Anda di halaman 1dari 36

BAB IV

AKIBAT HUKUM DARI AKTA HIBAH YANG MEMENUHI UNSUR


PERBUATAN MELAWAN HUKUM

A. Penurunan Derajat Pembuktian Akta Menurut PP No. 37/1998 dan PP


No. 24/1997

PPAT sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian dari

kekuasan negara di bidang Hukum Perdata terutama untuk membuat alat

bukti otentik (akta PPAT). Dalam pembuatan akta PPAT baik dalam bentuk

partij akta maupun relaas akta, PPAT bertanggungjawab supaya setiap akta

yang dibuatnya mempunyai sifat otentik sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 1868 KUHPerdata. Kewajiban PPAT untuk dapat mengetahui

peraturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia juga serta untuk

mengetahui hukum apa yang berlaku terhadap para pihak yang datang kepada

PPAT untuk membuat akta.

Hal tersebut sangat penting agar supaya akta yang dibuat oleh PPAT

tersebut memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik karena sebagai alat bukti

yang sempurna.Namun dapat saja PPAT melakukan suatu kesalahan dalam

pembuatan akta. Kesalahan-kesalahan yang mungkin dapat terjadi, yaitu :

a. Kesalahan ketik pada salinan PPAT, dalam hal ini kesalahan tersebut

dapat diperbaiki dengan membuat salinan baru yang sama dengan yang

asli dan hanya salinan yang sama dengan yang asli baru mempunyai

kekuatan sama seperti akta asli.

127
128

b. Kesalahan bentuk akta PPAT, dalam hal ini dimana seharusnya dibuat

berita acara rapat tapi oleh PPAT dibuat sebagai pernyataan keputusan

rapat.

c. Kesalahan isi akta PPAT, dalam hal ini mengenai keterangan dari para

pihak yang menghadap PPAT, di mana saat pembuatan akta dianggap

benar tapi ternyata kemudian tidak benar.1

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau

”akta” dan dalam bahasa Inggris disebut “act”atau“deed”. Akta menurut

subekti, akta berbeda dengan surat, yaitu suatu tulisan yang memang dengan

sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan

ditandatangani.2 Menurut Sudikno Mertokusumo merupakan surat yang

diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar

suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian.3

Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud akta, adalah:

1. Perbuatan (handling) atau perbuatan hukum (rechtshandeling).

2. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai/digunakan sebagai bukti

perbuatan hukum tersebut, yaitu berupa tulisan yang diajukan kepada

pembuktian sesuatu.

1
Mudofr Hadi, Varia Peradilan Tahun VI Nomor 72, Pembatalan Isi Akta Notaris/PPAT
Dengan Putusan Hakim, 2004, Rieneka Perkasa, Bandung, hlm. 142-143.
2
Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2005, hal.25.
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2006, hal
149.
129

Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi

wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah

ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,

yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang

berkepentingan. Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat,

yang menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihat di hadapannya.4

Mengenai pengertian akta, dalam hukum Romawi akta disebut

sebagai gesta atau instrumenta forensia, juga disebut sebagai publica

monumenta atau akta publica. Akta-akta tersebut dibuat oleh seorang pejabat

publik (publicae personae). Dari berbagai kata tersebut di atas kemudian

muncul kata-kata publicare dan insinuari, actis inseri, yang artinya

mendaftarkan secara publik.5

Menurut A. Pitlo akta itu sebagai surat-surat yang ditandatangani,

dibuat untuk dipakai sebagai bukti, dan dipergunakan oleh orang, untuk

keperluan siapa surat itu dibuat. Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo

akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa,

yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula

dengan sengaja untuk pembuktian.

Pengertian akta otentik dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang

menyebutkan bahwa suatu akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam

bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan

pejabat umum yang berkuasa untuk itu dan di tempat di mana akta dibuatnya.

4
Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, 1985, hlm 252
5
Daeng Naja, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka Yustisia,Yogyakarta, 2012, hlm 1
130

Tan Thong Kie memberikan beberapa catatan mengenai definisi akta

dan akta otentik yaitu:

1. Perbedaan antara tulisan dan akta terletak pada tanda tangan yang tertera

dibawah tulisan.

2. Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata menyebutkan bahwa termasuk sebagai

tulisan di bawah tangan adalah akta di bawah tangan, surat, register atau

daftar, surat rumah tangga, serta tulisan lain yang dibuat tanpa

perantaraan pejabat umum.

3. Pasal 1867 KUHPerdata selanjutnya menentukan bahwa akta otentik dan

tulisan di bawah tangan dianggap sebagai bukti tertulis.

Pasal 38 PP No. 37/1998 dan PP No. 24/1997 yang mengatur

mengenai Sifat dan Bentuk Akta. Dalam Pasal 1 Angka 7 PP No. 37/1998

dan PP No. 24/1997 menentukan bahwa akta PPAT adalah akta otentik yang

dibuat oleh atau dihadapan PPAT menurut bentuk dan tata cara yang

ditetapkan dalam PP No. 37/1998 dan PP No. 24/1997, dan secara tersirat

dalam Pasal 58 ayat (2) PP No. 37/1998 dan PP No. 24/1997 disebutkan

bahwa PPAT wajib membuat Daftar Akta dan mencatat semua akta yang

dibuat oleh atau dihadapan PPAT.

Akta yang dibuat oleh (door) PPAT dalam praktek PPAT disebut

Akta Relaas atau Akta Berita Acara yang berisi berupa uraian PPAT yang

dilihat dan disaksikan PPAT sendiri atas permintaan para pihak, agar

tindakan dan perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam

bentuk akta PPAT.


131

Akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) PPAT, dalam praktek

PPAT disebut Akta Pihak (Akta Partij), yang berisi uraian atau keterangan,

pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan dihadapan PPAT.

Para Pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam

bentuk akta PPAT.

Pembuatan akta PPAT baik Akta Relaas maupun Akta Pihak (Akta

Partij), yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta PPAT,

yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari

para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka PPAT

tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan

permintaan para pihak, PPAT dapat memberikan saran dengan tetap berpijak

pada aturan hukum.

Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat serta ditandatangani

oleh para pihak yang bersepakat dalam perikatan atau antara para pihak yang

berkepentingan saja. Menurut Sudikno Mertokusumo, akta dibawah tangan

adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa

bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara pihak yang

berkepentingan.6

Perbedaan antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah

sebagai berikut:

1. Akta Otentik – Pasal 1868 KUHPerdata

a. Akta otentik dibuat dalam bentuk sesuai dengan yang ditentukan

oleh Undang-Undang;
6
Sudikno Mertokusumo, Op Cit hlm 125.
132

b. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti (perhatikan Pasal 1

Peraturan Jabatan PPAT yang mengatakan “menjamin kepastian

tanggalnya dan seterusnya)

c. Harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang

d. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan

eksekutorial seperti putusan hakim. Terutama mengenai waktu,

tanggal pembuatan, isi perjanjian, penandatanganan, tempat

pembuatan dan dasar hukumnya.

e. Kemungkinan akan hilangnya akta otentik sangat kecil

2. Akta dibawah tangan

a. Akta di bawah tangan tidak terikat bentuk formal, melainkan bebas

b. Dapat dibuat bebas oleh setiap subjek hukum yang berkepentingan

c. Tanggal dari akta yang dibuat di bawah tangan tidak selalu pasti

d. Akta yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai

kekuatan eksekutorial

e. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan

lebih besar

f. Apabila penandatanganan di akui oleh pihak yang menandatangani

akta atau tidak disangkal kebenarannya, akta tersebut sama halnya

seperti akta otentik.

Dalam Pasal 1874 KUHPerdata, menyatakan bahwa yang dianggap

sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah


133

tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain

yang dibuat tanpa perantara seorang pejabat umum.

Adapun yang termasuk akta di bawah tangan adalah:

1. Legalisasi Yaitu akta dibawah tangan yang belum ditandatangani,

diberikan pada PPAT dan dihadapan PPAT ditandatangani oleh para

pihak yang bersangkutan, setelah isi akta dijelaskan oleh PPAT kepada

mereka. Pada legalisasi, tanda tangannya dilakukan dihadapan yang

melegalisasi.

2. Waarmerken Yaitu akta dibawah tangan yang didaftarkan untuk

memberikan tanggal yang pasti. Akta yang sudah ditandatangani

diberikan kepada PPAT untuk didaftarkan dan beri tanggal yang pasti.

Pada waarmerken tidak menjelaskan mengenai siapa yang

menandatangani dan apakah penandatangan memahami isi akta. Hanya

mempunyai kepastian tanggal saja dan tidak ada kepastian tanda tangan.

Apabila ada akta PPAT dipermasalahkan oleh para pihak atau yang

berkepentingan, maka untuk menyelesaikannya harus didasarkan pada

kebatalan dan pembatalan akta PPAT sebagai suatu alat bukti yang

sempurna. Kesalahan-kesalahan yang terjadi pada akta-akta yang dibuat oleh

PPAT akan dikoreksi oleh hakim pada saat akta PPAT tersebut diajukan ke

pengadilan sebagai alat bukti. Alat bukti sah atau yang diterima dalam suatu

perkara (perdata), pada dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan

saksi-saksi, pengakuan, sumpah, dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan

yang mempunyai nilai pembuktian. Dalam perkembangan alat bukti sekarang


134

ini (untuk perkara pidana dan perdata) telah diterima juga alat bukti

elektronik atau yang terekam atau yang disimpan secara elektronis sebagai

alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan.

Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu diberi penekanan dan

penjelasan terdapat alat bukti tertulis dapat berupa tulisan yang mempunyai

nilai pembuktian. Secara tertulis tersebut dapat berupa Surat (secara umum)

dan Surat dalam bentuk tertentu serta tata cara pembuatan dengan pejabat

yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan dari hakim

untuk menyatakan suatu akta PPAT tersebut batal demi hukum, dapat

dibatalkan atau akta PPAT tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum. Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT terhadap

ketentuan-ketentuan pasal-pasal dalam PP No. 37/1998 dan PP No. 24/1997,

yang menyebabkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, maka

pihak yang dirugikan dapat menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan

bunga pada PPAT.

Akta PPAT yang dibatalkan oleh putusan hakim di pengadilan, maka

jika menimbulkan kerugian bagi para pihak yang berkepentingan, PPAT

dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi, sepanjang hal tersebut terjadi

disebabkan oleh karena kesalahan PPAT. Namun dalam hal pembatalan akta

PPAT oleh pengadilan dengan alasan bukan merupakan kesalahan PPAT,

maka para pihak yang berkepentingan tidak dapat menuntut PPAT untuk

memberikan ganti rugi.


135

Seorang PPAT baru dapat dikatakan bebas dari pertanggungjawaban

hukum apabila akta otentik yang dibuatnya dan atau dibuat di hadapannya

telah memenuhi syarat formil. Akibat hukum terhadap perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh PPAT dalam pembuatan akta otentik pada

dasarnya terjadinya suatu perkara dimana pejabat umum telah mencari-cari

keuntungan serta menyalahgunakan kewenangan yang telah diatur dalam PP

No. 37/1998 dan PP No. 24/1997 dan seorang klien atau penghadap lainnya

merasa dirugikan atas terbuatnya suatu akta yang mengandung unsur

perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PPAT, sehingga berakibat

akta otentik yang dibuat oleh PPAT dapat menjadi batal atau dapat

dibatalkan.

