Anda di halaman 1dari 15

Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No.

4 (2019): 908-922
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

POLA PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH SAKIT DALAM


PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS DI INDONESIA

Wahyu Andrianto *, Djarot Dimas Achmad Andaru **

* Dosen Tetap, Peneliti dan Konsultan Hukum Kesehatan di Fakultas Hukum UI


** Asisten Dosen, Peneliti dan Konsultan Hukum Kesehatan di Fakultas Hukum UI
Korespondensi: wahyu.andrianto@ui.ac.id, djarot.dimas@gmail.com
Naskah dikirim: 19 November 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 25 Desember 2019

Abstract

Several cases of medical disputes between patients and hospitals include the case of
missing baby number 98 at Hasan Sadikin Hospital Bandung in 1987, the false gas
case in which O2 Gas is exwith CO2 Gas during an operation at the RSUD M Yunus
Bengkulu Hospital in 2001, and the Debora Case at the Hospital The Kalideres
Jakarta Family Partner in 2017 — invited various questions about how the hospital as
an institution of health service facilities, in this case, is responsible. In the 1945
Constitution Article 34 paragraph 3 explains that citizens have the right to receive
proper welfare services, besides Article 1 paragraph 3 of the 1945 Constitution also
confirms that the state of Indonesia is a state of law, meaning that all state
administration including hospital health services must be based to the law. The
pattern of government and hospital responsibility is regulated in the Civil Code
(especially Article 1367 of the Civil Code) and the Hospital Law (specifically Article
46).
Keywords: hospital, legal responsibility, medical disputes

Abstrak
Beberapa kasus sengketa medis antara pasien dan rumah sakit yang pernah terjadi di
Indonesia antara lain kasus hilangnya bayi nomor 98 di RS Hasan Sadikin Bandung
tahun 1987, kasus tertukarnya Gas O2 dengan Gas CO2 saat dilakukannya tindakan
operasi di RSUD Dokter M Yunus Bengkulu tahun 2001, dan Kasus Bayi Debora di
RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta tahun 2017. Berbagai kasus sengketa medis
tersebut mengundang pertanyaan seputar bagaimana pertranggungjawaban rumah sakit
sebagai institusi fasilitas pelayanan keseahatan. Di dalam Undang-undang Dasar 1945
Pasal 34 ayat 3 dijelaskan bahwa warga negara berhak mendapat pelayanan keseahtan
yang layak. Selain itu, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 juga menegaskan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum, artiya segala penyelenggaraan negara termasuk
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di rumah sakit harus berdasarkan pada
hukum. Pola tanggung jawab pemerintah dan rumah sakit diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (khususnya Pasal 1367 KUHPerdata) dan Undang-
Undang Rumah Sakit (khususnya Pasal 46).
Kata kunci: rumah sakit, pola tanggung jawab hukum, sengketa medis.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no4.2348
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 909

I. PENDAHULUAN

Tujuan Nasional Bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan


UUD 1945 adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 1 Untuk mencapai tujuan tersebut
diselenggarakan program pembangunnan nasional secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Pembangunan dan penjaminan akses kesehatan adalah bagian dari
pembangunan nasional yang dilaksanakan untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung
dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan.2
Dalam rangka mewujudkan pemerataan pelayanan kesehatan, maka Pemerintah
melakukan upaya dengan meningkatkan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang
memadai, salah satunya adalah rumah sakit. Peranan rumah sakit sangat berarti dalam
memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dalam praktiknya, beberapa kali
tanggung jawab ini tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini nampak dari
beberapa kasus sebagai berikut:
a. Pada suatu hari di tahun 1988, ada seorang Bapak yang berangkat ke tempat
kerjanya dengan kondisi terburu-buru dan lelah letih. Bapak tersebut diantar oleh
sopir pribadi dari rumahnya di daerah Jakarta Selatan untuk menuju ke tempat
kerjanya di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Kemacetan Jakarta dan kondisi
fisik yang lelah karena banyak mengisi acara ilmiah pada hari-hari sebelumnya
membuat stamina dari Bapak tersebut terkuras. Di tengah perjalanan, tiba-tiba
penyakit jantungnya kambuh. Dalam kondisi panik, sopir kemudian bergegas
membawa Bapak tersebut ke rumah sakit terdekat. Maka, sampailah mereka di
sebuah rumah sakit besar dan mewah di daerah Jakarta Selatan. Tanpa membuang
waktu, sopir kemudian membawa majikannya ke Unit Gawat Darurat dengan
harapan agar segera mendapatkan pertolongan. Namun, kenyataannya ternyata lain.
Petugas Unit Gawat Darurat baru bersedia memberikan pertolongan apabila urusan
administrasi (uang muka/money deposit) sudah diselesaikan. Terjadi perdebatan
panjang antara sopir dengan petugas Unit Gawat Darurat karena di satu pihak sopir
tidak membawa uang tunai yang cukup, tapi di lain pihak ada pasien dalam kondisi
darurat yang harus segera ditolong. Akhirnya, setelah kurang lebih 15 (lima belas)
menit berdebat, pasien baru bisa ditolong oleh Unit Gawat Darurat. Berdasarkan
literatur yang pernah peneliti baca, 7 (tujuh) menit pertama saat serangan jantung
merupakan golden period/golden moment. Artinya, periode tersebut sangat
menentukan apakah pasien bisa diselamatkan atau tidak. Dalam kasus ini, golden
period/golden moment tersebut diisi dengan perdebatan antara sopir dengan petugas
Unit Gawat Darurat mengenai urusan administrasi (dalam hal ini uang muka)
rumah sakit. Pasien akhirnya meninggal dunia tidak lama setelah disentuh oleh
tangan dokter. Kematian adalah suatu takdir. Orang meninggal dunia di Unit Gawat
Darurat rumah sakit mungkin merupakan suatu hal yang wajar. Namun, dalam
kasus ini, menjadi tidak wajar karena pasien yang meninggal tersebut adalah
seorang dokter. Ironis, dokter kesulitan untuk mengakses pelayanan kesehatan di
rumah sakit pada saat kondisi tubuhnya sedang darurat membutuhkan pertolongan

