Anda di halaman 1dari 15

Nama : Jeremy Douglas Sidauruk

NIM : 16.3082

Mata Kuliah : Seminar Pengajaran

Dosen Pengampu : Pdt. Efran M. Sianipar, M.Th

Pdt. Pulo Aruan, M.Th

KONTEKSTUALISASI DALAM MISSIO DEI

(Studi Missiologi tentang Kontekstualisasi dalam Penginjilan I.L.Nommensen di Tanah Batak)

I. Pendahuluan
I.1. Kontekstualisasi
Kata “kontekstualisasi” telah ditambahkan ke dalam perbendaharaan kata dalam bidang misi
dan teologi sejak tahun 1972 oleh Theological Education Fund (TEF). Konteks pembicaraan
tentang kontekstualisasi adalah pendidikan teologi di negara-negara Dunia Ketiga. Namun,
para missiolog menyadari bahwa ide dari kontekstualisasi itu sendiri sebenarnya sudah ada
jauh sebelum TEF bersidang, yaitu terdapat di Kitab Suci, contohnya adalah inkarnasi Yesus
Kristus dan pendekatan Paulus pada waktu ia mengkomunikasikan Injil kepada orang bukan
Yahudi (Kis 17:16-34; 1 Kor 9:19-23).1
Pada umumnya, kontekstualisasi dilihat sebagai suatu istilah yang memaparkan tentang suatu
proses dimana berita tentang iman Kristen dibuat menjadi relevan dan berarti bagi budaya
yang menjadi penerima berita tersebut.2 Menurut H.Conn dan A. Konig, kontekstualisasi
selalu merupakan suatu karakteristik dari teologi. Sedangkan menurut C.Kraft,
kontekstualisasi bukan berarti suatu kontekstualisasi dari teologi yang sudah ada. Kraft
menyatakan bahwa teologi kontekstual adalah penerjemahan secara dynamic equivalent dari
berita iman Kristen yang diambil secara langsung dari Kitab Suci ke dalam berbagai budaya
di dunia. Oleh karena itu, kontekstualisasi teologi haruslah Alkitabiah dan tidak boleh hanya
merupakan suatu proses dari jual-beli produk teologis yang sudah ada, sebagaimana yang
sering dilakukan oleh praktisi kontekstualisasi. 3

1
Ministry in Context: The Third Mandate Programme of the Theological Education Fund (1970-1977); 1972 :
Bromley, England
2
Contextualization: Is It Only a New Word for Indigenization? Evangelical Missions Quarterly. 1978, 13-20.
3
An Introduction to the Science of Missions (Phillipsburg : Presbyterian and Reformed, 1960).
I.2. Missio Dei
Missio Dei diartikan secara literer sebagai Misi Allah. Kata Missio Dei berasal dari Bahasa
Latin, missio adalah misi atau tugas, dan dei adalah Tuhan atau Allah. Sebuah bentuk yang
digunakan dalam teologi Trinitarian. Misi Allah di dunia adalah maksud Allah untuk
menyelamatkan dunia dalam hubungan khusus dalam Allah, Yesus dan Roh Kudus.
Landasan dari Missio Dei ini terdapat pada Injil Yohanes 20:21 tentang Yesus Kristus yang
diutus Allah, kemudian mengutus manusia untuk melanjutkan karyanya di bumi. Orang
Kristen, baik pada masa lalu maupun masa kini banyak yang mengartikan bahwa misi Allah
adalah memberitakan keselamatan dalam diri Tuhan Yesus, yaitu dengan melakukan
missionari ke seluruh dunia yang bisa dijangkauNya. Setidaknya ada dua implikasi dari misi
itu, inkarnasi yang terjadi dalam diri Yesus dan penebusan yang dilakukan Yesus sehingga
seluruh manusia harus mempercayai Yesus jika ingin selamat.
Adapun mengenai tujuan dari Missio Dei itu dapat kita kemukakan tiga aspek, yaitu:4

a Unsur Doxologis (Pemuliaan)


. Telah dikemukakan bahwa titik tolak dari missio itu adalah Allah Bapa sendiri. Oleh
sebab itu, tujuan dari missio itu adalah untuk kemuliaan Tuhan, agar nama Tuhan dipuji.
Uraian-uraian mengenai keagungan Tuhan dalam Mazmur, di dalam perintah zending
dan di dalam penglihatan-penglihatan dari Paulus dan Yohanes mengenai keselamatan
manusia, membuktikan unsur doxologis di dalam Missio Dei itu.
b Unsur Soteriologis (Pelepasan)
. Missio Dei itu mempunyai tujuan soteriologis, yaitu tujuan pelepasan. Kita dapat melihat
Yohanes 3:17: “Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia, bukan untuk
menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia”.
c Unsur Eskhatologis (Akhirat)
. Sejarah Tuhan Allah itu berjalan di dalam sejarah dunia menuju eskhaton (akhir zaman),
di mana Christus Victor (Kristus Pemenang) itu akan menaklukkan segala musuh-Nya
dan menaruhnya menjadi tumpuan kaki-Nya (Ibr 1:13; 10:13).

