum pada dakwaan primer dan subsider dan membebaskan

dari semua dakwaan tersebut.

Dengan diaturnya mengenai jangka waktu untuk mengajukan ganti

kerugian dan rehabilitasi pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor

92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana, dimana jangka waktu tersebut dihitung dari yang terlebih dahulu

diterima, apakah Petikan putusan atau Salinan putusan yang telah

berkekuatan hukum yang tetap. Petikan Peninjauan Kembali Nomor

131PK/PID.SUS/2015 yang berkekuatan hukum tetap, telah diterima oleh

penasehat hukum Para Pemohon pada tanggal 19 Januari 2016 dan salinan

54
putusan baru diterima oleh penasihat hukum Para Pemohon tanggal 25 Maret

2019 dan Petikan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 131PK/PID.SUS/2015

tanggal 19 Januari 2016 telah diberitahukan kepada Penuntut Umum.

Bahwa berdasarkan putusan ataupun salinan putusan yang

kedudukanya sama dalam menentukan waktu untuk mengajukan

permohonan, dilihat sejak tanggal 11 Maret 2016 dan lebih dahulu dari

penerimaan salinan Putusan sejak tanggal 25 Maret 2019. Maka masa 3

(Tiga) bulan yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah

Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana dihitung sejak diterimanya Petikan Putusan 11 Maret 2016.

Sehingga permohonan para pemohon ganti kerugian dan rehabilitasi yang

diajukan pada tanggal 21 Juni 2019 sudah terhitung 3 (Tiga) tahun dan telah

melebihi batas waktu 3 (Tiga) bulan sebagai mana ditentukan dalam Pssal 7

ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan

Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sehingga permohonan para

pemohon dinyatakan telah gugur dan kadaluwarsa, oleh karena itu

berdasarkan permohonan para pemohon di tolak oleh majelis hakim pada

penetapan Nomor 76/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel.

4. Penetapan Hakim

55
1. Menyatakan Hak Menuntut Ganti Kerugian Para Pemohon Gugur Karena

Kadaluwarsa.

2. Menolak Permohonan Para Pemohon Para Pemohon Seluruhnya;

3. Membebankan biaya perkara kepada Para Pemohon sejumlah ninil

5. Analisis Penulis

Dalam praktik peradilan pidana Indonesia yang perlu diperhatikan

adalah megenai pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan atau

putusan, sehingga siapapun dapat menilai apakah alasan yang dijatuhkan

cukup mempunyai alasan yang objektif atau tidak, serta mencantumkan pasal-

pasal peraturan perundang-undangan tertentu yang berhubungan dengan

perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tidak tertulis, yurisprudensi dan

doktrin hukum. Jadi hakim diperintahkan oleh undang-undang untuk

menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat.

Dalam Penetapan Hakim Nomor 76/Pid.Pra/2019/PN.Jkt.Sel yang

menolak ganti kerugian dan rehabilitasi para pemohon Fatah, Ucok, Fikri, dan

Pau, penulis memberikan beberapa hasil analisis berdasarkan hasil penelitian

penulis diantaranya sebagai berikut :

a. Berdasarkan hasil penelitian penulis bahwa dalam perkara ini, para

pemohon ditahan dengan jangka waktu yang sesuai dengan ketentuan

hukum acara pidana yang berlaku, sehinga tidak ada permasalahan dari

56
ketentuan formil mengenai penahanan terhadap para pemohon, namun

berdasarkan keterangan gugatan para pemohon bahwa selama proses

penyidikan terjadi proses penyiksaan yang mana terdapat oknum polisi

yang mengitimidasi dan memaksanya baik dengan ancaman verbal maupun

kekerasan fisik dengan cara menendang para pemohon dan memukul

menggunakan stif golf untuk mengakui melakukan perbuatan pembunuhan

Dicky Maulana, yang mana tidak pernah mereka lakukan. Tidak hanya

sampai disitu selain mengitimidasi dan memaksa mengaku Para Pemohon,

oknum Polisi Polda Metro Jaya menyetrum buah zakar para pemohon

dengan tujuan agar para pemohon mengaku. Dari perbuatan tersebut sudah

jelas bahwa oknum polisi/penyidik melanggar ketentuan Pasal 52 KUHAP

dan Pasal 13 ayat (1) huruf a dan e Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009

tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam

Peyelenggaraan Tugas Kepolisian. Pasal 52 KUHAP “Dalam pemeriksaan

pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak

memberikan keterengan secara bebas kepada Penyidik atau Hakim”.

Supaya pemeriksaan dapat mencapai hasil yang tidak menyimpang dari

pada yang sebenarnya maka tersangka atau terdakwa harus dijauhkan

dengan rasa takut, oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan atau

tekanan terhadap tersangka atau terdakwa” Pasal 1 ayat (1) Perkap 8/2009

“Dalam melaksanakan kegiatan penyidikan, setiap petugas Polri dilarang

melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, keterangan, dan pengakuan”.

