Anda di halaman 1dari 27

BAGIAN ORTHOPEDI & TRAUMATOLOGI CASE BASED LEARNING

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

INSTABILITY ANKLE JOINT

Disusun Oleh:

Kasdianto Bantu 11120182081

Desi tri Utami 11120182119

Raodah Ramadhani Hambali 11120192108

Andi Indah Khairunnisa 11120192138

Pembimbing :

dr. Syarif Hidayatullah, M.Kes, Sp. OT

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ORTHOPEDI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2021

BAB I
PENDAHULUAN

Setiap melakukan aktivitas fisik khususnya berolahraga selalu dihadapkan


kemungkinan cedera dan cedera ini akan berdampak pada gangguan aktifitas fisik. Salah satu
anggota tubuh yang paling sering mengalami cedera adalah pada bagian sendi pergelangan
kaki. Cedera ini dapat terjadi karena terkilir secara mendadak ke arah lateral atau medial
yang berakibat robeknya serabut ligamentum pada sendi pergelangan kaki. Ditiap persendian
terdapat serabut-serabut otot yang menghubungkan tulang satu dengan tulang yang lainnya.
Serabut otot ini disebut Ligamentum. Cedera yang mengenai pada daerah ligamentum ini
sering disebut SPRAIN, sedangkan cedera yang mengenai pada unit musculo tendinous
disebut STRAIN.
Dalam kehidupan sehari-hari maka trauma pada sendi pergelangan kaki dan terutama
dari sendi talo-cruralnya, adalah trauma yang sering sekali terjadi. Tidak hanya mereka yang
memang kerjanya menggunakan sendi ini secara dipaksakan (seperti misalnya olahragawan
dan terutama pemain sepakbola) tetapi juga para ibu yang menggunakan hak sepatu yang
tinggi sangat peka terhadap trauma di daerah ini. Ditambah lagi oleh suatu fakta bahwa
trauma pada daerah ini mudah diikuti oleh suatu Osteoarthritis post-traumatika karena
memang bentuk persendiannya yang khas dan majemuk. Oleh karena itu problema
pengelolaan trauma pada sendi ini mempunyai arti sosial dan ilmu kedokteran yang cukup
penting. Dan harus diakui bahwa pengobatannya memang sulit.
Sebelum memulai mempelajari cara-cara pengelolaan yang terbaru, adalah penting
sekali kita memahami betul-betul anatomi dari persendian ini dan menghayati faktor-faktor
penyebabnya. Trauma pada sendi ini yang dapat menimbulkan patah tulang, pada dasarnya
juga dapat menyebabkan robekan ligamen, dan apa yang disebutkan sebagai Ligamen Tous
Fracture terlepasnya insersi ligamen pada tulang. Atau dengan kata-kata lain, mekanisme
dasar yang bertanggung jawab terhadap sprain, ligamentous injuries dan fraktur sekitar sendi
ini adalah sama.
Sprain adalah bentuk cedera berupa penguluran atau kerobekan
pada ligament (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi, yang
memberikan stabilitas sendi. Kerusakan parah pada ligament atau kapsul sendi dapat
menyebabkan ketidakstabilan pada sendi. Gejalanya dapat berupa nyeri, inflamasi /
peradangan, dan pada beberapa kasus terjadi ketidakmampuan menggerakkan
tungkai. Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang normal,
seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki.
Strain adalah bentuk cedera berupa penguluran atau kerobekan pada
struktur muskulo-tendinous (otot dan tendon). Strain akut pada struktur muskulo-tendinous
terjadi pada persambungan antara otot dan tendon. Strain terjadi ketika otot terulur dan
berkontraksi secara mendadak, seperti pada pelari atau pelompat. Tipe cedera ini sering
terlihat pada pelari yang mengalami strain pada otot-otot hamstring-nya. Beberapa kali
cedera terjadi secara mendadak ketika pelari dalam langkah penuh. Gejala pada strain otot
yang akut bisa berupa nyeri, spasme otot, kehilangan kekuatan, dan keterbatasan lingkup
gerak sendi. Strain kronis adalah cedera yang terjadi secara berkala oleh karena penggunaan
berlebihan atau tekakan berulang-ulang, menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon).
Sebagai contoh, pemain tennis bisa mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil
tekanan yang terus-menerus dari servis yang berulang-ulang.
Walaupun sendi pergelangan kaki merupakan persendian yang tidak begitu besar
dalam tubuh, kenyataannya pada sendi pergelangan kaki mudah sekali terserang cedera
traumatik. Persendian ini mudah cedera karena kurang mampu melawan kekuatan medial,
lateral, tekanan, dan rotasi karena lemahnya otot atau lapisan lemak. Kesemuanya ini terjadi
karena adanya perintah gerak untuk merubah secara cepat sedangkan kondisi permukaan
tanah tidak memungkinkan, kontak langsung dengan kaki pemain lain juga dapat
mengganggu keseimbangan dalam melompat atau mendarat, contoh konkrit sewaktu
berolahraga adalah pada permainan basket, voly, bulutangkis, tenis dan sepakbola.
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Cedera pada pergelangan kaki dapat mengakibatkan :
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau
tidak langsung (overloading). Cidera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah,
kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi, otot belum siap, terjadi pada
bagian groin muscle (otot pada kunci paha), hamstring (otot paha bagian bawah), dan otot
quadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cidera memar
dan bengkak.
Sprain adalah kekoyakan (avulsion) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling
sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, kebanyakan sprain terjadi pada
pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olahraga (sepak bola)
sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat mengalami
sprain jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi
peredaan.

2.2 ANATOMI ANKLE JOINT


Pergelangan kaki dan kaki merupakan anggota ekstremitas bawah yang
berfungsi sebagai stabilisasi dan penggerak. Di mana terdiri dari 28 tulang dan paling
sedikit 29 sendi, yang mana memiliki fungsi utama sebagai membentuk dasar penyangga,
sebagai peredam kejut,dan sebagai penyesuai mobilitas.

