Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi skizofrenia

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak


belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating)
yang luas, serta sejumlah akibat yang bergantung pada perimbangan pengaruh genetik,
fisik, dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental
dan karakteristik dari pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar
(innapproriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear consiousness) dan
kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian (Maslim, 2013)
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam
pikiran, emosi, dan perilaku, dimana berbagai pemikiran tidak saling berhubungan secara
logis, persepsi dan perhatian yang keliru, afek yang datar atau tidak sesuai, dan berbagai
gangguan aktivitas motorik yang bizzare (perilaku aneh), menarik diri dari orang lain dan
kenyataan, sering kali masuk ke dalam kehidupan fantasi yang penuh delusi dan
halusinasi.
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan
pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam
perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan,
miskin kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau auh tak auh,
sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif. 

B. Epidemiologi

Insiden dan tingkat prevalensinya hampir sama di berbagai daerah yaitu 1% pada
populasi dewasa dan biasanya onset dimulai pada usia remaja akhir atau awal masa
dewasa. Meskipun begitu, terdapat perbedaan onset diantara laki-laki dan perempuan.
Pada laki-laki gangguan biasanya mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25 tahun
sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu 25-35 tahun. Onset untuk perempuan lebih
rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan resiko
onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia
pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan laki-laki (Durand, 2007). Insiden
skizofrenia lebih besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

C. Etiologi
Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab
skizofrenia, antara lain:
1. Faktor genetik
Faktor keturunan menentukan timbulnya skizofrenia, dibuktikan dengan
penelitian yang dilakukan Maramis pada tahun 1955 tentang keluarga-
keluarga penderita skizofrenia. Angka kesakitan bagi saudara tiri ialah 0.9-
1,8%; bagi saudara kandung 7-15%; bagi anak dengan salah satu orangtua
penderita skizofrenia 7-16%, dan 40-68% bila kedua orangtua penderita
skizofrenia. Bagi kembar dua telur (heterozigot) adalah 2-15% dan terbesar
adalah bagi kembar satu telur (monozigot) 61-86%.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Heston pada tahun 1966 dan Kety pada
tahun 1988 membuktikan bahwa faktor genetik memiliki pengaruh leih kuat
dibandingkan faktor lingkungan.Skizofrenia terjadi lebih banyak pada anak-
anak adopsi yang memiliki relasi dengan penderita skizofrenia dibandingkan
anak-anak adopsi yang tidak memiliki riwayat keluarga dengan skizofrenia.
Meskipun begitu, studi yang lebih baru dilakukan oleh Tienari pada tahun
1994 membuktikan bahwa tingkat gangguan psikotik lebih rendah secara
signifikan pada anak-anak adopsi yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga
yang sehat.
Pada penelitian terbaru telah dilakukan observasi dengan berbagai
peralatan biologi molekular dan genetik molekular. Terdapat beberapa
hubungan yang dilaporkan pada pasien dengan skizofrenia, meliputi
kromosom 3,5,6,8,13, dan 18. Dan di samping itu juga ditemukan
trinucleotide repeats (CAG/CTG) pada kromosom 17 dan 18 (Kaplan, dkk.
1997)

2. Biokimia
Rumusan yang paling sederhana untuk mengungkapkan patofisiologi dari
skizofrenia adalah hipotesa dopamine yang menyatakan bahwa skiofrenia
disebabkan karena terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Hipotesis ini
didukung dari hasil observasi efek obat antipsikotik yang digunakan untuk
skizofrenia yang bekerja dengan cara menghambat dopamine (D2) reseptor
(Kaplan, dkk. 1997)
Walaupun hipotesis dopamine tentang skizofrenia telah dipercaya selama
lebih dari dua dekade, namun hal ini masih merupakan hipotesis yang
memiliki kelemahan. Pertama, antagonis dopamine efektif dalam mengobati
hampir semua pasien psikotik dan pasien yang teragitasi berat, tidak
tergantung pada diagnosis (contohnya mania akut). Kedua, beberapa data
elektrofisiologis menyatakan neuron dopaminergik mungkin meningkatkan
kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka panjang
dengan obat antipsikotik sehingga menyatakan bahwa abnormalitas awal pada
pasien ini mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.
Disamping itu perlu juga dipikirkan neurotransmitter lainnya seperti
serotonin dan asam ammino GABA sebagai etiologi skizofrenia. Secara
spesifik antagonism pada reseptor serotonin (5-hydroxy-tryptamin) tipe 2 (5-
HT2) menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan gangguan tersebut
berhubungan dengan antagonism D2. Pada salah satu penelitian, aktivitas
serotonin berperan dalam perilaku bunuh diri dan impuls yang serupa
ditemukan pada pasien skizofrenia. Beberapa pasien skizofrenia mengalami
kehilangan neuron GABA nergik di dalam hipokampus. Kehilangan inhibitor
GABAnergik secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron
dopaminergik dan noradrenergik.

