Buku Biru Anestesiologi Undip
Buku Biru Anestesiologi Undip
PUBLICATION *
Editor:
Profc Dr.4>oenarjo, SpAn KIC, KAKV Dr. Heru
Dwi Jatmiko, StiAn KAKV, KAP
Pasal 2
(1). Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta dan Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 72
(1) . Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
(2) . Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedar
kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta
atau Hak Terkait sebagal-mana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah).
V_________________________________________________ J
ANESTESIOLOGI
Editor:
Prof. Dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV
Dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNDIP/RSUP Dr. KARIADI
SEMARANG
Anestesiologi
Penulis:
Prof. dr. Soenarjo, SpAn. KIC, KAKV - Prof. dr. H. Marwoto, SpAn, KIC, KAO
dr. Witjaksono, SpAn, Mkes - dr. Hariyo Satoto, SpAn (K) - dr. Uripno Budiono, SpAn (K)
dr. Abdul Lian, SpAn, KNA - dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP
dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO - Dr. dr. M. Sofyan Harahap, SpAn, KNA
dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR - dr. Johan Arifin, SpAn, KAP, KIC
dr. Jati Listlyanto P, SpAn, KIC, dr. Doso Sutlyono, SpAn
dr. Aria Dian Primatika, M.Si. Med, SpAn - dr. Himawan Sasongko, M.Si. Med, SpAn, KNA
dr. Danu Susilowati, SpAn, KIC - dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn
dr. Hari Hendriarto S ,M.Si. Med, SpAn, KAKV - dr. Yusmalinda, SpAn
dr. Mochamat, M.Si. Med, SpAn - dr. Taufik Eko N, M.Si. Med. SpAn
Editor:
Prof. dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV
dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV,KAP
Desain Isi:
dr. Aunun Rofiq
dr. Mohammad Arief Kurniawan
Desain Cover:
dr. Iwan Dwi Cahyono, SpAn
dr. Puja Laksana Maqbul
PENERBIT:
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF (PERDATIN)
CABANG JAWA - TENGAH
RS. dr. Kariadi Jl. dr. Sutomo 16 Semarang
ISBN 978-602-96968-0-6
Hak Cipta dilindungi Undang-undang No. 19 Th. 2002
All rights reserved
Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Juni 2010 M.
Edisi Kedua, Cetakan Pertama April 2013 M
Edisi Kedua, Cetakan Kedua April 2015 M
PENGANTAR
Puji suku kami panjatkan kehadirat Allah yang Maha Kuasa, karena kami masih diberi
kesempatan dan kesehatan sehingga buku Anestesiologi edisi kedua ini dapat terwujud.
Terbitnya edisi kedua buku Anestesiologi ini adalah dalam rangka menyesuaikan
perkembangan Ilmu Anestesiologi yang semakin pesat.
Dalam edisi kedua ini ada beberapa perubahan, terutama adalah perubahan di bab
CPR dimana sekarang sudah terjadi perubahan tentang pedoman CPR dengan mengikuti
AHA 2010. Sedangkan untuk penambahan bab adalah tentang ICU dimana hal ini sesuai
dengan cakupan anestesiologi dan terapi intensif yang berkompeten dalam penanganan
pasien di ICU.
Kemudian untuk sejarah anestesi ada penambahan sub bab tentang anestesi di
masa depan, hal ini dalam rangka mengikuti perkembangan ilmu anestesi yang semakin
pesat, dimana sekarang cabang ilmu anestesi sudah berkembang banyak, antara lain:
anestesi kardiovaskuler, neuroanestesi, intensif care, obsetri anestesi, pediatric anestesi,
regional anestesi, pain managemen.
Mudah-mudahan edisi kedua ini semakin membuat para pembaca bisa lebih mudah
mempelajari Ilmu Anestesiologi.
Tim Penyusun
v
SAMBUTA
N
KEPALA SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUP DR. KARI ADI
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya sekali lagi saya ucapkan kepada para staf
Anestesiologi FK Undip dan tim penyusun yang terus tiada henti mengembangkan buku
Anestesiologi sehingga terbitlah buku edisi kedua ini.
Buku edisi kedua ini diharapkan lebih lengkap dan lebih baik dari edisi sebelumnya
sehingga dapat memberikan sumbangsih yang lebih baik bagi pelayanan Bagian
Anestesiologi pada umumnya serta dapat membantu adik- adik mahasiswa, coas, residen
dalam mendalami Ilmu Anestesi pada khususnya.
Dengan semakin meningkatnya peran bagian anestesi dalam pelayanan di rumah
sakit tentunya juga harus diimbangi dengan peningkatan pengetahuan tentang
perkembangan terbaru Ilmu Anestesiologi sehingga pelayanan yang kita berikan telah
sesuai dengan standart yang telah ada baik di level nasional maupun internasional.
Mari kita berikan yang terbaik bagi pasien, anak didik kita serta bangsa dan negara.
v
i
SAMBUTA
N
DEKAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
Ucapan selamat dan terima kasih saya ucapkan kepada Bagian Anes- tesiologi dan
Terapi Intensif FK UNDIP bekerjasama dengan PERDATIN (Perhimpunan Dokter Spesialis
Anestesi dan Terapi Intensif) cabang Jawa Tengah yang telah berhasil menyusun buku
Anestesiologi edisi kedua ini.
Kami bangga dengan kerja keras dari para staf Bagian Anestesiologi demi kemajuan
pendidikan Ilmu Anestesi di FK UNDIP dan demi perkembangan Ilmu Anestesiologi pada
umumnya, oleh karena itu FK UNDIP akan terus memberikan dukungan kepada Bagian
Anestesiologi. Hasil yang positif ini juga diharapkan mampu mendorong bagian-bagian yang
lain untuk menghasilkan karya yang serupa.
FK UNDIP dengan para civitas akademik yang terkait akan terus berupaya
menjadikan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro menjadi center pendidikan
Kedokteran yang modern, dan diharapkan akan terus mencetak dokter-dokter di Indonesia
yang berkualitas dan berintegritas tinggi. Dan itulah sumbangsih yang akan kita berikan bagi
bangsa dan Negara kita tercinta.
Saya berharap dan memohon kepada para staf Bagian Anestesiologi agar karya ini
terus berkembang dan tidak berhenti sampai disini.
Semoga buku edisi kedua ini bisa bermanfaat bagi para mahasiswa, coas, residen,
dan civitas akademik yang terkait dalam mendalami Ilmu Anestesi.
PENGANTAR-v
SAMBUTAN KEPALA SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUP DR. KARIADI - vii
SAMBUTAN DEKAN FK. UNDIP - ix
DAFTAR ISI—xi
Bab I : Sejarah Anestesi -1
Soenarjo, Witjaksono
Bab II : Fisiologi-9
Widya Istanto Nurcahyo, Himawan Sasongko,
Hari Hendriarto Satoto
Bab III : Tes Faal Paru - 27
Hari Hendriarto Satoto, Himawan Sasongko, Widya Istanto Nurcahyo
Bab IV : Resusitasi Jantung Paru - 47
Soenarjo, Mochamat
Bab V : Mesin Alat Anestesi - 65
Heru Dwi Jatmiko, Yusmalinda, Hari Hendriarto Satoto
Bab VI : Persiapan Preanestesi - 95
Johan Arifin, M. Sofyan Harahap, Himawan Sasongko
Bab VII : Anestesi Umum -111
Uripno Budiono
Obat Anestesi inhalasi - 131
Obat Anestesi Intravena Non Narkotik -149
Bab VIII : Muscle Relaxant / Pelumpuh Otot -171
Uripno Budiono
Bab IX : Narkotik Analgetik -183
Uripno Budiono
Bab X : Pengelolaan Jalan Nafas -197
Doso Sutiyono, Danu Susilowati, Widya Istanto Nurcahyo
Bab XI : Intubasi Endotrakea - 209
Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati
x
i
Bab XII : Terapi Oksigen - 221
Widya Istanto Nurcahyo, Danu Susilowati, Doso Sutiyono
Bab XIII : Pemantauan Selama Anestesi - 241
Himawan Sasongko, Heru DwiJatmiko, M. Sofyan Harahap
Bab XIV : Terapi Cairan - 271
Ery Leksana, Jati Listiyanto P, Danu Susilowati
Bab XV : Syok dan Pengelolaan Hemodinamik – 281
Jati Listiyanto Pujo, Heru DwiJatmiko, Johan Arifin
Bab XVI : Resusitasi Cairan - 297
Soenarjo
Bab XVII : Masalah Nyeri - 309
Witjaksono, Yulia Wahyu Villyastuti, Doso Sutiyono
Bab XVIII : Anestesi Lokal / Regional - 323
Marwoto, Aria Dian Primatika
Bab XIX : Teknik Anestesi Spinal dan Epidural - 339
Aria Dian Primatika, Marwoto, Doso Sutiyono
Bab XX : Anestesi Obstetri - 345
Danu Susilowati, Ery Leksana, M. Sofyan Harahap
Bab XXI : Anestesi Pada Pediatri - 351
Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati, Jati Listiyanto Pujo
Bab XXII : Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan - 357
Hariyo Satoto, Hari Hendriarto Satoto
Bab XXIII : Tanda-tanda Kematian dan Mati Batang Otak – 375
M. Sofyan Harahap, Abdul Lian, Himawan Sasongko
Bab XXIV : Perawatan Intensive/lntensive Care Unit (ICU) - 385
Johan Arifin, Taufik Eko Nugroho
Bab XXV : Anestesi untuk Pelayanan Bedah Sehari/Pembedahan Pasien
dengan Rawat Jalan (One Day Surgery) - 421
Johan Arifin
xi
i
BABI
SEJARAH ANESTESI
Soenarjo, Witjaksono, Moh. Sofyan Harahap
PERKEMBANGAN ANESTESIOLOGI
PADA masa lalu, masyarakat umum bahkan filusuf dan tabib beranggapan bahwa nyeri adalah hal penting bagi
pembentukan watak seseorang dan harus diterima sebagai bagian dari kehidupan. Ketabahan dan pengalaman penderitaan
adalah penting bagi penyembuhan selanjutnya. Penyelesaian kekerasan membutuhkan pribadi berani dan ruang operasi diisi oleh
korban- korban perang, jeritan penderita dan penolong, dan pemaksaan kehendak terhadap penderita. Ahli bedah melakukan
operasi pada lesi permukaan, amputasi atau operasi besar dalam jumlah yang terbatas dalam suasana seperti kejagalan yang tak
terbayangkan dan rasa nyeri yang luar biasa.
Hippocrates (400 SM) memberikan perhatian terhadap masalah nyeri dan menjelaskan penghilang nyeri dengan opium.
Selama beberapa abad kemudian ahli bedah telah berusaha meringankan nyeri pembedahan dengan ekstrak tumbuh-tumbuhan
dan cara-cara mekanik yang lain. Discorides (100 M) dari Yunani, memberikan campuran akar mandragora, sedangkan Huang To
(250 M) dari Cina, menggunakan ganja untuk membuat penderita tak sadar selama pembedahan, Nicolás (1200 M) dari Salerno,
memberikan pertimbangan tentang manfaat inhalasi uap dari "busa saporifik" (yang di celupkan dalam ganja, opium,
mandragora, dll) pada anestesi bedah.
Valerius Cardus (1540 M) mensitesis "minyak manis vitriol" dan Paracelsus dari Swiss menjelaskan induksi tidur dengan
uapnya pada ayam. August
Froberins (1730 M) dari Jerman, memberikan nama ether pada minyak manis dari vitrol. Michael Faradey (1818 M) dari Inggris,
mengamati efek analgesi dari inhalasi ether. Sebelumnya dari Inggris, Joseph Priestly secara berurutan menemukan oksigen
(1771) dan nitrogen oksida (1772), sedangkan Humprey Davy (1880) mengemukakan dugaan manfaat nitrogen oksida untuk
naestesi pembedahan.
Pada Desember 1864, di dua tempat yang berbeda, dua orang dokter gigi, Morton WTG (USA) dan Robinson J. (Inggris)
memberikan ether pada pencabutan gigi penderitanya. Simpson JY. (1846) memperkenalkan khloro- form untuk menghilangkan
nyeri pada persalinan di Edinburg Skotlandia. Robinson J. (1847) menerbitkan buku ajar pertama tentang anesthesia di dunia dan
2 II Anestesiologi
kedokteran. Ilmu anestesi mempunyai basis ilmu kedokteran dasar, seperti Anatomi, Farmakologi dan Fisiologi. Ketika ilmu
kedokteran dikembangkan lagi atas dasar biomolekuler, imunologi, dan epidemiologi, maka sering dijumpai riset-riset
anestesiologi berdasarkan ilmu-ilmu kedokteran dasar baru tersebut di atas. Pendidikan Ahli Anestesiologi memerlukan pula dasar
ilmu praklinik seperti laboratorium klinik, mikrobiologi dan gizi, berhubungan erat dengan Ilmu Kedokteran Klinik seperti Ilmu
Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Saraf, Radiologi. Dan bekerja sama mengelola penderita bersama dokter Bedah,
Kebidanan dan Kandungan, Mata, Telinga Hidung dan Tenggorokan.
Keberadaan seorang ahli anestesi di kamar operasi tidak akan tergugat sampai kapanpun. Kehadirannya di ruang pasca
operasi adalah bagian yang tak terpisah dari pekerjaannya sebagai ahli anestesi. Masalah nyeri adalah persoalan yang digeluti dan
riset-riset untuk mengatasi secara efektif diperlukan bagi pekerjaannya mengatasi nyeri pasca operasi. Keterlibatan di klinik nyeri
di timbulkan akibat ahli anestesi banyak mengetahui cara-cara mengatasi nyeri, termasuk blokade saraf perifer. Pada banyak
center, ahli anestesi yang di anggap mengerti aplikasi fisiologi, seperti ventilasi mekanik, masalah sirkulasi, pengendalian gangguan
keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa, memimpin unit perawatan intensif. Pada saat ini banyak pula ahli anestesiologi,
yang bekerja secara eksklusif hanya pada unit tersebut. Karena ketrampilan klinik dan kemampuan managerial,
ahli anestesi dapat pula bekerja di unit gawat darurat dan kedokteran bencana.
4 II Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
FISIOLOGI
Widya Istanto Nurcahyo, Himawan Sasongko,
Hari Hendriarto Satoto
FISIOLOGI JANTUNG
MESKIPUN secara anatomi jantung hanya terdiri dari satu organ tunggal, tetapi
secara fungsional jantung terbagi atas dua pompa yaitu pompa jantung kanan dan kiri di
mana masing-masing terdiri atas atrium dan ventrikel. Ventrikel, baik kanan maupun kiri,
bertindak sebagai pompa utama. Ventrikel kanan menerima darah dari sistem vena yang
miskin oksigen (deoxygenated) dan memompanya masuk ke sirkulasi pulmoner. Ventrikel
kiri menerima darah yang kaya oksigen (oxygenated) dari vena pulmonaris dan
memompanya masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Empat katup yang bergerak dalam arah
yang sama menjadi pintu masuk ke dalam dan pintu keluar darah dari tiap-tiap ruangan
jantung (Gambar 1).
JH Oxygen-'ich blood □
to lungs Oxygen poor blood
lungs
Superior
vena cava Pulmonary veins
from lungs
Pulmonary Left atrium
veins from Mitral valve
iunijs
Atrial septum
Aortic valve
Gambar 1
Struktur Anatomi Jantung Normal dan Arah Aliran Darah di Jantung
Tricuspid
Aksi pompa jantung secara normal merupakan hasil peristiwa mekanik dan elektrik
valve Ventricular
yang sangat kompleks. Otot jantung dapat dibagi atau dibedakanseptum
menjadi empat jenis yaitu
Inferior
atrial, ventrikular,
vena specialized pacemaker dan sel- sel konduksi. Eksitasi alamiah dari sel-sel
cava
otot jantung dan organisasi yang unik menyebabkan jantung dapat berfungsi sebagai
pompa yang sangat efisien. Pulmonary valve
isovolumetrik isovolumetrik
Gambar 3
Aliran Darah dalam Jantung dan Pembuluh Darah Selama Siklus Jantung
BAB II - Fisiologi || 9
Sistem sirkulasi terdiri atas jantung, pembuluh darah dan darah itu sendiri. Fungsinya
adalah untuk menyediakan oksigen dan zat-zat makanan bagi jaringan dan membawa hasil
metabolisme yang tidak perlu untuk dibuang. Jantung membagi darah menjadi dua sistem
sirkulasi yang bekerja secara seri. Pada sirkulasi pulmoner, darah mengalir melalui
membran kapiler alveolar untuk mengambil oksigen dan mengeliminasi karbondioksida.
Pada sirkulasi sistemik, darah yang kaya oksigen dipompakan ke jaringan untuk
metabolisme, dan produk-produk metabolisme diangkut untuk dieliminasi melalui paru,
ginjal atau hati.
Darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri dipompa keluar jantung saat ejeksi sistolik,
masuk ke dalam aorta melewati katup aorta dan akan dialirkan ke sirkulasi darah sistemik.
Darah kembali ke jantung melalui sistem vena masuk ke atrium kanan melalui vena kava
superior dan inferior, kemudian masuk ke ventrikel kanan melewati katup trikuspidal.
Darah yang miskin oksigen ini oleh ventrikel kanan dipompa masuk ke paru melalui
arteria pulmonalis, melewati katup pulmoner. Di paru kemudian darah mengalami
oksigenasi, kemudian dialirkan kembali ke jantung. Darah yang kaya oksigen ini melalui
vena pulmonlis masuk ke atrium kiri kemudian masuk ventrikel kiri melewati katup mitrai.
Oleh ventrikel kiri kemudian dipompakan kembali untuk masuk ke sirkulasi darah sistemik
(Gambar 4,5),
| Kepala dan Ekstremitas Atas
Gambar 5
Skema Sirkulasi Sistem Kardiovaskuler
Paru-paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan terletak di dalam rongga
dada atau toraks. Kedua paru-paru saling terpisah oleh medias- tinum sentral yang berisi
jantung dan beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apeks (bagian
atas paru-paru) dan basis. Pembuluh darah paru-paru, bronkial, saraf dan pembuluh limfe
memasuki tiap paru- paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru
kanan lebih besar daripada paru-paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura
interlobaris, sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi dua lobus (Gambar 6) Lobus-lobus
tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru-
paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru-paru kiri menjadi 9 segmen. Pleura
merupakan lapisan tipis, kontinyu mengandung kolagen, dan jaringan elastis yang melapisi
rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru-paru (pleura viseralis). Di
antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis berisi cairan pleura
yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan
untuk mencegah pemisahan toraks dan paru-paru.
Kavum pleura atau pleura hanyalah suatu ruangan potensial karena tidak ada
ruangan sesungguhnya antara pleura parietalis dan pleura viseralis. Tekanan dalam rongga
pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir sehingga dapat mencegah kolapsnya paru- paru.
Trachea
{Wind Pipe)
Gambar 6
Pembagian Lobus Paru-paru
BAB II - Fisiologi || 12
pergerakan udara masuk dan keluar paru-paru disebut sebagai ventilasi. Yang mempunyai
peranan penting adalah pompa resiprokatif yang disebut pipa penghembus nafas. Pipa ini
mempunyai dua komponen volume-elastis: paru- paru itu sendiri dan dinding yang
mengelilingi paru-paru. Dinding terdiri dari rangka dan jaringan dinding toraks, diafragma, isi
abdomen dan dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang merupakan bagian dinding
toraks merupakan sumber kekuatan untuk menghembus pipa. Diafragma merupakan otot
utama yang ikut berperan dalam peningkatan volume paru-paru dan dinding toraks selama
inspirasi; ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang.
Penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah arteri Pa02 dapat juga merangsang
ventilasi. Kemoreseptor perifir yang terdapat dalam badan karotis pada percabangan arteri
karotis komunis dan dalam badan aorta pada lengkung aorta peka terhadap penurunan
Pa02. Akan tetapi Pa02 harus turun dari tingkat normal sebesar 90 sampai 100 mmHg
hingga mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan cukup berarti.
Hubungan antara Ventilasi-Perfusi
Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan
distribusi merata udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Pada
orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir
seimbang kecuali pada apeks paru-paru. Sirkulasi pulmonar dengan tekanan dan resistensi
rendah mengakibatkan aliran darah di basis paru-paru lebih besar daripada bagian apeks.
Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi (V/Q) adalah 0,8. Angka ini didapatkan
dari rasio rata-rata laju ventilasi alveolar normal (4 L/menit).
Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi pada kebanyakan penyakit
pernafasan. Tiga unit pernafasan abnormal secara teoritis terlihat pada gambar 8Gambar
8A menggambarkan unit ruang sepi yang mempunyai ventilasi normal, tetapi tanpa perfusi
sehingga ventilasi terbuang percuma (V/Q = tidak terhingga). Unti pernafasan abnormal
kedua (Gambar 8B) merupakan unit pirau, di mana tidak ada ventilasi tetapi perfusi normal
sehingga perfusi terbuang sia-sia (V/Q = 0). Unit terakhir Gambar 8C merupakan unit diam
di mana tidak ada ventilasi dan perfusi.
Transport Oksigen dalam Darah
Oksigen dapat diangkut dari paru ke jaringan melalui dua jalan: secara fisik larut
dalam plasma atau secara kimia berkaitan dengan hemoglobin sebagai oksihemoglobin
(Hb02). Ikatan kimia oksigen dengan hemoglobin ini bersifat reversibel. Jumlah
sesungguhnya yang di angkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan monoliner dengan
Pa02 (tekanan parsial oksigen dalam darah arterial), yang ditentukan oleh jumlah oksigen
yang secara fisik larut dalam plasma darah. Selanjutnya jumlah oksigen yang secara fisik
larut dalam plasma mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial oksigen dalam
alveolus (PA02). Kecuali itu juga tergantung daya larut oksigen dalam plasma. Jumlah
oksigen dalam keadaan normal larut secara fisik sangat kecil karena daya larut oksigen
dalam plasma yang rendah. Hanya sekitar 1% dari jumlah oksigen total yang diangkut ke
BAB II - Fisiologi \ |
13
jaringan ditranspor dengan cara ini. Cara transpor seperti ini tidak dapat memadai untuk
mempertahankan hidup walaupun penderita dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian
besar oksigen diangkut oleh hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah. Dalam
keadaan tertentu (misalnya: keracunan karbon dioksida atau hemolisis masif di mana
terjadi Insufisiensi hemoglobin) maka oksigen yang cukup untuk mempertahankan hidup
dapat ditranspor dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan oksigen tekanan yang
lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang oksigen hiperbarik).
Hal-hal yang berkaitan dengan transpor oksihemoglobin dilukiskan pada Gambar 7.
Satu gram hemoglobin dapat mengikat 1,34 ml oksigen. Karena konsentrasi hemoglobin
rata-rata dalam darah pria dewasa besarnya sekitar 15 g per 100 ml, maka 100 ml darah
dapat mengangkut (15 x 1,34)= 20,11 ml oksigen bila darah jenuh total (Sa02= 100%). Tetapi
darah yang sudah teroksi- genisasi dan meninggalkan kapiler paru ini mendapatkan sedikit
tambahan darah vena campuran dari sirkulasi bronkial (Gambar 7). Proses pengenceran ini
yang menjadi penyebab sehingga darah yang meninggalkan paru hanya jenuh 97 persen,
dan hanya (0,97 x 20,1) = 19,5 volume persen diangkut ke jaringan.
Pada tingkat jaringan oksigen akan berdisosiasi dari hemoglobin dan berdifusi ke
dalam plasma. Dari plasma oksigen berdifusi ke sel jaringan tubuh untuk memenuhi
kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan bervariasi, namun
sekitar 75% dari hemoglobin kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi
sesungguhnya hanya sekitar 25 % oksigen dalam darah arteria yang digunakan untuk
keperluan jaringan. Hemoglobin yang telah melepaskan oksigen pada tingkat jaringan
disebut hemoglobin tereduksi (Hb). Hemoglobin tereduksi berwarna ungu dan me-
nyebabkan warna kebiruan pada darah vena, seperti yang kita lihat pada vena superfisial,
misalnya pada tangan. Sedangkan oksihemoglobin (hemoglobin yang berkaitan dengan
oksigen) berwarna terang dan menyebabkan warna ke merah merahan pada darah.
14 11 Anestesiologi
Transpor Karbon Dioksida dalam Darah
Homeostasis karbon dioksida juga suatu aspek penting dalam kecukupan respirasi.
Transpor karbon dioksida dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara.
Sekitar 10% C02 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O 2, C02 mudah larut
dalam plasma. Sekitar 20% C0 2 berikatan dengan gugus amino pada hemoglobin
(karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk
bikarbonat plasma. Karbon dioksida berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini:
Gambar 8
Transport Karbon Dioksida
Reaksi ini reversibel dan dikenal dengan nama persamaan dasar asam karbonat-
bikarbonat. Keseimbangan asam-basa tubuh sangat dipengaruhi oleh fungsi paru dan
homeostatis karbon dioksida. Pada umumnya hiper- ventilasi menyebabkan alkalosis akibat
ekskresi C02 berlebihan dari paru.
Hipoventilasi dapat menyebabkan asidosis (penurunan kadar pH di bawah pH
normal 7,4) akibat retensi karbon dioksida oleh paru. Dengan memeriksa persamaan dapat
terbukti bahwa penurunan PC02 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan
menyebabkan reaksi menjurus ke kiri dengan akibat terjadi penurunan kesentrasi H +
(kenaikan pH), dan peningkatan PC02 menyebabkan reaksi menjurus ke kanan,
menimbulkan kenaikan H+ (penurunan pH). Hipoventilasi terjadi pada banyak keadaan yang
mempengaruhi napas. Retensi karbon dioksida juga dihubungkan dengan emfisema dan
bronkitis kronik akibat udara yang terperangkap dalam paru.
Sama seperti jumlah 02 yang diangkut dalam darah berkaitam dengan P0 2 pada
darah tersebut, demikian jumlah C0 2 dalam darah berkaitan dengan PC0 2. tidak seperti
kurva disosiasi oksihemoglobin yang bentuknya seperti huruf S, kurva disosiasi C02 hampir
linier pada batas-batas fisiologis PC02. ini berarti bahwa kandungan karbondioksida dalam
darah berhubungan langsung dengan PC02. Selain itu tidak pernah ada hambatan yang
nyata terhadap difusi C02. karena itu PaC02 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan
ventilasi.
BAB II - Fisiologi ||
15
FISIOLOGI HEPAR
Hepar merupakan organ kelenjar tubuh yang terbesar dengan berat 1000-4000 gram
dengan rata-rata berat sekitar 1500 gram atau dihitung secara kasar kira-kira seperlimabelas
dari berat badan. Pada bayi heparnya relatif lebih besar, kurang lebih seperdelapan belas
berat badan waktu lahir, sebagian besar terdiri dari lobus kiri sehingga perut bayi tampak
seperti lebih menonjol.
Hepar merupakan organ plastis lunak yang terletak oleh struktur di- sekitarnya.
Permukaan superior adalah cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan
sebagian kubah kiri setinggi iga ke-5 dan procesus xyphoideus. Bagian bawah hepar adalah
cekung dan merupakan atap dari ginjal, lambung, pankreas, dan usus.
Unit fungsional dasar hepar adalah lobulus hepar yang berbentuk silindris dengan
panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter, yang merupakan unit
mikroskopis dan fungsional organ. Hepar manusia terdiri dari 50.000 sampai 100.000
lobulus. Lobulus-lobulus ini terdiri dari lempengan-lempengan sel hepar yang tersusun
secara radier dan centrifugal dari vena centralis seperti jari-jari sebuah roda. Tiap lobulus
dipisahkan oleh jaringan interseptal di mana terdapat banyak pembuluh-pembuluh darah
cabang-cabang kecil dari vena porta, a. hepatis, selain itu duktus terminalis saluran empedu,
saluran limfe dan jaringan ikat lainnya. Hepar manusia ter-
diri dari dua lobus utama, kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan
posterior oleh fisura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi
segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiforme yang dapat dilihat dari luar.
Ligamentum falsiforme berjalan dari hati ke diafragma dan dinding depan abdomen.
Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan
posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan
lipatan peritoneum membantu menyokong hepar. Di bawah peritoneum terdapat jaringan
penyambung padat yang dinamakan kapsula glisson, yang meliputi seluruh permukaan
organ; kapsula ini pada hilus atau porta hepatis di permukaan inferior, melanjutkan diri ke
dalam massa hati, membentuk cabang-cabang vena porta, arteri hepatika, dam saluran
empedu.
Pada umumnya lempengan sel hepar terdiri dari beberapa sel yang di antaranya
terdapat kanal-kanal kecil yang mengalirkan cairan empedu ke- duktus terminalis saluran
empedu (dalam septal). Di dalam septal berjalan venul portal yang membentuk sinus
hepatis yang semuanya menuju vena centralise. Jadi sel-sel hepar terletak di antara sinus
hepatis kanal-kanal kecil dari saluran empedu, sel kupffer (disebut juga sel retikuloendotel)
yang bersifat fagosit terletak pada dinding sinus hepatis. Di antara sel-sel hepar terdapat
ruang-ruang yang sangat kecil yang disebut ruang dari Disse (space of Disse), membentuk
pori-pori yang besar sehingga plasma protein dapat berdiffusi secara bebas melalui ruang
ini. Ruang dari Disse ini juga berhubungan dengan saluran limfe, bilamana terjadi kelebihan
cairan dalam ruangan ini, akan dialirkan ke dalam saluran limfe.
Seperti telah kita ketahui hepar merupakan organ parenkim terbesar yang
16 11 Anestesiologi
mempunyai daya regenerasi dan cadangan kemampuan yang besar serta menduduki
urutan pertama dalam hal banyaknya, kerumitan dan ragam dari fungsinya. Bila terjadi
kerusakan kurang dari 80% atau fungsi hati sekitar 10-20% saja dari jaringan normal, hepar
mampu mempertahankan kehidupan. Jelaslah peranan hepar sangat penting untuk
mempertahankan kehidupan dan kesehatan seseorang sebagai tanggung jawab fungsi
metabolisme dan lebih dari 500 aktivitas berbeda. Fungsi utama hepar meliputi:
1. Pembentukan dan ekskresi empedu.
2. Metabolisme pigmen empedu (billirubin).
3. Metabolisme karbohidrat.
4. Metabolisme protein.
5. Metabolisme lemak.
6. Metabolisme steroid.
7. Penyimpanan air, vitamin dan mineral.R
8. Regulasi koagulasi darah.
9. Penyimpanan besi.
10. Metabolisme obat (detoksikasi).
11. Fungsi sistem retikuloendotelial.
Bilirubin serum merupakan indikasi yang sederhana dan test terbaik untuk
mengetahui adanya kelainan pada fungsi obstruksi. Pada keadaan normal total bilirubin
serum kurang dari 1,5 mg/100 ml dan akan mulai terlihat adanya ikterus bila lebih besar
sama dengan 3 mg/100 ml.
Albumin dan waktu protrombine merupakan out-come test dari indikator gangguan
fungsi sintesa. Waktu protrombine mencerminkan keadaan faktor pembekuan II, V, VII, dan
X yang semuanya diproduksi di hepar. Faktor VII mempunyai waktu paruh biologik dalam
serum lebih kurang 5 jam. Apabila terjadi gangguan fungsi sintesa ini maka akan terjadi
pemanjangan beberapa jam waktu protrombine.
Pada kelainan hepar yang kronis fungsi sintesa albumin akan terlihat secara sensitif
oleh karena waktu paruh albumin yang hanya 10-14 hari, apabila dibandingkan pada
penyakit hepar yang akut. Dengan demikian pada penyakit hepar yang kronis penurunan
kadar serum albumin sering diikuti perpanjangan waktu protrombine.
Peningkatan nilai serum SGOT dan SGPT sering digunakan untuk menilai gangguan
dan kerusakan pada hepatoseluler. Perbandingan ratio SGOT/SGPT digunakan untuk
menentukan jenis kelainan penyakit hepar. Bila ratio meningkat tapi SGPT normal,
peningkatan SGOT ini menggambarkan kelainan di luar hepar, bila SGOT dan SGPT
meningkat keduanya dengan peningkatan ratio di atas 4 menggambarkan kelainan hepatitis
Wilson, bila nilai ratio antara 2-4 menunjukkan penyakit liver alkoholik, bila nilai ratio di
bawah 1 berarti penyakit nonalkoholik steatosis atau hepatitis (tanpa cirrhosis). Apabila
SGOT dan SGPT di bawah 300IU/L dan ratio melebihi 2 pasti penyakit liver alkoholik atau
chirrosis karena penyebab apapun.
Nilai aminotransferase < 250 IU/L kelainannya hepatik steatosis, hepatitis karena
BAB II - Fisiologi ||
17
alkohol atau obat, hepatitis kronik virus, cirrhosis, hemochromatosis, cholestasis, neoplasma
atau previus jejunoileal by pass.
Nilai aminotransferase 250-500 IU/L gambarannya hepatocelluler necrosis
kelainannya hepatitis virus atau karena obat, excacerbations hepatitis kronik. Nilai
aminotransferase di atas 1000 IU/L selalu serangan virus atau induksi obat yang menyertai
penyakit liver alkoholik, outoimmune dan hepatitis. Nilai aminotransferase lebih 2000 IU/L
gambarannya massive hepatic necrosis biasanya karena obat (acethaminophen, halothane
hepatitis). Peningkatan LDH ditemukan di hepar dan non hepar jadi test ini kurang spesifik
dibandingkan test aminotransferase.
Serum alkaline phosphatase biasanya digunakan untuk screening test penyakit hepar
atau saluran billier termasuk hepatitis akut, keganasan, dan cholestatic disorder. Serum ini
juga ditemukan di tulang, plasenta, usus halus, ginjal, leukosit, dan neoplasma.
Peningkatan y-Gluyamyl Transpeptidase hampir selalu disertai kenaikan bilirubin akan
tetapi enzim ini tidak diproduksi di tulang. Jadi bila ada penyakit tulang tidak akan
ditemukan peningkatan enzim ini.
FISIOLOGI GINJAL
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga peritoneal bagian
atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi
ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur- struktur pembuluh darah, sistem limfatik,
sistem syaraf dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal.
Walaupun hanya merupakan 0,5% massa tubuh, namun keberadaan ginjal sangatlah
penting dalam kehidupan manusia. Berbagai fungsi seperti pengaturan keseimbangan
elektrolit dan air, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit, ekskresi
produk sisa metabolik dan zat asing, pengaturan tekanan arterial, pengaturan
keseimbangan asam basa, pengaturan osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit,
sekresi hormon dan glukoneogenesis. Seluruh proses yang demikian kompleks dikerjakan
oleh bagian tertentu dari ginjal baik secara independen ataupun simultan antara satu bagian
ginjal dengan bagian ginjal yang lain ataupun dengan sistem organ lain.
Pada masing-masing ginjal terdapat 1 juta nefron sebagai unit fungsional dasar ginjal.
Nefron tidak dapat dibentuk lagi dan jumlahnya akan menurun bertahap oleh karena
trauma, penyakit atau proses penuaan, sehingga jumlahnya akan berkurang 10% setiap 10
tahun sejak usia 40 tahun. Penurunan jumlah ini tidak akan membahayakan karena adanya
perubahan adaptif pada nefron yang tersisa sehingga tetap dapat mengekresikan air,
elektrolit dan produk sisa dengan tepat. Berdasarkan anatomi fungsionalnya nefron terdiri
atas:
1. Kapiler Glomerolus.
2. Tubulus Proksimal.
3. Ansa Henle.
4. Tubulus Distal.
18 11 Anestesiologi
5. Tubulus Kolektivus.
6. Aparatus Juxta Glumerular.
Glomerolus merupakan tempat utama terjadi proses filtrasi. Jumlah filtrat yang
dibentuk setiap menitnya pada semua nefron kedua ginjal disebut laju filtrasi glomerolus,
dengan nilai normal rata-rata 125 ml/menit. Proses filtrasi tergantung dari permeabilitas
barier filtrasi dan selisih dari gaya hidros- tatik yang mendorong cairan ke celah Bowman.
Tubulus merupakan tempat utama terjadinya proses reabsorpsi zat-zat yang berguna
bagi tubuh. Kapasitas maksimum dari tubulus dalam mengabsorpsi zat-zat tersebut dapat
diukur dan disebut sebagai proses obligatorik. Tubulus memiliki kapasitas yang besar untuk
reabsorpsi air dan NaCl. Tubulus juga mempunyai fungsi ekskresi zat-zat asing dari kapiler
peritubuler ke dalam filtrat dan sintesis amonia sebagai regulator asam basa.
Ansa Henle menyerap 15-20% dari natrium yang terfiltrasi. Ansa Henle bersama
dengan tubulus kolektivus dan vasa recta berperan dalam mekanisme countercurrent
Selain itu ansa Henle juga berperan dalam reabsorpsi kalsium, magnesium, dan hormon
paratiroid.
Proses filtrasi glomerolus dan reabsorpsi tubulus secara kuantitatif berpengaruh
besar terhadap produksi urin. Ginjal memiliki kemampuan untuk mengubah komposisi urin
dari waktu ke waktu yang mencerminkan kebutuhan tubuh dalam mengatur berbagai zat.
Mekanisme ini disebut juga dengan countercurrent, yang terbagi menjadi countercurrent
multiplier dan counter- current exchanger.
Ginjal merupakan organ tubuh yang penting dalam pengaturan cairan tubuh dengan
mengontrol volume darah, volume cairan ekstraseluler, osmo- laritas cairan tubuh, dan
konsentrasi beberapa ion dalam tubuh.
Bekerja sama dengan paru-paru, ginjal menjaga keseimbangan asam basa dalam
tubuh. Mekanismenya dengan menghasilkan buter natrium bikarbonat, buter kombinasi
BAB II - Fisiologi ||
19
ion H+ dengan karbonat hasil filtrasi glomerolus, buter lainnya, antara lain fosfat inorganik,
urat, ion kreatinin dan juga mampu mengabsorpsi amonia.
Ginjal berperan dalam pengaturan kerja hormon renin, aldosteron, atrial natruretik
peptida dan anti diuretik hormon. Selain itu ginjal juga memproduksi hormon eritropoeitin
yang menstimulasi produksi sel darah merah.[]
20 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Maas ML, Kumpulan Makalah dalam Pertemuan Ilmiah Berkala X Ikatan Dokter
Spesialis Anesthesiology Indonesia, Bandung Mei 2000, hal. 231- 145.
2. Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit,
editors. Wijaya C. dr. Alih bahasa: Peter A; ed. 4, cetakan I, EGC, Jakarta 1995
3. Guyton AC; Hall JE, Editor Bahasa Indonesia oleh Setiawan I; Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran, Edisi 9 Jakarta, EGC: p.1323-1325
4. Collins VJ. Hepatobiliary Disease and Anesthesia, in: Physiologic and Pharmacologic
Base of Anesthesia. Baltimore: Williams dan Wilkins, 1996: p. 396-416
5. Orfei E. dr, Drug Induced Liver Injury, Available from URL http://
www.medicalcentre.osu.edu//ptiencare/healthinformation/otherhealth
opik/liverbilliery pancreatic dos 4540/the liver anatomy function 4542.
6. Orfei E. dr, The liver: Anatomy and Function, available from URL, http://
www.medden.luc.edu/lumen/med ED/orfpath/drug %20hepatitis.
7. Martini FH, Ober WC, Garrison CW, Editors Development and Inheritance, in:
Fundamentals of Anatomy and Physiology; 7th ed, San Fransisco: Pearson Education
Benyamin Commings, 2006: p.1074-1109.
8. Morgan GE, Mikhail MS, Muray MJ, Clinical Anestesiology; 3th ed. New York: Me.
Grawhill; 2002. p. 808-873,2312.
9. Mushlin PS, Gelman S, Hepatic Physiology and Patophysiology. In: MillerRD, editors.
Miller's Anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Elseiver Churchill Livingstone 2005. p. 743-
750
10. Katzung, BG, Editor Bahasa Indonesia oleh: Sjabana D. dkk: Farmakologi Dasar dan
Klinik, Edisi 8-Buku 2 Jakarta; Salemba Medika: 2002: p.24-56, 130-203,469-479.
11. Aitkenhead AR, Rowbotham DJ, Smith G, Text Book of Anesthesia; 4th ed. London:
Elseiver Churchill Livingstone 2005. P250-258.
BAB III
PENDAHULUAN
Tes faal paru mempunyai peranan penting dalam persiapan pre anestesi. Meskipun sederhana dan tanpa resiko, tes faal
paru sering dilakukan tanpa indikasi yang jelas akibat keterbatasan pengetahuan tentang fisiologi dari para dokter. Hal ini
menyebabkan para dokter sering mengalami kesulitan untuk menginterpretasi hasil tes.1
Tes faal paru sebagai pemeriksaan pre anestesi ditujukan untuk mengetahui fungsi paru seseorang apakah terdapat
kelainan paru dan tingkat keparahannya.1,2 Tujuannya untuk mengurangi resiko terjadinya kegagalan fungsi paru, komplikasi paru
post anestesi lain dan mengetahui kemajuan perbaikan paru setelah pemberian obat-obatan.1
Wighman (1968) menyatakan faktor resiko terjadinya komplikasi paru adalah pembedahan di daerah thorax dan abdomen
atas, penyakit paru sebelumnya, merokok, operasi > 180 menit dan usia tua. 3 Tisi (1979) menyatakan bahwa faktor resiko
komplikasi paru adalah umur > 70 tahun, obesitas, pembedahan di daerah thorax dan abdominal atas, riwayat merokok dan
adanya kelainan paru sebelumnya. Pada perkembangannya, data menurut Tisi ini masih dianggap terlalu luas, maka American
College of Chest Physician (1995) membuat guidelines baru yaitu tes faal paru perlu diperiksa pada reseksi paru, riwayat merokok,
dyspnea, bedah jantung, pembedahan di
23 II Anestesiologi
aliran udara bisa sangat pelan, sehingga tidak terdengar wheezing, ini disebut silent chest.
Tanda ketiga adalah memanjangnyaVentilatio
waktu ekspirasi. Dapat dilihat saat pemeriksaan
n
FVC. Pemeriksa meletakkan stetoskopnya di atas laring. Secara normal terdengar suara
bronkial selama 1-2 menit. Di mana pada obstruksi berat, pasien mengambil nafas lagi
sebelum ekspirasi dalam selesai.
Suara yang ditimbulkan karena retensi sputum paling baik didengarkan pada paru
bagian posterior. Pada kelainan bronkial ringan, suara hilang bila pasien batuk. Tetapi bila
suara tetap ada setelah batuk, kemungkinan besar terjadi bronkiektasis.2,11
C. Fluoroskopi
Fluoroskopi dapat memberi informasi tambahan tentang fungsi paru. Penilaian
dalam fluoroskopi menurut rekomendasi dari American Medical Association adalah:10
1. Kecepatan udara masuk dan keluar.
2. Pernafasan (diafragma, abdominal, intercostal dan aksesoria).
3. Perpanjangan aerasi selama inspirasi dan ekspirasi.
4. Gerakan abnormal atau adanya fixasi: hila, mediastinum, tanda paru lain.
5. Perbedaan antara paru dan segmen paru.
6. Bukti adanya kista dan proses patologis yang lain.
D. Spirometri
Pemeriksaan kuantitatif ventilasi diukur menggunakan spirometri.10 John Hutchinson
adalah penemu spirometer pada abad ke-19. Ada 2 macam spirometer, yaitu wet
spirometer dan dry spirometer. Wet spirometer adalah alat yang terdiri dari silinder padat
yang di dalamnya terdapat rongga berisi air. Wet spirometer sangat akurat tetapi kurang
nyaman dipakai karena gerakan air sangat mempengaruhi pengukuran aliran udara. Dry
spirometer lebih sering digunakan. Di sini udara mengisi rongga dalam silinder. Pasien
meniup spirometer saat ekhalasi maksimal menuju tube. Pengembangan spirometer
kemudian dicatat di tabel yang bergerak sesuai axis x. Pengukuran dilakukan 3-5 kali,
kemudian diambil hasil pengukuran tertinggi.12
24 II Anestesioiogi
Gambar 1
Pengukuran Paru dengan Spirometer
1. Vital capacity
a. Cara Pemeriksaan
Vital Capacity (VC) adalah volume yang diukur pada individu yang melakukan
inspirasi dalam dan maksimal sampai mencapai Totai Lung Capacity (TLQ dan kemudian
ekspirasi maksimal hingga mencapai Residual Volume (RV) kemudian ditiupkan pada
spirometer sebanyak 3 kali secara perlahan.2,13
b. Harga normal dan interpretasi
Harga normal vital capacity dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Harga Normal untuk Vital Capacity (VC)10
VC dikatakan abnormal jika turun kurang dari 80 % dari nilai yang diprediksi.
Harga normal VC lebih rendah pada pasien yang tidur terlentang daripada pasien duduk
dan bervariasi tergantung berat badan dan umur. Pasien dengan penyakit paru restriktif
seperti pneumonia, atelektasis atau fibrosis pulmonal, mempunyai nilai VC yang rendah.
Penurunan VC jug
terjadi pada kelemahan otot atau nyeri sehingga pasien sulit melakukan inspirasi
maksimal.14
2. Forced Vital Capacity (FVC)
a. Cara pemeriksaan
Forced Vital Capacity (FVC) adalah volume yang diukur pada individu yang
melakukan inspirasi dalam dan maksimal sampai mencapai Total Lung Capacity (TLC) dan
kemudian ekspirasi maksimal hingga mencapai Residual Volume (RV) kemudian ditiupkan
pada spirometer sebanyak 3 kali lagi secara cepat.2 Ekspirasi sekurang-kurangnya dilakukan
dalam waktu 4 detik dan tidak boleh diganggu batuk, penutupan glotis atau obstruksi
mekanis.1
b. Harga normal dan interpretasi
FVC menggambarkan resistensi udara jalan nafas. Pada obstruksi jalan nafas, FVC
akan berkurang dari VC normal karena adanya air trapping. Untuk mengetahui obstruksi
jalan nafas, aliran udara dihitung dari volume ekspirasi selama interval waktu tertentu. Yang
paling sering diukur adalah volume ekspirasi detik pertama, disebut Forced Expiratory
Volume detik ke-1 (FEVj). Di mana pasien sehat dapat mengekspirasi 75-80% dari FVC pada
detik ke-1 dan sisanya diekspirasi dalam 2 atau 3 detik berikutnya. (Gambar2)110
Time (see)
Gambar 2
Forced Vital Capacity (FVC) dan Forced Expiratory Volume Detik ke-1 (FEVi)
pada Pasien Normal1
Pada penyakit paru obstruktif, terjadi penurunan FEV X dan FEVj/FVC akibat
penurunan aliran ekspirasi.1,10 Pada penyakit paru restriktif terjadinya penurunan TLC yang
menyebabkan penurunan FVC. Akibat dari bermacam- macam kelainan paru dapat dilihat
pada tabel 2.1
Derajat obstruksi jalan nafas diketahui dengan prosentase FEV]/FVC. Nilai FEVj/FVC
<70% menunjukkan obstruksi ringan. Nilai <60% menunjukkan obstruksi sedang dan nilai <
50% menunjukkan obstruksi berat.1
Perlu diingat bahwa FEVj/FVC menunjukkan suatu perbandingan, sehingga
prosentase yang sama belum tentu menunjukkan derajat disfungsi paru yang sama.
Sebagai contoh pasien dengan FEVi 1,5 liter dan FVC 3 liter berbeda derajat kelainan
parunya dibandingkan pasien dengan FEVi 0,75 liter dan FVC 1,5 liter, meskipun keduanya
mempunyai rasio FEVi/FCV 50%. (Gambar 3f°
n&sx 4-5- C A; Normal, (S3 ixsîruenvs. asal iCi e&tncOsc ¡x»:í«>ms « &
Gambar 3
Perbandingan FEV/FVC pada Pasien Sehat (A), Obstruktif (B), Restriktif (C)12
3. Flow Rates
a. Cara pemeriksaan
Pengukuran flowrate dapat menggunakan beberapa alat, yaitu spirometer, hand
held flow meter atau pneumotachygraph,1,12 Peak flow dapat diukur dengan menggambar
kemiringan yang paling curam pada spirogram, tetapi cara ini terdapat banyak kesalahan.
Oleh karena itu peak flow rate diukur mulai 0,1 detik setelah FVC atau dihitung sebagai
28 j I Anestesiologi
b. Harga normal dan
Harga normal MW bervariasi sesuai dengan alat pengukur yang digunakan (tabel 3)10
interpretasi
Nilai MW pada orang normal tidak akan mampu dipertahankan lebih dari 1 menit.
Meskipun begitu, kira-kira 80% MW dapat dipertahankan selama 15 menit dan sampai 60%
untuk jangka waktu yang lebih lama. Nilai yang abnormal (<80% dari perkiraan)
menunjukkan adanya kelainan pada fungsi paru secara kasar. 1 Karena aliran udara tinggi
diperlukan untuk mengukur MW, pengukuran terpengaruh oleh perubahan tahanan paru,
sehingga dirumuskan (MW = FEViX 35).
Tabel 3
Harga normal Maximum Voluntary Ventilation Berdasarkan Alat Pengukur
29 j I Anestesiologi
kurang dari +40 cm H20 menunjukkan ketidakmampuan dalam reflek batuk yang adekuat.
6 Kurva Flow-Volume
a. Cara pemeriksaan
Pemeriksaan kurva flow-volume menggunakan spirometer untuk mengetahui FVC,
kemudian saat mencapai TLC dihubungkan dengan pneumotachograph untuk mengetahui
flow, sinyal dari pengukuran dihubungkan komputer untuk dibuat kurva flow-volume.
Aliran udara dan volume dicatat sejak pasien inspirasi maksimal sampai mencapai TLC
kemudian diikuti ekspirasi maksimal. Aliran udara akan menurun pada pertengahan
ekspirasi. Seluruh usaha ekspirasi dan inspirasi di sekitar TLC sangat tergantung pada
usaha. Perbandingan aliran inspirasi dan ekspirasi adalah 50%. Sehingga perbandingannya
adalah 1. Perbandingan ini digunakan untuk mengindentifikasi obstruksi jalan nafas atas,
di mana aliran inspirasi akan turun dibanding aliran ekspirasi sehingga perbandingannya
meningkat >l}
b. Harga normal dan interpretasi
Dari kurva, dapat dilihat flow udara pada berbagai volume paru. Pada permulaan
inspirasi, aliran udara naik dengan cepat menuju nilai maksimum volume paru mendekati
TLC. Ketika mulai ekspirasi, volume paru menurun, jalan nafas menyempit, tahanan
meningkat dan aliran udara menurun secara pasif. Berikut adalah kurva flow-volume pada
orang normal (gambar5).
Skema Maksimum Inspirasi (Vi) dan Ekspirasi (Ve) Kurva Flow-Volume pada Orang Normal
30 11 Anestesioiogi
b. Harga normal dan
interpretasi
Gambar 6
Kurva Forced Expiratory Volume (FEV) pada Orang Normal pada Usaha Maksimal (A),
Usaha Sedang (B) dan Usaha Minimal (C)
Pengaruh usaha ekspirasi dalam aliran udara sangat penting. Setiap individu
mempunyai kurva yang berbeda untuk setiap usaha yang berbeda, meskipun dengan FVC
yang sama. Pada volume mendekati TLC, aliran udara naik seperti ditunjukkan kurva A pada
gambar 6. Pada usaha yang diturunkan, kurva B dan C, tampak adanya penurunan aliran.
Tetapi pada ketiga kurva akan menyatu pada satu titik dan menurun bersama sampai
mencapai RV. Pada volume paru tengah sampai rendah hanya diperlukan usaha sedang
untuk mencapainya. Karenanya kenaikan usaha ekspirasi hanya berbeda sedikit antara
ketiga kurva pada bagian ini. bagian ini disebut effort independent. Pada titik ini, fungsi aliran
hanya tergantung pada 2 variabel. (PL dan Paw).1
Kurva flow-volume membantu mendeteksi obstruksi jalan nafas atas dan melokalisasi
tempat obstruksi. Pada kebanyakan kelainan, tidak ada perubahan yang signifikan pada
jalan nafas selama inspirasi dan ekspirasi. Sehingga aliran ekspirasi memperlihatkan aliran
yang konstan pada VC. Aliran udara inspirasi memperlihatkan kemiringan yang sama.
(Gambar 7)
Contoh obstruksi ekstrathorak adalah paralise plika vocalis yang ditandai stridor
inspirasi. Selama inspirasi kuat, tekanan transmural jalan nafas menyebabkan kolapsnya
jalan nafas. Selama ekspirasi, tekanan positif jalan nafas atas menyebabkan penurunan
obstruksi dan aliran ekspirasi menurun sampai normal.
Contoh obstruksi intrathorak adalah tumor di trakea atau bronkus. Selama inspirasi
kuat, PPLs tinggi menurunkan diameter jalan nafas dan meningkatkan obstruksi. Selama
inspirasi, penurunan PPL di sekitar jalan nafas akan menyebabkan penurunan obstruksi.
Perbandingannya rendah karena adanya obstruksi jalan nafas difus. Contohnya obstruksi
jalan nafas difus distal akan menunjukkan gambaran abnormal yaitu penurunan aliran di
sekitar RV.1
7. Maximum Flow Rate
a. Cara pemeriksaan
Maximum flow rate tergantung 3 faktor. Faktor pertama adalah tingkat usaha
yang digunakan untuk kontraksi otot. Usaha pernafasan dinilai dengan mengukur kadar
Pemax dan Pimax.
Faktor kedua adalah recoil pressure of the lung (PL). Nilai PL terbesar saat TLC (25-
30 cm H20) dan terendah saat RV (2-3 cm H20) (gambar 8). PL berlawanan dengan recoil
pressure of the chest wall (Pew). Recoil pressure of respiratory system (Prs) merupakan
jumlah PL+ Pew. PL dan Pew adalah sama, sehingga normalnya harga Prs adalah O.1
Faktor ketiga adalah airway resistance (Raw) dan airway conductance (Gaw). Batas
atas Raw adalah 2 cm H20 dalam 1 detik. Gaw dihitung dari volume paru saat pengukuran
dibuat (FRC). Koefisien variasi (standar deviasi/rata-rata x 100%) normal untuk pasien <10%.
Pada pasien normal, tahanan jalan nafas atas akan naik dengan flexi kepala, karena
berkurangnya diameter hipofaring. (gambar 9)
Gambar9
Grafik Airway Resistance (RAW) dan Airway Conductance (GAW)
Tabel 4
Mekanisme Penurunan Aliran Udara Ekspirasi
Variabel Fisiologis
Penyakit Pemax Pl
Raw
34 j I Anestesioiogi
pada pasien di suhu kamar, berkisar 8 mm Hg pada orang muda. Pada umur 80an, nilai
normal mencapai 25 mmHg.1
2. Multiple breath nitrogen washout
Pengukuran distribusi ventilasi merupakan tes yang sangat sensitif terhadap obstruksi
jalan nafas. Pada tes ini sisa N2 paru dibuang dengan pemberian 02 100%, sehingga
konsentrasi N2 menurun sepanjang volume ekspirasi. Jika distribusi ventilasi normal dan
sama, paru akan kelihatan sebagai 1 bagian besar yang menghilangkan nitrogen dengan
cepat (gambar 10). Pada pasien dengan penyakit paru dan ventilasi yang tidak sama, kurva
akan bergeser dan tampak lebih dari satu bagian paru. Alveoli dengan ventilasi yang baik,
menyebabkan penurunan cepat dari N2 yang diekspirasi- kan, di mana area dengan ventilasi
yang kurang baik akan menunjukkan waktu yang lebih lama.
DLCO= CO miymin/mmHg
35 || Anestestologl
PACCTPCCO
Teknik yang sering digunakan untuk mengukur DLco/ adalah dengan tes single
breath. Pada metode ini, pasien ini menginspirasi gabungan dilusi CO dan menahan nafas
sampai 10 detik. Selama periode ini, CO meninggalkan gas alveolar untuk masuk ke darah
secara difusi. Kadar CO yang ditransfer dihitung dari prosentase CO pada gas alveolar pada
permulaan dan akhir dengan analisis inframerah. Metode single breath ini sederhana
karena tidak memerlukan sampel darah, tetapi kerugiannya tidak sensitif pada CO darah
dan terpengaruh ringan pada V/Q. Harga normal DLco berkisar antara 20-30
miymnt/mmHg. Penurunan volume kapiler darah menyebabkan penurunan DLco seperti
pada emfisema, reseksi paru, emboli pulmonum, anemia dan fibrosis pulmonal.
Peningkatan DLCO dapat terjadi pada posisi supine, olahraga, obesitas1
F. Tes Excercise
Terdapat peningkatan evaluasi preanestesi untuk kapasitas exercise sejak akhir
1990an. Contoh tes exercise yang paling mudah adalah naik tangga. Kemampuan untuk
naik 3 anak tangga (1 tangga = 6 inci) dianggap baik sedangkan kemampuan untuk naik 2
anak tangga, memperlihatkan resiko tinggi.