II. Isi
II.1. Allah Tritunggal dan Misi
Dari sumber Alkitab di atas, kita dapat melihat ke-Tritunggal-an Allah tidak dapat dipisahkan
dari misi. Ketiga “oknum” tersebut termasuk dalam keseluruhan rangkaian misi di dunia ini.
a. Allah: Sumber, Pencipta dan Tujuan Misi

4
Andar Lumbantobing, Azaz dan Amanat Penginjilan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1972, hlm. 31-33.
Ketika kita memikirkan Allah Bapa dan misi, maka yang muncul adalah bahwa Dia
merupakan sumber, pencipta, dan tujuan segala sesuatu, termasuk misi. Kehendak-Nya
menentukan penciptaan dunia, penyataan kebenaran kepada umat manusia, hakikat Injil,
keberlangsungan sejarah, dan pemilihan individu-individu untuk diselamatkan. Dia
menetapkan cara hidup bagi individu-individu untuk diselamatkan. Dia menetapkan cara
hidup bagi individu-individu yang telah diselamatkan. Dialah yang di dalam kasih memulai
hubungan dengan kita dan membujuk kita sampai kita memberi respon kepada-Nya. Dia akan
merangkum sejarah sehingga pada akhirnya Dia akan menjadi “semua di dalam semua”
(1Kor 15:28).5 Dengan demikian, Allah merupakan Sumber dan Pencipta misi karena segala
sesuatu adalah dalam karya keselamatan-Nya.
Dalam surat-surat Paulus, Allah dibahas dalam sekitar 600 rujukan. Dari 1.314 rujukan
mengenai Allah dalam PB, 548 di antaranya terdapat dalam surat-surat Paulus. 6 Pada khotbah
penginjilan dalam gereja mula-mula ini, muncullah gambaran lain dari Allah. Yang terlihat
adalah Allah yang lebih sempurna dan lebih besar daripada konsep Allah yang hanya
memberikan respon kepada situasi khusus dengan penyataan kekuasaan. Gambaran yang
seperti itu adalah gambaran hakiki Injil dan dengan demikian juga sebagai sarana yang efektif
untuk memenangkan perhatian orang-orang yang belum percaya. Gambaran tersebut adalah
kedaulatan Allah yang sering muncul dalam khotbah-khotbah Kisah Para Rasul. Perhatian
khusus diberikan untuk memproklamasikan kedaulatan Allah dalam kematian Kristus dan
dalam kebangkitan-Nya dari kematian. Semua rujukan ini menunjukkan bahwa sekalipun hal
yang menarik orang untuk mendengarkan Injil adalah peragaan kekuasaan secara pribadi dan
individual, ketika para rasul mengabarkan Injil mereka memberikan sebuah gambaran yang
lebih lengkap tentang siapakah Allah itu.
b. Yesus: Teladan dan Berita Misi
Keselamatan adalah berasal dari Allah dan menjadi nyata dalam hidup kita melalui karya Roh
Kudus, dan disediakan untuk kita melalui karya Kristus. Karya-Nya meliputi inkarnasi,
kebangkitan, pemuliaan dan penyempurnaan pada akhir zaman, membuat-Nya menjadi jalan
menuju keselamatan. Hakikat ganda Kristus sebagai yang Ilahi dan manusiawi, yang
diperlihatkan sepanjang hidup, pelayanan dan pengajaran-Nya di bumi, membuat kita yakin
untuk menegaskan bahwa Dia adalah kebenaran yang harus diberitakan (Yoh 1:14; 14:6-11).

5
Ajith Fernando, Allah Tritunggal dan Misi: Peran Bapa, Anak, Roh, dan Gereja dalam Pekerjaan
Misi Alkitabiah, Yayasan Komunikasi Bina Kasih, Jakarta, 2008, hlm. 11.
6
Leon Moris, New Testament Theology, Zondervan Publishing House, Grand Rapids, 1986, hlm. 25.
Dampak dari keselamatan yang diberitakan adalah bahwa Yesus membuka pintu kepada apa
yang disebut Alkitab sebagai kehidupan kekal (Yoh 3:16; 5:24).7
Yesus juga dengan jelas ditampilkan sebagai teladan misi dalam Yohanes 17:18 (“Sama
seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus
mereka ke dalam dunia ini”) dan Yohanes 20:21 (“Sama seperti Bapa mengutus Aku,
demikian juga sekarang Aku mengutus kamu”).8 Dari hal ini kita melihat bahwa Yesus yang
merupakan pelaku atau teladan misi, juga adalah berita sekaligus inti dari misi tersebut.
c. Roh Kudus: Pelaksana Misi Ilahi
Gereja selalu mempercayai Roh, tetapi dalam sejarah, Gereja sering membatasi karya Roh
pada sejumlah kegiatan saja, padahal kayra Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dan sama
beragamnya dengan karya Allah Tritunggal. Hubungan antara misi dan kuasa Roh adalah
satu tema utama dalam Kisah Para Rasul. Namun dalam tulisan Paulus hanya terdapat lima
rujukan saja (enam ayat). Dari lima kali kemunculan ini, tiga merupakan pernyataan ringkas
mengenai pelayanan Paulus di antara para pembaca suratnya (Rm 15:18-19; 1Kor 2:4; 1Tes
1:5). Dua lainnya merujuk kepada karya Roh dalam situasi penggembalaan (Gal 6:1; 2Tim
1:14).9
Persis pada awal Kisah Para Rasul, Yesus memperlihatkan pengutamaan Roh dalam
misi ketika Dia melarang para rasul meninggalkan Yerusalem dan menyuruh mereka tinggal
di situ menantikan janji Bapa, sebagaimana yang dikatakan-Nya, “telah kamu dengar dari
Aku. Sebab Yohanes membaptis dengan air, tetapi tidak lama lagi kamu akan dibaptis dengan
Roh Kudus” (Kis 1:4-5).10 Tulisan-tulisan Paulus juga mengandung teologi yang jauh lebih
penting mengenai Roh Kudus dibandingkan dengan anggapan orang Kristen umumnya.11
Yesus menggambarkan Roh Kudus sebagai paraklētos (Yoh 14:16, 26; 15:26; 16:7),
yang diterjemahkan sebagai “Penolong” atau “Penghibur”. Paulus tidak menggunakan kata
ini dalam surat-suratnya, tetapi hal ini tampak dalam tafsiran mengenai peranannya tersebut
(Rm 8:14; 1Kor 12:3; Gal 5:18). Roh Kudus memampukan kita untuk menjalani kehidupan
kita. Pelayanan Roh ini juga sangat relevan untuk misi. Roh melakukan pelayanan langsung
dalam kehidupan kita dan melalui pelayanan itulah Dia memberi kepastian. Roh Kudus
memberi kesaksian kepada kita (Rm 15:13) dan bersaksi kepada kita tentang kedudukan kita