1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pembukaan (Preambule).
2
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga,
Permenkes Nomor 39 Tahun 2016, Bagian Menimbang huruf (a).
910 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

medis. Kasus ini menjadi semakin ironis, karena yang meninggal ternyata bukan
sembarang dokter. Beliau adalah Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan RI. Seorang Dirjen Yanmed yang salah satu tugasnya mengawasi
pelaksanaan pelayanan rumah sakit, meninggal dunia karena kesulitan mengakses
pelayanan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit.3
b. Pada suatu hari di tahun 1999, ada seorang Bapak dengan penyakit akut meninggal
dunia di depan pintu masuk suatu Unit Gawat Darurat salah satu rumah sakit
terbesar di Indonesia. Bapak tersebut meninggal dunia dengan posisi jenazahnya
terbungkus selimut di emperan belakang Unit Gawat Darurat karena beberapa hari
menunggu pelayanan Poliklinik Rumah Sakit tersebut yang menurut Satpam sedang
libur hari Minggu.4
c. Pada suatu hari di tahun 2004, ada seorang balita menderita penyakit demam
berdarah dalam kondisi yang sudah akut. Balita tersebut dengan dibopong oleh
orangtuanya langsung menuju ke Unit Gawat Darurat sebuah rumah sakit di daerah
Bekasi. Sementara orangtuanya sedang mengurus administrasi rumah sakit, balita
tersebut langsung dirawat oleh tenaga kesehatan di Unit Gawat Darurat rumah sakit
tersebut.Ternyata orangtua balita tersebut berasal dari keluarga tidak mampu
sehingga tidak mempunyai kemampuan finansial yang memadai untuk membiayai
perawatan anaknya. Nasib balita tersebut sungguh tragis, di tengah perawatannya di
Unit Gawat Darurat dan di tengah perjuangannya mempertahankan hidup, tiba-tiba
selang infus dan berbagai peralatan medis dilepas dari tubuh balita malang itu oleh
tenaga perawat atas instruksi dari administratur rumah sakit. Balita tersebut
dianjurkan untuk pindah ke rumah sakit lain yang memang menangani pasien dari
keluarga tidak mampu. Akhirnya dengan dibopong oleh orangtuanya, pasien
meninggalkan rumah sakit tersebut, tetapi baru sampai pintu gerbang rumah sakit,
balita malang itu meninggal dunia.5
Berdasarkan beberapa kasus yang dimuat di dalam media massa tersebut, terlihat
bahwa tanggung jawab hukum yang dibebankan kepada rumah sakit juga sangat besar.
Seringkali, tanggung jawab yang telah diamanahkan di dalam hukum dan etika ini
tidak dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya karena masih kuatnya pola hubungan
paternalistik antara pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib
menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,
diperkarakan, dan sebagainya). 6 Menurut Black’s Law Dictionary, (liability)
mempunyai tiga arti antara lain: an obligation one is bound in law or justice to
perform; condition of being responsible for a possible or actual loss; and, condition
wich creates a duty to perform an act immediatelly or in the future.7
Tanggung jawab hukum secara terminologis berasal dari dua kata, yaitu
tanggung jawab dan hukum. Kata tanggung jawab berasal dari terjemahan kata
verantwooedelijkheid, sedangkan kata hukum merupakan terjemahan dari kata recht
dalam Bahasa Belanda atau law dalam Bahasa Inggris. Verantwooedelijkheid adalah

3
Dikutip dari berbagai sumber media massa terbitan tahun 1988, di antaranya Kompas, Tempo,
Suara Pembaruan, dan Kedaulatan Rakyat.
4
Gara-gara Tak Mampu Berobat Meninggal Dunia, Kompas, 22 April 1999.
5
Siska Tewas Setelah Ditolak RS Ananda,
http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2004/07/16, diunduh tanggal 9 April 2005.
6
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hal. 1443.
7
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (Minnesotta: ST. Paul Minn West Publishing
CO, 1968), hal. 69.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 911

kewajiban memikul pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita (jika


dituntut) baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi.8
Menurut Soekidjo Notoatmojo, tanggung jawab hukum adalah kesadaran
manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja.
Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran dan
kewajibannya. Tanggung jawab hukum juga merupakan akibat atas konsekuensi
kebebasan seseorang tentang perbuatannya yang berkaitan dengan etika atau moral
dalam melakukan suatu perbuatan.9
Tanggung jawab hukum menurut Purbacaraka bersumber atau lahir atas
penggunaan fasilitas dalam penerapan kemampuan tiap orang untuk menggunakan hak
dan/atau melaksanakan kewajibannya. Lebih lanjut ditegaskan bahwa setiap
pelaksanaan kewajiban dan setiap penggunaan hak, baik yang dilakukan secara tidak
memadai maupun yang dilakukan secara memadai pada dasarnya tetap harus disertai
dengan pertanggungjawaban, demikian pula dengan pelaksanaan kekuasaan.10
Pada dasarnya, rumah sakit bertanggung jawab terhadap tiga hal, yaitu:
a. Tanggung jawab yang berhubungan dengan duty of care (kewajiban
memberikan pelayanan yang baik);
b. Tanggung jawab terhadap sarana dan peralatan;
c. Tanggung jawab terhadap personalia.11
Duty of care dapat diartikan sebagai kewajiban memberikan pelayanan yang
baik dan wajar. Beberapa kelalaian rumah sakit yang terkait dengan pelaksanaan duty
of care terlihat dalam putusan pengadilan diantaranya adalah Putusan Nomor
381/Pid.B/2014/PN.Tk tanggal 13 November 2014 (telah berkekuatan hukum) dan
Putusan Nomor 569/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst tanggal 28 Agustus 2013 (telah
berkekuatan hukum).
Dalam Putusan Nomor 381/Pid.B/2014/PN.Tk, seorang pasien dibawa oleh
penduduk ke sebuah rumah sakit yang berada di Tanjung Karang. Penduduk
menemukan pasien ini terlantar di tengah jalan desa dalam kondisi yang mengenaskan,
tidak ada keluarga dan tidak sadarkan diri. Pasien langsung dibawa ke UGD sebuah
rumah sakit di Tanjung Karang. Setelah pengantar meninggalkan rumah sakit, dokter
dan perawat kemudian melihat kondisi pasien. Dokter dan perawat menyimpulkan
bahwa pasien yang dibawa ke rumah sakit tersebut adalah pasien psykhiatri, tidak
dapat diajak berkomunikasi, dan hanya mengganggu pasien lainnya karena selalu
berteriak-teriak. Dokter dan perawat dibantu oleh staf rumah sakit kemudian
membuang pasien ke suatu persawahan yang jauh dari permukiman penduduk. Mereka
tidak mempedulikan kondisi kesehatan pasien yang sedang kritis, tidak sadarkan diri
dan tanpa ada keluarga pendamping. Setelah dibuang di areal persawahan yang jauh
dari rumah penduduk, pasien kemudian meninggal dunia.
Rumah sakit harus menjamin bahwa sarana prasarana yang ada berfungsi dengan
baik dan kontinyu. Di Indonesia, kasus terkait dengan tangggung jawab rumah sakit
terhadap sarana prasarana yang pernah menjadi perhatian masyarakat diantaranya
adalah:

8
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2007), hal. 71.
9
Soekidjo Notoatmodjo, Etika Hukum Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal. 34.
10
Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 37.
11
J Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, cet. 1, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1992), hal. 35.
912 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

1. Kasus hilangnya bayi nomor 98 di RS Hasan Sadikin Bandung tahun 1987.12


Dalam kasus ini, penculik menyamar sebagai perawat dan kemudian mengambil
bayi yang baru saja dilahirkan di rumah sakit tersebut;
2. Kasus tertukarnya Gas O2 dengan Gas CO2 saat dilakukannya tindakan operasi
di RSUD Dokter M Yunus Bengkulu tahun 2001.13 Pada kasus ini, tim dokter
akan melakukan operasi terhadap korban kecelakaan lalu lintas. Selang
pernapasan dihubungkan dengan saluran yang tertempel di tembok kamar
operasi, dimana saluran tersebut tertuliskan O2. Setelah dilakukan tindakan
anastesi, dokter melihat ada yang janggal dalam tubuh pasien karena warna
darahnya berubah menjadi ungu (indikasi keracunan). Tim dokter kemudian
langsung melakukan tindakan gawat darurat untuk menyelamatkan nyawa
pasien. Namun, tindakan ini tidak berhasil dan pasien kemudian meninggal
dunia. Dampak dari kasus ini, 2 (dua) orang dokter anggota tim operasi
dikenakan hukuman penjara;
3. Kasus Bayi Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta tahun 2017.14 Pada
kasus ini, dokter jaga yang ada di UGD bergegas melakukan tindakan
penanganan gawat darurat terhadap pasien. Tetapi, tindakan ini tidak ditunjang
dengan alat yang memadai karena ventilator yang terdapat di UGD tidak
berfungsi. Akibat dari alat yang tidak berfungsi itu, dokter UGD melakukan
penanganan gawat darurat secara manual. Bayi Debora kemudian meninggal
dunia.
Tanggung jawab hukum rumah sakit terhadap personalianya mengandung
pengertian bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap kualitas dari
personalia yang bekerja di rumah sakit. Tanggung Jawab Rumah Sakit di Indonesia
diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
yang menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap
semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
di rumah sakit. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan pelaksana yang
menjelaskan mengenai penerapan dari tanggung jawab rumah sakit sebagaimana yang
diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah Sakit tersebut. Akibatnya adalah
beberapa kali terjadi ketidakkonsistenan dalam putusan pengadilan dalam menyikapi
pola tanggung jawab rumah sakit. Misalnya dalam Putusan Nomor
18/Pdt.G/2006/PN.PLG, 62/PDT/2006/PT.PLG, 1752/K/Pdt/2007 dan
352/PK/PDT/2010.
Berdasarkan bentuknya, tulisan ini menggunakan bentuk penelitian normatif
yaitu penelitian yang dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis.
Penelitian normatif atau kepustakaan adalah metode penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja. Dalam penelitian ini akan
dianalisis yurisprudensi Mahkamah Agung setelah diterbitkannya Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit agar diperoleh pemahaman yang
komprehensif mengenai pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia.
Metode analisis data yang peneliti pergunakan adalah metode kualitatif yang bertujuan
untuk memahami makna dari data dan bahan hukum yang telah dikumpulkan. Analisis
data kualitatif bertujuan untuk memahami pola tanggung jawab hukum rumah sakit di
Indonesia yang kemudian dapat dipergunakan untuk membangun konstruksi hukum
tanggung jawab hukum rumah sakit di Indonesia.

12
Tempo 13 Mei 1987.
13
Tempo 3 Maret 2002.
14
Kompas 26 September 2017.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 913

II. PENGATURAN MENGENAI PERTANGGUNGJAWABAN RUMAH


SAKIT DI INDONESIA

Dasar hukum yang dapat dipergunakan dalam menerapkan pola


pertanggungjawaban rumah sakit di Indonesia adalah Pasal 1367 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Di dalam Pasal 1367 (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dinyatakan bahwa:
“Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang yang
berada dibawah pengawasannya.”
Ketentuan ini kemudian dipertegas di dalam Pasal 1367 (3) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa:
“Majikan-majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili
urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan
oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan
untuk mana orang-orang ini dipakainya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, rumah sakit seharusnya bertanggung jawab
terhadap duty of care, sarana dan prasarananya, serta personalianya.
Rumah sakit merupakan Badan Hukum dan Unit Usaha yang kompleks karena
di dalamnya bekerja personalia yang berasal dari berbagai profesi. Permasalahan
hukum yang dihadapi juga sangat variatif dan unik karena sifat pelayanan yang
diberikan sebagian besar bersifat inspanningsverbintennis dan bukan
resultaatsverbintennis. Mempertimbangkan hal ini, maka kemudian diterbitkanlah
Undang-Undang yang khusus mengatur mengenai rumah sakit, yaitu Undang-Undang
Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Tanggung Jawab Rumah Sakit diatur
dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang
menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di
rumah sakit.

1. Karakteristik Profesi Dokter di Rumah Sakit


Dokter merupakan profesi yang independen. Independensi profesi dokter,
terlihat dari kebebasannya dalam menerapkan keahliannya di rumah sakit. Artinya,
dalam menerapkan keahliannya, Dokter tidak perlu menunggu instruksi atau
tergantung dari kebijakan Pimpinan rumah sakit. Dokter dalam menerapkan
keahliannya berdasarkan pada standar kompetensi yang diperolehnya pada saat
mengikuti pendidikan formal, situasi dan kondisi yang dihadapi (indikasi medis dan
tujuan tindakan medis) serta pengalaman dalam bidang medis.
Hubungan hukum antara rumah sakit dengan dokter dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu:
a. Hubungan perburuhan
Dalam hubungan ini, dokter bekerja sebagai karyawan dari rumah sakit dan
menerima gaji dari rumah sakit (dokter in). Dalam hal ini, dokter bertindak untuk
dan atas rumah sakit. Sehingga, rumah sakit bertanggung jawab penuh terhadap
semua tindakan dokter tersebut. Hubungan ini terdapat pada semua rumah sakit
pemerintah dan sebagian kecil rumah sakit swasta.
914 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