Perkiraan kuantitatif dari fungsi kardiopulmonal diukur dari uptake 02 maksimum
selama exercise. Kadar V02 max sangat penting untuk mengukur kemampuan fisik
seseorang dan menunjukkan kemampuan untuk bertahan dari stress perioperatif dan
sesudahnya. Pasien dengan nilai V02 max 20 miykg/mnt atau lebih mempunyai morbiditas
yang minimal. Pasien dengan nilai <15 mL/kg/mnt mempunyai kemungkinan komplikasi
yang lebih tinggi di mana jika V02 max <10 miykg/mnt mempunyai resiko tinggi dengan
angka mortalitasnya >30 %. Nilai V02 max juga dapat diperiksa dengan menggunakan naik
2 anak tangga (20 langkah/menit) tanpa dyspnea kira-kira mempunyai kadar V02 max 16
miykg/mnt.
Test lain yang mudah dikerjakan adalah test berjalan 6 menit. Di mana pasien yang
mampu berjalan 180 kaki dalam 1 menit (2mph) mempunyai kemampuan jalan 6 menit
sepanjang 1080 kaki, dianggap mempunyai V02 max sekitar 12 ml/kg/mnt. Jarak kurang
dari 2000 kaki untuk test jalan 6 menit menunjukkan V02 max kurang dari 15 mL/kg/mnt.1
36 11 Anestesiologi
G. Test Sederhana Lain
1. Match test
a. Cara pemeriksaan
Pasien disuruh untuk meniup kertas korek api dari jarak 15 cm, tetapi kedua
bibir tidak boleh bertemu satu sama lain
b. Interpretasi
Pasien yang dapat melakukan tes ini mempunyai ventilasi yang adekuat dan
pasien yang tidak dapat mematikan api memerlukan tes-tes lain lebih lanjut
untuk mengetahui fungsi parunya.14
Tabel 5
Faktor yang Mempengaruhi Evaluasi Paru Preoperatif Olehtisi (1979)
Obesitas
Tes faal paru digunakan untuk mengetahui kemungkinan kegagalan paru post
operasi. Disini disampaikan salah satu pedoman pemeriksaan paru preoperatif oleh Tisi
(1979) (tabel5)
Pada perkembangannya, data menurut Tisi ini masih dianggap terlalu luas, maka
American College of Chest Physician membuat guidelines baru (Tabel 6). Tujuannya adalah
mengurangi tes spirometri yang tidak perlu dan menghabiskan biaya.
B. Indikasi Tes Faal Paru pada Pasien Reseksi Paru
Tujuan utama dari penilaian adalah menentukan apakah penghilangan paru dapat
ditoleransi tanpa adanya insufisiensi dari paru. Kemampuan jangka panjang untuk hidup
pada reseksi paru berhubungan dengan banyaknya jaringan dan fungsi paru yang direseksi
dan fungsi paru yang tersisa.
Di bawah ini adalah syarat tes faal paru pada pasien yang akan dilakukan reseksi paru
menurut Miller (2005):
1. FEVi lebih besar dari 2 L dan perbandingan FEVi/FVC minimal 50%.
2. MW lebih besar dari 50% perkiraan.
3. Perbandingan RV/TLC <50%.
Jika ada salah satu kriteria yang tidak terpenuhi, tes faal paru dilanjutkan dengan tes
pada tiap paru untuk memperkirakan fungsi tiap paru. Jika fungsi paru yang diangkat lebih
rendah dari fungsi ventilasi, hasil spirometri yang rendah bisa diabaikan. Tes faal paru yang
digunakan adalah radiospirometri xenon untuk mengetahui ventilasi dan iodium atau
technetium untuk menilai perfusi. Prediksi FEVi postoperasi adalah sekitar 800 mL Jika
terdapat hipertensi pulmonal (>35 mmhlg) dan hipoksemia arterial (Pa02 < 45 mmhlg) tidak
terjadi, dapat diperkirakan sisa paru dapat mengakomodasi seluruh cardiac output. Pasien
seperti ini dapat dibedah walaupun terdapat kelainan1
C. Usaha Peningkatan Fungsi Paru
Tujuan utama untuk evaluasi paru preanestesi adalah untuk mengurangi
kemungkinan komplikasi paru. Di mana pasien dengan fungsi abnormal dapat diperbaiki
dengan terapi untuk meningkatkan fungsi paru, sehingga terjadi penurunan komplikasi post
38 11 Anestesiologi
operasi.
Secara ideal, terapi seperti exercise, nutrisi, edukasi dan fisioterapi dapat
meningkatkan kapasitas fungsional pada pasien dengan penyakit paru signifikan Meskipun
begitu, terapi ekstensif tidak praktis dilakukan preoperatif dan terapi yang terbatas biasanya
dijalankan 48 sampai 72 jam sebelum pembedahan.
Ada 4 garis besar dari pengobatan, yaitu:
1. Berhenti merokok.
2. Mobilisasi dari sekresi.
3. Terapi dari bronkospasme.
4. Peningkatan motivasi dan stamina.
Meskipun secara umum diketahui bahwa berhenti merokok, akan diikuti oleh
penurunan sekresi jalan nafas dan reaktifitas jalan nafas dan peningkatan transpor
mukosiliar, di mana efek ini akan terjadi 2 sampai 4 minggu setelah dihentikan. Efek jangka
pendek (48-72 jam) dapat menyebabkan peningkatan sekresi dan hiperreaktif jalan nafas.
Kegunaan utama berhenti merokok adalah penurunan kadar karboksihemoglobin dan
kemampuan oksigenasi jaringan yang lebih baik. Ada bukti lain bahwa reflek jalan nafas atas
akan berkurang dengan berhenti merokok. Efek samping lain pada induksi (batuk, menahan
nafas dan laringospasme) akan menurun.
Penghilangan sekresi adalah komponen penting dari persiapan preoperatif, karena
adanya faktor peningkatan infeksi dan reaktifitas jalan nafas. Terapi antibiotik untuk pasien
dengan bronkitis kronis sangat menolong, tetapi sekresi paling baik dihilangkan dengan
hidrasi yang adekuat dan dengan terapi aerosol. Penggunaan mukolitik dan ekspektoran
oral masih dipertanyakan dan terdapat bahaya iritasi jalan nafas dan efek samping lain.
Terapi yang dilakukan terbatas pada perkusi dan vibrasi dikombinasikan dengan drainase
postural.
Obat-obatan yang sering digunakan misalnya p2 simpatomimetik aerosol untuk
pencegahan dan pengobatan bronkospasme. Penggunaan antikolinergik seperti
ipratropium pada takikardia. Teofilin sering digunakan, tetapi harus diperhatikan toksisitas
dan efikasinya. Pasien thorakotomy juga dipersiapkan untuk meningkatkan motivasi dan
stamina. Edukasi dan latihan dengan spirometer sangat penting untuk perawatan paru post
operasi.
40 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Gal TJ: Pulmonary Function Testing. In: Miller, RD (ed.): Miller's Anesthesia, 6 th Ed.
Philadelphia, Churchill Livingstone, 2005:999-1016.
2. Milledge JS: Preoperative Assessment in Patients with Pre-Existing Disease of The
Respiratory System. In: Gray TC (ed.): General Anesthesia, 5th Ed. Essex,
Butterworth & Co, 1989:360-364.
3. Wighman JA: A Prospective Survey of Incidence of Postoperative Pulmonary
Complication. Br J Surg, 1968; 55:85-91.
4. Kroenke et. al.: Postoperative Complications After Thoracic and Major Abdominal
Surgery in Patients with and Without Obstructive Lung Disease. Chest. 1993; 104 (5):
1445-1551.
5. Badget RG et. al.: Can Moderate Chronic Obstructive Pulmonary Disease be
Diagnosed by Historical and Physical Findings Alone? Am J Med. 1993; 94 (2): 188-
196.
6. Wa Ish G L et. a I. : Resection of Lung Cancer is Justified in High Risk Patients Selected
by Exercise Oxygen Consumption. Ann Thorax Surg. 1994; 58 (3): 704-710.
7. Bolliger CT et. al.: Lung Scanning and Exercise Testing for the Prediction of
Postoperative Performance in Lung Resection Candidates at Increased Risk For
Complications. Chest. 1995; 108 (2): 341-348.
8. Nomori Hepatitis et. al.: Preoperative Respiratory Muscle Training: Assessment in
Thoracic Surgery Patients with Special Reference to Postoperative Pulmonary
Complications. Chest. 1994:105(6): 1782-1788.
9. Passannante AN, Rock P: When Should Pulmonary Function be Performed
Preoperatively In: Fleisher LA (ed.): Evidence-Based Practice of Anesthesiology.
Philadelphia, Saunders, 2003:31-33.
10. Collins VJ: Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Pennsylvania,
Williams & Wilkin, 1996:38-43.
11. Trauber KB: Preoperative Evaluation. In: Longnecker DE, Murphy FL (ed.):
Introduction to Anesthesia. Philadelphia, W.B. Saunders, 1997:11-19
12. Rushton ARA, Langton JA: Clinical measurement. In: Aitkenhead AR, Rowbotham DJ,
Smith G (ed.): Textbook of Anesthesia. 4 th Ed. London, Elsevier Science Limited,
2002:363-366.
13. Braun MD, Cheney FW, Loehnen CP: Introduction to Respiratory Physiology. 2nd Ed.
Boston, Little Brown & Company, 1980:27-37.
14. Atkinson RS, Rushnan GB, Lee JA: A Synopsis of Anesthesia. Bristol, John Wright &
Sons, 1977:71-77.
41 j I
Anestesiologi
BAB IV
PENDAHULUAN
42 11 Anestesiologi
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN
Menurut pedoman AHA 2005 pada pelaksanaan CPR dan ECC ditekankan
pentingnya kualitas kompresi dada (adekuasi kecepatan dan dalamnya, jeda setelah
kompresi dada, dan sedikitnya selingan tindakan kompresi dada). Pada publikasi
sebelumnya dan sejak 2005menunjukkan bahwa (1) kompresi dada dilanjutkan untuk
mendapatkan perbaikan; (2) ada beberapa pertimbangan terhadap kelangsungan hidup
penderita; dan (3) sebagian besar penderita henti jantung mendadak yang terjadi di luar
rumah sakit tidak mendapat pertolongan tepat.
Kelanjutan Penekanan Kualitas CPR yang tinggi.
Pedoman AHA 2010 terhadap CPR dan perlunya kualitas CPR, antara lain: ECC
ditekankan pada
1. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 X/menit (perubahan dari "kira- kira" 100X/
menit)
2. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan dalamnya
kompresi paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada infant dan anak
(kira-kira 1,5 inchi (4 cm) pada infant dan 2 inchi pada (5cm) pada anak.
3. Kesempatan complete chest recoil setelah setiap kompresi dada.
4. Memperkecil setiap interupsi pada waktu kompresi dada.
5. Hindari ventilasi berlebihan
Dalam petunjuk AHA 2010 tidak ada perubahan rasio 30:2 antara kompresi dan
ventilasi untuk penolong tunggal bagi penderita dewasa, anak- anak dan infant (kecuali bayi
baru lahir). Pertolongan bantuan nafas diberikan dalam kurun waktu satu detik. Setelah
advanced airway terpasang (misal pipa endotrakhea) maka bantuan napas diberikan setiap
6 sampai 8 detik. Ventilasi berlebihan hendaknya dihindari.
KOMPRESI DADA
Perubahan tahun 2010: bila penolong tidak terlatih dalam CPR, sebaiknya
menggunakan "kompresi dada saja" pada penderita yang tiba-tiba roboh dihadapan
penolong dengan penekanan pada "push hard and fast" pada tengah dada, segera setelah
aktifkan sistem EMS (emergency medical Services).Penolong meneruskan kompresi dada
saja sampai AED tiba sehingga segera bisa dipakai atau menggunakan EMS atau penolong
lain mengambil alih pertolongan. Semua penolong terlatih minimal memberikan kompresi
dada pada penderita henti jantung. Sebagai tambahan bila penolong mampu memberi
nafas bantu, "lakukan kompresi dada dan nafas bantu dengan perbandingan 30:2."
Kompresi dada saja" lebih mudah dilakukan pada penolong tidak terlatih dan dapat
dipandu lewat telepon.
Kompresi dada memungkinkan jantung dan otak mendapat aliran darah, dan pada
penelitian terkait henti jantung di luar rumah sakit menunjukkan bahwa survival rate lebih
KEDALAMAN KOMPRESI
Sternum dewasa dapat ditekan paling sedikit sedalam 2 inchi (5cm). Kompresi dada
menyebabkan aliran darah primer dengan meningkatkan tekanan intrathoraks dan
langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah darurat dan oksigen dan
energi ke jantung danotak. Penolong sering tidak melakukan kompresi dada yang cukup
meskipun ada anjuran melakukan "push hard". Penelitian menunjukkan bahwa kedalaman
46 11 Anestesiologi
nafas (hanya bila material penyumbat berbentuk padat dan tampak di dalam orofaring).
Ventilasi mulut ke mulut dengan udara ekshalasi atau ventilasibag-valve- mask
dengan udara kamar atau oksigen. Tiap pernafasan satu detik dapat menyebabkan dinding
dada naik. Sesudah advanced airway terpasang, pompalah paru korban dengan oksigen
sehingga dinding dada tampak naik. Selama CPR pada korban dengan advanced airway.
pemompaan paru dengan kecepatan 8-10 kali per menit tanpa istirahat. Gunakan volume
tidal dan kecepatan mula yang sama pada korban dengan henti jantung. Pada orang awam
dan tenaga kesehatan profesional pada waktu melakukan resusitasi, maka tangan yang
dominan terletak pada pusat dada korban (dewasa), sedang tangan tidak dominan berada
di atasnya.
Penolong awam dan penolong terlatih dapat melakukan kompresi dada paling sedikit
sebanyak 100 X/menit dan kompresi dada dapat menekan dada sedalam paling sedikit 5
cm. Penolong harus mengawasi pengembangan dan pengempisan dada korban secara
lengkap, setiap kompresi.
Korban cardiac aruest harus diletakkan pada posisi terlentang pada tempat yang
datar (misalnya, papan tulis atau lantai) selama kompresi untuk mengoptimalkan efektifitas
kompresi.
Upstroke
Downstr
Keadaan khusus
Ri Cidera tulang belakang
Gambar 1,2,3
Cara Melakukan Kompresi Dada Dari Luar
47 11 Anestesioiogi
posisi tengkurap ke posisi in-line spinal stabilisation, suatu metoda efektif untuk mengurangi
risiko cedera spinal lebih lanjut. Semua tindakan membuka jalan nafas dapat menyebabkan
gerakan spinal. Studi pada mayat menunjukkan bahwa baik chin lift (dengan atau tanpa
head tilt), dan jaw thrusl menunjukkan keadaan yang sama, yaitu gerakan pada vertebra
servikalis. Penggunaan in-linestabilisation manual atau spinal collars tidak mencegah
gerakanspinal. Studi lain menunjukkan bahwa aplikasi MILS selama tindakan membuka
jalan nafas mengurangi gerakan spinal kekeadaan fisiologik.
Mempertahankan jalan nafas dan ventilasi adekuat merupakan prioritas utama
dalam menangani penderita dengan curiga cedera tulang belakang. Pada korban dengan
curiga cedera tulang belakang dan obstruksi jalan nafas, cara head tilt-chin lift atau jawthrust
(dengan head tilt) memungkinkan dan mungkin efektif untuk membersihkan jalan nafas.
Kedua cara tersebut dapat menyebabkan gerakan cervical spinal. Penggunaan MILS untuk
meminimalkan gerakan kepala adalah layak bila tersedia sejumlah penolong dengan latihan
yang adekwat.
Korban yang telungkup dan tidak respon perlu segera dibalikkan secara hati-hati ke
posisi supine untuk mengecek pernafasan Penderita tenggelam harus dikeluarkan dari air
dan diresusitasi dengan cepat. Hanya korban dengan faktor-faktor risiko atau tanda- tanda
klinik cedera atau tanda-tanda neurologis fokal harus diterapi sebagai korban dengan suatu
potensial cedera tulang belakang, dengan immobilisation cervical dan thoracic spine.
Proteksi Diri
Boneka (manikin) untuk latihan, setiap kali selesai dipakai, sebelum dipakai untuk
latihan orang berikutnya, harus dibersihkan, atau sebelum kita latihan juga harus
dibersihkan sehingga melatih kebersihan, karena kemungkinan kita menghadapi korban
dengan infeksi serius (misalnya, HIV, tuberculosis, Hepatitis atau SARS).
Chest thrusts, back blows, atau abdominal thrusts merupakan tindakan efektif untuk
mengeluarkan benda asing pada korban dewasa dan anak (> 1 tahun) yang masih sadar.
Tindakan macam apa yang harus didahulukan, masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Teknik teknik tersebut harus diaplikasikan dengan cepat sampai obstruksi jalan nafas dapat
dikeluarkan, perlu dilakukan lebih dari satu macam teknik. Penderita tidak sadar perlu CPR
antara lain, jari penolong dapat digunakan untuk membersihkan mulut korban yang
mengalami obstruksi jalan nafas dengan bendapadx yang tampak di jalan nafas. Belum ada
rekomendasi yang tepat untuk penanganan pasien obesitas atau ibu hamil yang mengalami
obstruksi benda asing.
Precordial thump mungkin perlu dipertimbangkan pada korban henti jantung bila
defibrillator tidak segera didapatkan dengan catatan penderita termonitor baik atau adanya
ventrikel takhikardi yang tidak stabil tetapi jangan memperlambat CPR.CPR 1.5 - 3 menit
sebelum dilakukan defibrilasi dapat dikerjakan pada korban di luar rumah sakit dengan VF
atau pulseless VT dan EMS response (call to arrival) interval>4-5 menit. Belum ada bukti
yang mendukung atau menolak melakukan CPR sebelum penggunaan defibrilator pada
henti jantung penderita rawat inap.
48 11 Anestesiologi
Untuk meningkatkan survival rate dianjurkan penggunaan AEDs (automated
external defibrilators) pada penderita henti jantung oleh awam terlatih dan tenaga
profesional. Penggunaan AEDs di tempat umum (bandar udara, fasilitas olahraga), dimana
kemungkinan henti jantung dapat terjadi, berguna dan efektif bila dikerjakan di tempat.
Perlu rencana dan latihan penanggulangan termasuk perawatan peralatan latihan,
koordinasi dengan sistem EMS lokal, dan program monitoring, sehingga bila terjadi
kegawatan sewaktu- waktu dapat segera diatasi secara maksimal.
Program AED harus mengoptimalkan fungsi AED (Rhythmanalysis and shock),
batetry dan kesiapan pad, dan sistem penampilan (misalnya mock codes, time to shock, out
comes).
Penggunaan AED layak untuk menfasilitasi defibrilasi dini di rumah sakit. Gelombang
syok biphasic efektif untuk mengatasi VFbila dibandingkan dengan gelombang syok
monophasic. Dengan defibrilator biphasic, dosis yang kita gunakan 150 - 200 Jatau 120 J
dengan rectilinier biphasic pada shock mula. Sedangkan dengan menggunakan defibrilator
monophasic, dosis mula yang digunakan 360 J.
Nonescalating dan escalating-energy biphasic bentuk gelombang defibrilasi
penggunaannya aman dan efektif untuk menghilangkan VF baik durasi pendek maupun
durasi panjang.
Prioritas dalam penanganan resusitasi harus meliputi penilaian dini atas kebutuhan
defibrilasi, perlengkapan CPR sampai defibrilator tersedia dan meminimalkan sela kompresi
dada. Penolong dapat mengoptimalkan keberhasilan defibrilasi dengan mengoptimalkan
CPR, timing pemberian shock dengan CPR, dan kombinasi bentuk gelombang dan energy
levels.
Cricoid Pressure
Secara rutin sudah tidak dianjurkan lagi. Cricoid pressure dapat menghambat
pemasangan jalan nafas, selain itu masih memungkinkan terjadi aspirasi.
Perkembangan terpenting dalam advanced life support (ALS) sejak review ILCOR
terakhir tahun 2000 meliputi:
Medical emergency teams perlu ada di dalam rumah sakit
Perlu tambahan data-data klinik dalam penggunaan vasopressin pada
henti jantung
Beberapa alat baru untuk membantu sirkulasi selama CPR Penggunaan terapi
hipotermi untuk memperbaiki outcome neurology sesudah henti jantung akibat
fibrilasi ventrikel (VF)
Kontrol glukose sesudah henti jantung.
Obat dan Cairan untuk Henti Jantung
Obat-obat dan cairan yang didiskusikan pada consensus conference2005
dikategorikan sebagai berikut:
1. Vasopresor
50 11 Anestesiologi
a. Pengoptimalan fungsi jantung, paru dan perfusi organ vital
b. Perhatikan transportasi pasien. Pada pasien yang mengalami henti jantung di luar
rumah sakit, kirim pasien ke rumah sakit yang mempunyai sistem perawatan paska
henti jantung yang komprehensif meliputi intervensi koroner akut, perawatan
neurologis, goal-directed critical care, dan pengelolaan hipotermi
c. Pada kasus paska henti jantung yang terjadi di dalam rumah sakit, kirim pasien ke unit
perawatan intensif yang mampu menyediakan perawatan paska henti jantung yang
komprehensif.
d. Cobalah untuk mengidentifikasi dan mengobati faktor pencetus henti jantung dan
mencegah henti jantung ulangan.
Target lanjutan perawatan paska henti jantung adalah:
a. Kontrol temperatur tubuh untuk mengoptimalkan pemulihan neurologis
b. Identifikasi dan obati sindrom koroner akut
c. Optimalkan ventilasi mekanik untuk meminimalisir cedera paru
d. Turunkan resiko cedera multi organ dan bila diperlukan beri support fungsi organ
Pada pasien paska CPR harus dipastikan jalan napas adekuat dan beri bantuan
napas segera setelah ROSC. Pasien yang tidak sadar biasanya memerlukan advanced
airway untuk bantuan napas mekanik. Metode dalam mengamankan jalan napas
harus diperhatikan misalnya menghindari penggunaan ikatan sekitar leher pasien
karena dapat menghambat venous return, elevasi kepala 30 terhadap tempat tidur
(jika tidak ada kontraindikasi) untuk mengurangi kejadian edema otak, asirasi, dan
pneumonia terkait ventilator.
Meski pada awal resusitasi oksigen diberikan 100%, tetapi pada paska
resusitasi, oksigen dititrasi pada tingkat terendah yang bisa mencapai saturasi oksigen
>94% agar terhindar dari keracunan oksigen. Hiperventilasi atau overbagging pada
pasien dihindari karena berpotensi memperburuk hemodinamik. Hiperventilasi
meningkatkan tekanan intrathorak dan secara tidak langsung menurunkan cardiac
output. penurunan PaC02 karena hiperventilasi juga berpotensi menurunkan aliran
darah otak. Ventilasi diberikan 10-12 kali per menit dan dititrasi sampai PETCCG
mencapai 35-40 mmHg atau PaC0240-45 mmHg.
Tenaga medis harus mengawasi tanda vital untuk melihat ada tidaknya aritmia
jantung yang muncul kembali. Monitor elektro kardiografi kontinyu setelah ROSC,
selama transportasi pasien, dan selama dirawat di ICU sampai stabil harus terpasang.
Akses intravena harus terpasang termasuk untuk menggantikan akses emergensi
intraosseus. Jika pasien mengalami hipotensi (tekanan darah sistolik <90mmHg),
pertimbangkan untuk memberikan bolus cairan. Cairan dingin dapat berguna jika
terapi hipotermi dipilih. Infus obat vasoaktif seperti dopamin, norepinefrin, atau
epinefrin dapat mulai diberikan jika memang dibutuhkan dengan pemberian titrasi
sampai target tekanan darah sistolik >90mmHg atau tekanan arteri rerata >65mmHg.
Cedera otak dan ketidakstabilan kardiovaskuler adalah faktor survival penentu
52 11 Anestesiologi
Perbedaan cara melakukan resusitasi paru jantung paru European Council Guideline
for Resuscitation dan American Heart Association 2005.
55 11 Anestesioiogi
AED Algorithm
ALAT anestesi adalah alat yang digunakan untuk memberikan anestesi umum dengan inhalasi, terdiri dari:
1. Breathing system.
2. Alat penghubung antara breathing system dengan pasien.
3. Mesin anestesi.
oo
Gambar 1
Gambaran Pasien dengan Mesin Anestesi
Gambar 3.
Sungkup Muka dan Endhotracheal Tube
2. Mesin Anestesi
Mesin Anestesi terdiri dari:
a. Sumber Gas.
b. Vaporizer.
c. Flowmeter.
Breathin
g
system
Copyright ©2006 by The McGraw-Hill Companies, Inc, All rights reserved,
a. Sumber gas
Oksigen dan gas
anestesi berupa cairan atau
gas yang tersimpan dalam
tabung bertekanan tinggi.
Tabung tersebut dilengkapi
dengan regulator/
pengaturan tekanan.
Masing-masing tabung
mempunyai warna yang
sudah ditentukan oleh
WHO.
Tabel 1
Tabel Warna Tabung Gas
Gambar 4 menurut WHO
Mesin Anestesi
Physical State in
Compressed Gases Color
Cylinder
b. Vaporizer
Vaporizer/alat penguap, suatu alat digunakan untuk menguapkan obat/ cairan anestesi yang mudah menguap/volatile
61 j I
Anestesiologi
agent
Gambar 6
Vaporizer
c. Flow meter
Flowmeter merupakan alat berbentuk tabung kaca untuk mengetahui volume gas yang berasal dari tabung gas. Di dalam
flowmeter terdapat indikator berbentuk bola atau rotameter. Apabila berbentuk bola, indikator laju aliran dibaca pada garis
tengah bola, bila berbentuk rotameter, indikator dibaca pada bagian atas rotameter.
Tidak ada satu alat pun yang lebih erat hubungannya dengan seorang ahli anestesiologi selain mesin anestesi.1 Tugas utama
seorang ahli anes- tesiologi adalah memastikan bahwa peralatannya dapat memberikan suatu kadar oksigen yang adekuat pada
penderita.2
Mesin anestesi digunakan oleh ahli anestesi untuk mendukung pemberian anestesi. Tipe mesin anestesi yang digunakan di
negara maju adalah mesin anestesi jenis cotinuous-flow, yang dirancang untuk memberikan secara akurat dan terus-menerus
pasokan gas (seperti oksigen dan nitrogen oksida), dicampur dengan uap agen anestesi (seperti isoflurane) yang dihantarkan
dengan aliran dan tekanan yang aman bagi pasien. Mesin anestesi modern dilengkapi ventilator, sucktion unit, dan peralatan
monitoring pasien.3
Gambar 7
Flowmeter
62 11 Anestesioiogi
Kesalahan penggunaan peralatan penghantar gas tiga kali lebih sering menyebabkan akibat samping dibandingkan dengan
kegagalan fungsi mesin itu sendiri.1,4 Kurangnya penguasaan alat dan kelalaian dalam pemeriksaan fungsi mesin merupakan
penyebab tersering. Kecelakaan ini mencatat angka 2% kasus pada American Society of Anesthesioiogy (ASA) Ciose Claim Project
Database. Sirkuit nafas merupakan sumber tersering terjadinya kecelakaan (39%) dan menyebabkan 70% kematian atau
kerusakan otak, hampir semua insiden berhubungan dengan miskoneksi dan diskoneksi alat.1
Konsep asal mesin anestesi ini diciptakan oleh seorang ahli anestesi Inggris Hendry Edmund Gaskin Boyle pada tahun 1917.
Sebelum masa ini, seorang ahli anestesi selalu membawa sendiri semua perlengkapannya, tetapi dengan berkembangnya alat-
alat yang lebih berat, tabung penyimpanan gas yang besar, dan kelengkapan alat-alat pengaman jalan nafas, hal ini menjadi tidak
praktis.3
Setiap kemajuan dari mesin anestesi ini dibuat dengan tujuan untuk memperbaiki dan mengurangi efek samping yang
terjadi akibat penghantaran gas oleh mesin anestesi yang sangat penting bagi keamanan pasien.1
Istilah "mesin anestesi" adalah tradisional berlaku untuk suatu perlengkapan yang mengirimkan oksigen dan agen bersifat
gas dan/atau cairan yang mudah menguap.2
Yang dimaksud dengan peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi dan perlengkapannya yang digunakan untuk
memberikan anestesi umum secara inhalasi.5
Mesin anestesi adalah peralatan yang digunakan untuk memberikan anestesi inhalasi.6
Suatu cabang ilmu kedokteran yang sekarang dikenal dengan anestesi boleh dikatakan dimulai sejak hari di mana Sir
Humphry Davy, pencipta lampu tambang, menemukan "gas gelak" atau Nitrogen-oksida. Davy menemukan bahwa senyawa
Nitrogen dan Oksigen (Nitrogen-oksida) dapat menimbulkan akibat yang tidak biasa. Pada mulanya, saat Davy menghirup gas ini,
timbul euforia yang segera diikuti oleh ledakan tawa yang tidak dapat dikendalikan hingga terjadi hilangnya kesadaran. 7 Davy juga
mendapati sakit giginya hilang ketika secara tidak sengaja ia menghirup gas ini. Ini terjadi sekitar desember tahun 1799. Saat itu ia
berfikir bahwa nitrogen-oksida dapat digunakan pada pembedahan, akan tetapi tidak ada yang mencoba menggunakannya
selama bertahun-tahun.8
Dalam buku yang ditulisnya sekitar Juli tahunl800 yang berjudul "Researches Chemical and Philosophical; Chiefly
Concerning Nitrous Oxide or Dephlogisticated Nitrous Air, and its Aspiration", dalam salah satu kesimpulannya terkutip satu
paragraf yang sekarang sering disebut-sebut sebagai berikut:
"As nitrous oxide in its etensive operation appears capable of destroying physical pain, it may probably be used with
advantage during surgical operations in which no great effusion of blood take place."9
Pemikiran Davy ini tampaknya menjadi benih yang tumbuh dengan digunakannya nitrogen oksida sebagai anestesi untuk
pertamakalinya.9 Pemakaian anestesi untuk menghilangkan nyeri selama pembedahan diprakarsai oleh dokter gigi di Amerika
Serikat. Horace Wells (1815-1848) seorang dokter gigi di Connecticut merupakan orang pertama yang berhasil menggunakan
nitrogen-oksida (gas gelak) sebagai anestesi untuk percabutan gigi. Dr. Horace Wells melakukan beberapa kali demonstasi
didepan koleganya sehingga dalam waktu singkat manfaat dari gas ini dapat diketahui orang.7 Pada 11 Desember 1844 ia
meminta seseorang untuk mencabut salah satu giginya sementara ia menghirup nitrogen-oksida dan berhasil dengan baik sekali.
Sayangnya ketika ia melakukannya di Rumah Sakit Umum Massachusetts, Boston, percobaannya tidak berjalan mulus, para
pelajar yang melihatnya mengejek dan berteriak "penipu!". Akhirnya ia memutuskan untuk bunuh diri dalam usia 33 tahun.8
Penghargaan bagi pengguna pertama anestesi untuk prosedur pembedahan adalah milik Dr. Crawford Long (1815-1878),
seorang praktisi pemerintah di Georgia yang memulai penggunaan eter untuk kasus bedah minor pada 30 Maret 1842, Pasien
pertamanya, James Venable, menghirup handuk yang dibasahi eter dan kemudian menjadi tidak sadarkan diri. Long kemudian
dapat mengangkat kista dari lehernya, namun ia tidak mempublikasikan teknik ini sampai tahun 1848.9
Gambar 8
A. Sir Humphrey Davy.10 B. Dr. Horace Wells.11 C. Dr. Crawford Long.12
Dr. William Morton, seorang dokter gigi di Boston yang merupakan rekan Dr. Horace wells adalah merupakan salah satu
orang yang pertama kali menggunakan eter sebagai anestesia. Pada tahun 1846, hanya dua tahun setelah Horace Wells berhasil
melakukan anestesi dengan nitrogen-oksida, Dr. William Morton (1819-1868) membuat mesin anestesi pertama. Alat sederhana
yang dibuat Morton berupa sebuah gelas bulat yang dilengkapi dengan busa yang dibasahi dengan larutan eter, dalam hal ini yang
harus dilakukan pasien adalah menghirup uap melalui salah satu dari dua lubang/ saluran keluar. 7 Morton berfikir untuk
menggunakan gas nitrogen-oksida dalam praktiknya sebagaimana yang dilakukan Wells. Kemudian ia meminta gas nitrogen-
oksida kepada Charles Jackson, seorang ahli kimia ternama di sekolah kedokteran Harvard. Namun Jackson justru menyarankan
eter sebagai pengganti gas nitrogen-oksida. Morton menemukan efek bius eter lebih kuat dibandingkan gas nitrogen-oksida.13
Hasil ciptaan Morton ini diuji coba pada 16 oktober 1846 dikamar bedah Rumah sakit umum Massacusetts Boston pada
seorang laki-laki berusia dua puluh tahun yang berhasil dianestesi sehingga tumor di daerah leher (sebagian menyebutkan tumor
pada rahang) dapat diangkat tanpa hambatan berarti. Tanggal 16 oktober 1846 tepatnya pada hari jum'at ini kemudian
ditetapkan sebagai "Hari Eter".9 Eter sendiri ditemukan pertama kali oleh seorang ahli kimia berkebangsaan Spanyol, Raymundus
Lullius pada tahun 1275 yang me-
64 11 Anestesioiogi
namainya "sweet vitriol" kemudian diubah namanya menjadi eter oleh W.G. Frobenius
pada tahun 1730.13
Gambar 9
A B
A. Dr. William Morton dengan Inhaler Eter Ciptaannya. 14
B. Suasana Demonstrasi Anestesi Pertama Morton.10
Gambar 10
A. Dr. James Young Simpson11
B. Ilustrasi Simpson dengan Uji Kloroformnya 15
66 11 Anestesiologi
Skinner merupakan seorang ahli kebidanan di Liverpool yang merancang masker
penutup berkerangka besi yang berbentuk kubah.13
Gambar 11
A. Inhaler Kloroform John Snow.14
B. Dr. John Snow (1813-1858).17
C.
Gambar 12
Inhaler Skinner, Masker Kawat Buatannya Banyak Ditiru Orang.18
Johann Friedrich August von Esmarch, seorang profesor bedah di Kiel pada tahun
1862 memodifikasi masker Skinner.19 Masker ditutupkan ke wajah, kemudian selembar kain
yang telah dibasahi agen anestesi inhalai diselubung- kan di atasnya. Pasien menghirup uap
gasnya melalui hidung dan mulut.6
Gambar 13
A. Masker Esmarch.
iq
B. Johann Friedrich August von Esmarch (1823-1908).
Gambar 4
A. Ferdinand Edelberg Junker Von Langegg (1828-1902) B. Inhaler Junker.19
68 j I Anestesioiogi
Inhaler Eter Clover
(1877)
Setelah kematian John Snow, Joseph T Clover (1825-1822) menjadi pemimpin
peneliti anestesi ilmiah di Inggris. Pada tahun 1862 ia menciptakan suatu inhaler kloroform
yang memungkinkan pengukuran konsentrasi dan pemberian secara akurat campuran
kloroform dan udara. Alat ini berbentuk kantung besar yang disandang dipunggung ahli
anestesi dan mengandung 4- 5% uap kloroform dalam udara. Clover menyebutkan
beberapa keuntungan dari inhaler buatannya:
1. Tidak memiliki katup.
2. Nafas tenang dengan hantaran gas secara perlahan.
3. Penderita akan tertidur dalam 2 menit
4. Tidak diperlukan pengisian kembali eter intraoperatif.
5. Masa pemulihan lebih cepat.
6. Tidak memiliki busa/sponge dan tidak berasa.
7. Sisa eter cukup aman digunakan untuk pasien berikutnya.20
A B
Gambar 16
Masker/lnhaler Schimmeibusch dengan Cekungan untuk Mengumpul Kelebihan Agen
Anestesi22
70 11 Anestesiofogi
A
B
Gambarl7
A. Inhaler Hewitt34'20
B. Alat Inhalasi Ether Koleksi Prof. dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV
Gambar 19
Masker Yankauer22
Gambar 22
Perlengkapan Endotrakea Magill24
Mesin Boyle (Model G)
Mesin Boyle, meskipun dinamakan sesuai ahli anestesi yang menemukannya,
sebenarnya merupakan merek dagang milik British Oxygen Company. Mesin Boyle standar
terdiri dari meja besi yang dilengkapi dengan keranjang untuk membawa tabung gas.
Puncak tabung dipasangi katup Adam's dan dihubungkan dengan rotameter melalui
sebuah pipa karet. Mesin ini dilengkapi peralatan rebreathing magill.25
Gambar 23
Mesin Boyle (Model G)25
76 11 Anestesiologi
A B
Gambar 24
A. Mesin Marret. B. Mesin Gillis25
Gambar 25
Unit Vaporizer Draw-Over (EMO dengan IOB)25
Biease PulmoflatorSeri 5050 (1960)
Dibuat oleh Blease Anesthetic Equipment Ltd, Ryefield crescent, Middlesex. Mesin ini
benar-benar merupakan salah satu keajaiban yang dicapai dibidang anestesi. Ventilator
dirancang pada tahun 1960-70an untuk digunakan terutama jika memakai obat pelumpuh
Gambar 26
Blease Pulmoflator Seri 505024
78 ||
Anestesiologl
Gambar 27
Mesin Boyle (Model F)26
Gambar 28
North American Drager, dari kiri ke kanan: Narkomed 2 (1982), Narkomed AMIN (1977),
Narkomed Standard (1972), Narkomed Compact (1977)14
Keterbatasan mesin anestesi konvensional
1. Mesin anestesi konvensional memiliki bayak hubungan/koneksi ekternal
Meskipun telah dilakukan standarisasi ukuran pipa/tabung, banyaknya koneksi
eksterna ini merupakan sumber terjadinya diskoneksi atau miskoneksi, kinking,
80 11 Anestesiologi
Flush oksigen aliran tinggi yang dapat memberikan oksigen sebanyak 30 -menit.
Pengukur dan pengatur tekanan untuk melindungi komponen mesin dan pasien dari
gas bertekanan tinggi.
Flow meter (rotameter) untuk oksigen, udara dan nitrogen oksida yang digunakan
oleh ahli anestesi untuk dapat memberikan gas-gas ini kepada pasien dalam
campuran yang akurat. Flow meter biasanya ber- bentuk pneumatik, akan tetapi
akhir-akhir ini banyak digunakan jenis digital elektromagnetik.
Satu atau lebih vaporizer untuk memberikan zat anestesi volatile secara akurat.
Ventilator.
Monitor fisiologi untuk memonitor laju jantung, EKG, tekanan darah, dan saturasi
oksigen (umumnya tersedia monitor tambahan untuk memantau suhu, tekanan
arteri rata-rata dan tekanan vena sentral dan sebagainya). Sirkuit nafas, sebagian
besar dengan sistem lingkar.
Alat penukar panas dan uap.
Sistem pembuangan.
Perlengkapan sucktion.
Biasanya terdapat tatakan/laci meja kecil tempat meletakkan perlengkapan
pengelolaan jalan nafas sehingga mudah diraih oleh ahli anestesi.3
Gambar 29
Mesin Anestesi Modern3
82 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
PERSIAPAN PREANESTESI
Johan Arifin, M. Sofyan Harahap, Himawan Sasongko
PENDAHULUAN
SEMUA pasien yang dijadwalkan akan menjalani tindakan pembedahan harus dilakukan persiapan dan pengelolaan
perioperasi dengan optimal. Kunjungan praanestesi pada tindakan bedah efektif dilakukan 1-2 hari sebelumnya dan pada bedah
darurat dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Kunjungan ini bertujuan untuk mempersiapkan mental dan fisik pasien
secara optimal, merencanakan dan memilih teknik dan obat-obatan anestesi yang sesuai untuk digunakan serta menentukan
klasifikasi yang sesuai menurut ASA. Kesalahan yang terjadi akibat tindakan ini tidak dilakukan akan meningkatkan resiko pasien
terhadap morbiditas dan mortalitas perioperasi.
Tujuan yang ingin dicapai dengan dilakukannya pengelolaan preoperasi termasuk di dalamnya adalah sebagai berikut:
Mengkonfirmasikan bahwa tindakan bedah yang akan dilakukan terhadap penderita akan memberikan hasil yang optimal
dengan segala resikonya.
Dapat mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin terjadi dan memastikan bahwa fasilitas dan tenaga yang ada cukup
terlatih untuk melakukan perawatan perioperasi yang memuaskan.
Memastikan bahwa penderita dipersiapkan dengan tepat untuk pembedahan dengan mempertimbangkan faktor-faktor
penyulit yang mungkin ada yang dapat meningkatkan resiko buruk dari hasil tindakan. Mendapatkan informasi yang tepat
tentang keadaan pasien dan dapat merencanakan teknik anestesi yang tepat.
Meresepkan atau melakukan premedikasi dan/atau obat-obatan profi- laksis spesifik lainnya yang mungkin diperlukan.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Tinggi dan berat badan: untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan serta jumlah urin selama dan pasca
bedah.
2. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, suhu.
3. Jalan nafas. Daerah kepala dan leher diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi, gangguan fleksi ekstensi
leher, deviasi trakea, massa dan bruit.
4. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung. EKG bila perlu.
5. Paru-paru untuk melihat adanya dispneu, ronkhi dan mengi. Bila perlu lakukan foto toraks.
6. Abdomen untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia dan tanda regurgitasi.
7. Ekstremitas, terutama untuk melihat perfusi distal, adanya jari tabuh, sianosis dan infeksi kulit (blok/regional anestesi).
8. Punggung bila ditemukan adanya memar, deformitas atau infeksi.
9. Neurologis, misalnya status mental, fungsi saraf kranial, kesadaran dan fungsi sensorimotorik.
C. Pemeriksaan Laboratorium
1. Rutin:
Darah: Hb, lekosit, hitung jenis lekosit, golongan darah, PTT, PTTK.
Urin: Protein, reduksi dan sedimen.
Foto X-ray, terutama untuk bedah mayor.
EKG, terutama untuk pasien usia 40 tahun ke atas.
2. Khusus, dilakukan bila ada riwayat atau indikasi:
EKG pada anak.
Spirometri dan bronkospirometri pada pasien tumor paru.
Fungsi hati pada pasien ikterus.
Fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
86 11 Anestesiologi
PREDIKSI MORBIDITAS DAN MORTALITAS PERIOPERATIF
Setelah dilakukan pemeriksaan dan data-data dikumpulkan, ada dua pertanyaan yang harus dijawab oleh ahli anestesi,
yaitu:
Apakah pasien dalam kondisi fisik yang optimal untuk dilakukan tindakan anestesi dan pembedahan?
Apakah tindakan bedah yang dilakukan mempunyai keuntungan lebih besar dibandingkan resiko yang akan terjadi akibat
tindakan anestesi dan pembedahan itu sendiri?
Pada prinsipnya, apabila ada kondisi medis yang membahayakan untuk dilakukan operasi elektif (misalnya penyakit
pulmoner, hipertensi, gagal jantung, bronkitis kronis, gagal ginjal), pembedahan sebaiknya ditunda dan dilakukan perbaikan
kondisi fisik pasien dengan terapi atau tindakan yang diperlukan. Hal ini ada hubungannya dengan angka morbiditas dan
mortalitas pasca operasi.
Tabel 1
Pemeriksaan Klinis yang Penting Dilakukan Berhubungan
dengan Ahli Anestesi
Kardiovaskuler
Pulsasi perifer (laju jantung, ritme, isi). Pulsasi dan tekanan
vena jugularis. Tekanan arteri.
Suara jantung.
Carotid bruits.
Edema dependen.
Respirasi
Sianosis sentral atau perifer. Observasi dispneu.
Auskultasi pada lapangan paru.
Jalan nafas
Sistem saraf
Disfungsi dari sistem sarat pusat, saraf perifer atau
kelainan motorik perifer.
88 11 Anestesiologi
Bagaimanapun, menjadi sesuatu yang sulit untuk memprediksi hal-hal yang berpengaruh untuk terjadinya hasil yang
tidak baik, apakah itu karena karakteristik pasien, jenis tindakan pembedahan atau teknik anestesi yang digunakan. Yang jelas,
tidak hanya satu faktor yang berpengaruh.
Klasifikasi ASA
Klasifikasi ASA mulai diperkenalkan pada tahun 1960-an oleh American Society ofAnesthesiologist sebagai deskripsi
yang mudah yang menunjukkan status fisik pasien yang berhubungan dengan indikasi apakah tindakan bedah harus
dilakukan segera/cito atau elektif. Klasifikasi ini sangat berguna dan harus diaplikasikan pada pasien yang akan dilakukan
tindakan pembedahan, meskipun banyak faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap hasil keluaran setelah tindakan
pembedahan.
Tabel 2
Klasifikasi ASA dan Hubungannya dengan Tingkat Mortalitas
Hard palate
90 ¡I Anestesiologi
Kondisi jantung yang tidak baik
Lebih dari 20 tahun yang lalu, Goldman dkk. mempublikasikan analisa retrospektif dari
faktor-faktor resiko preoperasi yang berhubungan dengan kondisi jantung yang tidak baik pada
operasi non-bedah jantung. Topik ini masih terus berkembang sampai saat ini, dengan
kebanyakan hasil setuju dengan kesimpulan yang diajukan oleh Goldman dkk.
Komplikasi respirasi
Pada pasien dengan kebiasaan merokok, penyakit paru sebelumnya, obesitas dan
pasien yang menjalani operasi daerah toraks atau abdomen mempunyai kemungkinan untuk
timbulnya komplikasi masalah respirasi pasca operasi. Tetapi untuk memprediksikan hal ini
adalah sesuatu yang sulit. Tidak hanya cukup tes faal paru yang dilakukan, tetapi diperlukan
pemeriksaan lain seperti analisa gas darah preoperasi. Bila nilai Pa02 preoperasi kurang dari 9
kPa, ditambah dengan dispneu saat istirahat, hampir dapat dipastikan diperlukan bantuan
ventilasi mekanik pasca bedah.
Tabel 3
Indeks Goldman dari Resiko Kardiak pada Prosedur Non-Kardiak
PREANESTESI
Persiapan
Keadaan fisik pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan pra- anestesi meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan lain-lain. Saat masuk ruang
operasi pasien dalam keadaan puasa. Identitas pasien harus sudah ditandatangani sesuai
rencana operasi dan informed consent.
Dilakukan penilaian preoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, apakah terdapat keadaan
hipovolemia, perdarahan, diare, muntah atau demam. Akses intravena dipasang untuk
pemberian cairan infus, transfusi dan obat- obatan. Pasang kateter intra vena sebesar mungkin
yang dapat masuk ke pembuluh darah. Dilakukan pemantauan EKG, tekanan darah, saturasi
02, kadar C02 dalam darah (kapnografi) dan jika diperlukan tekanan vena sentral (CVP).
Premedikasi dapat diberikan oral, rektal, IM atau IV.
Kelengkapan dan fungsi mesin anestesi serta peralatan diperiksa. Pipa ET dipilih sesuai
dengan pasien, dengan cadangan satu nomor di atas dan satu nomor di bawahnya. Selain itu
juga disiapkan laringoskop yang sesuai. Lampu diperiksa fungsinya, pipa ET diberi pelicin
analgetik dan balon pipa ET (cuff) diperiksa. Selain itu semua, obat-obatan anestesi yang akan
digunakan harus dipersiapkan dengan baik. Obat-obatan emergensi harus selalu tersedia untuk
mengatasi keadaan darurat yang mungkin terjadi.
Penundaan Operasi karena Alasan Klinis
Ada beberapa alasan untuk ditundanya pembedahan atau operasi karena alasan klinis
dari pihak ahli anestesi. Alasan ini harus dijelaskan baik kepada dokter bedah, kepada pasien itu
sendiri dan kepada semua anggota tim yang mungkin terlibat dalam tindakan pembedahan
tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beberapa hal tersebut di antaranya adalah:
Infeksi saluran pernafasan akut bagian atas.
Adanya sekret di hidung, suhu tinggi (demam) dan pemeriksaan fisik
toraks yang menunjukkan adanya kelainan akibat ISPA, maka tindakan
92 || Anestesiologi
pembedahan elektif harus ditunda sampai kondisi pasien benar-benar sehat.
Penyakit tidak terkontrol yang ada sebelumnya dan terapi obat-obatan.
Pada pasien yang menderita penyakit lain yang tidak terkontrol dengan baik yang
mungkin dapat memberikan hasil yang buruk setelah tindakan anestesi, untuk
pembedahan yang sifatnya elektif harus ditunda sampai mendapatkan jawaban/saran
dari dokter ahli lainnya sesuai dengan bidangnya. Demikian juga pasien yang sedang
menjalani terapi.
Resusitasi yang tidak adekuat pada pembedahan gawat darurat.
Penundaan yang dilakukan hanya untuk waktu 1-2 jam untuk menghasilkan
keadaan sirkulasi yang lebih baik. Hal ini perlu diperhatikan, apalagi jika perdarahan
sangat ekstensif dan berlangsung terus menerus.
Pasien makan/minum beberapa saat sebelum tindakan bedah.
Pada umumnya, sebelum dilakukan tindakan pembedahan elektif penderita harus
dipuasakan selama 6 jam untuk makanan padat. Sedangkan untuk dear fluids dapat
dalam waktu minimal 2 jam sebelum pembedaan dengan jumlah yang tidak banyak.
Pasien belum memberikan informed consent.
Semua pasien yang telah dewasa yang dianggap mampu/kapabel wajib
memberikan persetujuan untuk dilakukan tindakan anestesi atau pembedahan. Apabila
ada keraguan atau pasien belum memberikan persetujuannya, maka operasi elektif
dapat ditunda untuk sementara waktu sampai mendapatkan ijin dari yang bersangkutan
atau keluarganya.
94 || Anestesiologi
Premedikasi dengan menggunakan antikolinergik dapat dipertimbangkan pada
situasi khusus yang dapat menyebabkan terjadinya vagal bradikardi seperti:
Penarikan dari otot bola mata (okulokardiak refleks).
Pemberian ulang suksinilkolin yang biasanya dapat menyebabkan
terjadinya bradikardi hingga dapat terjadi asistol. Pemberian atropin
dilakukan sebelum pemberian kedua suksinilkolin.
Induksi anestesi dengan halotan, utamanya pada anak-anak.
Stimulasi bedah selama teknik balans anestesia, dapat terjadi bradikardi.
Pemberian propofol pada pasien dengan slow heart rate dapat
menyebabkan bradikardi yang berbahaya.
8. Membatasi respons simpatoadrenal
Induksi anestesi dan tindakan laringoskopi intubasi dapat mengakibatkan
rangsangan aktivitas simpatoadrenal, yang ditandai dengan takikardi, hipertensi dan
peningkatan konsentrasi katekolamin plasma. Keadaan ini berbahaya pada pasien sehat
dan dapat berakibat fatal bagi penderita dengan hipertensi atau penyakit jantung
iskemik. Untuk mencegahnya dapat diberikan premedikasi dengan P-bloker atau
klonidin.
Tujuan yang hendak dicapai dari premedikasi yang telah diuraikan di atas dapat
dicapai dengan pemberian obat-obatan pada saat induksi atau selama tindakan
pemeliharaan anestesi. Pemberian obat-obatan sangat tergantung dari kebiasaan ahli
anestesi.
Tabel 4
Obat-obatan yang Sering Digunakan untuk Premedikasi
Benzodiazepin
Golongan obat ini mempunyai berbagai manfaat dan sangat berguna untuk
premedikasi. Efek yang dapat dihasilkan antara lain ansiolisis, sedasi dan amnesia. Efeknya dari
obat ini sangat tergantung dari respon individual masing-masing pasien.
Diazepam adalah obat golongan ini yang pertama dan cukup sering digunakan,
meskipun sekarang lebih memilih temazepam (10-30 mg) karena durasi aksinya lebih pendek.
96 || Anestesiologi
Lorazepam (1-5 mg) menghasilkan efek amnesia lebih besar dibandingkan obat lainnya.
Benzodiazepin menghasilkan efek ansiolisis pada dosis yang tidak menyebabkan sedasi
yang eksesif dan ini bermanfaat pada pasien dengan fungsi respirasi yang terganggu, meskipun
tetap harus diberikan perhatian penggunaannya. Obat golongan ini dapat diberikan secara
intramuskuler, tetapi hasil penelitian menyebutkan bahwa pemberian secara oral memberi
hasil yang lebih baik. Untuk menghilangkan efek sedasi yang berat dari benzodiazepin dapat
digunakan phisostigmin atau spesifik antagonis golongan ini yaitu flumazenil.
Analgesik Opioid
Perlu diberikan apabila pasien mengalami nyeri preoperasi. Golongan opioid
menyebabkan sedasi, tapi tidak sebagai ansiolitik yang baik. Opioid dapat menyebabkan
euforia, dan penggunaan opioid dengan waktu paruh yang panjang dapat sebagai analgetik
pasca operasi. Obat opioid ini lebih baik diberikan secara intravena saat induksi dilakukan
daripada intramuskuler untuk premedikasi.
Efek samping dari opioid yang penting adalah:
Depresi ventilasi dan delayed resumption dari spontan ventilasi pada akhir anestesi di
mana digunakan pelumpuh otot.
Mual dan muntah, karena stimulasi pada chemoreceptor trigger zone pada medula,
sering terjadi. Penggunaannya harus dikombinasikan dengan obat anti emetik.
Morfin dapat menyebabkan spasme sfingter Oddi dan hal ini dapat menyebabkan rasa
nyeri pada daerah kuadran atas kanan pada pasien yang dilakukan pembedahan traktus
biliaris.
Butirofenon
Dari dua macam obat golongan ini yaitu haloperidol dan droperidol, hanya droperidol
yang populer pada praktek anestesi. Obat ini mempunyai efek neuroleptik (yang
bermanifestasi sebagai withdrawl dan seklusi), aksi a- blocking dan efek antiemetik. Tetapi
droperidol dapat meyebabkan reaksi dose-dependent disphoric dan efek ekstra piramidal.
Butirofenon mempunyai masa kerja yang panjang dan dapat menyebabkan terlambat
bangun setelah anestesi utamanya pada pasien tua. Efek yang paling sering diambil dari
droperidol adalah antiemetik dengan dosis 2,5 mg intravena sebagai premedikasi dan 1,25 mg
atau kurang secara intravena selama anestesi.
Phenothiazines
Obat ini sangat bermanfaat sebagai obat premedikasi oleh karena mempunyai efek
sebagai berikut:
Aksi entiemetik sentral.
Sedasi.
Ansiolisis.
Antagonis H2-reseptor.
98 || Anestesiologi
tinggi, utamanya pada anak-anak.
Excessive drying. Meskipun antikolinergik digunakan untuk anti sialogogue, tetapi hal ini
kadang tidak nyaman bagi pasien.
Meningkatkan dead-space fisiologis. Atropin dan hyosin akan meningkatkan dead-space
fisiologis antara 20-25 %, tetapi hal ini akan dikompensasi dengan peningkatan ventilasi.
6-blockers
Penggunaan obat 6-blocker (misalnya atenolol) selama periode perioperatif akan
membatasi respon hemodinamik pada stimulasi nociceptive seperti intubasi endotrakea dan
pembedahan serta menghambat respon stress neuroendokrin. Penggunaan obat golongan ini
pada penderita dengan resiko penyakit arteri koroner dapat berhubungan dengan outcome
yang lebih baik. Penggunaan pada pasien dengan keterbatasan fungsi ventrikel kiri hendaknya
dipertimbangkan secara matang dan hati-hati.
Klonidin dan Deksmedetomidin
Obat ini adalah golongan a2-agonis yang potensi sebagai obat anestesi adalah dengan
menurunkan aktivitas notadrenergik sentral. Deksmedetomidin lebih spesifik untuk a2
reseptor dan mempunyai efek yang lebih besar sebagai obat premedikasi. Pemberiannya
mengakibatkan kebutuhan akan agen anestesi inhalasi atau propofol menjadi lebih kecil,
meskipun dapat terjadi terlambat bangun. Obat ini diduga juga mempunyai peranan dalam
melemahkan respon simpatoadrenal pada saat induksi anestesi.[j
1. Fleisher RA. Risk of anesthesia. In: Miller RD (ed.). Anesthesia. 6th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone, 2005:893-927.
2. Roizen MF. Preoperative evaluation. In: Miller RD (ed.). Anesthesia. 6th ed. Philadelphia:
Churchill Livingstone, 2005:927-999.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. The Practice of Anesthesiology. In:
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anesthesiology 3 rd ed. New York:
Lange Medical Books/McGraw-Flill Medical Publishing Edition, 2002:5-14.
4. Traber KB. Preoperative Evaluation. In: Longnecker DE., Murphy FL (eds). Introduction to
anesthesia. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1997: 11-19.
5. Baxendale B, Smith G. Preoperative Assesment and Premedication. In: Altkenhead AR,
Rowbotham DJ, Smith G. Textbook of Anaesthesia. London: Churchill Livingstone,
2002:417-28.
100 || Anestesiologi
BAB VII
ANESTESI UMUM
Uripno Budiono
DALAM bidang kedokteran, selain dipakai untuk tindakan operatif, anestesi umum juga dipakai untuk mempermudah
tindakan diagnostik maupun terapeutik khususnya yang menimbulkan rasa nyeri. Dalam tindakan diagnostik Rontgen misalnya,
anestesi umum mempermudah pembuatan foto CT scan otak, arteriografi, atau MRI pada penderita yang gelisah, bayi atau anak.