7
A. Fernando, Allah Tritunggal, hlm. 39-40.
8
A. Fernando, Allah Tritunggal, hlm. 40-41.
9
A. Fernando, Allah Tritunggal, hlm. 70-71.
10
A. Fernando, Allah Tritunggal, hlm. 72.
11
M. Turner, The Holy Spirit and Spiritual Gifts in The New Testament Church and Today, Hendrickson
Publisher, Peabody, 1996, hlm. 72.
di dalam Kristus (Rm 8:15-16; 9:1-2; Gal 5:5). Karunia-karunia Roh (1Kor 12-14) juga
memampukan kita untuk melaksanakan misi di dunia ini.12

II.2. Ingwer Ludwig Nommensen

Ingwer Ludwig Nommensen lahir di pulau kecil Marsch Nordstrand pada tanggal 6 Februari
1834, tahun yang sama dengan terbunuhnya Pendeta Henry Lyman dan Samuel Munson, dua
orang missionaris dari Amerika yang dibunuh oleh Raja Panggalamei dan kawan-kawannya
di Sisangkak Lobupining dalam perjalanannya menuju Silindung.13
Semasa hidupnya, orang tua Nommensen sering bercerita dan duduk bersama, nyanyi
bersama dengan anak-anaknya yang masih kecil. Selesai makan malam bersama, mereka
bernyanyi dan berdoa.14 Nommensen adalah anak pertama dan lelaki satu-satunya di antara 4
orang bersaudara. Dia sangat dekat dengan ibunya yang lebih banyak tinggal di rumah
sebagai seorang ibu rumah tangga. Anna juga sering sakit seperti suaminya yang bekerja
seharian untuk menghidupi keluarganya yang sangat miskin. Karena keadaan ekonomi yang
sangat susah, Peter sering mengutang di toko makanan di pulau lainnya. Karena Peter sering
sakit, pembayaran utangpun sering terlambat. Akibat keadaan yang memaksa, utang di toko
makanan pun semakin bertambah dan pembayarannya tersendat-sendat.
Bentakan dan ancaman suruhan orang kaya sangat membekas di hati Nommensen, dia
menangis ketakutan. Namun, karena penderitaannya tersebut disertai dengan didikan kedua
orang tuanya agar selalu berserah diri kepada Tuhan, Nommensen sejak kecil sudah sangat
dekat dengan Tuhannya.
Pada saat bersekolah Nommensen bertemu dengan dua jenis guru. Pertama, Tuan Paijsen,
yang kurang simpatik, tidak mau bercerita, dan kelihatan tidak ramah dengan anak-anak.
Kemudian dia meninggal dan diganti dengan Tuan Callisen, yang sangat simpatik dan sangat
ramah terhadap anak didiknya. Tuan Callisen sangat pandai menerangkan pelajaran dan
sering bercerita tentang hal yang sangat disukai oleh anak-anak sebelum menutup
pelajarannya. Nommensen dan teman-temannya sangat suka mendengar cerita gurunya
tentang perjuangan missionaris di daerah terbelakang.15

12
A. Fernando, Allah Tritunggal, hlm. 74-81.
13
Patar M. Pasaribu, Dr. Ingwer Ludwig Nommensen: Apostel di Tanah Batak, Percetakan Universitas
HKBP Nommensen, Medan, 2005, hlm. 1-2.
14
Keteraturan pada masa kecil inilah yang mempengaruhi Nommensen untuk teratur dalam melakukan
misinya.
15
Jonathan T. Nommensen, Ompu I Dr. Ingwer Ludwig Nommensen, Yakoma-PGI, Jakarta, 2005, hlm. 7.
Pada masa mudanya yang masih tergolong anak-anak, Nommensen sering bekerja
mendapatkan upah untuk membantu orang tuanya. Dia sekolah kalau musim dingin, di mana
hewan-hewan yang digembalakannya sudah masuk kandang. Dia bersekolah sambil bekerja,
sejak berumur 8 tahun. Pada saat itu dia bekerja sebagai gembala. Sejak kecil Nommensen
sudah menampakkan talenta, dia sangat rajin, bertanggung jawab, selalu mengerti perasaan
orang tuanya yang hidup sangat sederhana. Masa sekolahnya sering terganggu, atau dia tidak
rutin sekolah seperti anak-anak lainnya yang hanya tahu bersekolah. Dia selalu membaca,
bila ada kesempatan. Dia sadar tanpa demikian tidak akan bisa nanti mengikuti pelajaran
berikutnya di sekolah bila musim dingin tiba.16
Pada usia 12 tahun, Nommensen mengalami peristiwa yang tidak terlupakan dalam hidupnya,
bahkan peristiwa itu menjadi penentu dalam pilihan jalan hidupnya di kemudian hari. Pada
saat musim dingin, Nommensen terjatuh bersamaan dengan datangnya kereta kuda yang
membenturnya. Kedua kakinya tergilas kereta dengan tiba-tiba, sungguh mimpi buruk, dia
tercampak di tikungan jalan dan lukanya cukup parah. Dia kemudian dirawat di rumah karena
tidak ada rumah sakit di sana. Setelah sekian lama, dia dibawa pamannya ke dokter di
Bredstedt namun lukanya tidak sembuh juga. Selama satu tahun dia tidak bisa berjalan. Dia
hanya bisa duduk dan terbaring di tempat tidur. Setiap hari dia membaca Alkitab untuk
mengisi waktunya. Setiap hari Nommensen menunggu-nunggu kedatangan teman-temannya
untuk mendengarkan cerita yang diberikan oleh gurunya dan juga pelajaran di sekolah. 17
Namun dokter kemudian menganjurkan agar kedua kakinya diamputasi karena nanahnya
tidak pernah kering bahkan lukanya semakin melebar. Nommensen tidak mau kakinya
dipotong, dia sangat ngeri membayangkannya. Dia membayangkan beban ibunya nanti akan
semakin berat bila dia terus menjadi orang yang tak berguna.18
Menjelang Natal tahun 1847, seperti biasa Nommensen membaca Alkitab sambil berbaring.
Dia membaca Yohanes 14:1419 dan kemudian diteruskan membaca Yohanes 16:23-2420.
Setelah membaca nats tersebut, dia memanggil ibunya dan mengajaknya untuk berdoa.
Kemudian mereka berdoa bersama dengan sungguh-sungguh. Nommensen berjanji apabila
bisa sembuh kembali maka kakinya yang dua itu akan dipakai untuk kemuliaan Tuhan
sampai ke ujung dunia, ke daerah yang paling terbelakang yang pernah diceritakan Tuan

