4 (2019): 908-922
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Abstract
Several cases of medical disputes between patients and hospitals include the case of
missing baby number 98 at Hasan Sadikin Hospital Bandung in 1987, the false gas
case in which O2 Gas is exwith CO2 Gas during an operation at the RSUD M Yunus
Bengkulu Hospital in 2001, and the Debora Case at the Hospital The Kalideres
Jakarta Family Partner in 2017 — invited various questions about how the hospital as
an institution of health service facilities, in this case, is responsible. In the 1945
Constitution Article 34 paragraph 3 explains that citizens have the right to receive
proper welfare services, besides Article 1 paragraph 3 of the 1945 Constitution also
confirms that the state of Indonesia is a state of law, meaning that all state
administration including hospital health services must be based to the law. The
pattern of government and hospital responsibility is regulated in the Civil Code
(especially Article 1367 of the Civil Code) and the Hospital Law (specifically Article
46).
Keywords: hospital, legal responsibility, medical disputes
Abstrak
Beberapa kasus sengketa medis antara pasien dan rumah sakit yang pernah terjadi di
Indonesia antara lain kasus hilangnya bayi nomor 98 di RS Hasan Sadikin Bandung
tahun 1987, kasus tertukarnya Gas O2 dengan Gas CO2 saat dilakukannya tindakan
operasi di RSUD Dokter M Yunus Bengkulu tahun 2001, dan Kasus Bayi Debora di
RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta tahun 2017. Berbagai kasus sengketa medis
tersebut mengundang pertanyaan seputar bagaimana pertranggungjawaban rumah sakit
sebagai institusi fasilitas pelayanan keseahatan. Di dalam Undang-undang Dasar 1945
Pasal 34 ayat 3 dijelaskan bahwa warga negara berhak mendapat pelayanan keseahtan
yang layak. Selain itu, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 juga menegaskan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum, artiya segala penyelenggaraan negara termasuk
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di rumah sakit harus berdasarkan pada
hukum. Pola tanggung jawab pemerintah dan rumah sakit diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (khususnya Pasal 1367 KUHPerdata) dan Undang-
Undang Rumah Sakit (khususnya Pasal 46).
Kata kunci: rumah sakit, pola tanggung jawab hukum, sengketa medis.
I. PENDAHULUAN
1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan (Preambule).
2
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga,
Permenkes Nomor 39 Tahun 2016, Bagian Menimbang huruf (a).
910 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
medis. Kasus ini menjadi semakin ironis, karena yang meninggal ternyata bukan
sembarang dokter. Beliau adalah Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI. Seorang Dirjen Yanmed yang salah satu tugasnya mengawasi
pelaksanaan pelayanan rumah sakit, meninggal dunia karena kesulitan mengakses
pelayanan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit.3
b. Pada suatu hari di tahun 1999, ada seorang Bapak dengan penyakit akut meninggal
dunia di depan pintu masuk suatu Unit Gawat Darurat salah satu rumah sakit
terbesar di Indonesia. Bapak tersebut meninggal dunia dengan posisi jenazahnya
terbungkus selimut di emperan belakang Unit Gawat Darurat karena beberapa hari
menunggu pelayanan Poliklinik Rumah Sakit tersebut yang menurut Satpam sedang
libur hari Minggu.4
c. Pada suatu hari di tahun 2004, ada seorang balita menderita penyakit demam
berdarah dalam kondisi yang sudah akut. Balita tersebut dengan dibopong oleh
orangtuanya langsung menuju ke Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit di daerah
Bekasi. Sementara orangtuanya sedang mengurus administrasi rumah sakit, balita
tersebut langsung dirawat oleh tenaga kesehatan di Unit Gawat Darurat rumah sakit
tersebut.Ternyata orangtua balita tersebut berasal dari keluarga tidak mampu
sehingga tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk membiayai
perawatan anaknya. Nasib balita tersebut sungguh tragis, di tengah perawatannya di
Unit Gawat Darurat dan di tengah perjuangannya mempertahankan hidup, tiba-tiba
selang infus dan berbagai peralatan medis dilepas dari tubuh balita malang itu oleh
tenaga perawat atas instruksi dari administratur rumah sakit. Balita tersebut
dianjurkan untuk pindah ke rumah sakit lain yang memang menangani pasien dari
keluarga tidak mampu. Akhirnya dengan dibopong oleh orangtuanya, pasien
meninggalkan rumah sakit tersebut, tetapi baru sampai pintu gerbang rumah sakit,
balita malang itu meninggal dunia.5
Berdasarkan beberapa kasus yang dimuat di dalam media massa tersebut, terlihat
bahwa tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada rumah sakit juga sangat besar.