3. Anatomi dan patologi


Banyak penelitian yang telah melibatkan peranan patofisiologis untuk
daerah tertentu di dalam otak, termasuk sistem limbic, korteks frontalis, dan
ganglia basalis. Ketiga daerah tersebut saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada salah satunya mungkin akan melibatkan patologi primer pada
daerah lainnya di otak.
Pembesaran ventrikular otak merupakan salah satu yang paling sering
menyebabkan gangguan pada pasien skizofrenia. Akan tetapi pembesaran
sulkus dan atrofi otak juga pernah dilaporkan. Pembesaran ventrikel
berhubungan dengan kemiskinan fungsi premorbid, gejala negatif,
kemiskinan terhadap respon pengobatan, dan gangguan kognitif.
Pada pemeriksaan dengan MRI terdapat kemungkinan kerusakan pada
daerah thalamus, amigdala atau hippocampus, lobus temporal, dan basal
ganglia yang ditemukan mengecil pada otak pasien skizofrenia postmortem.
Ganglia basalis terlibat dalam pengendalian gerakan dimana pada pasien
skizofrenia mempunyai gerakan yang aneh, bahkan tanpa adanya gangguan
pergerakan akibat medikasi. Ukuran regio temporal yang berkurang pada
pasien skizofrenia dan gangguan pada gyrus temporalis superior berhubungan
dengan timbulnya halusinasi.
4. Faktor prenatal dan postnatal
Kejadian yang mempengaruhi perkembangan janin berpotensi untuk
mencetuskan kerawanan genetik yang berujung pada gangguan psikologis.
Komplikasi obstetri memerikan dampak besar terhadap perkembangan otak
janin, beberapa studi juga menunjukkan bahwa ibu pasien skizofrenia
cenderung memiliki riwayat komplikasi obstetri saat mengandung (Dalman
et.al. 1999, McNeil et al. 2000) termasuk di dalamnya preeclampsia dan
gangguan saat persalinan yang menyebabkan hipoksia pada bayi.
Abdel Malik dkk. Pada tahun 2003 membuktikan bahwa cedera kepala
yang terjadi pada usia kurang dari 10 tahun berpotensi untuk meningkatkan
resiko gangguan psikiatri, termasuk skizofrenia.
Infeksi virus yang terjadi selama masa kehamilan, terutama pada trimester
kedua, dapat mengganggu perkembangan otak janin yang berakibat timbulnya
skizofrenia di kemudian hari. Irus influenza, measles, polio, HSV tipe 2,
difteri dan pneumonia yang terjadi pada janin merupakan faktor resiko
terjadinya skizofrenia, walaupun belum dapat dipastikan apakah infeksi
tersebut merusak otak secara langsung atau abnormalitas perkembangan otak
merupakan akibat sekunder dari respon imun maternal.

5. Faktor Psikologis dan Sosial


Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin
lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan
orangtua-anak yang patogenik, dan interaksi yang patogenik dalam keluarga.
Orangtua terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi
kesempatan anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu
sedikit dan tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan
anjuran yang dibutuhkannya. Pasien yang keluarganya memiliki emosi
ekspresi yang tinggi memiliki angka relapse lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien yang berasal dari keluarga dengan emosi ekspresi rendah. Emosi
ekspresi didefinisikan sebagai perilaku yang intrusif, terlihat berlebihan,
kejam, dan kritis.
Meskipun begitu, penyebab sosial dari skizofrenia di setiap kultur berbeda
tergantung dari bagaimana penyakit mental diterima di dalam kultur, sifat
peranan pasien, tersedianya sistem pendukung sosial dan keluarga, dan
kompleksitas komunikasi sosial.

D. Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap individu. Perjalanan
klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa fase yang dimulai
dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock,2003;
Buchanan,2005).
Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia, walaupun
gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik gejala skizofrenia yang
dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa dewasa akan diikuti dengan
perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari sampai bulan. Tanda
dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror
atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia menyatakan
bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti nyeri kepala, nyeri
punggung dan otot, kelemahan, dan masalah pencernaan (Sadock,2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara klinis,
yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian pasien
skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk sampai tidak
ada.
Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia.
Yang tinggal hanya satu sampai dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis,
yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).