57
Selain itu Indonesia sudah meratikasi Convention Agains Tourture (CAT)

yang pada Pasal 15 menyatakan bahwa : Setiap Negara Pihak harus

menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah ditetapkan sebagai tindak

lanjut dari tindak penyiksaan tidak digunakan sebagai bukti, kecuali

terhadap orang yang dituduh melakukan tindakan penyiksaan, sebagai

bukti bahwa pernyataan itu telah dibuat. Oleh karena itu tindakan yang

dialami oleh para pemohon merupkan tindakan yang bertentangan dengan

Hukum dan Hak Asasi Manusia.

b. Berdasarkan penelitian penulis, bahwa dalam perkara ini terdapat beberapa

kejanggalan dalam penghadiran saksi yang dihadirkan oleh Penuntut

Umum yang mana berpotensi Conflict Of Interest. Saksi yang dihadirkan

oleh Penuntut Umum hampir semuanya merupakan penyidik yang

memeriksa perkara ini, selain itu juga terdapat saksi Verba Lisan untuk

menjawab atas adanya penyiksaan selama proses penyidikan di Kepolisian.

Keteragan dari saksi penyidik meragukan setelah melihat adanya

keterangan saksi-saksi lainya yang sangat berbeda dengan saksi peyidik.

Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia seseorang bisa dinyatakan bersalah

jika alat bukti sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah” dan keyakinan

hakim bahwa tindak pidana benar-benar terjadi sehingga ketentuan yang

dijatuhkan dalam Putusan/Penetapan tidak saling bertentangan. Pada

prinsipnya peghadiran penyidik sebagai saksi telah memenuhi ketentuan

58
yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (27) KUHAP.50 Namun kedudukan

Penyidik sebagai pihak yang menangkap Para Pemohon berpotensi adanya

konflik kepentingan tersebut bisa didapat jika melihat adanya penilaian

kinerja kepada para Penyidik jika berhasil mengungkap kejahatan tersebut.

Dalam Putusan Makahmah Agung Nomor 1531/K/Pid.Sus/2010

mempunyai pendapat tersendiri dalam menilai keterangan saksi Penyidik

“Bahwa Pihak Kepolisian dalam pemeriksaan a quo mempunyai

kepentingan terhadap perkara agar perkara yang ditanganinya berhasil di

Pengadilan, sehinga keteranganya pasti memberatkan atau menyudutkan

bahwa bisa merekayasa keterangan. Padahal yang dibutuhkan sebagai saksi

adalah orang yang benar-benar diberikan secara bebas, netral, objektif, dan

jujur”. Artinya Polisi yang melakukan penangkapan, penyelidikan, dan

penyidikan tidak dapat dihadirkan di persidangan terkecuali sebagai saksi

verbal lisan sebagaimana dimaksudkan oleh Mahkamah Agung. Dalam

Perkara ini pula seharusnya dari awal ketika jaksa peneliti mendapatkan

berkas dari pihak Penyidik tidak seharusnya dinyatakan lengkap karena

dari saksi yang di ajukan oleh Penyidik tidak mempunyai kekuatan sebagai

alat bukti karena dari semua keterangan yang diberikan oleh saksi Penyidik

tidak ada satupun yang melihat, mendengar, atau merasakan langsung

peristiwa pembunuhan yang terjadi.

50
Pasal 1 ayat (27) KUHAP : Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara
pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan

59
c. Berdasarkan hasil penelitian penulis, dalam pokok perkara ini yang mana

telah terjadinya salah tangkap atau yang dikenal dengan sebutan eror in

persona terjadi karena kurangnya profesionalitas yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Pengaturan mengenai

ganti kerugian terhadap korban salah tangkap dapat dilihat dalam Pasal 95

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang pada pokoknya

menyatakan bahwa “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut

ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau

dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang

atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”.

Jika dilihat dari penjelasan pasal tersebut bahwa para Pemohon dalam

perkara ini berhak untuk meminta ganti kerugian karena para Pemohon

telah ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan

undang-undang. Namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana Indonesia tidak mengatur secara spesifikasi mengenai jangka waktu

yang dapat diajukan oleh para Pemohon untuk meminta ganti kerugian,

sehingga untuk dapat menentukan jangka waktu melakukan ganti kerugian

terdapat dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 92

Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana yang menyatakan yang bahwa “Tuntutan ganti kerugian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP dapat diajukan dalam