 Struktur Tulang Pada ankle terdiri atas pengelompokan , diantaranya :


1. Fore foot, terdiri dari: Ossa metatarsalia dan Ossa phalangea
2. Mid foot, terdiri dari: Os. Navicularis, Os Cuboid dan Ossa Cuneiforme.
3. Rear foot, terdiri dari: Os, Talus dan Os Calcaneus (Subtalar joint/Talo calcanel
joint).
Gambar 1. Pengelompokkan tulang pedis

 Struktur sendi ankle :


a. Distal Tibio Fibular Joint Merupakan Syndesmosis joint dengan satu kebebasan
gerak kecil, membuka dan menutup garpu. Diperkuat anterior dan posterior
tibiofibular ligament dan interroseum membrane/ligament. Arthokinematik dan
osteokinematik adalah gerak geser dalam bidang sagital sangat kecildan gerak
angulasi dalam bidang frontal sebagai membuka dan menutup garpu . 
b. Ankle Joint ( Talo Crural Joint ) Merupakan hinge joint yang dibentuk oleh cruris
( tibia dan fibula ) dan os. Talus diperkuat oleh ligament tibio fibular ligament sisi
superior, juga posterior , inferior dan anterior, Tibiotalar ligament serta posterior,
inferior dan anterior Talofibular ligament. Arthrokinematik dan
osteokinematiknya adalah gerakan hanya plantar flexi ( ROM : 40 – 500 hard end
feel ), Dorsal fleksi ( ROM : 20-300 elastic end feel ). Traksi terhadap talus selalu
kearah distal. Translasi untuk gerak dorsal fleksi kearah posterior dan gerak
plantarfleksi kearah anterior.
c. Subtalar Joint ( Talo Calcaneal Joint ) Merupakan jenis sendi plan joint, dibentuk
oleh os. Talus dan Calcaneus. Diperkuat oleh Talocalcaneal ligament.
Arthrokinematik dan osteokinematik adalah gerakan yang terjadi berupa adduksi (
valgus) dan adduksi ( varus ), yang ROM keduanya adalah hard end feel.
d. Inter Tarsal Joint/ Mid Tarsal Joint (Mid Foot)
 Talo Calcaneo Navicular joint, memiliki cekungan permukaan sendi yang
kompleks,termasuk jenis sendi plan joint. Diperkuat oleh plantar
calcaneonavicular ligament.
 Calcaneo cuboid joint, merupakan plan joint, bersama alonavicularis
membentuk transversetarsal (mid tarsal joint). Diperkuat ligament: Spring
ligament, Dorsal talo navicular ligamnet, Bifurcatum ligament, Calcaneo
cuboid ligamnet, Plantar calcaneocuboid ligament.
 Cuneo navicular joint, navicular bersendi dengan cuneiforme I, II,
III , berbentuk konkaf.Cuneiforms bagian plantar berukuran lebih kecil ,
bersama cuboid membentuk transverse arc.Gerak utama ; plantar dorsal
fleksi. Saat plantar fleksi terjadi gerak luncur cuneiform ke plantar.
e. Cuboideocuneonavicular joint, sendi utamanya adalah cuneiform II-cuboid berupa
plan joint. Gerak terpenting adalah inverse dan eversi. Saat inverse cuboid
translasi ke plantar medial terhadap cuneiform III .
f. Intercuneiforms joint, dengan navicular membentuk transverse arc saat inversi-
eversi terjadi pengurangan-penambahan arc. Arthrokinematiknya berupa gerak
translasi antar os. Tarsal satu terhadap lainnya.
g. Tarso Metatarsal Joint. Cuneiforms I-II-III bersendi dengan metatarsal I-II-III,
cuboid bersendi dengan metatarsalIV-V, Metatarsal II ke proximal sehingga
bersendi juga dengan Cuneiforms I-III, sehinggasendi ini paling stabil dan
gerakannya sangat kecil. Arthrokinematiknya berupa traksi gerakMetatrsal ke
distal

 Struktur Otot
Otot berperan sebagai penggerak sendi, juga berfungsi sebagai komponen stabilisator
aktif yang menjaga integritas sendi dan tulang saat pergerakan. Tendon adalah ujung
otot yang melekat ada tulang, fungsinya untuk menghubungkan berbagai organ tubuh
seperti otot dengan tulang-tulang, tulang dengan tulang dan juga memberikan
perlindungan terhadap organ tubuh. M. Soleus dan M gastrocnemius, fungsinya untuk
plantar fleksi pedis, otot ini di innervasi oleh N. tibialis L4-L5 fungsinya untuk
supinasi (adduksi dan inversi) dan plantar fleksi pedis. M. Tibialis anterior dan M.
Tibialis Posterior, otot ini di innervasi oleh N. peroneus (fibularis) profundus L4-L5,
fungsinya untuk dorsal fleksi dan supinasi (aduksi dan inverse) pedis.
M. Peroneus Longus dan M. Peroneus Brevis merupakan pronator yang paling kuat
untuk mencegah terjadinya sprain ankle lateral, otot ini di innervasi oleh N. Peroneus
(fibularis) superficialis L5-S1. Fungsinya untuk pronasi dan (abduksi dan eversi) dan
plantar fleksi pedis tidak hanya pada ligamen, jaringan lain seperti tendon dapat
mengalami cedera, tendon yang sering mengalami cedera pada ankle sprain adalah
tendon peroneus longus dan brevis yang berfungsi terhadap gerakan eversi pada kaki.

