FAKULTAS KEDOKTERAN
Disusun Oleh:
Pembimbing :
BAGIAN ORTHOPEDI
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Cedera pada pergelangan kaki dapat mengakibatkan :
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau
tidak langsung (overloading). Cidera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah,
kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi, otot belum siap, terjadi pada
bagian groin muscle (otot pada kunci paha), hamstring (otot paha bagian bawah), dan otot
quadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cidera memar
dan bengkak.
Sprain adalah kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, kebanyakan sprain terjadi pada
pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olahraga (sepak bola)
sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat mengalami
sprain jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi
peredaan.
Struktur Otot
Otot berperan sebagai penggerak sendi, juga berfungsi sebagai komponen stabilisator
aktif yang menjaga integritas sendi dan tulang saat pergerakan. Tendon adalah ujung
otot yang melekat ada tulang, fungsinya untuk menghubungkan berbagai organ tubuh
seperti otot dengan tulang-tulang, tulang dengan tulang dan juga memberikan
perlindungan terhadap organ tubuh. M. Soleus dan M gastrocnemius, fungsinya untuk
plantar fleksi pedis, otot ini di innervasi oleh N. tibialis L4-L5 fungsinya untuk
supinasi (adduksi dan inversi) dan plantar fleksi pedis. M. Tibialis anterior dan M.
Tibialis Posterior, otot ini di innervasi oleh N. peroneus (fibularis) profundus L4-L5,
fungsinya untuk dorsal fleksi dan supinasi (aduksi dan inverse) pedis.
M. Peroneus Longus dan M. Peroneus Brevis merupakan pronator yang paling kuat
untuk mencegah terjadinya sprain ankle lateral, otot ini di innervasi oleh N. Peroneus
(fibularis) superficialis L5-S1. Fungsinya untuk pronasi dan (abduksi dan eversi) dan
plantar fleksi pedis tidak hanya pada ligamen, jaringan lain seperti tendon dapat
mengalami cedera, tendon yang sering mengalami cedera pada ankle sprain adalah
tendon peroneus longus dan brevis yang berfungsi terhadap gerakan eversi pada kaki.
(
Gambar 2. Ligamen dan Tendon pergelangan kaki. Sumber: Sobotta (2010)
1. Ankle joint : berjalan atau exercise pada jalan yang tidak rata
2. Knee joint : gerakan berputar pada seorang olahragawan
3. Wrist joint : terjatuh dengan tangan yang terlebihdahulu menopang beban
tubuh
4. Thumb : pada olahragawan yang biasa menggunakan raket, misalnya pemain
tenis .
1. Tergelincir di atas es
2. Berlari, melompat atau melempar
3. Mengangkat benda berat atau mengangkat dalam posisi canggung.
2.4. EPIDEMIOLOGI
Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance System
(NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa setengah dari semua keseleo pergelangan kaki
(58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket (41,1%), football (9,3%), dan
soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa persentase tertinggi sprain ankle
adalah selama berolahraga. (Martin, et al 2013).
Menurut data skunder yang di peroleh Poliklinik KONI Provinsi DKI Jakarta
pada bulan September – Oktober 2012 dengan data sekunder, populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI. Hasil Penelitian yang
diperoleh adalah terdapat kasus cedera sebanyak 85 pada tahun 2009, sebanyak 146 pada
tahun 2010, sebanyak 353 pada tahun 2011, dan sebanyak 419 kasus pada tahun 2012.
Prevalensi cedera terus meningkat, cedera yang didapati kasus terbanyak adalah sprain
ankle (cedera ligamen) sebanyak 41,1 %, bagian tubuh yang mengalami cedera kasus
yang terbanyak adalah bagian ekstremitas bawah sebanyak 60% dan yang paling sedikit
bagian kepala sebanyak 0,8%. Cedera akut sebanyak 64,4% dan cedera kronis 35,6%.
