Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

PPOK + TUBERKULOSIS ON THERAPY

Disusun Oleh :
Rayyan Alfaruqi

Pembimbing:
dr.Nurrahmah Yusuf., M.Ked, Sp.P (K)

BAGIAN/SMF ILMU PULMONOLOGI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesempatan dan kesehatan bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan tugas laporan kasus ini. Salawat dan salam semoga senantiasa
Allah curahkan ke pangkuan baginda Rasulullah SAW yang telah mengantar
umatnya dari alam kebodohan ke alam penuh dengan ilmu pengetahuan.
Tugas laporan kasus ini membahas mengenai ”PPOK +
TUBERKULOSIS ON THERAPY ” dan merupakan salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian / SMF Ilmu PULMONOLOGI
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Nurrahmah Yusuf.,
M.Ked, Sp.P (K) yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing
penulis dalam penyusunan laporan kasus ini. Terima kasih juga penulis ucapkan
kepada rekan-rekan dokter muda yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan tugas ini. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi kita dan
perkembangan ilmu kedokteran.

Banda Aceh, 18 Februari 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL.................................................................................................................i
KATA PENGANTAR ................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL.............................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................v
PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
LAPORAN KASUS ..........................................................................................1
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................16
Definisi.....................................................................................................20
Etiologi ....................................................................................................22
Epidemiologi.......................................................................................23
Faktor resiko............................................................................................24
Patogenesis...............................................................................................25
Manifestasi Klinis.....................................................................................26
Diagnosa...................................................................................................27
Klasifikasi.................................................................................................28
Penatalaksaan PPOK................................................................................29
Komplikasi PPOK..................................................................................28
Eksaserbasi akut PPOK............................................................................28
PEMBAHASAN............................................................................................29
KESIMPULAN...............................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 37

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Laboratorium....................................................................................... 24
Tabel 2. Follow Up............................................................................................ 26
Tabel 3. Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Tahapan
Penyakit menurut GOLD 2014............................................................ 26
Tabel 4. Combined Assessmend of COPD........................................................ 26
Tabel 5. Pharmaacologic Theraphy for Stable COPD ...................................... 26

4
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rontgen Thoraks ( 21-01-2016)........................................................ 18


Gambar 2. Rontgen Thoraks ( 16-02-2016)........................................................ 22
Gambar 3. Inflamasi neutrofil pada PPOK eksaserbasi akut……………….… 33

5
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut European Respiratory Society, penyakit paru obstruksi kronik


(PPOK) menempati peringkat kelima urutan penyakit terbanyak di dunia pada
tahun 2020, penyebab kematian peringkat empat di Amerika Serikat, dan pada
akhir abad ini diperkirakan akan menempati peringkat ketiga dari urutan penyebab
kematian di dunia. (1)
Di Indonesia, pendefita penyakit ini terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun, berdasarkan survey kesehatan rumah tangga, asma bronkial,
bronkitis dan empisema menduduki peringkat ke-6 dari l0 penyebab kematian
terbanyak . Peningkatan jumlah penderita penyakit ini disebabkan oleh berbagai
faktor diantaranya meningkatnya usia harapan hidup, semakin tingginya pajanan
terhadap polusi udara, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada
kelompok usia muda dan penurunan kasus infeksi (2'3)
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) saat ini menjadi salah satu
masalah kesehatan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi di dunia
terutama pada negara berkembang seperti Indonesia, Nigeria, Pakistan akibat
konsumsi rokok.(1, 2)
Prevalensi perokok secara perlahan menurun pada dunia
industri dan meningkat di negara-negara berkembang, khususnya di Asia dan
Afrika.(3) . Morbiditas dan mortalitas PPOK bervariasi di seluruh negara, akan
tetapi secara umum berkaitan dengan peningkatan prevalensi merokok. (4)
Kebiasaan merokok yang lama mengakibatkan kerusakan jaringan pernapasan dan
kelainan fungsi paru akibatnya saluran napas membengkak dan terjadi
penyempitan saluran napas, kejadian ini menjadi faktor risiko utama terjadinya
penyakit paru obstruktif kronis.(5)
Penyakit paru obstruktif kronis adalah penyakit paru kronik yang ditandai
dengan adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
non-reversibel atau reversibel parsial. Penyakit ini berhubungan dengan respon
inflamasi abnormal paru terhadap pajanan zat toksik.(5) Inflamasi kronis

6
menyebabkan perubahan struktural dan obstruksi saluran napas. Hal ini
disebabkan karena ketidakseimbangan antara respon protease dan antiprotease
pada paru yang menyebabkan terjadinya obstruksi parenkim paru secara progresif.
Sehingga terjadi penurunan fungsi paru dan membuat aliran udara terhambat
khususnya saat ekspirasi. Hambatan aliran udara ini dapat disebabkan oleh
inflamasi saluran napas kecil (bronkitis kronik) atau kerusakan parenkim paru
(emfisema).(1)
Beberapa faktor risiko pencetus PPOK telah berhasil diidentifikasi, yakni:
genetik, usia, jenis kelamin, polusi udara, merokok, dan paparan akibat pekerjaan.
Menurut Global Initiative for Chronic Obstruktive Lung Disease (GOLD 2014)
diagnosis PPOK dapat ditegakkan bila terdapat gejala: sesak napas, batuk kronis
dan sputum produktif.(5) Selain itu GOLD merekomendasikan pemeriksaan
penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis berupa spirometri.(5)
Penatalaksanaan PPOK secara umum meliputi; edukasi, obat-obatan, terapi
oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi, dan rehabilitasi.(5)
Penyakit paru obstruktif kronis eksaserbasi yaitu perburukan kondisi yang
bersifat akut dengan gejala sesak nafas bertambah, produksi sputum meningkat,
serta perubahan warna sputum. Faktor penyebab eksaserbasi akut diantaranya;
infeksi saluran pernapasan, polusi udara, dan lingkungan. Kejadian ini
mengakibatkan peningkatan angka mortalitas pada penderita PPOK. Pasien
PPOK eksaserbasi akut memerlukan perawatan yang intensif berupa rawat inap di
rumah sakit dan terapi.(5)

7
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : A Bakar Jalil
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 63 tahun
Alamat : Jl. Blang Geulumpang, Baiturrahman, Banda Aceh.
Pekerjaan : Petani
Suku : Aceh
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 17 Februari 2016 pk. 08.15 WIB
Tanggal Pemeriksaan : 17, 18 dan 19 Februari 2016