E. Kriteria Diagnostik
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (biasanya dua gejala atau
lebih bila gejala kurang tampak)
a. - “thought of echo” : isi pikiran yang berulang atau bergema dalam kepala
- “thought of insertion or withdrawal”: isi pikir yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal)
- “thought broadcasting”: isi pikirannya tersiar ke luar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya
b. - “delusion of control”: waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
- “delusion of influence”: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan
tertentu dari luar
- “delusion of passivity”: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar
- “delusional perception”: pengalaman inderawi yang tak wajar, bermakna sangat
khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat
c. Halusinasi auditorik
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara)
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d. Waham-waham menatap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas mmanusia biasa (misalnya
mmampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk dunia lain)
 Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas:
e. Halusinasi yag menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh
waham yang mengambang ataupun setengah terbentuk tanpa kandungan afektif
yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan yang menetap, terjadi setiap hari
selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation)
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relean, atau neologisme
g. Perilaku katatonik, seperti gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu
(posturing), atau flexibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor
h. Gejala negatif, seperti sikap sangat apatis, bicara jarang, respons emosional
menumpul atau tidak wajar, penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya
kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika
 Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsrikotik prodromal)
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

F. Tipe Skizofrenia
1. Skizofrenia Paranoid
Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi auditorik
dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif masih terjaga.
Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran, atau keduanya, tetapi
waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan atau keagamaan) mungkin
juga muncul. Ciri lain meliputi anxietas, kemarahan, menjaga jarak, suka
berargumentasi, dan agresif
2. Skizofrenia Hebefrenik
Ciri utamanya adalah pembicaraan kacau, tingkah laku kacau, afek datar atau
innaproppriate. Pembicaraan yang kacau dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang
tidak erat kaitannya dengan isi pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat
membawa pada gangguan yang serius pada berbagai aktivitas sehari-hari.
3. Skizofrenia Katatonik
Ciri utamanya dalah gangguan psikomotor yang dapat meliputi ketidakbergerakkan
motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang berlebihan, negativism yang ekstrim,
sama sekali tidak mau berbicara dan berkomunikasi (mutism), gerakkan yang tidak
terkendali, mengulang ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku
orang lain (echopraxia)
4. Skizofrenia Tak Terinci (undifferentiated)
Tipe tak terinci merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan perubahan pola
simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator skizofrenia. Misalnya,
indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion), emosi yang tidak dapat dipegang
karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi yang berubah-ubah atau salah, adanya
ketergugahan yang sangat besar, autisme seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu
juga ada fase yang menunjukkan ketakutan.
5. Skizofrenia Residual
Tipe ini merupakan yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi masih
memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-keyakinan negatif,
atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak sepenuhnya delusional.
Gejala residual dapat berupa menarik diri secara sosial, pikiran-pikiran ganjil,
inaktivitas, dan afek datar. Sedikitnya sudah melampaui masa satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia.

G. Penatalaksanaan Skizofrenia
Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis dan terapi
psikososial.
1. Terapi biologis
a. Obat antipsikosis
Antipsikotik dikelompokkan sebagai golongan pertama dan kedua berdasarkan
mekanisme utamanya sebagai antagonis reseptor dopamin (D2). Efek antipsikotik
jugua memiliki efek pada reseptor lain, namun tidak mempengaruhi efek
antipsikotik, yaitu reseptor histamine, reseptor kolinergik dan reseptor alfa 1.
Akibat dari efeknya terhadap reseptor-reseptor tersebut, antipsikotik juga
memiliki efek samping seperti sedasi, mulut kering, konstipasi dan lainnya
(Parker, 2009).
- Antipsikotik golongan pertama
Antipsikotik golongan pertama biasa dibagi berdasarkan struktur kimia menjadi
golongan fenotiazin dan nonfenotiazin (thioxanthenes, butyrophenones,
dibenzoxapines). Selain itu ada digolongkan menjadi berpotensi rendah (golongan
fenotiazine) dan berpotensi tinggi (nonfenotiazine), karena hanya membutuhkan
dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan golongan rendah
(Chlorpromazine 100 mg). Penggolongan yang kedua lebih sering digunakan
dalam praktek untuk kepentingan klinis. Antipsikotik golongan pertama bekerja
sebagai antagonis reseptor dopamine di otak, terutama pada sistem nigrostriatal,
mesolimbokortikal dan tuberoinfundibular.

