PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Sesuai dengan tujuan
pembangunan berkelanjutan 2030, WHO menargetkan untuk menurunkan kematian
akibat tuberculosis sebesar 90% dan menurunkan insidens sebesar 80% pada tahun 2030
dibandingkan dengan tahun 2014. (Kemenkes RI, 2017). Menurut Amin & Bahar (2010)
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi kronis yang sering terjadi atau ditemukan pada
tempat tinggal dengan lingkungan yang padat penduduk atau daerah urban, yang
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan terhadap
peningkatan jumlah kasus TB Paru.
Prevalensi angka kejadian TBC paru cukup tinggi mulai dari luar sampai
dalam negeri. Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden
TBC (CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000
penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia,
China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada
tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia
merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika
(WHO, 2017).
Di Indonesia jumlah kasus baru TB Paru sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru
TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan. Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-
laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi
di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih
terpapar pada faktor risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya
ketidakpatuhan minum obat (Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Berdasarkan profil dinas kesehatan provinsi NTB pada tahun 2016
dilaporkan bahwa jumlah seluruh pasien TB (semua tipe) mencapai 5.828
orang, dan sebanyak 3.860 orang diantaranya merupakan kasus baru BTA+.
Sedangkan untuk tahun 2017, jumlah seluruh pasien TB adalah 6.644 orang,
dengan 4.149 orang merupakan kasus baru BTA+. Apabila dibandingkan
dengan tahun 2016, maka kasus TB pada tahun 2017 mengalami peningkatan
sebesar 14,04%. Distribusi jumlah penderita disetiap kabupaten/ kota.
Sistem pernafasan terutama berfungsi untuk pengambilan oksigen (O 2) oleh darah dan
pembuangan karbondioksida (CO2). Paru dihubungkan dengan lingkungan luarnya
melalui serangkaian saluran, berturut-turut hidung, farings, larings, trakea dan bronki.
Saluran –saluran itu relatif kaku dan tetap terbuka dan keseluruhannya meerupakan
bagian konduksi dari sistem pernafasan. (Tambayong, 2001)
Faring merupakan tempat persimpangan antara jalan pernafasan dan jalan makanan,
faring terdapat dibawah dasar tengkorak, dibelakang rongga hidung dan mulut sebelah
depan ruas tulang leher. Faring dibagi atas tiga bagian yaitu sebelah atas yang sejajar
dengan koana yaitu nasofaring, bagian tengah dengan istimus fausium disebut orofaring,
dan dibagian bawah sekali dinamakan laringofaring
Trakea merupakan cincin tulang rawan yang tidak lengkap (16-20cincin), panjang 9-11
cm dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan
mukosa. trakea dipisahkan oleh karina menjadi dua bronkus yaitu bronkus kanan dan
bronkus kiri
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea yang membentuk bronkus utama kanan dan kiri,
bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus kiri cabang bronkus yang
lebih kecil disebut bronkiolus yang pada ujung–ujung nya terdapat gelembung paru atau
gelembung alveoli.
Paru- paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung–
gelembung. Paru-paru terbagi menjadi dua yaitu paru-paru kanan tiga lobus dan paru-
paru kiri dua lobus. Paru-paru terletak pada rongga dada yang diantaranya menghadap ke
tengah rongga dada/ kavum mediastinum. Paru-paru mendapatkan darah dari arteri
bronkialis yang kaya akan darah dibandingkan dengan darah arteri pulmonalis yang
berasal dari atrium kiri.besar daya muat udara oleh paru-paru ialah 4500 ml sampai 5000
ml udara. Hanya sebagian kecil udara ini, kira-kira 1/10 nya atau 500 ml adalah udara
pasang surut. sedangkan kapasitas paru-paru adalah volume udara yang dapat di capai
masuk dan keluar paru-paru yang dalam keadaan normal kedua paru-paru dapat
menampung sebanyak kurang lebih 5 liter.
4. Klasifikasi
Adapun klasifikasi TB paru berdasarkan petogenesisnya yaitu:
Kelas Tipe Keterangan
5. Patofisiologis
1. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis primer ialah penyakit TB yang timbul dalam lima tahun pertama setelah
terjadi infeksi basil TB untuk pertama kalinya (infeksi primer) (STYBLO,1978 dikutip
oleh Danusantoso,2000:102).
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas
selama 1- 2 jam. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini dapat terhisap oleh orang sehat ia akan
menempel pada jalan napas atau paru-paru. Bila menetap di jarigan paru, akan tumbuh
dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan
paru-paru akan membentuk sarang tuberkulosa pneumonia kecil dan disebut sarang
primer atau afek primer dan dapat terjadi di semua bagian jaringan paru.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfangitis
regional) yang menyebabkan terjadinya kompleks primer.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi
tuberkulosis. Pada awal penyakit dimana lesi masih merupakan sarang-sarang pneumonia
gambaran radiologis adalah berupa bercak-bercak seperti awan dengan batas yang tidak tegas.
