Anda di halaman 1dari 15

JOURNAL READING

CURRENT TREATMENT OF BEHAVIOUR AND COGNITIVE


SYMPTOMS OF PARKINSON’S DISEASE

Pembimbing:
dr. Hophoptua N.Manurung, Sp.S, MARS.

Disusun oleh:
Swastika Santila Rudani Ake
2065050091

KEPANITERAAN KLINIK ILMU SARAF


PERIODE 18 JANUARI – 30 JANUARI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2021
ABSTRAK

Gejala kognitif dan perilaku umum ditemukan pada penyakit Parkinson, dapat terjadi bahkan
pada stadium prodromal penyakit, memburuk dengan perkembangan penyakit dan melebihi
gejala motorik sebagai faktor utama yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan beban
pengasuh. Gejalanya mungkin disebabkan oleh patologi penyakit atau mungkin saja mewakili
efek samping pengobatan, atau bisa oleh karena kedua faktor tersebut. Meskipun banyak dari
gejala terkait dengan disfungsi dopaminergik atau pengobatan dopaminergik dan
neurotransmitter lainnya juga terlibat. Gejala tingkah laku yang dapat ditemukan yaitu gangguan
kontrol impuls, apatis, psikosis, serta gangguan kognitif ringan dan demensia dapat ditinjau
dengan fokus pada pendekatan pengobatan saat ini.

1.Pendahuluan
Gejala perilaku dan kognitif sangat umum di Penyakit Parkinson (PD) dan prevalensinya
meningkat seiring dengan perkembangan penyakit. Gejala-gejala tersebut membuat pasien dan
keluarganya tertekan, berdampak besar pada kualitas hidup pasien, dan juga meningkatkan stres
pada pengasuh pasien lebih dari gejala motorik pada parkinsonisme. Saat ini tersedia pilihan
pengobatan untuk gangguan kognitif dan demensia, psikosis, apatis, dan gangguan kontrol
impuls secara keseluruhan kurang berhasil untuk gejala jangka panjang apabila dibandingkan
dengan pengobatan pilihan untuk tremor, rigiditas, bradikinesia, dan fluktuasi motorik dan
diskinesia.
Bahkan gejala kognitif, motorik dan perilaku pada pasien menurun jika tidak berbagai
pilihan pengobatan untuk gejala motoric Penyakit Parkinson. Terkadang dokter hanya
mempunyai sedikit pilihan antara kondisi motorik yang membaik dan kondisi perilaku yang
memuaskan bagi pasien. Perawatan multidisiplin, melibatkan ahli saraf dan khususnya spesialis
gangguan gerakan, psikolog, psikiater, ahli bedah saraf fungsional, spesialis perawat, social
pekerja, dan konseling komprehensif untuk pasien dan pengasuhnya dibutuhkan.

2. Gangguan Kontrol Impuls


Gangguan Kontrol Impulse (ICD) adalah kegagalan untuk menahan impuls, dorongan,
atau godaan untuk melakukan aktivitas. Perilaku ini bersifat impulsif dan kompulsif, dan
dilakukan secara berlebihan sehingga mengganggu dalam menjalani kehidupan. ICD
dikonseptualisasikan sebagai kecanduan dalam berperilaku.
ICD yang paling umum termasuk perjudian, berbelanja yang kompulsif, dan perilaku
seksual dan makan yang bersifat kompulsif. Menurut edisi kelima Manual Diagnostik dan
Statistik Asosiasi Psikiatri Amerika (DSM-V), ICD adalah gangguan kontrol impuls dan perilaku
yang mengganggu, termasuk kondisi yang melibatkan masalah dalam pengendalian emosi diri
dan perilaku. Prevalensinya sangat bervariasi, dari 3,5 hingga 42%. Berdasarkan hasil meta-
analisis dari 14 penelitian termasuk 2.371 pasien penyakit parkinson dan 2.168 kontrol sehat,
pasien Penyakit parkinson memiliki ICD dengan rasio yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol sehat, dengan rasio odds ICD 2,07 dan 4,26 untuk hiperseksualitas.
Studi menunjukkan faktor risiko ICD adalah: jenis kelamin laki-laki, usia lebih muda,
usia lebih muda, onset penyakit parkinson, durasi penyakit, gejala non-motorik yang lebih parah,
impulsif atau riwayat merokok, penyalahgunaan zat, riwayat keluarga berjudi, kualitas terkait
Penyakit parkinson dengan kualitas hidup yang buruk, dan belum menikah; kerentanan genetik
juga berperan. Tingkat keparahan ICD bervariasi, tetapi dapat menyebabkan konsekuensi yang
menghancurkan, termasuk kehancuran finansial, perceraian, kehilangan pekerjaan, dan
peningkatan risiko penurunan kesehatan.
Mereka diasosiasikan dengan penurunan kualitas hidup, dan peningkatan beban
pengasuh. Studi pencitraan menunjukkan penurunan ketebalan kortikal dan disfungsi dopamin
(peningkatan pelepasan dopamin pada ventral striatum dan kelainan reseptor D3), juga pada
korteks parietal dorsolateral prefrontal, orbitofrontal, dan posterior. Peran serotonin telah
diperdebatkan, dan studi neuropsikologi telah menunjukkan berkurangnya kognitif dan
perencanaan.