Seringkali, tanggung jawab yang telah diamanahkan di dalam hukum dan etika ini
tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya karena masih kuatnya pola hubungan
paternalistik antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dan sebagainya). 6 Menurut Black’s Law Dictionary, (liability)
mempunyai tiga arti antara lain: an obligation one is bound in law or justice to
perform; condition of being responsible for a possible or actual loss; and, condition
wich creates a duty to perform an act immediatelly or in the future.7
Tanggung jawab hukum secara terminologis berasal dari dua kata, yaitu
tanggung jawab dan hukum. Kata tanggung jawab berasal dari terjemahan kata
verantwooedelijkheid, sedangkan kata hukum merupakan terjemahan dari kata recht
dalam Bahasa Belanda atau law dalam Bahasa Inggris. Verantwooedelijkheid adalah
3
Dikutip dari berbagai sumber media massa terbitan tahun 1988, di antaranya Kompas, Tempo,
Suara Pembaruan, dan Kedaulatan Rakyat.
4
Gara-gara Tak Mampu Berobat Meninggal Dunia, Kompas, 22 April 1999.
5
Siska Tewas Setelah Ditolak RS Ananda,
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/07/16, diunduh tanggal 9 April 2005.
6
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 1443.
7
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (Minnesotta: ST. Paul Minn West Publishing
CO, 1968), hal. 69.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 911
8
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2007), hal. 71.
9
Soekidjo Notoatmodjo, Etika Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 34.
10
Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 37.
11
J Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, cet. 1, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1992), hal. 35.
912 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
12
Tempo 13 Mei 1987.
13
Tempo 3 Maret 2002.
14
Kompas 26 September 2017.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 913
15
Willa Chandrawilla Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 10.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 915
16
Robert B Leflar, “Centralizing Responsibility For Health Care Quality”, Journal of Legal
Medicine, June, 1998, p. 315-317.
17
Ibid.
18
Ibid.
916 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
kesehatan yang memadai. Hal ini berangkat dari kasus Darling v. Charleston
Community Memorial Hospital.19
Berdasarkan teori pertanggungjawaban, rumah sakit sebagai suatu korporasi atau
perusahaan harus bertanggung jawab terhadap dokter yang bekerja di rumah sakit.
Rumah sakit berkedudukan sebagai majikan yang bertanggung jawab terhadap
karyawannya. Dalam ranah hukum, hal ini disebut sebagai Teori Respondeat Superior
(“Let The Master Answer”). Dalam perkembangannya, beradasarkan Putusan Supreme
Court tahun 1965 dalam kasus Darling v. Charleston Community Memorial Hospital,
rumah sakit harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap staf yang bekerja di rumah
sakit (meskipun tidak ada hubungan antara majikan dan karyawan). Hal ini
dikarenakan, dokter yang bertugas di rumah sakit merupakan representasi atau
perwakilan dari rumah sakit. Pada saat pasien datang ke rumah sakit, misalnya Unit
Gawat Darurat, maka pasien memasrahkan kualitas dokter sepenuhnya kepada rumah
sakit.20
Berdasarkan Vicarious Liability, staf yang bertugas di rumah sakit merupakan
representasi yang mewakili rumah sakit. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap
karyawannya. Rumah sakit harus mempunyai pedoman klinis yang dapat dijadikan
standar bagi stafnya untuk melaksanakan tugasnya mewakili rumah sakit. Pedoman
klinis ini juga memberikan acuan penyelesaian jika ada permasalahan yang muncul.
Pedoman klinis ini tentunya harus mengacu kepada aturan yang sifatnya umum dan
kemudian diterjemahkan secara spesifik sesuai dengan kondisi yang terdapat di suatu
rumah sakit.21
Berdasarkan penerapan Vicarious Liability di Amerika Serikat dan Inggris,
seharusnya Rumah Sakit di Indonesia sebagai suatu badan hukum bertanggung jawab
terhadap dokter yang melakukan tugas profesinya di rumah sakit. Pola
pertanggungjawaban hukum ini seharusnya tidak lagi mempermasalahkan mengenai
status dokter, apakah sebagai dokter tetap atau dokter tidak tetap dari rumah sakit.
