Anda di halaman 1dari 21

Makalah

EUTHANASIA

DISUSUN OLEH :
Kelompok 2
1. Megi Puspita Sari Kai
2. Siti Cahyani Bima
3. Rahmatia Marukai
4. Amelia Botutihe
5. Adrian Noer Mahmud
6. Elsa Habi
7. Hardiyanti Husain
8. Ramadan Hakim
9. Syawaludin Djailani
10.Aurelia Intan Sitty Aisyah P.S.P Olii
11.Nurain Suci Amalia
12.Faramita Latif
13.Moch. Isradji Syam Abi Bakrie
14.Astuti Iksan

PRODI S1 KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
TAHUN 2020
Kata Pengantar

Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
dan Rahmat-Nya kami dapat menulis makalah ini yang berjudul “Euthanasia” hingga selesai.
Meskipun dalam makalah ini pasti terdapat berbagai macam kesalahan dan kekurangan
namun kami telah berusaha menyelesaikan makalah ini dengan sebaik mungkin yang di bantu
dari berbagai pihak. Maupun pihak antara anggota kelompok yang saling berkerja sama
maupun narasumber-narasumber dari internet maupun buku-buku serta dari guru
pembimbing.

Oleh karena itu, kami menghanturkan terima kasih kepada guru pembimbing serta
semua pihak yang telah memberikan sumbangan dan saran atas selesainya penulisan makalah
ini. Di dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan-
kekurangan mengingat keterbatasannya pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh
sebab itu, sangat di harapkan kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun
untuk melengkapkan makalah ini dan berikutnya.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..................................................................................................
Daftar Isi...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah..........................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.....................................................................................
BAB II LANDASAN TEORI...........................................................................
2.1 Pengertian Euthanasia...............................................................................
2.1.1 Menurut Para Ahli...................................................................................
2.1.2 Menurut Kamus Hukum..........................................................................
2.2 Sejarah Euthanasia...................................................................................
2.3 Jenis-Jenis Euthanasia.............................................................................
2.3.1 Dilihat dari Segi Pelakunya ....................................................................
2.3.2 Dilihat dari Segi Caranya.........................................................................
2.3.3 Ditinjau dari Sudut Pemberian Ijin .......................................................
2.4 Pandangan Para Ahli Terhadap Euthanasia................................................
2.5 Pandangan Berbagai Ajaran Agama Terhadap Euthanasia.....................
2.6 Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai Euthanasia.................
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................
3.1 Penyebab Terjadinya Euthanasia.............................................................
3.2 Kasus-Kasus Euthanasia..........................................................................
3.3 Aspek-Aspek Euthanasia.........................................................................
3.3.1 Aspek Hukum..........................................................................................
3.3.2 Aspek Hak Asasi......................................................................................
3.3.3 Apek Ilmu Pengetahuan...........................................................................
3.4 Terminologi Euthanasia...........................................................................
3.5 Faktor yang Mempengaruhi Euthanasia..................................................
BAB IV PENUTUP..........................................................................................
4.1 Kesimpulan..............................................................................................
4.2 Saran........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Eutanasia merupakan upaya untuk mengakhiri hidup orang lain dengan tujuan untuk
menghentikan penderitaan yang dialaminya karena suatu penyakit atau keadaan tertentu. Di jaman
modern ini, tercatat telah banyak sekali kasus-kasus eutanasia, baik yang ter-ekspose maupun yang
tersembunyikan. Terdapat dua unsur utama yang menjadikan eutanasia menjadi bahan perdebatan
yang sengit di kalangan dokter dan bahkan masyarakat umum. Yang pertama, eutanasia jelas-jelas
suatu tindakan yang dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, namun selain itu justru alasan
dilakukannya eutanasia adalah untuk menghindarkan pasien dari rasa sakit atau penderitaan yang
dianggap terlalu menyiksa.

Di beberapa Negara di dunia, eutanasia merupakan suatu tindakan yang dilegalkan, sehingga
seorang dokter memiliki kewenangan untuk menjalankan prosedur eutanasia, namun tentu saja
dengan seijin pihak keluarga dan melalui prosedur perijinan yang sangat ketat. Sedangkan di beberapa
Negara yang lain, pelaku eutanasia ditangkap karena dianggap melakukan tindakan yang melanggar
hukum. Saat ini terdapat banyak Negara yang melarang penyelenggaraan eutanasia, namun masih
banyak pula dokter-dokter yang tetap melakukan eutanasia, baik yang diketahui maupun tidak,
dengan berbagai alasan. Kampanye anti eutanasiapun banyak kita lihat di situs-situs internet, hal ini
menunjukkan bahwa praktek eutanasia memang masih kerap terjadi.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan lebih jauh tentang eutanasia, mengenai pengertiannya,
sejarahnya, pendapat-pendapat seputar eutanasia dan juga pandangan beberapa Negara dan beberapa
Agama tentang penerapan eutanasia serta hukum terkait eutanasia.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, masalah dapat diidentifikasi
sebagai berikut:
a. Apa pengertian Euthanasia dari berbagai sudut pandang?
b. Bagaimanakah sejarah Euthanasia?
c. Apa sajakah jenis-jenis Euthanasia?
d. Bagaimanakah pandangan para ahli terhadap Euthanasia?
e. Bagaimana pandangan dari berbagai ajaran agama terhadap Euthanasia?
f. Bagaimana pandangan hukum diberbagai negara Euthanasia?
g. Apakah penyebab terjadinya Euthanasia?
h. Apa contoh kasus-kasus Euthanasia?
i. Aspek-aspek apa sajakah yang ada di dalam Euthanasia?
j. Apa termonologi dari Euthanasia?
k. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Euthanasia?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari pembuatan atau penulisan makalah ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui pengertian Euthanasia dari beberapa sudut pandang
b. Untuk mengetahui contoh kasus-kasus Euthanasia
c. Untuk mengetahui jenis-jenis Euthanasia

Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi Euthan


BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Euthanasia


Euthanasia berasal dari kata Yunani Eu yang berati baik, dan Thanatos yaitu mati. Maksudnya
adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah dan tanpa merasakan sakit. Oleh karena itu,
Euthanasia sering disebut juga dengan Mercy Killing atau mati dengan tenang. Hal ini menjadi
unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hakhak tersebut.
Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya dalam bidang
kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang dramatis atas pemahaman mengenai
euthanasia. Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti
oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic
menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada
kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi
kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.

2.1.1 Menurut Para Ahli


Ada beberapa pengertian Euthanasia yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
Diantaranya sebagai berikut:
a. Philo. Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik.
b. Suetonis. Penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul “Vita Ceasarum” mengatakan
bahwa Euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
c. Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto. Euthanasia adalah suatu kematian yang
terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.

2.1.2 Menurut Kamus Hukum

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan Euthanasia menjadi beban tersendiri bagi
komunitas hukum. Kejelasan tentang sejauh mana hukum (pidana) positif memberikan
regulasi/pengaturan terhadap persoalan Euthanasia akan sangat membantu masyarakat di
dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena
munculnya pro dan kontra tentang kegiatan ini.

Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di
Indonesia hanya dikenal satu bentuk Euthanasia, yaitu Euthanasia yang dilakukan atas
permintaan pasien/korban itu sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP.
Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas
permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun”Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul bahwa pembunuhan atas
permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian,
dalam konteks hukum positif di Indonesia Euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang
dilarang. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan
dilakukan “pengakhiran hidup seseorang” sekalipun atas permintaan orang itu sendiri.
Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang
diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Mengacu pada ketentuan tersebut di atas, maka munculnya kasus permintaan
tindakan medis untuk mengakhiri kehidupan yang muncul akhir-akhir perlu dicermati
secara hukum. Secara yuridis formal kualifikasi kasus ini adalah pembunuhan biasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP, atau pembunuhan berencana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 340 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP secara tegas
dinyatakan, “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Sementara dalam
ketentuan Pasal 340 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun”.

Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk
menjerat pelaku Euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam
terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi
nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”. Selain itu patut juga diperhatikan
adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan

Pasal 306 (2). Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan “Barang siapa dengan
sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut
hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”. Sementara dalam
ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut
dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas
memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan
orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini
juga bermakna melarang terjadinya euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia.

2.2 Sejarah Euthanasia

Dari zaman Yunani kuno sudah dikenal tentang Euthanasia. Pada zaman Yunani Romawi,
penekanan Euthanasia ditekankan pada kehendak manusia untuk melepaskan diri dari penderitaan
terutama yang mengalami penyakit parah. Selain itu, ada kondisi yang memungkinkan untuk
terjadinya Euthanasia yaitu tradisi kurban, alasannya yaitu motivasi pribadi untuk berkurban dan
pribadi yang mau memberikan dirinya untuk sesamanya.

Tapi tidak semua pemikir zaman ini sepakat dengan Euthanasia seperti Pytagoras yang melawan
tindakan ini yang berpendapat bahwa hidup manusia mempunyai nilai keabadian, dan Euthanasia
merupakan tindakan yang tidak menanggapi arti hidup manusia. Sama halnya dengan Aristoteles yang
bertentangan dengan gurunya yang bersimpati terhadap Euthanasia dengan alasan bahwa hidup
manusia itu bernilai luhur.

Pada tahun 1920, ada sebuah buku yang sangat populer dengan judul “The Permision to Destroy
Life unworthy of life”. Ditulis oleh seorang psikiatri dari Freiburg bernama Alfredn Hoche dan
seorang profesor hukum dari Universitas Leipsig yang bernama Karl Binding. Mereka berpendapat
bahwa tindakan membantu seseorang yang mengalami kematian adalah masalah etika tingkat tinggi
yang membutuhkan pertimbangan yang tepat, yang merupakan solusi belas kasihan atas masalah
penderitaan.
Di Inggris pada tahun 1935, seorang Dokter membentuk The Voluntary Euthanasia Legislation
Society, untuk melegalisasi Euthanasia bersama dengan dokter-dokter terkenal lainnya. Namun,
rancangan ini kemudian ditolak oleh Dewan Lord setelah melalui perdebatan di House Of Lord pada
tahun 1936. Di Jerman, kekuasaan Adolf Hitler memeritahkan untuk melalukan tindakan Mercy
killing secara luas yang dikenal dengan “Action T4” untuk menghapus kehidupan orang yang
dianggap tak berarti dalam kehidupan (Life Under Worty of Life).

Di Australia tahun 1995, Australia Northem Territority menyetujui RUU Euthanasia dan berlaku
pada tahun 1996 dan dijatuhkan oleh parlemen Australia pada tahun 1997. Sedangkan di Oregon,
negara bagian AS mengeluarkan Death with Dignity Law satu undang-undang yang memperbolehkan
dokter menolong pasien yang dalam kondisi terminally ill untuk melakukan bunuh diri, sampai pada
tahun 1998 sudah ada 100 orang mendapatkan Assisten Suicide. Hal ini terus diperdebatkan di
Amerika dan pada tahun 1998 Oregon melegalisis Asisten Suicide dan itu satu-satunya di negara
bagian Amerika yang melegalkan Euthanasia.