 Struktur ligament Ankle


Ligamentum pada ankle joint dapat dibagi dalam beberapa bagian yaitu
ligamentumtalonaviculare, ligamentum talocalcaneum lateral, ligamentum
talocalcaneum medial, dan ligamentum talocalcaneum posterior. Ligamentum tarsi
dorsal termasuk ligamentum bifurcatum dengan serabut ligamentum calcaneocuboid,
ligamentum intercuneiform dorsal, ligamentum cuneocuboid dorsal, ligamentum
cuboidonaviculare dorsal, ligamentum cuneonavicular dorsal, dan ligamentum
calcaneocuboid dorsal. Ligamentum tarsi plantaria menghubungkan masing-masing
ossa tarsi pada permukaan plantaris. Ligamentum tersebutmeliputi ligamentum
plantar longum yang berjalan dari tuberositas calcanei ke cuboid danossi metatarsal.
Ligamentum calcaneinavicular plantar atau spring ligamentum sangat pentinguntuk
stabilisasi kaki. Pars medial ligamentun plantar longum, ligamentum
calcaneocuboideum plantar merupakan bagian yang sangat penting.Selain itu juga
terdapat ligamentum cuneonavicular plantar, ligamentum cuboideonavicular plantar,
ligamentum intercuneiform plantar, ligamentum cuneocuboid plantar dan ligamentum
interrosea yaitu ligamentum cuneocuboideum interossum dan ligamentum
intercuneiform interrosea. Pada ligamentum antara tarsal dan metatarsal
terdapatligamentum tarsometatarso dorsal, ligamentum tarsometatarso plantar dan
ligamentumcuneometatarsal interrosea. Diantara ossa metatarsal terdapat ligamentum
metatarsalinterrosea dorsal dan plantar yang terletak pada basis metatarsal. Ligament
pada lateral kaki antara lain adalah ligamentum talofibular anterior yang berfungsi
untuk menahan gerakan kearah plantar fleksi. Ligamentum talofibular posterior yang
berfungsi untuk menahangerakan kearah inverse. Ligamentum calcaneocuboideum
yang berfungsi untuk menahangerakan kearah plantar fleksi. Ligamentum
talocalcaneus yang berfungsi untuk menahangerakan kearah inversi dan ligamentum
calcaneofibular yang berfungsi untuk menahangerakan kearah inversi.

(
Gambar 2. Ligamen dan Tendon pergelangan kaki. Sumber: Sobotta (2010)

Gambar 3. Struktur anatomi ankle joint


2.3 ETIOLOGI
Sprain dan strain disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung, misalnya
terjatuh atau terbentur, yang menyebabkan sendi tidak pada posisi normal sehingga
terjadi tarikan yang berlebihan. Pada kasus berat dapat terjadi rupture ligament.
Sprain ankle disebabkan trauma inversi yang dapat menimbulkan cedera
ligament kompleks lateral, kadang di ikuti cedera tendon. Faktor – faktor yang
mempermudah terjadinya sprain ankle kronis antara lain, faktor intrinsik dan ekstrinsik,
faktor ekstrinsik termasuk dalam kesalahan pelatihan, kinerja yang buruk , teknik yang
salah dan menapak pada permukaan yang tidak rata, faktor intrinsik termasuk kerusakan
jaringan penyangga, ketidakstabilan aktif oleh otot otot penggerak foot and ankle
(muscle weaknes), poor proprioceptive, hypermobile foot and ankle. Faktor risiko cedera
sprain ankle kronis bisa di sebabkan abnormal foot posture yaitu : pes planus dinamis,
pes cavus, flat foot
Jaringan lunak terbuat dari kumpulan serat. Otot dan tendon mengandung sel-sel
yang memonitor tingkat kontraksi dan peregangan. Dengan aktifitas sehari-hari, otot dan
tendon menggunakan kontraksi ringan untuk melawan peregangan yang berlebihan.
Namun gerakan mendadak dengan intensitas kuat dapat memberikan tekanan terlalu
intens pada jaringan. Serat lalu meregang melebihi kapasitasnya dan robek. Pendarahan
dari pembuluh darak akibat perobekan inilah yang menyebabkan ada bengkak.
Sprain dan strain sering terjadi ketika seseorang bekerja terlalu berat atau
robeknya ligament sering terjadi karena adanya stress yang berulang, sprain sering terjadi
pada keadaan berikut:

1. Ankle joint : berjalan atau exercise pada jalan yang tidak rata
2. Knee joint : gerakan berputar pada seorang olahragawan
3. Wrist joint : terjatuh dengan tangan yang terlebihdahulu menopang beban
tubuh
4. Thumb : pada olahragawan yang biasa menggunakan raket, misalnya pemain
tenis .

Strain sering terjadi pada keadaan berikut :

1. Tergelincir di atas es
2. Berlari, melompat atau melempar
3. Mengangkat benda berat atau mengangkat dalam posisi canggung.
2.4. EPIDEMIOLOGI
Menurut hasil penelitian The Electronic Injury National Surveillance System
(NEISS) di Amerika menunjukkan bahwa setengah dari semua keseleo pergelangan kaki
(58,3%) terjadi selama kegiatan atletik, dengan basket (41,1%), football (9,3%), dan
soccer (7,9%). Hal ini dapat membuktikan bahwa persentase tertinggi sprain ankle
adalah selama berolahraga. (Martin, et al 2013).
Menurut data skunder yang di peroleh Poliklinik KONI Provinsi DKI Jakarta
pada bulan September – Oktober 2012 dengan data sekunder, populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh atlet Pelatda PON XVIII/2012 Provinsi DKI. Hasil Penelitian yang
diperoleh adalah terdapat kasus cedera sebanyak 85 pada tahun 2009, sebanyak 146 pada
tahun 2010, sebanyak 353 pada tahun 2011, dan sebanyak 419 kasus pada tahun 2012.
Prevalensi cedera terus meningkat, cedera yang didapati kasus terbanyak adalah sprain
ankle (cedera ligamen) sebanyak 41,1 %, bagian tubuh yang mengalami cedera kasus
yang terbanyak adalah bagian ekstremitas bawah sebanyak 60% dan yang paling sedikit
bagian kepala sebanyak 0,8%. Cedera akut sebanyak 64,4% dan cedera kronis 35,6%.
Tempat penanganan kasus cedera , terbanyak dilakukan di KONI DKI Jakarta sebanyak
35,2% dan yang paling sedikit di tangani di Rumah Sakit yaitu sebanyak 8,5% , Setelah
cedera sprain ankle maka akan meninggalkan gejala sisa atau cedera ulang antara 55 %
sampai 72 %, berasal dari pasien pada 6 minggu sampai 18 bulan, hal ini terjadi karena
pasien tidak mencari pengobatan yang professional (Junaidi, 2013).