b. Hubungan yang berdasarkan perjanjian


Dalam hubungan ini, dokter berhak menggunakan fasilitas yang ada di rumah
sakit dan rumah sakit menyediakan fasilitas untuk dokter (dokter out). Dalam hal
ini, dokter bekerja secara mandiri dan berperan sebagai mitra rumah sakit.
Sehingga, tanggung jawab bukan berada pada rumah sakit, tetapi pada dokter itu
sendiri. Hubungan ini seringkali terjadi pada rumah sakit swasta.15
2. Ketidakkonsistenan dalam Penerapan Pertanggungjawaban Hukum
Rumah Sakit
Dalam tataran teori hukum, Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
digolongkan sebagai Vicarious Liability. Penerapan Pasal 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata menimbulkan kontradiksi dai tataran penegak hukum yaitu terkait
dengan sejauh mana rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap dokternya.
Kontradiksi ini semakin menguat apabila dokter yang terlibat di dalam sengketa medis
merupakan dokter tidak tetap (bukan sebagai karyawan rumah sakit).
Perbedaan penafsiran hakim mengenai penerapan Pasal 1367 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, misalnya terlihat di dalam Putusan Nomor
18/Pdt.G/2006/PN.PLG, 62/PDT/2006/PT.PLG, 1752/K/Pdt/2007 dan
352/PK/PDT/2010. Pada putusan ini, para pihaknya adalah Abuyani bin Abdul Roni
selaku penggugat, melawan Pemerintah Republik Indonesia cq Direktur Utama Rumah
Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang. Pada tahap gugatan di Pengadilan
Negeri Palembang dimenangkan oleh pihak tergugat yaitu Pemerintah Republik
Indonesia cq Direktur utama Rumah Sakit Umum Mohammad Hoesin Palembang
(putusan No. 18/Pdt.G/2006/PN. PLG). Kemudian penggugat melakukan banding ke
Pengadilan Tinggi Palembang dan kembali dimenangkan oleh tergugat (putusan No.
62/PDT/2006/PT.PLG). Atas putusan Pengadilan Tinggi Palembang tersebut,
penggugat melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Akhirnya saat kasasi ini
dimenangkan oleh penggugat (putusan No. 1752 K/Pdt/2007). Atas putusan kasasi
maka tergugat melakuan peninjauan kembali (PK) dan pada akhirnya dimenangkan
oleh pihak penggugat (putusan No. 352 PK/PDT/2010). Putusan tingkat pertama dan
banding menyatakan bahwa rumah sakit tidak dapat dibebani pertanggungjawaban
terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang bukan merupakan pegawai
dari rumah sakit tersebut. Sedangkan putusan tingkat kasasi dan peninjauan kembali
menyatakan bahwa rumah sakit harus bertanggung jawab terhadap tindakan medis
yang dilakukan oleh dokter, meskipun dokter tersebut tidak memiliki hubungan kerja
dengan rumah sakit.
Undang-Undang Rumah Sakit pada awalnya diharapkan dapat memberikan
pencerahan terhadap pola pertanggungjawaban rumah sakit dan menjembatani
perbedaan penafsiran Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun,
dalam pelaksanaannya ternyata Undang-Undang Rumah Sakit tidak dapat
menyelesaikan permasalahan tersebut karena pola pertanggungjawaban hukum yang
diatur di dalam Undang-Undang Rumah Sakit bersifat umum dan berpotensi
menimbulkan kesalahan penafsiran serta memerlukan penjelasan lebih lanjut.
3. Pola Pertanggungjawaban Hukum Rumah Sakit Ditinjau Berdasarkan
Perspektif Vicarious Liability
Perkembangan dan penerapan Vicarious Liability di Amerika Serikat dan Inggris
dapat dijadikan rujukan dan pertimbangan dalam menafsirkan pola
pertanggungjawaban rumah sakit di Indonesia. Hal ini dikarenakan, ketentuan

15
Willa Chandrawilla Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hal. 10.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 915

mengenai pertanggungjawaban rumah sakit sebagaimana yang diatur di dalam Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Rumah Sakit menimbulkan
interpretasi yang berbeda dalam tataran penegak hukum, khususnya adalah hakim dan
pengacara.
Berkenaan dengan tanggung jawab hukum rumah sakit, perkembangan pola
pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Amerika Serikat pada saat ini
menunjukkan adanya pola perubahan mengarah pada pertanggungjawaban perusahaan.
Fokus pertanggungjawaban hukum rumah sakit apabila terjadi suatu gugatan adalah
pada organisasinya dan bukan pada individunya. Pola pertanggungjawaban ini mirip
dengan pola pertanggungjawaban yang diterapkan di perusahaan. Rumah sakit sebagai
entitas bisnis harus bertanggung jawab secara organisasi dan bukan semata-mata
meletakkan tanggung jawab pada individu. Hal ini disebabkan karena imunitas yang
diberikan oleh Pemerintah terhadap rumah sakit semakin berkurang, dimana rumah
sakit sebelumnya dianggap sebagai badan amal kemudian dalam perkembangannya
berubah menjadi suatu entitas bisnis. Rumah sakit harus memantau dan memastikan
kualitas Staf yang bekerja di rumah sakit.16
Di Inggris, kondisinya juga mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat.
Pertanggungjawaban hukum rumah sakit disamakan dengan pertanggungjawaban
perusahaan. Malpraktik muncul karena adanya kesalahan yang sistemik dari suatu
sistem yang diterapkan di rumah sakit. Hal ini terjadi karena rumah sakit
mempekerjakan dokter yang mempunyai kemampuan di bawah rata-rata dan kurang
berpengalaman. Selain itu, rumah sakit juga sering mempekerjakan dokter melampaui
jam kerjanya (beban kerja berlebihan).17
Kegagalan dalam suatu tindakan medis bukan merupakan kesalahan dokter
apabila dokter dalam melaksanakan tugas profesinya telah sesuai dengan standar dan
berada dalam kondisi rata-rata jika dibandingkan dengan tenaga medis lain dari
kualifikasi keahlian medis yang sama (mempunyai kemampuan yang setara dengan
tenaga medis lain yang berasal dari kualifikasi keahlian medis yang sama).
Berdasarkan panduan dari Harvard Medical Practice, cedera yang dialami oleh pasien
di rumah sakit dapat disebabkan karena sistem yang ada di rumah sakit berjalan tidak
sebagaimana mestinya. Misalnya, seharusnya dokter senior memantau dan
memberikan arahan kepada dokter junior, tetapi hal ini tidak berjalan sehingga
menimbulkan cedera terhadap pasien. Selain itu, rumah sakit sering menghindar dari
tanggung jawabnya sebagai suatu institusi dan menyerahkan tanggung jawab atas
cedera pasien kepada tanggung jawab individual dari dokter. Hal yang perlu
diperhatikan oleh rumah sakit dalam kondisi seperti ini adalah dengan meningkatkan
kemampuan dari manajemen resiko untuk meminimalisir munculnya cedera pada
pasien. Dalam perkembangannya, tanggung jawab profesi dokter berpotensi untuk
dileburkan ke dalam tanggung jawab hukum sebagai suatu entitas bisnis atau suatu
organisasi.18
Tanggung jawab hukum rumah sakit sebagai suatu korporasi atau perusahaan
menimbulkan berbagai konsekuensi. Sebagai suatu korporasi atau perusahaan, maka
rumah sakit kemudian dibebani tanggung jawab kredensial bagi dokternya dan
tanggung jawab untuk menyediakan perawatan serta sarana prasarana pelayanan