Di Belanda pada tahun 2000 melegalkan Euthanasia Aktif Voluntir ini mendapat berbagai
sorotan dari organisasi anti Euthanasia dan juga dari organisasi pro Euthanasia. Seperti Rita Marker
dari ADIWIDIA edisi Desember 2010 No. 1 “Internasional Againts Euthanasia task force” “apakah
sekarang sebuah kejahatan akan diganti dengan perawatan”, sedangkan Tamara Langley dari The UK
voluntary Euthanasia Society menganggap sebagai suatu perkembangan, orang-orang mengambil
keputusan yang mereka buat sendiri. Ebger dari Cristian union mengatakan bahwa undang undang ini
adalah kesalahan sejarah.

Tahun 2002, giliran Belgia melegalisir Euthanasia seperti di Belanda. Di Belgia menetapkan
kondisi pasien yang ingin mengakhiri hidupnya harus dalam keadaan sadar. Saat penyataan itu dibuat
dan menanggulangi permintaan mereka untuk Euthanasia. Sedangkan di Swiss, Euthanasia masih
ilegal tetapi terdapat tiga organisasi yang mengurus permohonan tersebut dan menyediakan konseling
dan obat-obatan yang dapat mempercepat kematian.

Di asia Jepang adalah satu-satunya negara yang melegalkan Euthanasia Voluntir yang disahkan
melalui keputusan pengadilan tinggi pada kasus Yamaguchi di tahun 1962. Namun setelah itu, karena
faktor budaya yang kuat Euthanasia tidak pernah terjadi lagi di Jepang.

2.3 Jenis-Jenis Euthanasia


Selain memiliki banyak pengertian dari berbagai sudut pandang, Euthanasia juga memiliki banyak
jenis yang dilihat dari berbagai segi. Beberapa diantaranya sebagai berikut.
a. Dilihat dari Segi Pelakunya
Dilihat dari segi pelaku, Euthanasia memiliki dua jenis, yaitu:

1) Compulsary Euthanasia adalah bila orang lain memutuskan kapan hidup seseorang akan
berakhir. Orang tersebut bisa siapa saja, seperti dokter, atau bahkan masyarakat secara
keseluruhan. Kadang-kadang Euthanasia jenis ini disebut mercy killing (penghilangan
nyawa penuh belas kasih).
Contohnya: dilakukan pada orang yang menderita sakit mengerikan, seperti anak-anak
yang menderita sakit cacat yang sangat parah.
2) Voluntary euthanasia, artinya orang itu sendiri yang meminta untuk mengakhiri
hidupnya. Beberapa orang percaya bahwa pasien-pasien yang sekarat karena penyakit
yang tak tersembuhkan dan menyebabkan penderitaan yang berat hendaknya diizinkan
untuk meminta dokter untuk membantunya mati. Mungkin mereka dapat menandatangani
dokumen legal sebagai bukti permintaannya dan disaksikan oleh satu orang atau lebih
yang tidak mempunyai hubungan dengan masalah itu, untuk kemudian dokter akan
menyediakan obat yang dapat mematikannya. Pandangan seperti ini diajukan oleh
masyarakat Euthanasia sukarela.
2.3.2 Dilihat dari Segi Caranya
Dilihat dari sudut caranya, Euthanasia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
a. Euthanasia aktif adalah mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana,
juga bila secara medis ia tidak dapat lagi disembuhkan dan juga kalau Euthanasia
dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri. Misalnya, dengan memberikan obat-
obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikkan
alat zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
b. Euthanasia non-agresif atau biasanya disebut juga dengan autoeuthanasia
(Euthanasia otomatis) yang termasuk kategori Euthanasia negatif yaitu dimana
seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan si pasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil”
(pernyataan tertulis tangan). Auto-Euthanasia atau Euthanasia non-agresif pada
dasarnya adalah suaru praktik Euthanasia Pasif atas permintaan orang itu sendiri.
c. Euthanasia Pasif adalah pengobatan yang sia-sia dihentikan atau sama sekali tidak
dimulai, atau diberi obat penangkal sakit yang memperpendek hidupnya, karena
pengobatan apa pun tidak berguna lagi. Misalnya, dokter yang tidak memberikan
bantuan oksigen kepada pasien yang sedang mengalami
kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita
pneumonia berat ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan
guna memperpanjang hidup pasien, ataupun dengan cara pemberian obat
penghilang rasa sakit seperti morfin walaupun disadari bahwa pemberian morfin ini
juga dapat berakibat ganda yaitu mengakibatkan kematian. Euthanasia Pasif ini sering
kali secara terselubung dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.