2.5. MEKANISME CEDERA PERGELANGAN KAKI


Terkilir pada pergelangan kaki biasanya disebabkan oleh gerakan ke sisi
luar/samping (lateral) atau ke sisi dalam/tengah (medial) dari pergelangan kaki yang
terjadi secara mendadak. Terkilir secara inversi yaitu kaki berbelok dan atau
membengkok ke dalam dan terbalik. Tipe ini merupakan cedera yang paling umum
terjadi pada pergelangan kaki. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tulang penstabil pada
sisi sebelah samping yang mengakibatkan tekanan pada kaki menjadi terbalik. Jika
kekuatan tersebut cukup besar, pembengkokan dari pergelangan kaki terjadi sampai
medial malleolus kehilangan stabilitasnya dan menciptakan titik tumpu untuk lebih
membalikkan pergelangan kaki.
Ketika serabut otot ligamentum untuk eversi tidak cukup kuat untuk menahan
atau melawan kekuatan inversi, maka serabut ligamentum sisi sebelah samping menjadi
tertekan atau robek.
Biasanya terkilir pada kaki bagian samping meliputi satu atau dua robekan pada
serabut ligamentum. Jika satu ligamentum robek, biasanya termasuk juga ligamentum
calcaneal fibular akan robek pula.
Tekanan yang kuat pada tumit menekan kaki menjadi inversi, membuatnya lebih
mungkin untuk terjadi sprain pada sisi sebelah luar/samping. Kebalikannya, kaki yang
pronasi, kelebihan gerakan atau adanya tekanan dari telapak kaki sisi sebelah
dalam/tengah secara longitudinal lebih memungkinkan untuk terjadi eversi sebagai salah
satu pola sprain pada pergelangan kaki.
Cedera sprain pada pergelangan kaki dengan pola eversi lebih jarang terjadi
daripada cedera sprain dengan pola inversi. Mekanisme yang biasa terjadi adalah
olahragawan yang tiba-tiba menapakkan kakinya pada lubang di lapangan olahraga.
menyebabkan kaki tergerak dengan paksa dan menanamkan kaki pada gerakan yang
eksternal. Dengan mekanisme ini ligamentum anterior tibiofibular, ligamentum
interosseous, dan ligamentum deltoid menjadi robek. Dengan perobekan pada
ligamentum tersebut menyebabkan talus bergerak secara lateral, terutama mengakibatkan
degenerasi pada persendian, dan juga berakibat adanya ruangan abnormal antara medial
malleolus dan talus

2.6. GEJALA KLINIK


Ligamen menghubungkan tulang-tulang anda. Sprain terjadi saat ada ligamen yang
tertarik diluar batas fleksibilitasnya atau bahkan tertarik sampai terobek. Sprain dapat
terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari posisi normalnya karena anda
terjatuh, terpukul atau terkilir. Gejala umum Sprain adalah rasa nyeri, bengkak dan
memar di sekitar area yang terganggu, juga berkurangnya kemampuan gerak persendian
tersebut. Mata kaki terkilir (ankle sprain) adalah tipe luka dalam Sprain yang paling
umum. Sedangkan Strain terjadi saat ada otot (muscle) atau urat (tendon) yang tertarik
diluar batas fleksibilitasnya atau bahkan terobek.
Keseriusan kondisi Strain tergantung dari apakah luka dalamnya hanyalah urat yang
tertarik, atau terobek sebagian, atau terobek seluruhnya. Strain ini dapat terjadi dalam
seketika atau secara perlahan dalam jangka waktu tertentu. Strain akut (rasa nyeri lebih
tajam dan intens, terasa nyeri pada posisi tertentu dan tenggang waktunya relatif pendek)
biasanya disebabkan karena mengangkat beban yang terlampau berat atau otot-otot
mendapat tekanan yang berlebihan. Strain kronis (rasa nyeri lebih menyebar dan
tenggang waktunya relatif panjang, terasa nyeri terus-menerus) biasanya disebabkan
karena gerakan berulang yang dilakukan oleh otot atau urat sehingga otot atau urat
tersebut terluka. Gejala umum Strain adalah rasa nyeri, gemetar dan rasa lemah pada
bagian tubuh sekitar otot atau urat yang terluka, bengkak dan kram.
Pada sprain dan strain memiliki gejala klinik :

1. Pada sprain : nyeri, bengkak, memar, keterbatasan melakukan gerakan pada sendi
yang cedera,
2. Pada strain : nyeri, bengkak, spasme otot, keterbatasan pergerakan pada otot yang
cedera

Semua tanda-tanda di atas akan mempengaruhi pada daerah yang cedera. terkilir atau
keseleo paling sering terjadi pada bagian ankle/pergelangan kaki, pergelangan tangan,
dan ruas2 jari.