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Batuk,
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang, rujukan dari RSU Cut Meutia, Lhokseumawe dengan
keluhan sesak napas sejak ± 1 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sesak
semakin memberat sekitar 2 hari SMRS . Sesak berlangsung sepanjang hari yang
bersifat hilang timbul dan tidak dipengaruhi cuaca. Sesak berkurang jika pasien
duduk. Sesak memberat ketika pasien berjalan jauh dan saat melakukan aktifitas.
Sesak disertai suara mengi. Keluhan sesak napas tidak diikuti dengan dada terasa
nyeri.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk sudah sejak ± 6 bulan SMRS, batuk
berdahak (+), berwarna putih terkadang kuning dan tidak berdarah. Selain itu,
tubuh pasien terasa lemah, nafsu makan menurun, dan badan dirasakan semakin
kurus. Berkeringat di malam hari tidak dirasakan pasien. Pasien tidak
mengeluhkan mual muntah dan batuk pilek. BAK teratur, tidak ada nyeri saat
BAK dan tidak ada BAK berdarah. BAB juga dalam batas normal. Pasien juga

8
mengeluhkan terjadinya penurunan berat badan dalam 3 tahun terakhir, dari 57 Kg
menjadi 50 Kg.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien telah didiagnosa dengan TB sejak 6 bulan lalu dan sudah minum
obat selama 6 bulan. Hipertensi juga dikeluhkan pasien sejak 3 tahun lalu,
diabetes melitus, asma, penyakit jantung dan disangkal.

Riwayat pengobatan:
Pasien sebelumnya di rawat di RSU Cut Meutia selama 1 minggu dan
didiagnosis PPOK dan TB paru kasus baru serta sudah mendapatkan OAT selama
6 bulan serta mengkonsumsi obat amlodipi 1 bulan terakhir.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada pihak keluarga yang mengalami hal yang sama seperti yang
dialami oleh pasien.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Sehari hari pasien bekerja sebagai petani. Pasien mempunyai riwayat
merokok selama 40 tahun, yaitu saat usia pasien 15 tahun hingga 60 tahun. Saat
itu, pasien mengaku menghabiskan 1 bungkus rokok perhari/16 batang.

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Keadaan sakit : Tampak sedikit lemah
Kesadaran : Compos Mentis, E4M6V5

Tanda vital
- Nadi : 78 x/menit
- Tekanan darah : 130/80 mmHg

9
- Napas : 23 x/menit
- Suhu : 37,0 ˚C

Kulit : warna kulit sawo matang , sianosis (-), turgor kulit normal
Kepala : bentuk normocephal, simetris, nyeri tekan (-)
Mata : Pupil bulat (+/+), isokor, (3 mm/ 3 mm), refleks cahaya
(+/+) konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Telinga : sekret (-)
Hidung : sekret (-), deviasi septum (-)
Mulut : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), selaput putih (-)
Leher : pembesaran limfanodi daerah supraklavikula (-/-), kaku
kuduk (-/-), deviasi trakea (-/-), bedungan JVP (-)
Thoraks : bentuk dada normal, sela iga melebar
Paru
Pemeriksaan Fisik Kanan Kiri
Inspeksi Normal Normal
Palpasi Fremitus melemah Fremitus melemah
Perkusi Hipersonor Hipersonor
Auskultasi Wheezing Wheezing
Jantung
- Inspeksi : ictus cordis terlihat di SIC V
- Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V
- Perkusi :
Batas atas : SIC III garis midklavikula sinistra
Batas kanan : SIC V garis para sternalis dekstra
Batas kiri : SIC VI garis midklavikula sinistra
- Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular tunggal, murmur (-),
gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : bentuk simetris, venektasi (-)
- Palpasi : nyeri tekan (-)

10
- Perkusi : timpani pada ke empat kuadran, asites (-)
- Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas : akral hangat (+), edema (-/-), sianosis (-), Capillary Refill Time
< 2 detik.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Rontgen thorak (21 Januari 2016)

Kesan : Cor : Bentuk pendulum dan ukuran normal


Pulmo : Tampak hiperinflasi.
Diafragma : Mendatar
Costoprenicus kanan dan kiri tajam
Kesimpulan : PPOK.

11
2. Rontgen thorak (16 Februari 2016)

Kesan : Cor : Bentuk pendulum dan ukuran normal


Pulmo : Tampak hiperinflasi.
Diafragma : Mendatar
Costoprenicus kanan dan kiri: Tajam
Kesimpulan : PPOK.
3. Laboratorium

Tgl 17/02/2016 Tgl 22/02/2016


Hb : 13,7
Ht : 43
Eritrosit : 5,7
Leukosit : 8,3
Trombosit : 279
Hitung jenis
- eosinophil : 18
- basophil :0
- neutrofil batang :0
- netrofil segmen : 49
- limfosit : 24

12
- monosit :9
Diabetes
Gula Darah Puasa : 153
Ginjal Hipertensi
Ureum : 56
Kreatinin : 1.40

2.5 Diagnosis Banding dan Diagnosis


Diagnosis banding :
1. PPOK Eksaserbasi Akut + TB on Therapy
2. Asma
3. SOPT
4. Pneumothoaks
Diagnosis : PPOK Eksaserbasi Akut + TB on Therapy

2.6 Tatalaksana
Non Medikamentosa :
Istirahat dan mengurangi aktivitas berlebih
Tirah baring
Terapi cairan RL 10 gtt/i
Terapi nutrisi (tinggi kalori tinggi protein, makanan berserat)
O2 2-3 liter/menit via nasal kanul (intermitten)

Medikamentosa:
Spironolacton 25mg 1x1 tab
Sohobion 2x1 tab
Vectrin 3 x 1 tab
Nebule Combivent/6 jam
Nebule Pulmicort/12 jam
Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam (IV)
Inj. Metil prenidsolon 125mg/12 jam (IV)

13
2.7 Planning
- Genexpert
- Pemeriksaan sputum BTA
2.8 Prognosis
Quo Ad vitam : dubia ad bonam
Quo Ad functionam : dubia ad malam
Quo Ad sanactionam : dubia ad malam

14
2.9 Follow Up

S: sesak nafas, batuk. S: sesak nafas, S: batuk nafas, S: sesak berkurang


O: O: O: O:
TD =130/70 mmHg TD =130/80 TD =140/80 TD =120/70
Nadi = 78 x/i Nadi = 88 x Nadi = 79 x Nadi = 92 x
RR =23 x/i RR =24 x RR =27 x RR =26 x
T = 37 C T = 36,7 C T = 36,6 C T = 37 C

I= Simetris statis & I= Simetris statis & I= Simetris statis & I= Simetris statis &
dinamis, ekspirasi lebih dinamis, ekspirasi lebih dinamis, ekspirasi lebih dinamis, ekspirasi lebih
panjang dari inspirasi panjang dari inspirasi panjang dari inspirasi panjang dari inspirasi
P= fremitus menurun (-/-) P= fremitus menurun (-/-) P= fremitus menurun (-/-) P= fremitus menurun (-/-)
P= hipersonor (+/+) P= hipersonor (+/+) P= hipersonor (+/+) P= hipersonor (+/+)
A= wheezing (+/+) A= wheezing (+/+) A= wheezing (+/+) A= wheezing (+/+)