Anestesi umum juga dipakai untuk detoksifikasi cepat penderita kecanduan narkotik. Di rumah sakit dr. Kariadi anestesi umum
biasa dipakai pada tindakan pemasangan radium untuk terapi carsinoma cervix uteri.
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
reversible. Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal hilangnya rasa sakit setempat sedang pada anestesi
umum seluruh tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada anestesi umum yang terpengaruh syaraf
pusat dan pada anestesi lokal tidak terjadi kehilangan kesadaran.
Di dalam praktek obat-obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui inhalasi, atau parental, ada pula yang dimasukkan
melalui rektal tetapi jarang dilakukan. Yang melalui inhalasi antara lain: N20, halothan, enflurane, ether, isoflurane, sevoflurane,
metoxiflurane, trilene.
Yang melalui parental:
Intravena antara lain penthotal, ketamin, propofol, etomidat dan golongan
benzodiazepine.
Intramuskuler antara lain ketamin.
Yang melalui rektal:
Etomidat (dilakukan untuk induksi anak).
Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk ke dalam saluran pernafasan, di dalam alveoli
paru akan berdifusi masuk ke dalam sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intra- muskuler, obat tersebut akan
diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah.
Setelah masuk ke dalam sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar ke dalam jaringan. Dengan sendirinya jaringan yang
kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh
darahnya sedikit seperti tulang atau jaringan lemak.
Tergantung obatnya, di dalam jaringan sebagian akan mengalami metabolisme, ada yang terjadi di hepar, ginjal atau
jaringan lain. Ekskresi bisa melalui ginjal, hepar, kulit atau paru-paru. Ekskresi bisa dalam bentuk asli atau hasil metabolismenya.
N20 diekskresi dalam bentuk asli lewat paru.
Faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain:
Faktor respirasi (untuk obat inhalasi).
Faktor sirkulasi.
Faktor jaringan.
Faktor obat anestesi.
Faktor respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan mencapai tekanan parsial tertentu, makin tinggi konsentrasi zat
yang dihirup tekanan parsialnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi dalam alveoli dan di dalam darah
menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli ke dalam sirkulasi dan
sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam alveoli bila tekanan parsial di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini terjadi bila
pemberian obat anestesi dihentikan). Makin tinggi perbedaan tekanan parsial makin cepat terjadinya difusi.
Proses difusi akan terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada udem paru dan
fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat misalnya pada nafas dalam maka obat inhalasi berdifusi lebih banyak dan
sebaliknya, pada keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau obstruksi respirasi.
Faktor Sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh
darah paru makin sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat larut di dalam
darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya
penderita mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.
Faktor Jaringan
Yang menentukan antara lain:
Perbedaan tekanan parsial obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan.
Kecepatan metabolisme obat.
Aliran darah dalam jaringan.
Tissue/blood partition coefisien.
Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal
pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra maksimal pada 50%
pasien atau dapat diartikan sebagai konsentrasi obat inhalasi dalam alveoli yang dapat mencegah respon terhadap incisi
pembedahan pada 50 % individu. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.
Teori Terjadinya Anestesi Umum
1. Lipid solubility theory (Meyer 1899, Overton 1901)
Obat anestesi adalah lipid solubel sehingga efeknya berhubungan dengan daya larutnya di dalam lemak. Makin besar daya
larutnya, makin besar efek anestesinya.
2. Teori colloid
Efek anestesi disebabkan karena terjadinya agregasi colloid dalam sel yang menyebabkan terjadinya gangguan fungsi pada
sel.
3. Teori adsorbsi/tegangan permukaan
Menghubungkan efek anestesi dengan daya adsorbsi atau menurunnya tegangan permukaan membran sel. Dengan
mengumpulnya obat anestesi pada membran sel berakibat perubahan permeabilitas membran/daya adsorbsi dan
menyebabkan terjadinya hambatan fungsi neuron.
4. Teori biokimiawi (Quastel 1952)
Menerangkan efek obat anestesi dengan peningkatan reaksi enzimatik atau dalam sel. Antara lain beberapa obat anestesi
menyebabkan uncoupling dan oxsidative phosphorilation dan menghambat konsumsi oksigen.
5. Teori fisik
Menghubungkan daya anestesi dengan aktifitas thermodinamik atau bentuk dasar molekul. Menurut Mullins 1954
bekerjanya obat anestesi yang inert adalah dengan pengisian ruangan-ruangan non aqueous dari membran sel oleh obat
anestesi sehingga permeabilitas membran terganggu.
Pauling 1964 mengemukakan bahwa zat anestesi dapat membentuk mikro kristal dengan air dalam membran sel neuron
dan ini menyebabkan stabilisasi membran sel. Teori ini disebut juga hidrat mikro kristal teori.
STADIUM ANESTESI
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar tidak terlalu dalam sehingga
membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekwat untuk melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasar tanda klinik
yang didapat. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda
pada pupil, tonus otot dan refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether.
1. Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.
2. Stadium II disebut juga stadium delirium atau stadium eksitasi.
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Dalam stadium ini penderita bisa meronta ronta, pernafasan
irregular, pupil melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks
fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur.
Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri.
Keadaan ini bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi penderita dan induksi yang
halus dan tepat.
3. Stadium III disebut juga stadium operasi.
Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas.
Dibagi menjadi 4 plane:
Plana I: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisa otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun dan frekwensi nafas meningkat, mulai terjadi
depresi nafas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea
menghilang dan tonus otot makin menurun.
Plana III: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise seluruh otot Interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil
makin melebar dan refleks cahaya menjadi hilang, lakrimasi negatif, refleks laring dan peritoneal menghilang,
tonus otot makin menurun.
Plana IV: Dari paralise semua otot interkostal sampai paralise diafragma.
Ditandai dengan paralise otot interkostal, pernafasan lambat, iregular dan tidak adekwat, terjadi jerky karena
terjadi paralise diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya
negatif refleks spincter ani negatif.
4. Stadium IV dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Juga disebut stadium over dosis atau stadium paralysis.
Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan dikuti dengan circulatory failure.
Untuk memberikan anestesi, keselamatan penderita harus diutamakan karena itu sebelum memberikan anestesi harus
dilakukan:
Penilaian keadaan/status penderita apakah tindakan anestesi aman dilakukan kepada penderita tersebut.
Semua obat-obat anestesi dan obat-obat emergency (obat untuk pertolongan darurat) harus siap digunakan dan tersedia
dalam jumlah yang cukup dan memungkinkan ada jalur masuknya obat tersebut ke tubuh pasien.
Semua peralatan anestesi, saluran gas, alat pengisap lendir dan alat-alat monitor pasien dipastikan berfungsi dengan baik
dan siap digunakan Disamping itu harus ada asisten terlatih yang sewaktu-waktu bisa membantu bila diperlukan dan jangan
menggunakan alat-alat, obat-obat dan teknik yang belum dikuasai/dimengerti betul tanpa pengawasan ahlinya.
Pemberian anestesi dimulai dengan induksi yaitu memberikan obat sehingga penderita tidur. Tergantung lama operasinya,
untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi
perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau
pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini
disebut pemulihan/recovery.
INDUKSI
Induksi dapat dilakukan dengan cara inhalasi, intravena, intramuskuler atau perrektal. Induksi Inhalasi sering disebut
dengan istilah induksi lambat karena membutuhkan waktu yang lama, sedangkan induksi intravena, disebut juga dengan induksi
cepat karena penderita cepat tertidur.
Induksi Inhalasi
Diberikan dengan meminta penderita menghirup campuran gas anestesi dengan udara atau oksigen, dengan memakai
face mask (sungkup muka/kap). Tergantung yang dipakai, gas anestesi bisa diambil dari tabung gas (N 20) atau dari obat anestesi
cair yang diuapkan menggunakan alat yang disebut vaporizer. Pada zaman dulu obat anestesi cair diteteskan pelan-pelan langsung
ke sungkup muka yang dibuat dari rangka kawat yang dibalut kain kasa atau alat schimmel busch. Cara ini disebut open drop. Bila
obatnya ether maka disebut open drop ether.
Induksi inhalasi menggunakan ether pada saat ini tidak populer, karena menimbulkan stadium II yang menyebabkan
terjadinya risiko morbiditas dan mortalitas bagi penderita. Dibandingkan dengan ether induksi inhalasi lebih baik menggunakan
halothane, enflurane, isoflurane atau sevoflurane. Penderita yang mendapat induksi inhalasi dengan obat ini cepat masuk ke
dalam stadium III sehingga tanda stadium II yang membahayakan penderita tidak terlihat. Umumnya induksi inhalasi dikerjakan
pada bayi dan anak.
Induksi Intravena
Pada induksi intravena tidak terjadi stadium II, dikerjakan dengan menyuntikkan obat anestesi ke dalam pembuluh darah
vena.
Induksi Intramuskuler
Diberikan dengan menyuntikkan obat anestesi ke dalam otot, dikerjakan pada anak-anak.
Induksi Rektal
Dikerjakan dengan memasukkan obat ke rektum. Tergantung ada tidaknya indikasi, setelah induksi dilakukan, selanjutnya
dapat dipasang pipa endotrakheal (endotracheal tube) atau dapat pula dipasang sungkup laring (LMA) atau cukup dilakukan
dengan/oce mask (sungkup muka).
Untuk menjaga agar penderita tidak jatuh ke dalam hipoksia, sebelum induksi perlu diberikan oksigenasi selama 5 menit
lebih dulu, cara ini disebut pre oksigenasi. Dengan memberikan pre oksigenasi, kapasitas residual fungsional paru akan terisi oleh
oksigen. Selain itu, oksigen yang larut dalam darah juga meningkat, sehingga bila terjadi gangguan respirasi waktu induksi maka
sudah ada cadangan oksigen, yang diharapkan cukup memenuhi kebutuhan sampai gangguan respirasi dapat diatasi.
PEMELIHARAAN (MAINTENANCE)
Dalam periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, tergantung jenis operasinya. Anestesi tidak boleh terlalu
dalam karena membahayakan jiwa penderita, tetapi juga tidak boleh terlalu ringan sehingga penderita masih merasakan nyeri
yang akan menimbulkan trauma psikis yang berkepanjangan. Selain itu anestesi yang terlalu ringan juga dapat menyebabkan
spasme saluran pernafasan, batuk, mutah atau gangguan kardio vaskuler.
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa, diberikan
secara intermitten atau continous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing
obat dapat diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi yaitu
penderita tidur, analgesi cukup dan terjadi relaksasi otot. Pada penderita yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat
pelemas otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul:
Gerakan lengan atau kaki.
Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada penderita yang memakai pipa endotrakeal.
Adanya lakrimasi.
Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laringeal, broncospasme.
Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah
cepat, tekanan darah meningkat, berkeringat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan cara mendalamkan anestesi. Pada operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila
relaksasinya kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang membuka
abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan.
Keadaan relaksasi bisa terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat
lebih relaksasi adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat. Bila hanya menggunakan satu
macam obat, keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang diberikan sedemikian tinggi, sehingga menimbul-
kan gangguan pada organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita, lebih-lebih pada penderita yang
sensitif atau memang sudah ada gangguan pada organ vital sebelumnya.
Untuk mengatasi hal ini maka ada tehnik tertentu agar tercapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita
dibuat tidur dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle
relaxant) tehnik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi
atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas
buatan (dipompa), tanpa, dilakukan nafas buatan, penderita akan mengalami kematian, karena hipoksia. Jadi nafas penderita se-
penuhnya tergantung dari pengendalian kita, karena itu balance anestesi juga disebut dengan tehnik respirasi kendali atau
controlrespiration.
Untuk mempermudah respirasi kendali penderita harus dalam keadaan terintubasi. Dengan menggunakan balance
anestesi maka ada beberapa keuntungan antara lain:
Dosis obatnya minimal, sehingga gangguan pada organ vital dapat dikurangi. Polusi kamar operasi yang ditimbulkan obat
anestesi inhalasi dapat dikurangi. Selesai operasi penderita cepat bangun sehingga mengurangi resiko yang ditimbulkan
oleh penderita yang tidak sadar. Dengan dapat diaturnya pernafasan maka dengan mudah kita bisa melakukan
hiperventilasi, untuk menurunkan kadar C02 dalam darah sampai pada titik tertentu misalnya pada operasi otak. Dengan
hiperventilasi kita juga dapat menurunkan tekanan darah untuk operasi yang memerlukan tehnik hipotensi kendali.
Karena pernafasan bisa dilumpuhkan secara total maka mempermudah tindakan operasi pada rongga dada (thoracotomy)
tanpa terganggu oleh gerakan pernafasan. Kita juga dapat mengembangkan dan mengempiskan paru dengan sekehendak
kita tergantung keperluan.
Dengan demikian berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan dalam 3 macam yaitu:
Respirasi spontan yaitu penderita bernafas sendiri secara spontan. Respirasi kendali/respirasi terkontrol/bo/once anestesi:
pernafasan penderita sepenuhnya tergantung bantuan kita.
Assisted Respirasi: penderita bernafas spontan tetapi masih kita berikan sedikit bantuan.
Berdasar sistem aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi, anestesi dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu: Open,
semi open, dosed, dan semi closed.
Sistem open adalah sistem yang paling sederhana, sebagai contoh adalah sistem open drop dan system insuflasi. Di sini
tidak ada hubungan fisik secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat anestesi. Karena itu tidak menimbulkan
peningkatan tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi bebas keluar menuju udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat
anestesi, menimbulkan polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka akan meningkatkan
resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat
dilakukan respirasi kendali.
Gambari
Pemakaian Ether dengan Sistem Open Drop
Gambar 2
Sistem Insuflasi untuk Induksi Anak
Gambar 3
Gambar Insuflasi dengan Catheter yang Dimasukkan Lewat Hidung
Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain
reservoir bag, adapula yang masih ditambah dengan klep 1 arah, yang mengarahkan udara
ekspirasi keluar, klep ini disebut non-rebreathlng vah/e. Dalam sistem ini tingkat keborosan
dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding sistem open.
Dalam sistem semi ciosed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan
oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung C0 2 yang lebih tinggi,
dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO 2 akan diikat oleh sodalime.
Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan oksigen dari sumber
gas (FGF/Fresh Gas Fiow) untuk di- inspirasi kembali. Kelebihan aliran gas dikeluarkan
melalui klep over fiow. Karena udara ekspirasi diinspirasi lagi, maka pemakaian obat
anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang menimbulkan polusi kamar operasi.
Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada udara
yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen dan gas
anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan
anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang berlebihan
bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga, menimbulkan pecahnya alveoli paru.
Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak menimbulkan polusi.
Pada sistem closed dan semi closed juga disebut sistem rebreathing, karena udara
ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu sodalime untuk membersihkan C0 2. Pada
sistem open dan semi open juga disebut sistem non rebreathing karena tidak boleh ada
udara ekspirasi yang diinspirasi kembali, sistem ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar
pada system semi open tidak terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen
harus cepat, biasanya diberikan antara 2-3 kali menit volume respirasi penderita.
Tabel 1
Perbedaan Antara Sistem Open, Semi Open, Semi Closed Opdan Closed
Tingkat
Sistem Rebreat Reservoir Sodalime Tingkat Polusi Keboros an
hing Bag Kamar Operasi Obat
Open - - - ++++ +++
Semi Open - + - +++ ++
Semi Closed + + + ++ +
Closed + + + + -
Bila obat anestesi seluruhnya menggunakan obat intravena, maka disebut anestesi
intravena total (total intravenous anesthesia/TW/A). Bila induksi dan maintenance anestesi
menggunakan obat inhalasi maka disebut VIMA (Volatile Inhalation and Maintenance
Anesthesia).
PEMULIHAN ANESTESI
Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi diakhiri dengan
menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenisasi. Dengan
oksigenisasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati oleh obat
anestesi inhalasi di alveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan
demikian tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun, sehingga
lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat anestesi inhalasi di dalam darah.
Maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli. Semakin
tinggi perbedaan tekanan parsial tersebut kecepatan difusi makin meningkat.
Sementara itu oksigen dari alveoli akan berdifusi ke dalam darah. Semakin tinggi
tekanan parsial oksigen di alveoli (akibat oksigenisasi) difusi ke dalam darah semakin cepat,
sehingga kadar oksigen di dalam darah meningkat, menggantikan posisi obat anestesi yang
berdifusi menuju ke alveoli. Akibat terjadinya difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah
menuju ke alveoli, maka kadarnya di dalam darah makin menurun. Turunnya kadar obat
anestesi inhalasi tertentu di dalam darah, selain akibat difusi di alveoli juga akibat sebagian
mengalami metabolisme dan ekskresi lewat hati, ginjal, dan keringat. Kesadaran penderita
juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anestesi di dalam darah.
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya, berangsur-
angsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah
pemberinya dihentikan. Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi
spontan tanpa menggunakan pipa endotrakheal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita. Sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakheal maka perlu
dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET). Ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih
teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan
napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli dan naiknya
tekanan intra kranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai
resiko tidak terjaganya jalan nafas, dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar.
Tetapi ada operasi tertentu ekstubasi dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi
dalam.
Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi dilakukan setelah
napas penderita adekwat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari pengaruh muscle
relaxant maka dilakukan reverse, yaitu memberikan obat anti kolin esterase. Sebagian ahli
anestesi tetap memberikan reverse walaupun napas sudah adekwat bagi penderita yang
sebelumnya mendapat muscle relaxant. Sebagian ahli anestesi melakukan ekstubasi
setelah penderita sadar, bisa diperintah menarik napas dalam, batuk, menggelengkan
kepala dan menggerakkan ekstremitas. Penilaian yang lebih obyektif tentang seberapa
besar pengaruh pelumpuh otot adalah dengan menggunakan alat nerve stimulator.
PEMINDAHAN PENDERITA DARI KAMAR OPERASI
Ada banyak pedoman untuk menentukan kapan penderita dapat dipindahkan dari
kamar operasi. Di RSUP. Dr. Kariadi memakai Aldrette Score yaitu penilaian yang didasarkan
atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, aktifitas dan warna kulit. Masing-masing mempunyai nilai
terendah 0 dan tertinggi 2. Hasil penjumlahan ke-5 faktor tersebut, yang mempunyai nilai
maksimal 10 menentukan dapat tidaknya penderita dipindahkan. Penderita dengan nilai
Aldrette Score 8, dapat dipindahkan ke ruang perawatan. Untuk penderita rawat jalan
setelah Aldrette Score mencapai 10 tidak boleh langsung pulang, tetapi harus menunggu
minimal 2 jam lebih dulu, dalam waktu ini penderita dapat dilatih duduk, turun, jalan dan
minum secara bertahap. Dalam perjalanan pulang penderita ini tidak boleh mengemudikan
kendaraan sendiri dan tidak boleh pulang sendirian tetapi harus ada teman yang sudah
dewasa.
Tabel 2
Nilai Penderita Paska Operasi menurut Aldrette
Hal yang Dinilai Nilai
1. Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun bila dipanggil 1
Tidak ada respons 0
2. Respirasi
Dapat melakukan nafas dalam, bebas dan dapat batuk 2
Sesak nafas, nafas dangkal atau ada hambatan 1
Apnoe 0
3. Sirkulasi: Perbedaan dengan tekanan darah pre anestesi
Perbedaan + 20 2
Perbedaan + 50 1
Perbedaan lebih dari 50 0
4. Aktifitas: dapat menggerakkan ekstremitas atas perintah
4 ekstremitas 2
2 ekstremitas 1
Tidak dapat 0
5. Warna kulit
Normal 2
Pucat, gelap, kuning atau berbintik-bintik 1
Cyanotik 0
PENGIKAT KARBONDIOKSIDA (C02)
Dalam sistem non rebreathing C02 yang diekshalasi oleh pasien, dibuang dengan cara
memberikan aliran gas yang cepat dari sumber gas (antara dua sampai tiga kali volume
respirasi semenit), hal ini memboroskan obat-obat anestesi dan menyebabkan biaya
anestesi meningkat, selain itu aliran yang cepat juga meningkatkan polusi udara di kamar
operasi oleh obat-obat anestesi inhalasi.
Dalam sistem rebreathing udara ekspirasi yang mengandung C0 2 di- inspirasi lagi
oleh pasien, dalam sistem ini lebih hemat karena aliran dari sumber gas tidak perlu cepat,
polusi kamar operasi juga lebih rendah, tetapi rebreathing C02 dapat memberikan masalah
karena menimbulkan hiperkarbi pada pasien dan selanjutnya jiwa pasien menjadi
terancam. Untuk itu diperlukan pengikat C02.
Tabel 3
Nilai Penderita Paska Operasi Menurut Modifikasi Aldrette
Proses pengikatan C02 dilakukan dengan cara reaksi kimia, karena itu agar fungsinya
maksimal diperlukan sebanyak mungkin udara ekspirasi yang bersinggungan dengan
pengikat C02, maka diperlukan permukaan pengikat C0 2 yang luas. Untuk memperluas
permukaan, pengikat C02 dibuat dalam bentuk butiran-butiran, makin kecil ukuran butiran,
dalam total volume yang sama didapatkan permukaan butiran yang makin luas, sehingga
reaksi dengan C02 juga makin lebih banyak terjadi. Tetapi dengan makin kecilnya ukuran,
tahanan aliran udara juga makin besar pula. Dari penelitian didapat bahwa ukuran butiran
yang paling optimal antara 4-8 mesh. Mesh menggambarkan jumlah saringan diantara
partikel granula pada garis lurus per inci yang dapat dilalui oleh udara. Sebagai contoh, 4
mesh berarti terdapat 4 buah saringan sebesar 0,25 inci untuk setiap inci garis lurus.
Butiran pengikat C02 dilengkapi dengan indikator yang berubah warna apabila sudah
tidak berfungsi. Indikator-indikator tersebut adalah:
Indikator Warna
Berfungsi baik Tidak berfungsi
Ethyl violet Putih Purple (ungu)
Phenolphthalein Putih Pink (jambon)
Clayton yellow Merah Kuning
Ethylorange Orange Kuning
Mimosa 2 Merah Putih
114 H
Anestesiologi
absorptive capacity. Saat ini ada 3 macam pengikat C02 yaitu:
Sodalime
Baralyme
Amsorb p\us/calcium hydroxide lime
Sodalime
Sodalime adalah butiran pengikat C02 yang dibuat dari campuran 15% air, 80%
kalsium hidroksida, 4% natrium hidroksida dan 1% kalium hidroksida. Butiran ini mudah
pecah membentuk debu alkaline yang dapat menyebabkan bronkospasme bila terhirup.
Untuk mencegah terjadinya debu maka diperkeras dengan menambah sejumlah kecil silica
agar terbentuk kalsium dan natrium silikat, penambahan silica tidak boleh terlalu banyak
agar reaksi pengikatan C02 dapat berjalan baik. Proses pengikatan C02 melalui proses reaksi
kimia sebagai berikut:
Juga terjadi reaksi langsung antara C02 dengan Ca(OH)2 membentuk CaC03 tetapi
berjalan lambat. Air yang terbentuk dari reaksi tersebut, air dari butiran soda lime dan uap
air dari gas ekshalasi pasien menapis basa alkali dari soda lime, terkumpul dalam dasar
tabung, basa monovalent tersebut korosif pada kulit. Absorbtive capacity sodalime adalah
14-23.
Baralyme
Baralyme adalah butiran pengikat C02 yang dibuat dari campuran yang terdiri dari
20% barium hidroksida dan 80% kalsium hidroksida, dapat juga diberi sedikit kalium
hidroksida. Tidak memerlukan silica sebagai penguat. Kurang bersifat soda dan
menghasilkan panas yang lebih sedikit dibanding soda lime. Mempunyai absorptive
capacity 9-18. Proses reaksi pengikatan C02 berjalan sebagai berikut:
Ba(0H)2+8H20 + C02 BaC03 + 9 H20 + panas
9 H20 + 9 C02 9 H2C03
9 H2C03 + Ca(OH)2 CaC03 +18 H20 + panas
Amsorb Plus
Amsorb plus diperkenalkan pada tahun 2000, dibuat dari campuran yang terdiri dari
13-18% air, 80% kalsium hidroksida dan kalsium klorida. Sebagai penguat agar tidak mudah
pecah ditambahkan sedikit kalsium sulfat dan Polivinylpyrolidine. Dalam campuran ini tidak
terdapat basa monovalent (KOH/NaOH) yang korosif. Reaksi antar C02 dengan amsorb plus
adalah sebagai berikut:
1. Brockwell RC, Andrew JJ: Inhaled Anesthetic Delivery Sistems dalam Miller RD:
Miller's Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, p 273-
311.
2. Orkin FK: Anesthetic Systems dalam Miller RD: Anesthesia. New York, Churchill
Livingstone, 1981, p 117-152.
3. Howley JE, Roth PA: Anesthesia Delivery Systems dalam Stoelting RK, Miller RD (eds.):
Basics of Anesthesia. 5th ed. Philadelphia. Churchill Livingstone, 2007, p 185-206.
4. Taylor D: Choice of Anesthetic Technique dalam Stoelting RK, Miller RD (eds): Basics
of Anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone, 2007, p 178-184.
5. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA: Apparatus and Methods for General Anesthesia
dalam A Synopsis of Anesthesia, 8th ed. Bristol. John Wright & Sons. 1977, p 151-176.
116 || Anestesiologi
OBAT ANESTESI INHALASI
Uripno Budiono
Sesuai dengan prosedur pembedahan, kemajuan dari hasil penelitian dalam bidang farmasi, farmakologi dan anestesiologi,
macam obat inhalasi yang dipakai juga mengalami perubahan guna mendapatkan hasil kerja yang ideal. Untuk mencapai hal
tersebut mestinya dipakai obat anestesi inhalasi yang ideal tetapi sampai saat ini belum ditemukan obat anestesi inhalasi yang
ideal, karena masing-masing obat mempunyai kelebihan dan kekurangan. Idealnya obat anestesi inhalasi memenuhi persyaratan
antara lain:
Tidak dapat terbakar, atau menimbulkan ledakan.
Mudah diuapkan pada suhu normal,
Stabil dalam penyimpanan, tidak mengalami reaksi atau perubahan bila terkena soda lime atau peralatan anestesi,
Potensinya kuat,
Harganya murah,
Sedikit mengalami metabolisme, dan tidak menimbulkan alergi baik zat asli maupun hasil metabolitnya.
Waktu induksinya cepat tetapi pemulihannya juga cepat,
Tidak menjadi pencetus malignant hipertermi,
Selaras dipakai pada tindakan dengan epinefrin,
Tidak menimbulkan vasodilatasi serebral,
Tidak menekan aktifitas sistem syaraf simpatis yang berlebihan,
Tidak menimbulkan mual dan muntah,
Tidak menimbulkan iritasi jalan napas, dan tidak mendefresi pernafasan. Bersifat bronkhodilatasi,
Tidak menimbulkan depresi otot jantung,
Tidak menimbulkan vasodilatasi perifer,
Tidak toksik pada ginjal dan hepar.
Sampai saat ini obat-obat inhalasi yang telah dipakai untuk praktek anestesi antara lain: nitrogen oksida(N20), ether (diethyl
ether), chloroform, ethyl chloride, ethylene, cyclopropane, trichloroethylene (trilene), divinylether, isopropenyl vinyl ether,
propyl methyl ether, fluoroxene, ethyl vinyl ether, halothane, methoxyflurane, enflurane, isoflurane, desflurane, sevoflurane.
Disini hanya diuraikan mengenai obat-obat yang dipakai di RSUP Dr. Kariadi antara lain halothan, enflurane, isoflurane,
sevoflurane dan N20. Meskipun ether sudah tidak dipakai di RSUP Dr. Kariadi tetapi akan dibicarakan juga karena masih dipakai di
RS daerah, bisa dibuat di Indonesia, dan murah harganya.
Adalah zat yang mula-mula disiapkan oleh Valerius Cordus (1540) dengan nama sweet oil ofvitril. Unggas-unggas menjadi
tertidur dan bangun kembali dengan selamat setelah diberi zat tersebut oleh Paracelcus. Zat tersebut diberi nama aether oleh
Frobenius dalam bahasa Yunani berarti sinar atau membakar. Di dalam klinik pertama kali dipakai untuk ekstraksi gigi oleh W.E.
Clarke dari Rochester (1842) dan Crawford Long dari Georgia (1842), tetapi tidak dipublikasikan. Demonstrasi pemakaian ether
untuk operasi dilakukan oleh W.T.G. Morton dari Boston (1846). Obat ini kemudian digunakan secara rutin di Amerika. Posisi ini
kemudian digantikan dengan cyclo propane (1930).
Sejak pembedahan dilakukan terpusat di Instalasi Bedah Sentral (1984), RSUP Dr. Kariadi tidak menggunakan ether karena
mudah terbakar. Sedangkan pembedahan banyak dilakukan menggunakan cauter yang menimbulkan percikan api. Sebelum itu
sebagian besar tindakan anestesi inhalasi di RSUP Dr. Kariadi menggunakan ether.
Dibuat dengan memanaskan campuran asam sulfat pekat dan ethyl alkohol 95% pada suhu 130 °C dalam alat distilasi. Ke
dalam campuran tersebut terus dialirkan uap alkohol sehingga terjadi reaksi dehidrasi. Proses selanjutnya adalah pemisahan dari
zat yang terbentuk sebagai reaksi ikutan maupun sisa-sisa zat anestesi.
Ether merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap dengan berat molekul 74, titik didih 35°C, tekanan uap jenuh
pada suhu 20°C 425 mmHg. Rasio kelarutan dalam minyak/air 32. Koefisien partisi minyak/gas 65, Koefisien parti darah/gas 12,0.
Konsentrasi alveolar minimal adalah 1,92. Uap ether dalam udara mudah terbakar pada konsentrasi antara 1,83-48%. Meledak
dalam oksigen pada konsentrasi antara 2%-82%. Di dalam penyimpanan dapat tercampur dengan zat-zat lain yang terbentuk
pada waktu proses pembuatan atau dalam penyimpanan. Pada waktu pembuatan dapat tercampur dengan oksida belerang,
sulfat, aldehid, thio ether dan asam thio yang lain. Selama proses penyimpanan dapat terbentuk peroksida, aldehid, keton dan
mercaptan. Terbentuknya zat-zat tersebut didukung oleh udara, cahaya, keadaan lembab dan panas, dan dihambat oleh
tembaga, besi, merkuri, difenil amin dan hidroquinon. Karena itu ether disimpan di tempat gelap dan dingin dan sebaiknya diberi
4% ethyl alkohol untuk pengawet.
Ether dapat dipakai untuk semua teknik anestesi inhalasi, induksi memerlukan waktu antara 10 -15 menit, dengan dosis
antara 10-12 %, dosis pemeliharaan antara 3,5-4,5 %. Henti nafas terjadi pada konsentrasi 6,7-8 %.
Di dalam tubuh, ether tidak mengalami perubahan, 90 % dieliminasi lewat paru, setengahnya dikeluarkan dalam waktu 5
menit, sebagian besar sisanya dikeluarkan dalam waktu 1 jam. Ekskresi seluruhnya memerlukan waktu 8-13 jam.
Pada sistem sirkulasi ether meningkatkan laju jantung karena stimulasi simpatis, meningkatkan katekolamin dan depresi
vagal. Pada anestesi dangkal menyebabkan vasokonstriksi dan pada anestesi dalam menyebabkan vasodilatasi akibat pengaruh
pada pusat vasomotor. Tekanan darah menurun pada kedalaman anestesi mulai stadium III plana II.
Pada sistem saraf pusat pada stadium II ether menyebabkan eksitasi dan pada stadium lebih dalam menyebabkan anestesi.
Pada stadium dangkal dapat menyebabkan kejang, diduga karena stretch reflek. Ether menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah otak sehingga terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
Pada sistem pernafasan menimbulkan iritasi jalan nafas, batuk, dan spasme, meningkatkan frekuensi nafas pada stadium
dangkal dan melambat pada stadium yang dalam.
118 || Anestesiologi
Pada sistem simpatis menimbulkan stimulasi sentral diikuti dengan meningkatnya katekolamin plasma, akibatnya laju
jantung meningkat, gula darah meningkat, dilatasi usus dan hambatan peristaltik, dilatasi bronkhus, frekuensi nafas meningkat
dan tahanan vaskuler meningkat.
Pada sistem parasimpatis terjadi depresi sentral.
Pada sistem gastrointestinal menyebabkan mual dan muntah pada 50% pasien, tetapi dengan konsentrasi minimal dan
pelumpuh otot keadaan ini bisa dikurangi. Sekresi kelenjar ludah meningkat selama induksi dan selanjutnya mengalami depresi,
terjadi atoni usus pada anestesi dalam sampai periode post anestesi.
Fungsi hepar menurun tetapi kembali normal dalam waktu 24 jam, sekresi empedu dan garam empedu mengalami
penurunan.
Pada mata terjadi peningkatan sekresi kelenjar air mata pada stadium ringan dan penurunan sekresi pada anestesi dalam.
Pada traktus urinarius, ether menyebabkan produksi urin menurun karena vasokonstriksi renal, efek neurogenik dan
berkurangnya aliran darah. Hal ini akan berubah normal setelah anestesi dihentikan. Pada ginjal normal hanya terjadi sedikit
pengurangan fungsi.
Pada uterus dalam keadaan hamil, ether menghambat gerakan uterus pada anestesi dalam, relaksasi sempurna pada
anestesi dalam. Ether dapat menembus barier plasenta, konsentrasi dalam darah fetus dengan cepat meningkat menyamai
konsentrasi dalam darah ibu.
Pada otot skelet, ether menyebabkan relaksasi karena blok myoneural (dapat direverse dengan neostigmin) dan
berkurangnya impuls saraf motorik.
Pada metabolisme dapat terjadi asidosis metabolik karena meningkatnya asam laktat, piruvat, asam lemak non esterifikasi
dan keton bodies. Ether juga menimbulkan kenaikan kadar gula darah.
Keuntungan anestesi dengan ether:
Menghasilkan relaksasi yang sempurna,
Depresi respirasi tidak diikuti dengan kerusakan jantung bila tidak terjadi hipoksia,
Relatif non toksik, khususnya pada anestesi ringan dengan pelumpuh otot, Merupakan obat anestesi yang aman bila tidak
terjadi hipoksia,
Harga murah,
Bisa digunakan dengan alat-alat sederhana yang memungkinkan mudah dibawa kemana-mana (portable),
Tanda-tanda stadium anestesi jelas.
Kerugian anestesi dengan ether:
Menimbulkan sekresi mukus yang banyak pada mulut dan jalan nafas, Menyebabkan mual dan muntah,
Induksinya memerlukan waktu lama,
Mudah terbakar.
NH4N03^ 2H20+N20
N N
O
Nitrogen oksida (N20) diabsorpsi
melalui paru masuk ke dalam plasma darah dan seterusnya didistribusikan ke seluruh tubuh. Eliminasi sebagian besar dengan cara
ekshalasi melalui paru. Hanya sebagian kecil melalui kulit, urin, dan usus. Kurang dari 0,01% mengalami metabolisme oleh kuman-
kuman usus, menghasilkan gas nitric oxide, ion nitrat, nitrogen dioxide dan amonia atau metabolit ion non volatil yang larut
dalam air seperti N03', N02' dan NH4+.
Meskipun analgesinya kuat tetapi N20 adalah agent anestesi yang lemah, karena itu sukar mendapatkan anestesi yang
mulus, meskipun hanya untuk tindakan yang singkat apabila hanya menggunakan obat tunggal. Pemakaiannya biasanya didahului
dengan premedikasi, induksi obat intra vena atau obat inhalasi yang lain, diteruskan dengan kombinasi dengan obat intra vena
atau inhalasi lain untuk pemeliharaan, bisa juga ditambah dengan pelumpuh otot.
120 || Anestesiologi
Campuran 50% N20 dan 50% 02 (Entonox) dapat dipakai untuk mengatasi nyeri misalnya pada waktu mengganti pembalut,
analgesi obstetrik, analgesi pada ekstraksi gigi, koreksi drain, fisioterapi paska bedah.
N20 cenderung mengisi bagian tubuh yang berongga karena difusi ke ruang berongga lebih cepat dibanding
pengeluarannya dari rongga ke sirkulasi, karena itu pada anestesi dengan N20:
Memperberat pneumothoraks tertutup, pada inspirasi 75% N20 selama 10 menit volume pneumothorak meningkat 2x
lipat, dan bila 45 menit menjadi 3x lipat.
Mengisi rongga usus, hal ini dapat memperbesar volume dan tekanan di dalam usus pada penderita obstruksi usus.
Sebaiknya dihindari penggunaannya pada penderita hernia diafragmatika atau omphalocele.
Pada operasi mata, kadang-kadang disuntikkan gelembung udara untuk mencegah terlepasnya retina. N20 dapat berdifusi
ke dalam gelembung tersebut sehingga memperbesar tekanan intra oculi sampai dengan di atas 200% yang merugikan
sirkulasi retina.
Mengisi rongga sinus paranasalis dan rongga telinga tengah. Pada keadaan infeksi di mana ada sumbatan pada rongga
tersebut (misalnya sumbatan tuba eustachii) maka tekanan dalam rongga tersebut akan meningkat. Pada operasi
timpanoplastik N20 yang terakumulasi akan menyebabkan terlepasnya graft, karena itu N20 harus dihentikan 10 menit
sebelum pemasangan graft.
Emboli udara dalam sirkulasi darah akan membesar dan dapat mempengaruhi sirkulasi.
Berdifusi ke dalam kaf pipa endotrakheal mengakibatkan tekanan dalam kaf meninggi dan menekan mukosa trakhea.
Menyebabkan tension pneumoencephalus sesudah penutupan duramater atau pneumoencephalografi.
Hipoksemia difusa disebabkan karena sesudah N20 dihentikan masih terjadi difusi N20 dari jaringan dan rongga tubuh ke
dalam sirkulasi, dan dari sirkulasi ke dalam alveoli, karena itu kadar N20 di dalam alveoli masih tinggi. Untuk mencegah
terjadinya hipoksia harus diberikan 100% oksigen selama 5-10 menit setelah pemberian N20 diakhiri.
Pada sistem saraf pusat, N20 pada konsentrasi 25% menyebabkan sedasi ringan, efek analgetik timbul pada konsentrasi
27%. Pada konsentrasi 50% menimbulkan analgesi setara dengan analgesi yang ditimbulkan oleh morfin. N20 menaikkan aliran
darah otak, sedikit menaikkan tekanan intrakranial dan menaikkan kebutuhan oksigen otak (CMR02).
Pada sistem kardiovaskuler, N20 cenderung merangsang sistem saraf simpatis, selain itu N20 juga mendepresi kontraktilitas
otot jantung sehingga tekanan darah, curah jantung, dan laju jantung tidak mengalami perubahan atau sedikit berubah. Depresi
otot jantung dapat terjadi pada pasien dengan penyakit koroner atau hipovolemi berat. Konstriksi otot polos pembuluh darah
paru akan meningkatkan tekanan atrium kanan. Meskipun terjadi vaso- konstriksi pembuluh darah kulit tetapi resistensi vaskuler
perifer relatif tidak berubah.
Pada sistem respirasi, N20 tidak menyebabkan iritasi saluran nafas, tidak merangsang sekresi kelenjar, tonus bronkomotor
tidak berubah dan komplians dinding dada sedikit menurun. Sensitifitas laring dan trakhea berkurang sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya spasme laring. Respon terhadap C02 tidak berubah tetapi respon terhadap hipoksia dihambat (akibat
depresi kemoreseptor perifer pada carotid bodies), meskipun dengan kadar N20 yang rendah. N20 meningkatkan laju nafas tapi
menurunkan volume tidal akibat dari stimulasi sistem saraf pusat, ventilasi semenit dan kadar C0 2 arterial sedikit mengalami
perubahan.
Pada ginjal, aliran darah ginjal mengalami penurunan karena meningkatnya resitensi vaskular ginjal.
Pada hepar, aliran darah hati sedikit mengalami penurunan.
Pada neuromuskuler, N20 tidak menimbulkan relaksasi otot, pada dosis tinggi menyebabkan kekakuan otot.
Karena mengoksidasi atom cobalt pada vitamin Bi2 maka N20 menghambat enzim yang tergantung pada vitamin Bi2 antara
lain methionin sintetase yang dipakai untuk pembentukan myelin dan thymidylate syntetase yang diperlukan untuk sintesa DNA.
HALOTAN
Adalah halogenated hidrocarbon yang potent dengan rumus kimia 2- bromo-2-chloro-l,l,l trifluoroethane. Disintesis
pertama kali oleh C.W Suckling (1951) dan penelitian farmakologi oleh J. Raventos (1956) di Manchester, didikuti oleh Bryce-
Smith dan O Brien di Oxford.
122 || Anestesiologi
F Cl
Halotan merupakan cairan yang mudah menguap, tidak berwarna, berbau manis,
stabil dalam suhu kamar, tidak mudah terbakar, mudah rusak bila kena cahaya, tetapi stabil
disimpan memakai botol warna gelap. Berat molekul 197,4, berat jenis dalam bentuk cairan
1,86, titik didih 50,2°C, titik beku - 118,3°C, kelarutan dalam air pada suhu 37 °C 0,345%,
kelarutan dalam darah 1,160 %, koefisien partisi air/gas: 0,63, darah/gas: 2,3, KAM: 0,75.
obat ini merusak alat anestesi yang terbuat dari karet.
Dosis untuk induksi inhalasi adalah 2-4%, dosis induksi anak 1,5-2%. Pada induksi
inhalasi kedalaman yang cukup terjadi setelah 10 menit.
Dosis untuk pemeliharaan adalah 1-2%, dan dapat dikurangi bila digunakan juga N20
atau narkotik. Pemeliharaan pada anak 0,5-2%. Waktu pulih sadar sekitar 10 menit setelah
obat dihentikan.
Setelah diabsorbsi dari paru obat ini didistribusikan ke seluruh tubuh. Metabolisme
secara oksidasi dan reduksi di dalam retikulum endoplasma hepar. Metabolisme oksidasi
dipengaruhi cytochrom P450 monooxygenase menghasilkan trifluoroaceticacid (TFA),
bromide dan chloride. Pada reaksi ini membutuhkan oksigen dan NADPH sebagai donor
elektron. Metabolisme reduksi menghasilkan chlorotrifluoroethane (CTF),
chlorodifluoroethane (CDF) dan bromochlorodifluoro ethylane (BCDF).
Trifluoroaceticacid (TFA) dapat berikatan dengan protein hepar secara kovalent
menghasilkan hapten yang dapat menyebabkan reaksi imunologi. Radikal bebas hasil
metabolisme reduksi halotan dapat merusak protein hepatosit dan membran fosfolipid
yang menyebabkan kerusakan atau nekrosis sel.
Eliminasi halotan sebagian besar secara ekshalasi lewat paru, sebagian kecil melalui
urin. Hasil metabolisme sebagian besar diekskresi lewat urin sebagian kecil bromide dan
chloride diekskresi lewat paru.
Pada sistem saraf pusat (SSP), halotan pada konsentrasi 0,5-3% men- depresi SSP.
Halotan menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak, menurunkan resistensi pembuluh
darah otak dan meningkatkan aliran darah otak sehingga meningkatkan tekanan intra
kranial. Peningkatan tekanan intra kranial dapat diturunkan dengan hiperventilasi.
123 || Anestesiologi
Pada sistem kardiovaskuler, tergantung dosis, tekanan darah menurun akibat depresi
pada otot jantung, makin tinggi dosisnya depresi makin berat. Meskipun bersifat vasodilator
koroner tetapi aliran darah koroner dapat menurun akibat turunnya tekanan darah
sistemik. Pada bayi, halotan menurunkan curah jantung karena turunnya kontraktilitas
miokardium dan menurunnya laju jantung.
Halotan dapat menyebabkan Ventikel Ekstra Sistole (VES), Ventrikel Takikardi (VT)
dan Ventrikel Fibrilasi (VF), sebagai faktor penyebab meliputi retensi C0 2 stimulasi sensorik
pada anestesi dangkal, suntikan sulfas atropin dan pemakaian adrenalin. Halotan
menimbulkan sensitifitas jantung pada adrenalin meningkat, karena itu harus dihindari
pemakaian epineprin melebihi
1,5 pg/kgBB pada anestesi dengan halotan.
Pada sistem respirasi, halotan menyebabkan pernafasan cepat tetapi dangkal,
kenaikan frekuensi respirasi tidak bisa mengkompensasi dangkalnya volume tidal sehingga
ventilasi alveolar menurun dan menimbulkan retensi C02. Pengaruh halotan pada sistem
respirasi diduga karena bersifat sentral (depresi medulla) dan perifer (disfungsi otot
interkostal). Perubahan ini diperberat oleh penyakit paru.
Respon ventilasi terhadap hipoksemia menurun karena sensitifitas ke- moreseptor
perifer terganggu. Respon ventilasi pada kenaikan kadar C0 2 juga menurun akibat inhibisi
halotan langsung pada batang otak.
Sekresi bronkus dan tonus bronkomotor akan turun. Halotan adalah bronkodilator
yang potent, dapat dipakai untuk terapi bronkospasme karena asma, aksi ini tidak dapat
dihambat oleh propanolol (beta adrenergik blocking agent). Halotan menghambat reflek
jalan nafas dan reflek otot polos bronkhial. Halotan juga menekan fungsi mukosiliaris
sehingga pembersihan mukus dari traktus respiratorius terhambat, akibatnya memicu
hipoksia dan atelektasis post anestesi.
Pada ginjal halotan dapat mengurangi aliran darah ginjal (GFR) dan produksi urin
akibat dari turunnya tekanan darah dan curah jantung, tetapi sifatnya reversibel dan
biasanya fungsi autoregulasi masih baik.
Halotan dapat menurunkan aliran darah sphlanic sekitar 25-30% akibat turunnya
curah jantung, tetapi tahanan vaskuler sphlanicus relatif tidak berubah, kecuali pada usia
lanjut dapat menurun sampai 20%. Turunnya aliran darah sphlanic menyebabkan aliran
darah hati menurun. Metabolisme dan klirens obat dapat mengalami penurunan. Insiden
terjadinya halotan hepatitis sekitar 1:36400.
Halotan berpotensiasi dengan pelumpuh non depolarising. Halotan juga
dihubungkan dengan terjadinya malignant hipertermia.
ENFLURAN
F F Cl
H ------- C -------- 0 ---------- C -------- C ------- H
F F F
Enfluran adalah obat anestesi inhalasi volatil dengan rumus kimia 1,1,2 tri fluoro -2-
chlorethyl di fluoro methyl ether (CHF2-OCF2-CHFCI) dengan berat molekul 184, titik didih
56,5 °C, pada suhu 37 °C koefisien partisi darah/gas 1,91. Koefisien partikel udara/gas 0,78.
Tidak mudah terbakar, stabil terkena soda lime, tidak terpengaruh cahaya dan tidak
bereaksi dengan logam.
Mula-mula disintesis oleh Speers dkk. (1963) setelah diteliti oleh Kranz dkk di
Universitas Maryland dinyatakan bahwa enfluran adalah obat anestesi yang potent aman
dan nyaman digunakan. Selanjutnya digunakan dalam praktek anestesi mulai tahun 1972.
Dalam penggunaannya memerlukan vaporizer.
Setelah diabsorbsi dari paru ke dalam darah, enfluran akan didistribusikan ke seluruh
tubuh. Kelarutan enfluran dalam lemak lebih rendah dibandingkan halothan. Ekskresi
melalui paru. Sekitar 2-8% mengalami metabolisme membentuk fluorida dan campuran
senyawa fluor yang tidak volatil, dieksresi lewat urin. Hasil metabolisme terbanyak adalah
difluormethoxydifluoroacetic acid. Metabolit ini antara lain dipengaruhi oleh sitokrom P45o.
Konsentrasi alveolar minimal enfluran menurun sesuai dengan bertambahnya umur.
Pada bayi 2,4; pada usia 80 tahun 1,4 dan pada usia 40 tahun 1,7. Kombinasi dengan 50%
N20 mengurangi sekitar 50%. Induksi inhalasi dengan enfluran dilakukan dengan
meningkatkan konsentrasi enfluran secara bertahap hingga mencapai 4% dengan
menggunakan sungkup muka. Selanjutnya pembedahan dapat dilakukan sekitar 7-10 menit
kemudian. Dosis untuk pemeliharaan antara %-3% dan jangan melebihi 3%. Untuk sectio
caesaria antara %-l%. Waktu pulih sadar tergantung lamanya mendapat anestesi enfluran.
Pada tindakan selama 30 menit penderita sadar sekitar 4 menit. Pada tindakan yang lama
kesadaran terjadi kurang dari 15 menit pada sebagian besar pasien.
Pada SSP enfluran membentuk gelombang epileptic, menimbulkan iritabilitas di area
motorik pada 2% pasien ditandai dengan kekakuan gerak rahang bawah, leher dan
ekstremitas yang dihubungkan dengan kedalaman dan hipokarbi. Pada tingkat anestesi
yang dalam menimbulkan jerky yang bisa dihilangkan dengan mengurangi kedalaman
anestesi. Enfluran meningkatkan aliran darah otak dan tekanan intra kranial, dengan 134
KAM aliran darah otak meningkat 2 kali lipat Aliran darah otak dapat dikurangi dengan
hiperventilasi, tetapi hiper- ventilasi menyebabkan hiperkarbi, yang dapat meningkatkan
resiko terjadinya kejang dengan akibat meningkatnya kebutuhan oksigen otak, produksi C02
meningkat, aliran darah meningkat, akibatnya tekanan intra kranial akan naik.
Pada sistem respirasi tidak meningkatkan sekresi bronkhial dan ludah, tidak
meningkatkan iritabilitas pharing dan laring. Frekuensi nafas meningkat tetapi ventilasi
semenit berkurang karena volume tidal yang menurun. PaC02 meningkat, menurunnya
respon pada hiperkapnia, hilangnya hipoxic chive, depresi pada fungsi mukosiliar dan
bronkhodilatasi.
Pada sistem kardiovaskuler, enfluran menimbulkan depresi kontraktilitas miokard,
disritmia jarang terjadi, tidak meningkatkan sensifitas miokard terhadap katekolamin.
Hipotensi dapat terjadi akibat menurunnya curah jantung. Tekanan darah dapat kembali
normal akibat manipulasi pembedahan.
Pada otot meningkatkan relaksasi, tetapi untuk laparotomi masih perlu penambahan
pelumpuh otot.
Pada hepar menurunkan aliran darah hepar, tetapi test faal hati 5 hari sesudah
anestesi enfluran tidak menyebabkan perubahan yang berarti. Hepatitis terjadi kurang dari
1:800.000.
Pada ginjal, enfluran menurunkan aliran darah ginjal, laju filtrasi glomerulus dan
produksi urin. Metabolit enfluran yang menghasilkan fluoride bersifat nefrotoksik karena itu
tidak direkomendasikan anestesi dengan enfluran pada penderita gagal ginjal.
ISOFLURAN
F Cl F
F F F
Isofluran adalah obat anestesi isomer dari enfluran dengan rumus 1- Chloro-2,2,2-
Trifluoroethyl Difluoro Methyl Ether (CHF2-0-CHCL-CF3). Disintesis oleh Terrel dkk tahun
1965 dipakai dalam anestesi mulai 1981, merupakan cairan tak berwarna dan berbau
tajam, menimbulkan iritasi jalan nafas jika dipakai dengan konsentrasi tinggi menggunakan
sungkup muka. Tidak mudah terbakar, tidak terpengaruh cahaya dan tidak merusak logam.
Berat molekul
184.5 dengan titik didih 48,5 °C. Koefisien partisi darah/gas 1,4; koefisien partisi air/gas
0,61. Menurut Stevens WC (1975), konsentrasi alveolar minimal isofluran pada usia 20-30
tahun adalah 1,28; usia 20-55 tahun 1,15; dan usia diatas 55 tahun 1,05. N 20 menurunkan
konsentrasi alveolar minimal dari isofluran, tidak berbeda antara pria dan wanita, kehamilan
mengurangi konsentrasi alveolar minimal sekitar 45%.
Induksi inhalasi dengan 5% isofluran pasien akan tertidur dalam waktu 40 detik pada
pasien yang mendapat premedikasi 5 pg/kgBB fentanyl. Baunya yang tajam membuat
tindakan induksi tidak nyaman. Induksi inhalasi dengan
3.5 % isofluran dapat mengurangi terjadinya bronkhospasme dan batuk. Induksi
anestesi sebaiknya dimulai dengan 0,5% dan dinaikkan bertahap dengan konsentrasi 1,3-
3%. Dalam waktu 7-10 menit biasanya sudah capai stadium pembedahan anestesi. Induksi
inhalasi isofluran pada bayi menyebabkan turunnya laju jantung, tekanan darah sistolik dan
tekanan arteri rerata. Premedikasi atropin dapat mengurangi bradikardi, tetapi tidak dapat
mencegah turunnya tekanan darah.
Pemeliharaan anestesi antara 1-2,5 % dengan kombinasi N20 dan 02. apabila tidak
menggunakan N20 (hanya 02) diperlukan dosis 1,5-3%.
Pada pasien yang mendapat anestesi isofluran kurang dari 1 jam akan sadar kembali
sekitar 7 menit setelah obat dihentikan. Sedangkan pada tindakan antara 5-6 jam, kembali
sadar sekitar 11 menit setelah anestesi isofluran dihentikan.
Flanya 20% isofluran mengalami metabolise secara oksidasi menghasilkan ion
fluorida dan difluoro methanol dan trifluoroacetic acid. Metabolisme reduksi tidak terjadi.
Pada sistem kardiovaskuler menimbulkan depresi ringan pada jantung, curah jantung
dipertahankan dengan meningkatnya frekuensi jantung. Stimulasi ringan pada (3-
adrenergik meningkatkan aliran darah pada otot rangka menurunkan tahanan vasculer
sistemik dan menurunnya tekanan darah mungkin keadaan ini tidak dapat ditoleransi oleh
pasien hipovolemi. Peningkatan konsentrasi isofluran yang cepat menyebabkan
peningkatan sementara pada laju jantung, tekanan darah arteri dan kadar norepinefrin
plasma. Isofluran menyebabkan dilatasi arteri koroner terutama bila konsentrasinya
meningkat tiba-tiba. Dilatasi pada arteri koroner normal menyebabkan darah
mengalir ke a. coronaría normal dan menjauh dari o. coronaría
yang mengalami stenosis (coronarystealsyndrome) menimbulkan
iskemia miocard.
Pada sistem respirasi, meskipun cenderung menyebabkan iritasi jalan nafas atas,
isofluran mempunyai sifat bronkhodilator tetapi tidak sekuat halothan. Dapat
menyebabkan depresi nafas. Pada 0,1 KAM isofluran sudah dapat mengurangi respon
ventilasi pada hipoksia dan hiperkarbi.
Dengan konsentrasi lebih dari 1 KAM isofluran meningkatkan aliran darah otak dan
tekanan intra kranial yang lebih rendah dibandingkan dengan enfluran dan halothan.
Isofluran mengurangi kebutuhan oksigen otak. Isofluran dapat meningkatkan aktifitas listrik
pada EEG sehingga diduga bemanfaat untuk brain protection pada periode ischemia
cerebral.
Isofluran menimbulkan efek relakssasi pada otot rangka, berpotensiasi dengan
pelumpuh otot.
Pada hati isofluran menurunkan aliran darah hati tetapi penyaluran oksigen ke hati
relatif masih tinggi telihat dari saturasi oksigen vena hepática yang masih terjaga. Hanya
terjadi sedikit perubahan pada test faal hati sesudah anestesi dengan isofluran.
Pada ginjal isofluran menurunkan aliran darah, laju filtrasi glomerulus dan produksi
urin. Toksisitas pada ginjal tidak terjadi,
SEVOFLURAN
F C -------
F ------- C -------- F H
F
--------- C -------- O -------- C -------- F
Sevofluran adalah obat anestesi inhalasi dengan rumus kimia 1,1,1,3/3,3, hexa
fluoro-2-prophyl fluoromethyl ether atau fluoromethyl-2,2,2-tri fluoro-1- (Trifluoromethyl)
ethyl ether. Diperkenalkan sebagai obat anestesi oleh Wallin & Napoli dari Traverol
Laboratories (1971).
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, berbau enak, tidak iritatif, titik didih 58,5.
Berat molekul 200,053 tekanan uap jenuh 21,3 KpA pada suhu 20 °C. Tidak korosif terhadap
stainless steel, kuningan maupun alumunium, tidak mudah terbakar, tidak eksplosif, stabil
terkena cahaya. Dibandingkan dengan obat anestesi inhalasi volatil lain, kelarutan
sevofluran dalam karet dan plastik lebih rendah.
Konsentrasi alveolar minimal (KAM) 1,7, bila dikombinasikan dengan 60% N20, KAM
menjadi 0,66%. Sevofluran nyaman dipakai untuk induksi baik dewasa atau anak-anak
karena baunya enak dan tidak iritatif pada jalan nafas. Kombinasi 4-8 % sevofluran 50% N 20
dan 50% 02 induksi dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit. Waktu pulih sadar antara 7-5
menit setelah anestesi menggunakan 2-3 KAM sevofluran selama 1 jam.