16
Parsorion ni D. Theol L. Nommensen dohot Na Niulana, Prima Anugerah, Medan, t.t.t., hlm. 2.
17
J.T. Nommensen, Ompu I, hlm. 7.
18
P.M. Pasaribu, Nommensen, hlm. 12-15.
19
“Jika kamu meminta sesuatu kepadaKu dalam namaKu, Aku akan melakukannya.”
20
“…Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa akan diberikanNya kepadamu dalam
namaKu. Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam namaKu, mintalah maka kamu akan
menerima, supaya penuhlah sukacitamu.”
Callisen. Tidak lama kemudian, seorang dokter datang ke rumahnya dan memberikan obat
untuk kesembuhan kakinya. Ajaib, hanya beberapa hari saja sudah tampak perubahan pada
kakinya. Kakinya sudah mulai mongering dan kelihatan perubahan besar. Hanya enam
minggu kemudian, dia sudah bisa pergi ke sekolah seperti sedia kala. Kakinya betul-betul
sembuh kembali. Nommensen selalu ingat akan janjinya kepada Tuhan bahwa dia akan
menjadi seorang missionaris di kemudian hari.
Pada umur 14 tahun, dia kehilangan ayahnya dan dia akan bertanggung jawab sebagai
seorang ayah bagi adik-adiknya karena ibunya sering sakit, tidak mampu untuk menghidupi
mereka sekeluarga. Pada tahun 1849, setelah setahun penuh belajar, pada umur 15 tahun,
Nommensen mendapat sidi. Ayat sidinya Yohanes 6:6821, yang membuat dia memperbaharui
janjinya kepada Tuhan yang dia ucapkan pada tahun 1847, ketika kedua kakinya sembuh,
bahwa dia akan menjadi seorang penginjil yang akan memberitakan Firman Tuhan kepada
penyembah berhala.
Keinginannya semakin membesar pada saat meninggalkan ibunya untuk bekerja dengan
keluarga Jakobsen. Dia sering mengigau dan mengoceh menjadi seorang missionaris pada
saat bekerja sehingga dikatakan sudah gila. Waktu malam ia sering mengigau, sebentar
berkata-kata dengan iblis, sebentar lagi dengan malaikat, sehingga kawan sekamarnya lari
ketakutan. Pada suatu hari Nommensen memakai pakaiannya, hendak lari dari pulau tempat
ia bekerja karena pikirnya ia dapat berjalan di atas air. Untunglah majikannya melihatnya dan
menyelamatkannya. Karena keadaan yang demikian, kemudian dia dikembalikan kepada
ibunya.22
Kemudian karena wabah kolera, Nommensen kembali ke pulaunya dan bekerja untuk
memperbaiki parit dan tembok pengaman pulau. Ketika berumur 19 tahun, dia merasa sangat
berat hati meninggalkan ibunya yang sering sakit dan adiknya Lucie yang masih kecil. Dia
berencana meninggalkan keluarganya setelah adiknya Lucie mendapat sidi. Namun pada
tahun 1853 keluarga dekat mereka, yang tidak mempunyai anak, datang meminta Lucie untuk
tinggal bersama mereka. Kini, Nommensen merasa sudah waktunya menepati janjinya untuk
pergi menjadi seorang missionaris, tidak ada lagi alasan baginya. Singkat cerita, kemudian
Nommensen berangkat ke desa pamannya di kota Okholm yang kemudian menjadi Guru
penolong di Risum (1854-1855) dan di Elberfeld (1855-1857).
Setelah ditahbiskan menjadi pendeta, maka pada tanggal 1 November 1861 berangkat menuju
negeri Belanda untuk bertemu dengan Pdt. Witteveen, yang telah mengutus Pdt. Betz dan
21
“Jawab Simon Petrus kepadaNya, Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataanmu adalah perkataan
hidup yang kekal.”
22
J.T. Nommensen, Ompu I, hlm. 11.
Pdt. van Asselt ke Sumatera dan kemudian berkenalan dengan N. van der Tuuk yang pernah
mengunjungi pulau Sumatera. Dalam kesempatan pertemuannya dengan van der Tuuk dia
menyempatkan waktunya untuk belajar Bahasa Batak. Tanggal 24 Desember 1861, dengan
menumpang Kapal “Pertinax” berlayar menuju Sumatera melalui Nieuwendiep. Pada tanggal
16 Mei 1862 setelah berlayar selama 142 hari mendarat di Padang dan pada tanggal 16 Juni
1862 tiba di Sibolga yang dilanjutkan ke Barus sampai tanggal 25 Juni 1862.23
Pada tahun 1866 Nommensen menikahi Margarethe Caroline Gutbrod (1837-87). Jonathan
(1873-1950), anak bungsu dari enam anak mereka, menjadi seorang missionaris dan
membantu ayahnya sebagai wakilnya selama 18 tahun (1900-1918). Nommensen cuti pada
tahun 1880. Kembali ke Sumatera, dia meninggalkan anak-anak dan istrinya, yang sakit dan
meninggal pada tahun 1887. Ketika dia kembali ke Jerman pada tahun 1892, dia menikah
dengan Anna Magdalena Christine Harder (1864-1909). Mereka mempunyai seorang putra,
yang meninggal sebagai tentara pada tahun 1916, dan dua orang putri. Anna meninggal pada
tahun 1909. ini merupakan sebuah ujian yang berat bagi iman dan kesabarannya untuk
melihat dua adiknya meninggal (1860 dan 1864), diikuti dua istrinya dan empat dari sembilan
anak-anaknya.24
Nommensen menerima pandangan dan keyakinannya tidak hanya pada pelatihan
seminarinya, tetapi juga dari gerakan kebangkitan kembali Lutheran (Lutheran revival
movement) di Schleswig-Holstein. Sepanjang hidupnya, dia menafsirkan Kekristenan sebagai
“Hidup Baru”, seperti yang diajarkan oleh F.A.G. Tholuck (1799-1872) dan A. Neander
(1789-1850). Kata kunci ini mewakili paradigma kerygmatis bagi penginjilan keluar mereka.
Nommensen melibatkan dirinya untuk melihat Hidup Baru itu dalam hidup dan budaya
Batak. Orientasi anthropologis dari teologinya membawanya kepada penginjilan yang
dialogis. Dia memperkenalkan instruksi untuk membaptis dengan mengajukan pertanyaan
mengenai kebahagiaan, hidup abadi, dan kepatuhan kepada perintah Allah, daripada
memulainya dengan cerita penciptaan dan umat Israel. Pandangannya atas pertumbuhan
hidup dan etika Kristen disandarkan pada iman yang tidak tergoyahkan dalam Kristen.
Nommensen memadukan tradisi kebangkitan kembali pada tahun-tahun pertamanya di
Jerman ke dalam teologinya sehari-hari. Pusat kepercayaannya adalah kedaulatan Allah, yang