A: PPOK Eksaserbasi A: PPOK Eksaserbasi A : PPOK Eksaserbasi A PPOK Eksaserbasi akut


akut + TB on Therapy akut + TB on Therapy akut + TB on Therapy + TB on Therapy

P: Cek sputum BTA P: Genexpert P:


Th:
Th: Th: Th:
-O2 2-3 L/i via nasal -O2 2-3 L/i via nasal -O2 2-3 L/i via nasal -O2 2-3 L/i via nasal
kanul kanul kanul kanul
-IVFD RL 10 gtt/i -IVFD RL 10 gtt/i -IVFD RL 10 gtt/i -IVFD RL 10 gtt/i
-Spironolacton 25mg -Spironolacton 25mg -Spironolacton 25mg -Spironolacton 25mg
1x1 tab 1x1 tab 1x1 tab 1x1 tab
-Sohobion 2x1 tab -Sohobion 2x1 tab -Sohobion 2x1 tab -Sohobion 2x1 tab
-Vectrin 3 x 1 tab -Vectrin 3 x 1 tab -Vectrin 3 x 1 tab -Vectrin 3 x 1 tab
-Nebule Combivent/6 j -Nebule Combivent/6 j -Nebule Combivent/6 j -Nebule Combivent/6 j
-Nebule Pulmicort/12 j -Nebule Pulmicort/12 j -Nebule Pulmicort/12 j -Nebule Pulmicort/12 j
-Inj. Ceftriaxone 1gr/12 -Inj. Ceftriaxone 1gr/12 -Inj. Ceftriaxone 1gr/12 -Inj. Ceftriaxone 1gr/12
j (IV) j (IV) j (IV) j (IV)
-Inj. Metil prenidsolon -Inj. Metil prenidsolon -Inj. Metil prenidsolon -Inj. Metil prenidsolon
125mg/12 j (IV) 125mg/12 j (IV) 125mg/12 j (IV) 125mg/12 j (IV)
-OAT(bulan ke-6)

15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

PPOK (Penyakit Paru Obstruksi Kronik) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non
reversible atau reversible parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema
atau gabungan dari keduanya. Bronkitis kronis yaitu kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua bulan berturut-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema yaitu suatu
kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (PDPI, 2003). PPOK
eksaserbasi akut adalah timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi
sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti
polusi udara, kelelahan atau timbulnya komplikasi.21
Proses pernapasan terdiri dari inspirasi dan ekspirasi. Organ yang terlibat
yaitu rongga hidung, pharing, laring, trakhea dan paru-paru. Pada paru-paru
terdapat percabangan dari bronkus utama yang bercabang menjadi bronki lobalis
dan segmentalis. Bronki terpecah lagi menjadi bagian yang lebih kecil yang
dinamakan generasi. Percabangan terkecil terakhir dinamakan bronkioli
terminalis. Saluran udara terminalis, berhubungan langsung dengan bronkus
terminalis, yang juga dikenal dengan parenkim paru-paru. 22
2.2 Etiologi
Pada PPOK terjadi gangguan pada bronkus dan alveolus atau gabungan
dari penyakit bronchitis kronis dan emfisema. Bronchitis kronis yaitu terdapat
pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi
otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Sedangkan emfisema ditandai
oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli.

16
2.3 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa PPOK merupakan


penyebab morbiditas dan mortalitas ke-3 terdepan yang menyebabkan beban
sosioekonomi semakin meningkat di seluruh dunia .(4) Pada 12 negara Asia
Pasifik, angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan
rata-rata 6,3%, dimana Vietnam dengan angka prevalensi terbesar 6,7% dan angka
prevalensi terkecil 3,5% pada Hongkong dan Singapura.(23)

2.4 Faktor Risiko


Adapun faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu:
a. Merokok
Merokok merupakan faktor risiko utama terjadinya PPOK pada sebagian besar
kasus. Berdasarkan studi oleh Kon, et al didapatkan bahwa pasien dengan
emfisema berat sekitar 99% memiliki riwayat merokok yang lama. Kebiasaan
merokok menyebabkan perubahan bentuk dan fungsional jaringan di saluran
napas sehingga tidak berfungsi normal.(24)
b. Polusi
Polusi udara dapat mempengaruhi perkembangan fungsi paru. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa konsentrasi polusi yang lebih tinggi di udara berhubungan
dengan terjadinya peningkatan risiko batuk, produksi sputum, sesak napas dan
berkurangnya fungsi ventilasi. Paparan partikel polusi dan nitrogen dioksida
pada udara berpolusi dikaitkan dengan gangguan fungsi ventilasi pada orang
dewasa dan terhambatnya pertumbuhan paru-paru pada anak-anak. Pada
negara-negara berkembang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi seperti
bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan pemanasan terlibat
sebagai faktor risiko untuk PPOK, terutama pada wanita yang lebih sering
terpapar.(22)
c. Faktor genetik
Sebuah penelitan membuktikan bahwa faktor genetik yaitu defisiensi alfa-1
antitripsin merupakan enzim penetral enzim proteolitik yang dikeluarkan sel-
sel inflamasi menjadi faktor risiko terjadinya PPOK.(25)

17
d. Infeksi
Angka kejadian infeksi paru masih tinggi seperti Tuberkolosis maupun infeksi
paru lainnya pada negara berkembang. Infeksi paru yang berulang-ulang dalam
jangka panjang juga dapat meningkatkan risiko menderita PPOK.(26)
e. Jenis Kelamin
Prevalensi penderita PPOK lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Hal
ini disebabkan lebih banyak perokok pria dibandingkan dengan wanita.(27)
f. Usia
Pada orang yang memiliki riwayat merokok sampai usia 40 tahun dapat
menimbulkan penurunan fungsi paru dengan cepat dibandingkan yang tidak
merokok, umumnya gejala PPOK dapat muncul pada usia > 60 tahun.(28)
2.5 Patogenesis
Kerusakan struktur paru akibat respon inflamasi terjadi saat pajanan gas
beracun seperti asap rokok yang mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel
jalan napas sehingga membentuk faktor kemotaktik. Selanjutnya faktor
kemotaktik tersebut akan menginduksi infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru
yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Respon epitel saluran
pernapasan juga berpengaruh terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa
peningkatan jumlah kemokin seperti Interleukin 8 (IL-8), Macrophage
Inflamatory Protein-1 α (MIPI-α) dan Monocyte Chemoattractant Protein-1
(MCP).(29)
Sumber oksidan termasuk asap rokok, oksigen reaktif, dan nitrogen yang
dilepaskan dari sel-sel inflamasi. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan
oksidan dan antioksidan dari stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan
inaktivasi antiprotease atau stimulasi produksi mukosa. Peningkatan stres
oksidatif pada PPOK stabil dapat berlanjut menjadi PPOK eksaserbasi.(22)
Inflamasi yang terjadi pada PPOK berkaitan dengan peningkatan
makrofag, limfosit T (CD8+) dan netrofil. Sel-sel inflamasi merangsang
perlepasan berbagai mediator LB4, ILA8, dan Tumor Necrosis Factor (TNF)
serta menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease
yang akhirnya mengakibatkan kerusakan struktur paru. Inflamasi umumnya