Gambar 4. Strain dan sprain

2.7. TINGKAT CEDERA PERGELANGAN KAKI


Sprain dan strain level akut dapat dikategorikan menurut tingkat keparahan :

1. Strain
a. Derajat I / Mild Strain (Ringan) adalah adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa
stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament. Gejala yang timbul seperti
nyeri lokal, meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot. Tanda-
tandanya yaitu adanya spasme otot ringan, bengkak, gangguan kekuatan otot
fungsi yang sangat ringan. Komplikasi yaitu Strain yang berulang dapat
menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan patologi adanya inflasi
ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun tanda perdarahan
yang besar.
b. Derajat II/Medorate Strain (Sedang) adalah adanya cidera pada unit
muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan. Gejala yang
timbul seperti nyeri local, meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada
otot. Tanda-tandanya yaitu adanya spasme otot sedang , bengkak, tenderness,
gangguan kekuatan otot fungsi sedang. Komplikasi yaitu Strain yang berulang
dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan patologi adanya
robekan serabut otot .
c. Derajat III/Strain Severe (Berat) adalah adanya tekanan/penguluran mendadak
yang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang
menghasilkan ketidakstabilan sendi. Gejala yang timbul seperti nyeri berat,
adanya stabilitasi. Tanda-tandanya yaitu adanya spasme otot kuat , bengkak,
tenderness, gangguan kekuatan otot fungsi berat. Komplikasi yaitu Strain
yang berulang dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , perubahan
patologi adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
2. Sprain
a. Sprain tingkat I yaitu cedera sprain yang ditandai dengan terdapat sedikit
hematoma dalam ligamentum dan hanya beberapa serabut yang putus, cedera
ini menimbulkan rasa nyeri tekan , pembengkakan dan rasa sakit pada daerah
tersebut.
b. Sprain tingkat II yaitu cedera sprain yang ditandai dengan banyak serabut
ligamentum yang putus, cedera ini menimbulkan rasa sakit, nyeri tekan ,
pembengkakan , efusi (cairan yang keluar) , dan biasanya tidak dapat
menggerakan persendian tersebut.
c. Sprain tingkat III yaitu cedera sprain yang ditandai dengan terputusnya semua
ligamentum , sehingga kedua ujungnya terpisah. Persendian yang
bersangkutan merasa sangat sakit, terdapat darah dalam persendian,
pembengkakan, tidak dapat bergerak seperti biasa, dan terdapat gerakan –
gerakan yang abnormal.
Gambar 5. Grade cidera
 

2.8. DIAGNOSA
Untuk menentukan diagnosa, dilakukan anamnesis bagaimana mekanisme trauma
tersebut, dari pemeriksaan fisik dapat dilihat adanya pembengkakan atau memar pada
daerah yang dicurigai mengalami cedera, bisa dilakukan palpasi untuk lebih
menspesifikan lokasi nyeri.
X-ray dapat membantu menyingkirkan kemungkinan fraktur atau cedera tulang
lainnya sebagai sumber masalah. Magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat
digunakan untuk membantu mendiagnosa tingkat cedera.

2.9. PENATALAKSANAAN
Beberapa langkah sebagai tindakan pertolongan pertama bila
mengalami sprain atau strain adalah:
 REST (istirahat)

Tindakan Rest artinya pasien harus mengistirahatkan dan melindungi wilayah


otot yang cedera. Jika terasa sakit saat menahan beban, gunakanlah penopang, dan
jika terasa sakit untuk menggerakan bagian yang cedera, lindungi dengan splint atau
kayu belat. Kurangi aktifitas sehari-hari sebisa mungkin. Jangan menaruh beban pada
tempat yang cedera selama 48 jam. Dapat digunakan alat bantu
seperti crutch (penopang/penyangga tubuh yang terbuat dari kayu atau besi) untuk
mengurangi beban pada tempat yang cedera. Aktivitas yang berlebih pada bagian
tubuh yg terkena akan memicu terjadinya komplikasi lebih lanjut, misal ligamen yang
robek akan semakin parah, bahkan seringkali terkilir disertai pula dengan
fraktur/patah/retak pada tulang.

 ICEs (kompres es)


Kompres dingin atau es akan menghasilkan vasokontriksi untuk mengurangi
pembengkakan dengan meletakkan di bagian yang terluka selama 2-3 menit tiga kali
sehari dalam 24 jam pertama. kita harus menempatkan kain di atas daerah yang cidera
dengan kantong es untuk menghindari luka akibat suhu rendah. Terapi dengan
kompres dingin ini harus dimulai dengan segera dan diteruskan sampai 24-36 jam
setelah luka terjadi

Gambar 6. Penanganan strain dan sprain dengan kompres es

 COMPRESS ( Kompres atau penekanan pada daerah yang cedera)


Tindakan Compress artinya menekan bagian yang mengalami cedera dengan
menggunakan perban khusus (ace bandage). Perban ini di harapkan juga dapat
mengikatkan kantong es di tempatnya dan tetap di lanjutkan setelah terapi dingin
ingin menghindari serta mengurangi pembengkakan. Meskipun balutan ini harus rapi,
pastikan bahwa perban ini tidak terlalu ketat karena dapat menimbulkan mati rasa,
geli atau bahkan menambah rasa sakit.
Gambar 7. Kompresi cidera

 ELEVATION ( Posisi )
Pada tindakan Elevation, pasien sebisa mungkin harus mengangkat bagian
cedera lebih tinggi di atas jantung atau dada selama 24-36 jam pertama untuk
memudahkan kembalinya darah dan untuk mengurangi pembengkakan. Misalnya jika
yang cedera lutut, upayakan pasien dalam posisi tidur kemudian lutut diangkat atau
ditopang dengan alat supaya posisinya lebih tinggi dari jantung. Teknik ini mengacu
pada prinsip bejana berhubungan dan berguna untuk mengurangi pembengkakan pada
bagian cedera. Hindari aktifitas olahraga, konsumsi alcohol dan pijat atau urut area
cidera karena dapat memperburuk pembengkakan.
Penatalaksanaan sprain dan strain tergantung pada sendi yang terlibat dan keparahan
cedera.

1. Strain
a. Medikamentosa.
Dengan analgetik seperti Aspirin (300 – 600 mg/hari) atau Asam mefenamat
(500 mg)
b. Elektromekanis.
Penerapan dingin dikompres dengan kantong es.
c. Pembalutan atau wrapping eksternal.
d. Dengan pembalutan atau pengendongan bagian yang sakit.
e. Posisi ditinggikan atau diangkat.
f. Dengan ditinggikan jika yang sakit adalah ekstremitas.
g. Latihan ROM : Latihan pelan-pelan dan penggunaan semampunya sesudah 48
jam.
2. Sprain
a. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan-
pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
b. Medikamentosa
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral
setiap 4 jam) untuk nyeri hebat.
c. Elektromekanis.
Penerapan dingin dikompres dengan kantong es.
d. Pembalutan / wrapping eksternal.
e. Dengan pembalutan, cast atau pengendongan (sung).
f. Posisi ditinggikan atau diangkat.
g. Latihan ROM : Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan
perdarahan, latihan pelan – pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung
jaringan yang sakit.