2.3.3 Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin, Euthanasia dapat digolongkan menjadi


tiga, yaitu:

a. Euthanasia di luar kemauan pasien. Euthanasia di luar kemauan pasien yaitu suatu
tindakan yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup atau bisa
juga disebut juga dengan memaksa pasien untuk mengakhiri kehidupannya. Tindakan
Euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
b. Euthanasia secara tidak sukarela. Euthanasia semacam ini adalah yang sering kali
menjadi bahan perdebatan dan sering dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru
oleh siapa pun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau
tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya statusnya hanyalah
sebagai seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini
menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk
mengambil keputusan bagi si pasien.
c. Euthanasia secara sukarela. Euthanasia secara sukarela ini dilakukan atas
persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan kontroversial.
2.4 Pandangan Para Ahli Terhadap Euthanasia
Ada beberapa pandangan para ahli mengenai Euthanasia. Diantaranya sebagai berikut:
a. Posidippos. Seorang pujangga yang hidup sekitar tahun 300-an sebelum Masehi, menulis,
“Dari apa yang diminta manusia kepada para dewa, tiada sesuatu yang lebih baik daripada
kematian yang baik (Fr. 18)”.
b. Philo. Seorang filsuf Yahudi yang hidup sekitar tahun 20 BC – 50 AD, mengatakan bahwa
Euthanasia adalah “Kematian tenang dan baik’ (Philo 1, 182: de Sacrificiis Abelis et Caini
100).
c. Suetonius. Seorang ahli sejarah yang hidup sekitar tahun 70-140 Masehi memberitakan
kematian Kaisar Agustus sebagai berikut: “Ia mendapat kematian yang mudah seperti yang
selalu diinginkannya. Karena ia hampir selalu biasa mohon kepada dewa-dewa bagi dirinya
dan bagi keluarganya ‘Euthanasia’ bila mendengar bahwa seseorang dapat meninggal dengan
cepat dan tanpa penderitaan. Itulah kata yang dipakainya” (Divus Agustus 99).
d. Seneca. Yang bunuh diri pada tahun 65 M malah menganjurkan, “lebih baik mati daripada
sengsara merana”. Pada zaman Renaissance, pandangan tentang Euthanasia diutarakan oleh
Thomas More dan Francis Bacon. Francis Bacon dalam Nova Atlantis, mengajukan
gagasan Euthanasia Medica, yaitu bahwa dokter hendaknya memanfaatkan kepandaiannya
bukan hanya untuk menyembuhkan, melainkan juga untuk meringankan penderitaan
menjelang kematian. Ilmu kedokteran saat itu dimasuki gagasan Euthanasia untuk membantu
orang yang menderita waktu mau meninggal dunia. Thomas More dalam “The Best Form of
Government and The New Island of Utopia” yang diterbitkan tahun 1516 menguraikan
gagasan untuk mengakhiri kehidupan yang penuh sengsara secara bebas dengan cara berhenti
makan atau dengan racun yang membiuskan.
e. David Hume (1711-1776) yang melawan argumentasi tradisional tentang menolak bunuh diri
(Essays on the suicide and the immortality of the soul etc. ascribed to the late of David Hume,
London 1785), rupanya mempengaruhi dan membuka jalan menuju gagasan Euthanasia.
Tahun 20-30–an abad XX dianggap penting karena mempersiapkan jalan masalah Euthanasia
zaman nasional-sosialisme Hittler. Karl Binding (ahli hukum pidana) dan Alfred Hoche
(psikiater) membenarkan Euthanasia sebagai pembunuhan atas hidup yang dianggap tak
pantas hidup. Gagasan ini terdapat dalam bukunya yang berjudul “Die Freigabe der
Vernichtung lebnesunwerten Lebens, Leipzig 1920”. Dengan demikian, terbuka jalan menuju
teori dan praktek Nazi di zaman Hittler. Propaganda agar negara mengakhiri hidup yang tidak
berguna (orang cacat, sakit, gila, jompo) ternyata sungguh dilaksanakan dengan sebutan
Aktion T4 dengan dasar hukum Oktober 1939 yang ditandatangani Hitler.

2.5 Pandangan Ajaran Agama Terhadap Euthanasia


Di dunia ini terdapat berbagai macam agama. Setiap agama pun memiliki pandangan yang
berbeda-beda mengenai Euthanasia. Berikut merupakan pandangan dari berbagao ajaram agama
terhadap Euthanasia:
a. Dalam Ajaran Islam
Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati. Namun, hak tersebut
merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan kapan
seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu, bunuh diri diharamkan
dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al-Quran maupun Hadis yang secara
eksplisit melarang bunuh diri. Kendati demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal
tersebut, "Dan belanjakanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan,
"Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya
adalah "Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter)
yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh dirinya
sendiri.
Euthanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (Euthanasia), yaitu
suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit,
karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif
maupun negatif.
Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981, dinyatakan bahwa
tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya Euthanasia ataupun pembunuhan
berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam alasan apapun juga.

b. Dalam ajaran Protestan


Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan
yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang membantu
pelaksanaan eutanasia. Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :   
Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan
bahwa :” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien
terminal  membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan tentang
hingga  kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar dapat
mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan hidup
tersebut.