18
dimulai dari saluran napas selanjutnya meluas ke parenkim paru hingga akhirnya
merusak struktur vaskular paru.(5)
Ketidakseimbangan protease dan antiprotease yang menjadi penyebab
utama inflamasi kronis pada PPOK dipengaruhi oleh inhalasi gas berbahaya,
merokok, stress oksidatif. Hal ini akan menyebabkan pelepasan beberapa
kombinasi protease dan inaktivasi antiprotease. Protease utama yang terlibat
dalam kerusakan paru adalah protease yang diproduksi oleh neutrofil (serin
protease elastase, cathepsin G dan protease 3) dan makrofag (protease sistein
cathepsins dan E , A , L , dan S) , dan berbagai metalloprotease matriks (MMP-8 ,
MMP-9 dan MMP-12). Sedangkan defisiensi alpha-I antitrypsin, sekresi
leucoprotease inhibitor, inhibitor jaringan metalloprotease merupakan antiprotease
utama dalam patogenesis emfisema.(22)
2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis dari PPOK meliputi: batuk produktif dan kronis pada musim
dingin, batuk kronik disertai dengan pembentukan sputum purulen dalam jumlah
yang banyak, dispnea, nafas pendek dan cepat (takipnea), anoreksia, penurunan
berat badan dan kelemahan, takikardi, berkeringat serta hipoksia dan sesak dalam
dada. Gejala dapat diperburuk oleh faktor-faktor lingkungan seperti, cuaca dingin
dan polusi udara. Pada keadaan lebih lanjut, sesak napas menjadi lebih berat
ketika olahraga ringan seperti berpakaian.(22)
Pada PPOK yang ringan hanya ditemukan mengi pada seluruh lapangan
paru sedangkan pada PPOK yang berat ditemukan tanda berupa napas pendek dan
cepat. Sedangkan penggunaan otot-otot napas tambahan dan ada atau tidaknya
pelebaran sela iga pada saat inspirasi serta mengerucutkan bibir pada saat
bernapas umumnya ditemukan pada PPOK berat-sangat berat.(25)

2.7 Diagnosa dan Klasifikasi PPOK

Diagnosa PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang seperti pemeriksaan spirometri untuk menentukan diganosa PPOK
sesuai derajat penyakit, sedangkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks
dapat menentukan PPOK klinis.(5) Diagnosis PPOK bergantung pada anamnesis

19
dan temuan pemeriksaan yang tepat. Pada penderita usia > 35 tahun datang
dengan keluhan sesak napas, batuk kronik atau produksi sputum dengan atau
tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya di perkirakan sebagai suatu
PPOK.(22)
1. Anamnesis
Faktor risiko seperti usia dan riwayat pajanan baik berupa asap rokok, polusi
udara maupun polusi tempat kerja merupakan kausal yang terpenting
ditanyakan. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan perlu diperhatikan. Penentuan derajat berat merokok dapat
ditentukan dengan Indeks Brikman (IB), perkalian jumlah rata-rata batang
rokok di hisap sehari dan dikalikan lama merokok dalam tahun. Interpretasi
hasil dikelompokkan menjadi derajat ringan (1-200 batang), sedang (201-600),
dan berat (> 600).(22)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik merupakan peranan yang terpenting untuk menegakkan
diagnosis pada PPOK. Pemeriksaan fisik dapat normal terutama pada pasien
dengan PPOK ringan. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak
muncul hingga terdapat kerusakan fungsi paru yang bermakna.(22) Pada inspeksi
dapat ditemukan sianosis sentral, bentuk dada barrel chest, penggunaan otot
bantu napas, pelebaran sela iga, pursed-lips breathing dan edema tungkai
sebagai tanda mengalami gagal jantung kanan. Perkusi dijumpai hipersonor
dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah serta hepar terdorong pada
emfisema dan palpasi fremitus melemah serta sela iga melebar. Pada auskultasi
dijumpai suara napas melemah dan dapat disertai dengan mengi.(5)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Pemeriksaan spirometri merupakan pengukuran volume paru statik dan
dinamik dengan menggunakan spirometri. Diagnosa PPOK dengan
spirometri didapat: FEV1 (Forced Expired Volume in one second) /FVC
(forced expiratory ratio) < 70% penurunan FEV1 obstruksi yang menetap
dan progresif.(5)

20
b. Radiologi
Pada derajat PPOK ringan, gambaran foto dada sebagian besar tidak
menunjukkan adanya kelainan yang nyata, hanya tampak sedikit
penambahan gambar corakan bronkovaskuler. Pada derajat PPOK sedang
terlihat sebagian paru yang hiperinflasi atau hiperlusen, umumnya
dilapangan atas atau perikardial dan birateral. Gambaran hiperlusen akan
meliputi seluruh lapangan paru disertai dengan diafragma letak rendah pada
derajat PPOK berat hingga sangat berat.(30)
c. Laboratorium darah rutin
Pemeriksaan laboratorium darah rutin meliputi: hemoglobin (Hb),
hematokrit (Ht), leukosit serta bertujuan melihat adanya timbul polisitemia
yang menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik.
d. Analisis gas darah
Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan terutama untuk menilai gagal
napas. Apabila kadar PaO2 menurun dibawah nilai normal akan terjadi
insufisiensi pernapasan dan terjadi kegagalan napas bila PaO 2 turun hingga
50 mmHg.
e. Mikrobiologi sputum
Mikrobiologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman serta pemilihan antibiotik yang tepat untuk
terapi bila terjadi eksaserbasi.