waktu paling lama 3 (Tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau

60
salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

diterima”. Dalam kasus ini para Pemohon telah menerima Petikan Putusan

pada tanggal 11 Maret 2016 pada upaya hukum tingkat Peninjauan

Kembali di Makamah Agung dengan Nomor 131/PK/Pid.Sus/2015,

sehingga jika merujuk pada penjelasan Pasal 7 ayat (1) Peraturan

Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana telah melebihi jangka waktu yang telah

ditetapkan yaitu 3 Bulan jika dihitung sampai dengan diajukanya ganti

kerugian pada tanggal 21 Juni 2019. Oleh karena alasan itu hakim menolak

ganti kerugian yang diajukan oleh para Pemohon dengan alasan bahwa

permohonan pengajuan ganti kerugian para Pemohon telah melebihi batas

waktu yang ditentukan atau telah kadaluwarsa, namun jika kembali dilihat

pengajuan ganti kerugian yang diajukan oleh para Pemohon sebenarnya

belum melebihi jangka waktu atau telah kadaluwarsa jika terhitung dari

salinan putusan Peninjauan Kembali Nomor 131/PK/Pid.Sus/2015 yang

diterima oleh para Pemohon pada tanggal 25 Maret 2019 sampai dengan

diajukanya ganti kerugian oleh para Pemohon pada tanggal 21 Juni 2019

tersebut. Berdasarkan penelitian penulis, dalam pengaturan mengenai

jangka waktu yang di tetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah

Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana terdapat farasa kata “atau” yang bersifat Alternatif, yang

artinya dimana penghitungan batas waktu pengajuan gugatan dapat

61
mengacu baik pada tanggal petikan putusan diterima maupun salinan

putusan diterima, namun pada pertimbangan hakim dalam perkara ini

menafsirkan tata bahasa atau makna yang begitu sempit yang terkandung

dalam undang-undang. Hakim seharusnya dalam menjatuhkan putusan

memiliki kewenangan sangat luas dalam hal menafsirkan peraturan yang

berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang akan menjadi

pegangan bagi hakim lain untuk memutuskan perkara, secara yuridis

maupun filosofis hakim mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan

penafsiran hukum atau penemuan hukum agar putusan yang diambilnya

dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Penafsiran

hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prinsip-

prinsip dan asas-asas tertentu yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu

bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan

menciptakan hukum. Dalam melakukan penafsiran hukum, maka seorang

hakim mengetahui prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini

Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Penafsiran merupakan

kegiatan yang sangat penting dalam hukum, penafsiran merupakan metode

untuk memahami makna yang terkandung dalam teks-teks hukum untuk

dipakai dalam menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas

hal-hal yang dihadapi secara konkrit. Dalam perkara ini seharusnya hakim

62
bisa menafsirkan maksud dari undang-undang secara luas dengan

menekankan pada makna teks yang didalamnya kaidah hukum dinyatakan,

Penafsiran dengan cara demikian bertolak dari makna menurut pemakaian

bahasa sehari-hari atau makna teknis-yuridis yang lazim atau dianggap

sudah baku.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana telah

diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tuntutan dan Putusan hukum

yang lebih diutamakan didalam ganti kerugian dan rehabilitasi, bukan besaran

nilai yang diajukan, tetapi kepastian hukum bahwa itu benar dan pasti diberikan

kepada orang yang menuntut sebagai korban miscarriage of justice, dan nilai

utama yang sesungguhnya dari ganti kerugian adalah bahwa yang memperoleh

benar bukan orang yang bersalah lalu dasar serta alasan bentuk dalam hal apa

ganti kerugian dan rehabilitasi diberikan, dasar hukumnya yang paling

fundamental adalah sebagai bagian dari perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia

(HAM) tentang perlindungan dari kekerasan (Pasal 28 ayat (2) UUD RI Tahun

1945 dan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan yang sama didepan hukum).

63
Perumusan perlindungan terhadap korban salah tangkap dimuat dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) Pasal I butir 10, bab X bagian kesatu, Pasal 77 sampai

dengan Pasal 83 dan Pasal 95 sampai dengan Pasal 100 KUHAP. Penyelesaian

hukum terhadap korban salah tangkap atau kesalahan dalam penyidikan yang

diatur dalam KUHAP adalah dengan pemberian ganti kerugian dan rehabilitasi.