Pembatalan menimbulkan keadaan tidak pasti, oleh karena itu

undang-undang memberikan waktu terbatas dalam hal menuntut dimana oleh

undang-undang dapat dilakukan pembatalan apabila hendak melindungi

seseorang terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian dalam suatu putusan

oleh hakim perdata selama tidak dimintakan pembatalan maka perbuatan

hukum perjanjian yang tercantum dalam akta tersebut akan tetap berlaku atau

sah. Setelah adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap atas

gugatan penuntutan pembatalan akta tersebut maka akta itu tidak lagi

mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti yang otentik karena

mengandung cacat secara yuridis/cacat hukum, maka dalam amar putusan

hakim perdata akan menyatakan bahwa akta tersebut batal demi hukum. Dan
136

berlakunya pembatalan akta tersebut adalah berlaku surut yakni sejak

perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat.

Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi, jika suatu perjanjian

yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk

perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan

atau berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, karena perjanjian

sudah dianggap tidak ada, maka sudah tidak ada dasar lagi bagi para pihak

untuk saling menuntut atau menggugat dengan cara dan bentuk apapun.7

Pembatalan terhadap suatu akta otentik dapat juga dilakukan oleh

PPAT apabila para pihak/penghadap menyadari adanya kekeliruan atau

kesalahan yang telah dituangkan dalam akta tersebut. Sehingga dapat

membuat keraguan terhadap kesepakatan/perjanjian dari para

pihak/penghadap, maka akta tersebut dapat dibatalkan oleh PPAT. Bilamana

PPAT terseret dalam perkara pemalsuan akta yang menjadi aktor

intelektualnya atau PPAT turut serta ikut melakukan pemalsuan surat yang

bisa dikategorikan dalam perbuatan tindak pidana tersebut maka secara

yuridis tidak dapat ditolelir bukan hanya berdasarkan ketentuan pidana saja,

tetapi juga oleh peraturan dalam KUHPerdata serta PP No. 37/1998 dan PP

No. 24/1997.

B. Akibat Hukum Pembuatan Akta PPAT yang Memenuhi Unsur


Perbuatan Melawan Hukum Menurut KUHPerdata

7
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, 2005, Jaya Internusa, Jakarta, hlm. 22.
137

Akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat oleh PPAT secara

melawan hukum sehingga menyebabkan akta otentik menjadi akta di bawah

tangan serta akta tersebut dapat dibatalkan telah sejalan dengan kewenangan

dan konsep perlindungan hukum. Seperti dikemukakan dalam teori

kewenangan, PPAT dalam membuat akta otentik termasuk dalam

kewenangan secara atribusi, berdasarkan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) PP No.

37/1998 dan PP No. 24/1997. Terjadinya suatu akibat hukum yaitu berupa

akta otentik menjadi akta di bawah tangan dan akta tersebut dibatalkan

diakibatkan oleh penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh PPAT,

dimana PPAT dalam menjalankan wewenangnya telah melanggar ketentuan

perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian bagi para pihak dan

mengakibatkan berubahnya kekuatan pembuktian akta dan adanya

pembatalan akta otentik tersebut oleh pengadilan.

Akibat hukum ini juga telah sejalan dengan konsep perlindungan

hukum yang dikemukan Satijipto Raharjo yang menjelaskan bahwa

perlindungan hukum memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia

(HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum.8

Serta bahwa perlindungan hukum dibutuhkan untuk mereka yang

lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh

keadilan sosial. Sesuai dengan pengertian konsep perlindungan hukum yang

dikemukan oleh para sarjana maka akibat hukum berupa pembatalan akta
8
Satijipto Raharjo
138

otentik dapat melindungi para pihak yang merasa dirugikan oleh perbuatan

melawan hukum seorang PPAT dalam proses pembuatan akta otentik.

Kedudukan akta PPAT dapat dibagi menjadi 5 macam yaitu dapat

dibatalkan, batal demi hukum, mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta

di bawah tangan, dibatalkan oleh para pihak sendiri dan dibatalkan oleh

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena

penerapan asas praduga sah. Kelima kedudukan akta PPAT tersebut tidak

dapat dilakukan secara bersama-sama, tetapi hanya berlaku satu saja. Jika

akta PPAT diajukan pembatalan oleh pihak yang berkepentingan kepada

pengadilan umum (Negeri) dan telah ada putusan pengadilan umum yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau akta PPAT mempunyai

kududukan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta PPAT batal

demi hukum, atau akta PPAT dibatalkan oleh para pihak itu sendiri dengan

adanya akta PPAT lagi, maka pembatalan akta PPAT yang lainnya tidak

berlaku.

Akibat hukum terhadap terhadap akta otentik yang dibuat oleh

seorang PPAT yang melakukan perbuatan melawan hukum adalah hilangnya

keotentikkan akta tersebut dan menjadi akta di bawah tangan sesuai dengan

ketentuan Pasal 41 PP No. 37/1998 dan PP No. 24/1997 serta akta otentik

tersebut dapat dibatalkan apabila pihak yang mendalilkan dapat

membuktikannya dalam persidangan di pengadilan, karena pembuatan suatu

akta otentik harus memuat ketiga unsur tersebut di atas (lahiriah, formil dan
139

materiil) atau salah satu unsur tersebut tidak benar dan menimbulkan perkara

pidana atau perdata yang kemudian dapat dibuktikan ketidak benarannya.

Sehingga dalam menjalankan jabatannya seorang PPAT harus tunduk

pada ketentuan undang-undang dan akta tersebut dibuat oleh dan di hadapan

PPAT sesuai dengan prosedur dan tata cara pembuatan akta untuk agar

keotentikannya tidak menjadi akta di bawah tangan atau akta tidak sampai

dibatalkan.

C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor


1/Pdt.G/2019/PN.Jmb.

Duduk Perkara

Sengketa antara INDRA AZIAN NOOR selaku penggugat melawan

Y SUWARNO selaku tergugat I, SANDI DESPRIANTO S selaku Tergugat

II, JANUARISTA S selaku Tergugat III, FATMA selaku Tergugat IV,

ISKANDARSYAH, SH/NOTARIS/PPAT selaku Tergugat V dan BADAN

PERTANAHAN NASIONAL RI. Cq BADAN PERTANAHAN

NASIONAL PROVINSI JAMBI Cq KANTOR PERTANAHAN KOTA

JAMBI selaku tergugat VI.