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri, The Global Initiative


for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD 2014) membagi klasifikasi
keparahan PPOK menjadi 4 tahap (tabel 2.1)

21
Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Tahapan
Penyakit menurut GOLD 2014
Tahap Gambaran Klinis Faal Paru
Tahap I: Batuk kronik dan produksi sputum ada FEV1 /FVC < 70%
PPOK tetapi tidak sering. Pasien sering tidak FEV1≥ 80% prediksi.
Ringan menyadari bahwa faal paru mulai
menurun.
Tahap II: Batuk kronis dan produksi sputum FEV1 /FVC < 70%
PPOK menigkat, serta gejala sesak mulai 50% ≤ FEV1 < 80%
Sedang dirasakan saat aktifitas. Penderita mulai prediksi.
memeriksakan kesehatannya.
Tahap III: Gejala sesak lebih berat, penurunan FEV1 /FVC < 70%
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah dan serangan 30% ≤ FEV1 < 50%
eksaserbasi semakin sering dan prediksi.
berdampak pada kualitas hidup.
Tahap IV: Gejala di atas ditambah tanda-tanda FEV1 /FVC < 70%
PPOK gagal napas atau gagal jantung kanan FEV1 < 30%
Sangat Berat dan ketergantungan oksigen. Kualitas prediksi, atau < 50%
hidup pasien memburuk dan risiko prediksi disertai
eksaserbasi dapat mengancam nyawa. gagal napas kronik.
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015(5)

22
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015(5)

2.8 Penatalaksanaan PPOK

Penatalaksaan PPOK bertujuan untuk mengurangi gejala obstruksi yang


terjadi seminimal mungkin agar oksigenasi kembali normal. Keadaan ini
dilakukan dan dipertahankan untuk mencegah eksaserbasi atau menghindari
perburukan penyakit. Secara umum penatalaksanaan PPOK meliputi(5):
a. Edukasi
Edukasi merupakan hal yang terpenting dalam suatu pengobatan. Edukasi
mengenai PPOK dapat diberikan sejak ditentukan diagnosa dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan baik diberikan pada penderita maupun
bagi keluarganya. Edukasi pada penderita PPOK mencangkup pengetahuan

23
dasar tentang PPOK, obat-obatan, manfaat maupun efek samping obat,
menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritan, dan
menciptakan lingkungan yang sehat dengan mencukupi kebutuhan cairan, diet
makanan yang baik serta penyesuaian aktifitas.(25)
b. Obat-obatan
Secara Umum, penatalaksanaan PPOK adalah pemberian obat-obatan. Terapi
obat pada penderita PPOK hanya dapat digunakan untuk mengurangi keluhan
dan komplikasi yang terdiri dari(31):
1. Bronkodilator, diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting). Macam
- macam bronkodilator.
a. Golongan antikolinergik, yaitu ipatropium, bromide digunakan pada
derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi mukus (maksimal 4 kali per hari ).
b. Golongan agonis beta-2, yaitu salbutamol, terbutalin, fenoterol dalam
bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, namun peningkatan
jumlah penggunaan dapat terjadinya eksaserbasi. Oleh sebab itu,
sebaiknya digunakan dalam bentuk tablet yang berefek panjang.
c. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta–2 akan memperkuat efek
bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah
penderita.
d. Golongan xantin, yaitu: aminofilin, teofilin digunakan dalam bentuk
lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama
pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet atau puyer untuk mengatasi
sesak. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.

24
2. Kortikosteroid, terapi kortikosteroid inhalasi hanya diberikan setelah
pemeriksaan faal paru atau PPOK dengan FEV1 < 50% prediksi atau
eksaserbasi berulang yang memerlukan antibiotik atau kostikosteroid oral.
Namun pemakaian kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan.
3. Antiinflamasi diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif dan
digunakan sebagai terapi jangka panjang dalam bentuk inhalasi.
Antiinflamasi berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison.
4. Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan
yaitu lini I: amoksisilin, makrolid dan lini II: amoksisilin, asam klavulanat
seperti sefalosporin, kuinolon.
5. Mukolitik diberikan tidak secara rutin, hanya digunakan sebagai pengobatan
simptomatik terhadap beberapa pasien dengan sputum yang purulen.
Antitusif diberikan hanya pada pasien yang memiliki batuk yang sangat
mengganggu akan tetapi penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.
c. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi akan hipoksemia kronik dan progresif sehingga
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel otot
maupun organ lainnya. Manfaat pemberian oksigen yaitu: mengurangi sesak,
memperbaiki fungsi neuropsikiatri dan meningkatkan kualiti hidup.(1)
d. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada pasien PPOK akibat peningkatan kebutuhan
energi yang tidak tercukupi. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang
masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara
terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi
yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat.(5)
e. Rehabilitasi PPOK
Tujuan rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Sharman menjelaskan program rehabilitasi
paru secara komprehensif terdiri atas: exercise training, respiratory muscle

25
training, edukasi kesehatan, dan penatalaksanaan yang terdiri dari fisioterapi,
nutrisi, serta psikososial.(32)

Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2015(5)

2.9 Komplikasi PPOK

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah insufisiensi pernapasan


atau gagal napas yang digolongkan menjadi gagal napas kronik dan gagal napas
akut. Gagal nafas kronik terjadi secara bertahap ketika struktur paru mengalami
kerusakan secara ireversibel dan ditandai adanya sesak nafas dengan atau tanpa
sianosis, sputum bertambah dan purulen serta demam dan penurunan kesadaran.
Gagal napas terjadi ketika PaO2 kurang dari 8 kPa (60 mHg) atau PaCO2 lebih
dari 7 kPa (55 mmHg).(25)

26
Selain itu, PPOK juga dapat menyebabkan hipoksia alveolar kronis dan
hiperkapnia yang menetap sehingga menyebabkan penyempitan arteriol paru dan
hipertensi pulmonal.(25) Pneumonia dan pneumotoraks juga dapat muncul sebagai
komplikasi dari PPOK. Beberapa penelitian melaporkan bahwa inflamasi sistemik
pada pasien PPOK menyebabkan arterosklerosis, peningkatan prevalensi infark
miokardium dan gagal jantung kanan (cor pulmonale). Inflamasi sistemik
menyebabkan resistensi insulin sehingga meningkatkan risiko terjadinya diabetes
mellitus. Komplikasi PPOK pada sistem muskuloskleletal ditunjukkan dengan
meningkatnya prevalensi osteoporosis dan fraktur kompresi vertebral.(25)

2.10 Eksaserbasi Akut PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik eksaserbasi akut atau Acute Exacerbation


Cronic Obstructive Pulmonal Disease (AECOPD) adalah perburukan dari gejala
PPOK dengan sesak napas bertambah, produksi sputum meningkat dan perubahan
warna sputum.(22) Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga klasifikasi(5):
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas > 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
mengi.
Sebagian besar kasus pada PPOK eksaserbasi akut dipicu oleh infeksi
saluran pernapasan. Sekitar 50% dari ini disebabkan oleh bakteri patogen, 30%
oleh infeksi virus dan kurang dari 10% oleh bakteri atipikal. Beberapa penelitian
menjelaskan bahwa Haemophilus influenzae dan Streptococcus pneumoniae pada
derajat PPOK lebih ringan. Moraxella catarrhalis telah dilaporkan sebagai bakteri
patogen lebih umum terisolasi selama eksaserbasi. Pseudomonas aeruginosa
adalah kurang umum dan ditemukan pada pasien dengan keterbatasan aliran udara
yang parah, terutama mereka yang telah diobati dengan antibiotik, dan tidak
divaksinasi influenza. Mycoplasma pneumonia dan pneumonia Chlamydophila
bertanggung jawab untuk kurang dari 10% dari pasien eksaserbasi.(22)