2.1 Pengobatan
Dalam studi DOMINION, yang mengevaluasi lebih dari 3000 pasien Penyakit Parkinson
dalam pengobatan, ICD lebih banyak ditemukan pada pasien yang menjalani pengobatan dengan
agonis dopamin (17,1%) dibandingkan pada pasien yang tidak menjalani pengobatan (6,9%).
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit parkinson memiliki
peningkatan risiko memiliki lebih dari satu ICD. Studi kohort prospektif ditunjukkan bahwa
hampir 40% pasien menerima terapi agonis dopamin tanpa ICD, lalu setelah empat tahun ICD
mulai terlihat. insiden kumulatifnya dalam 5 tahun adalah 46% [27]; dalam studi ICD dikaitkan
dengan penggunaan agonis dopamine dan juga dengan dosis agonis dopamin.
Karena itu, mengurangi dosis agonis dopamin atau menghentikan obat sepenuhnya
tampaknya merupakan pilihan yang masuk akal untuk manajemen gejala. Namun, banyak pasien
tidak mau atau tidak mentolerir penghentian agonis dopamin, dan dopamin agonis withdrawal
syndrome (DAWS) dapat berkembang pada sekitar 20% pasien PD yang menghentikan
pengobatan agonis dopamin. DAWS ditandai dengan kecemasan, panik,apatis, sosial fobia,
kelelahan, cepat marah, disforia, depresi, nyeri,mual, muntah, hipotensi ortostatik, mengidam
obat, dan ide untuk bunuh diri. Konseling keluarga, tindakan seperti membatasi sementara
keuangan pasien, dan perubahan dalam pengobatan juga perlu.
Menariknya, studi cross-sectional menggunakan pasien dengan oral agonis dopamin
versus rotigotin transdermal ditemukan signifikan penurunan ICD dengan rotigotine: hampir dua
kali lebih banyak pasien yang minum oral pramipexole atau ropinirole memiliki ICD
dibandingkan pasien dengan pengobatan patch transdermal rotigotine. Hasilnya dilaporkan juga
dalam studi observasional dengan 425 pasien penyakit parkinson. studi longitudinal baru-baru ini
dan studi kasus menunjukkan manfaat penggunaan dopaminergik yang berlanjut seperti infus
intrajejunal kontinyu levodopa atau bahkan infus subkutan apomorphine digunakan untuk ICD.
Laporan kasus dan studi kasus menjelaskan efek neuroleptik, antidepresan, S5αR
inhibitor finasteride dan berbagai obat antikonvulsan; Namun, tidak ada bukti yang jelas
penggunaan obat ini dalam pengobatan ICD. pada studi acak selama 8 minggu dan studi kontrol
menyelidiki antagonis opioid naltrexone pada 50 pasien Penyakit parkinson dengan ICD,
penelitian selama 17 minggu meneliti antagonis NMDA amantadine pada 17 pasien penyakit
parkinson dengan perjudian patologis. Kedua obat menunjukkan beberapa kemanjuran. Namun
studi DOMINI menunjukkan peningkatan risiko ICD pada pasien yang memakai obat
amantadine. Terapi perilaku kognitif mungkin juga membantu.
Hubungan antara stimulasi otak dalam (DBS) dengan ICD tampak rumit. pada bukti
anekdot setelah dilakukan DBS pada inti subthalamic hasilnya telihat perjudian patologis yang
memburuk. Pasien yang menerima DBS mungkin juga menjadi lebih impulsif dalam
pengambilan keputusan mereka. Namun penelitian lain menggunakan subthalamic nucleus
(STN) atau globus pallidus interna (GPi) DBS menunjukkan peningkatan ICD. Baru-baru ini
diterbitkan hasil studi stimulasi dini pada subthalamic nucleus (STN) DBS bilateral pada pasien
penyakit parkinson dengan gejala non motorik mengungkapkan peningkatan hyperdopaminergic
yang mengakibatkan gangguan dalam berperilaku.
Studi ini merekrut 251 pasien parkinson yang cacat akibat komplikasi dini gerakan
motorik, 127 di antaranya dialokasikan dalam terapi medis secara acak dan 124 orang diberikan
stimulasi STN bilateral plus terapi medis. Sedangkan hasil utama adalah perubahan kualitas rata-
rata kehidupan dari awal hingga sampai dua tahun, evaluasi hasil perilaku dalam analisis
sekunder. Dalam dua tahun, gangguan perilaku telah menurun dengan stimulasi STN bilateral
ditambah terapi medis (perubahan rata-rata: 1,26 poin) sementara itu meningkat pada pasien
yang hanya minum obat (perubahan rata-rata: +1,12 poin); perbedaannya bermakna secara
statistik (p <0 · 0001). Sayangnya, penelitian tersebut tidak cukup kuat untuk menilai perubahan
pada ICD individu. Begitu pula dengan Abbes dkk melaporkan peningkatan semua ICD dan
kecanduan dopaminergik, selain dari perilaku makan dan hiperseksualitas, dalam jangka panjang
studi kohort tindak lanjut menilai 69 pasien penyakit parkinso dengan rata-rata jangka waktu 6
tahun (3–10 tahun).