Adapun duduk perkaranya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Penggugat adalah Pemilik 1 (satu) bidang tanah seluas 500 M 2

(lima ratus meter persegi) yang terletak di RT.003 Kelurahan Pasir Putih

Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi yang penggugat peroleh dari

warisan Ayah Penggugat dengan Sertifikat Hak Milik Asal nomor

168/1977 Atas nama Sofyan Haderan (alm) / Ayah Penggugat.


140

2. Bahwa pada tahun 2007, Penggugat dan ibu Penggugat meminta bantuan

kepada Tergugat IV, untuk mengurus turun waris SHM nomor 168/1977

dari ayah penggugat. Namun dikemudian hari ternyata Sertifikat Hak

Milik (SHM) nomor 168/1977 dipecah menjadi dua, masing-masing

menjadi SHM Nomor 3422 sisa seluas 242 M 2 (dua ratus dua

meterpersegi) atas nama Penggugat dan Syamsinar (alm) /Ibu Penggugat

dan 1 (satu) bagian lainnya dengan SHM Nomor 3460/2007 seluas 164

M2 (seratus enam empat meter persegi) atas nama Tergugat II dan

Tergugat III. Sertifikat SHM Nomor 3422 dengan SHM Nomor

3460/2007 dikeluarkan oleh Tergugat VI dengan dasar Akta Hibah

nomor : 277/2007 tanggal 25 April 2007 dan Akta Hibah Nomor

581/2007 tanggal 26 September 2007 yang dibuat Tergugat V selaku

PPAT/Pejabat Pembuat Akta Tanah.

3. Bahwa Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, Tergugat IV dan V serta

Tergugat VI telah melakukan perbuatan melawan hukum yang

merugikan Penggugat yang secara terperinci dan jelas serta terang

benderang dijelaskan sebagai berikut :

a. Tentang Perbedaan Kepemiliki Objek Hibah

Objek yang menjadi sengketa adalah 1 (satu) bidang tanah

seluas 500 M2 (lima ratus meter persegi) yang terletak di RT.003

Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi. Objek

sengketa tersebut secara hukum dikuasai (dimiliki) oleh Ayah


141

Penggugat dengan Sertifikat Hak Milik nomor 168/1977 Atas nama

Sofyan Haderan (alm).

Namun fakta hukum yang terungkap di pengadilan adalah 1

(satu) bidang tanah seluas 500 M2 diakui sebagai milik S. Achpi

Lubis (alm)/ Suami Tergugat IV dan Penggugat serta Ibu Penggugat

(alm).

Bahwa dalam ketentuan Pasal 32 Angka 1 dan 2 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (24/1997) Tentang Pendaftaran

Tanah menyebutkan bahawa:

(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku


sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik
dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang
data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan
sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum
yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan
secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang
merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu
5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang
sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat tersebut.

Ketentuan Pasal 1 Angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 (24/1997) Tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan

bahawa:

“Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana


dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak
atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas
142

satuan rumah susun dan hak tanggungan yag masing-masing


sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.”

Selanjutnya pada Pasal 31 Angka 1 dan 3 PP 24/1997

menyatakan bahwa:

(1) Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak


yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data
yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
(3) Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang
namanya tercantum dalam buku tanah yang
bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak
lain yang dikuasakan olehnya.

Tanpa proses peralihan atas hak tanah, 1 (satu) bidang tanah

seluas 500 M2 dengan Sertifikat Hak Milik nomor 168/1977 Atas

nama Sofyan Haderan (alm) secara sepihak diakui oleh tergugat II

dan III sebagai milik S. Achpi Lubis (alm)/ Suami Tergugat IV,

Penggugat dan Ibu Penggugat (alm).

b. Tentang tidak terpenuhinya Syarat Hibah

Hibah harus dilakukan ketika penghibah dan penerima hibah

masih dalam kondisi hidup, sesuai dengan Pasal 1666 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa “Undang-undang tidak mengakui lain-lain

hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.”

Fakta fakta hukum yang terungkap di pengadilan adalah

Sofyan Haderan selaku pemilik Sertifikat Hak Milik nomor

168/1977 dan S. Achpi Lubis / Suami Tergugat IV yang diakui

secara sepihak diakui oleh tergugat II dan III adalah pemilik objek
143

hibah pada saat akta hibah dibuat ternyata dalam kondisi sudah

meninggal dunia (tidak hidup).

c. Tentang tidak terpenuhinya syarat formil dalam pembuatan suatu

akta

Ketentuan Pasal 16 Angka 1 Huruf m PP No. 37/1998 dan

PP No. 24/1997 menyatakan bahwa

Dalam menjalankan jabatannya, PPAT wajib “membacakan


Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
PPAT;”

Pasal 39 Ayat 2 PP No. 37/1998 dan PP No. 24/1997


menyatakan bahwa “ Penghadap harus dikenal oleh PPAT
atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi
pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas)
tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan
hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

Fakta hukum yang terungkap adalah penggugat pernah

didatangi staff Tergugat V untuk menandatangani surat-surat.

Tergugat V selaku PPAT/PPAT tidak pernah membacakan isi akta

dihadapan penggugat/ibu penggugat. Penggugat/ibu penggugat

tidak pernah menandatangani akta dihadapan Tergugat V selaku

PPAT/PPAT. Penggugat tidak pernah bertemu dengan Tergugat V

selaku PPAT/PPAT, tetapi Penggugat hanya bertemu dengan Staff

Tergugat IV.
144

d. Tentang Cacat Formil Pendaftaran Tanah Hibah

Pasal 19 Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok

Agraria menyatakan bahwa:

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah


diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-
hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Fakta hukum yang terungkap adalah Tergugat VI yang telah

menerbitkan SHM Nomor 3422/2007 atas 1 (satu) bidang tanah

seluas 242 M2 (dua ratus empat dua meterpersegi) atas nama

Pengggat dan Ibu Penggugat dan SHM Nomor 3460/2007 atas

(satu) bidang tanah seluas 164 M2 (seratus enam empat

meterpersegi) atas nama Tergugat II dan Tergugat III tanpa

melakukan proses turun waris terlebih dahulu atas SHM Nomor

168/1977 atas 1 (satu) bidang tanah seluas 500 M 2 (lima ratus

meterpersegi) atas nama Sofyan haderan (alm)/Ayah Penggugat

menjadi atas nama Penggugat dan ibu Penggugat (alm). Perbuatan

Tergugat VI mematikan SHM asal dengan menerbitkan SHM baru

dan merubah luasan asal tanah hak milik Penggugat 500 M2 menjadi

2 (dua) bagian.