16
Robert B Leflar, “Centralizing Responsibility For Health Care Quality”, Journal of Legal
Medicine, June, 1998, p. 315-317.
17
Ibid.
18
Ibid.
916 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

kesehatan yang memadai. Hal ini berangkat dari kasus Darling v. Charleston
Community Memorial Hospital.19
Berdasarkan teori pertanggungjawaban, rumah sakit sebagai suatu korporasi atau
perusahaan harus bertanggung jawab terhadap dokter yang bekerja di rumah sakit.
Rumah sakit berkedudukan sebagai majikan yang bertanggung jawab terhadap
karyawannya. Dalam ranah hukum, hal ini disebut sebagai Teori Respondeat Superior
(“Let The Master Answer”). Dalam perkembangannya, beradasarkan Putusan Supreme
Court tahun 1965 dalam kasus Darling v. Charleston Community Memorial Hospital,
rumah sakit harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap staf yang bekerja di rumah
sakit (meskipun tidak ada hubungan antara majikan dan karyawan). Hal ini
dikarenakan, dokter yang bertugas di rumah sakit merupakan representasi atau
perwakilan dari rumah sakit. Pada saat pasien datang ke rumah sakit, misalnya Unit
Gawat Darurat, maka pasien memasrahkan kualitas dokter sepenuhnya kepada rumah
sakit.20
Berdasarkan Vicarious Liability, staf yang bertugas di rumah sakit merupakan
representasi yang mewakili rumah sakit. Rumah sakit bertanggung jawab terhadap
karyawannya. Rumah sakit harus mempunyai pedoman klinis yang dapat dijadikan
standar bagi stafnya untuk melaksanakan tugasnya mewakili rumah sakit. Pedoman
klinis ini juga memberikan acuan penyelesaian jika ada permasalahan yang muncul.
Pedoman klinis ini tentunya harus mengacu kepada aturan yang sifatnya umum dan
kemudian diterjemahkan secara spesifik sesuai dengan kondisi yang terdapat di suatu
rumah sakit.21
Berdasarkan penerapan Vicarious Liability di Amerika Serikat dan Inggris,
seharusnya Rumah Sakit di Indonesia sebagai suatu badan hukum bertanggung jawab
terhadap dokter yang melakukan tugas profesinya di rumah sakit. Pola
pertanggungjawaban hukum ini seharusnya tidak lagi mempermasalahkan mengenai
status dokter, apakah sebagai dokter tetap atau dokter tidak tetap dari rumah sakit.

4. Ketidakkonsistenan Hakim Dalam Menginterpretasi Peraturan Mengenai


Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit
Pengaturan mengenai pola pertanggungjawaban rumah sakit di Indonesia,
sebagaimana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Undang-Undang Rumah Sakit, bersifat umum dan berpotensi menimbulkan perbedaan
penafsiran di kalangan penegak hukum (baik hakim maupun pengacara). Beberapa
putusan pengadilan menunjukkan adanya ketidakkonsistenan hakim dalam
menafsirkan peraturan tersebut. Interpretasi hakim yang berbeda-beda terhadap
peraturan yang ada, meyebabkan inkonsistensi tersebut menarik untuk dikaji. Melihat
isi pasal 1367 KUH Perdata dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
Tentang Rumah Sakit, pola pertanggungjawaban yang dianut adalah pola tanggung
jawab dengan konsep majikan-bawahan. Konsep ini diadopsi langsung dari penerapan
Doktrin Vicarious Liability Belanda. Praktik Doktrin Vicarious Liability di Belanda
berdasarkan pada prinsip Hukum Romawi yang berbunyi qui facit per alium facit per
se yang berarti seseorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang

19
John D. Blum, Hospitals, “New Medical Practice Guidelines, CQI, And Potential Liability
Outcomes”, Saint Louis University Law Journal, Summer, 1992, p. 671.
20
Clark C. Havighurst, “Making Health Plans Accountable For The Quality Of Care”, Georgia
Law Review, Winter 1997, p. 601-602.
21
John D. Blum, Hospitals, op. cit., p. 671.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 917