Tempat penanganan kasus cedera , terbanyak dilakukan di KONI DKI Jakarta sebanyak
35,2% dan yang paling sedikit di tangani di Rumah Sakit yaitu sebanyak 8,5% , Setelah
cedera sprain ankle maka akan meninggalkan gejala sisa atau cedera ulang antara 55 %
sampai 72 %, berasal dari pasien pada 6 minggu sampai 18 bulan, hal ini terjadi karena
pasien tidak mencari pengobatan yang professional (Junaidi, 2013).
1. Pada sprain : nyeri, bengkak, memar, keterbatasan melakukan gerakan pada sendi
yang cedera,
2. Pada strain : nyeri, bengkak, spasme otot, keterbatasan pergerakan pada otot yang
cedera
Semua tanda-tanda di atas akan mempengaruhi pada daerah yang cedera. terkilir atau
keseleo paling sering terjadi pada bagian ankle/pergelangan kaki, pergelangan tangan,
dan ruas2 jari.
1. Strain
a. Derajat I / Mild Strain (Ringan) adalah adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa
stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament. Gejala yang timbul seperti
nyeri lokal, meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot. Tanda-
tandanya yaitu adanya spasme otot ringan, bengkak, gangguan kekuatan otot
fungsi yang sangat ringan. Komplikasi yaitu Strain yang berulang dapat
menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan patologi adanya inflasi
ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun tanda perdarahan
yang besar.
b. Derajat II/Medorate Strain (Sedang) adalah adanya cidera pada unit
muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan. Gejala yang
timbul seperti nyeri local, meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada
otot. Tanda-tandanya yaitu adanya spasme otot sedang , bengkak, tenderness,
gangguan kekuatan otot fungsi sedang. Komplikasi yaitu Strain yang berulang
dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan patologi adanya
robekan serabut otot .
c. Derajat III/Strain Severe (Berat) adalah adanya tekanan/penguluran mendadak
yang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang
menghasilkan ketidakstabilan sendi. Gejala yang timbul seperti nyeri berat,
adanya stabilitasi. Tanda-tandanya yaitu adanya spasme otot kuat , bengkak,
tenderness, gangguan kekuatan otot fungsi berat. Komplikasi yaitu Strain
yang berulang dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan
patologi adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
2. Sprain
a. Sprain tingkat I yaitu cedera sprain yang ditandai dengan terdapat sedikit
hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus, cedera
ini menimbulkan rasa nyeri tekan , pembengkakan dan rasa sakit pada daerah
tersebut.
b. Sprain tingkat II yaitu cedera sprain yang ditandai dengan banyak serabut
ligamentum yang putus, cedera ini menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan ,
pembengkakan , efusi (cairan yang keluar) , dan biasanya tidak dapat
menggerakan persendian tersebut.
c. Sprain tingkat III yaitu cedera sprain yang ditandai dengan terputusnya semua
ligamentum , sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang
bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian,
pembengkakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan terdapat gerakan –
gerakan yang abnormal.
Gambar 5. Grade cidera
2.8. DIAGNOSA
Untuk menentukan diagnosa, dilakukan anamnesis bagaimana mekanisme trauma
tersebut, dari pemeriksaan fisik dapat dilihat adanya pembengkakan atau memar pada
daerah yang dicurigai mengalami cedera, bisa dilakukan palpasi untuk lebih
menspesifikan lokasi nyeri.
X-ray dapat membantu menyingkirkan kemungkinan fraktur atau cedera tulang
lainnya sebagai sumber masalah. Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat
digunakan untuk membantu mendiagnosa tingkat cedera.
2.9. PENATALAKSANAAN
Beberapa langkah sebagai tindakan pertolongan pertama bila
mengalami sprain atau strain adalah:
REST (istirahat)
ELEVATION ( Posisi )
Pada tindakan Elevation, pasien sebisa mungkin harus mengangkat bagian
cedera lebih tinggi di atas jantung atau dada selama 24-36 jam pertama untuk
memudahkan kembalinya darah dan untuk mengurangi pembengkakan. Misalnya jika
yang cedera lutut, upayakan pasien dalam posisi tidur kemudian lutut diangkat atau
ditopang dengan alat supaya posisinya lebih tinggi dari jantung. Teknik ini mengacu
pada prinsip bejana berhubungan dan berguna untuk mengurangi pembengkakan pada
bagian cedera. Hindari aktifitas olahraga, konsumsi alcohol dan pijat atau urut area
cidera karena dapat memperburuk pembengkakan.