2.6 Pandangan Hukum diberbagai Negara Mengenai Euthanasia

Sejauh ini Euthanasia diperkenankan yaitu di negara Belanda, Belgia serta ditoleransi di
negara bagian Oregon di Amerika, India dan Swiss dan pandangan beberapa negara seperti di
Korea, China dan Jepang mengenai Euthanasia.
a. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001, Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
Euthanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002, yang
menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik Euthanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana
Belanda secara formal Euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai
perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human
Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa
sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan Euthanasia dan tidak
akan dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan.
Prosedur tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan
sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50
pertanyaan. UU yang mengizinkan Euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi ini
tidak bertahan lama. Pada tahun 1995, Northern Territory menerima UU yang disebut
"Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-undang baru ini
beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat
Australia, sehingga harus ditarik kembali. Didalam KUHP Austria Pasal 139 a berbunyi
“Seseorang yang membunuh orang lain atas permintaan yang jelas dan sungguh- sungguh
terhadap korban dianggap bersalah melakukan delik berat pembunuhan manusia atas
permintaan akan dipidana dengan pidana penjara berat dari lima sampai sepuluh
tahun”.
b. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan Euthanasia pada akhir September 2002. Para
pendukung Euthanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan Euthanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan Euthanasia di negara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan Euthanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan “birokrasi kematian”. Belgia kini menjadi negara ketiga yang
melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan negara bagian Oregon di Amerika).
c. Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-
satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien
terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara
bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya
Euthanasia dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with
Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan
Euthanasia.Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18
tahun ke atas boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal
dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali
secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri
dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan
bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi
terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999. Di Negara-negara Eropa
(Belanda) dan Amerika tindakan Euthanasia mendapatkan tempat tersendiri yang
diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang. Tentunya dalam melakukan
tindakan Euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
agar Euthanasia bisa dilakukan.

d. India
Di India Euthanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai larangan
euthanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal 300 dari Kitab
Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun 1860. Namun,
berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan Euthanasia hanya dinyatakan
bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya pembunuhan yang
hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC.
Namun ini hanyalah diberlakukan terhadap kasus Euthanasia sukarela di mana si pasien
sendirilah yang menginginkan kematian di mana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan
Euthanasia tersebut (bantuan Euthanasia). Pada kasus Euthanasia secara tidak sukarela (atas
keinginan orang lain) ataupun Euthanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan hukuman
berdasarkan pasal 92 IPC.
e. Swiss
Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara Swiss ataupun
orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara umum, pasal 115 dari
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada tahun 1937 dan dipergunakan
sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh
diri adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum apabila motivasinya semata untuk
kepentingan diri sendiri”. Pasal 115 tersebut hanyalah
menginterpretasikan suatu izin untuk melakukan pengelompokan terhadap obat-obatan yang
dapat digunakan untuk mengakhiri kehidupan seseorang.

f. Korea
Belum ada suatu aturan hukum yang tegas yang mengatur tentang Euthanasia di Korea,
namun telah ada sebuah preseden hukum (yurisprudensi) yang di Korea dikenal dengan
"Kasus rumah sakit Boramae" di mana dua orang dokter yang didakwa mengizinkan
dihentikannya penanganan medis pada seorang pasien yang menderita sirosis hati (liver
cirrhosis) atas desakan keluarganya. Polisi kemudian menyerahkan berkas perkara tersebut
kepada jaksa penuntut dengan diberi catatan bahwa dokter tersebut seharusnya dinyatakan
tidak bersalah. Namun, kasus ini tidak menunjukkan relevansi yang nyata dengan mercy
killing dalam arti kata Euthanasia Aktif. Pada akhirnya, pengadilan memutuskan bahwa pada
kasus tertentu dari penghentian penanganan medis (hospital treatment) termasuk tindakan
Euthanasia Pasif, dapat diperkenankan apabila pasien terminal meminta penghentian dari
perawatan medis terhadap dirinya.

g. China
Di China, Euthanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Euthanasia diketahui terjadi
pertama kalinya pada tahun 1986, di mana seorang yang bernama "Wang Mingcheng"
meminta seorang dokter untuk melakukan Euthanasia terhadap ibunya yang sakit. Akhirnya
polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan permintaannya, namun 6 tahun
kemudian pengadilan tertinggi rakyat (Supreme People's Court)
menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang Mingcheng menderita penyakit
kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk disembuhkan lagi dan ia meminta untuk
dilakukannya Euthanasia atas dirinya namun ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya.
Akhirnya ia meninggal dunia dalam kesakitan.

h. Jepang
Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang Euthanasia demikian pula
Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah mengatur mengenai
Euthanasia tersebut. Ada 2 kasus Euthanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya
pada tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai “Euthanasia Pasif”. Kasus yang satunya
lagi terjadi setelah peristiwa insiden di Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan
sebagai “Euthanasia Aktif”. Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk
suatu kerangka hukum dan suatu alasan pembenar di mana Euthanasia secara aktif dan pasif
boleh
dilakukan secara legal. Meskipun demikian, Euthanasia yang dilakukan selain pada kedua
kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, di mana dokter yang melakukannya
akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan pasiennya. Oleh karena keputusan
pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat federal maka keputusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah yurisprudensi, namun
meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka hukum sementara guna
melaksanakan Euthanasia.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penyebab Terjadinya Euthanasi