4. Penggugat kehilangan sebagian bidang tanah hak milik Penggugat yang

dikuasai Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III seluas 164 M 2 (seratus


145

enam empat meterpersegi) dengan SHM Nomor 3460/2007 atas nama

Tergugat II dan Tergugat III berikut bangunan rumah lama diatasnya,

jika dinilai dengan uang senilai Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan Kerugian immateriil akibat rusaknya nama baik Penggugat

dan tekanan mental sebagai akibat kejadian ini, menanggung malu dan

beban moril senilai Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dengan

total nilai Rp.1.200.000.000,00(satu milyar dua ratus juta rupiah);

5. Bahwa Penggugat merasa ditipu atas tindakan Tergugat IV yang ternyata

bukan mengurus turun waris SHM Nomor 168/1977 dari ayah

Penggugat(alm) kepada Penggugat dan ibu Penggugat (alm), namun

Tergugat IV dan Tergugat I bekerjasama secara melawan hukum

membuat akta hibah yang dibuat di Kantor Tergugat V dan memecah

menjadi dua bagian tanah hak milik Penggugat menjadi dua Sertifikat

Hak Milik (SHM), masing-masing SHM Nomor 3422 sisa seluas 242

M2 (dua ratus dua meterpersegi) atas nama Penggugat dan Syamsinar

(alm) /Ibu Penggugat dan 1 (satu) bagian lainnya dengan SHM Nomor

3460/2007 seluas 164 M2 (seratus enam empat meter persegi) atas nama

Tergugat II dan Tergugat III;

PUTUSAN MAJELIS HAKIM

MENGADILI :

1. Menolak eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya;

2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;


146

3. Menyatakan Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum

(ontrechtmatige daad);

3. Menyatakan akta hibah nomor Akta Hibah Nomor 277/2007 tanggal 25

April 2007 dan Akta Nomor 581/2007 tanggal 26 September 2007 yang

dibuat Tergugat V lumpuh atau tidak mempunyai kekuatan hukum;

4. Menyatakan lumpuh dan tidak mempunyai kekuatan hukum Sertifikat

Hak Malik Nomor 3460/2007 atas 1 (satu) bidang tanah seluas 164 M 2

(seratus enam empat meter persegi) yang terletak di Kelurahan pasir

putih Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi atas nama Tergugat II dan

Tergugat III yang diterbitkan Tergugat VI;

5. Menyatakan lumpuh dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Sertifikat Hak Milik Nomor 3422/2007 atas 1 (satu) bidang tanah seluas

242 M2 (dua empat dua meterpersegi) yang terletak di Kelurahan pasir

putih Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi atas nama Penggugat dan

ibu Penggugat (alm) yang diterbitkan Tergugat VI;

6. Memerintahkan kepada Tergugat II dan Tergugat III untuk menyerahkan

1 (satu) bidang tanah seluas 164 M 2 (seratus enam empat meterpersegi)

dengan SHM Nomor 3460/2007 yang terletak di Kelurahan pasir putih

Kecamatan Jambi Selatan Kota Jambi dalam keadaan baik dan kosong

seperti semula kepada Penggugat;

7. Memerintahkan kepada Tergugat VI untuk menerbitkan semula atau

menghidupkan semula Sertifikat Hak Milik Nomor 168/1977 atas nama

Sofyan Haderan/ayah Penggugat (alm) atas 1 (satu) bidang tanah seluas


147

500 M2 (lima ratus meter persegi) yang terletak di Kelurahan Pasir Putih

Kecamatan Jambi selatan kota Jambi untuk diproses turun waris oleh

Penggugat sesuai aturan hukum yang berlaku;

8. Menghukum Para tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada

Penggugat secara tanggung renteng sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh

juta rupiah);

9. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara yang sampai

saat ini ditetapkan sejumlah Rp. 2.391.000 (dua juta tiga ratus sembilan

puluh satu ribu rupiah);

10. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

Analisis Kasus

Sengketa antara INDRA AZIAN NOOR selaku penggugat melawan

Y SUWARNO selaku tergugat I, SANDI DESPRIANTO S selaku Tergugat

II, JANUARISTA S selaku Tergugat III, FATMA selaku Tergugat IV,

ISKANDARSYAH, SH/NOTARIS/PPAT selaku Tergugat V dan BADAN

PERTANAHAN NASIONAL RI. Cq BADAN PERTANAHAN

NASIONAL PROVINSI JAMBI Cq KANTOR PERTANAHAN KOTA

JAMBI selaku tergugat VI.

Adapun perbuatan melawan hukum dalam kasus gugatan akta hibah

ini adalah:

1. Tentang Penggelapan Kepemiliki Objek Hibah

Perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam kasus ini adalah

telah terjadi pidana penggelapan yang dilakukan oleh Tergugat IV.


148

Penggugat memberikan kepercayaan kepada Tergugat IV untuk

mengurus akta turun waris, tetapi kemudian Tergugat IV malah

menguasai dengan cara tidak sah dari sebagian objek yang dipercayakan

kepadanya dengan mengalihkan sebagian kepemilikan tanah milik

Penggugat atas nama Ayah Penggugat Sofian Haderan menjadi milik S.

Achpi Lubis / Suami Tergugat IV.

Tindakan yang dilakukan oleh Tergugat IV masuk dalam

kategori perbuatan melawan hukum, yaitu tindak pidana penggelapan.