19
John D. Blum, Hospitals, “New Medical Practice Guidelines, CQI, And Potential Liability
Outcomes”, Saint Louis University Law Journal, Summer, 1992, p. 671.
20
Clark C. Havighurst, “Making Health Plans Accountable For The Quality Of Care”, Georgia
Law Review, Winter 1997, p. 601-602.
21
John D. Blum, Hospitals, op. cit., p. 671.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 917
melakukan perbuatanya secara pribadi. 22 Kata berbuat melalui orang lain tersebut
kemudian ditafsirkan sebagai suatu hubungan antara majikan dan bawahan master and
servant, dimana semua perbuatan bawahan atas perintah, wewenang atau mandat dari
majikan, masuk ke dalam ruang lingkup tanggung jawab majikan. Seiring
perkembangan zaman, terutama perkembangan konsep organisasi perusahaan,
kemudian muncul pertanyaan seputar Doktrin Vicarious Liability. Bagaimana doktrin
tersebut menjelaskan konsep majikan dan bawahan, apa yang dimaksud bawahan dan
apa yang dimaksud majikan dalam konsep ini.
Munculnya konsep outsourcing dalam dunia bisnis dan organisasi kemudian
menimbulkan permasalahan terhadap penerpan Doktrin Vicarious Liability antara
majikan dan bawahan, apakah majikan dapat dikenakan tanggung jawab terhadap
pegawai outsourcing yang notabene bukan bawahan langsung immediate subordinate
dari seorang majikan. Karena permasalahan ini kemudian Doktrin Vicarious Liability
berkembang dalam dua variasi yaitu Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin
Ostensible/Apparent Agency.
Doktrin Respondeat Superior menitikberatkan terhadap tanggung jawab seorang
majikan yang tidak tertumpu pada satu orang majikan saja namun lebih melibatkan
seluruh atasan superior yang berada di atas seorang bawahan.23 Teori tersebut diadopsi
dari praktik Bangsa Romawi mengenai bagaimana tanggung jawab majikan terhadap
budak bawahanya, praktik tersebut menekankan bahwa tidak hanya satu majikan
pemilik budak saja yang bertanggung jawab, namun juga keluarga majikan tersebut
sebagai pemakai jasa budak. 24 Doktrin Respondeat Superior merupakan suatu
perluasan dari Doktrin Vicarious Liability. Persamaan antara Doktrin Vicarious
Liability dan Doktrin Respondeat Superior adalah sama-sama menggunakan konsep
status majikan dan bawahan. Majikan yaitu orang yang memperkerjakan secara
langsung seorang bawahan. Bawahan dalam hal ini secara langsung mendapat perintah,
kewenangan dan mandat dari majikan atau atasan dalam bentuk suatu kontrak kerja
antara majikan dan bawahan.
Doktrin Respondeat Superior tidak dapat diterapkan kepada bawahan yang
bersifat outsourcing atau pegawai lepasan atau kontrak, karena tidak memiliki
hubungan secara langsung atau hubungan tetap antara majikan dan bawahan. Sehingga
seorang atasan tidak memiliki tanggung jawab hukum terhadap kesalahan yang
dilakukan oleh bawahanya ketika menjalankan tugas atau pekerjaannya.
Sedangkan Doktrin Ostensible Agency atau juga dikenal sebagai Doktrin
Apparent Authority menitikberatkan bahwa seseorang yang bekerja sebagai pihak
ketiga melalui outsourcing atau kontrak berjangka, dianggap sebagai “ostensible
agent” yaitu seseorang yang dianggap sebagai kepanjangan tangan dari suatu pemberi
kerja atau organisasi, oleh karena itu majikan atau atasan memiliki kewajiban untuk
bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan oleh pekerja pihak ketiganya.
Doktrin Ostensible Agency merupakan perkembangan dari Doktrin Vicarious
Liability. Doktrin Ostensible Agency tidak hanya memperluas ruang lingkup area
pertanggungjawaban, tetapi juga memberikan konsep baru mengenai definisi dari
atasan dan bawahan.