Setiap kegiatan Euthanasia pasti dilatarbelakangi oleh berbagai macam alasan atau penyebab.
Alasan-alasan ini muncul karena terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh orang yang akan
di Euthanasia. Berikut adalah beberapa penyebab atau alasan Euthanasia terjadi atau dilakukan:
a. Proses pembunuhan
Pasien yang mengalami penderitaan sakit yang sangat sering muncul rasa “putus asa”
apalagi kalau ia tahu bahwa sakitnya tidak bisa disembuhkan. Maka ia berpikir lebih baik
“cepat mati” saja sehingga penderitaannya berakhir dan tidak membebani keluarganya, ia
akan “meminta” dokter supaya disuntik mati saja. Jika yang meminta Euthanasia itu adalah
pasiennya sendiri berarti yang dilakukan adalah “tindakan bunuh diri”. Sedangkan bila
pasiennya sudah tidak sadarkan diri dan
koma dengan waktu yang cukup lama, dan yang meminta Euthanasia itu keluarganya berarti
yang dilakukan adalah “membunuh”. Hal itu nampaknya sebagai “pertolongan”
membebaskan penderitaan yang menyakitkan. Tetapi Euthanasia adalah perbuatan
“membunuh”, karena hak yang menentukan kematian adalah Tuhan, bukan manusia, dan
bukan pula dokter. Pasien atau keluarga yang meminta dan dokter yang melakukan
Euthanasia berarti ia yang “melakukan pembunuhan atau bunuh diri”.
b. Melanggar sumpah dokter
Dokter dalam sumpah pelantikannya adalah wajib berupaya untuk menolong dan
menyembuhkan pasien “semaksimal” mungkin, demi untuk “memperpanjang” hidupnya,
bukan menghentikan hidup pasiennya apapun alasannya. Panggilan dokter adalah
“mengabdikan diri” kepada kelangsungan kehidupan manusia. Terhadap permintaan
Euthanasia, seorang dokter harus berani “menolaknya” dengan tegas, tanpa perlu
pertimbangan-pertimbangan rasa kasihan yang dapat membuat
goyah pendiriannya.
c. Kehabisan biaya
Sering kali permintaan Euthanasia bisa terjadi karena keluarganya sudah “kehabisan biaya”,
harta dan rumahnya sudah terjual semua, sedangkan kondisi pasiennya tidak ada kemajuan
bahkan semakin memburuk atau sudah koma.Permintaan Euthanasia bisa datang dari
keluarga, karena pasien sudah tidak sadar. Memang kelihatannya perbuatan Euthanasia adalah
“perbuatan baik” yang menolong seseorang dari penderitaan dan kesulitan biaya keluarganya,
namun tetap itu adalah sebuah“pembunuhan”.

3.2 Kasus-Kasus Euthanasia

Berikut ini merupakan contoh-contoh kasus yang berkaitan dengan Euthanasia:


a. Kasus “Doctor Death”
Dr. Jack Kevorkian dijuluki “Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe. Pada awal
April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, California. Diduga puluhan pasien telah
“ditolong” oleh Kevorkian untuk mengakhiri hidup. Kevorkian berargumen apa yang
dilakukannya semata demi “menolong” pasien-pasiennya. Namun, para penentangnya
menyebut apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.
b. Kasus Hassan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan Euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2014 telah
diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya
yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu,
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan Euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk Euthanasia yang di luar keinginan pasien.
Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani
perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan
dalam pemulihan kesehatannya.
c. Kaus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah
Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang
selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada
tahun 1990, saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo,
dalam keadaan gagal jantung. Setelah memanggil ambulans
dan tim medis, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia
mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis,
gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsur potasium dalam tubuhnya. Oleh
karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktik dan harus membayar ganti rugi cukup
besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yang membahayakan ini pada
pasiennya. Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada
bulan Mei 1998 suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke
pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat
meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler
menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka
tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah
beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya
hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga
Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat
undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan
hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika
Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di
Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim
federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.
d. Kasus Rumah Sakit Boramae – Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita
penyakit sirosis hati. Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30
tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si
pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa
kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang
dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk
tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. Satu minggu sebelum meninggalnya, si pasien
amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter
mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat
bertahan hidup selama 24 jam saja.
e. Kasus Seorang Wanita New Jersey – Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21
April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena
kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.
Karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut.Kasus permohonan ini kemudian
dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orangtua pasien
ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun
dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut,
pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan
tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi
paru-paru (pneumonia).
f. Kasus BBC
Seorang warga Swiss bunuh diri dibantu medis atau Euthanasia. Disaksikan keluarganya, ia
menenggak obat mematikan di satu klinik di Swiss. Proses menuju kematian itu, disiarkan
oleh televisi BBC. Kontroversi pun sontak merebak. Nama pria itu adalah Peter Smedley
berusia 71 tahun dan sedang sakit parah yang tak mungkin disembuhkan lagi. Pemilik hotel
ini pun memutuskan untuk mengakhiri penderitaan itu dengan cara meminum obat
mematikan.Niatnya itu bisa terlaksana karena di negaranya, Swiss, Euthanasia tidak terlarang.
Ia pun meminta dokter di satu klik bernama Dignitas memberikan obat mematikan,
barbituates. Entah bagaimana dia memberikan izin kepada Sir Terry Pratchett, pembawa acara
Terry Pratchett: Choosing To Die, untuk merekam momen terakhirnya saat meminum racun.
Itu terjadi sebelum Natal tahun lalu.
Dalam gambar yang ditayangkan di BBC, sang pasien, Smedley, didampingi dokter dari
klinik dan istrinya Christine. Dalam hitungan detik, ia meninggal di kursinya.tayangan itu,
debat panas muncul di Twitter, media sosial lainnya serta media cetak membuat BBC dijuluki
'pemandu sorak' Euthanasia. Warga pun menulis pengaduannya pada Dirjen Mark
Thompson dan Kepala BBC Lord Patten mengenai acara itu.
Warga menganggap acara ini 'tak pantas'. Kelompok amal, politik, dan agama bergabung
menyatakan acara ini 'propaganda' Euthanasia. Dalam gugatan, tertulis, "Menayangkan
kematian pasien di acara demi hiburan, BBC harus punya alasan kuat”. Baroness Campbell of
Surbiton, Baroness Finlay of Llandaff, Lord Alton of Liverpool dan Lord Charlie of
Berriew mengatakan, BBC menayangkan acara ini guna mendukung bunuh diri yang dibantu.
Alhasil, hampir 900 warga membuat pengaduan resmi pada BBC atas program itu. Juru bicara
BBC menambahkan, "Terkait acara ini, kami punya 82 apresiasi dan 162 pengaduan, total
pengaduan pun menjadi 898". Regulator media Ofcom sendiri mengakui seperti dikutip
Dailymail, BBC mendapat 'banyak' pengaduan.