Sevofluran mengalami dekomposisi bila tekanan soda lime tergantung tingginya
temperatur. Pada suhu 80 degradasi mencapai 92%. Waktu dilakukan anestesi biasanya
suhu canister soda lime kurang dari 50°C, hanya ditemukan 2 komponen (komponen A+B)
yang jumlahnya kurang dari 80 ppm. Komponen tersebut menyebabkan kematian pada
tikus bila mencapai 1100 ppm. Meskipun pengaruh degradasi tersebut secara klinik belum
jelas, tetapi FDA menunda pemakaian sevofluran untuk anestesi, tetapi di Jepang telah
digunakan secara luas.
Kira-kira 3% sevofluran mengalami biotransformasi menjadi fluorida anorganik dan
hexa fluoroisopropanol.
Pada sistem kardiovaskuler menimbulkan depresi ringan kontraksi otot jantung,
terjadi penurunan tekanan vaskuler sistemik dan tekanan arteri yang ringan. Sevofluran
dapat memperpanjang interval QT mekanismenya tidak jelas tetapi terdapat bukti yang
dapat dihubungkan dengan coronary steal syndrome. Tidak meningkatkan sensitifitas
jantung pada katekolamin.
Pada sistem respirasi, menimbulkan depresi respirasi dan dapat memicu terjadi
bronkhospasme.
Pada SSP, sevofluran sedikit menaikkan aliran darah otak dan tekanan intra kranial
pada keadaan normokarbia. Pada konsentrasi lebih dari 1,5 KAM dapat mengganggu
autoregulasi aliran darah otak. Kebutuhan metabolik oksigen otak menurun dan tidak
terdapat aktifitas kejang.
Induksi dengan sevofluran menimbulkan relaksasi yang memungkinkan intubasi
pada anak. Obat ini juga berpotensiasi dengan pelumpuh otot.
Aliran darah ginjal sedikit mengalami penurunan. Hasil metabolisme dihubungkan
dengan gangguan fungsi pada tubulus ginjal.
Sevofluran menurunkan aliran darah portal, tetapi meningkatkan aliran darah a.
hepatica dengan demikian dapat mempertahankan total aliran darah dan kebutuhan
oksigen hepar.
DESFLURANE
Desfluran adalah obat anestesi volatile dengan rumus kimia 1,2,2,2-tetra fluro ethyl
difluoromethyl ether. Diperkenalkan dalam klinik pada tahun 1992. Perbedaannya dengan
isoflurane adalah kedudukan atom klor pada alfa ethyl carbon diganti dengan atom fluor.
Obat ini adalah senyawa yang sangat stabil, merupakan cairan jernih yang tidak
berwarna dan berbau tajam, tidak mudah terbakar, tidak bereaksi dengan stainless Steel,
tembaga, kuningan maupun alumunium. Dengan sodalime dapat mengalami degradasi
membentuk fluoroform (CHF3).
Potensinya rendah dengan KAM 7,2% pada usia antara 18-30 tahun, dan 6% pada
usia 31-65 tahun, pada bayi 1 tahun KAM 10%. Bila digunakan bersama-sama dengan 60%
N20, KAM pada usia 18-30 tahun 4% dan pada usia 31-65 tahun 2,8 atau sekitar 50% tanpa
N20.
Desflurane memerlukan vaporizer khusus dengan sistem pemanasan elektrik yang
telah dikalibrasi kejenuhan uapnya dalam sistem tersebut. Vaporizer ini diperlukan karena
obat ini mempunyai tekanan uap yang tinggi (669 mmHg pada suhu kamar 20°C)
sementara titik didih desflurane mendekati suhu kamar (22,8°C).
Dengan induksi inhalasi reflek bulu mata hilang dalam waktu 2 menit, karena sifatnya
iritatif pada jalan nafas maka induksi inhalasi menggunakan desflurane dapat mengalami
gangguan seperti batuk, apnea, meningkatnya sekresi, laringospasme, gangguan tersebut
terutama pada anak. Premedikasi tidak merubah terjadinya gangguan-gangguan tersebut.
Sesudah 1,5 jam dianestesi dengan 'A-1 KAM pasien akan sadar kembali dalam waktu
sekitar 4 menit. Pada anestesi dengan 1,25 KAM selama 1 jam pasien kembali sadar
sesudah 16 menit.
Di dalam tubuh, desflurane amat sedikit mengalami metabolisme. Sesudah anestesi
dengan desflurane, kadar trifluoro acetic acid dalam serum dan urin hanya 1/1.000 dari
pasien yang mendapat anestesi halotan atau 1/10 dari pasien yang mendapat anestesi
isoflurane.
Pada sistem kardiovaskuler, desflurane menurunkan resistensi vascular sistemik,
menyebabkan turunnya tekanan darah. Dengan konsentrasi 1-2 KAM curah jantung sedikit
menurun. Menyebabkan meningkatnya laju jantung, tekanan vena sentral dan tekanan
arteri pulmonalis. Peningkatan konsentrasi desflurane dengan cepat menyebabkan
peningkatan tekanan darah, laju jantung, dan katekolamin. Keadaan ini bisa dikurangi
dengan memberikan klonidin, fentanil, atau esmolol. Desflurane tidak meningkatkan aliran
darah coroner.
Pada sistem respirasi, desflurane menyebabkan menurunnya volume tidal dan
meningkatnya frekuensi nafas. Hal ini menyebabkan turunnya ventilasi alveolar sehingga
terjadi peningkatan kadar C02. Desflurane bersifat iritatif sehingga tidak ideal untuk induksi.
Desflurane meningkatkan aliran darah otak dan menurunkan CMR0 2. Kenaikan
tekanan intra kranial akibat meningkatnya aliran darah otak dapat dikurangi dengan
hiperventilasi. Efek pada EEG sama dengan isoflurane.
Tidak bersifat nefrotoksik, test faal hati juga tidak mengalami perubahan, juga belum
ditemukan adanya hepatic injury pada pasien sesudah mendapat anestesi dengan
desflurane.
Berpotensiasi dengan pelumpuh otot. Aman digunakan bersama-sama dengan
epinefrin sampai dengan 4,5p/kgBB, karena tidak merubah sensisitas
disritmogenikepinefrin pada miokardium.[j
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoelting RK, Hillier SC: Inhaled Anesthetics dalam Pharmacology & Physiology in
Anesthetic Practice. 4th ed, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2006, p 42-82.
2. McKay RE: Inhaled Anesthetics dalam Miller RD, Pardo MC, (eds): Basics of
Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Sounders, 2011, p 78 -98.
3. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ: Inhalation Anesthetic dalam Clinical
Anesthesiology, 4th ed. Lange Medical Books/McGraw Hill. 2006, p 155-178.
4. Atkinson RS, Rushman GB, Lee JA.: Inhalation Anesthetic Agents dalam Synopsis of
Anesthesia, 8th ed. Bristol, John Wright & Sons. 1977, p 176-232.
OBAT ANESTESI INTRAVENA
NON NARKOTIK
Uripno Budiono
OBAT-OBAT ini biasanya dipakai untuk induksi, meskipun bisa juga dipakai untuk pemeliharaan, selain ketamin, obat yang
biasa dipakai untuk praktek anestesi adalah obat-obat hipnotik, sedatif dan tranquiliser. Obat- obat ini bisa dipakai secara tunggal
atau kombinasi, kadang-kadang dipakai bersama narkotik dengan atau tanpa pelumpuh otot.
Idealnya obat anestesi intravena seharusnya memenuhi persyaratan:
Onsetnya cepat.
Pemulihan penderita cepat.
Menimbulkan analgesia pada dosis sub anestesi.
Menimbulkan depresi yang minimal pada cardiovasculer dan respirasi.
Tidak menimbulkan mual muntah.
Tidak menimbulkan batuk, cegukan, atau gerak-gerak involunter pada
waktu induksi.
Tidak menimbulkan eksitasi pada waktu induksi.
Tidak berinteraksi dengan obat pelumpuh otot.
Tidak menimbulkan nyeri pada tempat penyuntikan.
Tidak menimbulkan sequele pada vena.
Tidak menimbulkan efek yang merugikan bila suntikannya mengenai
arteri.
134 || Anestesiologi
Tidak toxic pada organ-organ.
Tidak menimbulkan histamin release dan tidak menimbulkan reaksi hipersensitifitas. Tidak menjadi pencetus porphyria.
Larut dalam air.
GOLONGAN BARBITURAT
Tergolong obat hipnotik sedatif, merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat adalah hasil kondensasi antara ureum
dan asam malonat. Asam barbiturat sendiri tidak mempunyai sifat depresi pada sistem saraf pusat, tetapi dengan penambahan
satu atau beberapa radikal organik pada atom C no 5, radikal alkil pada atom N dan substitusi atom 0 dari gugus karbonil, dengan
atom S pada atom
C no. 2 akan
menghasilkan bermacam-macam variasi obat. Pentothal
Struktur Umum
Macam-macam Barbiturat
Barbiturat Nama Dagang/ R1 R2 R3 X
H— N -----------------y C Sinonim
H — N---------- C= O
V\|
Allybarbituric Acid Sandoptal Allyl Isobutyl H 0
Amobarbital
i H HO ; / H Amytal Ethyl
H Isoamyl H 0
Aprobarbital
/ Alurate /
Allyl Isopropyl H 0
O-C ''A.--'' C Barbital —►
Veronal,
O = C c Barbitone Ethyl 2H20
Ethyl H 0
IIX
Butabarbital Butisol Ethyl
I Ix
Secbuthyl H 0
H HOCyclobarbital H Phanodorm EthylH Cydohexenyl H 0
/\ Hexobarbital Evipal, Methyl Cyclohexenyl CH3 0
HN Kemithal Hexobarbitone
H—NC=O Allyl Cydohexenyl H
s
Mephobarbital Mebaral Ethyl Phenyl CH3 0
Ureiiin Asam
PentobarbitalMalonat Nembutal Asam Barbitmat
Ethyl 1-methyl-butyl H 0
Phénobarbital Luminal Ethyl Phenyl H 0
Secobarbital Seconal Allyl 1-methyl-butyl H 0
Thiopental Pentothal Ethyl 1-methyl-butyl H
s
H - N ------O
fvww
16 I
R1 CH CH-
0 , . 2 5^- : / s =j; ic 2 3
X —
R2 CH — CH CH-CH | 2
34
R3- N-------C = O N----C_ 23
ChL
\\
O
Berdasar lama kerjanya Barbiturat dibagi menjadi 4 golongan:
- Long acting (6 jam) : Barbital, phénobarbital, mephobarbrtal,
diallyl barbituric acid.
Intermediate acting (3-6 jam) : Probarbital, amobarbital, aprobarbital,
136 || Anestesiologi
Obat ini mempunyai kelarutan dalam lemak yang tinggi, di dalam darah 65-75%
terikat oleh protein plasma dan sedikit terionisasi. Sesudah disuntikkan intra vena, Pentothal
cepat masuk ke dalam jaringan otak dan pada dosis yang cukup akan menimbulkan tidur.
Selain dalam otak obat ini juga dalam jumlah yang banyak masuk ke dalam jaringan
yang kaya pembuluh darah seperti ginjal, jantung dan traktus gastro intestinal.
Selanjutnya dengan cepat obat ini mengalami redistribusi dari jaringan otak dan
jaringan kaya pembuluh darah menuju ke otot, lemak dan jaringan lain.
Metabolisme terutama terjadi di hepar dan excresi lewat ginjal. Karena itu pada
penderita penyakit hepar aksi pentothal akan memanjang.
Mekanisme terjadinya anestesi belum diketahui. Di dalam thalamus menghambat
konduksi ascenderen dalam formatio reticularis, dengan demikian menghambat transmisi
impuls ke cortex.
Dalam waktu 30-40 detik, penderita akan tertidur setelah disuntik iv dan kesadaran
pulih sesudah 20-30 menit. Perubahan gambaran EEG sebagai akibat hilangnya kesadaran,
dapat terjadi sesudah 10 detik. Efek analgetik terjadi setelah kesadaran hilang.
Pada otak, obat ini menurunkan metabolisme otak, menurunkan konsumsi oksigen
dan menurunkan tekanan intra kranial.
Pada sistem kardiovaskuler, obat ini menimbulkan depresi otot jantung vasodilatasi
perifer dan turunnya curah jantung. Penurunan curah jantung dan turunnya tekanan darah
lebih jelas terlihat pada penderita hipovolemik dibanding penderita normovolemik.
Penyuntikan cepat menimbulkan perubahan kardiovaskuler yang lebih jelas dibanding
penyuntikan yang lambat. Dapat terjadi takikardi sebagai kompensasi turunnya tekanan
darah dan curah jantung.
Pada sistem respirasi, obat ini menimbulkan depresi, apnoe dapat terjadi bila
konsentrasi dalam otak mencapai level puncak. Pada anestesi yang kurang dalam dapat
terjadi batuk, cegukan dan bronkospasme sebagai akibat rangsangan lendir, darah atau
manipulasi.
Pentothal dapat menembus barier placenta, sehingga pada ibu hamil, obat ini dapat
mempengaruhi janin. Pada sectio caesaria dosis perlu dikurangi. Sejumlah kecil terdapat di
dalam ASI pada ibu-ibu yang mendapat pentothal.
Pada hepar, obat ini sedikit mengurangi aliran darah hati pada pasien dalam batas
normal sehat. Pada induksi dengan dosis 3-5 mg/Kg/BB tidak terjadi perubahan index fungsi
liver, sedangkan pada pemakaian sampai 18,5 mg/kg untuk tindakan yang lebih lama hanya
menimbulkan sedikit perubahan pada fungsi liver.
Pada ginjal, hanya terjadi sedikit perubahan fungsi ginjal, tetapi cepat pulih sesudah
penggunaan pentothal diakhiri, mekanismenya belum diketahui, diduga akibat
meningkatnya sekresi ADH, vasokonstriksi langsung arteri renalis atau sekunder akibat
turunnya tekanan darah dan cardiac output.
137 || Anestesiologi
Pada orang tua, pemulihan kesadaran dan fungsi-fungsi psychomotor lebih lambat
dibanding orang muda.
Penggunaan pentothal
1. Untuk induksi anestesi sebelum digunakan obat anestesi yang lain.
2. Sebagai obat anestesi untuk tindakan/operasi-operasi yang waktunya pendek.
3. Sebagai suplement pada Regional Anestesi.
4. Sebagai suplement pada anestesi inhalasi.
5. Untuk terapi status convulsivus.
6. Untuk sedasi.
7. Untuk menurunkan metabolisme otak pada penderita yang memerlukan resusitasi
otak.
Kontra indikasi
1. Alergi barbiturat.
2. Status asthmaticus.
3. Porphyria.
4. Pericarditis constrictiva.
5. Tidak didapatnya vena yang bisa dipakai untuk menyuntik.
6. Syok.
7. Hati-hati pada anak usianya kurang dari 4 tahun karena pusat respirasi mudah
terdepresi, sementara jalan nafas sempit.
138 H Anestesiologi
GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Diazepam Lorazépam
Diazepam
Mempunyai rumus kimia 7 chloro 13 dihydro 1 metil 5 phenil 2 H-1,4 Benzodiazepin-
2. Karena tidak larut dalam air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organik yang terdiri
atas propilen glikol, dan sodium bensoat, karena itu bersifat agak asam, rendahnya pH
menimbulkan rasa sakit pada penyuntikan intra vena atau intra muskuler, thrombosis dan
phlebitis dapat terjadi terutama bila disuntikkan pada vena kecil dan pada orang tua.
Sedasi biasanya terjadi 1-2 menit setelah penyuntikan intra vena. Reaksinya veriabel,
beberapa pasien dengan BB 70 kg tidak sadar sesudah mendapat 5 mg. Sementara pasien
yang lain baru timbul sesudah disuntik 1 mg/Kg BB. Premedikasi narkotik memperkuat efek
diazepam.
Di dalam darah diazepam larut dan plasma menuju ke jaringan dan menembus
bloocfbrain barrier ke otak. Metabolisme terjadi di dalam hati antara lain menjadi
desmetyl diazepam dan hydroxi diazepam yang mempunyai kekuatan lebih lemah dari
diazepam, aksinya memanjang pada penderita penyakit hati dan orang tua.
Pengeluaran/ekskresi lewat urine dalam bentuk glucoronide dan sulfat, sebagian
kedi dikeluarkan lewat empedu, selanjutnya empedu yang mengandung diazepam dapat
masuk ke dalam usus dan diabsorbsi kembali (Entero Hepatic Circulation). Diazepam
yang diabsorbsi kembali dapat menyebabkan penderita kembali tertidur. Karena itu
menjadi perhatian bagi penderita yang telah mendapat diazepam agar tidak segera
mengemudikan kendaraan atau menjalankan mesin.
Dosis:
Untuk sedasi dan axiolitik 0,1 mg/kg BB im. Onset sekitar 15 menit, puncaknya
tercapai dalam 30-45 menit. Dengan dosis 1-2,5 mg iv efektif untuk sedasi pada
anestesi regional.
Untuk induksi 10-15 mg (0,1-0,4 mg/kgBB) iv, penderita akan tertidur sesudah 2-3
menit. Dari penelitian M. Id. Syatar (1998), dosis induksi per rectal pada pediatri
adalah 1 mg/kgBB.
Untuk premedikasi dewasa: 0,07-0,1 mg/kgBB.
Untuk premedikasi pediatrik:
Intra nasal : 0,2-0,3 mg/kgBB
Buccal : 0,07 mg/kgBB
Sub lingual : 0,1 mg/kgBB
Rectal : 0,5-1,0 mg/kgBB.
142 || Anestesiologi
Dari penelitian Johan Arifi n dan Uripno (2003) dosis yang efektif untuk premedikasi
agar induksi dengan sungkup muka berjalan lancar, adalah 0,3 mg/kg BB pada anak usia 1-5
tahun.
Variasi dosis: Kebutuhan midazolam untuk sedasi menurun dengan bertambahnya usia,
kira-kira 15% tiap dekade peningkatan usia.
143 || Anestesiologi
Flumazenil adalah obat yang ditemukan tahun 1979 oleh Hun Keller dan digunakan
secara
PROPOFOLluas pada tahun 1987. Obat ini larut dalam air BM 703,3 pH 7,4 dikemas dalam
ampul 5 ml berisi 500 pg atau 1 mg dalam 10 cc disimpan pada suhu maksimal 30° C. Dapat
diencerkan dengan NaCI 0,9%, 0,45%, dextrose 5% atau dextrose 2 'A % dalam keadaan
stabil selama 24 jam.
Flumazenil bekerja dengan menempati reseptor benzodiazepine. Afinitasnya
terhadap reseptor tersebut lebih tinggi dibanding benzodiazepine.
Metabolisme terjadi di dalam hati, ekskresi 90-95 % melalui urin, 5-6 % melalui feses,
60-70 % dikeluarkan melalui urin dalam waktu 2 jam dan seluruhnya diekskresi dalam
waktu 48-72 jam. Flumazenil dapat menghilangkan efek sedasi, amnesia, depresi nafas, dan
kardiovaskular dari benzodiazepine. Onset- nya cepat antara 1-2 menit. Menurut Amrien,
dkk dengan dosis 0,1-1 mg flumazenil dapat menghilangkan efek midazolam pada dosis
terapeutik. Sedangkan Laurent memberikan dengan dosis 10 mg pada dewasa muda.
Manfaat flumazenil terhadap benzodiazepine bersifat individual, ada yang
memerlukan dosis rendah, ada yang memerlukan dosis tinggi. Untuk anak dianjurkan
memakai cara titrasi mulai dengan dosis rendah (0,lmg) sampai ada respon. Tidak
ditemukan flumazenil pada air susu ibu dari ibu yang mendapat flumazenil.
Flumazenil dapat memberikan gejala withdrawl (putus obat) pada penderita yang
memakai benzodiazepine terus menerus dalam jangka lama, ditandai antara lain dengan
kejang.
Dari penelitian Heru DJ dan Kainus AC (1997) didapat bahwa 2 mg/kgBB aminofilin
maupun flumazenil 0,3 mg/kgBB dapat menghilangkan efek sedasi dari midazolam. Efek
flumazenil lebih cepat dari aminofilin, dengan dosis tersebut aminofilin mempercepat
denyut jantung sedangkan flumazenil tidak.
144 || Anestesiologi
CH(CH3)2 CH(CH3)2 0
- OH OH— CH2 — o —P-
\ch(ch3)2 O’
CH(CH3)2
Fospropofol
Propofol
Adalah suatu obat anestesi umum yang mempunyai rumus kimia 2,6 diisoprophyl
phenol untuk suntikan intravena. Obat ini merupakan cairan emulsi isotonikyang berwarna
putih. Emulsi ini antara lain terdiri dari gliserol, phospatid dari telur, sodium hidroksida,
minyak kedelai dan air.
Obat ini onsetnya cepat dan duration of actionnya singkat Mekanisme aksinya
belum diketahui, kemungkinan menyebabkan peningkatan aktifitas GABA dalam
menghambat neuro transmiter di SSP.
Propofol mempunyai sifat sangat larut dalam lemak, sesudah disuntikkan intra vena,
dengan cepat didistribusikan menuju jaringan, dengan mudah obat ini menembus
bloodbrain barier dan didistribusikan di jaringan otak. Obat ini dengan cepat juga
dieliminasi, metabolisme terutama terjadi di dalam hati.
Propofol glucoronide merupakan hasil metabolisme yang utama. Sebagian besar
diekskresi lewat ginjal. Kirk Patrick, dkk. mendapatkan penurunan total klirens dan distribusi
volume propofol, pada penderita usia tua. Dundee, dkk. juga telah mengamati, bahwa
kebutuhan propofol untuk induksi dan pemeliharaan anestesi berkurang pada penderita
tua.
Pada ibu hamil propofol dapat menembus placenta dan dengan cepat masuk ke
dalam janin dan menyebabkan depresi janin.
Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan turunnya tekanan darah dan sedikit
perubahan pada nadi. Obat ini tidak mempunyai efek vagolitik, sehingga pernah dilaporkan
terjadinya bradikardi sampai asistole pada pemakaian propofol. Karena itu dianjurkan untuk
memberikan anti cholinergik sebelum pemakaian propofol, khususnya pada keadaan di
mana tonus vagal lebih dominan atau bila propofol dipakai bersama dengan obat-obat
penyebab bradikardi.
Propofol menimbulkan depresi pada sistem respirasi, sering menimbulkan apnea.
Pada pemakaian secara intravena kontinyu dapat mengurangi tidal volume dan laju nafas.
Propofol juga mengurangi reflek jalan nafas atas.
Propofol menurunkan aliran darah otak, tekanan intra kranial dan metabolisme otak.
Obat ini juga menurunkan tekanan intra oculi. Propofol menyebabkan depresi respirasi.
Efek ini diperberat bila dipakai bersama dengan narkotik. Efek mual-dan muntah lebih
sedikit dibanding dengan obat inhalasi.
Propofol tidak menghambat sekresi hormon adreno kortikal dan hanya
menimbulkan sedikit pelepasan histamin. Obat ini meningkatkan terjadinya gatal-gatal yang
disebabkan oleh opiat dan penyakit hati. Pemberian obat ini mempunyai resiko terjadinya
kejang pada penderita epilepsi.
Propofol tidak direkomendasikan untuk dipakai pada anak, sedangkan pada
penderita dengan usia diatas 55 tahun dosisnya perlu dikurangi. Sebaiknya pemberian
propofol secara titrasi. Pada bayi yang masih menyusu belum diketahui keamanannya, bila
ibu yang menyusuinya mendapat propofol.
Obat ini menimbulkan rasa nyeri di tempat suntikan, terutama bila disuntikkan pada
vena kecil, untuk mengurangi rasa nyeri, dapat disuntikkan bersama obat lokal anestesi
atau memilih vena besar. Bila obat lokal anestesi yang dipakai Lidocain 1%, maka volume
lidokain yang digunakan adalah seper dua puluh volume Propofol.
Kontraindikasi :: Penderita yang alergi pada propofol.
Dosis
: - Induksi pada pasien dewasa usia kurang dari 55 tahun, antara 2-2,5
mg/kg BB.
Maintenance 4-12 mg/kg BB/jam.
- Sedasi di ICU 0,3-4mg/kg BB/jam, dimulai dengan bolus l-2mg/kg
BB.
Onset : 30-60 detik
Preparat
KETAMIN
rangsang yang diterima akan diinterpretasikan berbeda. Hal ini oleh karena ketamin
menimbulkan gangguan fungsi dan gangguan elektro fisiologi, antara thalamokortical dan
sistem limbik. Dalam hal ini pasien mengalami katalepsi, mendapat analgesi yang kuat dan
amnesia, tetapi hanya mengalami sedasi yang ringan. Pasien dapat mengalami halusinasi
dan mimpi buruk, kejadian ini lebih sering terjadi pada wanita dan orang dewasa. Kadang-
kadang pasien mengalami diplopia atau gangguan penglihatan lain, yang bertahan sampai
beberapa saat, setelah pemulihan kesadaran.
147 || Anestesiologi
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak dan tekanan
intra kranial, karena itu berbahaya memberikan ketamin pada penderita dengan tekanan
intra kranial yang tinggi. Ketamin juga meningkatkan terjadinya kejang pada pasien-pasien
epilepsi.
Sesudah mendapatkan dosis anestesi secara intravena, 10-60 detik kemudian,
penderita menjadi tidak sadar. Reflek-reflek bulu mata, korneal dan laringeal agak
terdepresi. Tonus otot meningkat, sering terjadi gerakan otot involunter dan kadang-kadang
bersuara, meskipun pasien mengalami amnesia.
Setelah pemberian ketamin 2 mg/kg BB iv single dose, pemulihan terjadi antara 10-
15 menit kemudian. Pemulihan lebih lambat, bila pemberiannya bersama dengan
benzodiazepin, butyrophenon atau narkotik.
Pada sistem kardiovaskuler, ketamin meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan
curah jantung. Peningkatan maksimal terjadi 2-4 menit sesudah pemberian intra vena,
kemudian dengan perlahan-lahan antara 10-20 menit akan kembali normal. Peningkatan
kardiovaskuler ini, diduga akibat eksitasi pusat simpatis. Di dalam plasma, terjadi
peningkatan kadar epinefrin dan nor epinefrin, 2 menit sesudah penyuntikan intra vena dan
kembali normal 15 menit kemudian.
Dengan adanya efek stimulasi cardiovaskuler, maka ketamin dipakai untuk induksi
pasien syok.
Pada sistem respirasi, ketamin hanya sedikit mengurangi respiratory rate. Kadang-
kadang menyebabkan apnoe pada penyuntikan iv cepat, atau pada pasien yang mendapat
narkotik. Sedang pemberian dosis kecil diazepam (0,2 mg/kg/BB) hanya menimbulkan
sedikit pengaruh pada respirasi, tetapi dengan dosis tinggi akan menimbulkan depresi nafas.
Reflek-reflek dan tonus otot jalan nafas atas, biasanya masih aktif. Sekresi kelenjar
tracheo bronkhial dan saliva meningkat, efek ini bisa dihambat dengan obat-obat anti
sekresi. Ketamin mempunyai sifat melebarkan bronkus dan dapat menjadi antagonis
broncho konstriktor akibat histamin. Karena itu ketamin dapat dipakai untuk penderita
asthma bronchiale. Obat ini menimbulkan nausea dan vomitus. Ketamin tidak
menimbulkan perubahan yang signifikan pada test faal hati dan test faal ginjal. Ketamin
dapat menembus barier placenta dan meningkatkan tonus otot janin, tetapi tidak
menurunkan tonus uterus. Pengaruh pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat
ketamin untuk analgesi persalinan tergantung dosisnya. Pada dosis yang tinggi
menyebabkan depresi, di sini angka kejadian bayi dengan Apgar Score rendah tinggi. Tetapi
dengan dosis 0,2-0,5 mg/kg BB, tidak menyebabkan depresi bayi.
Obat ini tidak menaikkan kadar histamin plasma, karena itu jarang menimbulkan
hipersensitif.
Pada mata ketamin meningkatkan tekanan intra oculi sebentar, menyebabkan
gerakan bola mata dan nystagmus.
Selain intravena ketamin dapat diabsorbsi dengan cepat sesudah diberikan per oral
atau intra muskuler.
Metabolisme terjadi di dalam sistem microsomal P450 hati. Di sini mengalami
demetilasi menjadi nor ketamin. Zat ini kemudian mengalami dehidrasi atau hidroksilasi.
Selain itu ketamin juga dapat mengalami hidroksilasi. Semua hasil metabolisme ini
kemudian mengalami konjungasi dan diexcresi melalui urin dan faces.
Emergency Delirium
Dapat terjadi pada periode pasca anestesi ketamin, mengenai visual, pendengaran,
proprioseptif, ilusi, bingung yang dapat berkembang menjadi delirium. Mimpi buruk dan
halusinasi dapat terjadi 24 jam sesudah anestesi ketamin dan biasanya akan hilang dalam
beberapa jam.
Angka kejadian emergency delirium, berkisar antara 5-30 %. Faktor yang diduga
dapat meningkatkan angka kejadian mimpi buruk dan halusinasi antara lain wanita, usia
lebih dari 16 th, dosis ketamin lebih dari 2 mg/kg BB dan mempunyai riwayat sering mimpi
buruk. Emergency delirium dapat dikurangi dengan memberikan obat golongan
benzodiazepin. Atropin dan droperidol meningkatkan terjadinya emergency delirium.
Kontra indikasi
Hipertensi yang tak terkontrol.
Hipertiroid.
Eklampsi/Pre eklampsi.
Gagal jantung.
Unstable angina, infark myokard.
Aneurisma intra kranial, thoraks dan abdomen.
Tekanan intrakranial tinggi dan perdarahan cerebral.
Tekanan intra okuler yang tinggi.
Trauma mata terbuka.
Dosis:
Induksi IV 0,5-2 mg/kg BB
IM 4-6 mg/kg/BB
Analgesi 0,2-0,8 mg/Kg BB iv 2-
4 mg/kgBB im
Preemptif Analgesi : 0,15-0,25 mg/kgBB iv
Maintenance : 15-45 pg/KgBB/menit dengan 50-70% N20
30-90 |ig/KgBB/menit tanpa N20
Onset:
IV : 10-60 detik :
IM 3-20 menit
Preparat:
Biasanya dikemas dalam flacon berisi 10 cc larutan ada yang tiap cc mengandung 50 mg dan
ada yang 100 mg.
ETOMIDAT
Adalah suatu imidazol karboksilat yang larut dalam air pada pH asam dan larut dalam
lipid pada pH fisiologis. Disintesis sejak tahun 1964 dan digunakan dalam praktek sejak
tahun 1972. Hanya bentuk dekstro isomer yang dapat menimbulkan sedatif. Tidak
mempunyai khasiat analgetik.
O
N
CH3 C
Pada pH netral tidak larut dalam air, karena itu perlu ditambah zat pelarut, pada saat
ini etomidat dikemas dalam larutan 0,2 % dengan 35 % propilen glikol yang menimbulkan
nyeri pada penyuntikan dan kadang-kadang menimbulkan iritasi vena, larutan ini
mempunyai pH 6,9 osmolalitasnya 4,64.
Etomidat digunakan untuk induksi anestesi, pemeliharaan anestesi dan sedasi pada
pasien kritis.
Onsetnya cepat, aksi kerjanya singkat. Dosis untuk induksi dapat dikurangi dengan
memberikan premedikasi benzodiazepin, opiat atau barbiturat. Pada anak induksi dapat
diberikan melalui rektal dengan dosis 6,5 mg/kg BB, pada induksi ini hipnosis terjadi dalam
waktu 4 menit dan tidak menimbulkan perubahan hemodinamik yang berarti, pemulihan
kesadarannya terjadi dengan cepat.
Pemeliharaan anestesi bisa dicapai dengan memberikan etomidat secara kontinyu
untuk mempertahankan kadar etomidat dalam plasma antara 300- 500 ng/ml. Biasanya
pasien bangun 10 menit sejak pemberiannya dihentikan.
Metabolisme terjadi di dalam hepar dengan cara hidrolisis ester atau N- dealkilasi
menjadi metabolit yang tidak aktif. Kemudian diekskresi 85 % lewat ginjal dan 13 % lewat
empedu. Hanya 2 % obat diekskresi dalam bentuk asli. Metabolisme dapat terganggu bila
terjadi gangguan sirkulasi darah ke hepar atau adanya penyakit hepar.
Mekanisme timbulnya hypnosis masih belum jelas, diduga pengaruhnya pada GABA.
Etomidat mengurangi CBF (cérébral bloodflow/aliran darah otak) dan CMR0 2 tanpa
merubah tekanan arteri rerata.
Etomidat memberikan pengaruh minimal pada respirasi. Induksi dengan obat ini bisa
menimbulkan hiperventilasi, apnea, batuk atau cegukan.
Pada sistem kardiovaskuler juga menimbulkan efek yang minimal pada pasien
dengan jantung yang sehat. Dengan dosis 0,3 mg/kg BB untuk operasi non jantung pada
penderita penyakit jantung hampir tidak menimbulkan perubahan pada laju jantung,
tekanan arteri rerata, desakan vena sentral, isi sekuncup, indeks jantung, tekanan arteri
pulmonal. Obat ini juga tidak menimbulkan pelepasan histamin.
Kekurangan obat ini adalah menimbulkan nausea/mual, muntah, myoklonia,
menghambat sintesis steroid, menimbulkan nyeri pada tempat suntikan dan
thrombophlebitis super fisial.
Dosis:
Induksi anestesi 0,2-0,6 mg/kg BB intra vena.
Maintenance anestesi : 10 pg/kg BB/menit intra vena dengan N20
dan opiat.
Sedasi 5-8 pg/kg BB/menit intra vena (hanya untuk
periode yang pendek karena dapat menghambat
sintesis cortico steroid).
DEKSMEDETOMIDIN
Adalah obat a2 agonis selektif yang mempunyai sifat sedatif. Obat ini mulai digunakan
pada manusia pada tahun 1999. Pemakaian obat ini dalam anestesi didasari dari
menurunnya kebutuhan obat anestesi bagi pasien- pasien yang mendapat terapi kronis
dengan klonidin (termasuk golongan a-2 agonis).
Gambar
Rumus Bangun Deksmedetomidin
Obat-obat ini tidak beredar di Indonesia. Obat-obat tersebut antara lain: Propanidid : Adalah
eugenol dari minyak cengkeh dan minyak daun cinamoni (kayu manis) banyak digunakan di
Eropa tapi tidak digunakan di Amerika Serikat. Mulai digunakan pada tahun 1964, durasi of
actionnya pendek karena cepat dimetabolisir oleh cholinesterase. Menimbulkan nausea,
vomitus, gerakan otot dan reaksi anafilaktoid. Chlemophor diperkenalkan pada tahun 1972,
dipakai di Inggris tetapi tidak dipakai di AS. Obat ini sudah tidak dipakai karena adanya
sejumlah laporan adanya efek merugikan.
Althesin : Termasuk golongan steroid yang terdiri campuran 2 steroid yaitu Alphaxolon dan
Alphadolon acetat. Obat ini dilarutkan dalam Chremophor. Dipakai di
Inggris tetapi tidak dipakai di AS.
Diperkenalkan tahun 1972, kemudian obat ini tidak dipakai karena
adanya sejumlah laporan tentang terjadinya efek yang merugikan.
Minaxolon Termasuk golongan steroid yang larut dalam air, karena larut dalam air
maka mempunyai prospek yang lebih baik dibandingkan dengan
Althesin.
Metohexital : Adalah golongan barbiturat, lebih kuat dari pentothal dan pemulihannya
lebih cepat. Banyak dipakai di Inggris.
Kemithal : Termasuk golongan barbiturat.[j
DAFTAR PUSTAKA
1. Reves JG, Glass PSA, Lubarsky DA, McEvoy MD: Intravenous Non Opioid Anesthetics,
dalam Miller RD (eds): Miller's Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill
Livingstone, 2005. p 317-362.
2. Stoelting RK, Hillier SC: Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4th ed.
Philadelphia. Lippincott William & Wilkins, 2006, p 127-178.
3. Eilers H: Intravenous Anesthetics dalam Miller RD, Pardo MC, (eds): Basics of
Anesthesia. 6th ed. Philadelphia, Elsevior Sounders, 2011, p 99- 114.
4. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ: Non Volatile Anesthetic Agents dalam Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York, Lange Medical Book Me Graw-Hill. 2006, p 179-
204.
5. Stanley TH: Pharmacology of Intravenous Non Narcotic Anesthetics dalam Miller RD
(eds): Anesthesia, New York, Churchill Livingstone, 198, p 451-476.
WALAUPUN bukan obat tidur dan tidak berkhasiat analgesi, tetapi dalam praktek anestesi modern maupun terapi intensif,
obat ini telah digunakan secara luas. Pada saat ini, hampir semua tindakan anestesi umum, menggunakan obat pelumpuh otot.
Asal mula penggunaan obat ini berdasar pendapat Griffith dan Jonsson (1942) bahwa 6- tubokurarin adalah obat pelumpuh
otot yang aman digunakan untuk membuat relaksasi otot selama pembedahan. Setahun kemudian Cullen menguraikan
penggunaan curare pada anestesi cydopropane untuk pembedahan abdomen pada 131 pasien. Tetapi Beecher dan Todd (1952)
melaporkan bahwa pada penggunaan tubokurarin menimbulkan kematian 6 kali lipat dibandingkan dengan yang tidak
menggunakannya.
Hal ini disebabkan oleh pengetahuan tentang blok neuromuskuler yang belum memadai. Selanjutnya angka kematian bisa
diturunkan setelah farmakologi pelumpuh otot dipahami, dilakukan monitoring yang baik dan antisipasi yang tepat.
Penggunaan pelumpuh otot makin populer dengan ditemukannya obat- obat baru dengan berbagai sifat, sehingga
memungkinkan dilakukan pemilihan sesuai dengan kondisi pasien.
Pada dosis tertentu obat ini menimbulkan relaksasi atau kelumpuhan otot termasuk otot-otot pernafasan sehingga
penderita tidak dapat bernafas. Karena itu, pelumpuh otot harus diberikan oleh orang yang terlatih mengelola jalan nafas.
Selama kelumpuhan otot-otot pernafasan, pita suara juga membuka sehingga memudahkan untuk tindakan intubasi,
peristaltik dan gerakan usus juga berhenti sehingga memudahkan operasi pada rongga perut.
Karena mekanisme kerja obat golongan ini menghambat transmisi neuro muskuler, maka lebih dulu kita bicarakan mulai
dari fisiologi transmisi neuro muskuler.
FISIOLOGI TRANSMISI NEURO MUSKULER & CARA KERJA HAMBATAN SYARAF
OTOT
Transmisi rangsang syaraf motorik ke otot terjadi di neuromuskuler junction oleh neuro transmiter asetil kolin
(acetylcholin).
Neuromuskuler junction terdiri atas ujung syaraf motorik tak bermielin yang berhadapan dengan membran otot. Keduanya
dipisahkan oleh celah synaptik. Pada ujung syaraf terdapat vesikel-vesikel yang berisi asetil kolin, sedangkan pada membran otot
terdapat reseptor asetil kolin.
Ketika impuls sampai ke ujung saraf motorik, maka terjadi influks kalsium dan pelepasan asetilkolin ke celah synaptik. Bila
asetil kolin dilepaskan dari ujung syaraf dan tertangkap reseptor, maka terjadilah aksi potensial atau depolarisasi. Bila depolarisasi
ini cukup kuat, maka terjadilah kontraksi otot.
Asetil kolin merupakan zat yang mudah sekali dihidrolisa oleh kolin esterase, setelah asetil kolin di hidrolisa, depolarisasi
berakhir, maka terjadilah repo- larisasi. Kerja transmisi neuro muskuler dapat dihambat dengan beberapa cara antara lain:
1. Menghambat sintese atau pelepasan asetil kolin, zat yang bekerja disini antara lain: toxin botulinus, prokain, anti biotika
aminoglikosid, keadaan hipokalsemi dan hiper magnesi (tidak dipakai dalam praktek anestesi).
2. Mengurangi kepekaan membran otot, hal ini dapat terjadi karena pengaruh obat pelumpuh otot jenis depolarisasi.
3. Mencegah bergabungnya asetil kolin dengan reseptor membran, yaitu menempati reseptor membran dengan obat
pelumpuh otot non depolarising, akibatnya reseptor tidak bisa ditempati oleh asetil kolin. Cara ini juga disebut cara
kompetisi (competitive inhibition).
Adalah obat suntik dengan durasi yang lebih pendek dari tubokurarin (15-20 menit).
Mempercepat denyut jantung karena blokade vagal dan stimulasi langsung pada reseptor beta. Karena itu baik untuk
anestesi pada operasi yang menimbulkan bradikardi, misalnya pembedahan bola mata. Sebaliknya pada penderita takikardi
sebaiknya tidak dipakai.
Tekanan darah juga meningkat sedikit, obat ini ekskresi melalui ginjal, karena itu jangan dipakai pada penderita gagal ginjal.
Dosis : 4-6 mg/kgBB untuk intubasi.
2-3 mg/kgBB untuk relaksasi (dengan l\l20 + 02).
1-2 mg/kgBB untuk relaksasi (dengan obat anestesi volatil).
1, 3-0,5 mg/kgBB untuk maintenance.
Onset : 2 menit (untuk intubasi).
Durasi : Dosis intubasi : 90-120 menit.
Dosis relaksasi : 40-60 menit.
ALKURONIUM KLORIDA
Disintese dari Toxiferin, alkaloid dari tanaman strychnos toxifera. Tidak menimbulkan pelepasan histamin tetapi sedikit
menaikkan tekanan darah dan nadi karena menghambat ganglion sinaptik. Ekskresi melalui ginjal dan hati
Dosis : 0,25-0,3 mg/kg BB untuk intubasi.
1, 15-0,2 mg/kg BB untuk relaksasi.
0,05-0,1 mg/kg BB untuk maintenance.
Onset : 3 menit (untuk dosis intubasi).
Durasi : Dosis intubasi 60-120 menit.
Dosis relaksasi 40-60 menit.
PANCURONIUM BROMIDE
Merupakan steroid sintetis dan dikemas dalam ampul yang berisi 2 ml dan tiap ml mengandung 2 mg.
Di dalam darah 53 % terikat globulin dan 34 % dengan albumin dan 13 % tidak terikat. Ekskresi sebagian besar melalui ginjal
(85%), sebagian melalui empedu (15%).
Selain dapat menyebabkan sedikit pelepasan histamin, obat ini juga menyebabkan pelepasan nor adrenalin dan blokade
vagal, sehingga mempercepat denyut jantung, tetapi hanya kadang-kadang meningkatkan tekanan darah.
Dosis : Osis intubasi :0,08-0,12mg/kgBB, durasi 60-120 menit.
Dosis relaxasi : 0,05-0,06 mg/kgBB, durasi 30-60 menit.
Maintenance : 0,01-0,0015mg/kgBB.
Onset : 2-3 menit (dengan dosis intubasi).
ROCURONIUM
Rocuronium adalah pelumpuh otot non depolarisasi turunan aminosteroid. Onsetnya cepat, dengan dosis 0,6 mg/kgBB
dalam waktu 1 menit sudah dapat dilakukan intubasi dengan baik dan mulus, tetapi paralise otot yang adekuat untuk berbagai
macam operasi, baru dicapai dalam waktu 2 menit. Hal ini disebabkan karena paralisis otot laring lebih cepat terjadi dibandingkan
paralisis otot adductor pollicis.
Rocuronium tidak menimbulkan pelepasan histamin. Rocuronium sedikit menimbulkan perubahan kardiovaskuler pada
pasien sehat. Perubahan ini disebabkan oleh efek vagolitik atau rasa nyeri akibat penyuntikan rocuronium. Karena bersifat
vagolitik, rocuronium baik digunakan untuk operasi yang memerlukan stimulasi vagal misalnya operasi mata atau laparoskopi.
Sebagian besar eliminasi terjadi di hepar, sebagian kecil di ginjal. Karena itu efeknya akan memanjang pada penderita penyakit
hepar.
ATRACURIUM BESYLATE
Berasal dari tanaman Leontice Leonto 2,5 ml. Tiap ml mengandung lOmg atracurium dan menyerupai Benzil isoquinolin.
Kemasan dalam ampul berisi 5 cc dan mengandung 10 mg tiap ml. Harus disimpan dalam suhu yang dingin dan terlindung dari
cahaya.
Metabolisme terjadi di dalam darah melalui reaksi kimia yang disebut Eliminasi Hoffman dan hidrolisis ester non spesifik,
sehingga tidak tergantung dari fungsi hati dan ginjal. Karena itu merupakan obat pilihan untuk penderita dengan gangguan faal
hati dan ginjal. Obat ini juga tidak menyebabkan perubahan kardiovaskuler yang bermakna, maka dapat dipakai untuk penderita
penyakit jantung.
Dosis : 0,5-0,6 mg/kg BB untuk intubasi, durasi 30-45 menit.
1, 3-0,4 mg/kgBB untuk relaksasi, durasi 30-45 menit.
0,1-0,15 mg/kgBB untuk maintenance.
Onset : 2-3 menit (dengan dosis intubasi).
VECURONIUM
Merupakan homolog pancuronium dengan masa kerja yang singkat. Tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian
berulang, tidak menyebabkan perubahan kardiovaskular dan tidak menyebabkan pelepasan histamin.
Tingginya lipid solubility menyebabkan vecuronium mudah masuk ke dalam hepatocyt dan mengalami deacetylasi. Sifatnya
yang lipid solubility ini juga mempermudah ekskresinya melalui empedu, selain di ekskresi lewat empedu (50-60%), kira-kira 40-
50% di ekskresi melalui ginjal. Hasil metabolik vecuronium (3-desasetil vecuronium) mempunyai potensi 80% vecuronium. Pada
pasien dengan gagal ginjal akan terjadi akumulasi dengan hasil metabolik ini yang menyebabkan terjadinya blokade
neuromuskuleryang memanjang.
Pada anak usia < 1 tahun di mana fungsi hati dan ginjal belum optimal dan pada orang tua, di mana fungsi hati dan ginjal
menurun, maka durasi vecuronium memanjang.
Dosis 0,1-0,2 mg/kg BB untuk intubasi, durasi : 45-90 menit.
0,03- 0,04 mg/kgBB untuk relaksasi, durasi : 25-40 menit. 0,01-0,02 untuk maintenance.
Onset : 1,5-3 menit (dengan dosis intubasi).
ANTI KOLIN ESTERASE
Yaitu obat yang menghambat kerja kolin esterase, sehingga hidrolisa asetil kolin dihambat, akibatnya jumlah asetil kolin
meningkat. Karena sifatnya dapat memperbanyak asetil kolin, maka akan terlihat efek muskarinik dan nikotinik setelah pemberian
obat ini.
Efek muskarinik yaitu efek terhadap otot polos dan kelenjar sedang efek nikotinik yaitu efek terhadap otot rangka dan
ganglion.
Efek muskarinik antara lain adalah meningkatnya sekresi kelenjar eksokrin seperti keringat, bronkus, air mata, lambung &
usus.
Otot polos bronkus mengalami konstriksi sampai bronko spasme, peristaltik usus dan ureter meningkat vesika urinaria
berkontraksi, pembuluh darah perifer vasodilatasi, pada jantung menyebabkan bradikardi, pada mata menyebabkan miosis.
Efek nikotinik pada ganglion, merangsang pada dosis rendah dan menghambat pada dosis tinggi. Pada otot rangka
menyebabkan perangsangan otot rangka.
Ada dua golongan kolin esterase yaitu:
1. Yang bekerja secara irreversible:
DFP (Diisoprofil fluoro phosphat).
Gas perang: sarin, tabun.
Insektisida fosfat ester malathion, parathion, TEPP (Tetra Ethyl Pyro Phosphate), HEPP (Hexa Ethyl Pyro Phosphate).
2. Yang bekerja secara reversible:
Edrophonium.
Physostigmin.
Neostigmin/Prostigmin.
Di bidang anestesi yang digunakan adalah edrophonium & prostigmin, sedang physostigmin dipakai sebagai obat tetes
mata agar terjadi miosis. Di Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP. Dr. Kariadi yang dipakai adalah prostigmin.
PROSTIGMIN/NEOSTIGMIN
Di dalam tubuh akan mengalami hidrolisa, 1 mg prostigmin dihidrolisa dalam waktu 2 jam setelah suntikan subkutan.
Ekskresi melalui urin dalam bentuk metabolitnya. Dalam anestesi dipakai untuk me-reverse penderita yang mendapat pelumpuh
otot non depolarisasi.
Efek muskarinik yang ditimbulkan (antara lain bradikardi) di netralisir dengan obat anti kolinergik (parasimpatolitik) yaitu
sulfas atropin. Sebagai pedoman:
1. Bila denyut nadi kurang dari 100/menit penderita diberi sulfan afropin lebih dulu sampai nadi meningkat menjadi 100
kemudian diberi prostigmin.
2. Bila nadi lebih dari 100/menit sulfas atropin dan prostigmin dicampur dalam satu spuit.
Dosis : 0,06 mg/kgBB.[]
DAFTAR PUSTAKA
NARKOTIK ANALGETIK
Uripno Budiono
NARKOTIK yang sudah dikenal sejak jaman dulu adalah OPIUM atau CANDU. Zat ini adalah getah papaver somniferum
kering. Dari getah ini dapat diisolasi 20 macam alkaloid antara lain morfin (1803), kodein (1831) dan thebain (1848).
Alkaloid ini dibedakan menjadi 2 golongan yaitu derivat fenantren dan derivat benzil iso kinolin. Termasuk derivat fenantren
antara lain morfin, kodein dan thebain. Golongan ini mempunyai sifat narkotik analgetik. Sedang yang termasuk derivat benzil iso
kinolin tidak mempunyai sifat narkotik antara lain papaverin dan noskapin.
Narkotik analgetik mempunyai sifat analgetik yang kuat sehingga dipakai untuk menghilangkan nyeri. Di dalam anestesi
obat-obat ini dipakai untuk premedikasi, analgetik durante operasi maupun pasca operasi.
Salah satu kekurangan obat ini adalah timbulnya adiksi pada pasien, karena itu terus dilakukan penelitian-penelitian untuk
mencari obat yang kekuatannya setara narkotik tetapi tidak menimbulkan adiksi.
Narkotik analgetik dapat dibedakan dalam 3 golongan yaitu narkotik alami, narkotik semi sintetis dan narkotik sintetis(lihat
tabel).
Narkotik alami : Morfin, codein, thebain.
Narkotik semi sintetis : Heroin, dihidro morphon (morphinon), derivat
thebain (eterphin, buprenorfin).
Narkotik sintetis : Morphinan: levorphanol,butorophanol.
164 || Anestesiologi
Difenil profilamin
Methadon.
Benzomorphan Pentazocine, penazocin.
Phenil piperidin Meperidin, fentanil, sulfentanil, alfentanil, remi- fentanil.
Struktur kimia morfin telah ditetapkan oleh Gulland dan Robinson (1925). Struktur ini telah dibuktikan oleh Gates dan
Tschudi (1952), sehingga morfin dapat dibuat secara sintetis. Seperti terlihat pada gambar, morfin mempunyai inti fenantren. Aksi
narkotik tergantung dari cincin nitrogen, bila cincin ini terbuka, sifat narkotiknya hilang.
Ri dan R2 morfin adalah atom H', sehingga terbentuk gugus OH. Pada Ri gugus OH bersifat fenol sehingga disebut gugus
fenolin, sedang pada R2 gugus disebut gugus alkoholik karena bersifat alkohol. Adanya gugus OH fenolik bebas menyebabkan
terjadinya efek analgetik, hipnotik, depresi pernapasan, obstipasi, meningkatnya tonus otot polos usus dan bronkhus, spasme
ureter dan biliaris. Gugus OH alkoholik bebas mempunyai efek berlawanan dengan efek depresi dari gugus OH fenolik. Gugus ini
menimbulkan efek stimulasi sentral dan mempunyai efek emetik.
Narkotik semi sintetis dibuat dengan mengubah atom pada Ri dan R2 dari alkaloid derivat fenantren. Khasiat farmakologi
secara kualitatif sama dengan morfin tetapi secara kuantitatif berbeda. Penambahan pada R2
MORFIN
Sejak dulu dipakai untuk mengurangi nyeri dan membebaskan dari rasa cemas. Obat ini umumnya diberikan secara
subkutan, intra muskular, atau intra vena. Dosisnya harus mempertimbangkan umur dan faktor yang mempengaruhi
metabolismenya. Umumnya tidak melebihi 0,2 mg/kgBB. Untuk mengatasi nyeri pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg
dosisnya 10 mg. Pemberian morfin sebelum timbul rasa nyeri lebih efektif dibandingkan sesudah terjadi nyeri. Pemberian
sebelum anestesi dapat menunda timbulnya nyeri post operatif.
Dosis yang digunakan untuk pembedahan adalah:
Pria dewasa (70 kg) : 10 mg
Wanita dewasa (60Kg) : 8 mg (kira-kira 75% pria)
Jika dosis melebihi 15 mg jangan diberikan sekaligus. Untuk anak-anak dosis harus dikurangi.
Absorbsi morfin dalam traktus digestivus jelek dan sulit diprediksi, karena itu dosis oral 4-6 kali dosis sub kutan (dosis oral 40-
60 mg setara dengan lOmg subkutan). Morfin dapat diberikan per rektal secara suppositoria. Absorbsi setelah pemberian
subkutan bervariasi karena tergantung dari sirkulasi setempat. Pemberian morfin yang terpilih adalah secara intravena.
Sesudah diabsorbsi morfin didistribusikan ke semua jaringan parenkhimatosus. Konsentrasinya dalam tulang lebih rendah
dari pada dalam jaringan lain. Meskipun mempunyai site of action adalah SSP tetapi hanya dalam jumlah kecil yang menembus
blood brain barrier.
Di dalam darah sekitar 6% terikat dengan protein, dan diantaranya 80- 90% berikatan dengan albumin dan lainnya dengan
globulin. Ikatan dengan protein meningkat pada pasien adiksi dan menurun pada pasien gagal ginjal dan hepar.
Morfin dimetabolisir hampir sempurna di dalam hepar oleh enzim glucoronil transferase menjadi bentuk glucoronid yang
mudah larut dalam air. Sekitar 10% mengalami demetilasi membentuk nor morfin yang inaktif.
Eliminasi melalui urin 85% dalam bentuk glucoronid, 5% nor morfin dan 5% dalam bentuk morfin yang tidak berubah.
Sekitar 8% morfin glucoronid tereliminasi lewat empedu. Metabolisme ekstra hepatal sering terjadi di dalam ginjal. Eliminasi pada
bayi berjalan lambat, bayi yang lebih muda lebih lambat eliminasinya dibanding dengan bayi yang lebih tua.
Aksi morfin pada SSP difus pada semua level integrasi, aksi selektif terjadi pada level kortikal, diencephalon, korpus striatum,
batang otak dan level spinal. Aksi stimulasi dan depresi terjadi pada semua level neuraksis. Aksi analgesi terjadi pada sinaps antara
reseptor neuron dan connector neuron afferent pada substansia gelatinosa medulla spinalis, interneuron medial pada nucleus
póstera ventral thalamus, hipothalamus, inter neuron korteks, amígdala dan thalamus. Efek analgesi timbul akibat depresi pada
pusat fasilitasi supraspinal dan depresi pada pusat refleks spinal.
Pada SSP morfin meningkatkan ambang batas nyeri, menyebabkan euforia dan mengantuk, lebih efektif untuk mengurangi
nyeri tumpul dan terus-menerus dibandingkan nyeri tajam dan terputus-putus, analgesi lebih efisien jika diberikan sebelum timbul
nyeri. Untuk menimbulkan analgesia yang cukup pada operasi diperlukan dosis yang tinggi dan umumnya tercapai bila dosisnya
melebihi dosis depresi respirasi. Obat ini menimbulkan adiksi, menimbulkan depresi nafas. Sesudah penyuntikan jarang diikuti
166 || Anestesiologi
dengan timbulnya gelisah dan delirium. Refleks-refleks medulla spinalis mengalami eksagerasi. Tonus para simpatis meningkat
karena efek anti kolinesterase morfin. Tekanan likuor serebrospinal meningkat karena naiknya PC02.
Pada mata obat ini menyebabkan konstriksi pupil karena stimulasi pada nucleus ed. Atropin dapat mengurangi efek miosis.
Pada sistem respirasi obat ini menimbukan sensitivitas respirasi pada C02 berkurang. Terjadi penurunan respirasi rate yang
lebih nyata dibandingkan volume tidal. Atropin tidak bisa melawan efek depresi respirasi akibat morfin. Dapat terjadi
bronkokonstriksi akibat efek anti kolinesterase dan pelepasan histamin. Depresi respirasi terjadi 30 menit sesudah
pemberian intra muskuler. Refleks batuk juga mengalami depresi.
Pada sistem gastro intestinal, morfin menimbulkan konstriksi spinchter usus, konstriksi pylorus dan gerakan lambung
berkurang. Tonus otot usus meningkat tetapi peristaltik menurun sehingga dapat timbul konstipasi. Morfin menimbulkan
konstriksi pada sphincter oddi sehingga mengganggu ekskresi empedu. Atrofin tidak bisa melawan aksi ini dengan
sempurna. Mual dan muntah dapat terjadi akibat stimulasi morfin pada kemoreseptor trigger zone. Mual dan muntah juga
dipengaruhi oleh posisi dan gerakan pasien, pasien bergerak lebih merasa mual dibanding pasien bedrest.