Operasi
Dalam beberapa kasus, seperti dalam kasus robek ligamen atau otot, operasi dapat
dipertimbangkan

2.10. CEDERA LAIN YANG DAPAT TERJADI PADA PERGELANGAN KAKI


2.10.1. DISLOKASI TENDON PERONEAL
Dislokasi akut tendon peroneal dapat menyertai maupun tidak pada regangan
ligament lateral. Tanda-tanda pada x - ray merupakan fraktur oblik dari maleolus lateral
(yang disebut ' rim fraktur ') atau serpihan kecil tulang berbaring lateral maleolus lateral
(avulsi dari retinakulum). Pengobatan di gips di bawah lutut selama 6 minggu akan
berhasil di lebih dari setengah kasus, sisanya akan mengeluhkan gejala sisa. Subluksasi
berulang atau dislokasi untuk pasien dapat menunjukkan bahwa tendon peroneal terkilir
depan lebih fibula selama dorsofleksi dan eversi . Pengobatan operatif dan didasarkan
pada pengamatan bahwa lampiran retinakulum ke periosteum di depan fibula.
Menggunakan jahitan non diserap melalui lubang bor di tulang , anatomi normal dapat
diciptakan.
Gambar 8. dislokasi Tendon Peroneal

2.10.2. FRAKTUR PADA PERGELANGAN KAKI


Fraktur (patah tulang) pada ujung distal fibula dan tibia merupakan istilah yang
digunakan untuk menyatakan fraktur pergelangan kaki (ankle fracture). Fraktur ini
biasanya disebabkan oleh terpuntirnya tubuh ketika kaki sedang bertumpu di tanah atau
akibat salah langkah yang menyebabkan tekanan yang berlebihan (overstressing) pada
sendi pergelangan kaki. Fraktur yang parah dapat terjadi pada dislokasi pergelangan kaki.
Fraktur ankle itu sendiri yang dimaksudkan adalah fraktur pada maleolus lateralis (fibula)
dan/atau maleolus medialis. Pergelangan kaki merupakan sendi yang kompleks dan
penopang badan dimana talus duduk dan dilindungi oleh maleolus lateralis dan medialis
yang diikat dengan ligament. Dahulu, fraktur sekitar pergelangan kaki disebut sebagai
fraktur Pott. Fraktur pada pergelangan kaki sering terjadi pada penderita yang mengalami
kecelakaan (kecelakaan lalu lintas atau jatuh). Bidang gerak sendi pergelangan kaki
hanya terbatas pada 1 bidang yaitu untuk pergerakan dorsofleksi dan plantar fleksi. Maka
mudah dimengerti bila terjadi gerakan-gerakan di luar bidang tersebut, dapat
menyebabkan fraktur atau fraktur dislokasi pada daerah pergelangan kaki. Bagian-bagian
yang sering menimbulkan fraktur dan fraktur dislokasi yaitu gaya abduksi, adduksi,
endorotasi atau eksorotasi.

MEKANISME TRAUMA PADA FRAKTUR SENDI PERGELANGAN KAKI


Fraktur maleolus dengan atau tanpa subluksasi dari talus, dapat terjadi dalam beberapa
macam trauma:

1. Trauma abduksi
Tauma abduksi akan menimbulkan fraktur pada maleolus lateralis yang bersifat oblik,
fraktur pada maleolus medialis yang bersifat avulsi atau robekan pada ligamen  bagian
medial.
2. Trauma adduksi
Trauma adduksi akan menimbulkan fraktur maleolus medialis yang bersifat oblik atau
avulsi maleolus lateralis atau keduanya. Trauma adduksi juga bisa hanya menyebabkan
strain atau robekan pada ligamen lateral, tergantung dari beratnya trauma.
3.   Trauma rotasi eksterna
      Trauma rotasi eksterna biasanya disertai dengan trauma abduksi dan terjadi fraktur
pada fibula di atas sindesmosis yang disertai dengan robekan ligamen medial atau fraktur
avulsi pada maleolus medialis. Apabila trauma lebih hebat dapat disertai dengan dislokasi
talus.
4.   Trauma kompresi vertikal
Pada kompresi vertikal dapat terjadi fraktur  tibia distal bagian depan disertai dengan
dislokasi talus ke depan atau terjadi fraktur komunitif disertai dengan robekan diastasis.

KLASIFIKASI
Lauge-Hansen (1950) mengklasifikasikan menurut patogenesis terjadinya
pergeseran dari fraktur, yang merupakan pedoman penting untuk tindakan pengobatan
atau manipulasi yang dilakukan.
Klasifikasi yang sering dipakai adalah klasifikasi dari Danis–Weber yang
berdasarkan pada level fraktur fibula, dimana fibula merupakan tulang yang penting
dalam stabilitas dari kedudukan sendi berdasarkan atas lokalisasi fraktur terhadap
sindesmosis tibiofibular.
Klasifikasi Danis – Weber adalah sebagai berikut :

1. Weber type A
Fraktur fibula dibawah tibiofibular syndesmosis yang disebabkan adduksi atau
abduksi. Medial maleolus dapat fraktur atau deltoid ligamen robek.
2. Weber type B
Fraktur oblique dari fibula yang menuju ke garis syndesmosis. Disebabkan cedera
dengan pedis external rotasi syndesmosisnya intak tapi biasanya struktur dibagian medial
ruptur juga.
3. Weber type C
Fibulanya patah diatas syndesmosis disebut C1 bila 1/3 distal dan C2 bila lebih
tinggi lagi. Disebabkan abduksi saja atau kombinasi abduksi dan external rotasi.
Syndsmosis & membrana interosseus robek juga. Tipe C ini juga dikenal sebagai fraktur
Dupuytren.