3. Apatis
Apatis didefinisikan sebagai gangguan hilangnya motivasi yang terus berlanjut dari
waktu ke waktu. Motivasi yang berkurang selama empat minggu, berkurangnya motivasi
melakukan perilaku yang diinginkan, penurunan kognitif, juga timbulnya emosi. Gejala ini tidak
bisa dikaitkan dengan penurunan tingkat kesadaran, gangguan kognitif, atau tekanan emosional.
Selain itu, ada gangguan fungsional yang dapat diidentifikasi yang disebabkan oleh sikap apatis.
Apatis mungkin hidup berdampingan dengan depresi, kelelahan, penurunan kognitif, dan
demensia.
Apatis sering terjadi pada penyakit parkinson, mempengaruhi 20-40% pasien penyakit
parkinso tanpa demensia; prevalensi kumulatifnya pada penyakit Parkinson demensia (PDD)
dapat mencapai hingga 60% setelah 5–10 tahun. Apatis ditemukan 20% pada pasien yang tidak
mengkonsumsi obat,
dan mungkin tandai dengan gejala awal non-motorik dan gejala prodromal. Apatis terbukti
memprediksi penurunan kognitif dan demensia akhirnya juga meningkatkan beban dan
kesusahan pengasuh.Studi pencitraan anatomis dan metabolik mengungkapkan kelainan
precuneus, korteks fronto-parietal dan orbitofrontal, insula, dan ventral striatum dan jalur
mesocorticolimbic, yaitu daerah terlibat dalam perhatian, fungsi eksekutif, dan emosi.
Studi pencitraan fungsional menemukan terjadinya denervasi pada limbik dopaminergik
serta lesi noradrenergik dan serotonergik. Sikap apatis dapat terjadi sebagai bagian dari dopamin
withdrawal syndrome (DAWS). Dari 63 pasien penyakit parkinson yang diobati dengan stimulasi
STN, di antaranya dengan pengobatan dopaminergik menurun 82% dalam waktu 2 minggu
setelah operasi. apatis terjadi pada 34 pasien selama 4,7 bulan dan setengahnya dapat menjadi
reversible dalam follow up selama 12 bulan. apatis setelah DBS dapat disembuhkan dengan
pemberian pengobatan dopaminergik dan agonis dopamin khususnya yang bekerja D2 / D3.