Mekanisme pengajuan tuntutan ganti rugi sebagaimana akibat dari

penahanan yang tidak sah diatur dalam Pasal 95 KUHAP. Hal yang sama untuk

pengajuan rehabilitasi sebagai akibat penahanan yang tidak sah, mekanisme

pengajuannya diatur dalam Pasal 96 KUHAP. Rumusan pasal 95 dan pasal 96

KUHAP tentang ganti kerugian, belum mengatur secara lengkap baik mengenai

batas waktu pengajuan tuntutan ganti kerugian, dasar pertimbangan yang

diberikan atau ditolaknya tuntutan ganti kerugian maupun pihak yang

bertanggung jawab membayar ganti kerugian, dilengkapi dan diperjelas dengan

Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana Pasal 7 sampai Pasal 11. Ketentuan tentang

Rehabilitasi di dalam KUHAP yaitu dalam Pasal 97 ayat (1), ayat (2) dan ayat

(3), sebelum pasal itu definisi tentang Rehabilitasi terdapat dalam dalam Pasal 1

Butir 23 Selanjutnya sebagaimana halnya dengan ketentuan ganti kerugian.

Hakim dalam menjatuhkan putusan pada perkara ini, tidak melakukan

penafsiran hukum secara luas, sehingga hakim tidak melihat apa yang dimaksud

oleh undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.

64
Pertimbangan hakim yang menolak ganti kerugian dan rehabilitasi yang diajukan

oleh para Pemohon yang merupakan korban salah tangkap atau eror in persona,

dengan pertimbangan bahwa permohonan para Pemohon telah melewati batas

waktu yang ditentukan oleh undang-undang yaitu 3 bulan sesuai apa yang telah

diatur dalam PP NO. 92 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana Pasal 7 ayat (1). Pada hal jika kita melihat kembali dalam

pasal tersebut terdapat farasa kata “atau” yang bermakna alternative yang artinya

bisa memilih salah satunya. Sehingga jika hakim dalam pertimbangan nya

menolak permohonan tersebut dengan alasan kadaluwarsa jika dihitung dari

penerimaan petikan putusan pada tanggal 11 Maret 2016 sampai dengan

pengajuan permohonan tanggal 21 Juni 2019. Namun jika dilihat dengan

menggunakan penafsiran hukum maka permohonan para pemohon tidaklah

kadaluwarsa atau melewati batas waktu jika dihitung dari penerimaan Salinan

Putusan pada tanggal 25 Maret 2019 sampai dengan pengajuan permohonan

tanggal 21 Juni 2019 masih terhitung 3 bulan sesuai dengan apa yang dimaksud

dalam papsal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang

Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis dalam skripsi ini yaitu :

65
1. Perlu diberlakukan sanksi hukum yang tegas, baik berupa sanski etik profesi

maupun sanksi pidana atas penyidik yang melakukan penyiksaan kepada

tersangka untuk mmperoleh pengakuan tersangka.

2. Pentingnya penyidik mepertimbangkan terlebih dahulu dengan cermat, teliti,

perhitungan berdasarkan bukti dan fakta dengan jelas dalam proses

penyidikan sehingga tidak terjadi kesalahan yang merugikan orang lain

ataupun Negara.

3. Dalam hal ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pelaksanaan ganti

kerugian dan rehabilitasi perlu dilakukan penyederhanaan dalam hal prosedur

dan tata cara pelaksanaan pemberian ganti kerugian karena tata cara

sebelumnya terkesan berbelit-belit dan rumit sehingga menyulitkan dalam hal

pengajuan ganti kerugian dan rehabilitasi.

66
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Anton Tabah, 1991, Menetap Dengan Mata Hati Polisi Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Arief Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademik Presindo, Jakarta.
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum,Mandar Maju,
Bandung.
Djoko Prakoso, 1984, Upaya Hukum yang di atur dalam KUHAP, Ghalia
Indonesia,Jakarta.
Didik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatn Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hanafi Asmawie,M, 1990, Ganti Rugi dan Rehabilitasi menurut KUHAP, Pradnya
Paramita Cet II, Malang.
Kaligis,O.C, 2006, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
Terpidana, PT.Alumni, Bandung.

67
Leden Marpaung, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya,
Sinar Grafika, Jakarta.
Lilik Mulyadi, 2012, Hukum Acara Pidana Indonesia Suatu Tinjauan Khusus
Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, Dan Putusan Peradilan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Mansyur Efendi,H.A, 1993, Hak asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Hukum
Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor.
Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada
Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Fakultas
Hukum Unversitas Indonesia, Depok.
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Bagi Rakyat DiIndonesia, PT.Bina Ilmu,
Surabaya.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Bina Cipta, Jakarta.
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,
CV.Armico, Bandung.
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Universitas Sebelas Maret,
Surakarta.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76).

68
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo.Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64).
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Hak Asasi Manusia (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4671).
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209).
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 290).
Literatur Dan Sumber Lainya :

http://mappifhui.org/wp-content/uploads/2015/10/anotasi_cipulir_daw.pdf(Diakses
pada tanggal 14 Februari 2020)
http://raypratama.blogspot.co.id/teori-perlindungan-hukum.html. (Diakses pada
tanggal 25 Februari 2020)

69

Anda mungkin juga menyukai