Penatalaksanaan sprain dan strain tergantung pada sendi yang terlibat dan keparahan
cedera.
1. Strain
a. Medikamentosa.
Dengan analgetik seperti Aspirin (300 – 600 mg/hari) atau Asam mefenamat
(500 mg)
b. Elektromekanis.
Penerapan dingin dikompres dengan kantong es.
c. Pembalutan atau wrapping eksternal.
d. Dengan pembalutan atau pengendongan bagian yang sakit.
e. Posisi ditinggikan atau diangkat.
f. Dengan ditinggikan jika yang sakit adalah ekstremitas.
g. Latihan ROM : Latihan pelan-pelan dan penggunaan semampunya sesudah 48
jam.
2. Sprain
a. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
b. Medikamentosa
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral
setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
c. Elektromekanis.
Penerapan dingin dikompres dengan kantong es.
d. Pembalutan / wrapping eksternal.
e. Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung).
f. Posisi ditinggikan atau diangkat.
g. Latihan ROM : Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan
perdarahan, latihan pelan – pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung
jaringan yang sakit.
Operasi
Dalam beberapa kasus, seperti dalam kasus robek ligamen atau otot, operasi dapat
dipertimbangkan
1. Trauma abduksi
Tauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat oblik,
fraktur pada maleolus medialis yang bersifat avulsi atau robekan pada ligamen bagian
medial.
2. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik atau
avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya menyebabkan
strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3. Trauma rotasi eksterna
Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi fraktur
pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial atau fraktur
avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan dislokasi
talus.
4. Trauma kompresi vertikal
Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur tibia distal bagian depan disertai dengan
dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur komunitif disertai dengan robekan diastasis.
KLASIFIKASI
Lauge-Hansen (1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya
pergeseran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan
atau manipulasi yang dilakukan.
Klasifikasi yang sering dipakai adalah klasifikasi dari Danis–Weber yang
berdasarkan pada level fraktur fibula, dimana fibula merupakan tulang yang penting
dalam stabilitas dari kedudukan sendi berdasarkan atas lokalisasi fraktur terhadap
sindesmosis tibiofibular.
Klasifikasi Danis – Weber adalah sebagai berikut :
1. Weber type A
Fraktur fibula dibawah tibiofibular syndesmosis yang disebabkan adduksi atau
abduksi. Medial maleolus dapat fraktur atau deltoid ligamen robek.
2. Weber type B
Fraktur oblique dari fibula yang menuju ke garis syndesmosis. Disebabkan cedera
dengan pedis external rotasi syndesmosisnya intak tapi biasanya struktur dibagian medial
ruptur juga.
3. Weber type C
Fibulanya patah diatas syndesmosis disebut C1 bila 1/3 distal dan C2 bila lebih
tinggi lagi. Disebabkan abduksi saja atau kombinasi abduksi dan external rotasi.
Syndsmosis & membrana interosseus robek juga. Tipe C ini juga dikenal sebagai fraktur
Dupuytren.
Gambar 9. Skematis klasifikasi menurut Danis-Weber : Tipe A (a), Tipe B (b), Tipe C (c&d)
GAMBARAN KLINIK
Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan, atau
deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada
daerah tulang atau pada ligamen.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Dengan pemeriksaan radiologisa dapat ditentukan jenis-jenis fraktur dan
mekanisme terjadinya trauma. Foto rongent perlu dibuat sekurang kurangnya tiga
proyeksi, yaitu antero posterior, lateral, dan setengah oblik dari gambaran posisi
pergelangan kaki. Sering fraktur terjadi pada fibula proksimal, sehingga secara klinis
harus diperhatikan.