23
Sekolah Tinggi Theologia HKBP, Benih yang Berbuah: Hari Peringatan 150 Tahun Ompu I Ephorus
Dr. Ingwer Ludwig Nommensen Almarhum, Bagian Ilmu Sejarah Gereja dan Pekabaran Injil STT-HKBP
bidang Penelitian dan Pengembangan, Pematangsiantar 1984, hlm. 29-30.
24
Lothar Schreiner, “The Legacy of Ingwer Ludwig Nommensen”, dalam William Carey Library,
International Bulletin of Missionary Research: 50th Anniversary Vol. 24, No. 2, April 2000, hlm. 81-81.
menyatakan diriNya ke dalam Firman yang hidup, Yesus Kristus, “Tuhan dan Penyelamat
dunia”.25
II.3. Praktik Misi Nommensen
a. Menjala setelah mengkail
Ciri pertama pola kerja Nommensen adalah bahwa ia rela untuk meninggalkan corak berpikir
yang pada waktu itu lazim di kalangan zending bila menghadapi gerakan massal ke agama
Kristen. Mula-mula orang masuk ke jemaat satu dua sekaligus. Tetapi setelah raja pertama
dibaptis, ternyata orang bawahannya ingin masuk Kristen bersama dia. Rekan-rekan
Nommensen, bahkan pimpinan zending di Barmen, berwaswas menghadapi mengalirnya
ribuan orang masuk ke dalam gereja, tetapi dia sendiri berkata, “Sudah waktunya untuk
menggunakan jala, bukan kali”. Dalam hal ini Nommensen bersikap utuh, bukan setengah
hati, sehingga dalam lingkungan pengaruhnya tidak ada orang yang diterima menjadi calon
baptisan, namun kemudian harus belajar bertahun-tahun barulah dibaptis serta tidak pula
diadakan pemisahan sakramen, tetapi semua orang yang ingin masuk Kristen langsung
ditampung dan diperlakukan sebagai satu persekutuan.26

b. Menunjukkan Kasih di Tengah-tengah Tekanan


Orang Batak merdeka, yang di tengahnya Nommensen menetap, bukanlah orang biadab. Raja
Pontas Lumbantobing (yang kemudian menjadi raja Batak pertama yang dibaptis) telah
menyanggupi untuk mengantarkan Nommensen dari Barus ke Silindung dengan syarat diberi
pernyataan tertulis bahwa dirinya tidak dianggap bertanggung jawab atas keselamatan tuan-
tuan dari Eropa. Tetapi pergaulan masyarakat ditandai oleh ketidakamanan dan kebuasan
penduduk satu kampung terhadap yang lain. Karena takut kena bencana kalau menyambut
seorang asing yang tidak memelihara adat, maka mula-mula raja-raja di Silindung tidak mau
menjual tanah kepadanya untuk membangun rumah. Mereka biasa datang ke tempat
tinggalnya melemparkan kepadanya kata-kata yang menyakitkan hatinya. Beberapa kali
nyawa Nommensen terancam.27
Di tengah-tengah suasana yang demikian, Nommensen tetap menunjukkan kasihnya. Melihat
kasih yang begitu besar, mereka tak dapat bertahan lagi menghadapi Nommensen. Tentu
pertobatan itu mempunyai latar belakang yang lebih jauh pula. Sikap menolak para raja
disebabkan pula oleh kekhawatiran mereka, jangan-jangan orang kulit putih ini menjadi