Menurut Tongat, tindak pidana penggelapan yaitu :

Tindak pidana sebagaimana tersebut dalam BAB XXIV


KUHPidana lebih tepat disebut sebagai “tindak pidana
penyalahgunaan hak”atau “penyalahgunaan kepercayaan”.
Sebab, inti dari tindak pidana yang diatur dalam BAB XXIV
KUHPidana tersebut adalah “penyalahgunaan hak”atau
“penyalahgunaan kepercayaan”. Karena dengan penyebutan
tersebut maka akan lebih memudahkan bagi setiap orang untuk
mengetahui perbuatan apa yang sebenarnya dilarang dan diancam
pidana dalam ketentuan tersebut.9

Selanjutnya, Tongat, menegaskan perihal telaah pengertian

tentang penggelapan ini, bahwa : Apabila suatu benda berada dalam

kekuasaan orang bukan karena tindak pidana, tetapi karena suatu

perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan

barang, dan sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk

menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri

sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan

“pengelapan”.10

9
Tongat, Hukum Pidana Materiil. UMM Press Malang, 2006, hlm, 57
10
Ibid, hlm, 60.
149

Menurut Cleiren inti delik penggelapan adalah penyalahgunaan

kepercayaan selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu

barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu.11

Barangsiapa dengan sengaja secara tidak sah memiliki barang yang

seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain dan yang ada

padanya bukan karena kejahatan, ia pun telah bersalah melakukan tindak

pidana penggelapan.12

Perumusan dari tindak pidana penggelapan ini termuat dalam

Pasal 372 KUHP dari titel XXIV buku II sebagai berikut: Dengan

sengaja memiliki dengan melanggar hukum suatu barang yang

seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain dan yang ada di bawah

kekuasaannya (onder zich hebben) secara lain daripada dengan

melakukan suatu kejahatan. Penggelapan adalah perbuatan mengambil

tanpa hak oleh seseorang yang telah diberi kewenangan, untuk

mengawasi dan bertanggungjawab penuh terhadap negara, oleh pejabat

publik maupun swasta, yang memiliki unsur-unsur, yaitu:13

a. Dengan sengaja dapat diartikan dengan menghendaki

danmengetahui, jadi dapat dikatakan bahwa sengaja berarti

menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang

melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu

11
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu dalam KUHP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hlm. 107.
12
Subekti, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1982, hlm. 111.
13
Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, Depok:
Kencana, 2017, hlm. 302.
150

dan di samping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang

dilakukan itu.

b. Melawan hukum. Menurut Rosa Agustina dalam menentukan suatu

perbuatan dapat dikualifisi sebagai melawan hukum diperlukan

empat syarat:14

1) Bertentangan dengan kewajiban hukum sipelaku

2) Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

3) Bertentangan dengan kesusilaan

4) Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

c. Barang berada di bawah kekuasaan sipelaku unsur ini adalah unsur

pokok dari “penggelapan barang” yang membedakannya dari tindak

tindak pidana lain mengenai kekayaan orang. Ditambah bahwa

barang harus ada di bawah kekuasaan si pelaku dengan cara lain

dari pada dengan melakukan kejahatan. Dengan demikian

tergambar bahwa barang itu oleh yang mempunya dipercayakan

atau dapat dianggap dipercayakan kepada sipelaku. Maka pada

pokoknya dengan perbuatan “penggelapan” si pelaku tidak

memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap

dilimpahkan kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.

d. Barang yang menjadi objek penggelapan haruslah milik orang lain

baik sebagian atau seluruhnya. Perkataan seluruhnya kepunyaan

orang berarti pengambil barang itu tidak berhak sama sekali atas

14
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pasca Sarjana FH
Universitas Indonesia, 2003, hlm. 117.
151

barang itu, sedangkan perkataan sebagian berarti ada hak sipelaku

di dalamnya, misalnya suatu warisan yang belum dibagikan.

Dengan demikian suatu barang yang tidak ada kepunyaan orang lain

tidak dapat menimbulkan tindak pidana penggelapan. Sudah jelas

dan dapat diketahui barang yang digelapkan itu adalah milik orang

lain.15

Fakta adanya penggelapan yang dilakukan oleh Tergugat IV

semakin jelas karena Penggugat memiliki bukti otentik tentang

kepemilikan 1 (satu) bidang tanah seluas 500 M2 (lima ratus

meterpersegi) atas nama Sofyan haderan (alm)/Ayah Penggugat, yaitu

satu buah Setifikat Hak Milik Nomor 168/1977. Menurut ketentuan

Pasal 32 Angka 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

(24/1997) Tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan bahawa:

(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku


sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan
data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik
dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam
surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan
sertifikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang
memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara
nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut
pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan
Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan
tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.

15
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, cet
ke-4, Bandung: Eresco,1985, hlm. 31-32.
Ketentuan Pasal 1 Angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 (24/1997) Tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan

bahawa:

“Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana


dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak
atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas
satuan rumah susun dan hak tanggungan yag masing-masing
sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.”

Selanjutnya pada Pasal 31 Angka 1 dan 3 PP 24/1997

menyatakan bahwa:

(1) Sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak


yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data
yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1).
(3) Sertifikat hanya boleh diserahkan kepada pihak yang
namanya tercantum dalam buku tanah yang
bersangkutan sebagai pemegang hak atau kepada pihak
lain yang dikuasakan olehnya.

b. Tentang tidak terpenuhinya Syarat Hibah

Hibah harus dilakukan ketika penghibah dan penerima hibah

masih dalam kondisi hidup, sesuai dengan Pasal 1666 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa “Undang-undang tidak mengakui lain-lain

hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.”

Fakta fakta hukum yang terungkap di pengadilan adalah

Sofyan Haderan selaku pemilik Sertifikat Hak Milik nomor

168/1977 dan S. Achpi Lubis / Suami Tergugat IV yang diakui

secara sepihak oleh tergugat II dan III adalah pemilik objek hibah

pada saat akta hibah dibuat ternyata dalam kondisi sudah meninggal

dunia (tidak hidup).