Gambar 10 . Rotgen Fraktur Ankle
PENGOBATAN
Fraktur dislokasi pada sendi pergelangan kaki merupakan fraktur intra-artikuler sehingga
diperlukan reduksi secara anatomis dan akurat serta mobilisasi sendi sesegera mungkin.
Tindakan pengobatan terdiri atas :
1. Konservatif
Dilakukn pada fraktur yang tidak bergeser, berupa pemasangan gips sirkuler di bawah
kulit.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan berdasarkan kelainan-kelainan yang ditemukan apakah
hanya fraktur semata-mata, apakah ada robekan pada ligamen atau diastasis pada
tibiofibula serta adanya dislokasi talus.
Beberapa hal yang penting diperhatikan pada reduksi, yaitu :
- Panjang fibula harus direstorasi sesuai panjang anatomis
- Talus harus duduk sesuai sendi dimana talus dan permukaan tibia duduk paralel.
- Ruang sendi bagian medial harus terkoreksi sampai norml (4 mm)
- Pada foto oblik tidak Nampak adanya diastasis tibiofibula
2. Imobilisasi Fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3. Mempertahankan dan mengembalikan posisi
4. Langkah Umum
Analgesik dan elevasi adalah terapi yang harus dilakukan.
Semua fraktur pergelangan kaki harus dipasangi splint dalam posisi netral.
Fraktur fibula yang terisolasi atau fraktur malleolus media yang tak bergeser
harus dipasangi casting below-the-knee.
Fraktur stabil harus diterapi secara fungsional dengan splint udara dan
peningkatan fungsi weightbearing secara bertahap.
Kesesuaian sendi pergelangan kaki penting untuk dipikirkan ketika melakukan
reduksi pada arthritis post-trauma.
Dislokasi harus secepatnya di reduksi dengan menggunakan sedasi yang
sesuai.
Pasien yang mengalami fraktur terbuka harus dimasukan ke ruang operasi
untuk dilakukan irigasi, debridement, dan fiksasi dalam jangka waktu 8 jam.
Pasien dilarang bertumpu pada pergelangan kaki yang mengalami fraktur
hingga tidak ada lagi nyeri dan tanda-tanda penyembuhan fraktur telah tampak
pada gambaran radiologis.
Fraktur bimalleolar atau fraktur fibula dengan cedera ligament media atau
cedera syndesmosis hanya dapat diterapi dengan melakukan operasi.
5. Aktivitas
6. Perawatan
Penggosokan pada splint atau cast sebaiknya tidak dilakukan.
7. Terapi khusus
Terapi Fisik
ROM pada sendi MTP dan, kemudian, pada pergelangan kaki dan pertengahan kaki
penting dilakukan untuk mencegah kontraktur dan mengurangi parut jaringan lunak.
8. Medikamentosa
Selain persoalan yang terdapat mengenai tindakan operatip pada fraktur yang tidak
stabil ada beberapa trauma pada sendi talocrural yang memang merupakan indikasi
untuk tindakan operatif, seperti :
9. Follow Up
10. Disposisi
2.11. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada kondisi ini meliputi :
- Gangguan fungsi ligament (jika terjadi tarikan otot yang kuat sebelum sembuh dan
tarikan tersebut menyebabkan regangan pada ligament yang rupture, maka ligament
ini dapat sembuh dengan bentuk memanjang, yang disertai pembentukan jaringan
parut secara berlebihan).
- Strain dan sprain yang berulang dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , dan
perubahan patologi adanya inflasi serta dapat mengganggu/robeknya jaringan otot
dan tendon dari intensitas ringan – berat tergantung tipe strain yang didapatkan.
Strain dapat mengakibatkan ptah tulang karena robeknya ligament , membuat tulang
menjadi kaku dan mudah patah bila salah mobilisasi.
- Vaskuler, Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi gangguan
pembuluh darah yang segera, sehingga harus dilakukan reposisi secepatnya.
- Malunion, Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian yang
tidak akurat yang akan menimbulkan osteoarthritis.