melakukan perbuatanya secara pribadi. 22 Kata berbuat melalui orang lain tersebut
kemudian ditafsirkan sebagai suatu hubungan antara majikan dan bawahan master and
servant, dimana semua perbuatan bawahan atas perintah, wewenang atau mandat dari
majikan, masuk ke dalam ruang lingkup tanggung jawab majikan. Seiring
perkembangan zaman, terutama perkembangan konsep organisasi perusahaan,
kemudian muncul pertanyaan seputar Doktrin Vicarious Liability. Bagaimana doktrin
tersebut menjelaskan konsep majikan dan bawahan, apa yang dimaksud bawahan dan
apa yang dimaksud majikan dalam konsep ini.
Munculnya konsep outsourcing dalam dunia bisnis dan organisasi kemudian
menimbulkan permasalahan terhadap penerpan Doktrin Vicarious Liability antara
majikan dan bawahan, apakah majikan dapat dikenakan tanggung jawab terhadap
pegawai outsourcing yang notabene bukan bawahan langsung immediate subordinate
dari seorang majikan. Karena permasalahan ini kemudian Doktrin Vicarious Liability
berkembang dalam dua variasi yaitu Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin
Ostensible/Apparent Agency.
Doktrin Respondeat Superior menitikberatkan terhadap tanggung jawab seorang
majikan yang tidak tertumpu pada satu orang majikan saja namun lebih melibatkan
seluruh atasan superior yang berada di atas seorang bawahan.23 Teori tersebut diadopsi
dari praktik Bangsa Romawi mengenai bagaimana tanggung jawab majikan terhadap
budak bawahanya, praktik tersebut menekankan bahwa tidak hanya satu majikan
pemilik budak saja yang bertanggung jawab, namun juga keluarga majikan tersebut
sebagai pemakai jasa budak. 24 Doktrin Respondeat Superior merupakan suatu
perluasan dari Doktrin Vicarious Liability. Persamaan antara Doktrin Vicarious
Liability dan Doktrin Respondeat Superior adalah sama-sama menggunakan konsep
status majikan dan bawahan. Majikan yaitu orang yang memperkerjakan secara
langsung seorang bawahan. Bawahan dalam hal ini secara langsung mendapat perintah,
kewenangan dan mandat dari majikan atau atasan dalam bentuk suatu kontrak kerja
antara majikan dan bawahan.
Doktrin Respondeat Superior tidak dapat diterapkan kepada bawahan yang
bersifat outsourcing atau pegawai lepasan atau kontrak, karena tidak memiliki
hubungan secara langsung atau hubungan tetap antara majikan dan bawahan. Sehingga
seorang atasan tidak memiliki tanggung jawab hukum terhadap kesalahan yang
dilakukan oleh bawahanya ketika menjalankan tugas atau pekerjaannya.
Sedangkan Doktrin Ostensible Agency atau juga dikenal sebagai Doktrin
Apparent Authority menitikberatkan bahwa seseorang yang bekerja sebagai pihak
ketiga melalui outsourcing atau kontrak berjangka, dianggap sebagai “ostensible
agent” yaitu seseorang yang dianggap sebagai kepanjangan tangan dari suatu pemberi
kerja atau organisasi, oleh karena itu majikan atau atasan memiliki kewajiban untuk
bertanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan oleh pekerja pihak ketiganya.
Doktrin Ostensible Agency merupakan perkembangan dari Doktrin Vicarious
Liability. Doktrin Ostensible Agency tidak hanya memperluas ruang lingkup area
pertanggungjawaban, tetapi juga memberikan konsep baru mengenai definisi dari
atasan dan bawahan.

22
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers, 2006),
hlm. 100.
23
Guyora Binder, Criminal Law- Cases and Materials, (Belanda: Wolters Kluwer Law&
Business, 2012), hlm. 728.
24
Yoram Dinstein, Israel Yearbook on Human Rights 1978, (Martinus Nijhoff Publishers), hlm.
15.
918 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

Hal inilah yang kemudian menjadi permasalahan bagi hakim ketika


mempergunakan Doktrin Vicarious Liability dalam menghadapi permasalahan hukum
mengenai sengketa medis. Secara normatif, perundang-undangan di Indonesia hanya
mengatur perihal Doktrin Vicarious Liability secara umum, karena hanya merujuk
pada konsep Vicarious Liability yang diterapkan di dalam pasal 1367 KUHPER.
Doktrin Vicarious Liability yang diterapkan di dalam pasal 1367 KUHPER tersebut
adalah kondisi dimana Doktrin Respondeat Superior dan Doktrin Ostensible/Apparent
Agency dikenal dan dipraktikan secara luas. Akibatnya terjadi suatu celah hukum
dimana timbul ruang untuk dilakukannya berbagai penafsiran oleh hakim. Hal ini tentu
menyebabkan ketidakonsistenan dalam pengunaan Doktrin Vicarious Liability.
Ketidakkonsistenan tersebut kemudian mengarah kepada ketidakpastian hukum.

III. MENGKAJI POLA PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM YANG


IDEAL BAGI RUMAH SAKIT

Pengaturan mengenai pola pertanggungjawaban hukum rumah sakit di Indonesia


yang berpotensi menimbulkan berbagai penafsiran serta penggunaan Doktrin
Vicarious Liability oleh pengacara sesuai dengan kepentingan kliennya. Hal ini
tentunya menimbulkan permasalahan dan tantangan dalam penegakan hukum di
Indonesia. Oleh karena itu perlu dirumuskan mekanisme pertanggungjawaban yang
ideal bagi rumah sakit pada saat menghadapi sengketa medis.
Doktrin Respondeat Superior sering dipergunakan oleh pengacara rumah sakit
untuk membela kepentingan rumah sakit dengan melakukan pembatasan ruang
lingkup keberlakuan Doktrin Vicarious Liability. Hal yang kurang disadari oleh
pengacara dan hakim di Indonesia, dalam perkembangannya, Doktrin Respondeat
Superior dapat diterapkan dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1) Bagi dokter yang secara jelas
mempunyai hubungan dengan rumah sakit (ada hubungan pekerjaan atau hubungan
antara majikan dan bawahan). Dalam hal ini Doktrin Respondeat Superior secara
otomatis dapat diterapkan; (2) Bagi dokter yang tidak mempunyai hubungan kerja
dengan rumah sakit. Dalam hal ini harus dibuktikan bahwa rumah sakit mempunyai
fungsi kontrol terhadap dokternya. Semakin kuat fungsi kontrol yang dimiliki oleh
rumah sakit dapat dibuktikan maka semakin besar peluang untuk menerapkan Doktrin
Respondeat Superior.25
Sebagai suatu badan hukum seharusnya rumah sakit mempunyai fungsi kontrol
terhadap seluruh tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit. Sebagai suatu badan
hukum, seharusnya rumah sakit bertanggung jawab terhadap dokternya, baik dokter
tetap maupun dokter tidak tetap.
Menyikapi pola pertanggungjawaban hukum yang berpusat pada rumah sakit ini,
maka rumah sakit dapat melakukan beberapa hal. Diantarannya, rumah sakit dapat
menerapkan pola hak regres bagi dokter yang telah terbukti bersalah dalam sengketa
medis. Dalam hal ini, terdapat perjanjian internal antara dokter dan rumah sakit
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1338 dan 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dalam perjanjian internal ini diatur mengenai pembagian keuntungan
antara dokter dan rumah sakit serta pembagian beban pertanggungjawaban antara
dokter dan rumah sakit. Apabila terjadi sengketa medis antara dokter yang bertugas di
rumah sakit dengan pasiennya, dan kemudian dokter dinyatakan bersalah, maka
besaran ganti kerugian yang digugat oleh pasien terlebih dahulu akan dibayarkan oleh
rumah sakit sesuai dengan pola pertanggungjawaban rumah sakit sebagai badan
25
J. Bradley Buckhalter, op. cit., p. 1168.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 919