3.3 Aspek-Aspek Euthanasia


Terdapat beberapa aspek-aspek yang berkaitan dengan Euthanasia. Diantaranya sebagai berikut.

3.3.1 Aspek Hukum


Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter
sebagai pelaku utama Euthanasia, khususnya Euthanasia Aktif dan dianggap sebagai suatu
pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam
aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan Euthanasia, tanpa
melihat latar belakang dilakukannya Euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan
tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien
dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di
lain pihak hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat
menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang undang yang terdapat dalam
KUHP Pidana.
3.3.2 Aspek Hak Asasi
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak
tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru di hubungkan
dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum Euthanasia, yang
cenderung menyalahkan tenaga medis dalam Euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk
hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati,
apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari
segala penderitaan yang hebat
.
3.3.3 Aspek Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis
untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan
penderitaan, segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan
terseret dalam pengurasan dana.

3.3.4 Aspek Agama


Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini
yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini
menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan Euthanasia, apapun alasannya Dokter
bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek
umur. Orang yang menghendaki Euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan
kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak
berkenan dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan apalagi sekarat,
tidak pernah dikaitkan dengan pernyataa
n agama yang satu ini. Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila
dikaitkan dengan usaha medis bisa menimbulkan masalah lain.
Mengapa orang harus ke dokter dan berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur
mutlak di tangan Tuhan, kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya
mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan
kehendak Tuhan. Dalam hal-hal seperti ini, manusia sering menggunakan standar ganda. Hal-hal
yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum-hukum yang ada, atau bahkan mencarikan
dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal
tersebut kurang cocok dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
3.4 Terminologi Euthanasia
Sejak abad ke-19, terminologi Euthanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan
peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Pemakaian terminologi Euthanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu:
a. Pemakaian secara sempit. Secara sempit, Euthanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa
sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian.
b. Pemakaian secara luas. Secara luas, terminologi Euthanasia dipakai untuk perawatan yang
menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan resiko efek hidup diperpendek.
c. Pemakaian paling luas. Dalam pemakaian yang paling luas ini, Euthanasia berarti
memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan
untuk menghilangkan penderitaan pasien.
Menurut hasil seminar aborsi dan Euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum dan psikologi,
Euthanasia diartikan:
1. Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
2. Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup pasien
3. Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa
permintaan pasien. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata Euthanasia
dipergunakan dalam tiga arti:
a. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk yang
beriman dengan nama Allah dibibir
b. Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya
obatpenenang.
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri dan keluarganya.
Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Euthanasia
adalah sebagai berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk mengakhiri hidup.
2. Mempercepat kematian atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

3.5 Faktor Yang Mempengaruhi Euthanasia

Terdapat beberapa faktor pro dan kontra yang mempengaruhi terjadinya Euthanasia. Faktor-faktor
tersebut diantaranya:
a. Rasa sakit yang tidak tertahankan
- pro : melihat salah satu anggota keluarganya menderita penyakit ganas yang tidak
kunjung sembuh merupakan kepedihan. Mereka tidak tega melihat pasien tersebut tersiksa dengan
rasa sakitnya. Oleh karena itu, mereka menyetujui untuk melakukan Euthanasia.
- kontra : rasa sakit yang tidak tertahankan bukanlah suatu alasan bagi seseorang untuk
memutuskan mengakhiri hidupnya. Kita boleh menghindari dari rasa sakit itu, tetapi tidak berarti
kita dapat menghalalkan segala cara. Memutuskan untuk mati bukanlah cara yang tepat. Allah
yang berhak untuk
memutuskan kehidupan dan kematian seseorang. Melalui situasi ini,
seseorang pun dapat mengambil suatu pembelajaran. Kondisi tersebut
membuat iman kita teruji, hubungan kita dengan Allah akan semakin dekat,
kita pun juga akan menjadi bergantung dan menyerahkan segala kehidupan
kita kepadaNya. Allah pasti memiliki rencana yang indah bagi semua orang.