Pada traktus urogenital terjadi penghambatan tonus dan peristaltik otot polos antara lain tonus pada tuba falopii, otot
Detrussor, sfingter vesica urinaria. Efek ini dapat diantagonisir oleh sulfas atropin. Produksi urin menurun karena stimulus
oleh hormon ADH.
Selama persalinan obat ini hampir tidak berpengaruh pada uterus, tetapi menembus plasenta masuk ke dalam janin dan
menimbulkan depresi napas pada bayi baru lahir.
Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan menurunnya frekuensi nadi dan tekanan darah khususnya bila diberikan secara
intravena. Morfin menurunkan kerja jantung dan menurunkan kebutuhan oksigen pada otot jantung.
Pada sistem endokrin, morfin menimbulkan stimulasi hipofisis posterior dan medula adrenalis sehingga meningkatkan
hormon ADH dan naiknya katekolamin. Gula darah dapat meningkat akibat terjadinya glukoneogenesis. Morfin dapat
menimbulkan gatal-gatal khususnya pada hidung, mulut dan bibir. Kejadian ini lebih banyak terjadi pada wanita. Keadaan
ini disebabkan reflek enkephalinergik, bukan karena pelepasan histamin dan dapat diatasi dengan pemberian nalokson.
MEPERIDIN/PETHIDIN
Petidin adalah narkotik sintesis dengan rumus kimia etil-l-metil-4- fenilpiperidin-4-karboksHat. Petidin bekerja pada
reseptor opioid di otak dan medulla spinalis. Di otak reseptor opioid terletak di batang otak, amygdala, corpus striatium dan
hipotalamus. Petidin menghambat impuls dari susuna syaraf dan menghambat transmisi informasi nosiseptif dari perifer ke
medulla spinalis.
Petidin diabsorbsi dengan baik dari tempat suntikan baik intramuskuler atau subkutan, setelah diabsorbsi petidin cepat
masuk ke dalam jaringan parenkim. Pada pemberian intravena konsentrasi dalam plasma menurun dengan cepat pada 1-2 jam
pertama.
Kekuatan analgesinya antara 1/7-1/10 morfin. Analgesi timbul 15-20 menit sesudah pemberian intramuskuler, kadar
puncak plasma tercapai dalam waktu 15-60 menit. Lama kerja sekitar 2-4 jam. Kadar dalam plasma minimal untuk mencapai
analgesi bervariasi antar individu, dengan kadar 0,7 mcg/cc menghasilkan 95% analgesi paska bedah. Pemberian pada dosis
analgesi dapat menimbulkan efek sedasi.
Petidin menekan pusat pernapasan sehingga kepekaan terhadap C02 menurun, tidal volume menurun, frekuensi napas
umumnya tidak terpengaruh.
FENTANIL
Merupakan opioid agonis turunan fenil piperidin. Potensi analgesinya antara 75-125 kali lebih kuat dibanding morfin. Pada
balans anestesi, fentanil diberikan dengan loading dose 2-8 pg/kgBB dilanjutkan dengan infus kontinyu 0,5-3 pg/kgBB/jam.
Sebagai obat tunggal untuk menimbulkan surgikal anestesia diperlukan dosis 50-150 pg/kgBB iv. Dengan dosis 2-10 pg iv dipakai
untuk mencegah gejolak kardiovaskuler pada tindakan laringoskopi intubasi.
Fentanil bekerja pada talamus, hipotalamus sistem retikuler dan neuron- neuronnya. Dengan demikian rangsang sakit tidak
dapat mencapai daerah kortikal. Blokade terhadap rangsang sakit, somatik dan viseral berhubungan dengan blokade fentanil pada
mesenchephalon.
Pada pemberian intravena, mula kerja 30 detik dan mencapai puncak dalam waktu 5 menit, kemudian menurun dengan
cepat dalam waktu 5 menit pertama kadarnya berkurang sampai 20%, selanjutnya relatif menurun dengan lambat selama 10
sampai 20 menit. Kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga mudah melewati sawar otak.
Fentanil dimetabolisir di hepar dengan cara dealkilasi hidroksilasi dan hidrolisa amida menjadi metabolit tidak aktif meliputi
168 || Anestesiologi
nor fentanil dan des propionil nor fentanil. Kemudian diekskresi melalui empedu dan urin. Di dalam feses dan urin, 72 jam sesudah
pemberian sebagian besar di dapat dalam bentuk metabolit dan 8% dalam bentuk asli. Waktu paruh eliminasi 185-219 menit.
Ikatan dengan protein 79-87, volume distribusi 3,2-5,9 l/kg, klirens 10- 20 ml/kg/menit. Durasi pada orang tua memanjang karena
penurunan klirens, aliran darah hepar, aktivitas enzim dan produksi albumin.
Fentanil menyebabkan ketergantungan, euforia, perlambatan EKG, miosis, mual dan muntah yang tergantung pada dosis.
Efek terhadap jantung minimal meskipun laju jantung dapat menurun akibat efek vagal dan depresi nodus SA dan AV.
Pemberian atropin sulfat dapat menurunkan kejadian bradikardi, karena itu dianjurkan pemberiannya pada penggunaan dosis
tinggi.
Dengan dosis 10 g/kgBB menurunkan 32% kebutuhan oksigen otot jantung, sehingga menguntungkan pada penderita
kerusakan otot jantung dan insufisiensi koroner.
Fentanil menyebabkan depresi respirasi dan kekakuan otot rangka khususnya otot thorak, abdomen dan ekstremitas
terutama pada pemberian intravena cepat. Mekanisme kekakuan otot belum jelas tetapi bukan karena efek langsung pada otot,
bukan karena efek pada konduksi neuromuskuler maupun peningkatan kreatin kinase. Diduga kekakuan ini karena aktifitas
sentral antara lain agonis pada reseptor p.
Depresi nafas dipengaruhi beberapa faktor antara lain dosis, cara pemberian, tingkat kesadaran penderita dan obat-obat
lain yang diberikan. Umumnya dengan dosis 1-3 g/kgBB tidak menimbulkan depresi nafas, depresi nafas terjadi pada pemberian
200 intravena. Pada penggunaan berulang- ulang depresi nafas terjadi sekunder karena akumulasi.
Depresi nafas sering menjadi masalah pada periode pasca bedah, mekanismenya belum jelas, diduga terjadi akibat
sequesterasi fentanil dalam asam lambung (ion trapping). Sequesterasi fentanil kemudian diabsorpsi dari usus halus yang lebih
bersifat alkalis ke dalam sirkulasi, selanjutnya meningkatkan konsentrasi opioid dalam plasma dan menyebabkan depresi nafas.
Fentanil tidak mempengaruhi aliran darah paru dan hepar. Meningkatkan tekanan intra bilier dengan singkat. Fentanil tidak
menyebabkan pelepasan histamin.
ANTAGONIS NARKOTIK
Obat ini disintese dari narkotik dengan merubah radikal yang berikatan dengan nitrogen. Obat-obat tersebut antara lain
nalokson, naltrekson, dan nalmefen.
Obat tersebut dipakai untuk terapi depresi ventilasi pasca operasi akibat agonis opioid, depresi ventilasi neonatus akibat
ibunya memakai opioid, pengobatan over dosis narkotik dan deteksi adanya ketergantungan narkotik.
NALTREKSON
Naltrekson dalah antagonis opiat semi sintetis derivat dari thebain dengan rumus
kimia N-cycloprophyl methyl normorprone. Sama dengan nalokson obat ini juga
mempunyai aksi pada reseptor , k dan 6 SSP dengan afinitas terkuat pada reseptor .
Perbedaannya dengan nalokson obat ini mempunyai masa kerja yang panjang dan efektif
diberikan peroral. Onset sesudah pemberian peroral antara 15-30 menit. Pemberian oral
dosis tunggal dalam plasma kadarnya bertahan konstan selama 24 jam.
Setelah pemberian, naltrekson cepat didistribusikan ke seluruh tubuh.
Metabolismenya terjadi di dalam hepar, 6-ketogrup naltrekson direduksi menjadi 6-15
naltrexol yang mempunyai sifat antagonis opiat. Selain itu juga dipengaruhi cathecol-o-
methyl transferase menjadi 2-hydroxy-3-metroxy-6-(i naltrexol dan 2-hydroxy-3-metroxy
naltrekson. Seterusnya mengalami konjugasi dengan glucoronid. Ekskresi naltrekson dan
hasil metabolismenya melalui urin.
Penggunaan naltrekson sama dengan nalokson, untuk mengatasi efek depresi nafas
dari narkotik. Naltrekson baik digunakan untuk pemeliharaan penghentian kecanduan
narkotik setelah dilakukan detoksifikasi. Dosisnya 50- 100 mg oral perhari.
Untuk mengurangi terjadinya pruritus, mual, dan muntah pada tindakan epidural
dengan morfin dapat diberikan 5-10 mg naltrekson oral, dengan dosis ini efek analgesi
masih adekuat.
Efek pada kardiovaskuler sama dengan nalokson. Pada penggunaan kronis
didapatkan 10% penderita mengalami gastrointestinal distress. Obat ini dapat
menyebabkan terjadinya tanda dan gejala opiat withdrawl dari ringan sampai berat pada
penderita kecanduan narkotik.
Mempunyai rumus kimia N-cycloprophylmethyl-4-5-epoxy-6-methylene morphinan-
314 diol. Obat ini sama dengan naloxon mempunyai afinitas pada reseptor , k, dan 6
dengan aktifitas terkuat pada reseptor . Masa kerja nalmefene panjang, baik diberikan oral
maupun perenteral.
Obat ini aman digunakan karena lebarnya jarak antara dosis terapetik dengan dosis
yang dapat menimbulkan efek merugikan.
Pada pemberian oral konsentrasinya dalam plasma mencapai puncak dalam waktu
1-2 jam. Pada penggunaan intravena cepat didistribusikan dalam darah.
Metabolisme terjadi di dalam hepar, terbanyak mengalami konjugasi dengan
glukoronid dan sulfuric acid. Ekskresi melalui sistem bilier dan renal. Hanya 5% yang
diekskresi lewat urin dalam bentuk asli.
Dosis rata-rata untuk pemberian oral umumnya antara 0,5-3 mg/kgBB. Dengan dosis
1-2 mg/70kgBB intravena dapat mengatasi over dosis narkotik. Untuk mengatasi depresi
pasca anestesi umum dengan narkotik diberikan dosis oral 0,25-1 g/kgBB, diulang setiap 5
menit sampai efek yang diinginkan tercapai.
Nalmefene juga dapat mengurangi kebutuhan obat anti pruritus dan anti emetik
pada penderita yang mendapat PCA (Patient Controlled Analgesia) dengan morfin.
METHYL NALTREKSON
Methyl naltrekson adalah antagonis opiat yang tidak dapat menembus blood brain
barrier, sehingga obat ini dapat menetralisir efek opioid pada reseptor perifer, tetapi efek
opioid pada reseptor SSP seperti analgesi tidak terpengaruh.
Perlambatan pengosongan lambung yang disebabkan oleh 0,04 mg/kgBB morfin
dapat diatasi dengan 0,3 mg/kgBB methyl naltrekson pada orang sehat. Obat ini juga dapat
mengatasi mual dan muntah akibat opioid, dapat memulihkan konstipasi akibat
penggunaan metadon yang kronis. Methyl naltrekson tidak dapat menembus duramater
karena itu dapat dipakai untuk mengatasi efek samping opioid epidural.
NEUROLEPT ANALGESIA/ANESTESI
Konsep ganglioplegi atau neuroplegi telah diperkenalkan oleh Laborit dan
Huygenard (1949) dengan menggunakan lytic coctail yang terdiri dari khlorpromazin,
promethazin, dan meperidin. Dengan teknik ini selain respon serebrokortikal, juga dapat
dihambat mekanisme lain yang diaktifasi oleh stimulasi pembedahan seperti respon
endokrin, seluler, dan otonom.
Selanjutnya dikemukakan istilah neurolepsis (Delay, 1959) dan neurolept analgesia
(Decastro, Mundeler 1959) teknik ini menggunakan kombinasi transquilizer mayor dan
analgetik opioid yang kuat, bila ditambahkan obat anestesi inhalasi, teknik ini disebut
neurolept anestesi.
Neurolept anestesi menimbulkan analgesi, supresi reflek-reflek otonom, stabilitas
kardiovaskuler, tidak adanya aktifitas motorik, pasien menjadi tenang, hilang dari rasa
cemas, dan sebagian besar mengalami amnesia.
Transquilizer mayor yang banyak digunakan adalah golongan phenothiazin
(khlorpromazin) dan golongan butyrophenon (droperidol, haloperidol). Golongan
phenothiazin menimbulkan hipotensi berat pada anestesi. Sedangkan golongan
butyrophenon pada anestesi hanya menimbulkan hipotensi yang tidak seberat golongan
phenothiazin dan hanya bersifat sementara.
Butyrophenon menyebabkan sedasi, transquilizer ¡mobilitas dan anti emesis. Salah
satu efek samping yang ditimbulkan adalah sindrom extrapiramidal lain terjadi
dyskinesia wajah dan leher, torticolis, agitasi dan halusinasi.
Penggunaan droperidol tunggal tanpa analgetik atau sedatif sering menimbulkan
perasaan tidak nyaman. Sebagai a-bloker, efek kardiovaskuler droperidol dapat
menimbulkan hipotensi ringan. Droperidol bersifat antiaritmik pada anestesi dengan
halotan atau aritmia yang disebabkan oleh epineprin. Penggunaan droperidol mempunyai
manfaat pada pasien Wolf Parkinson White Syndrome. Droperidol juga menimbulkan
depresi respirasi ringan.
Neurolept anestesi droperidol-fentanil baik digunakan untuk pasien- pasien
pembedahan neurologik, kardiak dan bedah umum. Baik digunakan untuk tindakan operasi
mata, bronkoskopi, endoskopi, neurodiagnostik dan eksisi fokus epileptogenik. Kombinasi
alfentanil-droperidol-N20 atau kombinasi remifentanil-droperidol-propofol dapat
digunakan untuk awake craniotomi.
Karena sering digunakan, maka dibuat preparat droperidol-fentanil komersial dengan
nama dagang Inovaratau Thalamonal.
Dosis droperidol:
Premedikasi : 0,025-0,075 mg/kgBB im.
Anti emetik : 0,01-0,02 mg/kgBB iv.
Intu basi sadar : 0,025-0,1
Terapi agitasi pasien psikotik
mg/kgBB iv.
: 0,05-0,2 mg/kgBB iv/im.
Kontra indikasi
Pa
si
e
n-
1. Fukuda K: Intravenous Opioid Anesthetics dalam Miller RD: Miller's Anesthesia, 6th ed.
Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005. p 379-424.
2. Stoelting RK, Hillier SC: Opioid Agonist & Antagonist dalam Pharmacology &
Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins,
2006, p 87-122.
3. Stoelting RK: Opioids dalam Stoelting RK, Miller RD (eds): Basics of Anesthesia, 5th ed.
Philadelphia, Churchill Livingstone, 2007, p 112-122.
4. Morgan GE, Mikail MS, Murray MJ: Non Volatile Anesthetic Agents dalam Clinical
Anesthesiology, 4th ed. New York. Lange Medical Books/Mc Graw Hill, 2006 p 179-
204.
BAB X
PENDAHULUAN
KEMAMPUAN menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan ketrampilan yang harus dimiliki dalam mengelola pasien kritis
dan untuk melakukan tindakan anestesi yang aman.
Kesulitan atau kegagalan dalam mengelola jalan nafas merupakan faktor utama morbiditas dan mortalitas akibat tindakan
anestesi. Insiden kesulitan ventilasi dengan sungkup muka (didefinisikan sebagai ketidakmampuan mempertahankan Sp02 lebih
dari 90 %) berkisar antara 0,09 % sampai 5 %. Kesulitan intubasi endotrakea (didefinisikan sebagai intubasi berhasil dilakukan
setelah lebih 3 kali usaha atau lebih dari 10 menit) terjadi 1,1 % sampai 3,8 % pasien. Insiden kegagalan intubasi endotrakea terjadi
antara 0,0001 % sampai 0,02 %}
Pada penderita gawat darurat menjaga jalan nafas tetap bebas merupakan prioritas utama. Kegagalan oksigenasi
merupakan pembunuh tercepat. Kematian dini karena masalah jalan nafas disebabkan:
Gagal mengetahui kebutuhan jalan nafas tetap bebas.
Gagal membuka jalan nafas.
Kekeliruan memasang alat bantu nafas atau posisi berubah.
Aspirasi isi lambung.
Kompetensi dalam mengelola jalan nafas memerlukan:
Pengetahuan anatomi dan fisiologi jalan nafas.
Kemampuan menilai jalan nafas pasien dari gambaran anatomi yang berkorelasi dengan kesulitan mengelola jalan nafas.
Ketrampilan bermacam macam cara mengelola jalan nafas. Pengaplikasian secara tepat algoritma untuk kesulitan
pengelolaan jalan nafas dari American Society of Anesthesiologists (ASA).
ANATOMI DAN FISIOLOGI JALAN NAFAS ATAS Hidung dan Mulut
Udara dihangatkan dan dihumidifikasi setelah masuk lubang hidung selama pernafasan normal. Hambatan aliran udara
melalui hidung dua kali dibanding melalui mulut dan dua pertiga dari total hambatan jalan nafas.1 Persyaratan rongga mulut dan
hidung:
N. Olfactorius untuk indra penciuman.
N. Trigeminus (N. cranial V) mensyarafi mukosa nasal, palatum, 2/3 lidah
anterior.
Gambari
Anatomi Jalan Nafas Bagian Atas5
Laring
Laring pada orang dewasa terletak antara vertebra cervical 3 sampai 6. Laring disusun
oleh otot, ligament, dan kartilago. Pita suara dibentuk dari ligament tiroaritenoid dan
merupakan bagian tersempit pada jalan nafas orang dewasa. Laring diinervasi oleh N.
superior laryngeal dan N. recurrent laryngeal yang merupakan percabangan dari N. X
(Vagus). Hambatan yang sering terjadi karena obstruksi benda asing, laringospasme, oedem
mukosa.
Trakea
Trakea dimulai dari Vertebra cervical 6 sampai carina yang rata rata setinggi vertebra
thorakal 5. Panjang trakea 10-15 cm dan diperkuat oleh 16- 20 cincin kartilago. Hambatan
jalan nafas yang sering terjadi karena obstruksi benda asing.
Gambar 2 Look-Listen-Feel5
yang paling sering adalah obstruksi lidah karena relaksasi m. genioglossus, obstruksi oleh
darah atau benda asing, dan spasme laring. Penyebab lain dapat terjadi karena spasme
bronkus, obstruksi sekret, sembab mukosa, dan aspirasi. Hal tersebut di atas sering terjadi
pada pasien tak sadar.
Secara klinis dapat dikenali tanda adanya hambatan jalan nafas. Suara mendengkur
(snoring) disebabkan obstruksi lidah, suara berkumur (gargling) menunjukkan adanya
sumbatan berupa cairan di faring, stridor karena odem di pita suara atau laring.
Kondisi pasien dengan sumbatan jalan nafas akan semakin parah bila tidak segera
ditolong. Pasien menjadi gelisah akibat hipoksi. Tampak gerakan otot-otot pernafasan
tambahan untuk membantu proses respirasi, atau
180 11 Anestesiologi
gerakan nafas paradoksal. Sianosis merupakan tanda yang lambat akibat obstruksi
jalan nafas.
Obstruksi jalan nafas total harus segera dikoreksi. Henti nafas lebih dari 5 menit dapat
menyebabkan kerusakan otak yang permanen dan henti jantung. Obstruksi naifas parsial
harus juga segera dikoreksi. Hipoksia dapat menyebabkan oedem paru, oedem otak, henti
jantung, henti paru sekunder, dan kerusakan otak.
Penderita dengan tanda-tanda obstruksi jalan nafas harus segera ditolong. Hal itu
dilakukan dengan cara:
Membersihkan jalan nafas
Membebaskan jalan nafas
Gambar3
Pembersihan Manual5
Gerak jari di belakang gigi dan gerak angkat mandíbula lidah hanya boleh dilakukan
pada pasien koma untuk menghindari jari penolong tergigit pasien. Obstruksi jalan nafas
karena cairan (ditandai suara gargling) diatasi dengan penghisapan/suction.
Gambar S
182 11 Anestesiologi
Apabila chin lift atau jaw thrust belum membebaskan jalan nafas maka dapat
dibantu dengan alat. Tindakan yang dapat dilakukan adalah memasang oropharyngeal
airway, nasopharyngeal tube, Laryngeal Mask Airway (LMA), atau pemasangan
endotracheal tube (ET).
Oropharingeal airway jangan dipasang apabila reflex muntah masih ada.
Oropharyngeal airway dipasang pada pasien dengan kesadaran GCS < 10 atau tingkat
kesadaran P, U pada System AVPU. Perkiraan ukurannya adalah dari bawah telinga sampai
sudut mulut pasien.
Nasopharyngeal tube tidak merangsang muntah. Pemasangan nasopharyngeal tube
harus dilakukan hati-hati pada pasien dengan fraktur basis cranium. Ukuran nasopharyngeal
tube untuk pasien dewasa diperkirakan sekitar 7 mm atau jari kelingking kanan pasien.
Endotacheal Tube (ET) dilakukan bila:
Cara-cara lain untuk Airway gagal.
Sukar memberikan nafas buatan.
Risiko aspirasi ke paru besar.
Mencegah pC02 'h (cedera kepala).
- GCS <8.
Pemasangan ET juga mempunyai resiko. Resiko yang mungkin ditemukan adalah
hipoksia karena spasme pita suara, naiknya tekanan darah, aritmia bradikardi sampai
asistole, kenaikan tekanan intra cranial, dan gerakan leher dapat memperberat cedera
servical. Idealnya intubasi harus dibantu obat anestesi dan obat pelumpuh otot.
Masalah yang sering ditemukan saat pemasangan ET adalah intubasi endo bronchial,
intubasi esofageal, dan kesulitan intubasi. Intubasi endo bronchial menyebabkan ventilasi
satu paru, shunting, dan kolaps paru. Insidennya paling sering di paru kanan.
Intubasi esofageal terjadi bila ET masuk ke oesophagus. Untuk menghindari hal itu
maka setelah intubasi dilihat naik turunnya dada dan dilakukan auskultasi di dada dan di
lambung.
Kesulitan intubasi terjadi 1 diantara 65 tindakan intubasi. Penyebabnya berbagai
factor yang akan dijelaskan di bab tersendiri.
LMA dapat digunakan untuk menguasai jalan nafas secara rutin maupun untuk
pasien yang sulit diintubasi. LMA diinsersikan di hipofaring.
Gambar €
Tabel 1
Perkiraan Ukuran LMA Berdasar Berat Pasien5
1 <5 4
1,5 5-10 7
2 10-20 10
2,5 20-30 14
3 30-50 20
4 50-70 30
5 70-100 40
184 11 Anestesiologi
Krikotiroidotomi dipertimbangkan apabila intubasi gagal padahal jalan nafas masih
tersumbat dan pada pasien yang tidak dapat diberikan nafas buatan dari atas
(mulut/hidung). Krikotiroidotomi merupakan jalur darurat untuk oksigenasi. Tindakan ini
hanya dapat dipertahankan dalam 10 menit karena tidak dapat membuang C02.
Gambar 7
Tempat Tusukan krikotiroidotomi 5
APreservation ot spontaneous
Develop primary vs. Ab'ation
and alternative of spontaneous
ventiialion ventilation
strategies. A Awake Intubation 3. Intubation Attempts after Induction of
General Anesthesia
“I
Airway approached Airway secured
by noninvasve by Imbal intubation Initial intubation
intubation invasve access' attempts attempts UNSUCCESSFUL
successful' FROM THIS POiNT ONWARD
Succeed' CONSIDER:
1 Calling for help.
if- | FAIL
~lf 2 Returning to spontaneous
Cancel Consider feasibility Invasive ventilation 3. Awakening the
airway case of other options11 access11' patient
r h
ventilation0
r }
-1
Successful intubation* FAIL after multiple attempts —| |— Successful ventilation' FAIL -*■
Emergency
^ ^ invasive
airway
3
access*
Invasive airway ventilation15' Consider feasibility of other options3 Awaken patieril
'
d
Copyright ©2006 by The McGraw-Hill Companies, Inc. All
rights reserved.
DAFTAR PUSTAKA
1. Stoelting RK. Airway Management. In: Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anesthesia.
5th. ed. Philadelphia: Churchill Llvlngstones, 2007:207-39.
2. Willson W.C, Bemenof J.L. Respiratory Physiology and Respiratory Function During
Anesthesia. In: Miller RD. Miller's Anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Churchill
Livingstones, 2005:679-718
3. Ellis H, Feldman S, Griffiths WH. The Respiratory Pathway. In: Anatomy for
Anaesthetists. 8th ed. Massachusetts: Blackwell Publishing, 2004:10- 55.
4. Barash P, Cullen BF, Stoelting RK. Airway Management. In: Barash P. ed. Clinical
Anesthesia. 4th ed. Philadelpia: Lippincott Williams & Wilkins, 2001:441-66.
5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Airway Management. In: Morgan GE. ed. Clinical
Anesthesiology. 4th ed. Philadelpia: McGraw-Hill Companies, 2006.
BAB XI
INTUBASI ENDOTRAKEA
Doso Sutiyono, Yulia Wahyu Villyastuti, Danu Susilowati
SEJARAH
SEKITAR tahun 600, seorang muslim menggunakan pipa untuk mempertahankan jalan nafas dengan menggunakan perak,
dilanjutkan William MacEwen (1948-1924) di Glasgow pada tahun 1878 memasukkan pipa ke dalam trakea untuk
mempertahankan jalan nafas pada pasien obstruksi karena dipteri. Barthélémy, dari Perancis menggunakan kateter karet
dimasukkan ke dalam trakea sebagai penghantar kloroform di saat operasi. Samuel James (1851- 1920} dari Amerika Serikat
menggunakan pipa kecil yang dimasukkan sampai dengan karina sebagai penghantar gas anestesi. Pipa dengan cuff diperkenal-
kan oleh Ralp Milton dan Arthur Guedel pada tahun 1928. Balon Pilot diterangkan oleh Victor Eisenmenger (1864-1932).1
DEFINISI
ET untuk orang dewasa memiliki sistem inflasi cujf yang terdiri dari katup, balon pilot, infiating tube, dan cuff. Katup
berfungsi untuk mencegah hilangnya udara setelah ct/J^diinflasi. Balon pilot sebagai indikator inflasi cuff. Infiating tube
menghubungkan katup dengan cuffdan dibuat menempel pada dinding ET.2
Cujfjf/balon dekat ujung distal ET dibuat menjadi satu dengan ET. Fungsi utama ct#adalah memberikan tekanan positif dan
mengurangi resiko aspirasi dan mencegah kebocoran udara nafas saat dilakukan tekanan positif, hal ini terjadi setelah cuff
dikembangkan sampai tidak terdengar lagi suara nafas.2,3
1Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa endotrakea {Endotrachéal Tube/ET) ke dalam trakea melalui hidung atau
mulut. ET dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi.
Endotrachéal Tube sesuai dengan namanya adalah pipa kecil yang dimasukkan ke dalam trakea, tindakannya dinamakan Intubasi
Endotrakea.1
Cuff diinflasi sampai dengan tidak ada udara inspirasi yang bocor, tetapi dapat mencegah dari aspirasi dan tidak
menimbulkan kerusakan dari dinding mukosa.
Tube non cuff digunakan pada anak untuk mengurangi resiko trauma tekanan dan batuk setelah intubasi. ET r\or\-cuff
digunakan untuk anak kurang dari 8 tahun, ini dikarenakan bentuk anatomi subglotis yang sempit.1
Ukuran ET dinyatakan dalam mm berdasarkan diameter internal yang tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French
Unit ET juga mempunyai ukuran panjang dalam cm. ukuran rata-rata untuk wanita ialah 7,0-7,5 mm, sedang untuk pria 7,5-8,0
mm1,3A5,6'7
Ada cara lain dalam menentukan ukuran ET yaitu dengan menggunakan patokan besar jari kecil (kelingking) dari pasien,
sedang kedalaman insersinya yaitu besar diameter internal (ukuran ET) dikalikan tiga. Misalnya ukuran ET nomor 4, maka
kedalaman insersinya 4 x 3 = 12 cm7,8
Tabel 1
Ukuran Rata-Rata ET Sesuai Umur Pasien
Diameter
Umur Internal French Unit (mm) Panjang insersi dari bibir
(mm) ke m/e/trakea (cm)
Prematur 2,5 10-12 10
Aterm 3,0 12-14 11
1-6 bulan 3,5 16 11
6-12 bulan 4,0 18 12
2 tahun 4,5 20 13
4 tahun 5,0 22 14
6 tahun 5,5 24 15-16
8 tahun 6,5 26 16-17
10 tahun 7,0 28 17-18
12 tahun 7,5 30 18-20
>14 tahun 8,0-9,0 32-36 20-24
Tabel 2
Pedoman Ukuran ET Oral
KONTRA INDIKASI
191 || Anestesiologi
2. Lubricants/Jeli dan Spray Trakea.
3. Suction Cathether.
4. Spuit (Semprit).
5. Plester.
6. Stilet.
7. Self-refilling bag-valve combination (misalnya Ambu bag) atau bag-valve unit (Ayres
bag), konektor, tube, sumber oksigen.
8. Laringoskop dengan blade lengkung (tipe Macintosh) atau lurus (tipe Miller)
disesuaikan dengan pasien.
9. ET dengan berbagai ukuran.
10. Nasofaringeal airway atau orofaringeal airway.
11. Sarung tangan.
Prosedur Persiapan
Ketika akan melakukan intubasi pada pasien, pastikan akan dilakukan dengan aman,
ini dapat diingat dengan kata SALT.
Suction. Ini sangat penting, sering pada pasien terdapat material yang membuat
kesulitan visualisasi plika vokalis. Aspirasi pulmo harus dihindari.
Airway. Alat airway oral adalah alat yang dapat mengangkat lidah dari faring
posterior, alat ini sering memudahkan untuk ventilasi sungkup. Ketidakmampuan untuk
memberikan ventilasi kepada pasien adalah suatu yang buruk. Juga sumber 02 dengan
mekanisme penghantar (ambu-bag atau sungkup) harus ada.
Laryngoscope atau laringoskop. Pencahayaan alat ini penting untuk menempatkan
ET.
Tube endotrakea yang sesuai.
Gambar
3 - - +
4 -
Vocal cords
Gradasi Epiglottis
3 dan 4 diperkirakan akan menyulitkan intubasi trakea.
Hard palate
Indikasi:
Operasi intra oral dan operasi plastik daerah wajah.
Jika terdapat bentuk anatomis abnormal atau penyakit jalan nafas atas yang
membuat kesulitan laringoskopi direk.
Ankilosis sendi temporomandibuler.
196 ||
Anestesiologi
Kondisi yang menyebabkan tak memungkinkan untuk dilakukan laringoskopi direk.
Repair fraktur rahang.
Kondisi yang menyebabkan tidak memungkinkan intubasi oral, misalnya pada pasien
yang terpasang kawat pada rahang atas dan bawah. Sindroma Piere Robín, di mana
terdapat hipoplasia mandíbula, mikrognatia, palatosisis, lidah terletak di belakang
(glossoptosis) dan epigotis kecil.
Keuntungan:
Fiksasi ET lebih stabil.
Lebih nyaman pada pasien sadar.
Lebih sedikit sekresi orofaring.
Kerugian:
Teknik lebih sulit dan lebih lama.
Lebih traumatik (epistaksis).
Resiko kuman hidung masuk ke dalam trakea.
Tidak cocok untuk penguasaan jalan nafas darurat pada pasien asfiksi.
1. http://www.fpnotebook.com
2. Atkinson et al, Tracheal Intubation In A synopsis of Anaesthesia. 11th edition. NBristol:
P G Limited, 1990.
3. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesblogy. Prentice-Hall International Inc.,
1992:47-65.
4. Stoelting RK. Endotracheal Intubation. Dalam: Miller RD. Anesthesia. New York:
Churchill Livingstone, 1990:523-45.
5. Ovassapian A, Meyer RM. Airway Management. Dalam: Longnecker DE, Murphy FL.
Introduction to Anaesthesia. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1989:146-57.
6. Lee JA. Synopsis of Anaesthesia. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1999: 233-54.10.
Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anaesthesiology. Prentice- Hall International Inc.,
1992:47-65.
TERAPI OKSIGEN
Widya Istanto Nurcahyo, Danu Susilowati,
Doso Sutiyono
200 11 Anestesiologi
Anatomi Saluran
NafasTraktus respiratorius dimulai dari kedua lubang hidung (nares anteriores) dan
berakhir dalam alveoli di paru-paru. Saluran pernafasan dibagi menjadi dua yaitu saluran
nafas bagian atas dan saluran nafas bagian bawah di mana keduanya dipisahkan oleh batas
setinggi plika vokalis.
Saluran nafas atas, terdiri atas:
1. Hidung dan rongga hidung:
Persarafan dari hidung ada dua:
a. N. Olfaktorius: mensarafi mukosa olfaktoris
b. N. Trigeminus (nervus cranialis V). Mensarafi mukosa hidung.
Suplai darah ke daerah hidung berasal dari a. oftalmika, a.maksilaris dan
a. fasialis.
Soft paiate
Oropharynx
Epiglottis
Vocal cords
201 11 Anestesiologi
Nasofaring : Bermula dari koana dan berlanjut ke orofaring sampai setinggi palatum
mole.
Orofaring : Kelanjutan dari nasofaring dan berlanjut sebagai laring- ofaring sampai
batas setinggi tepi atas epiglotis. Laringofaring : Dimulai dari sekitar anterolateral
laring samapai lamina kartilago tiroid.
Persaratan Faring:
Suplai untuk sensoris, motoris dan otonom berasal dari pleksus faringeus. Suplai
darah untuk faring berasal dari a. faringeal ascenden, a.thyroidea superior, aJingualis,
a.Fasialis dan a. Maksilaris di mana semuanya merupakan cabang a. Karotis eksterna.
4. Laring
Soft paiate
Oropharynx
Epiglottis
Vocal cords
Terdiri atas plica vocalis untuk proses fonasi dan organ yang berfungsi sebagai
spinkter untuk mencegah aspirasi. Tulang rawan utama dalam faring:
a. Kartilago tiroid (adam's apple): paling besar dan paling superior.
b. Kartilago aritenoid (sepasang).
c. Kartilago kornikulata (sepasang).
d. Kartilago krikoid.
Antara tulang rawan tiroid dan krikoid terdapat membran krikotiroid yang sering kali
untuk melakukan tindakan krikotiroidotomi pada keadaan emergensi bila terjadi
sumbatan pada saluran nafas atas. Plika vokalis menutup sebagian saat inspirasi dan
relaks mendekati garis
tengah saat ekspirasi. Glotis merupakan ruang antara plika vokalis. Selam proses
menelan epiglotis menutup ke bawah sehingga mencegah material masuk laring.
Saluran Nafas Bawah
Epiglottis -
Body of hyoid bone
Body of hyoid bone Thyrohyoid
Cuneiform membrane Fatty pad
Thyroid cartilage Vestibular fold (false
cartilage
vocal cord)
Laryngeal prominence Corniculate cartilagi
Thyroid cartilage
(Adam's apple) Arytenoid cartilage vocal fold (true vocal
Cricothyroid ligament— Arytenoid muscle - cord) Cricothyroid
Cricotracheal ligament
—,-----Cricoid cartilage--------- ligament Cricotracheal
ligament
I_____—Tracheal cartilages
(a)
Base of
tongue
Epiglottis
False vocal
cord True
vocal cord
Glottis
fa)
0)
Saluaran nafas bagian bawah terdiri atas serangkaian tuba yang dibagi menjadi
cabang-cabang seperti pohon yang menjadi lebih sempit, lebih pendek dan menjadi lebih
banyak cabangnya menembus ke paru-paru. Saluran ini berfungsi sebagai saluran udara
dan memberikan pertahanan mukosilier dan yang paling penting adalah untuk pertukaran
gas eksterna. Dibagi menjadi;
a. Saluran penghubung: daerah nonalveolet
Kurang lebih cabang trakheobronkial cabang 16 pertama, tidak terlibat secara
langsung pada pertukaran gas namun sebagai daerah penghubung. Volumenya berkisar
150 ml dan dikenal sebagai dead space anatomi.
Trakhea tersusun atas tulang rawan berbentuk C meluas mulai dari kartilago krikoid
hingga bercabang menjadi cabang bronkus utama setinggi
karina.Bagian belakang trakhea dibentuk oleh otot polos
dan terletak serta berbatasan dengan oesofagus. Penekanan
yang berlebihan membran ini oleh cuff pada pemberian
saluran nafas artifisial (pemasangan ET) akan menimbulkan
erosi.
Trakhea dibagi menjadi dua cabang bronkus utama kanan dan kiri. Di mana bronkus
kanan lebih vertikal dari yang kiri sehingga insiden aspirasi dan arah tuba saat intubasi
cenderung ke dalam bronkus kanan jika masuk terlalu dalam. Sedang bronkus utama yang
kiri lebih kecil, lebih pendek lebih horisontal.Daerah dari paru di mana bronkus, saraf,
pembuluh darah dan pembuluh limfe meninggalkan mediastinum disebut hilus.
Setelah menembus paru, bronkus utama kanan dibagi menjadi 3 untuk lobus atas,
tengah dan lobus bawah. Sedang bronkus utama kiri dibagi menjadi lobus atas dan bawah
bronkus akan berlanjut menjadi bronkiolus atau bronkiolus terminalis.
Figure 10.1 Anatomy of the tracheobronchial tree. (After Gothard J, KelleherA. Essentials of cardiac and thoracic
anaesthesia. Oxford: Butterworth Heinemann: 1999, with permission.)
Otot Pernafasan
a. Otot-otot Inspirasi:
Diafragma: penopang terbesar, m.
Intercostalis externa, m. Scaleni.
m. Sternocleidomastoideus.
b. Otot-otot ekspirasi:
m. Intercostalis interna.
205 11 Anestesiologi
m. Obliqus externa dan m.obliqus interna, m.
Rectus abdominis. m. Tranversus abdominis.
Kontrol Pernafasan
Ventilasi dikontrol oleh beberapa proses yang kompleks yang memastikan
tersedianya oksigen yang adekuat untuk metabolisme dan di mana produk metabolisme
karbondioksida dikeluarkan dan terpeliharanya keseimbangan asam basa. Pernafasan
terutama dikontrol oleh proses humoral melalui aksi rangsangan kimia pada pusat nafas di
batang otak.
Kontrol Volunter: Pusat kortek
Pada keadaan tidur atau konsentrasi kerja, regulasi sadar nafas diatur oleh korteks
serebri. Yaitu oleh korteks motorik dan area limbik. Sehingga melalui jalur ini
memungkinkan seseorang untuk hiperventilasi secara sadar, menahan nafas, merubah pola
nafas, nyanyi, berbicara.
Kontrol involunter: Medulla, Pons, Pusat di perifer
Dalam susunan saraf pusat ada tiga pusat nafas involunter: dua di pons dan satu di
medulla oblongata. Input yang datang ke pusa ini berasal dari propioseptif dan
kemoreseptor perifer melalui N. Vagus dan N. Glosofaringeus. Aktivitas eferen melalui N.
Frenikus ke diafragma dan nervi interkostales 1-12 ke otot interkostal.
Pusat medulla merupakan pusat koordinasi utama dari semua sumber input dari
sumber lain yang terlibat dalam kontrol ventilatori. Pusat inspirasi dan ekspirasi terletak
dalam medulla, sedangkan di pons terletak pusat apneustik (meningkatkan dalamnya nafas
dan inspirasi yang lama) dan pneumotaksik (menghambat inspirasi).
Reseptor perifer terletak pada arkus aortikus dan bifurkasio antara karotis interna
dan eksterna di mana jaringan ini bertindak sebagai kemoreseptor yang sensitif terhadap
kadar oksigen, karbondioksida dan ion hidrogen dalam darah. Impuls dari badan karotis ke
medula dikirim melalui N. Glosofaringeus dan yang berasal dari badan aortikus melalui N.
Vagus.
Kontrol Humoral terhadap Ventilasi
Pernafasan terutama dikontrol oleh mekanisme umpan balik yang melibatkan aksi
rangsangan kimia pada kemoreseptor di batang otak dan perifer.
Kemoreseptor Pusat
Terletak dalam medulla terutama dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen (pH)
cairan LCS. Peningkatan PaC02 menyebabkan peningkatan maksimal konsentrasi ion
hidrogen dalam LCS. Ketika pusat nafas terangsang oleh penurunan pH karena peningkatan
konsentrasi ion hidrogen maka akan terjadi peningkatan dalam dan kecepatan respirasi,
begitu sebaliknya jika terjadi alkalosis akan terjadi penahanan nafas. Pusat kemoreseptor
tidak respon terhadap kadar p02 yang rendah.
Kemoreseptor Perifer
Kemoreseptor perifer sangat sensitif baik terhadap penurunan tekanan maupun isi
oksigen dalam darah. Hipoksemia akan meningkatkan aktivitas reseptor perifer yang
selanjutnya akan meningkatkan dalam dan kecepatan nafas. Tekanan oksigen yang tinggi
akan mengakibatkan hipoventilasi ringan akan tetapi proses ini pada umumnya akan
tumpang tindih dengan respon pusat nafas dengan terhadap kenaikan pC02. Kemoreseptor
perifer juga berespon terhadap peningkatan pC02 dan konsentrasi ion hidrogen dengan
meningkatkan ventilasi namun hal ini kurang sensitif dibandingkan dengan reseptor pusat.
TINJAUAN FISIOLOGI
Ventilasi
Tujuan dari proses ventilasi adalah menyediakan udara segar ke dalam paru, untuk
ditukar pada membran alveolo-kapiler. Prinsip dasar yang melandasi pergerakan gas adalah
adanya perbedaan tekanan di mana gas akan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan yang
lebih rendah. Tekanan fisiologik berhubungan dengan aliran gas ke dalam dan keluar paru
pada tekanan atmosfer, tekanan intrapleura, tekanan intrapulmoner dan tekanan
transpulmoner.
Pada keadaan istirahat tekanan dalam paru sama dengan tekanan atmosfer. Ketika
inspirasi spontan dimulai, akan terjadi kontraksi diafragma dan otot inrtkostalis eksterna.
Dari hasil kontraksi ini akan memperluas rongga dada. Karena rongga dada bertambah
besar maka tekanan intrapulmoner menjadi negatif sehingga udara akan mengalir ke dalam
paru. Proses inspirasi merupakan proses aktif yang memerlukan energi. Diafragma
bertanggung jawab 60% udara ventilasi pada posisi supine dan 70% pada posisi tegak.
Sedang proses ekspirasi merupakan proses pasif yang terjadi karena adanya daya
recoil paru. Bila proses inspirasi berakhir maka rongga dada akan kembali ke ukuran semula.
Transport Oksigen
Sistem kardiovaskuler bekerja sama dengan sistem respirasi dalam transport oksigen
dari udara lingkungan ke mitokondria sel. Oksigen dala darah ditransport dalam dua bentuk
yaitu terlarut dalam plasma (Pa02) dan terikat dengan hemoglobin. Setiap 100ml darah
yang meninggalkan kapiler paru secara kasar, membawa 20 ml oksigen. Dari jumlah ini
hanya sekitar 0.3 ml terdiri atas molekul oksigen yang larut dalam plasma. Oksigen diikat
oleh Hb, terutama oleh ion besi dari unit heme. Masing-masing unit heme mampu
mengikat 4 molekul oksigen untuk membentuk oksihemoglobin, di mana ikatannya bersifat
réversible. Setiap sel darah merah mempunyai 280 juta molekul hemoglobin. Setiap
molekul hemoglobin mempunyai 4 unit heme. Setiap sel darah merah potensial dapat
membawa lebih dari milyaran molekul oksigen.
Prosentase unit heme yang mengandung oksigen terikat, dikenal sebagai saturasi
hemoglobin (Sat02). Jika semua molekul Hb dalam darah penuh berisi oksigen, saturasinya
adalah 100%. Kebanyakan oksigen dalam tubuh (97%-98%) ditransport dalam bentuk
terikat dengan hemoglobin.
Molekul hemoglobin tersusun atas 2 bagian dasar. Bagian protein atau globin dibuat
oleh rantai polipeptida identik: 2 rantai J3dan 2 rantai @. Tiap rantai tersebut mengandung
satu kelompok heme yang mengandung besi, bertindak sebagai pembawa réversible satu
molekul oksigen. Sehingga tiap molekul hemoglobin dapat mengikat 4 molekul oksigen.
Ikatan oksigen merupakan fungsi dari konsentrasi oksigen, kapasitas bawa oksigen oleh
hemoglobin 1,34 ml 02per 100 ml darah dan saturasi oksigen Hb (Sa0 2) menurut
Ikatan 02 = (Hb XSa0 2 X 1,39)
persamaan:
Bila P02 tinggi, seperti dalam kapiler paru, oksigen berikatan dengan Hb, tetapi bila
P02 rendah seperti pada kapiler jaringan oksigen dilepaskan dari hemoglobin.
Kurva Disosiasi Oksihemoglobin
Untuk dapat mengetahui kapasitas angkut oksigen dengan jelas maka kita harus
mengetahui afinitas oksigen untuk jaringan maupun pengambilan oksigen oleh paru-paru,
yang sangat tergantung pada hubungan tersebut. Ketika sel darah merah melalui kapiler
alveoli, oksigen akan berdifusi ke plasma dan meningkatkan Pa02. Oksigen berdifusi dan
berikatan dengan hemoglobin.
Kurva dissosiasi oksihemoglobin menghubungkan saturasi hemoglobin dengan PO*
Penurunan afinitas oksigen paling sering dikenal dengan pergeseran kurva dissosiasi oksigen
ke kanan. Peningkatan afinitas oksigen paling sering dikenal dengan pergeseran kurva
disosiasi ke kiri.
Jika darah menjadi sedikit lebih asam, dengan penurunan pH, maka akan terjadi
pergeseran kurva disosiasi oksihemoglobin ke kanan, jadi afinitas Hb terhadap oksigen
menurun, tapi pelepasan oksigen ke jaringan lebih mudah, dan bila terjadi peningkatan pH
kurva akan bergeser ke kiri, di mana afinitas Hb terhadap oksigen lebih tinggi, namun
oksigen lebih susah dilepas ke jaringan oleh Hb. Selain pH, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi kurva bergeser ke kanan:
1. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida.
2. Peninggian temperature darah.
3. Peningkatan 2,3 difosfogliserat (DPG) yaitu senyawa yang secara normal berada
dalam darah yang berfungsi mengurangi afinitas Hb terhadap oksigen.
Keadaan yang menggeser kurva ke kiri adalah Peningkatan pH, penurunan suhu,
penurunan konsentrasi C02, dan penurunan 2,3 DPG. Adanya hemoglobin fetus dalam
jumlah besar dalam darah juga akan menyebabkan kurva bergeser ke kiri.
The nxyhacmoglobin dissociation curves for normal adult haemoglobin at
o
J5
a>
r J.
0 ■
0 5 10 150
Oxygen tension (kPa)
normal pH and n-ith acidosis and alkalosis.
Fig. 9.10
'n,- ..... .i_________
TERAPI OKSIGEN
Tujuan:
1. Mempertahankan oksigen jaringan yang kuat.
2. Menurunkan kerja nafas.
3. Menurunkan kerja jantung.
Indikasi Terapi Oksigen:
1. Gagal nafas akut,
2. Syok oleh berbagai penyebab,
3. Infark miokard akut,
4. Keadaan di mana metabokisme rate tinggi (tirotoksikosis, sepsis, hipertermia),
5. Keracunan gas CO (karbonmonoksida),
6. Tindakan preoksigenasi menjelang induksi anestesi,
7. Penderita tidak sadar,
8. Untuk mengatasi keadaan-keadaan: enfisema pasca bedah, emboli udara,
pneumothoraks,
9. Asidosis,
10. Anemia berat.
Pemberian oksigen selalu tepat untuk pasien dengan gangguan sirkulasi atau nafas
akut dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Tanpa gangguan nafas, oksigen diberikan 2 liter/menit melalui kanul binasai.
2. Dengan gangguan nafas sedang oksigen diberikan 5-6 liter/menit melalui kanul
binasai.
3. Dengan gangguan nafas berat, gagal jantung, henti jantung gunakan sistem yang
dapat memberikan oksigen 100%.
4. Pada pasien di mana rangsang nafas tergantung pada keadaan hipoksia (asma)
berikan oksigen kurang dari 50% dan awasi ketat.
5. Atur oksigen berdasarkan kadar gas darah (P02) atau saturasi (Sa02).
6. Dalam keadaan darurat gunakan alat bantu nafas yang lebih canggih (mis. bangging),
lakukan intubasi dan berikan oksigen 100%.
Persiapan Alat
1. Sumber oksigen (tabung atau sumber oksigen sentral).
2. Tabung pelembab (humidifer).
214 ||
Anesteslologl
Sungkup Muka dengan Kantong Rebreating
Aliran yang diberikan 6-10 liter/menit degan konsentrasi oksigen mencapai 80%.
Udara inspirasi sebagian bercampur dengan udara ekspirasi sepertiga bagian volume
ekshalasi masuk ke kantong, dua pertiga bagian volume ekshalasi melewati lubang-lubang
pada bagian samping.
Tabel
Pemberian Oksigen
216 11 Anestesiofogi
Aliran Oksigen Konsentrasi
No Car Pemberian
(Liter/menit) (%FiOz)
1 Nasal kateter/kanul 1-2 24-28
3-4 30-35
5-6 38-44
1. The Respiratory Pathway. In: Ellis H, Feldman S. Anatomy for Aenesthetist. 5th. ed.
oxford: Blackwell scientific; 1993:3-56.
2. Stoelting RK. Lungs. In: Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. 4th. ed.
Philadelphia: Lippincot William & Wilkins; 2006:611-22.
3. Practical Physiology of Th Pulmonary System. In: Pierece LN. Guide to Mechanical
Ventilation and Intensive Respiratory Care. Philadelphia: W.B. saunders; 1995:24-55.
4. Dripps RD, Eckenhoff J, Vandam L. Respiration and Respiratory Care. In: Introduction
to Anesthesia the Principles of Safe Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders WB
Company, 1982:421-42.
5. Guyton Ac, John E Hall,. Ventilasi Paru-paru dan Prinsip-prinsip Pertukaran Gas. Dalam:
Fisiologi Manusia. Edisi III. Alih bahasa: Andrianto P. Jakarta: EGC, 1992: 343-63.
6. Collins VJ. Lungs, In Collins VJ, Editors. Physiologic and Pharmacologic Bases of
Anesthesia. 1st ed. Baltimore: Williams and Wilkins, 1996:1-35.
7. Alan R Aitkenhead, David J Rowbotham, Graha Smith. Respiratory Physiology. In:
218 11 Anestesiologi
Textbook of Anasthesia. 4th ed. Churchill livingstone, 2002:109-118.
8. William C obn, Frederic (Rie) H. Martini, Respiratory System In: Fundamental of
Anatomy & Physiology, Seventh ed. Peurson Benjamin Cummings, 2006:842-846.
9. Mary Fran Hazinski, MSN, RN. Pulmonary Disorders. In: Manual of Pediatric Critical.
Mosby. 1999:289-302.
10. John W. Kret, MD, Robert M Rogers, MD, Approach to the Patient with Acute
Respiratory Failure, In: Ayres SM, grenvik A, Holbrook PR, Shoemaker WC (ed.)
Texbook of Critical Care 3rd ed. Philadelphia: WB saunders company, 1995: 680-97.
11. Willson W.C, Bemenof J.L Respiratory Physiology and Respiratory Function During
Anesthesia. In: Miller RD. Miller's Anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Churchill
Livingstones, 2005:679-718.
12. Terapi Oksigen. Dalam: Rahayoe AF, Djuhana H, Hrmeiwaty E. Advance Cardiac Life
Support. Jakarta: Koka Pusdiklat RS. Jantung Harapan Kita; 2003:59-63.
13. Oxygen Inhalation Thempy. In: Marino PL The ICU Book. 3rd. ed. Philadelphia:
lippincott Williams & Wilkins; 2007:403-19.
PENDAHULUAN
tidak akan mati karena overdosis analgetika atau sedativa, tetapi akan mati karena overdosis anestetika di jantung, kekurangan
perfusi di otak, kekurangan oksigen dalam darah, pendarahan hebat, depresi ventilasi atau salah transfuse.3
Pada pasien sadar dengan orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik, maka oksigenasi otaknya dapat dikatakan
adekuat. Pada pasien yang teranestesi, pemantauan sistem saraf pusat (SSP) dilakukan terhadap tingkat kedalaman anestesia,
yang antara lain dapat dilihat pada perubahan tekanan darah, nadi, pernafasan, pupil, refleks-refleks, pergerakan bola mata dan
kesadaran.2,6
Dalam prakteknya, pasien diberikan anestesia pada stadium tertentu, kemudian kita dapat melihat respon terhadap
rangsang operasi. Kalau tingkat anestesia terlalu ringan, nafas akan bertambah dalam dan cepat, tekanan darah meningkat dan
nadi bertambah cepat atau sebagian anggota badan bergerak. Jika hal ini terjadi, maka konsentrasi obat anestesi inhalasi harus
dinaikkan atau obat anestesi intravena ditambah.2,6
Pemeriksaan elektroensefalogram (EEG) dapat pula menggambarkan tingkat kedalaman anestesia.2,5,6 Elektroensefalogram
biasanya digunakan selama tindakan pembedahan serebrovaskuler, bypass kardiopulmoner dan teknik hipotensi kendali untuk
mengetahui keadekuatan oksigenasi serebral. Setiap obat anestesi mempunyai pengaruh neuroelektrik tertentu yang dipengaruhi
oleh struktur kimia obat tersebut.4
Interpretasi EEG tidak mudah dan memerlukan pengalaman tersendiri. Keadaan hipoksia, hiperkarbia, hipotensi,
hiperglikemia dapat memberikan perubahan gambaran EEG yang tidak jauh berbeda dengan gambaran obat anestesi yang
digunakan. Keakuratan dari pemeriksaan EEG patut dipertanyakan jika digunakan pada penderita yang telah mengalami
kerusakan pada otaknya, misalnya stroke. Hal-hal inilah yang membatasi penggunaan dari pemeriksaan EEG.2,5,6
220 11 Anestesiologi
PEMANTAUAN SISTEM KARDIOVASKULER
Secara prinsip tujuan dari pemantauan kardiovaskuler selama anestesi adalah untuk memastikan bahwa pasien tidak
mengalami gangguan penyediaan oksigen. Hal ini merupakan hasil daripada curah jantung, konsentrasi hemoglobin dan saturasi
hemoglobin. Secara klinis, konsentrasi dan saturasi hemoglobin dari pasien dapat kita lihat atau kita perkirakan dengan melihat
Nilai tekanan darah dinyatakan dalam mmHg atau torr2"5,7. Tekanan tertinggi disebut
sebagai tekanan darah sistole dan tekanan terendah disebut diastole. Tekanan arteri rerata
(TAR) atau mean arterial pressure (MAP) dapat dihitung dengan rumus tekanan diastole
+1/3 (tekanan sistole-tekanan diastole) atau {(tekanan sistole + 2 tekanan diastole): 3 }.2
Teknik pengukuran
a. Metode palpasi
Sebelum melakukan pengukuran, kita harus menentukan terlebih dahulu denyut
arteri perifer yang dapat dirasakan. Setelah itu, kita kembangkan kaf sampai denyut nadi
tidak teraba. Perlahan-lahan kaf kita kempeskan sampai teraba kembali denyut nadi.
Tekanan sistolik terbaca saat arteri terasa berdenyut untuk pertama kali. Tetapi oleh karena
ketidaksensitifan perabaan kita dan adanya perbedaan waktu antara aliran di bawah kaf
dan pulsasi pada sebelah distal, maka kita tidak dapat menentukan tekanan diastolik dan
tekanan arteri rerata.2'5'7
b. Metode "flush"
Metode ini biasanya dilakukan pada bayi atau anak-anak. Lengan atas pasien
ditinggikan agar darah turun, kemudian kaf dikembangkan sampai tidak teraba denyut nadi.
Perlahan-lahan kaf dikempeskan sampai lengan berwarna merah kembali. Saat perubahan
warna inilah menunjukkan tekanan sistolik.2
c. Metode korotkoff atau auskultasi
Teknik yang digunakan pada metode Korotkoff atau auskultasi hampir sama dengan
metode palpasi, hanya ditambah stetoskop yang ditempatkan di sekitar arteri brakialis.