3.1 Pengobatan
Pengobatan untuk sikap apatis termasuk konseling bersama keluarga dan pasien, terapi
perilaku untuk mengambalikan fungsi eksekusif, dan penggunaan obat untuk mengobati
gangguan mood dan gangguan kognitif. Terapi psikososial dan perilaku dilakukan setiap hari
membantu untuk mempertahankan tingkat aktivitas yang memuaskan. Terbatasnya studi
pengobatan spesifik apatis pada penyakit parkinson; mencakup pencobaan mengevaluasi efek
agonis dopamin, methylphenidate, dan penghambat kolinesterase. Hanya dua uji coba double
blind acak terkontrol dengan sikap apatis sebagai hasil utama telah dipublikasikan, menilai efek
dari rivastigmine transdermal dan piribedil oral. Pengobatan dengan beberapa antidepresan,
seperti SSRI, dikaitkan dengan sikap apatis yang memburuk.
Para penulis secara retrospektif menilai 181 Pasien penyakit parkinson dengan
mempelajari hubungan antara apatis daengan penggunaan berbagai obat. Penggunaan inhibitor
monoamine oxidase B dikaitkan dengan berkurangnya sikap apatis. Weintraub dkk menunjukkan
bahwa atomoxetine tidak meningkatkan sikap apatis pada pasien penyakit parkinson dengan
depresi dan apatis. Adapun agonis dopamin, Thobois et al. dilakukan dalam 12 minggu uji coba
terkontrol acak yang apatis merespons piribedil, yaitu agonis reseptor dopamin D2 / D3.
Penelitian dilakukan pada 37 pasien dengan apatis (Starkstein Apathy Scale score> 14)
mengikuti stimulasi STN.
Pasien menerima piribedil, hingga 300 mg per hari (n = 19), atau plasebo (n = 18). Pada
kunjungan tindak lanjut, skor apatis berkurang 34,6% pada piribedil; itu menurun sebesar 3,2%
pada plasebo (p = 0,015). Dalam studi terkontrol secara acak termasuk 122 pasien PD, Hauser et
al. menunjukkan rotigotine meningkatkan mood / apatis dari Gejala Non-Motorik dari Skala
(NMSS), yang merupakan hasil sekunder dari penelitian. Pos Analisis hoc dari studi RECOVER
juga menemukan peningkatan pada sikap apatis setelah penggunaan patch rotigotine selama 4
minggu [78]. Hasil serupa ditunjukkan dengan pramipexole. Sebuah meta-analisis dari 6 uji coba
terkontrol secara acak dengan rotigotine di total 1675 pasien yang dikumpulkan mengungkapkan
bahwa patch transdermal rotigotine secara signifikan meningkatkan gejala non motorik pasien
penyakit Parkinson.
Methylphenidate, obat psikostimulan dopaminergik (5 mg perhari) ditemukan bermanfaat
dalam laporan kasus dan dalam kasus kecil kelompok 7 pasien yang dirawat dengan dosis tinggi
methylphenidate (1 mg /kg) selama 90 hari setelah STN DBS. Rivastigmin penghambat
kolinesterase transdermal (9,5 mg / hari) adalah terbukti secara signifikan meningkatkan sikap
apatis setelah 6 bulan pengobatan pada studi double-blind, plasebo terkontrol dari 31 pasien
dengan apatis sedang sampai berat, tetapi tanpa demensia atau depresi. Berdasarkan hasil studi
stimulasi kini (EARLYSTIM) , sikap apatis tidak berubah secara signifikan dalam dua tahun
setelah Operasi stimulasi STN.
Apatis diukur menggunakan subskor hipodopaminergik dari Skala Ardouin dan Skala
Apatis Starkstein. Sebagai catatan, dosis yang setara dengan levodopa dikurangi dengan sangat
lambat dan hanya 39% pada pasien yang menjalani DBS; meningkat 21% pada mereka yang
telah diberikan farmakoterapi saja.tidak ada perbedaan dalam perubahan skala antara kedua
kelompok. Studi kohort menilai gejala neuropsikiatri setelah Simulasi STN dengan durasi tindak
lanjut rata-rata 6 tahun setelah operasi mengungkapkan memburuknya sikap apatis pada 25%
pasien dibandingkan dengan 3% sebelum operasi.