hukum atau korporasi. Selanjutnya, rumah sakit berhak untuk meminta reimburse
besaran ganti kerugian tersebut kepada dokter yang telah menimbulkan kerugian. Hak
rumah sakit untuk meminta reimburse tersebut dikenal dengan hak regres. Penerapan
hak regres selain tergantung pada pola perjanjian antara rumah sakit dengan dokter
juga tergantung dari posisi dan kontribusi dokter bagi rumah sakit.
Selain hak regres, juga terdapat tindakan yang sifatnya preventif bagi rumah
sakit dalam menghadapi potensi kerugian yang timbul karena sengketa medis. Rumah
sakit dapat memanfaatkan asuransi. Ada 2 (dua) pola asuransi, yang pertama adalah
rumah sakit sebagai suatu institusi mengasuransikan dirinya. Yang berikutnya adalah
asuransi profesi dokter. Dalam hal ini, rumah sakit mensyaratkan dokter yang bekerja
di rumah sakit tersebut harus sudah di-cover oleh asuransi atau bisa juga rumah sakit
mengasuransikan dokter yang bekerja di dalamnya (biasanya hal ini diperuntukkan
bagi dokter yang sudah mempunyai “nama” di masyarakat sehingga pasiennya banyak
dan berkontribusi bagi rumah sakit).
Sebagai pembanding, adalah potret pelayanan kesehatan di Amerika Serikat
yang pada masa sekarang ini dilaksanakan dengan berorientasi pada pasar. Mayoritas
pihak yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan mempunyai tujuan untuk
memperoleh profit, tetapi tetap mengutamakan pelayanan yang bermutu kepada pasien
sebagai konsumen pelayanan kesehatan. Perusahaan asuransi kesehatan mempunyai
posisi yang dominan karena mayoritas pembiayaan kesehatan dibebankan dan dikelola
oleh asuransi kesehatan.26
Rumah sakit sebagai suatu korporasi atau perusahaan juga dibebani kewajiban
fiducia terhadap pasien. Teori mengenai malpraktik medis menyatakan bahwa rumah
sakit harus dapat menjamin keamanan dan kenyamanan pasien (patient safety) dan
wajib untuk membayar ganti kerugian apabila terjadi hal yang tidak dinginkan
(misalnya kesalahan medis) yang menyebabkan pasien cedera atau mengalami
kerugian. Untuk meminimalisir terjadinya sengketa medis, rumah sakit dapat
menerapkan prinsip patient safety. Prinsip patient safety dapat meminimalisir
terjadinya cedera pada pasien akibat kesalahan tindakan medis. Kewajiban rumah sakit
terkait dengan patient safety mencakup 4 hal sebagai berikut: (1) kewajiban untuk
menggunakan perawatan yang wajar dalam pemeliharaan fasilitas dan peralatan yang
aman dan memadai; (2) kewajiban untuk memilih dan mempekerjakan dokter yang
berkompeten; (3) kewajiban untuk memantau tanggung jawab dan pelaksanaan tugas
dari tenaga kesehatan lainnya, termasuk terkait dengan pola distribusi dan peredaran
obat-obatan di rumah sakit; dan (4) kewajiban untuk merumuskan, mengadopsi dan
menegakkan aturan dan kebijakan yang memadai untuk memastikan perawatan yang
berkualitas bagi pasien.27 Prinsip patient safety telah diadopsi dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien.
Salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian oleh pihak rumah sakit adalah
mengenai pola komunikasi antara dokter dengan pasien. Hal ini dikarenakan mayoritas
sengketa medis terjadi karena adanya pola komunikasi yang kurang baik antara dokter
dengan pasien. Sebagai tindakan preventif agar tidak timbul sengketa medis, maka
rumah sakit harus menyadari dan memahami mengenai pentingnya informed consent
antara dokter dengan pasien. Informed consent merupakan wujud pengakuan atas
otonomi pasien dalam bidang pelayanan kesehatan. Salah satu perwujudannya adalah
di dalam kasus Canterbury v. Spence tahun 1972, dimana dalam hal ini pasien

26
Clark C. Havighurst, “Making Health Plans Accountable For The Quality Of Care”, Georgia
Law Review, Winter 1997, p. 590.
27
Barry R. Furrow, “Patient Safety And The Fiduciary Hospital: Sharpening Judicial
Remedies”, Drexel Law Review, Spring/Summer 2009, p. 446.
920 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