25
L. Schreiner, “The Legacy”, hlm. 81-81.
26
End dan Weitjens, Ragi Carita, hlm. 187.
27
End dan Weitjens, Ragi Carita, hlm. 185-186.
perintis bagi gubernemen Belanda yang sudah berkuasa di pantai dan di selatan. Di pihak
lain, mereka—khususnya raja Pontas—menyadari bahwa mereka tidak kuat lagi
mempertahankan adat dan kemerdekaan mereka terhadap kuasa-kuasa yang mendesak
masuk, yakni agama Islam dan Kristen di satu pihak dan pemerintahan Belanda di pihak lain.
Dalam suasana itu, penampilan Nommensen yang tidak memakai kekerasan, yang
menunjukkan jalan untuk mengatasi keadaan perang dan bunuh-membunuh, namun
menghormati sebagian besar tata hidup mereka itu tidak bisa tidak menimbulkan rasa hormat
dan simpati dalam hati raja-raja itu.
c. Menampung Orang yang Sudah Kristen yang Dikucilkan
Orang-orang Kristen pertama (yang dibaptis pada tanggal 27 Agustus 1865) diusir dari
kampunng halamannya karena tidak mau lagi memberi sumbangan untuk upacara-upacara
agama suku. Maka terpaksalah Nommensen mengumpulkan mereka dalam kampung
tersendiri, yang diberi nama Hutadame (=Yerusalem, kampung damai). Setelah 7 tahun
melakukan penginjilan, orang Kristen Batak berjumlah 1.250 jiwa. Tetapi sepuluh tahun
kemudian (1881) angka itu sudah lima kali lipat.28
d. Memberikan Tatanan Hidup yang Baru
Ribuan manusia yang masuk menjadi Kristen itu kehilangan tata hidup yang lama. Agar
mereka tidak tercabut, Nommensen secepat mungkin menyediakan bagi mereka tatanan yang
baru. Pada tahun 1866 (dua tahun setelah masuk ke Silindung) ditetapkannya Aturan Jemaat.
Aturan itu meliputi kehidupan orang Kristen di dalam jemaat dan dalam lingkungan keluarga.
Jemaat Hutadame yang masih kecil akan memiliki 4 orang penatua dan 3 orang diaken (di
antaranya 1 perawat orang sakit, 1 bendahara dan 1 koster), 1 diakones (untuk merawat
wanita yang sakit) dan 1 guru TK. Peribadatan dalam lingkungan keluarga diatur dengan
teliti. Orang Kristen berdoa pada waktu bangun dan tidur serta sebelum dan sesudah makan.
Lima kali sehari, pukul 06.00, 09.00, 12.00, 15.00 dan 18.00, dibunyikan lonceng sebagai
tanda supaya semua orang berdoa dalam hati. Tentang ibadah jemaat pada hari Minggu juga
mengandung ketentuan-ketentuan lengkap dalam aturan tersebut. Adat perkawinan dan
hukum kekeluargaan juga diberi petunjuk-petunjuk. Menonjollah bahwa dalam aturan ini
orang-orang Kristen dijadikan sebagai anggota suatu masyarakat Kristen yang utuh; orang
Kristen perseorangan tidak dibiarkan menghayati imannya sendiri-sendiri, tetapi ditampung
ke dalam persekutuan yang bersifat menyeluruh.29
e. Bahasa sebagai Jembatan untuk Pemberitaan Firman Tuhan

28
End dan Weitjens, Ragi Carita, hlm. 186.
29
End dan Weitjens, Ragi Carita, hlm. 187-188.
Nommensen telah mempelajari bahasa Batak (Toba) dan bahasa Melayu di Eropa sebelum
dia tiba di Tanah Batak. Di Barus dia memakai bahasa Melayu dan di daerah Angkola dia
menambah pengetahuannya dalam bahasa Batak Angkola serta di daerah Toba (Silindung)
dia memakai bahasa Batak Toba. Tanpa bahasa penduduk pribumi, sudah barang tentu tidak
dapat menjalin hubungan dalam penyampaian Firman Tuhan. Dengan segera dia belajar
mengucapkan bahasa Batak sesuai dengan irama perasaan dan pikiran orang Batak. Dia
menjawab kalimat-kalimat berisi kiasan dengan bentuk kalimat yang sama. Contohnya,
biasanya jika seorang asing memasuki suatu desa, maka penduduk desa ingin memperoleh
suatu kenang-kenangan atau oleh orang Batak disebut “daon sihol” (obat pelupur rindu).
Nommensen selalu berjumpa dengan pertanyaan yang sama setiap memasuki satu-satu desa,
“Apakah yang Tuan bawa kepada kami sebagai obat pelipur rindu?” Pertanyaan ini menjadi
bahan baginya pada waktu khotbah. Pada satu waktu Nommensen dalam khotbahnya
memperkenalkan obat pelipur rindu yang tahan lama, yaitu kedatangan Yesus Kristus yang
menebus dosa-dosa manusia. Untuk itulah dia mendatangi mereka ke desa-desa. Memakai
bahasa Batak, bagi Nommensen berarti mencoba menelusuri irama pikiran dan hidup orang
Batak yang menjadi alamat Firman Tuhan yang dia sampaikan. Tanpa mengenal bahasa itu,
dia tidak mungkin menyampaikan Firman Tuhan. Dengan demikian, mengenal dan
memahami bahasa setempat atau bahasa ibu dari orang yang akan menerima Firman Tuhan
adalah syarat mutlak dalam praktek misi.
f. Mentransformasikan Injil ke dalam Adat
Persoalan dan ketegangan antara kekristenan dan habatahon, atau antara Injil dan adat Batak,
merupakan persoalan klasik yang sudah muncul sejak berlangsungnya perjumpaan di antara
keduanya, ketika para penginjil Barat datang ke tanah Batak. 30 Ketika para utusan Injil Barat
datang ke Indonesia dan mengabarkan Injil ke tanah Batak, pada mulanya mereka bersikap
negatif terhadap adat Batak. Bahkan istilah sipelebegu (pemuja roh/dewa) berasal dan
diciptakan oleh para utusan Injil tersebut. Orang Batak sendiri tidak pernah menyebut dirinya
sipelebegu. Namun di kemudian hari, para utusan Injil tersebut dapat melihat adat Batak
secara lebih objektif dan kemudian mampu melihat hal-hal positif di dalam adat Batak
tersebut.31Pendekatan para zendeling terhadap adat suku Batak serupa dengan yang berlaku
terhadap susunan masyarakat. Para zendeling berupaya untuk membendung tindakan
sewenang-wenang para raja, namun menghormati kekuasaan raja-raja itu, bahkan
menampung kekuasaan itu di dalam aturan gereja. Mereka juga menolak unsur-unsur adat