152
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) selaku pejabat yang

memiliki wewenang membuat akta hibah seharusnya dapat menolak

keinginan para penghadap. Hal tersebut diatur dalam Pasal 38 PP

24/1997 yang menyatakan bahwa:

(1) PPAT menolak untuk membuat akta, jika:


a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau
hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya
tidak disampaikan sertifikat asli hak yang
bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak
sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan; atau
b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar,
kepadanya tidak disampaikan:
1) surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala
Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang
bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat(2); dan
2) surat keterangan yang menyatakan bahwa
bidang tanah yang bersangkutan belum
bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau
untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh
dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari
pemegang hak yang bersangkutan dengan
dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau
c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan
perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah
satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
tidak berhak atau memenuhi syarat untuk bertindak
demikian; atau
d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas
dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada
hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan
hak; atau
e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan
belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang
berwenang, apabila izin tersebut diperlukan
menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku; atau

153
f. obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang
dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data
yuridis; atau
g. tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan
yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersanggkutan.
Namun demikian, PPAT tidak melakukan upaya penolakan

terhadap keinginan penghadap, sehingga PPAT turut serta dalam

melakukan perbuatan melawan hukum. Hal tersebut sesuai dengan

pendapat Munir Fuady dalam bukunya yang berjudul Perbuatan

Melawan Hukum suatu pendekatan yang kontemporer yang

menyatakan bahwa :

Suatu perbuatan dikategorikan dalam perbuatan melawan


hukum jika:
a. Tidak memenuhi sesuatu yang menjadi kewajibannya
selain dari kewajiban kontraktual atau kewajiban quasi
contractual yang menerbitkan hak untuk meminta ganti
rugi.
b. Suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang
mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain
tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, di mana
perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan
suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan
suatu kecelakaan.
c. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh
hukum, kewajiban mana ditujukan terhadap setiap
orang pada umumnya, dan dengan tidak memenuhi
kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti
rugi.
d. Suatu kesalahan perdata (civil wrong) terhadap mana
suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan
merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau
wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun
wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
e. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi
terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu
perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang
diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan
kontraktual.

154
f. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang
secara bertentangan dengan hukum melanggar hak
orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya
suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang
dirugikan.

c. Tentang tidak terpenuhinya syarat formil dalam pembuatan suatu

akta

PPAT/PPAT melakukan perbuatan melawan hukum pasif

sebagaimana diungkapkan oleh Munir Fuady yang menyatakan

bahwa : Suatu perbuatan dikategorikan dalam perbuatan melawan

hukum jika seseorang tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan

timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu

hubungan hukum, di mana perbuatan atau tidak berbuat tersebut,

baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun bisa juga merupakan

suatu kecelakaan.

Ketentuan Pasal 16 Angka 1 Huruf m PP No. 37/1998 dan

PP No. 24/1997 menyatakan bahwa

Dalam menjalankan jabatannya, PPAT wajib “membacakan


Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi
khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan
PPAT;”

Pasal 39 Ayat 2 PP No. 37/1998 dan PP No. 24/1997


menyatakan bahwa “ Penghadap harus dikenal oleh PPAT
atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi
pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas)
tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan
hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.

155
Fakta hukum yang terungkap adalah penggugat pernah

didatangi staff Tergugat V untuk menandatangani surat-surat.

Tergugat V selaku PPAT/PPAT tidak pernah membacakan isi akta

dihadapan penggugat/ibu penggugat. Penggugat/ibu penggugat

tidak pernah menandatangani akta dihadapan Tergugat V selaku

PPAT/PPAT. Penggugat tidak pernah bertemu dengan Tergugat V

selaku PPAT/PPAT, tetapi Penggugat hanya bertemu dengan Staff

Tergugat IV.

d. Tentang Cacat Formil Pendaftaran Tanah Hibah

Pasal 19 Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok

Agraria menyatakan bahwa:

(1) Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah


diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia menurut ketentuan - ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :
a. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
b. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-
hak tersebut;
c. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Fakta hukum yang terungkap adalah Tergugat VI yang telah

menerbitkan SHM Nomor 3422/2007 atas 1 (satu) bidang tanah

seluas 242 M2 (dua ratus empat dua meterpersegi) atas nama

Pengggat dan Ibu Penggugat dan SHM Nomor 3460/2007 atas

(satu) bidang tanah seluas 164 M2 (seratus enam empat

meterpersegi) atas nama Tergugat II dan Tergugat III tanpa

melakukan proses turun waris terlebih dahulu atas SHM Nomor

156
168/1977 atas 1 (satu) bidang tanah seluas 500 M 2 (lima ratus

meterpersegi) atas nama Sofyan haderan (alm)/Ayah Penggugat

menjadi atas nama Penggugat dan ibu Penggugat (alm). Perbuatan

Tergugat VI mematikan SHM asal dengan menerbitkan SHM baru

dan merubah luasan asal tanah hak milik Penggugat 500 M2 menjadi

2 (dua) bagian.

Berdasarkan duduk perkara dan bukti-bukti dan keterangan penggugat

dan para tergugat di muka pengadilan, maka keputusan hakim yang

menyatakan bahwa para tergugat telah terbukti melakukan perbuatan

melawan hukum adalah telah sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu

melanggar hak subyektif orang lain yang berakibat hilangnya hak

kepemilikan suatu benda yang berupa sebidang tanah.

157
157

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan sebagaimana telah diuraikan dalam

pembahasan tersebut diatas maka dalam hal ini penulis menarik suatu

kesimpulan dari penelitian ini yaitu :

1. Akibat hukum akta yang terbukti mengandung unsur-unsur perbuatan

melawan hukum adalah terjadinya penurunan derajat akta sebagai alat

pembuktian atau bahkan sampai dengan pembatalah keabsahan akta

melalui putusan pengadilan. Pembatalan akta notaris yang dilakukan

oleh hakim dapat berbentuk batal demi hukum atau dapat dibatalkan,

apabila akta notaris tersebut tidak memenuhi persyaratan yang

ditentukan oleh undang-undang dengan tidak terpenuhinya syarat

subyektif (sepakat dan cakap untuk membuat suatu perjanjian) atau

syarat obyektif (adanya suatu hal tertentu dan sebab yang halal).