- Osteoartritis
- Algodistrofi adalah komplikasi dimana penderita mengeluh nyeri, terdapat
pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan kaki. Dapat terjadi perubahan
trofik dan osteoporosis yang hebat.
- Kekakuan yang hebat pada sendi
- Dislokasi berulang
- Kelemahan Otot
- Fraktur dislokasi
- Kontraktur
- Trauma jaringan
2.12. PROGNOSIS
Prognosis cedera pada pergelangan kaki tergantung dengan derajat keparahan dan
penanganan pada cedera tersebut. 36%-85% dapat sembuh sempurna dalam 3 minggu-6
bulan. Setelah 12 bulan pertama, terdapat resiko kembali ke kambuh. 3%-34%
mengalami ankle sprain berulang pada 2 miggu – 96 bulan. Setelah 3 tahun masih ada
yang mengalami nyeri dan instabilitas. Dislokasi berulang akibat ligamen yang ruptur
tersebut tidak sembuh dengan sempurna sehingga diperlukan pembedahan untuk
memperbaikinya (kadang-kadang).
BAB III
KESIMPULAN
1. Persendian pergelangan kaki mudah sekali terserang cedera, sendi ini tidak mampu
melawan kekuatan medial, lateral, penekanan, dan rotasi. Kesemuanya ini terjadi
karena lemahnya otot atau lapisan lemak.
2. Sprain dan strain disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung, misalnya
terjatuh atau terbentur, yang menyebabkan sendi tidak pada posisi normal sehingga
terjadi tarikan yang berlebihan. Pada kasus berat dapat terjadi rupture ligament.
3. Ketika serabut otot ligamentum untuk eversi tidak cukup kuat untuk menahan atau
melawan kekuatan inversi, maka serabut ligamentum sisi sebelah samping menjadi
tertekan atau robek.
4. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk melihat pada cedera pergelangan kaki yang
curiga ada fraktur tulang.
5. Penatalaksanaan pada cedera pergelangan kaki utamakan terlebih dahulu RICE pada
derajat ringan dilanjutkan dengan medikamentosa berupa analgetik, pada derajat yang
lebih berat diterapi dengan operasi baik sprain, strain maupun fraktur.
6. Prognosis cedera pergelangan kaki tergantung dengan derajat keparahan cedera.
Semakin tinggi derajat semakin mungkin berulang dan dapat dioperasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. AAOS. Sprain and strain [series online] 2015 [October 2007]. Available from: URL:
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00111
2. Anonym. Disease and condition sprain and strain [series online] 2015 [Jan. 24, 2015].
Available from: URL: http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/sprains-and-
strains/basics/treatment/con-20020958
3. Peterson, L., dan Renstrom, P., (1990). Sports Injuries: Their Prevention and
Treatment. London: CIBA-GEIGY.
4. Prionoadi B. pengelolaan cidera sprain tingkat II [series online] 2015. Available
from:URL:http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131453189/Sprain%20II
%20Ankle.pdf
5. Rasjad, Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Edisi 3. Penerbit Yarsif
Watampone: Makassar; 2007.
6. Reksoprojo.S: Editor; Pusponegoro.AD; Kartono.D; Hutagalung.EU; Sumardi.R;
Luthfia.C; Ramli.M; Rachmat. KB; Dachlan.M. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Penerbit Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM; Jakarta.2001.
7. Sabiston. DC; alih bahasa: Andrianto.P; Editor Ronardy DH. Buku Ajar Bedah
Bagian 2. Penerbit EGC; Jakarta.
8. Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC; alih bahasa: Laniyati; Kartini.A; Wijaya.C;
Komala.S; Ronardy.DH; Editor Chandranata.L; Kumala.P. Intisari Prinsip Prinsip
Ilmu Bedah. Penerbit EGC; Jakarta.2000.
9. Sjamsuhidajat.R; De Jong.W, Editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi, Cetakan
Pertama, Penerbit EGC; Jakarta.2012. 1058-1064.