Gambar 9. Skematis klasifikasi menurut Danis-Weber : Tipe A (a), Tipe B (b), Tipe C (c&d)

GAMBARAN KLINIK
Ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan, atau
deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokalisasi dari nyeri tekan apakah pada
daerah tulang atau pada ligamen.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Dengan pemeriksaan radiologisa dapat ditentukan jenis-jenis fraktur dan
mekanisme terjadinya trauma. Foto rongent perlu dibuat sekurang kurangnya tiga
proyeksi, yaitu antero posterior, lateral, dan setengah oblik dari gambaran posisi
pergelangan kaki. Sering fraktur terjadi pada fibula proksimal, sehingga secara klinis
harus diperhatikan.
Gambar 10 . Rotgen Fraktur Ankle

PENGOBATAN
Fraktur dislokasi pada sendi pergelangan kaki merupakan fraktur intra-artikuler sehingga
diperlukan reduksi secara anatomis dan akurat serta mobilisasi sendi sesegera mungkin.
Tindakan pengobatan terdiri atas :
1. Konservatif
Dilakukn pada fraktur yang tidak bergeser, berupa pemasangan gips sirkuler di bawah
kulit.
2. Operatif
Terapi operatif dilakukan berdasarkan kelainan-kelainan yang ditemukan apakah
hanya fraktur semata-mata, apakah ada robekan pada ligamen atau diastasis pada
tibiofibula serta adanya dislokasi talus.
Beberapa hal yang penting diperhatikan pada reduksi, yaitu :
- Panjang fibula harus direstorasi sesuai panjang anatomis
- Talus harus duduk sesuai sendi dimana talus dan permukaan tibia duduk paralel.
- Ruang sendi bagian medial harus terkoreksi sampai norml (4 mm)
- Pada foto oblik tidak Nampak adanya diastasis tibiofibula

Tindakan operatif terdiri atas :


- Pemasangan screw (maleolar)
- Pemasangan tension band wiring
- Pemasangan plate dan screw
Langkah langkah penatalaksanaan fraktur ankle :

1. Reduksi fraktur terbuka atau tertutup


Tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk
kembali seperti letak semula.

2. Imobilisasi Fraktur
Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3. Mempertahankan dan mengembalikan posisi

Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan, pemberian analgetik


untuk mengerangi nyeri, status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan
gerakan) dipantau, latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimal
akan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah

4. Langkah Umum
 Analgesik dan elevasi adalah terapi yang harus dilakukan.
 Semua fraktur pergelangan kaki harus dipasangi splint dalam posisi netral.
 Fraktur fibula yang terisolasi atau fraktur malleolus media yang tak bergeser
harus dipasangi casting below-the-knee.
 Fraktur stabil harus diterapi secara fungsional dengan splint udara dan
peningkatan fungsi weightbearing secara bertahap.
 Kesesuaian sendi pergelangan kaki penting untuk dipikirkan ketika melakukan
reduksi pada arthritis post-trauma.
 Dislokasi harus secepatnya di reduksi dengan menggunakan sedasi yang
sesuai.
 Pasien yang mengalami fraktur terbuka harus dimasukan ke ruang operasi
untuk dilakukan irigasi, debridement, dan fiksasi dalam jangka waktu 8 jam.
 Pasien dilarang bertumpu pada pergelangan kaki yang mengalami fraktur
hingga tidak ada lagi nyeri dan tanda-tanda penyembuhan fraktur telah tampak
pada gambaran radiologis.
 Fraktur bimalleolar atau fraktur fibula dengan cedera ligament media atau
cedera syndesmosis hanya dapat diterapi dengan melakukan operasi.

5. Aktivitas

 Pergelangan kaki harus diangkat untuk mengurangi pembengkakan.


 Weightbearing dan ROM yang lebih dini sangat penting dilakukan untuk
mencegah kekakuan.

6. Perawatan
Penggosokan pada splint atau cast sebaiknya tidak dilakukan.
7. Terapi khusus

 Terapi Fisik

ROM pada sendi MTP dan, kemudian, pada pergelangan kaki dan pertengahan kaki
penting dilakukan untuk mencegah kontraktur dan mengurangi parut jaringan lunak.
8. Medikamentosa

 Lini Pertama : Analgesik


 Operasi

Selain persoalan yang terdapat mengenai tindakan operatip pada fraktur yang tidak
stabil ada beberapa trauma pada sendi talocrural yang memang merupakan indikasi
untuk tindakan operatif, seperti :

 Fraktur Malleolus medialis dengan interposisi jaringan lunak.


 Diastasis syndesmosis Tibiofibular inferior (distal).
 Fraktur Posterior marginal (VOLKMAN Striangle) daritibia, bilamana lebih
dari 1/3 permukaan sendi.
 Fraktur Anterior marginal dari Tibia (Pronation/dorsiflexion injury).

Sebaiknya tindakan operatif dilakukan secepatnya. Penting diingat bahwa


tindakan operatif pada penderita, dimana harus dijelaskan bahwa tujuannya adalah
mendapatkan sendi yang sebaik mungkin dan kemauan penderita untuk melatih
setelah operasi akan memegang peranan terjadinya kekakuan atau tidak. Dengan
menekankan bahwa rehabilitasi setelah tindakan konservatip maupun operatip adalah
suatu keharusan, kiranya pengertian dasar mengenai trauma pada persendian
talocrural dalam karangan ini telah diuraikan.

Untuk menentukan ada tidaknya cedera medial, kita dapat melakukan


eksternal rotasi disertai penekanan. Fraktur fibula biasanya ditangani dengan plat
melalui pendekatan insisi lateral (kita dapat menggunakan plat lateral atau posterior
yang bersifat antiglide). Fraktur malleolar medial dapat distabilisasi dengan sekrup
kompresi. Sebuah plat penopang dapat digunakan untuk mengatasi fraktur vertical.
Cedera sindesmosis yang bersifat tidak stabil pada tes fluoroskopis harus ditangani
dengan fiksasi sekrup sindesmosis. Fraktur terbuka atau tidak stabil membutuhkan
sebuah fiksator eksternal dengan atau tanpa internal fiksasi.