- Antipsikotik golongan kedua


Obat antipsikotik golongan kedua bekerja dengan berikatan pada reseptor
serotonin 2A (5-HT 2A) dan dopamine (D2). Mekanisme kerja di jalur dopamine
mesolimbic dan nigrostriatal yang cenderung lemah membuat efek samping
pyramidal yang ditimbulkan lebih rendah dibandingkan golongan pertama.
Namun penelitian yang dilakukan menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan
efektivitas antara antipsikotik golongan pertama dan kedua, kecuali clozapine
sehingga ia dijadikan pilihan pada kasus skizofrenia yang resisten

Penggunaan akntipsikotik pada skizofrenia mengikuti perjalanan dari gangguan


skizofrenia, yang terdiri dari:
- Fase akut
Pada fase ini penggunaan obat antipsikotik perlu ditetapkan tujuannya, seperti
untuk mengurangi gejala positif, negatif, ide atau perilaku bunuh diri, perilaku
kekerasan atau agitasi. Sebelum pemberian antipsikotik sebaiknya dilakukan
pemeriksaan laboratorium.
Obat yang biasa diberikan berupa injeksi baik dari golongan pertama atau kedua.
Obat injeksi antipsikotik pertama yang sering tersedia yaitu haloperidol dan
chlorpromazine. Pemberian antipsikotik golongan pertama sering digunakan
untuk mengatasi agitasi akut dengan kerja obat yang cepat. Namun penggunaan
obat golongan pertama sering timbul efek samping, misalnya dystonia akut dan
pemanjangan QTc. Pada obat injeksi golongan kedua efek samping akut yang
mungkin timbul lebih ringan dibanding yang pertama. Biasanya digunakan
olanzapine dan aripriprazole. Pemberian injeksi biasanya diberikan secara intra
muscular.
Untuk penggunaan antipsikotik oral dapat diberikan baik golongan pertama
maupun kedua. Pemberian dosis dimulai dengan dosis rendah yang kemudian
ditingkatkan untuk mendapat dosis terapetik yang sesuai. Pemantauan efek
samping obat juga perlu diperhatikan, evaluasi sekitar 2-4 minggu, agar tidak
menimbulkan efek tidak nyaman.
- Fase stabilisasi
Pada fase ini, tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan remisi gejala,
meminimalisasi resiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi
dan proses kekambuhan (recovery). Pemberian antipsikotik, baik golongan
pertama maupun kedua, diberikan dengan dosis efektif minimal. Hal ini ditujukan
untuk tetap dapat mengendalikan gejala namun tidak menimbulkan efek samping
sehingga kepatuhan pasien untuk minum obat dapat dipertahankan.
Untuk kasus yang pertama konsensus menyatakan obat antipsikotik pada fase
stabilisasi sebaiknya diberika selama 2 tahun. Sedangkan pada kasus yang
berulang diberikan hingga 5 tahun.

b. Terapi elektrokonvulsif
Terapi elektrokonulsif juga dikenal sebagai elektroshock pada
penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir tahun 1930-an, Electroconvulsive
therapy (ECT) diperkenalkan sebagai penaganan untuk skizofrenia. Tetapi terapi
ini telah menjadi pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa
alasan. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT
merupakan pengalaman yang sangat menakutkan bagi pasien. Pasien seringkali
tidak bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan
ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan
hilangnya ingatan setelah itu. Adakalanya intensitas kekejangan otot yang
menyertai serangan otak mengakibatkan cacat fisik.
c. Pembedahan otak
Lobotomy, merupakan proses operasi primitif dengan cara membuang
“stone of madness” atau disebut dengan batu gila yang dianggap sebagai
penyebab gangguan perilaku. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini
ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya,
otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

2. Terapi psikososial
Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi
pengobatan di dalam maupun di luar rumah sakit menjadi monoton dan
menjemukan. Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah dibberikan
pada pasien skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan
ini merupakan akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai
pengalaman yang dialami di usia dini. Pada terapi psikososial terdapat dua bagian
yaitu terapi kelompok dan terapi keluarga (Durand, 2007).
Terapi kelompok merupakan salah satu jenis humanistik. Pada terapi ini,
beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai
fasilitator dan sebbagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling
memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta
diposisikan pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi,
sehingga dapat memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan
berkomunikasi.
Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi
kelompok. Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah
sakit dan tinggal bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari
ungkapan-ungkapan emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh
kembali.
Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk
mengekspresikan perasaan-perasaan, baik yang positif maupun negatif secara
konstruktif dan jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-
sama. Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk
menghadapinya. Campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses
penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit
penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual (Davidson dan
Neale, 2006).

Anda mungkin juga menyukai