mempunyai otonomi atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Pasien mempunyai kewenangan untuk menentukan apakah menyetujui atau menolak
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya. Tindakan medis yang terbaik
menurut dokter belum tentu terbaik menurut pasien.28 Informed consent telah diadopsi
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008
Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Rumah sakit harus membentuk dan menerapkan manajemen resiko untuk
meminimalisir resiko yang muncul dalam penyelenggaraan rumah sakit, salah satunya
adalah resiko dalam bentuk sengketa medis. Apabila ada permasalahan yang muncul,
maka terlebih dahulu Staf Rumah Sakit melaporkannya ke Bagian Manajemen Resiko
agar dapat dianalisis penyebab munculnya permasalahan. Rumah sakit bahkan tidak
segan untuk melakukan reformasi terhadap sistem yang diterapkannya apabila
kesalahan yang muncul di rumah sakit sifatnya adalah sistemik. Komite Manajemen
Resiko Rumah Sakit kemudian melakukan brainstorming untuk mencari solusi
penyelesaian permasalahan, termasuk juga mengenai mekanisme kompensasi yang
diberikan kepada pasien. Direktur Medis Rumah Sakit mempunyai posisi yang vital
dan bertanggung jawab untuk melakukan pengawasan terhadap alur maupun prosedur
tindakan medis yang dilaksanakan di rumah sakitnya.29
Sengketa medis juga dapat disebabkan karena mutu dokter yang bekerja di
rumah sakit di bawah standar (tidak sesuai dengan average). Untuk mewujudkan
penjaminan mutu terhadap kualitas dokter yang bekerja di rumah sakit, maka
dibutuhkan proses kredensial yang memadai. Proses kredensial bertujuan untuk
memastikan bahwa dokter yang bertugas di rumah sakit telah memenuhi syarat dan
standar dalam melaksanakan profesinya di rumah sakit. Proses kredensial merupakan
bagian integral dari akreditasi rumah sakit yang bertujuan untuk menjaga mutu
pelayanan kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit.
Kelayakan dari seorang dokter untuk agar dapat ditetapkan sebagai staf medis di
suatu rumah sakit selain ditentukan oleh kemampuan keilmuan dan pengalamannya
dalam bidang medis, juga ditentukan oleh tingkat “independensi”dari dokter pada saat
melakukan tindakan medis sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Artinya,
dalam proses kredensial, hal yang dianalisis tidak hanya keilmuan dari seorang dokter,
tetapi juga otonomi dari dokter pada saat melaksanakan keilmuannya. Di USA, ada
perbedaan kewenangan dan kedudukan hukum antara: keanggotaan staf medis di suatu
rumah sakit; keistimewaan klinis atau otonomi profesi yang diberikan kepada dokter;
pengakuan hak istimewa bagi dokter. Di USA, tidak seluruh staf medis mempunyai
hak istimewa untuk menerima pasien secara mandiri. Perawat anastesi mempunyai
keistimewaan klinis atasu otonomi profesi meskipun perawat anastesi bukan
merupakan anggota staf medis.
Proses kredensial berusaha untuk menjembatani berbagai kepentingan yang ada
di rumah sakit, diantaranya adalah: Pertama, adanya kepentingan dari dokter untuk
berpraktik di rumah sakit. Salah satu hal yang perlu digarisbawahi adalah lisensi yang
diterbitkan oleh negara tidak secara otomatis menjamin bahwa seorang dokter dapat
bekerja di suatu rumah sakit. Untuk menentukan apakah seorang dokter layak atau
tidak untuk bekerja di suatu rumah sakit, tetap harus ditentukan melelui proses
kredensial; Kedua, adanya kepentingan dari rumah sakit dan badan pemerintahan
untuk melindungi aset dari rumah sakit. Rumah sakit selain menyediakan sarana dan

28
David T. Ozar, “Malpractice And The Presuppositions Of Medical Practice”, Annals of Health
Law, 1994, p. 139-140.
29
Jonathan R. Cohen, “Apology And Organizations: Exploring An Example From Medical
Practice”, Fordham Urban Law Journal, June, 2000, p. 1447.
Pola Peretanggungjawaban Rumah Sakit, Wahyu Andrianto, Djarot Dimas Achmad A. 921

prasarana yang memadai juga harus memastikan kualitas tenaga kesehatan (khususnya
dokter) yang bekerja di rumah sakit. Dalam proses kredensial, rumah sakit memeriksa
medical record atau catatan yang menunjukkan profesionalitas dari dokter. Ketika
ditemukan catatan kinerja yang kurang bagus, maka rumah sakit dapat melakukan
evaluasi terhadap dokter tersebut. Ketiga, pasien berkepentingan untuk mengakses
pelayanan kesehatan yang berkualitas yang disediakan oleh rumah sakit dan
dilaksanakan oleh dokter yang mutunya telah terjamin melalui proses kredensial.30 Di
Indonesia, proses kredensial ini diatur dalam beberapa peraturan, diantaranya adalah di
dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran, dan Hospital by
Laws di setiap rumah sakit.
Kesalahan medis dapat dikategorikan dalam tiga bagian yaitu: kesalahan
individual, kesalahan sistem, dan kesalahan tim. Kesalahan individual disebabkan
karenan kemampuan individual dari tenaga kesehatan yang melakukan pelayanan
kesehatan berada di bawah rata-rata apabila dibandingkan dengan tenaga kesehatan
lainnya dari kategorisasi keahlian yang sama. Untuk meminimalisir terjadinya
kesalahan individual, maka tenaga kesehatan secara berkala dan teratur harus
mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam bidang kesehatan. Kesalahan sistem dapat
diperbaiki dengan menginventarisir dan menganalisis berbagai kesalahan yang muncul
sebelumnya (dijadikan sebagai sarana pembelajaran untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang lebih baik lagi). Sistem yang ada harus diperbaiki dengan mengacu
pada penyebab munculnya kesalahan medis sebelumnya.31

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945.
Indonesia, Menteri Kesehatan. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga. Nomor PM 39 Tahun 2016.

Buku
Guwandi, J. Dokter dan Rumah Sakit. Cet. 1. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1992.
Supriadi, Willa Chandrawilla. Hukum Kedokteran. Bandung: Mandar Maju, 2001.

Jurnal
Blum, John D. “New Medical Practice Guidelines, CQI, And Potential Liability
Outcomes”, Saint Louis University Law Journal (Summer 1992).
Buckhalter, J. Bradley. “Erisa Preemption Of Medical Malpractice Claims: Can
Managed Care Organizations Avoid Vicarious Liability?” Seattle University
Law Review (Spring 1999).
Cohen, Jonathan R. “Apology and Organizations: Exploring An Example From
Medical Practice”. Fordham Urban Law Journal (June 2000).

30
Dale H. Cowan, “Medical Staff Legal Issues”, University of Toledo Law Review, Summer,
1986, p. 855-857.
31
Barry R. Furrow, J.D, “Medical Mistakes: Tiptoeing Toward Safety”, Houston Journal of
Health Law & Policy, 2003, p. 185.
922 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.4 Oktober-Desember 2019

Cowan, Dale H. “Medical Staff Legal Issues”. University of Toledo Law Review
(Summer 1986).
Furrow, Barry R. “Medical Mistakes: Tiptoeing Toward Safety.” Houston Journal of
Health Law & Policy (2003).
Havighurst, Clark C. “Making Health Plans Accountable for The Quality of Care”.
Georgia Law Review (Winter, 1997).
Leflar, Robert B. “Centralizing Responsibility for Health Care Quality”. Journal of
Legal Medicine (June 1998).
Lininger, Tom. “On Dworkin And Borkin”. Michigan Law Review (April 2007)
Lyons, David. “Moral Limits of Dworkin’s Theory of Law and Legal Interpretation”.
Boston University Law Review (April 2010).
MacDougall, Vicki Lawrence. “The “Shared Risk” Of Potential Tort Liability of
Health Maintenance Organizations and The Defense of Erisa Preemption”.
Valparaiso University Law Review (Summer, 1998).
Moore, Michael S. “Metaphysics, Epistemology and Legal Theory”. Southern
California Law Review (January 1987).
Ozar, David T. “Malpractice and The Presuppositions of Medical Practice”. Annals of
Health Law (1994).

Anda mungkin juga menyukai