22
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006),
hlm. 100.
23
Guyora Binder, Criminal Law- Cases and Materials, (Belanda: Wolters Kluwer Law&
Business, 2012), hlm. 728.
24
Yoram Dinstein, Israel Yearbook on Human Rights 1978, (Martinus Nijhoff Publishers), hlm.
15.
918 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
hukum atau korporasi. Selanjutnya, rumah sakit berhak untuk meminta reimburse
besaran ganti kerugian tersebut kepada dokter yang telah menimbulkan kerugian. Hak
rumah sakit untuk meminta reimburse tersebut dikenal dengan hak regres. Penerapan
hak regres selain tergantung pada pola perjanjian antara rumah sakit dengan dokter
juga tergantung dari posisi dan kontribusi dokter bagi rumah sakit.
Selain hak regres, juga terdapat tindakan yang sifatnya preventif bagi rumah
sakit dalam menghadapi potensi kerugian yang timbul karena sengketa medis. Rumah
sakit dapat memanfaatkan asuransi. Ada 2 (dua) pola asuransi, yang pertama adalah
rumah sakit sebagai suatu institusi mengasuransikan dirinya. Yang berikutnya adalah
asuransi profesi dokter. Dalam hal ini, rumah sakit mensyaratkan dokter yang bekerja
di rumah sakit tersebut harus sudah di-cover oleh asuransi atau bisa juga rumah sakit
mengasuransikan dokter yang bekerja di dalamnya (biasanya hal ini diperuntukkan
bagi dokter yang sudah mempunyai “nama” di masyarakat sehingga pasiennya banyak
dan berkontribusi bagi rumah sakit).
Sebagai pembanding, adalah potret pelayanan kesehatan di Amerika Serikat
yang pada masa sekarang ini dilaksanakan dengan berorientasi pada pasar. Mayoritas
pihak yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan mempunyai tujuan untuk
memperoleh profit, tetapi tetap mengutamakan pelayanan yang bermutu kepada pasien
sebagai konsumen pelayanan kesehatan. Perusahaan asuransi kesehatan mempunyai
posisi yang dominan karena mayoritas pembiayaan kesehatan dibebankan dan dikelola
oleh asuransi kesehatan.26
Rumah sakit sebagai suatu korporasi atau perusahaan juga dibebani kewajiban
fiducia terhadap pasien. Teori mengenai malpraktik medis menyatakan bahwa rumah
sakit harus dapat menjamin keamanan dan kenyamanan pasien (patient safety) dan
wajib untuk membayar ganti kerugian apabila terjadi hal yang tidak dinginkan
(misalnya kesalahan medis) yang menyebabkan pasien cedera atau mengalami
kerugian. Untuk meminimalisir terjadinya sengketa medis, rumah sakit dapat
menerapkan prinsip patient safety. Prinsip patient safety dapat meminimalisir
terjadinya cedera pada pasien akibat kesalahan tindakan medis. Kewajiban rumah sakit
terkait dengan patient safety mencakup 4 hal sebagai berikut: (1) kewajiban untuk
menggunakan perawatan yang wajar dalam pemeliharaan fasilitas dan peralatan yang
aman dan memadai; (2) kewajiban untuk memilih dan mempekerjakan dokter yang
berkompeten; (3) kewajiban untuk memantau tanggung jawab dan pelaksanaan tugas
dari tenaga kesehatan lainnya, termasuk terkait dengan pola distribusi dan peredaran
obat-obatan di rumah sakit; dan (4) kewajiban untuk merumuskan, mengadopsi dan
menegakkan aturan dan kebijakan yang memadai untuk memastikan perawatan yang
berkualitas bagi pasien.27 Prinsip patient safety telah diadopsi dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien.
Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian oleh pihak rumah sakit adalah
mengenai pola komunikasi antara dokter dengan pasien. Hal ini dikarenakan mayoritas
sengketa medis terjadi karena adanya pola komunikasi yang kurang baik antara dokter
dengan pasien. Sebagai tindakan preventif agar tidak timbul sengketa medis, maka
rumah sakit harus menyadari dan memahami mengenai pentingnya informed consent
antara dokter dengan pasien. Informed consent merupakan wujud pengakuan atas
otonomi pasien dalam bidang pelayanan kesehatan. Salah satu perwujudannya adalah
di dalam kasus Canterbury v. Spence tahun 1972, dimana dalam hal ini pasien
26
Clark C. Havighurst, “Making Health Plans Accountable For The Quality Of Care”, Georgia
Law Review, Winter 1997, p. 590.