30
Richard Sinaga, dkk., Adat Budaya Batak dan Kekristenan, Dian Utama, Jakarta, 2000, hlm.15.
31
Mangapul Sagala, Injil dan Adat Batak, Yayasan Bina Dunia, Jakarta, 2008, hlm. 22.
Batak yang dianggapnya bertentangan dengan agama Kristen, namun berupaya menampung
adat itu dalam suatu peraturan adat Kristen. Pada tahun 1867, Nommensen telah menyusun
beberapa ketentuan yang menyangkut perilaku orang Kristen selaku warga masyarakat,
menjadi padanan peraturan jemaat yang mengatur hidup mereka selaku anggota gereja.
Ketentuan itu menyangkut hukum perkawinan, judi serta pencurian, dan hal bekerja pada hari
Minggu. Di kemudian hari, “adat Kristen” ini diperluas terus. Para zendeling malah berupaya
untuk menyusun suatu “hukum adat Kristen” yang lengkap. 32Adat dan budaya Batak, yang
pada awalnya digunakan untuk penyembahan berhala, fungsinya dialihkan menjadi alat untuk
memuji Tuhan. Dalam usaha Nommensen menyampaikan Kabar Gembira di tengah-tengah
kehidupan masyarakat Batak, ada tiga kategori adat Batak yang dibaginya, yakni: adat yang
netral, adat yang bertentangan dengan Injil, dan adat yang sesuai dengan Injil. Nommensen
kurang memperhatikan filsafat orang Batak tentang tradisi. Apa yang telah dimulai oleh para
pendahulu sudah merupakan sesuatu yang final yang tidak dapat diganggu gugat. Sehingga
sangat sulit membedakan mana adat yang tidak sesuai dengan Injil, mana adat yang sesuai
dengan Injil, serta mana adat Batak yang disebut dengan netral. Dalam praktik misinya, selain
melakukan inkulturasi, Nommensen juga melakukan enkulturasi.33 Ini berarti bahwa dalam
melaksanakan misi, Nommensen tidak hanya memakai budaya dalam pernyataan-pernyataan
iman, tetapi juga membudayakan iman kepada masyarakat Batak. Ini berarti tidak hanya
budaya yang masuk ke dalam iman, tetapi juga iman tersebut membudaya dalam masyarakat.
Dengan demikian, iman dan kebudayaan (adat) menjadi sebuah satu-kesatuan yang saling
mengikat.
g. Pembentukan Gereja Suku
Pada tahun 1870-an, agama Kristen telah meluas hingga meliputi sejumlah marga (puak) di
seluruh daerah Silindung, bahkan di luarnya. Makin para zendeling mengenal masyarakat
Batak, makin sadarlah mereka akan arti marga serta peranan para sesepuh marga (para raja)
dalam masyarakat itu. Maka dalam mendirikan pos-pos PI baru dan dalam mengatur jemaat-
jemaat itu mereka mengikuti pola kemargaan. Tiap pos PI yang baru didirikan di pusat daerah
salah satu marga, pos itu menjadi jemaat induk, lalu kampung-kampung di sekitarnya
menjadi jemaat-jemaat cabang. Induk bersama cabang-cabangnya merupakan resort, yang
dipimpin oleh seorang zendeling (kemudian juga oleh seorang pendeta Batak). Maka batas-
batas resort sedikit banyak bertindih dengan batas-batas suatu marga. Para sesepuh marga
(para raja) juga diberi peranan, di samping para penatua, juga dalam kehidupan jemaat di