b. Manusia memiliki hak untuk mati secara bermartabat


- pro : manusia telah menjalani proses kehidupan yang begitu
panjang dan begitu banyak pengalaman. Manusia melalui jalan kehidupannya karena pilihannya
sendiri di awal kehidupannya, sehingga manusia pula yang akan memilih jalan kehidupannya
untuk mengakhiri hidupnya merupakan hak manusia untuk memilih tetap hidup atau mengakhiri
kehidupannya dengan damai,tanpa rasa sakit.
- kontra : banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak asasi manusia, yaitu
“hak untuk menentukan diri sendiri”. Menurut masyarakat, manusia memiliki hak untuk
menentukan pilihannya sendiri untuk tetap hidup atau mati dengan tenang. Penolakan atas hak
untuk mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang wajib dijunjung dan
dihormati. Pandangan ini merupakan pandangan yang salah. Memang manusia diberi hak untuk
menentukan diri sendiri, tetapi bukan untuk menentukan kapan kehidupannya berakhir. Manusia
diberikan hak untuk menentukan prinsip hidupnya, menentukan tujuan hidupnya tanpa hasutan
dari orang lain,menentukan sikap dan tingkah lakunya sendiri, tetapi bukan menentukan
kematiannya. Hidup atau mati merupakan kedaulatan Allah. Allah adalah pencipta dan pemilik
segala sesuatu (Kejadian 1:1, Mazmur 24:1), termasuk manusia yang diciptakan menurut gambar-
Nya (Kejadian 1:27). Allah yang memberikan kita nafas dan hidup, maka Allah lah yang berhak
mencabutnya. Jika kita melakukan Euthanasia, maka sama saja kita mendahului kehendak Allah.
Kita adalah manusia, bukan Allah.
c. Ketidakmampuan dalam pembiayaan pengobatan
- pro : biaya pengobatan tidak tergolong murah, apalagi jika pasien menderita
penyakit parah dan harus rawat inap di rumah sakit. Karena dana tidak cukup untuk
menutup semua biaya, akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan
Euthanasia.
- kontra : kita harus dapat membedakan antara ketidakmampuan dengan
ketidakmauan untuk membiayai pengobatan. Ketidakmauan untuk membiayai pengobatan
secara tidak langsung tergolong sebagai tindakan membunuh dan merupakan tindakan dosa.
Maksudnya, seseorang sadar bahwa ia mampu membiayai pengobatan salah satu anggota
keluarganya (walaupun tidak dalam jumlah besar), tetapi ia tidak melakukannya dan
membiarkannya. Hal ini menandakan bahwa orang tersebut terlalu materialistik (terlalu cinta
uang, gila harta) hingga menghiraukan nyawa seseorang. Ingatlah bahwa nyawa seseorang
lebih berharga daripada harta yang kita miliki. Kita tidak dapat membayar nyawa dengan
uang atau dengan apa pun juga. Jika seseorang membiayai seluruh pengobatan yang dijalani
oleh salah satu anggota keluarganya, tetapi suatu ketika uang yang dimilikinya habis sehingga
ia memberhentikan pengobatan medis dan memutuskan untuk merawatnya sendiri di rumah
merupakan tindakan yang tidak tergolong dosa. Orang tersebut sadar bahwa ia mampu dan ia
memberikan yang terbaik untuk kesehatan salah satu anggota keluarganya tersebut. Ia tidak
mementingkan dirinya sendiri, tetapi rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain.
Yang terpenting ialah ia sadar dan berusaha semaksimal mungkin demi kepentingan orang
lain, bukan harta.

d. Keadaan seseorang yang tidak berbeda dengan orang mati


- pro : menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas
SaintLouis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, sekitar 84% dari seluruh
warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat dikatakan mati apabila yang
membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan dan mesin medis. Hal ini menjadi alasan
beberapa orang untuk melakukan Euthanasia. Mereka berpikir bahwa seseorang yang hanya
bernafas karena bantuan mesin tersebut sudah tidak menunjukkan adanya suatu interaksi
dengan orang lain atau respons dan secara kebetulan bisa bernafas karena kecanggihan dari
penerapan teknologi saja sehingga tidak ada salahnya untuk melakukan Euthanasia karena
pada dasarnya orang tersebut sudah mati sehingga dengan kata lain kita tidak mencabut
nyawa seseorang.

- kontra : sebenarnya walaupun seorang pasien tidak dapat berinteraksi (dalam keadaan
koma), orang tersebut tetap dikatakan hidup karena masih dapat bernafas, meskipun hanya
karena bantuan dari mesin medis. Selama orang tersebut dapat bernafas dan jantungnya
berdetak,orang tersebut dikatakan hidup. Jantung adalah organ yang memompa darah ke
seluruh tubuh. Ketika jantung ini tidak berfungsi, darah tidak akan mengalir dan kondisi
inilah yang disebut dengan kematian. Walaupun orang tersebut tidak lagi memberikan respon,
jika orang tersebut masih dapat makan, minum, dan bernafas, maka ia tetap dikatakan hidup
karena sumber energi kehidupan manusia berasal dari ketiga aktivitas tersebut.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan. Maka
menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang
sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan.
Aturan mengenai masalah Euthanasia berbeda-beda di tiap- tiap negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya. Di beberapa negara, Euthanasia
dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan Euthanasia tetap dilarang karena tidak ada dasar
hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal 344, pasal 355
dan pasal 359.
Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang
sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi.
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada pengaturan
(dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang Euthanasia. Maka, satu-satunya
yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia.
Jadi di Indonesia, Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari kode etik kedokteran,
undang-undang hukum pidana, maupun menurut setiap agama, yang menghukumkannya haram.
Sedangkan Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi pasien berupa batang otaknya
sudah mengalami kerusakan fatal.

4.2 Saran
Dalam makalah ini, penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi layanan
kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan Euthanasia, karena jika dilihat dari segi
hak asasi manusia setiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama, yang
mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
Daftar Pustaka
 Ann.2005. Malpraktik Keperawatan: Menghindari Masalah Hukum. Jakarta: EGC.
 Potter, Perry. 2005. Fundamental Keperawatan.Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
 William, Lippincot and Walkins. 2004. Nurse’s Legal handbook. 5 USA: Springhouse
Corporation.
 Zuhroni,dkk. 2003. Islam Untuk Disiplin Ilmu Kesehatan dan Kedokteran 2. Jakarta:
Departemen Agama RI. blogperawat.com. 2010. Euthanasia Dalam Keperawatan.
http://keperawatanreligionnabilah.wordpress.com/materi-2/kasus-euthanasia-killing-
yangterjadi-di-dunia/

Anda mungkin juga menyukai