27
Barry R. Furrow, “Patient Safety And The Fiduciary Hospital: Sharpening Judicial
Remedies”, Drexel Law Review, Spring/Summer 2009, p. 446.
920 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
mempunyai otonomi atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Pasien mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah menyetujui atau menolak
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tindakan medis yang terbaik
menurut dokter belum tentu terbaik menurut pasien.28 Informed consent telah diadopsi
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008
Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Rumah sakit harus membentuk dan menerapkan manajemen resiko untuk
meminimalisir resiko yang muncul dalam penyelenggaraan rumah sakit, salah satunya
adalah resiko dalam bentuk sengketa medis. Apabila ada permasalahan yang muncul,
maka terlebih dahulu Staf Rumah Sakit melaporkannya ke Bagian Manajemen Resiko
agar dapat dianalisis penyebab munculnya permasalahan. Rumah sakit bahkan tidak
segan untuk melakukan reformasi terhadap sistem yang diterapkannya apabila
kesalahan yang muncul di rumah sakit sifatnya adalah sistemik. Komite Manajemen
Resiko Rumah Sakit kemudian melakukan brainstorming untuk mencari solusi
penyelesaian permasalahan, termasuk juga mengenai mekanisme kompensasi yang
diberikan kepada pasien. Direktur Medis Rumah Sakit mempunyai posisi yang vital
dan bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap alur maupun prosedur
tindakan medis yang dilaksanakan di rumah sakitnya.29
Sengketa medis juga dapat disebabkan karena mutu dokter yang bekerja di
rumah sakit di bawah standar (tidak sesuai dengan average). Untuk mewujudkan
penjaminan mutu terhadap kualitas dokter yang bekerja di rumah sakit, maka
dibutuhkan proses kredensial yang memadai. Proses kredensial bertujuan untuk
memastikan bahwa dokter yang bertugas di rumah sakit telah memenuhi syarat dan
standar dalam melaksanakan profesinya di rumah sakit. Proses kredensial merupakan
bagian integral dari akreditasi rumah sakit yang bertujuan untuk menjaga mutu
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit.
Kelayakan dari seorang dokter untuk agar dapat ditetapkan sebagai staf medis di
suatu rumah sakit selain ditentukan oleh kemampuan keilmuan dan pengalamannya
dalam bidang medis, juga ditentukan oleh tingkat “independensi”dari dokter pada saat
melakukan tindakan medis sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Artinya,
dalam proses kredensial, hal yang dianalisis tidak hanya keilmuan dari seorang dokter,
tetapi juga otonomi dari dokter pada saat melaksanakan keilmuannya. Di USA, ada
perbedaan kewenangan dan kedudukan hukum antara: keanggotaan staf medis di suatu
rumah sakit; keistimewaan klinis atau otonomi profesi yang diberikan kepada dokter;
pengakuan hak istimewa bagi dokter. Di USA, tidak seluruh staf medis mempunyai
hak istimewa untuk menerima pasien secara mandiri. Perawat anastesi mempunyai
keistimewaan klinis atasu otonomi profesi meskipun perawat anastesi bukan
merupakan anggota staf medis.
Proses kredensial berusaha untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada
di rumah sakit, diantaranya adalah: Pertama, adanya kepentingan dari dokter untuk
berpraktik di rumah sakit. Salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah lisensi yang
diterbitkan oleh negara tidak secara otomatis menjamin bahwa seorang dokter dapat
bekerja di suatu rumah sakit. Untuk menentukan apakah seorang dokter layak atau
tidak untuk bekerja di suatu rumah sakit, tetap harus ditentukan melelui proses
kredensial; Kedua, adanya kepentingan dari rumah sakit dan badan pemerintahan
untuk melindungi aset dari rumah sakit. Rumah sakit selain menyediakan sarana dan
28
David T. Ozar, “Malpractice And The Presuppositions Of Medical Practice”, Annals of Health
Law, 1994, p. 139-140.