4. Psikosis
Diagnosis psikosis pada penyakit parkinson, setidaknya salah satu dari berikut gejala
berikut harus ada: ilusi, halusinasi, atau delusi. Gejala berulang atau terus menerus setidaknya
selama satu bulan, dan tidak dipicu oleh kondisi medis manapun. Biasanya terjadi setelah onset
penyakit parkinson; Namun, studi kohort prospektif baru-baru ini mengungkapkan bahwa
halusinasi kecil (termasuk halusinasi penglihatan dan ilusi visual) dapat hadir pada hingga
40%pada pasien yang tidak mengkonsumsi obat (dibandingkan dengan hanya 5% yang sehat
dengan kontrol usia yang sama), dapat didahului dengan gejala motorik penyakit parkinson
selama 7-8 bulan.
Gejala psikotik bisa ringan atau berat dan gejala dapat disertai dengan gangguan afektif.
Gejala psikotik lebih sering terjadi pada demensia penyakit parkinson. Prevalensi halusinasi
(biasanya gambar visual orang atau hewan) adalah 20-40%, dengan prevalensi kumulatif
mencapai hingga 85%; prevalensi delusi sekitar 5–15%, Faktor risiko psikosis penyakit
parkinson termasuk usia yang lebih tinggi, onset penyakit yang lebih lambat, penyakit parkinson
yang parah, durasi penyakit yang lebih lama, hiposmia, depresi, mengantuk, gangguan perilaku
tidur REM, gangguan penglihatan, defisit visuospasial dan gangguan perhatian.
Patologi otak dan perubahan neurotransmitter ditemukan terkait dengan peningkatan
risiko gejala psikotik pada pasien parkinson termasuk terutama badan Lewy di lobus temporal
dan defisit kolinergik. Patologi penyakit Alzheimer juga mungkin berperan. studi pencitraan juga
menunjukkan defisit dopaminergik striatal (terutama ventral), hipersensitivitas reseptor DA
mesokortikolimbik, dan peningkatan ikatan reseptor serotonin-2A (5HT2A) di dalam jalur visual
ventral.
4.1 Pengobatan
Semua obat antiparkinson dan bahkan DBS dapat memicu atau memperburuk keadaan
psikosis, dan beberapa percobaan agonis dopamin telah menunjukkan peningkatan risiko
halusinasi visual dibandingkan dengan plasebo. Di sisi lain, pemberian agonis dopamin D1 / D2
secara terus menerus apomorphine dalam infus subkutan bahkan mungkin memiliki efek
menguntungkan dalam pengobatan psikosis. Pendekatan pengobatan bertujuan
mengesampingkan penyebab medis seperti mengigau, infeksi, atau gangguan metabolisme, dan
menghilangkan iatrogenik penyebab. Obat antikolinergik harus dikurangi secara perlahan dan
dihentikan, diikuti oleh penghambat MAO dan agonis dopamin.
Jika memungkinkan, dosis levodopa total (± penghambat COMT) juga harus dikurangi.
Pendekatan psikoedukatif, seperti konselling, melakukan intervensi kognitif dan lingkungan,
seperti menyalakan lampu, berinteraksi dengan pengasuh, berkonsentrasi pada objek halusinasi
atau mengalihkan pandangan objek halusinasi, dan "koping" harus diperkenalkan. Jika
pendekatan ini gagal, maka clozapine (bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2 dan
reseptor serotonin 2A) harus dimulai, karena ini adalah satu-satunya obat antipsikotik atipikal
yang dengan jelas menunjukkan kemanjuran untuk pengobatan psikosis pada penyakit parkinson.
Namun, penggunaannya dipersulit oleh risiko agranulositosis (meskipun jarang, mungkin terjadi
pada 0,38% pasien yang dirawat), dan oleh karena itu perlu pemantauan sering dilakukan. Oleh
karena itu, quetiapine biasanya yang pertama untuk memulai obat antipsikotik.
Dianjurkan untuk mentitrasi obat dengan sangat lambat, hingga satu dosis 100–150 mg /
hari. Jika ini tidak berhasil, direkomendasikan beralih ke clozapine. Obat antipsikotik lain, sangat
khas neuroleptik, dikontraindikasikan karena perburukan motorik, penurunan kognitif, kantuk
dan kebingungan, hipotensi ortostatik, inkontinensia, dan jatuh. Peringatan untuk peningkatan
kematian dan kejadian serebrovaskular untuk pasien lanjut usia yang berhubungan dengan
psikosis demensia juga relevan untuk pasien penyakitv parkinson dengan demensia.
Pimavanserin, agonis invers 5-HT2A selektif tanpa efek dopaminergik, adrenergik,
histaminergik, atau muskarinik telah disetujui oleh FDA pada tahun 2016 dan terbukti efektif dan
aman dalam pengobatan dari psikosis Penyakit parkinson.
Studi double-blind acak selama 6 minggu studi membuktikan kemanjurannya pada 95
pasien dengan usia rata-rata 72 tahun disertai psikosis dibandingkan dengan 90 pasien yang
menggunakan plasebo. Skala untuk menilai gejala positif pada Penyakit parkinson (SAPS-PD)
menurun 5,79 poin pada kelompok pimavanserin dibandingkan dengan 2,73 poin pada kelompok
plasebo(perbedaan −3.06, 95% CI -4.91 hingga −1.20; p = 0.001; Cohen d 0,50). Tidak ada
gejala parkinsonisme yang memburuk. Titik akhir penelitian lain juga menunjukan hasil seperti
tidur malam tanpa mengantuk di siang hari, dan mengurangi beban pengasuh. Hubungan antara
halusinasi visual dan penurunan kortikal aktivitas kolinergik menunjukkan bahwa agen
kolinergik dapat memperbaiki gejala psikotik pada pasien. Namun, meski beberapa laporan
kasus melaporkan beberapa efek positif dari penghambat kolinesterase (dan rivastigmin pada
khususnya) dalam halusinasi.

Hasil studi EXPRESS menilai kemanjuran rivastigmine dalam mengobati demensia


penyakit parkinson mengungkapkan bahwa dua kali lebih banyak pasien tanpa halusinasi visual,
menunjukkan bahwa rivastigmine dapat menghilangkan halusinasi visual pada pasien. Pasien
dengan demensia penyakit parkinson dan halusinasi visual memiliki efek yang lebih baik dari
rivastigmine dibandingkan tanpa halusinasi visual. Namun,studi double-blind acak baru-baru ini
menerbitkan evaluasi penggunaan awal dari penghambat kolinesterase lain seperti donepezil (5
mg per hari), pada 145 pasien penyakit parkinson disertai non-demensia selama periode dua
tahun tidak membuktikan adanya efek profilaksis perkembangan psikosis pada pasien.
Peningkatan signifikan pada halusinasi visual selama perawatan memantine dilaporkan untuk
demensia dengan lewy bodies.
Terapi elektrokonvulsif (ECT) belum dipelajari secara terkontrol uji coba, tetapi laporan
kasus terbaru dan rangkaian kasus menunjukkan perbaikan dalam pasien dengan parkinson dan
psikosis berat yang tidak menanggapi pengobatan farmakologis. Sedangkan ECT dapat
memperbaiki gejala motorik penyakit parkinson, juga dapat menyebabkan delirium pada pasien
dengan gangguan kognitif.