27
Penelitian oleh Sethi and Murphy membuktikan bahwa virus dapat
menyebabkan PPOK eksaserbasi. Virus yang paling umum yang terkait dengan
eksaserbasi PPOK adalah rhinoviruses, namun pada keadaan PPOK eksaserbasi
memerlukan rawat inap umumnya disebabkan virus influenza.(25)
Penyakit paru obstruktif kronik eksaserbasi akut merupakan proses lanjutan
dari inflamasi pada saluran pernapasan penderita PPOK yang terkait dengan
peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-α, LTB4 dan IL-8, dan
peningkatan biomarker stres oksidatif.(5) Pada keadaan eksaserbasi terdapat
peningkatan neutrofil pada sekresi saluran napas selama eksaserbasi. Hal ini juga
berkaitan dengan perubahan sputum yang purulen. Hasil degranulasi netrofil
akibat pelepasan elastase dan proteinase yang lain diakibatkan kerusakan dari
epitel mengakibatkan penurunan aktifitas silia, perangsang sekresi mukus oleh sel
goblet meningkatkan permeabilitas mukosa bronkial dan mengakibatkan edema
saluran napas dan eksudasi protein ke dalam saluran napas. Perubahan patologi ini
terjadi terutama pada saluran napas kecil sampai respiratori terminalis sehingga
mempengaruhi aliran udara yang mengarah ke peningkatan sesak napas, serta
sekresi sputum purulen (Gambar 2.1).(5, 22)

Gambar 2.1 Inflamasi


neutrofil pada PPOK eksaserbasi akut(35)

Penatalaksanaan pada penderita PPOK eksaserbasi yaitu pemberian obat-


obatan yang maksimal seperti: bronkodilator, kortikosteroid sistemik, antibiotik,
oksigen, dan ventilasi tekanan positif non-invasif adalah tindakan terapi yang
paling umum pada PPOK eksaserbasi. Prinsip penatalaksanaa PPOK eksaserbasi

28
adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya
kematian.(5)
Bronkodilator sebagai landasan pengobatan PPOK eksaserbasi adalah
short-acting β2-agonist. Penambahan antikolinergik umumnya direkomendasikan
bila respon dari obat tersebut belum tercapai. Sebaliknya, penggunaan
methylxanthines (seperti teofilin atau aminofilin) saat ini dianggap lini kedua
terapi intravena. Kortikosteroid direkomendasikan sebagai tambahan terapi
penanganan PPOK eksaserbasi karena penelitian menunjukkan bahwa
kortikosteroid sistemik pada PPOK eksaserbasi mempercepat pemulihan FEV1,
menurunkan lamanya rawat inap di rumah sakit dan meningkatkan hasil klinis.
Efek pengobatan kortokosteroid terkuat terjadi dalam 72 jam pertama dan
setelah itu menunjukkan kurangnya manfaat lebih dari 5 hari masa pengobatan.
(5)
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman dan komposisi
kombinasi antibiotik yang efektif. Antibiotik harus diberikan kepada(5):
a. Pasien eksaserbasi yang memiliki tiga gejala kardinal, yaitu peningkatan
sesak, volume sputum dan sputum menjadi semakin purulen.
b. Pasien eksaserbasi yang memiliki dua gejala kardinal, bila peningkatan
purulensi merupakan salah satu dari dua gejala tersebut.
c. Pasien eksaserbasi yang membutuhkan ventilasi mekanik.
Oksigen merupakan terapi pertama dan utama pada PPOK eksaserbasi.
Tujuan terapi oksigen yaitu: memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigenasi
adekuat, harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi
mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV),
bila tidak berhasil digunakan dengan cara intubasi. Penggunaan ventilasi mekanik
pada PPOK eksaserbasi berat akan mengurangi mortalitas dan morbiditas, dan
memperbaiki gejala.(5)

29
BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada seorang laki-laki berusia 63 tahun di


RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 17 Februari 2016 dengan
keluhan utama sesak napas dengan keluhan tambahan batuk berdahak, demam
yang hilang timbul, dan mudah lelah. Pasien didiagnosa dengan PPOK
eksaserbasi akut dan Tuberkulosis on theraphy. Diagnosa ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Pasien datang ke IGD RSUD Zainoel Abidin dengan keluhan sesak napas.
Keluhan ini dirasakan sejak + 1 minggu yang lalu dan bertambah berat sejak 2
hari sebelum masuk rumah. Sesak napas dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca.
Pasien juga mengeluh batuk berdahak yang hilang timbul selama + 6 bulan, dahak
berwarna putih dan kadang-kadang kekuningan. Dahak tidak berdarah, berbau
ataupun berbusa. Pasien tidak memiliki riwayat batuk berdarah. Keluhan demam
yang hilang timbul juga dirasakan oleh pasien.
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan sesak napas sejak + 1 minggu
yang lalu dan bertambah berat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
napas dipengaruhi oleh aktivitas dan cuaca. Berdasarkan gejala klinik PPOK
eksaserbasi akut adalah sesak napas yang timbul progresif. Mula-mula sesak
napas dirasakan ringan dan bertambah berat sehingga mengganggu aktivitas
sehari-hari. Penurunan VEP1 merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi
jalan napas perifer menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan
hiperinflasi. Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan
kapasitas residual fungsional. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit
merupakan mekanisme utama timbulnya sesak napas pada aktivitas.(5)
Keluhan batuk berdahak sejak + 6 bulan yang hilang timbul. Biasanya
dahak berwarna putih dan kadang-kadang kekuningan. Dahak tidak berdarah,
berbau ataupun berbusa. Pasien tidak memiliki riwayat batuk berdarah. Gejala
batuk kronis dengan sputum bertambah purulen merupakan gejala PPOK
eksaserbasi akut. Batuk merupakan reaksi tubuh terhadap iritasi saluran