2. Secara umum notaris bertanggung jawab dalam setiap pembuatan akta,

agar akta tersebut tidak kehilangan otentitasnya sehingga dapat

dibatalkan, namun secara hukum notaris bertanggung jawab baik perdata

maupun pidana. Apabila akta tersebut menjadi batal demi hukum dan

menimbulkan kerugian bagi para pihak, maka kepada notaris dapat

diminta ganti kerugiannya, biaya serta bunga secara perdata akibat

penerbitan akta tersebut. Apabila terbukti notaris tersebut secara sah dan
158

meyakinkan melanggar aturan secara pidana, maka akta tersebut dapat

dibatalkan dan kepada notaris tersebut dapat dipidana penjara, serta

dapat diberikan sanksi administratif dalam kualifikasinya sebagai

seorang pejabat umum (notaris).

B. Saran

Saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan kesimpulan-

kesimpulan tersebut di atas adalah :

1. Berkenaan dengan masalah kekuatan pembuktian suatu akta hibah,

sebaiknya dalam pembuatan akta hibah harus memperhatikan ketentuan-

ketentuan tentang hibah. Hibah harus dilakukan ketika pemberi hibah

masih hidup, dan pembuatan akta hibah harus dilakukan sesuai dengan

prosedur pembuatan akta sebagaimana telah diatur melalui Undang-

Undang.

2. Bagi notaris atau pejabat pembuat akta yang terlibat dalam pembuatan

akta hibah sebaiknya memperhatikan ketentuan-ketentuan perundang-

undangan. Jika menemukan kejanggalan dalam pembuatan akta, sesuai

dengan tanggungjawab, tugas, dan kewenangannya notaris dan PPAT

wajib memberikan pemahaman kepada pihak penghadap, bahwa akta

tersebut tidak dapat dibuat, karena jika dipaksakan akan menyebabkan

akta cacat hukum karena mengandung unsur-unsur perbuatan pelawan

hukum.
159

DAFTAR PUSTAKA

Buku.

Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia. Perspektif Hukum dan


Etika. UII Press. Yogyakarta. 2014.

Abdulkadir Muhammad. Etika Profesi Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.


2013.

Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum


Positif. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset. 2004.

Bahder Johan Nasution. Metode Penelitian Hukum. Mandar Maju. Bandung.


2016.

Budiono. Kamus Ilmiah Popular Internasional. Surabaya. Alumni. 2015.

E. Sumaryono. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta. Kanisius. 2014

Habib Adjie. Merajut Pemikiran Dalam Dunia PPAT dan PPAT. Citra Aditya
Bakti. Bandung. 2014.

Hans Kelsen. Teori Hukum Murni. Terj. Raisul Muttaqien. Nusa Media. Bandung.
2016.

Hans Kelsen. Teori Umum Hukum dan Negara. Terj. Raisul Muttaqien. Nusa
Media. Bandung. 2010.

Hari Sasangka. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata untuk Mahasiswa


dan Praktisi. CV Mandar Maju. Bandung. 2015

Kamus Umum bahasa Indonesia. Depdikbud. 2015.

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. 2010.

Laurensius Arliman S. PPAT dan Penegakan Hukum Oleh Hakim. Yogyakarta.


Deepublish. 2015.

Masyhur Efendi dan Taufani S. Evandri. HAM Dalam Dinamika/Dimensi Hukum.


Politik. Ekonomi dan Sosial. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2013.

Muhammad Ajib. Hibah dan Waris. Bandung. Mizan. 2016

Munir Fuady. Hukum Kontrak (dari sudut pandang hukum bisnis). Citra Aditya
Bakti. Bandung. 2014.
160

Nico. Tanggung Jawab PPAT Selaku Pejabat Umum. Center for Documentation
and Studies of Business Law (CDBL). Yogyakarta. 2013.

Nindyo Pramono dan Sularto. Hukum Kepailitan dan Keadilan Pancasila.


Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada dan AKPI. 2017

R. Setiawan. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Cetakan ke-6. Putra A Bardin.


Bandung. 2014.

R. Setiawan. Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum. Alumni. Bandung.


2015.

R. Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Bina Cipta. Bandung. 2017.

R. Soeparmono. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Mandar Maju.


Bandung. 2015.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. hlm 436

Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers. Jakarta. 2013.

Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty. Yogyakarta.


2016.

Wirjono Prodjodikoro. Perbuatan Melanggar hukum. Dipandang dari Sudut


Hukum Perdata. Mandar Maju. Bandung. 2010.

Undang-undang dan Peraturan

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Dasar-dasar Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan PPAT.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata), khususnya Pasal 1365,


dan Pasal 1874 - 1984.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tentang Badan Pertanahan.

Yurispudensi Mahkamah Agung RI No. 24 K/Sip/1958, Tanggal 26 Maret 1968.

Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Permasalahan


Putusan Serta Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad).
161

Jurnal:

Aprilia Putri Suhardini. Pertanggungjawaban PPAT yang Melakukan Perbuatan


Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Autentik. Jurnal Akta. Vol 5 No
1 Maret 2018

Kunni Afifah. Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum bagi PPAT secara
Perdata Terhadap Akta yang Dibuatnya Magister Kenotariatan fakultas
Hukum Univeristas Islam Indonesia. Jurnal Lex Renaissance No. 1 VOL.
2 JANUARI 2017.

Rhizky Dewan Hutomo. Tanggung Jawab PPAT yang Aktanya Dibatalkan karena
Cacat Yuridis (Studi Kasus Putusan Kasasi MA No. 320 K/PDT/2013).
Jurnal Al-Qānūn. Vol. 21. No. 1. Juni 2018

Anda mungkin juga menyukai