9. Follow Up

 Gambaran radiografi pasien harus di-follow up tiap 1-2 minggu


 Setelah splint awal dilepaskan, pasien sebaiknya dipasangi cast below-the-
knee atau moon boot selama 4 minggu.
 Setelah itu gambaran radiografi di-follow up lagi tiap 6 minggu hingga fraktur
sembuh.

10. Disposisi

2.11. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada kondisi ini meliputi :
- Gangguan fungsi ligament (jika terjadi tarikan otot yang kuat sebelum sembuh dan
tarikan tersebut menyebabkan regangan pada ligament yang rupture, maka ligament
ini dapat sembuh dengan bentuk memanjang, yang disertai pembentukan jaringan
parut secara berlebihan).
- Strain dan sprain yang berulang dapat menyebabkan Tendonitis dan Perioritis , dan
perubahan patologi adanya inflasi serta dapat mengganggu/robeknya jaringan otot
dan tendon dari intensitas ringan – berat tergantung tipe strain yang didapatkan.
Strain dapat mengakibatkan ptah tulang karena robeknya ligament , membuat tulang
menjadi kaku dan mudah patah bila salah mobilisasi.
- Vaskuler, Apabila terjadi fraktur subluksasi yang hebat maka dapat terjadi gangguan
pembuluh darah yang segera, sehingga harus dilakukan reposisi secepatnya.
- Malunion, Reduksi yang tidak komplit akan menyebabkan posisi persendian yang
tidak akurat yang akan menimbulkan osteoarthritis.
- Osteoartritis
- Algodistrofi adalah komplikasi dimana penderita mengeluh nyeri, terdapat
pembengkakan dan nyeri tekan di sekitar pergelangan kaki. Dapat terjadi perubahan
trofik dan osteoporosis yang hebat.
- Kekakuan yang hebat pada sendi
- Dislokasi berulang
- Kelemahan Otot
- Fraktur dislokasi
- Kontraktur
- Trauma jaringan

2.12. PROGNOSIS
Prognosis cedera pada pergelangan kaki tergantung dengan derajat keparahan dan
penanganan pada cedera tersebut. 36%-85% dapat sembuh sempurna dalam 3 minggu-6
bulan. Setelah 12 bulan pertama, terdapat resiko kembali ke kambuh. 3%-34%
mengalami ankle sprain berulang pada 2 miggu – 96 bulan. Setelah 3 tahun masih ada
yang mengalami nyeri dan instabilitas. Dislokasi berulang akibat ligamen yang ruptur
tersebut tidak sembuh dengan sempurna sehingga diperlukan pembedahan untuk
memperbaikinya (kadang-kadang).
BAB III
KESIMPULAN

1. Persendian pergelangan kaki mudah sekali terserang cedera, sendi ini tidak mampu
melawan kekuatan medial, lateral, penekanan, dan rotasi. Kesemuanya ini terjadi
karena lemahnya otot atau lapisan lemak.
2. Sprain dan strain disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung, misalnya
terjatuh atau terbentur, yang menyebabkan sendi tidak pada posisi normal sehingga
terjadi tarikan yang berlebihan. Pada kasus berat dapat terjadi rupture ligament.
3. Ketika serabut otot ligamentum untuk eversi tidak cukup kuat untuk menahan atau
melawan kekuatan inversi, maka serabut ligamentum sisi sebelah samping menjadi
tertekan atau robek.
4. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk melihat pada cedera pergelangan kaki yang
curiga ada fraktur tulang.
5. Penatalaksanaan pada cedera pergelangan kaki utamakan terlebih dahulu RICE pada
derajat ringan dilanjutkan dengan medikamentosa berupa analgetik, pada derajat yang
lebih berat diterapi dengan operasi baik sprain, strain maupun fraktur.
6. Prognosis cedera pergelangan kaki tergantung dengan derajat keparahan cedera.
Semakin tinggi derajat semakin mungkin berulang dan dapat dioperasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. AAOS. Sprain and strain [series online] 2015 [October 2007]. Available from: URL:
http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=A00111
2. Anonym. Disease and condition sprain and strain [series online] 2015 [Jan. 24, 2015].
Available from: URL: http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/sprains-and-
strains/basics/treatment/con-20020958
3. Peterson, L., dan Renstrom, P., (1990). Sports Injuries: Their Prevention and
Treatment. London: CIBA-GEIGY.
4. Prionoadi B. pengelolaan cidera sprain tingkat II [series online] 2015. Available
from:URL:http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/131453189/Sprain%20II
%20Ankle.pdf
5. Rasjad, Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Edisi 3. Penerbit Yarsif
Watampone: Makassar; 2007.
6. Reksoprojo.S: Editor; Pusponegoro.AD; Kartono.D; Hutagalung.EU; Sumardi.R;
Luthfia.C; Ramli.M; Rachmat. KB; Dachlan.M. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Penerbit Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM; Jakarta.2001.
7. Sabiston. DC; alih bahasa: Andrianto.P; Editor Ronardy DH. Buku Ajar Bedah
Bagian 2. Penerbit EGC; Jakarta.
8. Schwartz.SI; Shires.GT; Spencer.FC; alih bahasa: Laniyati; Kartini.A; Wijaya.C;
Komala.S; Ronardy.DH; Editor Chandranata.L; Kumala.P. Intisari Prinsip Prinsip
Ilmu Bedah. Penerbit EGC; Jakarta.2000.
9. Sjamsuhidajat.R; De Jong.W, Editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi, Cetakan
Pertama, Penerbit EGC; Jakarta.2012. 1058-1064.

Anda mungkin juga menyukai