5. Gangguan Kognitif dan Demensia


Defisit awal kognitif sebagian besar mempengaruhi perhatian dan fungsi eksekutif,
terutama disebabkan oleh penipisan dopamine ganglia basalis dan di dalam sirkuit striato-
prefrontal dorsolateral serta di jalur mesocortical. Sistem kolinergik terlibat dalam disfungsi
kognitif dan jhususnya parkinson dengan demensia; sistem serotonergik, glutamatergik, dan
noradrenergik juga bisa terlibat. Gangguan kognitif ringan pada penyakit parkinson ditandai oleh
penurunan kinerja kognitif. Aarsland dkk. mengidentifikasi Gangguan kognitif ringan pada
18,9% pasien penyakit parkinson tanpa konsumsi obat; awalnya menunjukkan proporsi
gangguan kognitif ringan yang lebih rendah (9%).
Berdasarkan studi cross-sectional, gangguan kognitif ringan sekitar 25% dari semua
pasien penyakit parkinson; defisit fungsi perhatian / eksekutif tampaknya paling umum. penyakit
parkinson dengan gangguan kognitif ringan meningkatkan risiko demensia; terutama disfungsi
kortikal posterior dengan gangguan bahasa, praksis (gambar menggambar / menyalin), dan
defisit visuospasial terkait konversi yang cepat menjadi penyakit parkinson disertai demensia.
Pencitraan struktural dan fungsional mendukung gagasan ini. Faktor risiko klinis lainnya
termasuk usia yang lebih tinggi, riwayat keluarga parkinson dengan demensia, pendidikan
rendah, status sosial ekonomi rendah, keparahan dan durasi penyakit, subtipe motorik dengan
ketidakstabilan postural dan kesulitan gaya berjalan, adanya gangguan tidur, perubahan ritme
berbicara, dan kelainan genetik tertentu (terutama gen SNCA duplikasi / triplikasi, mutasi gen
glukoserebrosidase, H1 tau haplotipe, dan varian alel APOE4).
Pasien penyakit parkinson dengan demensia ditandai dengan penurunan kognitif yang
berbahaya dan progresif yang cukup parah untuk mengganggu kehidupan sehari-hari. Gangguan
pada lebih dari satu domain kognitif harus ada, dan gejala perilaku terkait seperti sikap apatis,
perubahan kepribadian dan suasana hati, halusinasi, delusi, dan kantuk yang berlebihan di siang
hari mungkin terjadi. Prevalensi rata-rata demensia pada pasien adalah antara 30 dan 40%.
Tingkat kejadian meningkat 5 sampai 6 kali dibandingkan dengan kontrol yang sehat sesuai usia,
dan prevalensi kumulatif selama 8 tahun setinggi 78%. Patologi penyakit parkinson dengan
demensia melibatkan α-synuclein yang tersebar luas, tetapi patologi penyakit Alzheimer,
perubahan vaskular, dan lainnya juga memainkan peran.

5.1 Pengobatan
Sebelum pengobatan simtomatik dipertimbangkan, faktor yang harus dikesampingkan
termasuk penarikan obat penenang dan obat dengan sifat antikolinergik. Depresi dan sikap apatis
harus dipertimbangkan di diagnosis banding gangguan kognitif dini, meskipun gejala kejiwaan
mungkin menyertai penyakit parkinson dengan demensia. Studi yang secara khusus meneliti efek
pengobatan dopaminergik menunjukkan ada atau tidak adanya penurunan kognitif / demensia,
dan faktor genetik - dengan pengobatan terkadang membaik, terkadang tidak memiliki efek,
namun terkadang mengganggu kognisi.
Pengobatan simtomatik dengan inhibitor asetilkolinesterase dan memantine telah ditinjau
secara ekstensif, dan direkomendasikan untuk penggunaannya pada penyakit parkinson dengan
demensia. Metaanalisis terbaru menyimpulkan bahwa kemanjuran penghambat kolinesterase
pada parkinson dengan demensia didasarkan pada bukti; terutama rivastigmine dan donepezil
memiliki dampak positif pada penilaian fungsi kognitif, gangguan perilaku, dan aktivitas
kehidupan sehari-hari. Memantine ditoleransi dengan baik dan beberapa obat telah diuji pada
populasi penyakit parkinson dengan gangguan kognitif ringan dalam jumlah kecil studi
terkontrol plasebo secara acak. Hasil untuk rasagiline (n = 151, Uji coba 24 minggu) dan
rivastigmin (n = 24, uji coba 24 minggu) negatif.
Satu uji coba kontrol plasebo secara acak (n = 75, 18-bulan percobaan) menunjukkan
efek signifikan dari creatine (5 g b.i.d.) dan koenzim q10 (100 mg t.i.d.) terapi kombinasi
dibandingkan dengan plasebo. Setelah 12 dan 18 bulan pengobatan, perbedaan pada skor MoCA
dari terapi kombinasi dan kelompok kontrol adalah signifikan secara statistik. Atomoxetine,
SNRI, (n = 55, percobaan 5 minggu) juga menghasilkan beberapa efek kognitif positif pada
pasien penyakit parkinson non-demensia; tidak memperbaiki depresi. Adapun efek DBS pada
hasil kognitif, meta-analisis terbaruuji coba terkontrol secara acak menunjukkan bahwa stimulasi
STN, dibandingkan dengan stimulasi pallidal internal (GPi DBS), dikaitkan dengan penurunan
gejala terutama pada perhatian, memori kerja dan kecepatan pemrosesan, kefasihan fonemik dan
pembelajaran, dan memori.
Pasien dengan penurunan kognitif mungkin masih diindikasikan untuk infus terus
menerus terapi dengan levodopa atau apomorphine. Akhirnya, intervensi non-farmakologis
mungkin bermanfaat bagi subkelompok pasien yang berbeda, termasuk olahraga dan pelatihan
kognitif. Metode stimulasi otak invasif, dan teknik lain untuk meningkatkan angiogenesis,
plastisitas sinaptik, dan neurogenesis.