30
pernapasan oleh benda-benda asing, misalnya infeksi mikroorganisme dan cara
tubuh untuk mengeluarkan benda asing. Bila partikel infeksi masuk dalam saluran
pernapasan akan menempel di dalam saluran napas dan parenkim paru. Akumulasi
sekret pada saluran pernapasan membuat saluran pernapasan tidak efektif dan
mengakibatkan respon batuk serta mengakibatkan gejala batuk kronis. (22,25)
Gejala lain yang juga dirasakan pasien yaitu demam hilang timbul.
Berdasarkan teori, infeksi berulang pada saluran pernapasan sering terjadi pada
pasien PPOK eksaserbasi akut, akibat proses inflamasi tersebut sehingga keluhan
demam muncul. Keadaan ini dapat di picu oleh infeksi bakteri atau virus. Pada
umumnya pasien PPOK memiliki resiko infeksi berulang yang bisa terjadi sebagai
akibat reaksi inflamasi pada pleura parietal dan pergesekan pleura viseral dan
parietal akibat pertambahan volume paru atau hiperinflasi. (5)
Pasien seorang laki-laki berumur 63 tahun. Pasien pernah perokok pada usia
15 tahun, merokok sebanyak 16 batang sehari, namun sudah 1 tahun berhenti.
Pasien juga mempunyai kebiasaan berkendara dengan motor tanpa memkai
masker sehingga sering terpapar asap kendaraan. Berdasarkan riwayat kebiasaan,
pasien memiliki faktor risiko terjadinya PPOK dimana risiko PPOK pada perokok
bergantung pada usia mulai merokok, dosis rokok yang dihisap, jumlah batang
rokok yang dihisap per hari dan lamanya merokok. Kebiasan lain pasien yaitu
sering berkendara dengan motor tanpa memakai masker juga berpengaruh
terhadap faktor risiko terjadinya PPOK seperti paparan asap kendaraan atau polusi
udara.(5)
Kerusakan struktur paru akibat respon inflamasi terjadi saat pajanan gas
beracun seperti asap rokok yang mengaktifkan makrofag alveolar dan sel epitel
saluran pernapasan sehingga membentuk faktor kemotaktik. Selanjutnya faktor
kemotaktik tersebut akan menginduksi infiltrasi sel-sel hematopoetik pada paru
yang dapat menimbulkan kerusakan struktur paru. Respon epitel saluran
pernapasan juga berpengaruh terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa
peningkatan jumlah kemokin seperti Interleukin 8 (IL-8), Macrophage
Inflamatory Protein-1 α (MIPI-α) dan Monocyte Chemoattractant Protein-1
(MCP).(29) Sumber oksidan termasuk asap rokok, oksigen reaktif, dan nitrogen

31
yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi. Hal ini mengakibatkan ketidakseimbangan
oksidan dan antioksidan dari stres oksidatif. Stres oksidatif dapat menyebabkan
inaktivasi antiprotease atau stimulasi produksi mukosa. Peningkatan stres
oksidatif pada PPOK stabil berlanjut menjadi PPOK eksaserbasi akut. (5,17,22)
Pemeriksaan fisik didapatkan pada inspeksi thoraks kesan normal. Namun
berdasarkan teori Barrel chest atau dada seperti tong merupakan gejala klinis yang
umumnya ditemukan pada penderita PPOK, dimana diameter antero-posterior
sebanding dan terjadi akibat hiperinflasi paru. Hiperinflasi merupakan
terperangkapnya udara akibat saluran pernapasan yang sempit atau menyempit.
Pemanjangan eksipirasi terjadinya pada mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 dalam paru. Pada perkusi menunjukkan suara hipersonor akibat air
trapping pada kedua lapangan paru. Air trapping merupakan terperangkapnya
udara didalam alveoli. Pada auskultasi dijumpai suara vesikuler, suara mengi dan
suara wheezing. Berdasarkan teori pada emfisema terdapat bleb (rongga subpleura
yang terisi udara) dan bulla (rongga parenkim yang terisi udara). Biasanya bula
timbul karena adanya penyumbatan pada katup pengatur bronkiolus. Pada saat
inspirasi dengan bantuan otot-otot pernapasan, lumen bronkiolus melebar
sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan
banyaknya mukus. Namun, sewaktu ekspirasi yang merupakan proses pasif,
lumen bronkiolus tersebut kembali menyempit sehingga sumbatan dapat
menghalangi keluarnya udara dan akan terdengar suara wheezing dan ronki pada
waktu ekspirasi.(22)
Pemeriksaan gold standar penegakkan diagnosa PPOK menggunakan
pemeriksaan spirometri. Namun kondisi pasien yang sesak berat akibat
eksaserbasi akut tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan tersebut.
Diagnosis ditegakkan dari gejala klinis dan pemeriksaan fisik serta foto thoraks.
Namun, pemeriksaan spirometri adalah gold standart untuk menegakkan
diagnosis PPOK. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). Dikatakan obstruksi jika % VEP1(VEP1/VEP1 pred.) < 80%
VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %. VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.(5)

32
Pemeriksaan radiologi seperti foto thoraks merupakan pemeriksaan yang
rutin dilakukan, dimana pada pasien PPOK eksaserbasi akut dapat di jumpai
tampak sela iga melebar dan gambaran hiperlusen pada seluruh permukaan paru
serta hiperventilasi paru. Namun, pada PPOK ringan umumnya di jumpai hasil
rontgen toraks dalam batas normal. Pemeriksaan radiologi rontgen toraks postero-
anterior (PA) dan lateral ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis
penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan
penderita.
PPOK eksaserbasi akut ditandai dengan sesak bertambah, produksi sputum
meningkat dan sputum menjadi purulen. Pada pasien ini didapatkan 3 dari gejala
tersebut sehingga pasien digolongkan PPOK eksaserbasi akut tipe III atau tipe
berat. Selama dirawat pasien diberikan terapi berupa tirah baring dengan posisi
semi flower dan pemberian oksigen 4 liter per menit nasal kanul. Pemberian terapi
oksigen berfungsi untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel dan jaringan karena hipoksemia yang progresif dan berkepanjangan
dapat menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.(22,25)
Pengobatan medikamentosa diberikan inhalasi beta-2 agonis kerja cepat
yaitu nebul combivent (Ipratropium Bromida 0,5 mg + Salbutamol sulphate 2,5
mg). Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi sesuai dengan
klasifikasi derajat beratnya penyakit serta diutamakan dalam bentuk obat inhalasi,
namun nebulisasi tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada PPOK
eksaserbasi akut derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat yang memiliki efek panjang (long acting). Pasien juga
mendapat nebul pulmicort 1 respul (Budesonide 0,5 mg) per 12 jam.
Pemberian antibiotik injeksi ceftriaxone 1 gram per 12 jam diberikan
sebagai pengobatan infeksi bakteri. Ceftriaxone merupakan golongan
antibiotik sefalosporin. Pemberian antibiotik pada PPOK eksaserbasi akut
ditujukan pada pasien dengan peningkatan jumlah sputum, sputum berubah
menjadi purulen, serta peningkatan sesak. Antibiotika diberikan secara empirik
dan rasional, dengan memperhatikan stratifikasi faktor risiko yang dimiliki pasien.
(5)