Bila telah berlanjut, bercak-bercak awan jadi lebih padat dan batasnya jadi lebih jelas. Bila lesi
sudah diliputi jaringan ikat akan terlihat bulatan dengan batas yang tegas. Lesi ini dikenal dengan
nema tuberkuloma.
Pada satu foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus (pada
tuberkulosa lebih lanjut) seperti infiltrat + garis-garis fibrotik + klasifikasi + kavitas
(sklerotik/nonsklerotik). Tuberkulosis sering memberikan gambaran yang aneh-aneh, sehingga
dikatakan ”tuberkulosis is the greatest imitator”
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah yang diperiksa adalah jumlah leukosit dan limfosit yang meningkat
pada saat tuberkulosis mulai (aktif). Pada pemeriksaan Laju Endap Darah mengalami
peningkatan, tapi Laju Endap Daanh yang normal bukan berarti menyingkirkan adanya
proses tuberkulosis. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit mulai normal dan jumlah
limfosit masih tetap tinggi dan Laju Endap Darah mulai turun ke arah normal lagi.
b. Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman BTA diagnosis
tuberkulosis sudah bisa dipastikan. Penemuan adanya BTA pada dahak, bilasan bronkus,
bilasan lambung cairan pleura atau jaringan paru adalah sangat penting untuk mendiagnosa
TBC paru.
Pemeriksaan dahak dilakukan tiga kali yaitu : dahak sewaktu datang, dahak pagi dan
dahak sewaktu berkunjung hari kedua. Bila didapatkan hasil dua kali positif maka dikatakan
mikroskopik BTA positif. Bila satu pisitif, dua kali negatif maka pemeriksaan perlu diulang
kembali. Pada pemeriksaan ulang akan didapatkan satu kali positif maka dikatakan
mikroskopik BTA positif, sedangkan bila tiga kali negatif dikatakan mikroskopik BTA negatif.
Untuk memastikan jenis kuman yang menginfeksi perlu diakukan pemeriksaan biakan/kultur
kuman atau biakan yang diambil.
3. Tes Tuberkulin
Biasanya dipakai cara mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1cc tuberkulin PPD (Purified
Protein Derivate) intra cutan. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi
berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrasi limfosit yakni persenyawaan antara
antibody dan antigen tuberkulin.
f. Pemeriksaan fisik
Inspeksi
Konjungtiva mata pucat karena anemia, malaise, badan kurus/ berat
badan menurun. Bila mengenai pleura, paru yang sakit terlihat agak
tertinggal dalam pernapasan.
Perkusi
Terdengar suara redup terutama pada apeks paru, bila terdapat
kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonar dan
timpani. Bila mengenai pleura, perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi
Terdengar suara napas bronchial. Akan didapatkan suara napas
tambahan berupa rhonci basah, kasar dan nyaring. Tetapi bila
infiltrasi ini diliputi oleh penebalan pleura, suara napas menjadi
vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar,
auskultasi memberikan suara amforik. Bila mengenai pleura,
auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak
terdengar sama sekali.
Palpasi
badan teraba hangat (demam)
g. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan Laboratorium
2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret
darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
3.Intervensi keperawatan
Menurut NANDA (2013), yaitu :
a. Diagnosa I : Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya
infeksi kuman tuberculosis.
Tujuan: Tujuan: Tidak terjadi penyebaran infeksi setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3x 24 jam.
Kriteria Hasil :
Klien mengidentifikasi interfensi untuk mencegah resiko penyebaran
infeksi
Klien menunjukkan teknik untuk melakukan perubahan pola hidup
dalam melakkan lingkungan yangnyaman.
TB yang diderita klien berkurang/ sembuhIntervensi
Intervensi :
1. Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama
batuk, bersin,meludah, bicara, tertawa ataupun menyanyi.
Untuk Membantu pasien menyadari/ menerima perlunya mematuhi program pengobatan
untukmencegah pengaktifan berrulang. Pemahaman bagaimana penyakit disebarkan dan
kesadarankemungkinan tranmisi membantu pasien / orang terdekat untuk mengambil
langkah mencegah infeksike orang lain
2. Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah, sahabat karib, dan tetangga.
Orang-orang yang terpajan ini perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran/
terjadinya infeksi.
3. Anjurkan pasien untuk batuk/ bersin dan mengeluarkan dahak pada tisu, menghindari
meludahsembarangan, kaji pembuangan tisu sekali pakai dan teknik mencuci tangan yang
tepat. Dorong untukmengulangi demonstrasi.
Perilaku yang diperlukan untuk melakukan pencegahan penyebaran infeksi.
4. Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, contoh masker/ isolasi pernafasan.
Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien an membuang stigma sosial
sehubungandengan penyakit menular.
5. Observasi TTV (suhu tubuh).
Untuk mengetahui keadaan umum klien karena reaksi demam indikator adanya infeksi
lanjut.
6. Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang tuberkolusis, contoh
tahanan bawah gunakan obat penekan imun adanya dibetes militus, kanker, kalium.
7. Pengetahuan tentang faktor ini membantu pasien untuk mengubah pola hidup dan
menghindarimenurunkan insiden eksaserbasi.
8. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada adanya rongga/
penyakitluas sedang, resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
9. Dorong memilih/ mencerna makanan seimbang, berikan sering makanan kecil dan
makanan besardalam jumlah yang tepat.
Adanya anoreksia dan malnutrisi sebelumnya merendahkan tahanan terhadap proses
infeksi danmengganggu penyembuhan.
10. Kolaborasi dengan dokter tentang pengobatan dan terapi.
Untuk mempercepat penyembuhan infeksi.
b. Diagnosa II : Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau
sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal
Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x30 menit, diharapkan bersihan
jalan napas pasien efektif dengan kriteria hasil :
- pasien melaporkan sesak berkurang
- pernafasan teratur
- ekspandi dinding dada simetris
- ronchi tidak ada
- sputum berkurang atau tidak ada
- frekuensi nafas normal (16-24)x/menit
Intervensi
Mandiri
6) Ajarkan klien napas dalam dan batuk efektif jika dalam keadaan sadar
Batuk efektif akan membantu dalam pengeluaran secret sehingga jalan nafas klien
kembali efektif
7) Berikan klien air putih hangat sesuai kebutuhan jika tidak ada kontraindikasi
Untuk meningkatkan rasa nyaman pasien dan membantu pengeluaran sekret
1. Catat status nutrisi pasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut,
kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat
4. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan
medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk
meningkatkan intake nutrisi.
5. Anjurkan bedrest.
Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
Intervensi:
Mandiri
1. Observasi karakteristik nyeri, mis tajam, konstan , ditusuk. Selidiki perubahan
karakter /lokasi/intensitas nyeri.
Nyeri merupakan respon subjekstif yang dapat diukur
2. Pantau TTV
Perubahan frekuensi jantung TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri,
khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
3. Berikan tindakan nyaman mis, pijatan punggung, perubahan posisi, musik
tenang, relaksasi/latihan nafas
Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan
ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
4. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering.
Pernafasan mulut dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan
membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
5. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batuk.
Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan
upaya batuk.
Kloaborasi
1) Pantau TTV
Untuk mengetahui keadaan umum pasien
2. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai
indikasi.
Menurunkan stress dan rangsanagn berlebihan, meningkatkan istirahat
2. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum
obat.
Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
5. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH. Kebiasaan
minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
6. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol. Efek
samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.
4.Implementasi
5.Evaluasi
Evaluasi merupakan kegiatan akhir dari proses keperawatan, yaitu perawat menilai hasil
yang diharapkan terhadap perubahan diri dan menilai sejauh mana masalah dapat
diatasi.disamping itu, perawat memberikan umpan balik atau pengkajian ulang jika tujuan
yang ditetapkan belum tercapai sehingga proses keperawatan dapat dimodifikasi
( fajarsari,2019)
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
Karya tulis ilmiah yang digunakan adalah studi kasus prosedur tindakan keperawatan. Studi
kasus beriorientasikan pada asuhan keperawatan dengan pendekatan yang dilaksankan secara
komperehensif dimana bentuk pelaporannya lebih memaparkan secara mendalam salah satu
tindakan focus sesuai masalah (prosedur tindakan tertentu) dari rencana tindakan keperawatan
menurut asosiasi institusi pendidikan vokasi keperawatan Indonesia (AIPVIKI,2017).
Dalam studi kasus ini membahas tentang asuhan keperawatan dengan pemberian tehnik
relaksasi nafas dalam untuk mengatasi sesak pada penderita TBC.
3.2 Subyek studi kasus
Subjek pada penelitian ini adalah pasien yang mengalami TBCdengan kriteria sebagai
berikut :
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karasteristik subek penelitian dari suatu populasi target yang
terjangkau dan akan di teliti (Nursalam,2012)
Kriteria inklusi dalam penelitian adalah
a. Pasien dan keluarga yang bersedia menjadi responden
b. Pasien yang sudah terkena peyakit tbc
2. Kriteria ekslusi
Kriteria ekslusi yaitu menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi
kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,2012)
Kriteria ekslusi dalam penelitian adalah :
1.Pasien yang mengalami penyakit TBC dengan komplikasi penyakit lainnya seperti
HIV, Sindroma Nefrotik, DHF, Bronkopneumonia.
Focus studi kasus dalam kasus ini adalah pemberian tehnik relaksasi nafas dalam untuk
mengatasi sesak pada penderita TBC.
1. Tempat
Penelitian dilakukan di wilayah puskesmas cakranegara pada waktu yang sudah di jadwalkan
2.Waktu
1. penyusunan proposal
2.penelitian
Etika penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan
penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek penelitian)
dan masyarakat yang akan akan memperoleh dampak hasil penelitian tersebut .Sebelum
melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu mendapat rekomendasi dari institusi untuk
mengajukan permohon ijin kepada institusi/lembaga tempat penelitian. Dalam
melaksanakan penelitian ini penulis menekankan masalah etika yang meliputi:
1. Lembar Persetujuan (informed consent)
DAFTAR PUSTAKA
AIPViKI. (2017). Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah Pendidikan Diploma Iii Keperawatan
Indonesia. Jakarta Pusat.