6. Patofisiologi
Penyakit Parkinson merupakan penyakit pada system ekstrapirimidal yang dikarakterisasi
oleh degenerasi neuron dopaminergic. Seperti yang terlihat pada gambar dibawah degenerasi
progresif neuron dopaminergic menyebabkan pengurangan proyeksi dopaminergic dari
substantia nigra pars kompakta (Snc) ke striatum (jalur nogstriatal), sehingga menghasilkan
hilangnya fungsi dopaminergic. Terdapat dua tipe reseptor yaitu D1 (tipe eksikatorik) yang
mengaktivasi jalur langsung dan D2 (tipe inhibitorik) yangv mengaktivasi jalur tidak langsung.
Jalur langsung dibentuk oleh neuron di striatum yang memproyeksikan langsung ke GPi dan
SNr, kemudian dilanjutkan ke ventroanterior (VA) dan ventrolateral (VL) thalamus.
Neurotransmitter yang terdapat di jalur langsung adalah GABA yang bersifat inhibitorik,
sehingga efek akhir distimulasi jalur ini adalah bersifat inhibitorik, sehingga efek dari stimulasi
jalur ini adalah penurunan arus rangsang dari thalamus ke korteks. Sedangkan jalur tidak
langsung dibentuk oleh neuron striatal yang memproyeksikan ke GPe, lalu menginervasi STN,
kemudian dilanjutkan ke VA dan VL thalamus. Proyeksi dari striatum ke GPe dan dari GP eke
STN menggunakan neurotransmitter GABA, tetapi jalur akhir proyeksi STN ke GPi dan SNr
menggunakan neurotransmitter glutamatergic yang bersifat eksikatorik, sehingga efek akhir dari
stimulus jalur ini adalah peningkatan arus rangsang dari thalamus ke korteks. Hilangnya DA
pada striatum menyebabkan peningkatan aktivitas reseptor D1 dan penurunan pada reseptor D2.
Hasilnya adalah peningkatan hambatan pada proyeksi VA dan VL thalamus ke korteks bagian
depan, sehingga menyebabkan penurunan aktivitas motorik.

Kesimpulan
Gejala kognitif dan gangguan perilaku sering terjadi pada pasien penyakit parkinson, dan
berdampak besar pada kualitas hidup pasien dan beban perawat. Gejala perilaku mungkin
menunjukkan efek samping dari pengobatan dopaminergik; Demensia pada penyakit parkinson
terutama disebabkan oleh defisit kolinergik. Pengobatan dopaminergik melalui infus dan operasi
deep brain stimulating (DBS) dapat mengurangi perilaku hiperdopaminergik.
Sedangkan pasien penyakit parkinson dengan gangguan perilaku kognitif ringan tidak
boleh diindikasikan untuk operasi substalamik nukleus deep brain stimulating (STN-DBS). Obat
pelindung saraf untuk pengobatan gangguan kognitif pada penyakit parkinson sedang ditunggu.
DAFTAR PUSTAKA