33
Pasien juga diberikan injeksi metil prenidsolon 125 mg per 12 jam secara
intravena. Tujuan pemberian obat ini yaitu untuk menekan inflamasi yang terjadi
dapat digunakan secara oral maupun injeksi intravena dengan pilihan lain yaitu
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjangdiberikan bila terbukti uji
kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat
> 20% dan minimal 250mg.
Pasien juga mengeluhkan adanya batuk sudah sejak ± 6 bulan SMRS, batuk
berdahak (+), berwarna putih terkadang kuning dan tidak berdarah. Selain itu,
tubuh pasien terasa lemah, nafsu makan menurun, dan badan dirasakan semakin
kurus. Berkeringat di malam hari tidak dirasakan pasien. Pasien tidak
mengeluhkan mual muntah dan batuk pilek. BAK teratur, tidak ada nyeri saat
BAK dan tidak ada BAK berdarah. BAB juga dalam batas normal. Pasien juga
mengeluhkan terjadinya penurunan berat badan dalam 3 tahun terakhir, dari 57 Kg
menjadi 50 Kg dan sudah minum obat OAT selama 6 bulan.
Berdasarkan gejala diatas, bahwa paien memiliki riwayat penyakit TB
sebelumnya, keluhan penyakit TB diantaranya berupa, sesak nafas, batuk kering
atau produktif, keringat malam, berat badan menurun dan pemeriksaan sputum
BTA yang positif. Selain itu, pemeriksaan penunjang lain dapat berupa Foto
Thoraks dengan gambaran kavitas, Matoux test, kultur bakteri, dan uji resistensi
dengan GenXpert. (26)

34
BAB V
KESIMPULAN

Seorang laki-laki, 63 tahun, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang berupa foto thorax, didapatkan diagnosis kerja yaitu
PPOK eksaserbasi akut + TB paru on OAT. Penatalaksanaan yang dapat diberikan
yaitu berupa pengobatan suportif dan pengobatan simptomatik.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Alldredge BK, Corelli RL, Ernst ME, Guglielmo BJ, Jacobson PA, Kradjan
WA, et al. Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs. USA: Lippincott
Williams and Wilkins; 2013. p. 601-618.

2. Lopez AD, Murray CC. The global burden of disease, 1990-2020. Nat Med.
1998; 4(11): 1241-3.

3. Chan-Yeung M, Ait-Khaled N, White N, Tan WC.The burden and impact of


COPD in Asia and Africa. Int J Tuberc Lung Dis. 2004; 8(1): 2-14.

4. World Health Organisation. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 2010. p.


1 [cited 2015 December, 03]. Available from:
http://www.who.int/tobacco/research/copd/en/

5. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global


Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic
Obstructive Lung Disease. 2015. p. 1-8. [cited 2015 December, 03].
Available from: http://www.goldcopd.org

6. Buist AS, Mary AMB, William MV, Suzanne G, Peter B, David MM, et al.
International variation in the prevalence of COPD (The BOLD Study): a
population-based prevalence study. Lancet. 2007; 370(9589): 741-50.

7. Theresa RP, Pharm D, Suzanne G and Bollmeier PD. Chronic Obstructive


Pulmonary Disease Among Adults-United States. MMWR. 2012; 61(46):
938-43.

8. O'Donnell DE, Aaron CS, Bourbeau J, Hernandez P, Marciniuk DD, Balter


M, et al. Canadian Thoracic Society recommendations for management of
chronic obstructive pulmonary disease. Can Respir J. 2007; 14(Suppl B): 5B-
32B.

9. Fukuchi Y, Nishimura M, Ichinose M, Adachi M, Nagai A, Kuriyama T, et


al. COPD in Japan: the Nippon COPD Epidemiology study. Respirology.
2004; 9(4): 458-65.

10. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. p. 86-87.

11. Kementrian Kesehatan RI. Gambaran Penyakit Tidak Menular Di Rumah


Sakit Di Indonesia Tahun 2009 dan 2010. Jakarta: Badan Penelitian dan

36
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia 2012.
p. 10-1.

12. Nisa K. Prevalensi Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis dengan Riwayat
Merokok di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM)
Medan Periode Januari-Desember 2009. Sumatera Utara: Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2010. p. 45-48.

13. Husna A. Frekuensi Eksaserbasi Akut Pada Penderita Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) Yang Dirawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel
Abidin Banda Aceh Tahun 2011. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala. 2011. p. 28-39.

14. Wong AWM, Gan WQBA, Burns J, Sin DD, Eedan SFV. Acute exacerbation
of chronic obstructive pulmonary disease: Influence of social factors in
determining length of hospital stay and readmission rates. Can Respir J. 2008;
15(7): 361-4.

15. Dewan NA, Rafique S, Kanwar B, Satpathy H, Ryschon K, Tillotson GS, et


al. Acute Exacerbation of COPD Factors Associated With Poor Treatment
Outcome. CHEST 2000; 117: 662–71.

16. Wang Y.S, Dahl K, Humerfelt FA, Haugen ST. Factors associated with a
prolonged length of stay after acute exacerbation of chronic obstructive
pulmonary disease (AECOPD). International journal of chronic obstructive
pulmonary disease. 2014; 9: 99-105.

17. Price LC, Lowe D, Hosker HS, Anstey K, Pearson MG, Roberts CM, et al.
UK National COPD Audit 2003: Impact of hospital resources and
organisation of care on patient outcome following admission for acute COPD
exacerbation. Thorax. British Thoracic Society and the Royal College of
Physicians Clinical Effectiveness Evaluation Unit (CEEu). 2006; 61(10): 837-
42.

18. Almagro P, Calbo E, Ochoa EA, Barreiro B, Quintana S, Heredia JL, et al.
Mortality after hospitalization for COPD. CHEST. 2002; 121(5): 1441-8.

19. Fruchter O and Yialga M. Cardiac-troponin-I predicts long-term mortality in


chronic obstructive pulmonary disease. COPD. 2009; 6(3): 155-61.

20. Ai-Ping C, Lee KH, Lim TK. In-hospital and 5-year mortality of patients
treated in the ICU for acute exacerbation of COPD. CHEST. 2005; 128(2):
518-24.

37
21. Chapman KR, Mannino DM, Soriano JB, Vermeire PA, Buist AS, Thun MJ,
et al. Epidemiology and costs of chronic obstructive pulmonary disease. The
European respiratory journal. 2006; 27(1): 188-207.

22. Currie GP. ABC of COPD. UK: BMJ; 2011. p. 1142-1263.

23. Wan CT and Tze P. COPD in Asia: where East meets West. CHEST. 2008;
133(2): 517-27.

24. Kon OM, Hansel TT, Barnes PJ. Cronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD). United States: Oxford University Press; 2008. p. 3-134.

25. Kumar P and Clark M. Clinical Medicine: Elsevier Health Sciences UK;
2012. p. 900-1.ruksi Kronik (PPOK). Penelitian Universitas Gadjah Mada.
2001; 33(1): 48-59.

26. Kaufmann SH, Hussey G, Lambert PH. New vaccines for tuberculosis.
Lancet 2010; 375(9731): 2110-9.

38

Anda mungkin juga menyukai