Tekanan sistolik ditunjukkan saat pertama kali bunyi nadi terdengar dan tekanan diastolik
adalah saat bunyi tersebut menghilang. Bunyi Korotkoff biasanya sulit didengarkan jika
terjadi keadaan hipotensi atau vasokonstriksi pembuluh darah perifer.25'7
224 11 Anestesiologi
Gambar 3
Manset (kaf) sebaiknya 20%-50% lebih lebar dari diameter anggota gerak pasien 4
d. Metode doppler
Metode ini sangat baik digunakan pada pasien dengan kegemukan, pasien anak-anak
atau pasien yang dalam keadaan syok. Prinsip dari alat ini adalah pulsasi dari dinding arteri
atau pergerakan darah yang melalui suatu transduser memancarkan suatu gelombang
ultrasonik. Mula-mula kaf dipompa sampai melewati batas tekanan sistolik. Perlahan-lahan
kaf dikempeskan dan setelah melalui batas tekanan sistolik, dinding arteri akan berpulsasi
dan akan diteruskan melalui transduser. Penempatan probe harus tepat di atas arteri
(Gambar 4). Pada metode Doppler, tekanan yang dapat diukur hanyalah tekanan sistolik
saja.4,7
\
\
A
225 11 Anestesiologi
--- Brachial artery
17
0
Gambar 4
Probe Doppler harus selalu tepat di atas arteri agar pengukuran tekanan darah akurat.4
e. Oskilometer
Pulsasi arteri akan menyebabkan oskilasi pada tekanan kaf. Oskilasi ini kecil apabila
kaf dikembangkan di atas tekanan sistolik. Saat tekanan kaf turun sampai tekanan sistolik,
pulsasi akan dihantarkan ke seluruh kaf dan oskilasi akan meningkat. Oskilasi maksimal
terjadi saat mencapai tekanan arteri rerata, setelah itu akan turun kembali. Monitor
tekanan darah elektronik akan secara otomatis mencatat perubahan gelombang oskilasi ini
(Gambar 5). Monitor oskilometer sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang menjalani
pembedahan bypass kardiovaskuler. Sampai sekarang ini, peralatan oskilometer ini masih
terus dikembangkan, dan di Amerika Serikat menjadi pilihan dalam pemantauan tekanan
darah non-invasif.2 57
4. Elektrokardiografî (EKG)
Semua pasien yang menjalani tindakan anestesi harus selalu dipantau gambaran
elektrokardigramnya. Tidak ada kontraindikasi dalam pelaksanaan tindakan ini. Gambaran
EKG menunjukkan aktivitas listrik dari jantung. Selama tindakan anestesi, EKG dipakai untuk
pemantauan kejadian disritmia kordis, iskemia miokard, perubahan elektrolit, henti jantung
dan aktivitas alat pacu jantung.4
226 11 Anestesiologi
Cuff
pressure
Gambar 5
Gambaran Perubahan Gelombang pada Oskilometer4
Pada umumnya digunakan lead I atau lead II untuk memantau kejadian disritmia
kordis.2-5'7 Standar yang digunakan untuk pemantauan EKG adalah penempatan three-limb
lead (Gambar 6).4 Konfigurasi CM5 yaitu elektroda negatif pada ruang interkostal 1 atau 2
sebelah kanan manubrium sterni dan elektroda positif pada ruang interkostal 5 garis aksiler
kiri, ideal untuk mendeteksi adanya iskemia subendokardial yang sering terjadi (Gambar 7)
4
Meskipun EKG merupakan pemantauan yang harus dilakukan dalam tindakan anestesi,
tapi tindakan ini hanya dapat memantau frekuensi dan irama nadi dari penderita. Aktivitas
listrik masih dapat muncul tanpa adanya curah jantung, seperti contohnya pada tamponade
jantung atau syok hipovolemikyang berat.5
Gambar 7
Konfigurasi Lead CM5 pada Pemeriksaan EKG.5
B. Pengukuran secara Invasif2'5'8 1.
Kateterisasi arteri
Indikasi dari pemantauan tekanan darah dengan menggunakan kateterisasi arteri
adalah:4
a. Tindakan anestesi dengan hipotensi buatan,
b. Antisipasi pada tindakan pembedahan dengan perubahan tekanan darah yang cepat,
c. Tindakan pembedahan yang memerlukan pemantauan tekanan darah dengan tepat
secara cepat,
d. Pemantauan analisa gas darah secara berkala selama tindakan pembedahan.
Tindakan kateterisasi arteri ini dikontraindikasikan pada pembuluh darah yang tidak
terdapat kolateral atau pada pasien yang sebelumnya dicurigai adanya insufisiensi pembuluh
darah pada anggota gerak tubuh (misalnya Raynaud's phenomenon).4
Pada kondisi yang normal, tekanan darah intra arteri 2-8 mmHg lebih tinggi
dibandingkan tekanan darah yang diukur secara tidak langsung (metode non- invasif). Tetapi
pada keadaan kritis, tekanan darah arteri dapat 10-30 mmHg lebih tinggi.8
Arteri radialis merupakan arteri yang sering untuk pelaksanaan kanulasi. Selain letaknya
yang superfisial juga karena memiliki banyak kolateral. Arteri lain yang dapat digunakan untuk
kanulasi adalah arteri ulnaris, arteri brakialis, arteri femoralis, arteri dorsalis pedis dan arteri
tibialis posterior serta arteri aksilaris.2'5'8
Teknik untuk melakukan kanulasi arteri radialis dapat diuraikan seperti berikut ini3'4'8
(Gambar 8):
a. Posisikan pergelangan tangan terlebih dahulu dalam keadaan supinasi dan ekstensi
untuk memudahkan meraba arteri radialis. Sebelumnya siapkan terlebih dahulu
semprit yang berisi heparin 0, 5-2 U/ml dalam larutan NaCI.
b. Lakukan palpasi untuk menentukan letak arteri radialis, setelah itu lakukan desinfeksi.
Infiltrasi daerah yang akan ditusuk dengan lidokain menggunakan semprit dengan
jarum 25 G atau 27 G.
c. Kateter intra arteri ukuran 18 G, 20 G atau 22 G ditusukkan dengan kemiringan 45°.
d. Setelah tampak darah mengalir melalui kateter, posisi kemudian diubah menjadi 30°
dan didorong masuk kira-kira 1-2 mm ke dalam lumen arteri.
e. Dalam posisi tetap, kateter kemudian didorong masuk ke lumen arteri dengan jarum
tetap di luar.
f. Tekan bagian proksimal arteri dengan dua jari, lepas jarum kateter, kemudian
masukkan heparin yang telah disiapkan. Hubungkan dengan jalur infus yang telah
dipersiapkan dengan hati-hati. Amankan kateter dengan menggunakan plester agar
tetap di tempatnya.
Komplikasi yang dapat timbul dari tindakan kanulasi intra arteri adalah hematom,
perdarahan, trombosis arteri, pembentukan pseudoaneurisma arteri, vasospasme, emboli
230 11 Anestesiologi
Pada pengukuran tekanan vena sentral, ujung kateter harus berada di atas atau tepat
pada pertemuan vena kava superior dan atrium kanan. Oleh karena lokasi ini
menggambarkan ujung kateter pada tekanan intratoraks, maka keadaan inspirasi akan
meningkatkan atau menurunkan tekanan vena sentral, tergantung apakah pernafasan
tersebut dikendalikan atau spontan. Pengukuran dinyatakan dalam water colomn (mmH20)
atau lebih baik dengan transduser elektronik (mmHg), dan sebaiknya diukur selama end-
expiration.4'8 Nilai normal tekanan vena sentral adalah 5-12 mmH20.8
Tindakan kanulasi dapat dilakukan di beberapa tempat. Kateterisasi dengan memakan
waktu yang lama pada vena subklavia akan meningkatkan resiko pneumotoraks selama
pemasangan dan resiko meningkatnya infeksi. Vena jugularis interna kanan akan
menghasilkan kombinasi kemudahan dan keamanan
dalam pemasangan 4'5'8 (Tabel 1). Kateterisasi yang dilakukan pada sebelah
232 11 Anestesiologi
J-wire is inserted Catheter slides over J-wire,
through needie which is subsequently removed
Gambar 9
Teknik Pemasangan Kanulasi Vena Jugularis Interna dengan Teknik Seldinger4
Komplikasi yang dapat terjadi selama tindakan kanulasi vena sentral termasuk di
dalamnya adalah infeksi, emboli udara atau trombus, disritmia (jika ujung kateter masuk ke
atrium kanan atau ventrikel), hematom, pneu- motoraks, hidrotoraks, chylothorax, perforasi
jantung, tamponade jantung, trauma pembuluh darah atau nervus dan trombosis. Komplikasi
ini dapat terjadi bila kita tidak menggunakan teknik yang benar.2'5,8
Tabel 1
Derajat Kemudahan Pemasangan Kateter Vena Sentral4
Tingkat 4 5 1 2 3
keberhasilan
Komplikasi (tergantung
1 2 4 5 3
teknik)
Keterangan: 1: terbaik,
5: terburuk
PEMANTAUAN SISTEM RESPIRASI
Pemantauan secara klinis dari sistem respirasi meliputi pengamatan terhadap
gerakan balon reservasi, warna mukosa bibir dan lidah, penilaian patensi jalan nafas dan
pola respirasi3. Secara fisiologis, respirasi adalah proses pertukaran oksigen, pertukaran
karbondioksida dan pengaturan pH darah. Proses ini terutama meliputi aktivitas respirasi
eksternal (pertukaran gas antara darah dan udara sekitar) dan respirasi internal (pertukaran
gas antara darah dan jaringan)9.
1. Stetoskop prekordial3'4'5'9
Stetoskop prekordial (Wenger chestpiece) terbuat dari metal, sangat bereat dan
berbentuk seperti bel. Stetoskop ini diletakkan diatas dada atau pada suprasternal
match3'4'5'9 (Gambar 10). Meskipun berat disini bertujuan untuk mempertahankan
posisinya saat dipasang, tetapi masih diperlukan perekat dua sisi untuk lebih memperkuat,
disamping untuk memperjelas usara yang keluar4.
Stetoskop ini dihubungkan dengan menggunakan extension tubing ke telinga
dokter anestesi, dan dapat memantau keadaan pasien dan lingkungan kamar operasi
secara bersama-sama3'4'5'9.
Komplikasi yang dapat timbul dari penggunaan alat ini adalah reaksi alergi pada
kulit, abrasi kulit dan rasa sakit saat pelepasan stetoskop dari tubuh pasien4.
234 11 Anestesiologi
2.
Stetoskop esofageal3/4,5,9
Stetoskop esofageal terbuat dari plastik lembut, berbentuk seperti kateter dengan
ujung distal yang dilindungi dengan balon (Gambar 11). Meskipun kualitas pemantauan nafas
dan suara jantung lebih baik dibanding stetoskop prekordial, tapi penggunaannya terbatas
pada pasien yang dilakukan intubasi4.
Gambar 11
Stetoskop Esofageal4
pada cahaya inframerah (960 nm), sedangkan deoksihemoglobin diserap lebih pada cahaya
merah (660 nm) sehingga pada mata telanjang nampak biru atau sianosis (Gambar 13).
Rasio dari penyerapan pada panjang gelombang merah dan inframerah dianalisa oleh
Gambar 12
Probe Oksimeter Denyut pada Anak-anak/Bayi
Hasil yang didapatkan dengan menggunakan oksimeter denyut ini adalah dapat
dipercaya dalam mengukur frekuensi denyut nadi dan tingkat saturasi oksigen hemoglobin
secara non invasif, sehingga alat ini digunakan sebagai peralatan standar dalam
pemantauan selama anestesi.4,5'9'10
Alat oksimeter denyut ini tidak mengukur tekanan parsial oksigen (Pa0 2) dan
tergantung dari letak pada kurva disosiasi oksihemoglobin (Gambar 14), PaO* dapat jauh
berbeda (Tabel 2). Saturasi 95% atau lebih yang terukur dengan oksimeter denyut
merupakan bukti kuat oksigenasi arterial perifer yang adekuat. Oksimeter denyut
memerlukan perfusi perifer yang intak dan tidak mampu membedakan oksihemoglobin
dari karboksihemoglobin maupun methemoglobin, sehingga membatasi kegunaannya
pada penderita yang mengalami vaso- konstriksi hebat dan penderita dengan keracunan
karbonmonoksida.10'11 Penggunaan oksimeter denyut secara khusus dalam praktek
ditunjukkan pada Tabel3.5
Gambar 13
Perbedaan Penyerapan Oksihemoglobin dan Deoksihemoglobin
pada Cahaya Merah dan Infra Merah4
Gambar 14
Kurva Disosiasi Oksihemoglobin
Komplikasi penggunaan oksimeter denyut sangat jarang terjadi, tetapi bila probe
Tabel 2
Perkiraan Tekanan Parsial Oksigen (Pa02) Dibandingkan Tingkat Saturasi
Oksigen (Sa02)11
Tabel 3
Penggunaan Oksimeter Denyut secara Khusus dalam Praktek5
240 11 Anestesiologi
1: Inspiratory baseline
2; Expiratory' upstroke
3: Expiratory plateau
4: Inspiratory downstrokc
vU End-tidal CO, (ETCO,)
Gambar 16
Gambaran Normal Kapnografi12
Gambar 17
Stimulasi Saraf Perifer
A. Nervus U Inaris. B. Nervus Fasialis4
242 11 Anestesiologi
an hipotermi bersifat proteksi untuk otak dan keadaan iskemik jantung karena
menurunkan kebutuhan oksigen untuk metabolisme, tapi hal ini mempunyai efek fisiologik
yang tidak menguntungkan bagi pasien.514 (Tabel4). Terjadinya hipotermi akan meranpang
vasokonstriksi dan menggigil, di mana menggigil merupakan refleks di bawah kontrol dari
hipotalamus. Mekanisme ini adalah untuk meningkatkan core temperature.14 Core
temperature (Central blood temperatur) biasanya turun 1°C-2°C pada satu jam pertama
selama anestesi umum (fase I), kemudian diikuti dengan penurunan secara gradual selama
3-4 jam berikutnya (fase II) dan pada akhirnya berada pada keadaan menetap (fase III) 4
(Gambar 18).
Menggigil dapat menimbulkan efek yang berbahaya. Aktivitas otot yang meningkat
pada akhirnya akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida.1445'16,17,1*
Kebutuhan oksigen otot jantung juga akan meningkat, dapat mencapai 200% hingga 400%.
Hal ini tentunya akan sangat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik yang jelek seperti
pada pasien dengan gangguan kerja jantung15'1*'19 atau anemia berat,14 serta pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif menahun yang berat.15,16
Gambar 18
Pola Penurunan Suhu Selama Anestesia Umum4
Disritmia jantung
Tabel 5
Cara-cara untuk Mencegah Terjadinya Hipotermia14
Perioperatif
Suhu kamar operasi yang nyaman bagi pasien yaitu pada suhu 72°F (22°C).
Humidifikasi dan penghangatan dari campuran obat-obat anestesi inhalasi.
Penggunaan sistem low-flow atau sistem tertutup pada pasien kritis atau pasien
resiko tinggi.
Penggunaan sistem pemanas udara bertekanan.
Pe nggunaan cairan kristaloid intravena yang dihangatkan:
a. Kristaloid untuk keseimbangan cairan intravena.
b. Larutan untuk irigasi luka pembedahan.
c. Larutan yang digunakan untuk prosedur sistoskopi.
Penggunaan larutan irigasi yang dihangatkan pada luka pembedahan atau
prosedur sistoskopi urologi.
Penggunaan penghangat darah untuk pemberian darah dan larutan
kristaloid/koloid hangat atau fraksi darah.
Menghindari genangan air/larutan di meja operasi.
Pemberian dosis kecil obat narkotik pada akhir operasi untuk nyeri operasi dan
encegahan menggigil.
Meperidin adalah obat paling efektif untuk mengurangi menggigil.
Ruang pemulihan yang hangat dengan suhu ruangan 75°F (24°C). Enfluran diduga
berhubungan dengan kejadian menggigil pasca anestesi.
Penghangatan obat anestesi yang digunakan untuk anestesi epidural bisa dilakukan,
meskipun efikasinya belum dapat dibuktikan.
Dikutip dari: Collins VJ. Temperature regulation and heat problems. In: Collins VJ (ed).
Physiologic and pharmacologic bases of anesthesia. Baltimore: William &
Wilkins, 1996: 316-39.
244 11 Anestesiologi
PEMANTAUAN PRODUKSI URIN
Dalam tindakan anestesi, pemantauan produksi urin menjadi hal yang penting.
Produksi urin menggambarkan fungsi sistem urogenital dan secara tidak langsung
menunjukkan keadaan curah jantung, volume intravaskuler dan aliran darah ke ginjal. 4'5
Kateterisasi kandung kemih adalah metode yang paling mudah untuk dilaksanakan.2,4'5
Indikasi untuk dilakukan pemasangan kateter urin adalah pada pasien dengan
penyakit jantung kongestif, gagal ginjal, penyakit hati lanjut atau pasien syok. Selain itu
kateterisasi urin merupakan tindakan yang rutin dilakukan pada pembedahan jantung,
bedah aorta atau pembuluh darah ginjal, kraniotomi, bedah abdomen mayor, pembedahan
dengan waktu lama dan pembedahan yang kemungkinan memerlukan cairan yang banyak
serta pemberian obat diuretik selama pembedahan.4
Kateterisasi kandung kemih biasanya dilakukan oleh dokter bedah atau paramedis
yang terlatih. Komplikasi yang mungkin timbul dari tindakan ini adalah trauma pada uretra
dan infeksi saluran kencing. Pengosongan yang terlalu cepat dari kandung kencing yang
penuh akan dapat mengakibatkan terjadinya hipotensi.4
Jumlah urin yang keluar menggambarkan fungsi dan perfusi dari ginjal. Semua ini
adalah petunjuk keadaan fungsi ginjal, kardiovaskuler dan volume cairan. Urin yang keluar
dianggap baik bila lebih atau sama dengan 0, 5 ml/kgBB/jam, dan bila kurang dari jumlah
tersebut (oliguria) perlu mendapatkan perhatian.4,5
PEMANTAUAN PERDARAHAN
Dalam tindakan pembedahan besar, kehilangan darah menjadi masalah yang
penting. Selama tindakan anestesi dan pembedahan, kita harus menghitung jumlah
perdarahan, baik itu dari botol penghisap, dari kasa operasi yang mengandung darah, dari
kain penutup pasien, dari baju ahli bedah maupun dari darah yang mungkin ada di lantai.
Selain itu kita harus mengamati warna perdarahan apakah merah tua, merah muda atau
hitam.2,5
Pada anak-anak atau bayi, jumlah perdarahan sedikit sudah dapat mengakibatkan
anemia. Sebagai contoh, kehilangan darah sekitar 20 ml pada bayi dengan berat badan 2 kg
sudah menunjukkan kehilangan darah yang banyak.5 Pada pasien dewasa dengan Hb yang
normal, perdarahan sampai 20% volume darah total atau penurunan Hb sampai 9-10 gr%
masih dapat ditoleransi oleh tubuh.2
Penggantian darah yang hilang hendaknya sesuai dengan kebutuhan. Pemberian
darah lengkap memungkinkan terjadinya penyulit lebih besar, seperti infeksi atau kelebihan
volume sirkulasi. Transfusi dengan komponen darah lebih spesifik, sehingga lebih tepat
guna dan lebih ekonomis. Komponen darah yang dapat diberikan antara lain adalah
eritrosit konsentrat (packed red cell), lekosit, trombosit atau plasma.2,5
246 11 Anestesiologi
Kateterisasi kandung kemih adalah metode yang paling mudah dilaksanakan. Jumlah urin
yang keluar menggambarkan fungsi dan perfusi dari ginjal. Semua ini adalah petunjuk
keadaan fungsi ginjal, kar- diovaskuler dan volume cairan. Urin yang keluar dianggap baik
bila lebih atau sama dengan 0, 5 ml/kgBB/jam, dan bila kurang dari jumlah tersebut
(oliguria) perlu mendapatkan perhatian.
Dalam tindakan pembedahan besar, kehilangan darah menjadi masalah yang
penting. Selama tindakan anestesi dan pembedahan, kita harus menghitung jumlah
perdarahan. Penggantian darah yang hilang hendaknya sesuai dengan kebutuhan.
Pemberian darah lengkap memungkinkan terjadinya penyulit lebih besar, seperti infeksi
atau kelebihan volume sirkulasi. Transfusi dengan komponen darah lebih spesifik, sehingga
lebih tepat guna dan lebih ekonomis.[j
TERAPI CAIRAN
1. Elektrolit, terpenting:
Intrasel
K* dan P04- Na+ dan Cl'
Ekstrasel
2. Non elektrolit:
BM kecil Glukosa
BM besar : Protein
Cairan intravaskuler (5% BB) bila ditambah erythrocyt (3% BB) merupakan darah, jadi
volume darah berkisar 8% dari BB.
Jumlah volume darah berdasarkan estimated blood volume (EBV):
Neonatus Bayi 90 ml/kg BB
dan anak 80 ml/kg BB
Dewasa 70 ml/kg BB
Antara cairan intrasel dan ekstrasel dibatasi oleh semipermiable cell membrane, yang
relatif lebih mudah dilalui oleh air. Primary solute yang mempengaruhi osmotic gradient
adalah natrium, di mana natrium ini kadarnya lebih tinggi di dalam cairan ekstrasel (140
mEq/L), sedang di dalam intrasel hanya 10 mEq/L.
Pergerakan sodium di antara kedua kompartemen ini akan mendorong air untuk
melewati membran bersama molekul natrium.
Pada cairan ekstrasel, elektrolit dan tekanan onkotik secara bersama-sama
mempertahankan keseimbangan antara cairan intravaskuler dan interstisial.
Bila terdapat perbedaan konsentrasi protein di antara kedua kompartemen, akan
terjadi perbedaan tekanan onkotik, sehingga akan terjadi perpindahan cairan melewati
membran. Tekanan onkotik ini sangat berperan untuk menjaga keseimbangan antara cairan
intravaskuler dan interstisial. Cairan intravaskuler dan cairan interstisial dibatasi oleh kapiler
yang permeabel terhadap air dan elektrolit, tetapi impermiabel terhadap makromolekul
seperti plasma protein.
Komposisi elektrolit antara cairan intravaskuler dan interstisial relatif sama, tetapi
komposisi protein sedikit berbeda, di mana lebih tinggi pada cairan intravaskuler. Sehingga
protein ini paling berperan dalam tekanan onkotik.
Kompartemen cairan tubuh dipengaruhi oleh tekanan osmotik dan tekanan
hidrostatik. Tekanan hidrostatik ini yang akan mendorong cairan intravaskuler keluar melalui
kapiler menuju interstisial. Sebaliknya tekanan onkotikini akan menarik cairan dari interstisial
ke intravaskuler.
Bila konsentrasi protein intravaskuler turun, maka tekanan hidrostatik lebih besar,
sehingga cairan dari intravaskuler akan keluar ke interstisial. Jadi tekanan onkotik (yang
ditentukan oleh konsentrasi albumin/protein) dapat dianggap sebagai barrier untuk
mencegah keluarnya cairan dari intravaskuler ke interstisial.
PERDARAHAN
Klasifikasi Perdarahan
Variabel Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Sistolik (mmHg) >110 >100 >90 <90
. .Nadi (x/mnt)...................<100................>100................>120.................>140
251 11 Anestesiologi
Nafas (x/mnt) 16 16-20 21-26 >26
Status mental anxious agitated confuse lethargic
Kehilangan darah 750-1500ml 1500-2000ml
Maximal allowable blood loss : (Ht-30)/Ht
<750ml <15% x EBV.
15%30% 30%40% >2000ml >40%
Hematokrit (Ht) normal : 36-45% (40%).
Pada dewasa, perdarahan > 15% EBV harus dilakukan transfusi.
Transfusi dengan:
Whole blood : (Hbx-Hbpasien) x BB x 6 =... ml.
Packed red cell : (Hbx-Hbpasien) x BB x 3 =... ml.
CAIRAN
Berdasarkan jenisnya,
cairan intravena ada 3 macam:
1. Cairan kristaloid
Misal: Na Cl 0,9%, Lactate Ringer, Ringer's solution, 5% Dextrose
2. Cairan koloid
Misal: a. Albumin
b. Plasma protein fraction: plasmanat
c. Koloid sintetik : dextran, hetastarch
3. Cairan khusus
Misal: NaCI 0,9%, mannitol 20% dan sodium bicarbonas.
Berdasarkan tujuan terapi, cairan intravena ada 3 macam:
1. Cairan rumatan (maintenance).
Cairan bersifat hipotonis
Misal: 5% Dextrose, 5% Dextrose in 0,25NS dan 5% Dextrose in 0,5 NS
2. Cairan pengganti (replacement).
Cairan bersifat isotonis.
Misal: Lactate Ringers, NaCI 0,9% dan koloid.
3. Cairan khusus.
Cairan bersifat hipertonis.
Misal: Na Cl 3%, mannitol 20% dan sodium bicarbonas (bic-nat).
252 || Anestesiologi
TERAPI CAIRAN
Cairan resusitasi terbaik, sampai saat ini masih menjadi perdebatan, karena masing-
masing mempunyai keuntungan dan kerugian.
Kontroversi Kristaloid dan Koloid
Kristaloid Koloid
Efek volume intravaskuler lebih baik (efisien, volume
lebih kecil dan menetap lebih
lama).
Efek volume interstisial lebih baik -
D02 sistemik - lebih tinggi
Edema paru + +
Edema perifer sering jarang
Koagulopati - dextran > hetastarch
Aliran urine lebih besar GFR menurun
Reaksi-reaksi tidak ada jarang
Harga murah albumin mahal, non albumin
sedang
KESIMPULAN
1. Resusitasi cairan
a. Kristaloid:
NaCI maksimal 15 ml/kg
Lactate Ringer -> sesuai hemodinamik, walaupun dapat lebih besar dari NaCI.
b. Koloid: pada umumnya, maksimal 20 ml/kg
6%HES0,5 dalam NaCI 0,9% : maksimal 15 ml/kg
SHOCK
Adalah sindroma klinis akibat kegagalan sirkulasi dalam mencukupi kebutuhan oksigen
jaringan tubuh.
Stadium shock
1. Stadium kompensasi
Pada stadium ini fungsi organ vital dipertahankan melalui mekanisme kompensasi
fisiologis tubuh, dengan cara meningkatkan refleks simpatis, sehingga terjadi:
a. Resistensi sistemik meningkat:
Distribusi selektif aliran darah dari organ sekunder ke organ primer (otak,
jantung)
Resistensi arteriol meningkat -> diastolic pressure meningkat.
b. Heart rate meningkat -> cardiac output meningkat
c. Sekresi vasopressin, rennin-angiotensin-aldosteron meningkat ginjal menahan air dan
Na* di dalam sirkulasi
Manifestasi klinis: takikardia, gelisah, kulit pucat dan dingin, pengisian kapiler lambat (>
2 detik).
2. Stadium dekompensasi
Pada stadium ini telah terjadi:
a. Perfusi jaringan buruk -> 02 sangat turun -> metabolisme anaerob -> laktat 'T" -> lactic
256 11 Anestesiologi
Sedangkan Ca02 berkaitan dengan saturasi 02 arterial (Sa02) dan Hb.
V02 (02 uptake = deman = consumption) akan meningkat setelah cardiac output
meningkat, V02 tidak akan meningkat setelah peningkatan Ht pasca transfusi.
D02 akan meningkat bila cardiac output 1\ Obat yang dipergunakan untuk
Cardiac
meningkatkan cardiac output
output akan= meningkatkan
heart rate x stroke
D02.volume
Stroke volume dipengaruhi oleh preload, contractility dan afterload. Transfusi sel
darah merah merupakan standar terapi untuk meningkatkan DOi dengan tujuan untuk
Oxygen extraction
mengoptimalkan V02. ratio (02 ER) = V02/D02 x 100 (n = 0,25-0,30)
Hipovolemik U u U
Kardiogenik u n U
Distributif
Septik u U
Anafilaktik (i (i <=>
Neurogenik u 0 <=>
Obstruktif u ft U
Tabel 2
Tanda-tanda Klinis Hipoperfusi Jaringan dan Disfungsi Seluler
Tekanan darah arteri dan cardiac output rendah, pengeluaran urin sedikit,
penurunan turgor kulit, perubahan status mental.
Asidosis metabolik, defisit basa, bikarbonat serum rendah. Peningkatan laktat
serum. pH intra gastric rendah.
Mixed venous P02 rendah
Tabel3
Determinan Mixed Venous P02
Cardiac Output Pa02
02 dissociation curve shift
Konsumsi 02jaringan (V02)______________________
E. Pengelolaan Syok
1. Pengukuran menyeluruh dilakukan dengan segera termasuk terapi suportif dan
studi diagnostik.
a. Akses intravena (IV) yang adekuat harus terjamin, termasuk saluran IV
perifer kaliber besar mendekati akses sentral, dengan tujuan untuk
memastikan pengaturan volume aliran.
b. Evaluasi jalan napas harus dilakukan karena intubasi endotrakheal dan
ventilasi mekanik mungkin diperlukan ketika terjadi hipoksemia, hiperkarbia,
264 11 Anestesiologi
edema jalan napas atau perubahan status mental.
2. Penggantian volume intravaskuler merupakan dasar dari perawatan hipotensi
dan syok, terutama syok hipovolemik dan syok distributif. Pasien dengan diagnosis
tipe syok yang lain juga memerlukan evaluasi dan optimalisasi status cairan mereka.
Penggantian volume yang tepat membutuhkan pengertian tentang hemodinamik
dan pilihan sistem pengawasan yang tepat. Sayangnya, tidak ada parameter tunggal
yang dapat digunakan sebagai pedoman terpercaya volume resusitasi. Re- susitasi
yang inadekuat dapat terlihat dari hipoperfusi jaringan, tetapi penggantian volume
yang berlebihan dapat menyebabkan edema jaringan, gagal jantung kongestif,
kekacauan metabolisme dan koagulopati.
a. Kristaloid. Larutan kristaloid yang paling sering dipakai adalah Ringer Lactate
dan normal saline. Larutan-larutan ini hampir isotonik, cepat keluar dari ruang
intravaskuler dan volumenya setara % kali defisit intravaskuler yang dibutuhkan
untuk mengembalikan volume sirkulasi. Keuntungan larutan kristaloid
termasuk biaya rendah, penyimpanan yang mudah dan ketersediaan. Larutan
yang mengandung Dextrose tidak boleh digunakan dalam resusitasi volume
karena bahaya hiperglikemia dan kesukaran mengawasi level glukosa darah
dengan tepat selama resusitasi. Sedikit volume Hypertonic saline [3% NaCI)
dapat memenuhi volume intravaskuler tanpa menaikkan volume intravaskuler
secara signifikan dan dapat berguna pada resusitasi pasien dengan/tanpa
cidera kepala.
Tabel 4
Inotropik dan Vasopresor yang Umum Digunakan
Katekolamin Sintetis
Dobutamin ßl/ ß2 CO, HR, / BP
Inhibitor BP, H R, / / CO
Fosfodiesterase-lll Cyclic GMP
Milrinon mediated / BP, HR, CO
Hormon
Vasopresin G protein mediated BP
268 11 Anestesiologi
A. Zat inotropik Menaikkan Kontraktilitas Jantung
1. Dopamin adalah pelopor norepinefrin dan epinefrin. Pada dosis rendah akan
mempengaruhi vascular rdopamine receptors (ginjal dan mesen- terika) mengarah
ke vasodilatasi. Pada dosis yang lebih tinggi, dopamine akan mempengaruhi
6radrenergic receptors yang bergabung dengan inotropik positif dan efek
kronotropik. Pada dosis yang jauh lebih tinggi dopamine akan mengajak aradrenergik
receptors yang akan bergabung dengan efek vasokonstriktif. Dopamine sering dipilih
sebagai zat utama untuk syok karena potensi efeknya yang bermanfaat dalam
sirkulasi ginjal dan CO. Namun efek kronotropik dan prodisritmik yang diperkirakan
akan berkurang pada pasien dengan iskemia miokardial.
2. Dobutamin juga menstimulasi reseptor 3-adrenergik, tetapi tidak berefek pada -dan
a-mediated. Oleh karena itu dobutamine menaikkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut vaskuler. Kombinasi dua efek ini membuat dobutamine menjadi
zat yang sempurna untuk perawatan syok kardiogenik. Yang membatasi kerja
dobutamine adalah efek vasodilator intrinsiknya, di mana hal ini menyebabkan
hipotensi sistemik dan efek kronotropik yang lumayan.
3. Dopexamin adalah turunan sintetis dari dopamine dengan dan (3 2yang lebih baik
dibandingkan aktifitas Pi serta tidak ada aktifitas a, sehingga mengurangi tipikal efek
kronotropik dan efek pro-disritmik dopamine. Dopexamine tidak diizinkan untuk
penggunaan klinis di USA, dan penggunaannya di Eropa dihindari karena harganya
yang mahal.
4. Epinefrin adalah katekolamin kuat yang menstimulasi reseptor a-, pr dan p2-
adrenergik. Epinefrin tetap pilihan utama untuk resusitasi kardio- pulmonar. Efeknya
terhadap BP tergantung pada efek positif inotropik dan kronotropik serta dasar
vasokonstriksi vaskuler, terutama kulit, mukosa dan ginjal. Efek ß2 epinefrin yang kuat
memicu bronkodilasi dan menghambat degranulasi sel mast. Sehingga membuat
epinefrin menjadi obat pilihan untuk anafilaksis. Pada dewasa, pemberian epinefrin
IV 0, 1-0, 5 mg (0,1-0, 5 ml dalam larutan 1:1000) merupakan dosis awal umum yang
tepat untuk pasien hipotensi berat, diikuti infus kontinyu 1-4 pg/menit.
5. Norepinefrin atau katekolamin, memiliki aktifitas a-dan ß-adrenergik. Efek
vasokonstriksi dan inotropiknya yang kuat menjadikan norepinefrin sebagai obat
pilihan di ICU untuk mengatasi ketidakstabilan hemodi- namik pada pasien yang
membutuhkan bantuan untuk denyut vaskuler dan kontraktilitas miokardial. Contoh
tipikal adalah pasien-pasien syok septic yang memiliki derajat preexistent atau
disfungsi miokardial akut. Dibandingkan dengan epinefrin, norepinefrin tidak memiliki
aktifitas ß2.
6. Inhibitor Phosphodiesterase-lll (PDE-III). Amrinone dan milrinone
menggunakan efek hemodinamiknya melewati inhibisi dari PDE-III, di mana hal ini
meningkatkan jumlah cydic guanosine monophosphate (GMP) dalam
endothelium, sehingga meningkatkan kontraktilitas miokardial dan relaksasi diastolik
V. Oliguria
Oliguria didefinisikan sebagai pengeluaran urin <0, 5 mL/kg/jam untuk >2 jam. Hal
270 11 Anestesiologi
ini merupakan penanda penting untuk hipoperfusi. Oliguria bisa juga karena cidera ginjal
langsung atau obstruksi postrenal. Dua keadaan ini menghalangi penggunaan output urin
sebagai target adekuatnya resusitasi syok. Penyebab oliguria dibagi menjadi prerenal, renal
dan postrenal (lihat table 7-3).
Untuk pasien anak, output urin <1 mL/kg/jam menunjukkan oliguria. Untuk bayi <2
tahun, output urin <2mL/kg/jam menunjukkan oliguria.
Tabel 5-1
Diagnosis Deferensial Oliguria
Prerenal
Penurunan kardiak output (mis. Deplesi volume, gagal jantung, tamponade).
Redistribusi aliran darah (syok distributif) dengan vasodilatasi perifer dan/atau
shunting
Renal
Penyakit glomeruler (mis. glomerulonefritis)
Penyakit vaskuler (mis. vaskulitis)
Penyakit interstisial (mis. antibiotik)
Penyakit tubulus renalis Iskemia
Obat-obat nefrotoksik Postrenal (Obstruktif)
Obstruksi ureter bilateral Striktur uretra Obstruksi
bladder outlet Obstruksi karena kateter urin
Pada pasien kritis, penilaian status volume dengan pemeriksaan fisik seringkali sulit
dilakukan dan pengawasan hemodinamik invasive dapat sangat membantu. Pada pasien
dengan oliguria, pemeriksaan laboratorium tambahan dapat membantu untuk menilai
kemampuan ginjal mengolah sodium dan air. Beberapa tes laboratorium untuk menilai
fungsi ginjal terangkum dalam Tabel 7-4. Hasil dari tes-tes tsb harus didapatkan sebelum
pemberian diuretik.
Tabel 5-2
Tes Laboratorium untuk Membedakan Kondisi Prerenal
dari Nekrosis Tubulär Akut (ATN)
*Fraksional Ekskresi Sodium (FENa) = ([sodium urin Sodium serum] * [kreatinin urin ■* Kreatinin
serum]) x 100
272 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
1. Stacey Remchuk, Keith Baker and Luca Bigatello. Hemodinamic Management. In:
Critical Care Hand Book of Massachusetts General Hospital. 4th edition.
2. FCCS Fundamental Critical Care Suport 3rd ed. Society of Critical Care Medicine. USA
2002.
3. Marino PL. The Litle ICU Book of Fact and Formula. Lippincott Williams Wilkins,
a Wolters Kluwer. 2009:97-171.
BAB XVI
RESUSITASI CAIRAN
Soenarjo
PENDAHULUAN
RESUSITASI cairan adalah pemberian cairan adekwat dalam waktu relative cepat pada penderita gawat akibat kekurangan
cairan. Kekurangan cairan pada penderita gawat umumnya perdarahan akibat kecelakaan atau kekurangan cairan karena sebab
yang lain. Penderita masih dapat bertahan hidup walaupun kehilangan fungsi 85 % hepar, 75 % renal, 55 % kapasitas paru, dan 75
% butir darah merah, tetapi berakibat fatal bila penderita kehilangan cairan tubuh sebanyak lebih dari sepertiga cairan tubuh.
Adakah pengaruh macam cairan resusitasi terhadap hasil akhir?
CAIRAN TUBUH
Cairan tubuh dibagi dua, yaitu cairan intrasel dan cairan ekstrasel. Cairan intrasel antara infant dan dewasa jumlahnya sama
sebanyak 40 %, sedangkan cairan ekstrasel berbeda, infant 30 % dan dewasa 20 %.
Cairan tubuh rata-rata pada laki-laki 60 % dari berat badan, wanita 50 %, dan infant 70 %. Angka-angka tersebut berbeda
pada penderita gemuk dan kurus. (Gambari)
Cairan intrasel berisi ion kalium, protein dan P04- . Cairan ekstrasel terdiri atas, cairan interstitial, dan cairan intravaskuler.
Cairan interstitial berisi ion Na+ dan CI-, sedangkan cairan intravaskuler berisi darah.
Gambar 1
274 11 Anestesiologi
INFANT MALE FEMALE
THIN 80 65 55
AVERAGE 70 50
60
FAT 65 55 45
As % of BODY WEIGHT
Komposisi Cairan
Cairan pada infant berbeda komposisinya bila dibanding dengan dewasa, yaitu bedanya terletak pada cairan ekstra sel.
Pada infant cairan interstitial sebanyak 25 %, dan cairan intravaskuler 5 %. Cairan intrasel sama dengan dewasa, sebesar 40 %.
Cairan pada dewasa, interstitial sebesar 15 %, dan cairan intravaskuler sama sebesar 5 %. (Gambar 2,3)
Cairan ekstrasel merupakan bantalan terhadap cairan intrasel, sehingga cairan yang
keluar dan masuk lewat cairan ekstrasel, seolah olah cairan intrasel terlindung. Cairan masuk
ke dalam tubuh secara fisiologis lewat minum atau oral, sedangkan secara tidak fisiologis
lewat infus. Cairan keluar dari tubuh lewat paru, kulit intestinal dan urin.
Kapan Mulai Memberi Cairan?
Pemberian cairan dimulai bila penderita mengalami hipovolemia. Hipovolemi dapat
dilihat dari tanda-tanda klinis dan laboratoris.
Tanda klinis: mulut kering, haus, tensi rendah, nadi cepat, respirasi cepat, dingin,
produksi urin kurang dan kesadaran terganggu.
Tanda laboratories dapat dilihat dari tekanan vena sentral, cardiac output, oxygen
consumption, pH darah, mixed venous oxygen saturation dan serum laktat.
Apa yang Harus Diberikan?
Ada empat macam cairan yang perlu diberikan pada penderita mengalami
kekurangan cairan mendadak: 1. kristaloid 2. koloid 3. "whole blood" dan 4. larutan
hipertonis.
1. Kristaloid
Ada beberapa macam cairan kristaloid: a) NaCI isotonis. b) hartman's ringer lactate. c)
ringer acetate.
Pemberian NaCI isotonis harus hati-hati pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, karena kalau kebanyakan NaCI isotonis akan menyebabkan asidosis hiperkloremik.
Ringer lactate merupakan cairan yang ideal, sebab komposisinya hampir sama dengan
cairan tubuh.
Ringer asetat dapat digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hepar, karena
ringer acetate dimetabolisir di otot dan jaringan lain.
Dalam keadaan darurat di mana perlu cairan banyak tidak dianjurkan menggunakan
cairan NaCI 'A %, 1/4 %, dan glukosa, karena dapat menyebabkan intoksikasi air. Kalau
276 11 Anestesiologi
memberikan infus NaCI isotonis, maka cairan tersebut akan masuk intravaskuler,
selanjutnya menuju ke interstitial. Cairan kristaloid akan didistribusikan ke seluruh ruang
ekstrasel, sehingga kristaloid merupakan indikasi dan sangat efektif mengisi ruang ekstrasel
bila ruang tersebut kehilangan cairan.
2. Koloid
Cairan koloid secara luas digunakan untuk resusitasi cairan pada penderita sakit
kritis.Ada beberapa macam koloid, antara lain: albumin, larutan gelatine, larutan dextrans,
larutan HES. Ada beberapa pilihan cairan koloid, tetapi masih terjadi perbedaan pendapat
tentang efektifitas relatif antara koloid dan kristaloid. Cairan koloid (misalnya, hydroxyethyl
starch, albumin, dextrans) efektif untuk penggantian volume cairan selama perdarahan
hebat. Protein atau starch bermolekul besar sehingga tetap dalam sirkulasi antara 1 sampai
4 jam, tergantung pada larutan yang digunakan. 2 Koloid bila diberikan lewat infus akan
mengisi seluruh ruang intravaskuler, dengan demikian koloid sangat efektif pada penderita
yang mengalami hipovolemik. Dalam praktek sering digunakan koloid sintetik, karena reaksi
anapilaktoidnya sedikit. Reaksi anapilaktoid yang paling besar adalah gelatin, kemudian
disusul dextran dan selanjutnya albumin dan yang terakhir HES. Pemberian koloid
menaikkan aliran mikrosirkulasi usus halus dan tekanan oksigen jaringan usus, sedangkan
krestaloid tidak mempunyai efek yang sama.5 Meskipun secara teori koloid lebih dibanding
dengan kristaloid, tetapi belum ada pembuktian perbedaan dalam survival*
Indikasi koloid sintetik
Absolute: hipovolomi karena perdarahan, kehilangan darah perioperatif. Relatif: hipovolemi
akibat sepsis atau anestesi, luka bakar, teknik penyimpanan darah (penghemat penggunaan
darah), priming ofthe heartlung machine. dan plasmaphersis
Keuntungan koloid sintetik
Keuntungan penggunaan kolod sintetik: harga tidak mahal dan bebas dari infeksi,
mudah didapat dalam jumlah banyak, stabil dalam waktu lama, tekanan osmotic koloid dan
viskositas sama dengan plasma, dieliminasi lewat ginjal secara lengkap, tidak lama disimpan
dalam tubuh, efek volume dan durasi cukup, bebas dari gangguan koagulasi, tidak toksik,
alergi dan reaksi antigenik.
Efek koloid sintetik
Setelah cairan koloid masuk intravena, tekanan onkotik naik menyebabkan volume
intravena bertambah, sehingga dapat menyebabkan hemodilusi dan juga menaikkan
venous flowback (preload). Hemodilusi mengakibatkan menurunnya hematokrit dan
menaikkan rheology. Akibat dari preload dapat menyebabkan meningkatnya cardiac
output, sedangkan meningkatnya perbaikan rheology menyebabkan menurunnya flow
resistance dengan akibat naiknya cardiac output. Menurunnya hematokrit dapat
menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen arterial. Kenaikan rheology dapat
278 11 Anestesiologi
daripada larutan kristaloid. Untuk mencapai titik akhir tertentu diperlukan lebih sedikit
larutan koloid daripada larutan kristaloid. Larutan koloid harganya lebih mahal bila
dibandingkan dengan larutan kristaloid. Larutan kristaloid tidak menyebabkan reaksi
anakfilaktoid, sedangkan koloid dapat menyebabkan reaksi anakfilaktoid, walaupun reaksi
tersebut jarang terjadi pada syok.
Hemodilusi sebelum transfusi baik dengan kristaloid maupun koloid bermanfaat pada
restorasi volume darah.
Mana yang kita pilih, kristaloid atau koloid?
Pro koloid:
1. Koloid diperlukan untuk ekspansi ruang intrvaskuler
2. Koloid mempertahankan TOK (tekanan onkotik) dan meminimalkan akumulasi cairan
interstisial.
3. Kristaloid menurunkan TOK, sehingga memudahkan terjadi edema paru.
4. Penurunan TOK, dapat menyebabkan laju mortalitas meninggi.
5. Pemberian koloid menyebabkan perbaikan hemodinamik, tanpa ada bukti
meningkatnya air paru atau terperangkapnya albumin.8
6. Pemberian kristaloid menyebabkan pertukaran gas di paru lebih buruk, terjadi
penurunan V02, sedangkan perbaikan hemodinamik sedang- sedang saja.8
7. Koloid menyebabkan perbaikan nyata pada semua variable hemodinamik dan D029.
8. Kristalloid hanya sedikit perbaikan pada hemodinamik.9.
9. Dengan kritaloid ruang interstitial sangat membesar dan tidak ada mekanisme
kompensasi untuk mobilisasi dan ekskresi cairan9.
10. Pemberian koloid selama pembedahan berhubungan dengan perbaikan profil
penyembuhan dan kenyamanan pasien lebih baik, dibanding dengan pemberian
kristaloid. Perbedaan ini mengakibatkan memperpendek masa rawat inap, sehingga
biaya lebih ringan.
Pro kristaloid:
1. Koloid harga lebih mahal, sehingga biaya mahal, dan kemungkinan bisa terjadi reaksi
anafilaktoid.
2. Koloid dapat keluar ke interstisium dan dapat terperangkap, sehingga dapat
menyebabkan edema.
Koloid lebih unggul bila dibanding dengan kristaloid pada waktu digunakan untuk
resusitasi cairan. Pada penelitian menunjukkan bahwa kelompok koloid pada variabel
hemodinamik menunjukkan keadaan lebih baik, tanpa ada bukti meningkatnya air paru
atau terperangkapnya albumin. Sedangkan kelompok kristaloid, pertukaran gas lebih buruk,
terjadi penurunan V02, dan perbaikan hemodinamik sedang saja8. Dalam penelitian yang
lain, menunjukkan bahwa koloid menyebabkan perbaikan nyata pada semua variabel
hemodinamik dan D02, sedangkan kristaloid menunjukkan perbaikan sedikit. Ruang
interstitial sangat membesar dan tidak ada mekanisme kompensasi untuk mobilisasi dan
280 11 Anestesiologi
Berapa batas penggantian cairan?
Penggantian cairan bukan tanpa batas, karena kalau terjadi
hyperdilution oxygen carrying capacity akan menurun. Demikian sebaliknya
jika underdilution oxygen carrying capacity juga menurun, (gambar
bawahjPemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit perlu, karena kalau
hematokrit kurang dari 10 % dikhawatirkan terjadi hipoksi jaringan, dan bila
berlanjut dapat terjadi kegagalan sistem.
Pada penelitian terakhir menunjukkan bahwa hemoglobin 7 gram %
pada orang sehat tanpa kelainan jantung, paru dan pembuluh darah masih
dalam batas aman, kecuali bila mengalami perubahan fisiologik, misalnya
tampak lelah, napas cepat, maka batas hemoglobin 7 gr % perlu dinaikkan.
Dengan batasan hemoglobin 7 gr% maka dapat menghemat transfusi darah,
selain menghindari terjadinya efek samping transfusi.
Gambar hubungan antara hypervolemia, normovolemia dan under-
volemia terhadap oxygen transport capacity.
282 11 Anestesiologi
dan cytokine yang mengakibatkan fragmen sel-sel, mengakibatkan sumbatan sirkulasi.
Darah simpan [stored blood)
Darah simpan dapat menyebabkan: 1. kehilangan 2.3 DPG. 2. lost cell flexibility. 3.
damage cell membrane, sehingga menyebabkan oxygen delivery tidak ifisien. 4. jadi
kesimpulannya oxygen delivery tidak memperbaiki secara dini setelah transfusi.
4. Larutan Hipertonis
Penelitian baik klinis maupun eksperimental menunjukkan bahwa sejumlah kecil
larutan NaCI hipertonis (5 ml/kg NaCI 7.5%) dengan atau tanpa dextran dapat merupakan
cairan resusitasi efektik mula. Larutan hipertonik memperbaiki aliran mikrovaskuler,
mengatur tekanan intra kranial, menstabilkan tekanan arteri dan cardiac output dengan
infus sedikit tanpa ada perubahan fungsi immune (kekebalan), Dengan pemberian NaCI
hipertonis (7.5%) terjadi perpindahan volume dari ruang ekstravaskuler ke ruang
intravaskulerler, oleh sebab itu membutuhkan volume cairan lebih sedikit, sehingga praktis
dan menguntungkan pengaturan pemberian cairan pre- hospitaf.
Apa yang kita pilih?
Kita dapat memilih kristaloid, koloid, darah atau campuran? Di lapangan dapat terjadi
berbagai macam kemungkinan, misalnya persediaan salah satu cairan tidak ada atau kurang
dan perlu penanganan kasus per kasus.
Berapa banyak yang diberikan?
Kristaloid
Kristaloid bila diberikan lewat infus akan mengisi ruang intra vaskuler dan interstiel
(ruang ekstra sel), sehingga bila penderita kehilangan cairan 1000 ml, perlu penggantian
kristaloid sebanyak 3-4 x jumlah cairan yang hilang (jadi kira-kira 3000 ml.)
Koloid
Koloid bila diberikan lewat infus akan mengisi ruang intra vaskuler, sehingga bila
penderita kehilangan cairan 1000 ml, cukup dengan penggantian 1000 ml koloid.
Campuran koloid dan kristaloid
Bila penderita kehilangan cairan 1500 ml, maka yang 1000 ml dapat diganti dengan
1000 ml koloid, sedang sisa yang 500 ml diganti kristaloid sebanyak 3x 500 ml=1500 ml.
Darah
Hanya diberikan bila ada indikasi perubahan fisiologik jelas. []
1. Smith K, Brain E. Fluids & Electrolyte. A conceptual Approach. New York: Churchill
Livingstone; 1980.
2. Weil MH. Shock and fluid resuscitation. Merck Manual. May 2007. Available from:
http://www. merck. com/mmpe/sec06/ch067/ch067a. html.
3. SHOCK. Shock: Assessment and management priorities. Available from: robeeon.
net/search/MANAGEMENT+OF+SHOCK.
4. Krausz MM. Initial resuscitation of hemorrhagic shock. World Journal of Emergency
Surgery 2006,1:14).
5. Hinterland LB, Kimberger 0, Arnberger M, Brandt S, Kurz A, and Sigurdsson GH.
Crystalloids versus colloids for goal-directed fluid therapy in major surgery. Critical
Care 2009 Available from: (http://creative commons, org/licenses/by/2.0) koa.
6. Groeneveld Crit Care 2000; 4 : S16-S20.
7. Van Hoegen. Crit Care Med 2001;29 :994-996.
8. Hansen □, Shoemaker WC. Turpin I, Golberg □. Oxygen transport responses to colloid
and crystalloids in critically surgical patient. Surgery 1980; 150:811-6).
9. Appel PL, Shoemaker WC. Evaluation of fluid therapy in adult respiratory failure. Crit
Care Med 1981; 9:862 - 9).
10. Scheinkesiel CD, Tuxen DV, Cade JF et al 1989. Rady M. 1994).
11. Snyder E, Walker M. Shock. Department Surgery Huntington Memorial Hospital.
Available from www. physicianeducation. org/downloads/. . . /Shock/
12. Walsh TS and Saleh Ezz-Del-Din. Anemia during critical illness. British Journal of
Anaesthesiology 97 (3): 278-91 (2006).
BAB XVII
MASALAH NYERI
Witjaksono, Yulia Wahyu Villyastuti, Doso Sutiyono
PENDAHULUAN
NYERI adalah salah satu alasan utama penderita mencari pertolongan medis, Mekanisme neurobiologi yang mendasari
sudah semakin jelas, sehingga pendekatan terapi berdasar mekanisme sudah dapat dilakukan sejak awal sampai akhir sekalipun.
Nyeri digolongkan ke dalam tanda vital ke 5, dapat memberikan perubahan fisiologi, ekonomi, sosial dan emosional yang ber-
kepanjangan, seperti ditunjukkan pada tabel 1, sehingga perlu dikelola secara baik.
Definisi nyeri menurut IASP: nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.
Tabel 1
Akibat Nyeri Akut Karena Trauma Jaringan
Definisi nyeri tersebut menjelaskan konsep bahwa nyeri adalah produk kerusakan struktural, bukan saja respon sensorik
dari suatu proses nosisepsi, harus dipercaya seperti yang dinyatakan penderita, tetapi juga merupakan respon emosional
KLASIFIKASI NYERI
1. Berdasarkan waktu durasi nyeri:
a. Nyeri akut: < 3 bulan, mendadak akibat trauma atau inflamasi, tanda respon simpatis, penderita anxietas sedangkan
keluarga suportif.
b. Nyeri kronik: > 3 bulan, hilang timbul atau terus menerus, tanda respon parasimpatis, penderita depresi sedangkan
keluarga lelah.
2. Berdasarkan etiologi, ke dalam:
a. Nyeri nosiseptik; rangsang timbul oleh mediator nyeri, seperti pada paska trauma-operasi dan luka bakar.
b. Nyeri neuropatik: rangsang oleh kerusakan saraf atau disfungsi saraf, seperti pada diabetes mellitus, herpes zoster.
3. Berdasarkan intensitas nyeri, ke dalam:
a. Skala visual analog score: 1-10
b. Skala wajah Wong Baker: tanpa nyeri, nyeri ringan, sedang, berat, tak tertahankan.
4. Berdasarkan lokasi:
a. Nyeri superfisial: nyeri pada kulit, subkutan, bersifat tajam, terlokasi
b. Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendo, tumpul, kurang terlokasi.
286 || Anestesiologi
c. Nyeri viskeral: nyeri berasal dari organ internal atau organ pembungkusnya, seperti nyeri kolik gastrointestinal dan
kolik ureter.
d. Nyeri alih/referred: masukan dari organ dalam pada tingkat spinal disalah artikan oleh penderita sebagai masukan
dari daerah kulit pada segmen spinal yang sama.
e. Nyeri proyeksi: misalnya pada herpes zooster, kerusakan saraf menyebabkan nyeri yang dialihkan ke sepanjang
bagian tubuh
yang diinerfasi
oleh saraf yang rusak tersebut.
Verbal
f. Nyeri
NO
phantom: persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang seperti pada amputasi ekstremitas.
MODERATE MODERATE
MILD
Descriptor pAIN
Scale
PAIN PAIN PAIN
Gambari
Skala Intensitas Nyeri
Nyeri dikelompokkan pula berdasar area nyeri, ke dalam: nyeri kepala, leher, dada, abdomen, punggung, pinggang bawah,
pelvik, ekstremitas dan sebagainya.
Berdasarkan sifat nyeri ke dalam nyeri tusuk, teriris, terbakar, kemang, nyeri sentuh, nyeri gerak, berdenyut, menyebar,
hilang timbul, dan sebagainya.
Klasifikasi nyeri akan sangat berguna untuk menentukan penyebab, membedakan nyeri neuropatik dari nosisepsi,
merencanakan terapi dan evaluasi penderita.
Sensitizing “Soup"
Gambar 2
SupSensitisasi
288 || Anestesiologi
2. Perilaku nyeri [neuromatrik meizaek)
Neuromatrik adalah sistem yang komplek, meliputi jaras-jaras yang melibatkan
medula spinalis,talamus, jaringan abu-abu periaquaductal, kortek somatosensorik dan
sistem limbik. Faktor yang mempengaruhi neuromatrik termasuk faktor genetik, keadaan
fisiologik, faktor psikososial, termasuk masukan aferen primer yang dianggap dari kerusakan
jaringan, sistem imuno endokrin, sistem inhibisi nyeri, tekanan emosi dan status penyakit.
Neuromatrik dianggap bertanggung jawab terhadap pembentukan persepsi kita terhadap
nyeri dan menentukan perilaku nyeri.
Ascending Pain Pathway
292 || Anestesiologi
¡mobilisasi paska reposisi fraktura, penggunaan TENS dan metode akupunktur.
2. Modalitas terapi psikologik: seperti relaksasi, distraksi, hipnosis dan sebagainya.
3. Modalitas surgikal: seperti pada reposisi fraktur, insisi abses, eksisi tumor dan intervensi bedah
saraf pada kordotomi, talamotomi dan sebagainya.
4. Modalitas terapi farmakologik: seperti penggunaan paracetamol dan NSAID, opioid, anti konvulsi
dan anti depresi.
5. Modalitas blok saraf perifer dan saraf sentral
Gambar 6
Obat Anti Inflamasi Nonsteroid
Golongan obat anti inflamasi nonsteroid yang sering dipakai dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini.