1. M. Visser, S.M. van Rooden, D. Verbaan, J. Marinus, A.M. Stiggelbout, J.J. van Hilten, A
comprehensive model of health-related quality of life in Parkinson's disease, J. Neurol. 255
(10) (2008 Oct) 1580–1587, https://doi.org/10.1007/ s00415-008-0994-4 Epub 2008 Sep 24.
2. K.M. Prakash, N.V. Nadkarni, W.K. Lye, M.H. Yong, E.K. Tan, The impact of nonmotor
symptoms on the quality of life of Parkinson's disease patients: a longitudinal study, Eur. J.
Neurol. 23 (5) (2016 May) 854–860, https://doi.org/10. 1111/ene.12950 Epub 2016 Jan 25.
3. P. Martinez-Martin, C. Rodriguez-Blazquez, M.J. Forjaz, B. Frades-Payo, L. AgüeraOrtiz,
D. Weintraub, A. Riesco, M.M. Kurtis, K.R. Chaudhuri, Neuropsychiatric symptoms and
caregiver's burden in Parkinson's disease, Park. Relat. Disord. 21 (6) (2015 Jun) 629–634,
https://doi.org/10.1016/j.parkreldis.2015.03.024 Epub 2015 Apr 9.
4. M.A. van der Marck, B.R. Bloem, How to organize multispecialty care for patients with
Parkinson's disease, Park. Relat. Disord. 20 (Suppl 1) (2014 Jan) S167–S673,
https://doi.org/10.1016/S1353-8020(13)70040-3.
5. D. Weintraub, A.S. David, A.H. Evans, J.E. Grant, M. Stacy, Clinical spectrum of impulse
control disorders in Parkinson's disease, Mov. Disord. 30 (2) (2015 Feb) 121–127,
https://doi.org/10.1002/mds.26016 Epub 2014 Nov 5.
6. L. Schreiber, B.L. Odlaug, J.E. Grant, Impulse control disorders: updated review of clinical
characteristics and pharmacological management, Front. Psychiatry 2 (2011 Feb 21) 1,
https://doi.org/10.3389/fpsyt.2011.00001. eCollection 2011.
7. A. Antonini, C. Siri, G. Santangelo, R. Cilia, M. Poletti, M. Canesi, A. Caporali, F.
Mancini, G. Pezzoli, R. Ceravolo, U. Bonuccelli, P. Barone, Impulsivity and compulsivity in
drug-naïve patients with Parkinson's disease, Mov. Disord. 26 (3) (2011 Feb 15) 464–468,
https://doi.org/10.1002/mds.23501 Epub 2011 Feb 10.
8. M. Samuel, M. Rodriguez-Oroz, A. Antonini, J.M. Brotchie, K. Ray Chaudhuri, R.G.
Brown, W.R. Galpern, M.J. Nirenberg, M.S. Okun, A.E. Lang, Management of impulse
control disorders in Parkinson's disease: controversies and future approaches, Mov. Disord.
30 (2) (2015 Feb) 150–159, https://doi.org/10.1002/mds. 26099 Epub 2015 Jan 21.
9. G. Cossu, R. Rinaldi, C. Colosimo, The rise and fall of impulse control behavior disorders,
Park. Relat. Disord. 46 (Suppl 1) (2018 Jan) S24–S29, https://doi.org/
10.1016/j.parkreldis.2017.07.030 Epub 2017 Aug 1.
10. V. Voon, M. Sohr, A.E. Lang, M.N. Potenza, A.D. Siderowf, J. Whetteckey, D. Weintraub,
G.R. Wunderlich, M. Stacy, Impulse control disorders in Parkinson disease: a multicenter
case - control study, Ann. Neurol. 69 (6) (2011 Jun) 986–996,
https://doi.org/10.1002/ana.22356 Epub 2011 Mar 17.
11. H. Molde, Y. Moussavi, S.T. Kopperud, A.H. Erga, A.L. Hansen, S. Pallesen, Impulse-
control disorders in Parkinson's disease: a meta-analysis and review of case-control studies,
Front. Neurol. 9 (2018 May 22) 330, https://doi.org/10. 3389/fneur.2018.00330. eCollection
2018.
12. D. Weintraub, J. Koester, M.N. Potenza, A.D. Siderowf, M. Stacy, V. Voon, J. Whetteckey,
G.R. Wunderlich, A.E. Lang, Impulse control disorders in Parkinson disease: a cross-
sectional study of 3090 patients, Arch. Neurol. 67 (5) (2010 May) 589–595,
https://doi.org/10.1001/archneurol.2010.65.
13. A. Sharma, V. Goyal, M. Behari, A. Srivastva, G. Shukla, D. Vibha, Impulse control
disorders and related behaviours (ICD-RBs) in Parkinson's disease patients: assessment
using "Questionnaire for impulsive-compulsive disorders in Parkinson's disease" (QUIP),
Ann. Indian Acad. Neurol. 18 (1) (2015 Jan-Mar) 49–59, https:// doi.org/10.4103/0972-
2327.144311.
14. J. Joutsa, K. Martikainen, T. Vahlberg, V. Voon, V. Kaasinen, Impulse control disorders
and depression in Finnish patients with Parkinson's disease, Park. Relat. Disord. 18 (2)
(2012 Feb) 155–160, https://doi.org/10.1016/j.parkreldis.2011. 09.007 Epub 2011 Oct 7.
15. V. Voon, T.C. Napier, M.J. Frank, V. Sgambato-Faure, A.A. Grace, M. RodriguezOroz, J.
Obeso, E. Bezard, P.O. Fernagut, Impulse control disorders and levodopainduced
dyskinesias in Parkinson's disease: an update, Lancet Neurol. 16 (3) (2017 Mar) 238–250,
https://doi.org/10.1016/S1474-4422(17)30004-2 Epub 2017 Feb 15.
16. A. Antonini, P. Barone, U. Bonuccelli, K. Annoni, M. Asgharnejad, P. Stanzione, ICARUS
study: prevalence and clinical features of impulse control disorders in Parkinson's disease, J.
Neurol. Neurosurg. Psychiatry 88 (4) (2017 Apr) 317–324, https://doi.org/10.1136/jnnp-
2016-315277.

Anda mungkin juga menyukai