29
Jonathan R. Cohen, “Apology And Organizations: Exploring An Example From Medical
Practice”, Fordham Urban Law Journal, June, 2000, p. 1447.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 921
prasarana yang memadai juga harus memastikan kualitas tenaga kesehatan (khususnya
dokter) yang bekerja di rumah sakit. Dalam proses kredensial, rumah sakit memeriksa
medical record atau catatan yang menunjukkan profesionalitas dari dokter. Ketika
ditemukan catatan kinerja yang kurang bagus, maka rumah sakit dapat melakukan
evaluasi terhadap dokter tersebut. Ketiga, pasien berkepentingan untuk mengakses
pelayanan kesehatan yang berkualitas yang disediakan oleh rumah sakit dan
dilaksanakan oleh dokter yang mutunya telah terjamin melalui proses kredensial.30 Di
Indonesia, proses kredensial ini diatur dalam beberapa peraturan, diantaranya adalah di
dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran, dan Hospital by
Laws di setiap rumah sakit.
Kesalahan medis dapat dikategorikan dalam tiga bagian yaitu: kesalahan
individual, kesalahan sistem, dan kesalahan tim. Kesalahan individual disebabkan
karenan kemampuan individual dari tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan
kesehatan berada di bawah rata-rata apabila dibandingkan dengan tenaga kesehatan
lainnya dari kategorisasi keahlian yang sama. Untuk meminimalisir terjadinya
kesalahan individual, maka tenaga kesehatan secara berkala dan teratur harus
mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam bidang kesehatan. Kesalahan sistem dapat
diperbaiki dengan menginventarisir dan menganalisis berbagai kesalahan yang muncul
sebelumnya (dijadikan sebagai sarana pembelajaran untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang lebih baik lagi). Sistem yang ada harus diperbaiki dengan mengacu
pada penyebab munculnya kesalahan medis sebelumnya.31
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia, Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga. Nomor PM 39 Tahun 2016.
Buku
Guwandi, J. Dokter dan Rumah Sakit. Cet. 1. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1992.
Supriadi, Willa Chandrawilla. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju, 2001.
Jurnal
Blum, John D. “New Medical Practice Guidelines, CQI, And Potential Liability
Outcomes”, Saint Louis University Law Journal (Summer 1992).
Buckhalter, J. Bradley. “Erisa Preemption Of Medical Malpractice Claims: Can
Managed Care Organizations Avoid Vicarious Liability?” Seattle University
Law Review (Spring 1999).
Cohen, Jonathan R. “Apology and Organizations: Exploring An Example From
Medical Practice”. Fordham Urban Law Journal (June 2000).
30
Dale H. Cowan, “Medical Staff Legal Issues”, University of Toledo Law Review, Summer,
1986, p. 855-857.
31
Barry R. Furrow, J.D, “Medical Mistakes: Tiptoeing Toward Safety”, Houston Journal of
Health Law & Policy, 2003, p. 185.
922 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019
Cowan, Dale H. “Medical Staff Legal Issues”. University of Toledo Law Review
(Summer 1986).
Furrow, Barry R. “Medical Mistakes: Tiptoeing Toward Safety.” Houston Journal of
Health Law & Policy (2003).
Havighurst, Clark C. “Making Health Plans Accountable for The Quality of Care”.
Georgia Law Review (Winter, 1997).
Leflar, Robert B. “Centralizing Responsibility for Health Care Quality”. Journal of
Legal Medicine (June 1998).
Lininger, Tom. “On Dworkin And Borkin”. Michigan Law Review (April 2007)
Lyons, David. “Moral Limits of Dworkin’s Theory of Law and Legal Interpretation”.
Boston University Law Review (April 2010).
MacDougall, Vicki Lawrence. “The “Shared Risk” Of Potential Tort Liability of
Health Maintenance Organizations and The Defense of Erisa Preemption”.
Valparaiso University Law Review (Summer, 1998).
Moore, Michael S. “Metaphysics, Epistemology and Legal Theory”. Southern
California Law Review (January 1987).
Ozar, David T. “Malpractice and The Presuppositions of Medical Practice”. Annals of
Health Law (1994).