Tabel 2
Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Nama Obat Dosis Cara Pemberian
Golongan opioid
Obat ini bekerja pada reseptor opioid mu, kappa, delta dan sigma yang berada di
sentral maupun perifer. Sebagian besar opioid bekerja sebagai agonis mu.
Golongan opioid dibedakan antara opioid lemah seperti kodein, tramadol dan opioid
kuat seperti morfin, fentanil. Opioid diberikan untuk nyeri sedang sampai berat dengan
efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, retensi urine dan sedasi. Ketakutan akan
timbulnya toleransi, ketergantungan fisik dan psikik bukan alasan untuk menunda
pemberian morfin pada penderita kanker karena resiko adiksi pada penderita kanker
dengan nyeri adalah kecil,
Kodein digunakan pada step 2 dari WHO analgesik ladder, dosis awal 6 X 10 mg
dengan dosis maksimal 6X40 mg, seringkah bersama parasetamol.
Morfin adalah opioid kuat, tersedia dalam bentuk sediaan oral (paling cocok untuk
nyeri kanker) dan parenteral. Dosis ekivalensi morfin adalah: 100 mg oral, 10 mg
parenteral, 1 mg epidural, 0,1 spinal.
Golongan obat ajuvan
Obat ajuvan seperti anti konvulsi, anti depresi, neuroleptik dan korti- kosteroid
dipakai seringkah pada nyeri kronik berat.
Anti depresi trisiklik seperti amitriptilin 25-50 mg/hari dipakai pada nyeri kronik, nyeri
neuropatikyang bersifat membakar, dengan gangguan tidur dan depresi.
Anti konvulsan seperti Carbamazepin 100-400 mg/hari 2-4 kali/hari dipakai pada nyeri
neuropatik yang tajam dan menusuk atau mengiris,
Kortikosteroid dipakai pada nyeri akibat kompresi pada serabut saraf, nyeri sendi dan
nyeri miofasial bersama anestetik lokal.
Neuroleptik seperti chlorpromazin dan haloperidol dipakai sebagai anti cemas, anti
psikotik dan anti muntah.
NYERI OPERASI
Nyeri operasi merupakan keadaan yang sudah terduga sebelumnya, akibat trauma dan
proses inflamasi, terutama bersifat nosiseptif, pada waktu istirahat dan seringkah bertambah
pada waktu bergerak. Nyeri operasi memicu respon stress yaitu respon neuro endokrin yang
berpengaruh pada mortalitas dan berbagai morbiditas komplikasi paska operasi. Nyeri
operasi bersifat self limiting (tak lebih dari 7 hari) dan nyeri hebat memicu kejadian nyeri
kronik di kemudian hari. Nyeri berat dijumpai pada operasi torakal, abdomen atas, sendi lutut,
operasi aorta. Nyeri sedang pada operasi abdomen bawah, mandibula, replasemen pinggul
sedangkan nyeri ringan timbul menyertai operasi herniorafi inguinal, varisektomi, laparaskopi.
Terdapat berbagai konsep penanggulangan nyeri operasi:
1. Analgesi balans atau analgesi multi modal
Konsep ini merujuk pada perjalanan nyeri nosispsi dan penggunaan NSAID pada proses
transduksi, anestetik lokal pada proses transmisi dan opioid pada proses modulasi dan
persepsi, seperti ditunjukkan gambar 6.
i'rnT"ii:i:
Gambar 7
Analgesi Balans atau Analgesi Multi Modal
2. Konsep penanganan nyeri akut
Nyeri akut hebat memicu kejadian nyeri kronik di kemudian hari, penyebab penting
respon stres dan alasan humanitas maka nyeri operasi harus ditanggulangi berbeda dengan
nyeri kronik berdasar three step analgesic ladderWHO.
295 || Anestesiologi
Nyeri operasi berat umumnya berlangsung 24 jam, minimal pada hari ke 3-4 dan tak
lebih dari 7 hari. Prinsip terapi nyeri akut adalah descending the ladder.
Gambar 8
Three Step Analgesic Ladder
296 11 Anestesiologi
5. Konsep Patient Controlled Analgesia (PCA)
Konsep ini menyediakan: infus tetap sedian analgetik sehingga pemberian analgetik
tetap berada dalam jendela terapetik obat, infus bolus analgetik dalam jumlah tertentu yang
bisa diberikan oleh pasien sendiri sehingga memberikan kepercayaan dan rasa nyaman
penderita dan pengaman kunci infus sehingga pemberian infus bolus dan infus tetap terjaga
pada dosis yang telah ditetapkan sebelum program pengobatan.
Sedian obat umumnya anestetik lokal + opioid pada PCEA (patient contolled epidural
analgesia) atau opioid pada IVPCA (intravenous patient controlled analgesia)
NYERI KANKER
Nyeri kanker seringkali bersifar nyeri neuropatik akibat infiltrasi tumor, paska bedah,
khemoterapi, radiasi meskipun dapat pula bersifat nosisepsi akibat kerusakan jaringan atau
proses infiamasi yang terjadi. Bagi seorang klinikus, sangat penting membedakan berapa
besar komponen fisik tersebut di atas dengan komponen psikologik akibat rasa marah, cemas
dan depresi, seperti digambarkan pada gambar 9, untuk kepentingan pengobatan.
2 3 4
Gambar 9
Komponen Fisik dan Psikologik
298 11 Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
ANESTESI LOKAL/REGIONAL
Marwoto, Aria Dian Primatika
PENDAHULUAN
ANESTESI lokal semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di
antaranya relatif murah, pengaruh sistemik minimal, menghasilkan analgesi adekuat dan kemampuan mencegah respons stress
secara lebih sempurna.1'3 Namun demikian tanpa keterampilan dan pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi (anestetik)
lokal, komplikasi dan manajemennya serta pencegahan dan persiapannya akan membahayakan karena datangnya komplikasi
sangat cepat dan tak terduga. Bila pemahaman teori kurang memadai bisa berakibat fatal karena tidak terdeteksi dan terantisipasi
dengan cepat dan tepat.
SEJARAH
Carl Koller (1884), seorang ahli mata telah memperkenalkan untuk yang pertama kali penggunaan kokain secara topikal
pada operasi mata. Gaedicke (1885) mendapatkan kokain dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbuhan koka
(erythroseylon coca) yang banyak tumbuh di pegunungan Andes. Kemudian oleh Albert Neiman (1860) dalam bentuk ekstrak.
William Halsted (1884), seorang ahli bedah telah menggunakan kokain intradermal dan blok saraf fasialis, pudendal, tibialis
posterior dan plexus brachialis. Selanjutnya August Bier (1898), menggunakan 3 ml kokain 0, 5 % intratekal untuk anestesi spinal
dan pada 1908 memperkenalkan anestesi regional intravena (Bierblock). Alfred Einhorn (1904) mensintesa prokain dan pada
tahun yang sama digunakan untuk anestesi lokal oleh Heinrich Braun. Penambahan epinefrin untuk memperpanjang aksi
anestetik lokal dilakukan pertama kali oleh H. Braun.
Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard (1901) memperkenalkan anestesi epidural kaudal dan Fridel Pages (1921)
memperkenalkan anestesi epidural lumbal yang diikuti oleh Achille Doglioti (1931). Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa
anestetik lokal amid, yaitu lidokain yang menghasilkan blokade konduksi lebih kuat daripada prokain dan menjadi pembanding
semua anestetik lokal. Penggunaan klinis lidokain sejak 1947. Sebelumnya dibukain (1930), tetrakain (1932) dan sesudah itu
kloroprokain (1955), mepivakain (1957), prilokain (1960), bupivakain (1963), etidokain (1972).
Ropivakain dan levobupivakain adalah obat baru dengan aksi durasi hampir sama seperti bupivakain tetapi kardio dan
neurotoksisitasnya lebih kecil.1,2
Berdasar struktur kimianya dibagi menjadi 2 golongan, yaitu ester-amide dan amide-
amide.3
Tabel 1
Penggolongan Anestetik Lokal, Potensi dan Durasi
Perbedaan penting antara anestetik lokal ester dan amid adalah efek samping yang ditimbulkan dan mekanisme
metabolisme metabolitnya, di mana golongan ester kurang stabil dalam larutan (prokain, ametokain), lebih mudah dipecah oleh
kolinesterase plasma, waktu paruh sangat pendek, sekitar 1 menit. Adapun produk degradasi hasil metabolisme ester adalah
asam p-aminobenzoik.1'4,5 golongan ini antara lain: prokain, kokain, kloro- prokain dan tetrakain.3
Sedangkan golongan amid sedikit dimetabolisisr dan cenderung terjadi akumulasi dalam plasma. Ikatan amid dipecah
menjadi N-dealkilasi dengan cara hidrolisis, terutama di hepar. Penderita penyakit hepar berat lebih banyak mengalami reaksi-
reaksi yang merugikan. Eliminasi waktu paruh sekitar 2-3 jam. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dapat disterilkan dengan
autoklaf. Golongan ini antara lain: lidokain, mepivakain, bupivakain, etidokain dan ropivakain.3
Dikenal 3 macam anestetik lokal yang lazim dipakai di Indonesia, yaitu Prokain, Lidokain dan Bupivakain.
Perbedaan ke 3 jenis anestetik lokal tersebut terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2
Perbedaan antara Prokain, Lidokain dan Bupivakain
Prokain Lidokain Bupivakain
1. Golongan ester-COO- amide-CNH- amide-CNH
2. Onset 2 menit 5 menit 15 menit
3. Durasi 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
4. Metabolisme Plasma Hepar Hepar
5. Dosis Max 12 mg/Kg BB 6 mg/Kg BB 2 mg/Kg BB
6. Potensi 1 3 15
7. Toksisitas 3
1 10
MEKANISME KERJA
Infiltrasi anestetik lokal di sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca** dari reseptor dan anestetik lokal akan menempati
reseptor tersebut sehingga terjadi blokade gerbang Na +. Selanjutnya terjadi hambatan konduksi Na+ dan depresi kecepatan
induksi, sehingga tidak dapat mencapai nilai potensial dan tidak terjadi potensial aksi.3,6
FARMAKOKINETIK
Konstanta disosiasi (pKa) anestetik lokal
Merupakan basa lemah yang hampir semua anestetik lokal mempunyai pKa yang alkalis.5
Yang disebut pKa adalah nilai pH di mana bentuk ionisasi dan non ionisasi dari anestetik lokal tersebut berada dalam jumlah
yang seimbang, dengan demikian kurang dari separuh anestetik lokal berada dalam bentuk lipid soluble nonionized pada pH 7,4.
Sebagai contoh, pada pH 7,4 hanya 5% tetrakain tetap berada dalam bentuk nonionized. Bentuk nonionized menentukan
terjadinya difusi. Lingkungan asidosis di sisi penyuntikan misalnya pada infeksi jaringan akan menaikkan bentuk ionisasi dari obat
dan keadaan ini akan menurunkan kualitas anestesi lokal.3,5
Kelarutan dalam lemak menunjukkan potensi intrinsik anestetik lokal, karena 90% dari membran saraf adalah lemak.
Onset obat diartikan sebagai kemampuan difusi nonionized lipid soluble form melewati membran saraf. Anestetik lokal
dengan pKa mendekati pH fisiologis, onsetnya lebih cepat karena rasio bentuk ionized terhadap bentuk nonionized menjadi
optimal.5
Larutan anestetik lokal yang tersedia di pasaran biasanya mempunyai pH asam (6) yang dimaksudkan untuk memperkuat
stabilitas kimianya. Bila ditambahi Vasokonstriktor, pHnya menjadi 4 karena molekul katekolamin labil pada pH alkalin. Pada pH
yang lebih rendah akan menghasilkan onset yang lebih lambat.3
Anestetik lokal juga digunakan untuk terapi aritmia jantung, misalnya prokain dan lignokain. Dapat menembus blood brain
barrier, berdepolarisasi cepat dan repolarisasi pada fokus epileptik sangat sensitif, sehingga lignokain dapat digunakan untuk terapi
status epileptikus. Konsentrasi lebih tinggi akan menghambat neuron-neuron sentral, mengakibatkan depresi pusat pernafasan
diikuti oleh pusat-pusat lainnya.5
Anestetik lokal memiliki efek venodilatasi, kecuali kokain. Infiltrasi ke daerah inflamasi tidak menghasilkan efek anestetik
yang optimal, karena jaringan yang inflamasi tersebut keasamannya meningkat, di mana pH nanah adalah 5, sehingga akan
menurunkan aktivitas anestetik lokal.2
Tabel 3
pKa Anestetik Lokal
Benzocaine 7,5
Mepivacaine 7,7
Lidocaine 7,8
Etidocaine 7,9
Prilocaine 7,9
Ropivacaine 8,1
Bupivacaine 8,1
Tetracaine 8,4
Cocaine 8,6
Dibucaine 8,8
Procaine 8,9
Chloroprocaine 9,1
Hexilcaine 9,3
Procainamide 9,3
Piperocaine 9,8
Metabolisme
Degradasi masing-masing anestetik lokal bervariasi dan tergantung
enzim- enzim dalam darah dan hepar. Produk-produknya akan dieliminasi
oleh ginjal sebagian dalam bentuk tak berubah.2
Ikatan ester dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh ester
dalam sirkulasi sangat pendek, sekitar 1 menit. Produk degradasi
metabolisme ester adalah p-aminobenzoic acid3
Ikatan amid dipecah lewat N-dealkylation diikuti dengan hidrolisis, yang terjadi
terutama di hepar. Penderita penyakit hepar lebih mudah terkena reaksi yang merugikan
Tabel 4
Dosis Anestetik Lokal untuk Topikal2
Tabel 5
Dosis Anestetik Lokal untuk Infiltrasi dan Blok Saraf2
Indikasi4,5'8
Tindakan anestesi lokal diindikasikan pada keadaan-keadaan sbb:
1. Setiap prosedur, di mana anestesi lokal akan menghasilkan kondisi operasi yang
nyaman/memuaskan. Misalnya pada operasi "Trans Urethral Resection" Prostat, bila
dilakukan anestesi regional hasilnya tidak banyak perdarahan karena tensi tidak
meningkat, disamping itu bila ada komplikasi hipo- natremi akibat tertariknya Na +
oleh air irrigator dapat cepat dikenali dengan adanya penurunan kesadaran, mual,
kejang.
2. Penyakit paru, di mana posisi operasi masih dapat ditolerir oleh pasien. Misalnya
operasi tumor paha depan pada pasien paru yang sikap terpaksanya tidur setengah
duduk (agar napas tidak sesak).
3. Riwayat reaksi yang tidak baik dengan anestetik umum. Kadang-kadang pasien setelah
308 11 Anestesiologi
2. Relatif
a. Terapi MAOI.
b. Penyakit neurologi aktif.
c. Penyakitjantungiskemik(IHD).
d. Skoliosis.
e. Riwayat operasi laminektomi.
Teknik/cara pemberian9'11'13
1. Topikal : anestetik lokal disemprotkan pada mukosa/kulit.
2. Infiltrasi : anestetik lokal di infiltrasikan di bawah kulit.
3. Blok Syaraf : anestetik lokal disuntikkan sekitar syaraf perifer.
4. Blok Epidural : anestetik lokal disuntikkan pada ruang epidural.
5. Blok subdural/spinal: anestetik lokal disuntikkan pada ruang subdural.
6. Intravena regional : anestetik lokal disuntikkan pada i. v. anggota atas/ bawah, setelah
terlebih dahulu vena dikosongkan dan pangkal anggota dibebat.
Penyulit mungkin saja terjadi tanpa diduga sebelumnya. Akan tetapi apabila
pelaksanaannya telah disiapkan dengan matang, maka sebagian besar penyulit akan dapat
di atasi.
1. Komplikasi lokal
Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup
besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan
pembekuan darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan
dapat membentuk abses Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan
diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila
telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri
dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang
memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.
2. Komplikasi sistemik
Penyulit ini terjadi akibat masuknya anestetik lokal ke dalam sirkulasi sistemik.
c. Hipersensitif
Dengan dosis yang masih jauh dari maksimal penderita sudah menunjukkan gejala
terjadinya komplikasi karena penderita memang hipersensitif. Sangat sulit dibedakan antara
hipersensitif dengan allergi akibat reaksi immunologis.
d. Intravasasi
Komplikasi terjadi akibat anestetik lokal langsung masuk ke dalam pembuluh darah
saat penyuntikan dilakukan. Hal ini dapat dihindari dengan cara melakukan aspirasi setiap
akan menyuntikkan obat, lebih-lebih penyuntikan pada daerah kaya pembuluh darah.
Gejala Komplikasi Sistemik
1. Susunan syaraf pusat
a. Korteks serebri
Pada tingkat korteks serebri manifestasinya dapat berupa stimulasi maupun depresi.
Stimulasi dapat berupa gelisah, agitasi dan bahkan sampai kejang- kejang.
Tindakannya adalah dengan menjaga jalan nafas, memberikan oksigen 100%
serta memberikan suntikan anti konvulsi yang tersedia, misal thiopental atau
diazepam. Tiopental dapat diberikan 1-2 mg/kg BB atau 50 mg pada dewasa.
Diazepam dapat diberikan sebesar 5-10 mg.
Keduanya diberikan secara intravena.
Depresi dari korteks serebri manifestasinya dapat sebagai kantuk, lemas,
kesadaran yang menurun. Berikan oksigen 100% dan segeralah berikan infus
larutan NaCI, Ringer Laktat atau 2A.
b. Medulla
Pada tingkat medulla efek sistemik dari anestetik lokal dapat berupa stimulasi maupun
310 11 Anestesiologi
depresi tergantung tinggi rendahnya kadar anestetik lokal dalam plasma.
Stimulasi pada pusat kardiovaskular akan manifest sebagai hipertensi dan
takikardi. Apabila hal ini terjadi tindakannya adalah dengan memberikan oksigen
serta obat penghambat beta misalnya pro- panolol (inderal). Sedangkan apabila
senter ini mengalami depresi akan tampak gejala hipotensi dan bradikardi.
Penderita hendaknya pada posisi trendelenburg, diberikan Infus cairan
kristaloid, oksigen serta kalau perlu diberikan vasopressor. Stimulasi pada pusat
respirasi akan tampak berupa hiperventilasi yang apa bila berlebihan
memerlukan pemberian obat seperti pethidin atau morfin. Akan tetapi apabila
pusat respirasi mengalami depresi berupa hipoventilasi, maka tindakan yang
tepat adalah pemberian bantuan nafas serta oksigen.
Stimulasi pusat muntah akan dapat menimbulkan muntah.
2. Efek perifer
Jantung: bradikardi terjadi akibat depresi langsung pada miokard. Pembuluh
darah: terjadi vasodilatasi pembuluh akibat efek samping dari obat anestesi lokal
pada otot polos pembuluh darah.
Terapi idem bradi-hipo pada depresi sentral
3. Reaksi alergi
Reaksi ini manifestasinya bermacam-macam, bisa hanya berupa kemerahan pada
kulit, urtikaria, namun dapat pula manifestasinya berupa reaksi syok anafilaktik. Tindakan
untuk syok anafilaktik sudah sering dibicarakan. Pada makalah ini hanya ingin ditekankan
bahwa adrenalin 0,30-0,50 mg i.m. merupakan obat pilihan pertama selain tindakan lainnya
seperti buka jalan nafas, berikan 02, posisi syok dan infus cairan. Aminofilin adalah obat
nomor satu yang lain. Kortiko steroid dan anti histamin adalah obat penyerta berikutnya.
PENUTUP
Golongan, potensi dan durasi anestetik lokal harus dipahami betul agar tak terjadi
reaksi yang tak diharapkan, demikian juga konsentrasi dan penggunaan sesuai waktu yang
dibutuhkan untuk pembedahan. Harus dipahami juga nilai pKa, absorbsi dan distribusi,
klirens, toksisitas, metabolisme, dosis maksimal topikal maupun infiltrasi dan blok saraf.
Komplikasi pada anestesi lokal/regional dapat datang secara tiba-tiba, cepat dan tak
terduga sehingga dapat berakibat fatal bila tidak terdeteksi dan terantisipasi dengan cepat
dan tepat. Untuk itu diperlukan keterampilan dan pemahaman mengenai: farmakologi
anestetik lokal, indikasi, indikasi kontra, teknik/cara pemberian, komplikasi dan
managemen serta pencegahan dan persiapannya.[j
DAFTAR PUSTAKA
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th
ed. New York: Me Graw Hill Lange Medical Books; 2006,151-52, 263-75.
2. Snow JC. Manual of Anesthesia. Boston: Little Brown & CO. ; 1979; 149-65.
3. Brown DL. Local Anesthetics Toxicity. In: Finucane BT. Complications of Regional
Anesthesia. New York: Churchill Livingstone; 2000,94-102
4. Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and Analgesia. Philadelphia: WB Saunders
Co. ; 1996,125^1,232-38.
5. Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and Physiology in Anesthetics Practice. 4th ed.
Philadelphia: JB Lippincott-Raven; 2006,179-83.
6. Berde CB, Strichartz GR. Local Anesthetics. In: Miller RD Anesthesia. 5 th ed.
Philadelphia: Churchill Livingstone; 2000,491-517.
7. Lenz G, Kotter B, Schorer R, Spoerzl WE. Pocket Manual of Anesthesia. Singapore; BC
Decker Inc.; 1988,137-54.
8. Mudzakkir, Marwoto. Komplikasi Anestesi Lokal dan Penanganannya. Majaiah Ilmiah
PKMI Mantap. Penerbit: Perkumpulan Kontrasepsi Mantap. Indonesia, No. 2 Tahun
XII, April-Juni 1992:44-9
9. Gaiser RR. Pharmacology of Local Anesthetic. In: Longnecker DE, Murphy SL, ed.
Introduction to Anaesthesia. Philadelphia: WB Saunders Company, 1997: 201-14.
10. Astrom A. The Pharmacology of Local Anaesthetic-Some Observation. In: Erickson E,
ed. Illustrated Hand Book in Local Anaesthesia. London: Lloyd-lake Ltd. 1979:10-3.
11. Sweitzer B. Local Anaesthetics. In: Davidson JK, Eckhardt WF, Perese DA. Clinical
Anaesthesia Procedure of the Massacluisets General Hospital, 4th ed, Little Brown &
Co Boston, Toronto, London 1993:197-205.
12. Strichartz GR, Covino BG. Local Anaesthetics. In: Miller RD, ed. Anaesthesia. New York:
Churcill Livingstone 1990:437-40.
13. Stoelting RK. Local Anaesthetics. In: Stoelting RK. Pharmacology and Physiology in
Anaesthetic practice. Philadelphia: JB Lippincott Company 1987:148-66.
14. Tetzlaff JE. Spinal, Epidural & Caudal Blocks. In: Morgan GE, Mikhail MS. Clinical
Anaesthesiology, A Lange Medical Book, 1st ed. 1992: 189-229.
BAB XIX
ANESTESI EPIDURAL
ANESTESI epidural (ekstradural) merupakan pemberian obat anestesi lokal ke dalam rongga potensial di luar duramater.
Rongga ini dimulai dari perbatasan kranioservikal pada Cl sampai membrana sakrokoksigea di mana secara teoritis anestesi
epidural dapat dilakukan pada setiap daerah ini.
Dalam praktik, anestesi epidural dilakukan pada tempat di dekat akar saraf yang menginervasi daerah pembedahan;
misalnya epidural lumbal untuk operasi daerah pelvis dan ekstremitas bawah, dan epidural thorakal untuk operasi daerah
abdomen atas. Injeksi obat anestesi lokal dapat berupa bolus tunggal atau dengan kateter untuk injeksi intermiten atau infus
kontinyu. Untuk membantu mengidentifikasi rongga epidural, dapat digunakan teknik "loss of resistance" ataupun "hanging
drop".
ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal secara langsung ke dalam cairan
serebrospinalis di dalam ruang suba- raknoid. Jarum spinal hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra
sakralis 1; batas atas ini dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan vertebra sakralis
yang tidak me-
Tabel 1
Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural
Cauda
equina
Ventral
ramus
Dorsal
ramus
Intrathecal
space
Subdural
space
Gambari
Anatomi Struktur Medula Spinalis dan Tempat Injeksi Obat
Anestesi Lokal Spinal dan Epidural3
316 11 Anestesiologi
TEKNIK ANESTESI
Persiapan
Perlengkapan yang harus dipersiapkan sebelum melakukan blok epidural/ spinal
antara lain:
Monitor standar: EKG, tekanan darah, pulse oksimetri.
Obat dan alat resusitasi: Oksigen, bagging, suction, set intubasi. Terpasang akses
intravena untuk pemberian cairan dan obat-obatan. Sarung tangan dan masker steril.
Perlengkapan desinfeksi dan doek steril.
Obat anestesi lokal untuk injeksi epidural/spinal dan untuk infiltrasi lokal kulit dan
jaringan subkutan.
Obat tambahan untuk anestesi epidural seperti narkotik dsb, serta NaCI 0,9%.
Syringe, kateter dan jarum epidural (Touhy atau Crawford)/jarum spinal. Kasa
penutup steril.
Gambar 2
Set Epidural dan Kateter4
318 11 Anestesioiogi
2. Anestesi spinal: dengan sebuah jarum spinal ukuran 22-29 dengan "pencil point" atau
"tappered point" insersi dilakukan dengan menyutik- kan jarum sampai ujung jarum
mencapai ruang subaraknoid yang ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinalis.
pemakaian jarum dengan diameter kecil dimaksudkan untuk mengurangi keluhan
nyeri kepala pasca pungsi dura (PDPH).
Gambar S
Anestesi Spinal1'6
1. Gwinnutt CL, Clinical Anesthesia: Lecturer Notes, Second Edition. Library of Congress
Cataloging-in-Publication Data, 2004.
2. Longnecker DE, Anesthesiology, The McGraw-Hill Companies, Inc. 2008.
3. Miller MD, Eriksson LI, Fleishr LA, Wiener-kronish JP, Young WL Anesthesia: Seventh
Edition. Library of Congress Cataloging-in-Publication Data. 2009.
4. Fleisher LA, Gaiser R, Thoracic Epidural: Midline Approach, available from URL: www.
proceduresconsult. com/medical-procedures/thoracic- epidural-midline-approach-
AN-procedure. aspx-73k.
5. Middleton C, Epidural Analgesia in Acute Pain Management, John Wiley & Sons, Ltd,
West Sussex, 2006.
6. Szadkowski C. Local and Regional Anesthesia. Kantonsspital St Gallen, 2005.
BAB XX
ANESTESI OBSTETRI
Danu Susilowati, Ery Leksana, M. Sofyan Harahap
FISIOLOGI KEHAMILAN
Parameter Perubahan
Neurologis
MAC -40%
Respirasi
Konsumsi oksigen + 20% sampai 50%
Resistensi jalan nafas -35%
FRC -20%
Ventilasi semenit
Cardiac output ++50%
40%
Tekanan darah sistolik
TV/RR -5%
+ 40%/+15%
Kardiovaskuler
Tekanan darah diastolic -15%
Volume darah
Hematologi + 35%
Hemoglobin
Volume plasma +-20%
45%
Trombosit -10%
Faktor pembekuan + 30 sampai 250%
Ginjal
Laju filtrasi glomerulus (GFR) + 50%
B. Jalur Nyeri
1. Persalinan kala I: nyeri berasal dari kontraksi uterus dan dilatasi servik dijalarkan melalui serabut saraf eferen yang berasal
dari uterus bersama rantai simpatis dan memasuki medula spinalis pada level Th 10 sampai segmen L1
2. Akhir kala I dan awal kala II: stimulasi nyeri struktur pelvis yang diper- sarafi oleh serabut saraf sensorik lumbal bawah
memberikan nyeri tambahan.
3. Selama persalinan: distensi perineum oleh bagian terbawah janin, peregangan dan tarikan perineum menyebabkan
transmisi sinyal nyeri dari tiga segmen sakral: S2-S4
4. Selama bedah caesar: stimulus nyeri berasal dari peritoneum abdomen, uterus, kandung kencing, dan rektum. Dengan
demikian, serabut saraf yang berasal dari level Th2 sampai S4 perlu dihambat.
FARMAKOLOGI
A. Obat Anestesi Lokal
Ester : Prokain, kloroprokain, tetrakain Amida : Lidokain, bupivakain, ropivakain
Obat anestesi lokal dalam dosis besar, khususnya lidokain, dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri uterine. Anestesi spinal
dan epidural tidak menurunkan aliran darah uterus, bahkan aliran darah uterus selama persalinan membaik pada pasien
preeklampsia yang mendapat anestesi epidural, penurunan katekolamin dalam sirkulasi menyebabkan berkurangnya
vasokonstriksi uterus.
B. Sedatif dan Hipnotik
1. Barbiturat: digunakan untuk induksi pada GA karena onsetnya yang cepat. Semua barbiturat mendepresi ibu dan janin
tergantung dosis yang diberikan. Barbiturate tidak digunakan untuk sedasi.
2. Benzodiazepin: merupakan ansiolitik dan antikonvulsi (diberikan dalam dosis kecil 2-5 mg iv). Dalam dosis besar
menyebabkan hipotonia dan hipotermia janin, kelambatan pemberian makanan bayi, meningkatkan kejadian ikterik dan
kernikterus.
3. PropofoV. merupakan obat untuk induksi anestesi dalam dosis 2-2, 5 mg/kg. Status kardiovaskuler ibu tidak berubah, akan
tetapi terjadi iritabilitas janin.
4. Ketamin: 1 mg/kg memberikan analgesia disosiatif, amnesia, dan sedasi dengan mempertahankan tekanan darah ibu dan
tidak mendepresi janin. Dikontraindikasikan pada pasien dengan preeklampsia atau hipertensi dan dapat menyebabkan
krisis hipertensi bila dikombinasi dengan ergonovin atau vasopresor.
5. Opioid; morfin, meperidin, fentanyl dan sufentanyl merupakan analgesik sistemik yang sangat poten. Tidak satupun narkotik
yang dapat memberikan analgesia yang efektif selama persalinan tanpa menyebabkan depresi nafas pada ibu dan bayi bila
diberikan secara intravena atau intramuskuler. Efek samping lain: mual muntah, hipotensi ortostatik, penurunan motilitas
gaster, somnolen. Kini sering digunakan sebagai tambahan pada anestesi regional.
C. Anestesi Inhalasi
1. Nitrous oksida:
a. Efek terhadap ibu: kelarutannya yang rendah menyebabkan ambilan dan pemulihan yang cepat. Meski efek
analgesiknya cukup baik, namun potensinya yang rendah tidak memberikan analgesi yang cukup untuk persalinan.
N20 yang diberikan dalam konsentrasi analgesia (50-70%) tidak menyebabkan depresi kardiovaskuler atau respirasi
dan tidak mempengaruhi kontraksi uterus.
b. Efek terhadap janin: pada pemberian jangka lama, terjadi depresi respirasi dan asidosis janin, khususnya bila analgesia
ibu tidak sempurna dan kadar katekolamin ibu meningkat.
2. Agen halogenated: halotan, enfluran, isofluran, sevofluran
a. Efek terhadap ibu: dalam konsentrasi anestesi, semua agen halogenated menyebabkan depresi kardiovaskuler dan
respirasi. Kontraksi uterus menurun tergantung dosis yang diberikan.
b. Efek terhadap janin: konsentrasi rendah yang diberikan dalam waktu singkat menyebabkan sedasi janin. Konsentrasi
tinggi dan waktu pemberian yang lama menyebabkan apnoe dan hipotensi janin.
PENDAHULUAN
Pasien anak bukan merupakan orang dewasa dalam bentuk kecil. Terdapat pembagian anak berdasarkan umur: neonatus
bila umur kurang dari 30 hari, bayi bila umur 1 bulan-1 tahun, balita 1 tahun-5 tahun, anak 6 tahun-12 tahun. Secara fisiologi,
anatomis, farmakologis pada anak dan orang dewasa berbeda, oleh karenanya resiko terjadinya morbiditas serta mortalitas juga
semakin tinggi dengan makin mudanya usia.
Arteri dan vena kecil sehingga sulit untuk pemasangan kanulasi, ventrikel kiri kurang
komlpians, struktur otot jantung yang berfungsi untuk kontra- ktilitas belum matur.
Fisiologi
326 11 Anestesiologi
Sistem
Kardiovaskuler
Anatomi
Pada neonatus dan bayi isi sekuncup terbatas (180-240 ml/kg BB/menit) karena
ventrikel kiri kurang komplians sehingga curah jantung sangat tergantung pada frekuensi
denyut jantung. Denyut jantung neonatus 140x/ menit, bayi 120x/menit, balita 100x/menit,
anak 80x/menit. Meskipun denyut jantung lebih tinggi namun aktifitas sistem saraf
simpatis, over dosis obat anestesi, hipoksia dapat menyebabkan bradikardi yang
mengakibatkan curah jantung turun drastic. Keadaan curah jantung yang tergantung
frekuensi denyut jantung sampai umur 2 tahun. Reflek baroreseptor dan sistem saraf
simpatis belum sempurna. Cadangan katekolamin pada bayi rendah dan tidak berespon
terhadap katekolamin dari luar. Sistem vaskuler kurang berespon terhadap hipovolemi
sehingga kekurangan cairan intravaskuler pada neonatus dan bayi mengakibatkan hipotensi
tanpa takikardi. Tekanan darah neonatus 65/40 mmHg, bayi 95/65 mmHg, balita 100/70
mmHg, anak 110/60 mmHg.
Ginjal
Fungsi ginjal normal dimulai pada umur 6 bulan dan sempurna pada umur 2 tahun.
Akibat fungsi ginjal yang belum sempurna maka obat-obat yang diekskresi lewat ginjal akan
berefek lebih lama. GFR meningkat 2-3x pada 3 bulan pertama sehingga waktu paruh dari
ekskresi obat diperpanjang. ECF 40% pada berat badan bayi baru lahir. Neonatus
premature sering mengalami defek multiple pada ginjal termasuk penurunan bersihan
kreatinin (creatinine clearance), gangguan retensi sodium, ekskresi glukosa dan reabsorbsi
bikarbonat dan gangguan pada kemampuan dilusi dan konsentrasi, ini penting agar lebih
teliti dan perhatian pada saat pemberian cairan pada awal kehidupan.
Hati
Fungsi hati belum berkembang baik. Hampir semua sistem enzyme yang diperlukan
untuk metabolism obat sudah berkembang namun belum aktif. Ada 2 cara metabolism
obat meningkat sesuai dengan umur anak. Pertama dengan meningkatnya aliran darah ke
hati sehingga semakin banyak obat yang masuk ke hati, kedua seiring dengan
bertambahnya umur maka sistem enzyme akan semakin berkembang dan aktif.
1. Morgan GE, Mikhail MS. Pediatric Anesthesia. In: Clinical Anesthesiology. 4th. United
State of America: Me Graw-Hill Companies, 2006; 922-31.
2. Needlam PD. Hmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi 15, Jakarta: EGC, 1999; 37
3. Cote G. Pediatric anesthesia. In: Miller's Anesthesia. 6 th ed. San Fransisco: Elsevie
Churchill Livingstone, 2005; 5250-62.
4. Rupp, Katrin. Pediatric Anesthesia. Amsterdam: Drager Medical, 1999; 27
5. Wetzel RC. Evaluationof children. In: Anesthesiology. USA: The McGraw- Hill
Companies, 2008; 317.
6. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologis Kedokteran, ed 9. Jakarta: EGC, 1997; 1323-
30.
7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia, 2001;13.
8. Holzman RS. Fundamental Differences Between Children And Adults. In: A Practical
Approach to Pediatric Anesthesia. Philadhelpia: Lippincott William dan Wilkins,
2008;1-15.
330 11 Anestesiologi
BAB XXII
PENDAHULUAN
PADA periode tahun 1920-1930, di United State terdapat peningkatan keaneka ragaman prosedur operasi dan komplikasi
mayor maupun minor dari anestesi maupun pembedahan dapat terjadi setiap saat pada beberapa hari pertama setelah
pembedahan.
Oleh karena itu perawatan penderita post operasi dengan anestesi umum merupakan salah satu faktor yang menentukan
dalam suatu pembedahan, hal ini disebabkan secara bermakna dapat menurunkan komplikasi dan angka kematian pasca operasi.
Pernyataan di atas didukung oleh laporan dari 'The Anesthessia Study Commission of the Philadelphia County Medical
Society" pada tahun 1947 yang melaporkan bahwa selama 11 tahun penelitian ternyata hampir setengah dari kematian post
operasi terjadi pada 24 jam pertama setelah pembedahan dan minimal sepertiga dari kematian yang terjadi akibat komplikasi
post operasi.
Studi prospektif yang baru juga mengatakan bahwa lebih dari 12. 000 pasien yang telah di laporkan, ternyata 7 % dari
komplikasi yang bermakna terjadi di ruang pulih sadar.
Komplikasi post operasi pasca anestesi umum dapat terjadi komplikasi ringan sampai dengan berakibat fatal, yang berupa
hipovolemia, kegagalan nafas, pengelolaan pasca bedah yang tidak adekuat bahkan bisa terjadi kematian.
Beberapa keadaan sulit memprediksi apakah hal-hal ini akibat komplikasi anestesi atau bukan, sebab:
1. Keadaan umum penderita sebelum operasi sudah tidak baik.
2. Prosedur operasi yang tidak baik.
3. Penanganan anestesi yang tidak baik.
Insidens terjadinya komplikasi ini perbandingannya = 1-2:20.000.
Hal ini lebih baik dari pada 30 tahun yang lalu di mana angka perbandingannya = 1-2:3000, mungkin adanya perbaikan
karena:
1. Peningkatan pengetahuan fisiologi dan farmakologi obat anestesi.
2. Peralatan alat-alat monitor.
3. Perkembangan tehnik operasi.
Di dalam mempelajari komplikasi ini di harapkan terjadi penurunan angka kematian dan kesakitan akan menurun.
Meskipun periode pre dan intra operative sangat penting pada anestesi pédiatrie, periode post anestesi juga perlu
perhatian. Mc Conarhci, dkk. melaporkan dari 16700 anak-anak di post anesthesia care unit (PACU) terjadi 10 kasus
cardiorespiratory arrest dan ternyata pasien tersebut termasuk ASA I.
Pada tahun 1993 di Amerika terjadi 45% klaim adalah masalah gangguan respirasi dan 25% terjadi pada periode post
operative.
Di Australia, Vam Der Walt, dkk., melaporkan dari 2000 kecelakaan, 10% adalah anak-anak. Kecelakaan pada anak-anak
sering terjadi setelah ekstubasi dibanding dewasa.
Data dari Pédiatrie Perioperative Cardiac Arrest Respiratory (POCA) melaporkan kejadian cardiac arrest adalah 8% dan
terjadi di ruang pemulihan dan saat transport.
ANESTESI UMUM
Sebelum kita mempelajari komplikasi post operatif ada baiknya kita mempelajari anestesi umum.
Definisi
Anestesi umum merupakan suatu keadaan hilangnya sensasi di seluruh tubuh yang bersifat reversible yang disebabkan
oleh obat-obat anestesi dengan jalan mendepresi seluruh sistem saraf melalui aliran darah ke otak sehingga menghasilkan
ketidaksadaran.
Cara pemberian
Inhalasi.
Intravenous.
Intramuskuler/subkutan.
Perektal.
RUANG PEMULIHAN
1. Komplikasi saat perjalanan dari kamar bedah ke ruang pemulihan.
2. Persyaratan pasien yang kondisinya tidak stabil dari kamar bedah ke ruang
pemulihan.
3. Petugas ruang pemulihan menerima pasien di ruang pemulihan.
4. Di ruang pemulihan:
a. Periode pulih sadar:
Sejak penderita meninggalkan meja operasi, karena setiap saat dapat terjadi
komplikasi s/d ruang pulih sadar.
b. Ruang pemulihan:
Suatu ruangan tempat pengawasan dan pengelolaan secara ketat penderita
yang baru saja menjalani operasi sampai dengan keadaan stabil.
c. Letak ruang:
Dekat kamar operasi dan mudah dijangkau dokter anestesi sehingga mudah
dibawa kembali ke ok, bagian radiologi & bagian lab.
d. Syarat ruang pulih sadar:
Pintu lebar.
Penerangan cahaya cukup.
Jumlah tempat tidur sesuai jumlah ok.
INFRASTRUKTUR
Di bawah pengawasan dokter anestesi:
1. Perawat terlatih khusus & trampil dalam pengawasan keadaan darurat.
2. Rasio: pasien = 3 (IDEAL); 2 (GAWAT); 1 (SANGAT GAWAT)
1 11
3. Peralatan:
Satu tempat punya 1 sumber o 2
Suction, stetoskop, tensimeter.
Termometer.
Monitor: ecg dan sao2
Resusitasi set.
Obat-obat emergency/cairan.
334 11 Anestesiologi
BAB XXII - Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan \ |
335
KOMPLIKASI POST
OPERASI
1. Lambat bangun
2. Masalah jalan nafas
3. Kardiovaskular
4. Akibat posisi penderita
5. Vomitus dan regurgitasi
6. Kegagalan hati
7. Kegagalan urologi
8. Neurologis
9. Hiperpireksia maligna
10. Reaksi anafilaksis
10. Komplikasi lain:
a. Mata
b. Lokal
c. Reaksi termal
1. Lambat bangun
Lambat bangun terjadi bila ketidaksadaran selam 60-90 menit setelah anestesi
umum. Hal ini bisa diakibatkan:
Sisa obat anestesi Sedatif
Obat analgetik
Penderita dengan kegagalan organ, misalnya:
Disfusi hati, ginjal dll
Hipoproteinemia
Umur Hipotermia
Ada beberapa obat untuk menetralisir obat anestesi, misalnya:
a. Nalokson (0,2 mg), terhadap efek opiat.
b. Flumazenil (0,5 mg) terhadap efek benzodiazepine.
c. Phisostigmin (l-2mg) terhadap efek obat pelumpuh otot.
2. Masalah jalan nafas
a. Obstruksi jalan nafas atas:
1) Lidah jatuh ke hipofaring
Yang mengakibatkan penyumbatan saluran nafas atas.
Pulih sadar yang tidak sempurna akibat anestesi umum dapat timbul terjadinya
hiperventilasi dan penurunan regangan dan koordinasi refleks jalan nafas bisa diakibatkan
obat pelumpuh otot dan sedasi yang berlebihan. Ditandai:
Berkurangnya pertukaran udara.
Retraksi interkostal dan suprasternal.
Gerakan dinding abdomen tidak sesuai dengan elevasi dinding dada.
Penanganan:
Harus segera diberi pertolongan.
Membuka mulut.
Membersihkan jalan nafas.
Menarik dagu kedepan.
Pasang pipa jalan nafas (Guedell/nasoraring).
Bila perlu penderita dibuat posisi miring.
2) Laringospasme
Dapat terjadi mendadak selama/setelah anestesi umum yang disebabkan oleh iritasi
mekanik pada glottis akibat secret, darah dan benda-benda asing lain.
Tanda-tanda:
Penderita berhenti bernafas/bernafas dengan suara melengking.
Tidak berapa lama penderita terlihat kebiruan, lebih-lebih bila terjadi pada anak/bayi
cepat sekali mengalami hipoksia terutama terlihat pada bibir dan kuku.
Penanganan:
Menghilangkan penyebab iritasi.
Oksigenasi 100%, bila perlu beri ventilasi tekanan positif.
Bila perlu beri suksinil kolin dan dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% secara
aktif/terkontrol.
3) Edema jalan nafas
Tanda-tanda:
Stridor inspirasi.
Bisa terjadi pasca bronkhoskopi, esofagoskopi, eksisi massa di daerah laring atau trachea.
Akibat trauma Intubasi atau hiperinflasi "chuff" atau alergi. Penanganan:
Elevasi kepala
Beri oksigen humidifikasi
Beri nebulizer efinefrin 2,25% sebanyak 0,5-1 ml dalam NaCI 2-3ml Kortikosteroid
Pembatasan cairan (bila kelebihan)
Bila perlu intubasi ulang dengan endotrakheal yang lebih kecil
4) Wound hematom
Pada post operasi tiroid/paratiroid dapat terjadi, sehingga hematom yang terjadi
dapat menekan jalan nafas.
Tanda-tanda:
Penderita sesak nafas, bahkan bisa berhenti nafas.
Penanganan:
Penderita kembalikan ke kamar operasi, dilanjutkan intubasi secepatnya dan diberi
oksigenasi 100%, seraya dilanjutkan dengan evakuasi hematom. (cito).
b. Hipoventilasi
Definisi hipoventilasi adalah menurunnya ventilasi alveolar akibat sekunder dari
penurunan laju pernafasan, volum tidal/keduanya, sehingga terjadi penurunan ventilasi
alveolar yang mengakibatkan terjadinya peningkatan PaCO > 45 mmHg, bila 60 mmHg
menunjukkan signifikan terjadinya hipoventilasi.
Penyebab hipoventilasi:
Cedera SSP setelah trauma kepala/pembedahan saraf.
Sisa-sisa obat anestesi: volatile dan golongan opiat.
Nyeri
Bronkospasme
Pneumotorak
Gejala:
Somnolen
Nafas melambat
Takipneu dengan nafas dangkal
Penanganan:
Menghilangkan penyebab:
Bila penyebab gol opiat: nalokson 0,2 mg.
Bila penyebab gol benzodiazepin: flumazenil 0,5 mg.
Bila penyebab gol pelumpuh otot: physostikmint 2 mg.
Bila penyebab nyeri: analgetik adekuat.
Bila penyebab bronkospasme: steroid, simpatomimetik (epinefrin) dan aminofilin.
Bila penyebab pneumotorak oleh karena operasi, maka dikerjakan: ventilasi 02
100% dan suntik dengan jarum no. 14-16 pada interkostal II garis medioklavikuler
dan diaspirasi udaranya.
3. Masalah kardiovaskuler
a. Hipotensi
Menurut Barbour dan Little dikatakan hipotensi bila tekanan darah sistolik di bawah
90 mmHg atau menurun 40-60 mmHg pada penderita hipertensi.
Penyebab hipotensi:
Hipovolemia: tanda dan gejala: haus, membrana mukosa kering, takikardi dan
oliguria dan terapi infus kristaloid 250-500 ml, bila dipasang CVP. Peningkatan
tekanan intratorak/ekstratorak, misalnya penggunaan ventilator, tension
pneumotorak, tamponade perikard.
Penurunan tonus vaskuler disebabkan vasodilatasi, misal: pada anestesi spinal dan
epidural, reaksi anafilaksis, sepsis dan obat antihipertensi. Disfungsi miokard:
disebabkan iskemik/infark miokard, gagal jantung kongestif, sepsis, hipertiroid dan
aritmia.
b. Hipertensi
Etiologi hipertensi pasca operasi:
Nyeri (post operasi, kandung kencing penuh).
Agitasi.
Hipoksemia.
Hiperkarbia.
Tekanan intrakranial yang meninggi.
Penanganan, tergantung penyebab hipertensi:
Analgetik yang adekuat.
Oksigenasi dan ventilasi yang adekuat.
Pengawasan ketat.
Obat terpilih yang sifatnya "short acting" oleh karena sifat hipertensinya singkat.
c. Disritmia
Etiologi:
penyakit jantung sebelumnya.
Hiperkapmia.
Hipoksemia.
Toksemia obat.
Rangsangan simpatis.
Iskemik miokard.
Gangguan elektrolit.
1) Sinus takikardi.
Penyebab: Nyeri, agitasi, hipovolemia/demam.
Terapi tidak diperlukan, kecuali berhubungan dengan hipotensi/iskemik miokard.
2) Sinus bradikardi
Penyebab: Analgetik narkotik, refleks vagal.
Terapi: Pemberian sulfas atropin.
d. Emboli udara
Etiologi:
Operasi: dapat mengakibatkan terjadinya emboli udara antara lain operasi dileher
dengan terputusnya vena, operasi pada toraks, mammae, hati, kuretase dan
insuflasi pada uterus serta operasi otak.
Operasi pada keadaan emphysema.
Kecelakaan saat injeksi intra vena.
Faktor yang penting dalam emboli: volume udara, kecepatan masuknya udara,
tekanan vena, posisi tubuh dan keadaan umum penderita.
Tanda dan gejala adanya suara seperti tiupan angin pada jantung kanan dan paru
oleh karena obtruksi udara pada arteri pulmonalis atau bising prekordial, sianosis,
hipotensi, takikardi, respirasi irregulär, takipnue dan berakhir henti jantung.
Penanganan:
Cegah udara masuk ke dalam sirkulasi.
Kepala penderita kebawah agar udara keluar dari sirkulasi serebal.
Beri oksigen 100% dan penggunaan N20 dihentikan waktu anestesi.
Bila perlu pasang kateter Swan Ganz di arteri pulmonalis dan lakukan aspirasi
langsung dari jantung kanan.
Beri kompresi dalam ruang hiperbarik.
4. Akibat posisi penderita
Posisi penderita tergantung jenis operasi yang dilakukan, macam posisi bisa
trendelenberg, prone, litotomi, lateral atau supine.
Posisi ini sering menyulitkan pelaksanaan anestesi berupa:
Menimbulkan penekanan pada saraf tepi sehingga terjadi parese, jadi bagian tubuh
tidak boleh tertekan, tertarik dan teregang.
Menimbulkan gangguan respirasi, misal: posisi trendelenberg menekan diafragma,
posisi telungkup dan lain-lain.
Tertekuknya pipa endrotrakeal pada posisi kepala tertentu.
5. Vomitus dan regurgitasi
Vomitus dapat terjadi karena rangsangan pada pusat muntah, penyebabnya bisa
karena rangsangan pada lambung/esofagus, obstruksi intestinal, lambung kosong terlalu
lama.
Bahaya vomitus:
Aspirasi isi lambung ke dalam paru dan terjadi trauma kimia.
Spasme laring dan terjadi hipoksia.
Refleks vagal dan terjadi bradikardi.
Dikatakan berbahaya jika volume yang teraspirasi mencapai 25 ml dengan pH
kurang dari 2,5.
Regurgitasi terjadi bila ada ketidakseimbangan antara tekanan intragastrik dengan
kontraksi sfingter esofagus bagian bawah.
Faktor predisposisi:
Cairan lambung pH nya kurang dari 3.
Tekanan intra abdominal tinggi.
Tekanan intra torakal rendah.
Kegemukan.
Kehamilan.
Pencegahan:
Jangan beri sedasi dosis besar sebelum operasi.
Pastikan lambung kosong: puasa, pasang pipa gastrik.
Sekresi asam lambung dihambat dengan H2 antagonis.
Asam lambung di netralisir dengan antasida.
Induksi cepat, oksigenasi adekuat dan "Sellick Manuvre".
Bisa dikerjakan blok regional.
Intubasi sadar.
Bila operasi selesai, miringkan penderita dan ekstubasi atau ekstubasi bila penderita
susah sadar.
Penanganan:
Intubasi pipa trakea, isap lendir dari pipa trakea segera oksigenasi, bila perlu beri
bronkodilator, antibiotika dan fisioterapi.
6. Kegagalan hati
Biasanya terjadi pada operasi besar dan penyebab pastinya sering tidak diketahui,
diduga pulih sadar terlalu lama dan penderita meninggal dalam waktu 48 jam, obat
anestesi seperti halotan dan kloroform bersifat hepatotoksik. Faktor lain yang
berpengaruh:
Hipoksia: secara normal sel hati membutuhkan 1/3 dari seluruh kebutuhan tubuh
terhadap 02 atau 40 ml/menit/m2 permukaan. Hiperkapnia.
Hipotensi: normal aliran darah kehati 1, 5-1, 6 liter/menit di mana 20- 40% berasal
dari" arteri hepatica" dan sisanya dari "aorta".
Status gizi penderita.
Transfusi darah.
Obat-obat non anestesi.
Virus hepatitis dan infeksi lain.
Trauma operasi.
Penanganan:
Ditujukan penyebabnya.
Pernafasan terkontrol dengan baik.
7. Kegagalan urologi
Olguria yang terjadi 24 jam pertama post operasi masih di dalam batas normal dan
oliguria patologis dapat terjadi pada prerenal, renal dan post renal.
Oliguria prerenal dapat disebabkan karena tekanan darah turun, hipovolemia,
hemoragi, hilangya cairan intestinal, sepsis.
Oliguria pada renal dapat karena hipoksia, toksin bakteri, transfusi darah yang tidak
cocok dan hipotensi.
Oliguria post renal dapat oleh kerena obtruksi ureter dan vesika urinaria, ligasi ureter
dan lain-lain.
Kesulitan kencing bisa juga terjadi pada blok regional.
Dari semua kesulitan di atas maka penderita perlu diberi semangat, penderita posisi
duduk, ligasi dibebaskan dengan operasi lagi.
8. Gangguan neurologis
Komplikasi setelah anestesi umum bisa disebabkan oleh efek samping obat anestesi,
antara lain:
a. Kejang
Gerakan otot yang abnormal selama anestesi bisa oleh karena hipoksia. Tremor bisa
disebabkan oleh karena barbiturat intravena. EEG dapat timbul gambaran epileptoform
karena pemakaian enfluran, althesin dan methohexitone.
Penanganan:
Kejang akibat obat anestesi local bisa diberi thiopental iv, oksigen dan suksamethonium.
b. Ensefalopati
Keadaan anoksia akut bisa terjadi degenerasi sel saraf pada korteks, hipokampus
dan globus pallidus, hal ini dapat terjadi beberapa hari/minggu setelah tampak gambaran
anoksia dan bila berlanjut bisa terjadi" brain death".
Penanganan:
Oksigenasi dan pengawasan ketat oleh dokter.
c. Neuropa
ti Penyebab:
Tekanan dan peregangan saraf, iritasi saraf akibat suntikan intravena/intramuskuler,
penggunaan torniquet yang kurang benar, iskemi/hipotensi, efek toksik obat anestesi dan
hipotermi.
Penanganan:
Ditujukan penyebab dan sejauh mungkin dihindari factor penyebab.
d. Gangguan ekstrapiramidal
Obat anestesi tertentu bisa menyebabkan gangguan ekstrapiramidal misal:
fenotiazin, butirofenon, metoklopramide, metildopa, alkaloid rauwolfia dan levodopa.
Gejala:
Distonia akut, kontraksi spasmodic, pseudoparkinsonisme, grimaceren dan lain-lain.
Penanganan:
Berikan prometasin 25 mg iv, procyclidine 10 mg iv atau diazepam 10 mg iv.
9. Hiperpireksia maligna
Suatu keadaan di mana produksi panas melebihi kehilangan panas dari tubuh yang
disebabkan meningkatnya temperatur tubuh sedikitnya 2 °C/jam.
Diagnosa: suhu tubuh tinggi lebih dari 40 °C post operasi, disertai sianosis, kekakuan
otot, spasme masseter, hiperkapnia, hiperventilasi, hiperkalemia, disritmia dan kulit
eritemateus.
Obat yang sering menyebabkan: suksametonium dan halotan, enfluran, isoflurance,
MAOI, fenotiazin, lignokain trisiklik antidepresan.
Penanganan:
Penggunaan obat anestesi dihentikan.
Hiperventilasi dengan 02100 %.
Asidosis dikoreksi dengan bikarbonas natrikus.
Bila terjadi hiperkalemia diberi infus glukosa 5 % +10 unit insulin.
Panas diturunkan dengan kompres es.
Beri kortiko steroid 30 mg/kg BB iv.
Bila mungkin operasi dihentikan.
10. Reaksi Anafilaksis
Predisposisi 3 kali lebih banyak pada wanita, bisa terjadi dalam beberapa menit
walaupun jumlahnya sedikit.
Gejala:
Kolaps kardiovaskuler: hipotensi, nadi hilang, takikardi, disritmia.
Spasme bronkus, udem laring dan sampai hipoksia.
Kulit eritema, urtikaria dan udem menyeluruh.
Mual, muntah dan diare.
Penanganan:
Hentikan anestesi jika memungkinkan.
Oksigenasi.
Tinggikan kaki.
Adrenalin bolus 50-100 ug, bila perlu ulang dengan dosis 1 mg.
Infus kristaloid/koloid dengan cepat paling sedikit 2 liter.
Bronkodilator: aminofilin bolus 250-500 mg pelan, anti histamin, steroid dan
bikarbonas bila asidosis.
344 11 Anestesiologi
11. Komplikasi lain:
a. Mata
Kornea mengering karena mata tidak tertutup selama anestesi, sehingga bisa
mengalami kebutaan.
b. Lokal
Tromboplebitis dan hematom pada tempat suntikan dan infus yang lama.
c. Reaksi termal
Suhu kamar operasi yang terlalu dingin menimbulkan reaksi termal dan
kebutuhan oksigen meningkat, sehingga penderita menggigil selain itu juga bisa
diakibatkan pemakaian thiopental dan halotan.
Penanganan:
Selimuti penderita Oksigenasi Largaktil 5-10 mg iv.