32
End dan Weitjens, Ragi Carita, hlm. 189.
33
kampungnya, yaitu dalam menyelenggarakan adat menurut pengertian Kristen. Pendeta
(mula-mula zendeling) hanya terdapat di jemaat induk, guru/penghantar jemaat pun tidak ada
di semua jemaat dan merupakan tokoh yang datang dari luar, yang sewaktu-waktu dapat
dipindahkan lagi. Struktur yang telah bertumbuh dalam tahun 1870-an inilah yang ditetapkan
dalam tata gereja tahun 1881. Gereja dan marga/suku bangsa saling meresap, bertumbuh
menjadi satu. Dari segi perluasan agama Kristen, kebijakan ini sangat menguntungkan. Sebab
dengan demikian tercipta kemungkinan bagi marga tertentu untuk masuk Kristen secara
bekelompok. Lagi pula, kecuali dalam tahun-tahun pertama, bagi seorang Batak masuk
Kristen tidak berarti menyangkal ibu bapanya, marga sukunya, tetapi ikut serta dalam
pembaruan marga serta suku itu. Peraturan gereja tahun 1881 dikembangkan terus, tetapi
maknanya, yaitu penciptaan gereja suku, tetap terpelihara.34
h. Melayani Kebutuhan Jemaat
Sesuai dengan pandangannya mengenai peranan masyarakat dan adat suku, Nommensen
bersama rekan-rekannya memperhatikan kehidupan masyarakat dalam arti yang luas. Dari
semula mereka memberi bantuan pengobatan, mendirikan sekolah, menebus budak,
memperkenalkan cara bercocok tanam yang baru, meminjamkan uang dengan bunga rendah,
dan sebagainya. Upaya ini dilakukan tidak hanya agar orang yang bukan Kristen tertarik
olehnya pada Injil, tetapi juga supaya orang yang sudah menerima Injil dapat hidup dalam
suasana yang sesuai dengan Kabar Kesukaan itu. Di kemudian hari, khususnya jasa-jasa di
bidang kesehatan dan pendidikan ditingkatkan menjadi jaringan yang luas. Dari semula,
Nommensen meletakkan dasar bagi gereja suku yang hendak dibangunnya itu dengan
menciptakan sarana-sarana yang akan memungkinkan kehadiran gereja suku tersebut.
i. Swapraja, Swasembada dan Swakarya
Karena jumlah jemaat yang semakin besar, maka tiap-tiap jemat harus dilayani oleh seorang
zendeling, sebagaimana Hutadame dilayani oleh Nommensen. Oleh karena itu, Nommensen
mengangkat orang Batak menjadi guru/penghantar jemaat di samping “sintua” (penatua).
Seminari Guru (yang telah didirikan tahun 1868 di Parausorat, dekat Sipirok, lalu pada tahun
1879 dipindahkan ke Pansurnapitu di Silindung, akhirnya tahun 1901 ke Sipoholon) mulai
tahun 1884 mengadakan pendidikan lanjutan bagi sejumlah guru. Pada tahun 1885 tiga
lulusannya yang pertama ditahbiskan menjadi pendeta yang berwenang melayani sakramen.
Inilah yang disebut dengan swapraja. Kemudian yang juga sangat penting, bagaimana orang
Kristen Batak akan merasa bahwa gereja itu adalah urusan mereka sendiri, kalau staf tenaga
gereja itu ditanggung oleh pihak luar. Oleh sebab itu, dari semula jemaat-jemaat Kristen
34
End dan Weitjens, Ragi Carita, hlm. 188-189.
diwajibkan membiayai sendiri gedung gereja dan lain-lain serta menanggung gaji tenaga
pelayan. Bahkan selama masa pendidikannya calon guru harus ditanggung oleh keluarganya.
Inilah yang disebut dengan swasembada. Selain keduanya, Nommensen juga memperhatikan
swakarya atau perluasan gereja oleh anggota keluarganya sendiri. Para penatua diutus berdua
untuk membawa Injil ke kampung-kampung yang masih beragama suku. Tantangan ini
diemban sungguh-sungguh oleh orang Kristen Batak. Pada tahun 1899 mereka sendiri
mendirikan Kumpulan Zending Batak (Pardonganon Mission Batak, “Kongsi Batak”) yang
kemudian bernama “Zending Batak”.35
Usaha kontekstualisasi dalam menjalankan misi ternyata sudah dikenal sebelumnya. Pada
zaman Reformasi memang misi tampaknya tidak memainkan peranan besar dalam kehidupan
jemaat-jemaat Protestan. Hal ini antara lain disebabkan karena para Reformator sangat sibuk
dalam memantapkan struktur-struktur mereka, menangkal oposisi (Kontra-Reformasi), dan
pada umumnya berjuang untuk bisa bertahan. Pada pihak lain, teologi yang mereka
kembangkan sama sekali tidak mendukung visi misioner sedunia.

III. Penutup
III.1. Kesimpulan
Hal pokok yang dapat kita ambil dari kisah Nommensen adalah keyakinannya yang kuat
dalam melakukan misi. Keyakinan tersebut bahkan sudah ditunjukkannya sedari kecil.
Walaupun tidak tahu bagaimana caranya, tapi dia yakin bahwa suatu saat pasti dia akan
berhasil menjadi seorang misionar. Keyakinan tersebut membuat jalan ke arah itu
ditunjukkan oleh Tuhan. Ini mungkin sangat sulit kita jumpai pada masa kini, baik kemauan
maupun keyakinan sekuat itu dalam melakukan misi. Sering sekali keraguan-raguan
menyelimuti kita, apakah kita akan berhasil atau tidak. Padahal, untuk melakukan misi
keyakinan sangat penting. Nommensen menyadari bahwa Kristuslah satu-satunya yang dapat
menjadi penolong dalam hidupnya. Dia juga tidak pernah mengeluh, namun selalu taat dan
tekun dalam pembacaan Alkitab dan berdoa, bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, seperti
ketika mengalami kecelakaan pada waktu kecil dan pada waktu mengalami tekanan-tekanan
dari orang Batak. Melalui semuanya itu, roda misi yang dilakukannya berjalan dengan baik
hingga Kekristenan menyebar dengan luas di tanah Batak pada saat ini. Misi tidak boleh dan
tidak seharusnya berhenti sampai pada zaman misionar-misionar asing berakhir. Kita juga
harus menjadi misionar-misionar yang mengabarkan Injil ke seluruh dunia, sebab tanggung
jawab tersebut menjadi tanggung jawab kita pada saat ini. Pengertian misi juga sudah
35
End dan Weitjens, Ragi Carita, hlm. 191.
berkembang luas. Misi tidak hanya dilakukan kepada orang yang belum mengenal Kristus,
tetapi juga untuk menyadarkan kembali kuasa Kristus di dunia ini. Amanat Agung yang
tertulis dalam Matius 28 juga diperuntukkan kepada kita. Misi itu juga menyangkut
jangkauan yang lebih luas, yaitu kepada masalah sosial. Mengapa? Karena Kerajaan yang
akan datang itu juga menyangkut hal tersebut. Injil juga sungguh-sungguh merupakan Kabar
Baik bagi mereka yang tertindas di dunia ini.
Nommensen menggunakan teologi kontekstual, walaupun pada masanya istilah teologi
kontekstual belum dikenal. Misi memberitakan Injil Kristus adalah juga untuk mengabarkan
berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa (Luk 24:47). Kedua hal tersebut adalah hal
yang sangat penting. Keselamatan dapat diraih setelah seseorang bertobat dan diampuni
dosanya. Banyak sekali nats-nats Alkitab yang menyatakan demikian, bahkan tema
pertobatan ini menjadi tema utama pemberitaan Yohanes dalam rangka menyambut
kedatangan Kerajaan Allah yang ditandai dengan kehadiran Yesus Kristus, Putra Allah, di
dunia ini. Oleh sebab itu, pemberitaan untuk bertobat dan memohon pengampunan dosa ini
harus tetap kita beritakan hingga kedatangan-Nya kembali. Amin, datanglah Tuhan Yesus!
(Why 22:20b).

Anda mungkin juga menyukai