Kriteria keluar dari ruang pemulihan
Setelah pasien dilakukan anestesi dan masuk ruang pemulihan, dokter anestesi harus
mencatat dan melakukan instruksi tabel 1
Tabel 1
Assesment Open Admission Into Post Anesthesia Care Unit
1. Airway patency and oxygen saturation
2. Administration of suplemental oxygen
3. Basic vital sign, blood pressure, pulse, respiration rate and temperature
4. Position of the patient
5. Condition of dressing (s) or wound (s) if evident
6. Types and patency of catheters and drainage tubec (amount and type of draiage)
7. Location of lines, tipe and amount of fluid infusing
8. Level of conciousness
9. Muscular strength and response
10. Level of pain
Tabel 2
Modified Aldrete Scoring System
Steward Score
Tanda Kriteria Score
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap rangsang 1
Tidak ada respon 0
Pernapasan Batuk/menangis 2
Pertahankan jalan napas 1
Perlu bantuan napas 0
Motorik Gerak bertujuan 2
Gerak tanpa tujuan 1
Tidak bergerak 0
Score >=5Score
Bromage boleh keluar dari recovery room
Kriteria Score
Gerak penuh dari tangkai 0
Tidak mampu ekstensi tungkai 1
Tidak mampu fleksi lutut 2
Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Score <=2 boleh keluar dari recovery room
Lama tinggal di ruang pulih sadar tergantung dari teknik anestesi yang digunakan
(premedikasi, lama operasi dan komplikasi anestesi (ponim, agitasi, airway instability).
Pasien dikirim ke ICU (Intensive care Unit) apabila hemo- dinamik tak stabil perlu support
inotropik dan membutuhkan ventilator (mechanical respiratory support).[]
DAFTAR PUSTAKA
1. Feeley TW, MD. The recovery room. In: Miller R D, MD. Anethesia. 2n ed. New York:
Churchill Livingstone, 1998:1921-42
2. Smith G, Aitkenhead AR. Postoperative Care. In: Text-Book of Anesthesia, 3th ed. New
York: Livingstone, 1996:406-33.
3. Morgan GE, Mikhail MS. Postanesthesia Care. In: Clinical Anesthesiology, 1 th ed.
California: Appleton & Lange, 1992:686-93.
4. Bigatello L. The Postanesthesia Care Unit. In: Davidson Jk, Eckhardt III WF, Parese DA.
Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital, 4 th ed.
London: Litle Brown and company, 1993: 527- 43.
5. Snow JC. Complications During Anesthesia and the Recovery Period. In: Manual of
Anesthesia. Asean ed. Boston, Toronto, London: Litle Brown and company,
1978:355-64
6. Atkinson R S, Rushman G B, Lee Z A. A Synopsis of Anaesthesia. 10 ed. Bristol: John
Wright and Sons Ltd, 1985:318-63.
7. Thorton FI L. Postoperative Anaesthesic Complication. In: Emergency Anaesthesia. 2
nd ed, London: Edward Arnold, 1974:421-50.
8. Brunce Prissonnette, Bernard Daleus. Emergency and Post Operative Care in Pediatric
Anesthesia. The McGrow-Flill Companies. 2002. 661- 675.
9. Thomas WF, Alex Macanio. The Post Anesthesia Care Unit Filer's Anesthesia Sixth
Edition Churchill Livingstone, USA. 2005.2703-2727.
348 || Anestesiologi
BAB XXIII
TANDA-TANDA KEMATIAN
DAN MATI OTAK
M. Sofyan Harahap, Abdul Lian, Himawan Sasongko
PENDAHULUAN
PADA kondisi normal pada umumnya tidaklah terlalu sulit bagi seorang dokter untuk menentukan kematian, karena kita
telah mempelajari dasar- dasar ilmu kedokteran seperti Biologi, Fisiologi dan Anatomi yang semuanya membekali kita dengan
teori kehidupan dan kematian.
Hanya pada kondisi tertentu kita tidak dapat dengan mudah menentukan kematian apalagi dengan ditemukannya alat
bantu kehidupan yang sangat beragam, sedangkan disisi lain kita harus dapat memberi keputusan yang tepat karena kematian
merupakan sesuatu yang sangat penting dan mempunyai implikasi luas pada berbagai hal, mulai dari kebijakan terapi, sebagai
keterangan yang mempunyai kekuatan hukum dan yang penting berhubungan dengan keluarga pasien.
Dalam tulisan ini akan dibahas secara ringkas tanda-tanda kematian, dan bagaimana menentukan mati otak, mudah-
mudahan dapat digunakan sebagai bahan bacaan dasar yang diperuntukkan untuk mahasiswa Fak. Kedokteran, untuk
selanjutnya dilengkapi dengan sumber kepustakaan lain untuk penyempurnaan.
KEMATIAN
Kematian dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan biological death (Kematian Biologik).
Kematian somatik merupakan fase kematian di mana tidak didapati tanda-tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan
pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian
somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel.
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang dikatakan mati
batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang
hangat, fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjal pun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator
tersebut. Tanda-tanda kematian somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat respirator tersebut dihentikan, maka
dalam beberapa menit akan diikuti tanda kematian somatik lainnya. Walaupun tanda-tanda kematian somatik sudah ada,
sebelum terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti pemindahan organ tubuh untuk
transplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus, walaupun berada pada tempat
yang berbeda selama mendapat perawatan yang memadai.
Jadi dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medik menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah
kematian somatik secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu dari
tanda kematian somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat dipakai
sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan
keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan.
Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan
membawa ke fase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
Arti mati bukan hanya tidak terasanya hembusan napas atau berhentinya detak jantung, hal itu sebagai mati klinis. Istilah
yang digunakan sebelum Resusitasi Jantung Paru (RJP) ini masih memungkinkan seseorang "hidup" kembali setelah suatu
resusitasi. Masih ada Istilah-istilah lain seperti mati biologis, mati sosial, dan mati jantung.
Pada mati biologis, sel-sel tubuh mengalami kerusakan ireversibel yang tidak selalu sama di setiap organ. Dapat dikatakan
inilah kondisi mati sesungguhnya, karena tidak mungkin seseorang dalam keadaan ini dapat hidup kembali.
Di lain sisi, seseorang yang mengalami mati sosial belum dinyatakan mati. Namun otak mengalami kerusakan cukup besar
dan pasien tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan. Terjadi suatu siklus kesadaran yang menurun: tidak sadar (koma), sadar,
koma, terus berulang. Tingkat intelektualitas pun mundur layaknya seorang bayi.
Sedangkan keadaan mati jantung ditegakkan apabila jantung tetap tidak berdetak meski telah dilakukan RJP selama 30
menit selaku terapi optimal. Tidak terlihatnya kompleks QRS (asistol ventrikel yang "membandel" atau mitrai table) pada
pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) menjadi indikator. Tanda kematian dini:
1. Pernafasan terhenti > 10 mnt, inspeksi, palpasi, ausklts.
2. Sirkulasi brenti 15 mnt, carotis tak teraba.
3. Kulit pucat.
4. Tonus otot hilang.
5. Kornea kering dalam 10 mnt.
Tanda kematian lanjut/tanda pasti kematian:
1. Lebam mayat/livor mortis.
2. Kaku mayat/rigor mortis.
3. Penurunan suhu tubuh/algor mortis.
4. Pembusukan/dekomposisi.
5. Adiposera, lilin mayat.
6. Mummifikasi.
Otak adalah pengendali utama seluruh fungsi tubuh. Andaikata jantung dan paru masih bekerja tetapi otak dinyatakan
kehilangan fungsinya, maka seseorang dinyatakan mati. Meskipun demikian, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap memasukkan
kondisi henti jantung dan henti napas yang ireversibel dalam pengertian mati. Para ahli anestesi menyimpulkan indikator
kematian seseorang terbagi menjadi dua. Pertama, tanda klinis mati otak, yaitu apabila telah dilakukan RJP dengan tahap-tahap
Airway-Breathing-Circulation selama 15-30 menit pada seorang pasien dewasa, namun kesadaran tetap tidak dapat pulih, tidak
mampu bernapas spontan, serta tak adanya refleks gag (gerakan mulut/rahang) disertai dilatasi pupil. Yang kedua adalah mati
jantung.
Beberapa Pengertian tentang Mati
Mati klinis: adanya henti nafas dan jantung (sirkulasi) dan berhentinya aktivitas otak, tetapi tidak irreversibel dalam arti,
masih dapat dilakukan resusitasi jantung-paru dan kemungkinan dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi.
Mati sosial: hal ini terjadi pada penderita dengan kerusakan otak yang berat oleh sebab apapun dan tidak reversibel,
penderita tidak sadar dan tidak dapat memberi respon terhadap rangsang/berbicara, tetapi jika dilakukan pemeriksaan EEG
(electro encephalo graphy) masih tampak aktifitas otak dan beberapa refleks masih positif. Bahkan mungkin masih dapat terjadi
siklus tidur dan bangun, tetapi secara sosial sudah tidak dapat memberi respon/ berinteraksi. Keadaan ini disebut keadaan
vegetatif yang menetap atau sindroma apalika.
Mati biologis: mati biologis akan terjadi setelah/merupakan kelanjutan mati klinis jika pada saat mati klinis tidak dilakukan
resusitasi jantung-paru. Mati biologis berarti tiap organ tubuh secara biologis akan mati dengan urutan: otak, jantung, ginjal, paru-
paru, hati. Disebabkan karena daya tahan hidup tiap organ berbeda-beda, sehingga kematian seluler pada tiap organ terjadi
secara tidak bersamaan.
Susunan saraf pusat mengalami mati seluler dalam waktu 4 menit.
Otot masih dapat dirangsang dengan listrik sampai kira-kira 2 jam pasca mati, dan mengalami mati seluler setelah 4 jam.
Dilatasi pupil masih dapat terjadi pada pemberian adrenalin 0,1% atau penyuntikan sulfas atropin 1 % atau fisostigmin 0,
5% akan mengakibatkan miosis hingga 20 jam pasca mati.
Kulit masih dapat berkeringat sampai lebih dari 8 jam pasca mati dengan cara penyuntikan subkutan pilokarpin 2% atau
asetilkolin 20 %; Spermatozoa masih bertahan hidup beberapa hari dalam epididimis. Kornea masih dapat
ditransplantasikan dan darah masih dapat dipakai untuk transfusi sampai 6 jam pasca mati.
Mati otak: mati otak terjadi karena kerusakan ireversibel serebrum dan bagian otak lain termasuk serebellum dan batang
otak. Pada kondisi ini refleks saraf otak negatif, tidak ada nafas spontan (pusat nafas di batang otak).
Mati Otak
Terjadinya mati otak disebabkan karena hipoksi otak yang terjadi karena penurunan aliran darah otak. Secara teori jika
terjadi kerusakan pada neuron maka dengan melalui beberapa proses biokimia akan terjadi pembengkakan/ udem pada jaringan
otak, karena volume kepala selalu tetap karena dibatasi tulang yang keras maka jika terjadi penambahan volume satu bagian
(darah, cairan otak atau jaringan otak) maka seharusnya diikuti dengan berkurangnya salah satu bagian yang lain, sehingga isi
rongga kepala tetap. Jika bagian otak yang lain tetap volumenya maka akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Penentuan Mati Otak (Brain Death Certification)
Pertama-tama yang penting adalah menentukan adanya mekanisme spesifik yang mendahului sebelum terjadinya mati
otak (pra kondisi), misalnya ada kerusakan struktur otak yang dilihat dari CT atau MRI yang dapat menyebabkan mati otak.
Disamping itu perlu disingkirkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran atau mengganggu penilaian
kesadaran, seperti: syok, hipotensi, hipotermi < 32°C, ensefalitis, SGB, penggunaan obat- obatan.
Tes Klinis:
Setelah menyingkirkan hal-hal yang dapat menurunkan kesadaran maka selanjutnya diperiksa:
1. Hilangnya fungsi otak/serebral.
Ditandai dengan: koma, syok, hipotensi, tidak ada respon terhadap rangsang, tidak bergerak.
2. Hilangnya fungsi batang otak.
Ditandai dengan: hasil negatif dari tes fungsi batang otak (7 tes).
a. Tes tidak ada respon terhadap nyeri
Beri tekanan pada supra orbital dengan ibu jari atau tekan sternum dengan ibu jari, lihat respon. Positif jika tidak ada
gerak salah satu ekstremitas.
b. Pupil tidak respon terhadap cahaya.
Periksa bahwa penderita tidak mendapat tetes mata antikolinergik sebelumnya. Arahkan cahaya ke kedua pupil
bergantian dan lihat respon pupil. Positif jika tidak ada kontraksi pupil pada kedua mata.
c. Tidak ada refleks kornea.
Sentuh kornea dengan kapas basah, jika tidak ada respon coba beri tekanan dengan cotton bud basah dengan hati-
hati. Positif jika tidak ada kontraksi otot sekitar (M. Orbikularis Okuli).
Gambari
Tes Refleks Kornea
h. Tes apneu
Beri oksigen 100% selama 10-20 menit sebelum tes. Periksa BGA (analisa gas darah) untuk menentukan PaC0 2 dasar
(sekitar 35-40 mmHg). Monitor E KG, tekanan darah dan saturasi oksigen untuk memastikan tekanan sistolik di atas
90 mmHg dan saturasi oksigen di atas 90% selama tes berlangsung. Jika terjadi penurunan tekanan darah maupun
saturasi maka ventilator harus segera disambungkan kembali. Beri insuflasi oksigen 6 liter/menit dengan suction
cathether lewat pipa endotrakea, lepaskan hubungan dengan ventilator dan amati adakah nafas spontan selama 5-8
menit, lalu periksa BGA lagi sebelum dihubungkan kembali dengan ventilator. Hasil: positif jika tidak ada gerak nafas
selama dilepas dari ventilator, dan ada kenaikan PC0 2 > 50 mmHg atau kenaikan > 20 mmHg dari dasar. Jika belum
terjadi kenaikan PC02 seperti yang diinginkan, tes dapat diulangi dengan memperpanjang periode lepas ventlator
(apneu) sampai 10 menit.
Pemeriksaan ulang
Setelah pemeriksaan pertama, penderita harus dievaluasi kembali dalam jarak waktu tertentu yang disepakati banyak ahli
yaitu 6 jam baik untuk penderita dewasa maupun anak-anak di atas 1 tahun. Pada anak kurang dari 1 tahun diperlukan waktu
lebih lama. Jika pemeriksaan pertama menunjukkan tanda jelas mati batang otak, pemeriksaan ulangan dapat dipersingkat yaitu 2
jam kemudian.5
Jika salah satu dari 7 tes tersebut tidak menunjukkan mati otak, walaupun yang lain positif, maka dapat dikonfirmasi dengan
angiografi serebral dan EEG.D
DAFTAR PUSTAKA
Dengan karakteristik:
1. p02 yang rendah (<60 mmHg)
2. peningkatan gradien pA02 (alveolar)-pa02 (arterial)
3. peningkatan ruang hampa (peningkatan VD/VT) vena admixture
Karakteristik dari tipe ini ditandai dengan peningkatan pC02 (> 50 mmHg). p02 mungkin normal atau menurun tetapi pA02-
pa02 tetap normal.
Penyebab:
1. Overdosis narkotik/barbiturat/benzodiazepin/anestesi
2. Kelumpuhan akibat efek sisa pelumpuh otot
3. Penyebab SSP seperti infark otak/pendarahan
4. Kelainan yang mempengaruhi transmisi sinyal menuju otot pernafasan seperti GBS (guillian barrel syndrom), mystenia
gravis, multiple sclerosis, cedera spinal.
5. Kelainan pernafasan akut seperti poliomyelitis, muscular dystrophies.
6. Cedera pada dada seperti flail chest
Untuk kasus ringan sampai sedang, pemberian oksigen akan dapat membantu P02 agar dapat mencapai 80 mmHg.
Pemberian oksigen dapat diberikan dengan berbagai cara seperti masker, kanul nasal, masker venture atau dengan T-piece jika
pasien di intubasi untuk menjaga volume tidal tetap adekuat.
Idealnya konsentrasi inspirasi Oksigen (FI02) harus tidak melebihi dari 50%, jika sebaliknya akan terjadi keracunan oksigen.
Jika pasien tidak dapat mempertahankan saturasi oksigen pada konsentrasi ini dan yang disebut sebagai peralatan non invasive
positive pressure ventilasi (NIPPV) dapat dicoba jika situasi mendesak sebelum proses intubasi dan ventilator mekanik.
Terapi oksigen membantu meningkatkan saturasi oksigen segala tipe hipoksia kecuali hipoksia hipotoksis.
Hipoksia yang dihasilkan dari shunt (antara intracardial atau intrapulmoler) tidak semuanya dapat dikoreksi dengan inhalasi
oksigen 100%.
Indikasi
1. Berdasarkan hasil analisa gas darah:
PO2<50 mmHg didalam udara ruangan atau <60 mmHg pada FI02(inspirasi 02) >0,5 (50%)
pH< 7,25 (gagal nafas akut)
PCO2>50 mmHg
P02/FI02< 50mmHg (normal > 400)
P(A-a) 02 gradient > 350mmHg pada 02 100%
2. Berdasarkan fungsi paru Frekwensl pernapasan > 35kall/menit Kapasitas vital <15
ml/kg
Volume dead space (VD/VT)> 0,6 (60%)
Tekanan peak negatif £ h20 cmFI20 Volume tidal <5ml/kg
3. Yang lainnya
Kelelahan otot pernafasan
Kehilangan reflek nafas yang membuat pasien memungkinkan mengalami aspirasi Tidak mampu untuk batuk yang
kuat Ventilasi mekanikal paru difungsikan dengan mengintubasi pasien melalui hidung atau mulut atau dengan traceostomi dan
terhubung dengan endotracheal atau ventilasi tuhentraceostomi.
VENTILATOR
358 11 Anestesiologi
Sebelumnya ventilator bekerja hanya untuk volume ventilasi tertargetkan dan tekanan ventilasi tertargetkan saja, tapi saat
ini umumnya sebuah ventilator dapat bekerja pada kedua mode tersebut.
Jadi secara umum pernafasan ventilator dapat menjadi pernafasan preset volume(dengan target volume) atau pernafasan
preset tekanan (dengan target tekanan)
Keuntungan utama dari pernafasan dengan preset volume adalah kepastian pengaturan dari preset volume dan
menurunkan kemungkinan dari hipoventilasi tetapi meningkatkan kemungkinan dari barotrauma jika tekanan airway
meningkat.Sementara keuntungan utama dari tekanan ventilasi tertargetkan adalah terjaganya tekanan airway sehingga
memperkecil kemungkinan barotruama tetapi meningkatkan kemungkinan dari hipoventilasi bila tekanan airway meningkat atau
menurun (tidal volume akan bervariasi untuk menjaga tekanan)
Tergantung dari mode ventilasi yang dipilih, ventilator akan mengkombinasikan tiga variabel untuk mengatur inisiatif
tergantung pasien/ waktu dan siklus volume atau inisiatif tergantung tekanan/waktu dan siklus tekanan.
1. Inisiatif tergantung Waktu/Pasien dan siklus volume:
Faktor pemicu untuk memulai respirasi bisa tergantung waktu pengaturan dari angka pernafasan (contohnya bila frekuensi
diatur untuk 10 pernafasan/menit, ventilator akan memulai pernafasan setiap 6 detik) atau pernafasan spontan pasien.
Inspirasi akan dihentikan (atau dengan kata lain terjadi siklus expirasi dari ventilator) hanya bila preset dari volume tidal itu
telah dikirimkan. Jadi secara teoritis pasien tidak dapat terhipoventilasi bahkan bila terjadi perubahan tekanan pada airway tetapi
bukan ini yang menjadi problem, sebagian dari volume tidal (120-150ml) hilang pada sirkuit ventilator pernafasan dan bila
pengembangan dari paru-paru pasien menurun (inflasi puncak akan meningkat) volume tidal yang sampai dapat diturunkan lebih
lanjut. Jadi semua pertimbangan tersebut perlu dipikirkan selama mengatur volume tidal dan volume tidal yang akurat dapat
dihitung dengan meletakkan spirometer pada ET.
Seperti yang didiskusikan diatas, kelemahan dari ventilasi-siklus-volume adalah bahwa volume tidal yang tetap itu
dikirimkan sehingga bila tekanan airway menjadi tinggi dan tidal volume yang sama itu dikirimkan maka kemungkinan dari
barotrauma akan meningkat.
2. Insiatif tergantung waktu/pasien dan siklus tekanan:
Pernafasan disini juga dimulai oleh waktu atau pernafasan spontan pasien. Ventilator akan memulai sklus ekspirasi (atau
dengan kata lain inspirasi dihentikan) setelah mencapai tekanan yang diatur terhadap waktu preset atau sampai pengiriman dari
aliran preset(siklus aliran). Karena tekanan tetap, volume tidal dapat bervariasi tergantung dari tekanan airway
360 11 Anestesiologi
nafas spontan pasien kurang dari rate ventilator yang ditetapkan maka ventilator
akan memberikan pernafasan terkontrol. Contohnya bila rate yang ditetapkan 10
pernafasan/menit dan pernafasan spontan pasien 12 kali/menit maka ventilator
akan memberikan bantuan pada ke-12 kali pernafasan tersebut untuk mencapai
volume tidal yang ditetapkan. Tetapi bila nafas spontan pasien hanya 5 maka
ventilator akan memberi bantuan pada ke-5 kali pernafasan tersebut, dan 5 kali
pernafasan yang tersisa akan dikirm dalam mode control.
c. Ventilasi Intermiten Tersinkronisasi Pilihan
Serupa dengan mode kontrol dalam hal apapun rate yang ditetapkan, dianggap sebagai pilihan (ventilasi pilihan intermiten)
oleh ventilator tetapi dalam mode ini ventilator akan melakukan sinkronisasi pernafasan dengan pernafasan pasien
sehingga ventilator hanya akan mengirimkan diantara usaha pasien atau bersamaan dengan awal usaha spontan, tidak saat
ekspirasi.
Keuntungan dari SIMV atau CMV
Gangguan hemodinamik lebih sedikit. Pada IPPV dapat dilihat penurunan cardiac output dan penurunan aliran balik vena
yang lebih signifikan
Pasien dengan SIMV/IPPV memerlukan sedasi atau pelumpuh otot, hal
ini dapat dihindari pada SIMV
Kekeliruan yang kecil dari V/Q
Weaning dapat lebih cepat
Kerugian
Usaha napas yang meningkat akan menyebabkan kelelahan otot.
Meningkatnya potensi terjadinya hipokapnea (karena adanya hiperventilasi)
d. Positive end expiratory pressure (PEEP):
Seperti namanya, pada PEEP diberikan tekanan positif pada akhir respirasi untuk mencegah kolapsnya alveolus, sehingga
pertukaran gas tetap terjadi walaupun saat ekspirasi. Sangat berguna jika kurang terjadi pertukaran gas. Dapat digunakan
pada kasus:
Edema pulmonum
ARDS (acute respiratory distress syndrome/sindroma distress respirasi akut)
Pada pembedahan thorax untuk meminimalisasi perdarahan pasca operasi.
PEEP fisiologis (pada pasien normal yang diintubasi untuk mencegah atelektasis.
Efek samping PEEP
Hipotensi dan menurunnya cardiac output:
PEEP mengkompresi venule pada septa alveoli sehingga menyebabkan penurunan aliran balik vena. Sehingga PEEP
optimal adalah jumlah yang dapat mempertahankan saturasi oksigen > 90% tanpa menurunkan cardiac output
secara signifikan.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis dan adanya ketegangan pada ventrikel kanan: hal ini terjadi karena kompresi
kapiler pada septa alveoli.
Peningkatan ruang kosong (dead space) karena overdistensi alveoli normal.
Peningkatan tekanan pleura Peningkatan tekanan mediastinum
362 11 Anestesiologi
Mode yang biasa digunakan untuk ventilasi ganda (pabrik yang berbeda menggunakan terminology yang berbeda untuk
menyebut mode ini):
a. Ventilasi dengan tekanan terkontrol-volume yang terjamin (atau control volume dengan tekanan yang teregulasi): tekanan
tingkat tinggi ditetapkan untuk mencegah barotrauma dan tekanan tingkat rendah ditetapkan untuk mencegah kolaps
alveoli (PEEP). Ventilator disesuaikan diantara dua batas ini untuk memberikan volume tidal yang telah ditentukan.
b. Bi level-volume yang terjamin (atau ventilasi dengan bantuan tekanan dengan volume yang terjamin): batas atas tekanan
(disebut tinggi tekanan) dan batas bawah (disebut rendah tekanan) ditentukan dahulu. Ventilator memberikan aliran yang
konstan untuk mempertahankan rendah tekanan (sama seperti CPAP) dan aliran tinggi untuk memperoleh tinggi tekanan
saat pasien menginisiasi napas (kebutuhan aliran). Tekanan yang tinggi ini akan dipertahankan (bantuan tekanan) hingga
volume tidal telah diberikan (volume yang terjamin).
Ventilasi tekanan positif non invasif (NIPPV) (ventilasi tanpa trakhe- ostomi atau intubasi)
Intubasi dan trakheostomi memiliki beberapa komplikasi, sehingga dapat dicoba untuk diberikan NIPPV. Kandidat ideal
untuk dilakukan NIPPV adalah:
a. Pasien dengan gagal napas tetapi tidak terlalu memerlukan intubasi
b. Pasien yang sadar dan kooperatif
c. Pasien yang tidak mempunyai resiko aspirasi
d. Masker kepala harus dapat dipasang dengan erat.
NIPPV dikontraindikasikan pada
a. Gagal jantung atau napas
b. Hipoksemia berat.
c. Resiko tinggi aspirasi
d. Trauma wajah
e. Ketidakmampuan untuk menjaga jalan nafas
f. Perdarahan traktus gastro intestinal atas
Indikasi Umum
Walaupun NIPPV dapat digunakan pada kegagalan nafas yang disebabkan oleh apapun. Penggunaan NIPPV pada penyakit
kronis sering pada Penyakit Sleep Apneu Syndrome, sedangkan pada penyakit akut NIPPV sering digunakan pada PPOK
eksaserbasi akut. Selain itu NIPPV dapat digunakan pada pasien imunocompromised, dimana pada pasien ini mudah untuk
terkena infeksi saluran nafas yang dikarenakan intubasi, trakeostomi, atau cardiogenic pulmonary edema.
Baru-baru ini sebuah studi membuktikan bahwa CPAP profilaksi pada bayi premature dapat menghidarkan dari intubasi
dan mebuat dokter dapat menggunakan FI02 rendah (<0,4) (hal ini menjadi penting karena pada bayi premature dapat terjadi
retinopathy akibat penggunaan oksigen konsentrasi tinggi.)
Peralatan
NIPPV dapat diberikan lewat berbagai alat seperti CPAP/BIPAP atau melalui ventilator (beberapa ventilator modern
memiliki pilihan dalam pemakaian NIPPV)
NIPPV paling sering digunakan untuk penggunaan masker wajah secara ketat dan masker nasal pada penyakit kronis (sleep
apneu syndrome). Pilihan lain adalah dengan full face mask atau helmet.
364 11 Anestesiologi
Pneumomediastinum Bronchopleural fistula Pneumopericardium
Penumoperitoneum Emboli Udara (paru/sistemik)
2. Infeksi
Infeksi paru-paru: akibat intubasi yang terlalu lama dan jumlah penggunaan suction (20-25%)
Infeksi kemih: Penggunaan kateter yang terlalu lama. Keadaan ini merupakan salah satu sumber infeksi ICU dan merupakan
penyebab 35- 40% dari seluruh infeksi di ICU.
Komplikasi luka (20-30%)
Infeksi karena penggunaan kateter Intravena (5-10%). Mayoritas infeksi pada ICU disebabkan oleh organisme gram
negative.
3. Komplikasi akibat intubasi yang diperpanjang Edema jalan nafas
Suara serak
Ulkus laryngeal dan granuloma, dapat diobati dengan laser Laryngeal web Stenosis trakea Fibrosis trakea
4. Komplikasi akibat ventilasi yang tidak adekuat
Hypoksia atau hyperoksia, hiperkarbia atau hipokarbia, bergantung pada kondisi asidosis atau alkalosis
5. Gastrointestinal Stress Ulcer Ileus Paralitik
6. Kardiovaskuler
Ventilasi tekanan positif dengan meningkatkan tekanan intra thorak, menurunkan aliran balik vena, dan meningkatkan
cardiac output. Kegagalan fungsi ventikel kanan dapat terjadi akibat peningkatan tekanan arteri pulmonalis.
7. Susunan Saraf Pusat IPPV dan PEEP dengan menurunkan venous return dari otak dapat meningkatkan tekanan kranial otak.
8. Disfungsi Liver dan Ginjal akibat menurunnya cardiac output
9. Infeksi Nosokomial
10. Kelemahan neuromuskuler, jika penggunaan muscle relaksan digunakan pada periode yang lama. Vecuronium dapat
menyebabkan kondisi ini.
11. Aktivitas Siliar berkurang akibat penggunaan oksigen yang tidak lembab
12. Keracunan Oksigen, jika konsentrasi tinggi yang digunakan dalam periode yang lama.
13. Psikis: depresi dan trauma emosional dapat terjadi.
14. Beban Finansial. Penggunaan ICU sangat mahal.
15. Bed Rest yang terlalu lama. Deep Vein Trombosis dan tromboemboli.
Penyapihan dari penggunaan ventilator
Penyapihan dapat diartikan pengurangan secara bertahap ketergantungan pada penggunaan ventilator.
Cara Penyapihan Ventilator
Proses penyapihan beragam dari satu pasien ke pasien lain, rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain (bergantung
type ventilator yang digunakan), dari dokter ke dokter dan sangat memungkinkan melakukan penyapihan terhadap pasien pada
semua jenis ventilasi kecuali pada mode ventilasi control).
Pendekatan yang biasa digunakan pada pasien dengan mode control/assisted control ventilasi adalah dengan berpindah ke
SIMV dan menjaga mereka untuk menugurangi frekuensi nafas secara bertahap hingga mencapai 1-2 nafas per menit. Tidal
volume tidak mencukupi maka bantuan tekanan dapat dimulai. Bantuan tekanan dapat dikurangi secara bertahap sampai pasien
mendapat tidal volume yang cukup. Ketika tidal volume dan frekuensi nafas sudah adekuat maka ventilator bisa dilepaskan dan T
tube disambungkan ke endotracheal tube.
Jika pasien mampu untuk mengontrol fungsi dari jantung dan paru dan menunjukkan analisa gas darah yang normal dalam
366 11 Anestesiologi
a. 25-30 kkal/kg/hari pada kasus pasien criticall ill tanpa sepsis atau luka bakar
b. 30-35 kkal/kg/hari pada kasus sepsis dan luka bakar Menentukan kebutuhan protein yaitu:
a. l,2-l,5g/kg/hari (atau 15-20% total kalori) untuk stress ringan
b. 1,5-2,0 g/kg/hari (atau 20-25% total kalori) untuk kasus stress sedang sampai berat atau luka bakar > 25% luas
permukaan tubuh (body surface area)
c. Kurangi protein (1,0-1,2 g/kg/hari) pada pasien icu dengan uremia progresif sebelum dilakukan dialysis dan pasien
dengan ensefalopati hepatikum:
• Kebutuhan cairan tergantung:
Usia tua: 25-30 m L/kg/ha ri
Dewasa Muda: 35 mL/kg/hari
Usia muda/olahragawan: 40 mL/kg/day
• Kebutuhan cairan meningkat pada pasien dengan demam dan pada pasien dengan kehilangan cairan tubuh
yang meningkat.
• Kebutuhan cairan menurun pada pasien dengan kelebihan cairan (overload), gagal jantung kongestif, gagal
ginjal, gagal hati, SIADH dan edema pulmo
-> Pemberian mikronutrisi (karbihidrat, protein, lemak):
• Karbohidrat (CHO) diberikan dalam bentuk dekstrosa.
1 g dekstrosa = 3.4 kkal
55-65% dari total kkal harus diberikan dalam bentuk larutan secara total parenteral nutrisi.
Tidak lebih dari 4-5 mg/kg/min; karena dapat berkaitan dengan hiperglikemi, pembentukan dan
penyimpanan lemak, disfungsi hepar dan peningkatan produksi C02 Minimal 100 g/hari dibutuhkan untuk
menghindari protein dipecah menjadi sumber energi.
• Protein diberikan dalam bentuk asam amino (AA)
lg AA = 4.0 kkal
Larutan khusus asam amino atau modifikasinya sudah tersedia tetapi dukungan eviden klinis terhadap
efikasi ini
masih terbatas. Misalnya larutan dengan asam amino rantai high branched untuk (trauma dan gagal
hepar) dan esensial asam amino (gagal ginjal).
• Lemak diberikan dalam bentuk lipid:
10% lipid mengandung 1,1 kkal/mL 20% lipid mengandung 2,0 kkal/mL Sebaiknya 20-30 % dari total
kalori diberikan dari lipid, (> 30 % dari total kkal dapat menyebabkan immunosuppressive)
Dibutuhkan minimal 2-4 % dari total kkal dari asam linoleic untuk mencegah kekurangan asam lemak
esensial.
Jika trigliserida serum meningkat > 400 mg/dL, berikan lipid harian dan dilanjutkan ~1 g/kg lipid dua kali
seminggu.
Elektrolit
• Fungsi Ginjal normal
Natrium : 100-150 mEq/hari
kalium : 60-120 mEq/hari
Chloride : 100-150 mEq/hari
368 11 Anestesiologi
Penyakit Paru
• Tingginya kkal dan karbohidrat dapat meningkatkan produksi C02dan kebutuhan ventilasi.
• Kebutuhan total cairan perlu dibatasi.
CONTOH KASUS
Pasien BB50 kg, kebutuhan kalori 30 kalori/kgBB/hari Cairan :
30cc/kgBB/hari
Protein : 1,5 gr/kgBB/hari
Lemak -> Perbandingan karbohidrat: lemak = 60:40 dari seluruh kalori (KH) Jadi KH:
Lemak = 900 kalori: 600 kalori.
Kesimpulan: nutrisi pada pasien ini adalah:
Kalori KH = 900 kalori/hari
Kalori Lemak = 600 kalori/hari
Protein = 75 gr/hari
Cairan = 1500 cc/hari
Untuk nutrisi enteral, bila kita harus meracik sendiri, kita dapat meng
gunakan nutrisi dari susu instan misal:
Ensure
Parenteral
Dapat kita sesuaikan sesuai kebutuhan dengan melihat kandungan nutrisi dari susu
instan tersebut.
Kardiovaskular Respirasi
Gangguan kontraksi ototjantung Hiperventlasi
Penurunan kekuatan otot nafas
Dilatasi Arten.konstnksi vena, dan dan menyebabkan kelelahan otot
sentralisasi volume darah
Sesak
Metabolic Peningkatan kebutuhan
Peningkatan tahananvaskularparu
metabolisme Resistensi insulin M e
n g ha mba t g I i ko 11 si s a n a
Penurunan curah jantung,
tekanan darah arteri, dan erob Penurunan sinteasATP
aliran darah hati dan ginjal Hiperkalemia
Peningkatan degradasi protein
Sensitif thdreentranfarr/yt/rma dan Otak
penurunanambang fibnlasi ventrikel
Penghambatan metabolisme dan
regulasi volume sel otak
Menghambat respon kardiovaskular Koma
terhadap katekolamin
372 11 Anestesiologi
AKIBAT DARI ALKALOSIS BERAT
Kardiovaskular
Konstriksiarten
Penurunan aliran darah koroner
Penurunan ambangangina
Predisposisi terjadinya supraventnkel dan ventnkel
aritmia yg refrakter
Respirasi
Hipoventilasi yang akan menjadi hiperkart» dan
hipokserma
Metabolic
Stimulasi glikolisis anaerot) dan produksi asam organik Hipokalerma
Penurunan konsentrasi Ca terionisasi plasma
Hipomagnesema and hipophosphatema Otak
Penurunan alirandarahotak
Tetam. kejang lemahdelmumdan stupor
Definisi
Asam didefinisikan sebagai substansi kimia yang dapat bertindak sebagai donor
proton (H4), sedangkan basa adalah substansi kimia yang bertindak sebagai aksptor proton
(Brownsted-Lowry). Pada cairan fisiologis, akan lebih baik jika kita menggunakan definisi oleh
Arrhenisu: Asam adalah bahan yang mengandung hidrogen dan bereaksi dengan air untuk
membentuk ion hidrogen. Basa adalah bahan yang menghasilkan ion hidroksida di air.
Penilaian Hendersen-Hasselbach
Penilaian adanya gangguan terhadap keseimbangan asam basa tubuh telah dikenal
adanya formula dari Hendersen-Hasselbach: ph=pk+log mco,i PC02
Dari penilaian Hendersen-Hasselbach penentuan pH normal berkisar 7,35 - 7,45,
dimana bila gangguan yang cenderung untuk menurunkan pH disebut asidosis, sedangkan
yang cenderung menaikan pH disebut alkalosis. Jika gangguan terutama mempengaruhi
[HC03], maka dinamakan gangguan metabolik. Jika gangguan terutama mempengaruhi
PC02 maka dinamakan dengan respiratorik. Kompensasai sekunder harus digambarkan
demikian dan tidak mengguanakan "~osis". Sebagai contoh, istilah alkalosis metabolik dapat
diistilahkan dengan kompensasi respiratorik.
Ion-ion kuat in-organik seperti Na+, Cl' pada umumnya diabsorpsi dari usus dan
dikeluarkan melalui sistim ekskresi ginjal. Sedangkan ion-ion kuat organik (laktat, keto-anion)
di produksi dan dimetabolisme di jaringan dan dieksresi lewat urin.
374 11 Anestesiologi
Nilai SID normal berkisar 40-42 mEq/l (didapat dari 140 - 100), sebab hanya Na+ dan
Cl-yang konsentrasinya tinggi dibanding ion kuat lain sehingga ion-ion ini dianggap mewakili.
2. [ATot] (total konsentrasi asam lemah yang non-volatile)
Menggambarkan jumlah total konsentrasi asam lemah non-volatile dalam sistim.
[Atot] = [HA] + [A]
Cairan tubuh
Cairan tubuh adalah larutan encer yang mengandung beberapa ion-ion kuat
(inorganik dan organik) dan ion lemah (yang volatile; sistim C02/HC03- dan asam lemah non
volatile HA).
Jadi setiap perubahan pada variabel independen akan menyebabkan gangguan pada
keseimbangan asam basa tubuh: pertama, perubahan pada pC02 akan menyebabkan
asidosis respiratori, dan kedua, perubahan pada SID dan/atau ATot akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Perubahan pada pC02 terjadi secara cepat oleh ventilasi, sedangkan perubahan pada
SID yang disebabkan oleh adanya perubahan pada konsentrasi ion-ion kuat dalam tubuh
berjalan lebih lambat. Regulasi dari ion- ion kuat diatur oleh usus (absorpsi) dan ginjal
(ekskresi).
SKETSA HUBUNGAN ANTARA SI D, H+ DAN OH-
Gamblegram
376 11 Anestesiologi
! S D ptfttmi t
i a
i D D-iiTU -
-taot t
I
SD p-iSTj
romi'
377 ||
Anestesiologi
pH normal dipertahankan dengan ratio normal 20:1 dari bicarbonate dan karbon
dioksida seperti yang dijelaskan oleh rumus Henderson-Hasselbalch dimana:
HC03'
pH =pK+ log ---------------------------
1. 03 x pC02
Jadi jika rasio ini dipertahankan pada 20:1, pH akan tetap normal meskipun terjadi
ketidakseimbangan asam basa atau dengan kata lain abnormalitas asam basa telah
terkompensasi.
Untuk kompensasi atau mempertahankan rasio tetap normal, peningkatan lain
dalam pC02 akan diikuti dengan peningkatan bikarbonat (retensi bikarbonat dengan ginjal)
dan penurunan pC02 akan diikuti dengan penurunan bikarbonat (peningkatan ekskresi
bikarbonat oleh ginjal)
I
pCO, normal
1 pCO, menurun
pCO, meningkat
HCOj turun
_J____ HCO,menin^cat HfO, Normal
I
HCOj turun
Asidosis __f___
Asidosis respirasi
metabolik Asidosis respirasi Asidosis respirasi
kompensasi ♦asidosis Metabolik unkonpensata
unkompensata sebagian
Asidosis
metabolit
kompensasi
378 I)
Anestesiologi
pC0
pC0
2 meningkat
2 normal pC0pC0
2 meningkat
2 menurun
pH meningkat(> 7,45) {ALKALOSIS) pC0
pC0
2 menurun
2 Normal
i i
HCOa HCOj meningkat HCO3 menurun
lihat pC02
normal
Kesulitan interpretasi muncul bila terdapat lebih dari satu abnormalitas secara
pH normal (7.35-7.45) { KOMPENSATA}
bersamaan misalnya, pasien asidosis respirasi l karena PPOK dapat berhubungan dengan
asidosis metabolit karena berkurangnya lihat
curah
pC0jantung
2 (Cor pulmonal) dan aliran darah
ginjal.
Gangguan asam basa dapat berupa akut (non kompensasi), kompensasi sebagian
atau kronis (kompensasi).
Jadi pendekatan diagnostiknya adalah: pertama lihat pH. Dapat normal, meningkat
atau turun. Lalu lihat pC02 dapat normal, meningkat atau
ASIDOSIS RESPIRASI
Definisi
Didefinisikan sebagai peningkatan pC02 dengan jumlah cukup untuk menyebabkan
turunnya pH kurang dari 7.35.
Penyebab
2. Hipoventilasi mungkin disebabkan karena overdosis dari obat dan anestesi.
3. Kelainan neuromuscular junction yang bereefiek pada otot respirasi.
4. Depresi sentral dari SSP
5. Penyakit paru seperti PPOK dll.
6. Peningkatan produksi C02 misalnya, hipertemia maligna
Kesimpulan Temuan Gangguan Asam Basa
Abnormalitas PH PC02 HCOj
Asidosis respirasi
Didefinisikan sebagai turunnya pC02 yang cukup untuk meningkatkan pH lebih dari
7.45
Penyebab
Hiperventilasi: Ini adalah penyebab yang sering terjadi saat anestesi
umum (ventilasi manual selalu terdapat kecenderungan hiperventilasi)
latrogenik
Kehamilan
Keracunan salisilat
Hipoksia
Cidera SSP
Penanganan
Penyesuaian pengaturan ventilator (mengurangi frekuensi) dan meningkatkan
rebreathing.
Inhalasi C02.
Penanganan penyebab utama.
ASIDOSIS METABOLIK
ALKALOSIS METABOLIK
Didefinisikan sebagai pH > 7,45.
Penyebab
Muntah
Aspirasi tune Ryle's (kehilangan HCI)
Diuretik.
Hipovolemia.
Diare dengan kehilangan klorida
latrogenik
Pananganan
Tangani penyebab utama
Infus IV ammonium klorida, 0.1 N asam hidroclorid (tidak lebih dari 0.2 Eq/kg/hari)
atau AAcetazoIamide untuk kasus berat.
INTERPRETASI BGA/CARA PEMBACAAN BGA
Skema berikut adalah ringkasan untuk membuat penilaian secara cepat terhadap
hasil BGA dan gangguan asam-basa dalam tubuh:
Interpretasi Sederhana
Cara termudah untuk menginterpretasikan hasil gas darah adalah dengan metode
langkah demi langkah.
1. Langkah 1
Apakah pH dalam kisaran normal atau tidak? Jika pH berada di luar kisaran normal,
harus ditentukan apakah ada alkalosis atau asidosis.
pH> 7.45 = alkalosis (misalnya 7,52) pH
<7.35 = asidosis (misalnya 7,24)
2. Langkah 2
Apa yang menyebabkan kelainan pada pH? Hanya ada dua kemungkinan,
respiratorik (perubahan PaC02) dan/atau metabolik (perubahan HC03-atau BE)
Respiratorik
Lihatlah PaC02 - Bila PaC02 meningkat dan pH menurun = asidosis respiratorik atau
menurun PaC02 dan pH meningkat = Alkalosis Respiratorik Metabolik
Lihatlah HC03-atau B.E. - bila Base Excess atau bikarbonat meningkat dan pH
382 ||
Anestesiologi
meningkat = Alkalosis Metabolik atau Base Excess atau bikarbonat menurun dan pH
menurun = asidosis metabolik
Pada pasien kritis, pH mungkin sangat rendah, yaitu <7.00 karena asidosis metabolik
yang terjadi(metabolisme anaerobik, asidosis laktat) bersama dengan asidosis respiratorik
(ventilasi tidak memadai) akan menyebabkan pH turun.
3. Langkah 3
Menilai kompensasi terhadap ketidakseimbangan asam basa. Kompensasi adalah
usaha mengembalikan pH abnormal menuju normal (7,35-7,45) oleh sistem organ yang
tidak terpengaruh terutama.
Misalnya, jika terjadi hipoventilasi dan retensi C02, pH akan turun menyebaban
asidosis Respiratorik. Jika kondisi ini berlangsung selama beberapa jam ginjal akan mulai
mengkompensasi dengan mempertahankan HC03-sehingga meningkatkan pH kembali ke
normal. Jika pH hanya dalam batas normal tetapi PaC02 atau BE adalah luar batas normal,
maka ada kompensasi penuh. Kadang-kadang pH tidak dapat dikembalikan ke batas normal
dan hanya ada kompensasi parsial.
4. Langkah 4
Bagaimanakah status oksigenasi? Lihatlah Pa02 dan Sa02%. Pa02 rendah (<77-88
mmHg) menunjukkan masalah dengan paru-paru sementara Sa02% rendah (<90%) bisa
disebabkan oleh masalah di mana saja dalam sistem transportasi tubuh oksigen, paru-paru,
darah atau jantung pompa.
Ingat bahwa pasien PPOK dapat 'normal' dengan Sa02% = 88%.
384 ||
Anestesiologi
DAFTAR PUSTAKA
2. Morgan EG, Mikhail SM, Murray JM, Larson PCM. Clinical anesthesiology. 4th Edition.
New York: McGraw Hill; 2005.708-724
3. Wilkes P. Acid-base lecture in Acid-base management. University of Ottawa
Departemen of Anesthesiology, Physics and Fluids Core Program, October 11,2001.
4. Kellum JA. Determinants of Blood pH in Health and Disease. Critical Care 2000;4:6-14.
5. Schalkwyk JV.m A Basic Approach to Body pH.. Cited on 1999, Available on;
http://www.anaesthetist.com/icu/elec/ionz
6. Brandis «.Quantitative Analysis of Acid-Base Disorders, In: Acid-Base
Physiology An Online Tutorial, chapter lO.Cited On 14 March 2002, Available on:
http://www.qldanaesthesia.com.
7. Magder S. Pathophysiology of metabolic acid-base disturbances in patients
with critical illness.ln: Critical Care Nephrology. Kluwer Academic Publishers,
Dordrecht, The Netherlands, 1998. pp 279- 296.Ronco C, Bellomo R (eds).
8. Orlando Health. Interpretation of the Arterial Blood Gas. 2010 . Orlando Health,
Education & Development
9. Pramod Sood, Gunchan Paul, and Sandeep Puri. Interpretation of arterial blood gas.
Indian J Crit Care Med. 2010 Apr-Jun; 14(2): 57-64.
BAB XXV
386 11
Anestesiologi
masuk dalam bedah sehari.
4. Pasien yang tidak didampingi oleh orang lain yang dapat bertanggung jawab atas pasien tidak diperbolehkan menjalani
pelayanan bedah sehari.
Penilaian Preoperatif dan Premedikasi
Penilaian awal untuk pasien pelayanan bedah sehari harus dilakukan untuk menghindari pembatalan yang menyebabkan
ketidaknyamanan bagi pasien.
Pemeriksaan:
ASA I, usia kurang dari 40 tahun, tidak diperlukan pemeriksaan khusus. Pria usia lebih dari 40 tahun atau wanita usia lebih
dari 50 tahun diperlukan EKG.
Usia lebih dari 65 tahun diperiksa fungsi ginjal.
Premedikasi dalam pelayanan bedah sehari masih menjadi bahan perdebatan. Sebelumnya karena tidak tersedianya
benzodiazepine dengan kerja pendek, penggunaannya dibatasi tetapi sekarang dengan adanya midazolam, benzodiazepine dapat
digunakan untuk pelayanan bedah sehari terutama untuk pasien sadar. Midazolam harus diberikan pagi hari saat hari operasi [(1-
2 jam sebelum operasi(oral) dengan seteguk air atau 30 menit sebelum pembedahan(IM)].
Untuk mencegah mual dan muntah, antiemetik pilihan adalah dolasetron/ granisetron (jika tidak ada dapat digunakan
ondansentron). Karena efek sedative antiemetic seperti metoclopramide dan droperidol tidak dipilih. Karena dapat menyebabkan
lambat bangun.
Premedikasi dengan NSAID oral dapat sangat berhuna untuk mengurangi kebutuhan analgsik opioid. Pemberian
premedikasi secara oral sama dalam pembedahan rutin.
TEKNIK ANESTESI DAN OBAT IDEAL UNTUK PELAYANAN BEDAH SEHARI
Monitoring
Selain monitoring biasa, Bispectral index monitor untuk menentukan kedalaman anestesi (untuk menghindari anestesi
terlalu dalam) lebih dipilih dalam pelayanan bedah sehari (tetapi masih menjadi pertimbangan karena harganya mahal)
Anestesi Umum
Anestesi Umum dengan Laryngeal mask airway (LMA) lebih dipilih daripada intubasi (intubasi berhubungan dengan nyeri
tenggorokan paska operasi)
Induksi Intravena
Propofol adalah obat pilihan karena onset cepat, pulih bangun yang cepat, efek antiemetic dan antipruritus dan tidak ada
kemungkinan sedasi ulang (karena semua produk metaboliknya adalah inaktif)
Agent Inhalasi
Desflurane memiliki onset dan sadar lebih cepat, sangat ideal untuk pelayanan bedah sehari. Karena harga desflurane yang
mahal dan belum terdapat pada banyak rumah sakit, sevoflurane dapat menjadi alternatif terbaik.
Penggunaan nitrous oxide mengurangi kebutuhan agent inhalasi sehingga pemulihan lebih cepat (nitrous oxide dieliminasi
dari tubuh dalam waktu 3-5 menit).
Muscle Relaxants
Mivacurium karena durasinya kerjanya pendek adalah pelumpuh otot pilihan untuk pelayanan bedah sehari. Walaupun
succinylcholine juga memiliki kerja yang pendek tetapi tidak menjadi pilihan karena menyebabkan myalgia yang signifikan paska
operasi yang dapat berlangsung selama 2-3 hari.
Total Intravenous Anestesi (TIVA)
Teknik ini digunakan apabila hanya menggunakan anestesi intravena (tidak ada inhalasi, pelumpuh otot). Kombinasi pilihan
untuk TIVA adalah propofol + remifentanil.
Anestesi Regional
Blok saraf regional seperti Bier's block dan anestesi lokal adalah teknik yang mudah dan aman untuk pelayanan bedah
sehari. Pada blok seperti blok plexus brachial supraclavicular dimana terdapat resiko pneumothoraks paska operasi harus
dihindari.
Spinal/epidural: Walaupun spinal/epidural sekarang banyak digunakan dalam pelayanan sehari tetapi terdapat resiko
seperti nyeri kepala paska pungsi dural (PDPH), retensi urin dan efek sisa blokade sensorik/motorik/ simpatis, tetapi masih
direkomendasikan apabila (1) hanya menggunakan anestesi lokal kerja pendek atau intermediate (2) spinal harus diberikan
hanya dengan jarum ukuran kecil dengan jenis dura separating needles.
Pelayanan Monitoring Anestesi
Sudah lama pelayanan anestesi digunakan hanya untuk memberikan sedasi dan monitoring saat operasi dilakukan dengan
anestesi lokal.
Obat pilihan untuk sedasi adalah midazolam. Dapat juga diberikan propofol. Periode Paska Operasi
Keluar dari Rumah Sakit lebih awal bergantung pada kelancaran operasi. Lebih dari 70% komplikasi pada pelayanan bedah
sehari terjadi pada periode paska operasi.
Komplikasi paska operasi yang sering adalah mual dan muntah paling banyak, nyeri, sedasi, myalgia, kelemahan, dan
perdarahan.
Kriteria Pulang
Fast tracking adalah perpindahan pasien dari ruang operasi ke ruang pemulihan fase II (step down) melalui post anesthesia
care unit (PACU). Hal ini akan mengurangi pengeluaran biaya dan membantu keluar rumah sakit lebih awal.
Kriteria keluar rumah sakit pada pasien yang menjalani pelayanan bedah sehari adalah;
Tanda vital stabil lebih dari 30 menit
Tidak terdapat mual (atau mual yang minimal) dalam 30 menit.
Pasien berorientasi baik pada waktu, tempat, dan personal.
Mampu duduk atau berjalan.
Mampu menerima cairan secara oral tanpa muntah, dulu digunakan sebagai kriteria utama, tetapi sekarang hanya
dijadikan pilihan.
Bebas nyeri (atau nyeri yang minimal) dengan analgesik oral. Kemampuan untuk mengeluarkan urin tidak dijadikan kriteria
388 11
Anestesiologi
untuk pasien yang diberikan GA tetapi masih menjadi bahan pertimbangan pada pasien dengan spinal atau epidural.
Tidak ada perdarahan aktif.
Ditemani oleh orang lain yang dapat bertanggung jawab.
Sebaiknya tetap tinggal di lingkungan yang terjangkau rumah sakit pada 24 jam pertama.
Intruksi Paska operasi Pada Pasien Pelayanan Bedah Sehari
Pasien tersebut harus diinstruksikan untuk tidak melakukan aktivitas berat dan kerja penuh seperti mengemudi,
menjalankan mesin setidaknya dalam 24 jam. Pasien yang datang dari luar kota disarankan untuk tinggal disekitar lingkungan
rumah sakit untuk satu hari sehinga apabila terjadi komplikasi dapat segera dibawa ke Rumah Sakit. Insidensi perawatan kembali
adalah 2-3%, paling sering terjadi disebabkan oleh perdarahan.[]
Prof. dr. Soenarjo, SpAn, KIC, KAKV., lahir di Mojokerto - Jawa Timur pada 19 Maret
1939. Tinggal di Jl. Menteri Supeno No. 26 Semarang. Telp. 08122888005/024-
8311754/Fax. 024-8441378. Beliau adalah Guru Besar Anestesiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Pendidikan Dokter Umum tahun 1969 dari
Fakultas Kedokteran UNAIR, Spesialis Anestesiologi tahun 1974 dari Institute voor
Anaesthesiologie Faculteit der Geneeskunde Katholieke Universiteit Nijmegen,
Nederland). Beliau aktif sebagai Konsultan Intensive Care tahun 1997 dari IDSAI
Pusat Jakarta dan Konsultan Anestesi Kardio Vascular 2009 dari Kolegium
Anestesiologi IDSAI. Alamat kantor beliau di RS. dr. Kariadi Jl. Dr. Soetomo 16
Semarang. Telp/Fax. 024-8444346/024-8444346.
Diterbitkan oleh:
PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS ANESTESI DAN TERAPI
INTENSIF (PERDATIN)
CABANG JAWA TENGAH
RS. dr. Kariadi Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang
2.
Mulut dan rongga mulut Persarafan
rongga mulut:
a. Sensasi secara umum mendapat persarafan dari n. Maksilaris dan n. Mandibularis di mana
keduanya cabang dari n. Trigeminus.
b. Persarafan sekretomotor untuk kelenjar sublingualis dan subman- dibularis berasal dari n.
Glosofaring.
Suplai darah untuk daerah mulut merupakan cabang dari a. Karotis eksterna.
3. Faring
Dibagi menjadi: nasofaring, orofaring dan laringofaring.
PEMANTAUAN atau monitoring berasal dari kata kerja "to monitor" yang berarti to watch
(memperhatikan), to observe (mengawasi) atau to check (memeriksa) dengan suatu tujuan tertentu.1,2
Tindakan pemantauan akan melibatkan beberapa hal yang penting, yaitu:2
1. Tugas dan tanggung jawab yang terlibat dalam proses ini.
2. Pengumpulan data-data dan disertai data-data peringatan.
3. Mempunyai tujuan tertentu.
Dalam anestesiologi, tindakan pemantauan sangat vital dalam menjaga keselamatan pasien, dan
hal ini harus dilakukan secara terus-menerus. Pemantauan anestesi berarti memantau untuk
mendapatkan informasi supaya ahli anestesi dapat bekerja dengan aman dan jika ada penyimpangan
dapat segera dikembalikan ke keadaan sefisiologis mungkin * 1 2 3'2,3,4. Pemantauan ini ditekankan
khususnya terhadap fungsi pernafasan dan jantung. Dasar dari semua pemantauan ini adalah
pemantauan tanpa alat. Peralatan pemantauan hanyalah sarana bantuan, yang dapat saja terjadi
malfungsi, terputus hubungannya, berkurang dayanya, sehingga informasi yang kita dapatkan tidak
akurat.3
Walaupun alat monitor dilengkapi dengan segala macam alat yang canggih dan tanda bahaya,
tetapi ia tetap tidak dapat menggantikan fungsi atau kedudukan ahli anestesi.3,5 Pemantauan terutama
ditujukan terhadap fungsi organ vital dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Pasien
4. Kapnografi
Kapnografi adalah alat non-invasif, yang berguna untuk mengukur karbondioksida (C02) pada satu
siklus respirasi di dalam sirkuit nafas. Alat ini menggambarkan pola kadar C0 2 (diukur dalam kilo Pascal
atau mmHg) pada fase inpirasi dan ekspirasi serta menunjukkan kadar C02 pada akhir ekshalasi [End
Tidal C02 atau ETC02).3'4'5'9,12 (Gambar 15)